Anda di halaman 1dari 103

AL ILTIZAM

Kode: 3, c 1 3. 12 | sarana: usrah

Tujuan Instruktional

Setelah mendapatkan materi ini, maka peserta mampu:


Memahami iltizam.
Mengokohkan dan melaksanakan iltizam secara konsekuen.

Titik Tekan Materi

Iltizam adalah bentuk ikatan. Iltizam yang kita harapkan adalah yang tumbuh dengan baik yaitu
kesadaran sendiri dari dalam diri seseorang yang dilandasi pengetahuan yang utuh. Untuk itu
seseorang perlu mengetahui ruang lingkup iltizam yang baik, sehingga akan mendapatkan berkah dari
Allah Taala. Iltizam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu iltizam dengan
syariah dan dengan jamaah. Dari iltizam tersebut diharapkan terbentuk seseorang yang mempunyai
kepribadian yang utuh dan sempurna.

Pokok-Pokok Materi

Pengantar iltizam
Makna iltizam terhadap kualitas amal dalam dakwah.
Membangun iltizam dari dalam diri.
Iltizam dengan syariah: aqidah as shalihah, ibadah salimah, Al-akhlaq Al-hamidah, ad dakwah wal
jihad asy syumul wa tawazun.
Iltizam dengan jamaah: bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemimpin.

Mukadimah

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang
bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara
utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap
tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar
seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap
dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian
mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan
tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan
pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-
raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan
dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan
bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi
keyakinannya baru sampai tataran logika.
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 1
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi
semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya
selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau
komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir
selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab.
Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab
belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan
seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah,
melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai
kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang
bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji
kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada
seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
‫َّاس خِب ُلُ ٍق َح َس ٍن‬ ِِ َّ ‫ت َوأَتْبِ ْع‬ ِ
َ ‫ات َِّق اللَّه َحْيثُ َما ُكْن‬
َ ‫السيِّئَةَ احْلَ َسنَةَ مَتْ ُح َها َو َخالق الن‬
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan
baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Urgensi Iltizam

Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau
para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan
berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang
akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan
tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran
atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam
dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan
berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan
kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-
aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang
layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut
adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau
beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah,
melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin
besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin
berbobot pula kualitas dirinya.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 2


Dua Jenis Iltizam

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan
iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad,
syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq,
qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia
yang utuh (insan mutakamil).

1. Iltizam terhadap Syariat


Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah
ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam
QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai
tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat
tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu
yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal
prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai
prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah
kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang
ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah
dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha
sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah
dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas
iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan
waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu
memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan
shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke medan jihad
keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi
setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata
menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu
malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas
harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja
akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak
manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra.
Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran
dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah
diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang
dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi
teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar
dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi
akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu
pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan
peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-
Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang
memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap
dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi
mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 3


kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104).
Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah
bersabda, “Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad,
maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk
seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis
ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang
merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.
Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral,
komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam adalah agama
yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna,
tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-
9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS
95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran sarat dengan
kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai
dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan
manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang
manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran.
Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan
ketawazunan Islam.

Al-Iltizam Bil Jamaah .2


a. Iltizam terhadap bai’ah.
‫َن هَلُ ُم اجْلَنَّةَ يُ َق**اتِلُو َن يِف َس*بِ ِيل اللَّ ِه َفَي ْقُتلُ**و َن َويُ ْقَتلُ**و َن َو ْع ً*دا َعلَْي* ِ*ه َحقًّا يِف الت َّْو َر ِاة َواإْلِ جْنِ ي* ِ*ل َوالْ ُق ْ*رءَ ِان َو َم ْن‬ ِِ ِ
َ ‫إِ َّن اللَّهَ ا ْش*َتَرى م َن ال ُْم ْ*ؤمن‬
َّ ‫ني أَْن ُف َس* ُه ْم َوأ َْم َ*واهَلُ ْم بِأ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
‫يم‬
ُ ‫ك ُه َو الْ َف ْو ُز ال َْعظ‬ َ ‫استَْب ِش ُروا بَِبْيعِ ُك ُم الَّذي بَ َاي ْعتُ ْم بِِه َوذَل‬ ْ َ‫أ َْوىَف بِ َع ْهده م َن اللَّه ف‬
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa
adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual
ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak
jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah
II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala
kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid.
Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai
nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus
menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita
mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah
(internal).
Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah
baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti
berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-
daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain
yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini
banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan
logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja
semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan
semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 4


c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya.
Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan
mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala
tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin
maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan
a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap
seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-
cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak
boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena
tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai
Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak
mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.
Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq.
Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata
araan? “Tidak mau bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“.
Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering
diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat,
bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin
Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan
Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam.
Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq,
baik yang wajib maupun yang sunnah.
e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah.
Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah
seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di
manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk
seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada
kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan
keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun
bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik
bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa
mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat
bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus
segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin.
Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS
3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin
atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa
thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka
maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat
atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok
kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.
Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun tanzhimi,
hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam
melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah
muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor
syar’i.
Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun
juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam
sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 5
negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi.
Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan
kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi
yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.
Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi
syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah
harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat
terwujud. Amin

Intima’ Jama’i
Kode : 3 C 1 3 5

‫ص* ُموا بِاللَّ ِه ُ*ه َ*و َم* ْ*واَل ُك ْم فَنِ ْع َم‬


ِ َ‫الز َك*اةَ و ْاعت‬ ِ ِ ‫يدا علَي ُكم وتَ ُكونُ**وا ش*ه َداء علَى الن‬ َّ ‫ني ِم ْن َقْب* ُ*ل َويِف َ*ه َذا لِيَ ُك**و َن‬
ِ ُ *‫الر ُس‬ ِِ
َ َّ ‫يموا الص*َّاَل ةَ َوءَاتُ**وا‬
ُ ‫َّاس فَ*أَق‬ َ َ َُ َ ْ ْ َ ً ‫ول َش*ه‬ َ ‫ُ*ه َ*و مَسَّا ُك ُم ال ُْم ْس*لم‬
ِ ِ
ُ‫ال َْم ْوىَل َون ْع َم النَّصري‬
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada
tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
(Q.S. Al-Hajj: 78)
Mewujudkan intima jama’i tidak dengan cara permohonan untuk dicatat sebagai anggota, bukan juga
terwujud lewat keluar masuk pos-pos jama’ah dan menghadiri berbagai pertemuan saja. Esensi intima
jama’i harus mencakup dimensi (kedalaman) yang melampaui batas-batas formalitas dan bentuk-
bentuk lahiriyah. Sehingga komitmen terhadap jama’ah akan semakin memantapkan kedalaman iman,
kekuatan intima kepada Islam dan intima struktural (tanzhimi).

I. Ab’adul Intima (dimensi intima jama’i)


Dimensi pertama dan paling utama adalah dimensi akidah (bu’dun aqidi). Secara akidah seorang
ikhwah harus intima terhadap perjalanan dan risalah Islam yang diembannya (intima mashiri wa
risali). Akidahnya harus lurus dan benar-benar sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunah.
Keterikatan ini akan melenyapkan ketergantungan pada faktor figuritas terhadap orang tertentu yang
menyebabkan aktivitas dakwah hanya termotivasi oleh faktor akidah, oleh intimanya dengan Islam
dan oleh ketundukan pada perintah Allah. (Q.S. Al-Fath: 10). Intima kepada jama’ah berarti juga
pengerahan seluruh kekuatan diri untuk dakwah, menundukkan kepentingan individual untuk
kepentingan Islam, bukan sebaliknya. ‫ت‬ ِ ‫ا ُل بِالنِّيَّا‬UU‫ا اأْل َ ْع َم‬UU‫( إِنَّ َم‬Sesungguhnya nilai amal perbuatan itu
tergantung dari niat masing-masing).
Bu’dun fikri (dimensi pemikiran). Pemikiran ikhwah harus terikat dengan fikrah Islam secara total dan
prinsipil (Islami mabda wa ushuli). aktivis dakwah akan menjadi orang yang lain dari yang lain. Dari
segi akhlak, pergaulan, pandangan dan pemikiran. Mereka harus hidup dalam kerangka nilai Islam
total. Menyesuaikan diri dengan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Bu’dun tanzhimi (dimensi struktural). Dua hal sebelum ini, mungkin saja dimiliki oleh seorang yang
tidak intima kepada jamaah. Sering kita mendapati seorang yang idealis, kuat Islamnya tetapi tidak
memiliki bu’dun tanzhimi. Dimensi ii mengharuskan seorang ikhwah keluar dari jerat sikap ego dan
individualisme, kemudian melebur dalam kepentingan jama’ah. Intimanya tidak temporal, terus intima
dengan apapun kondisi jama’i. Seorang raja dari kabilah Ghassan mencoba merayu Ka’ab bin Malik
ra. Ketika diboikot oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Tapi surat rayuan itu justru diremas-
remas dan dibakar.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 6


As-Sam’u wat tha’ah, timbangannya adalah ketika menerima tugas yang yukhalif mashalih fard
(berlawanan dengan kepentingan pribadi). Inilah yang disebut husnul indhibath (disiplin yang baik).
Taat dalam masalah yang memang sesuai selera dan kehendak itu biasa. Tetapi yang sulit bagaimana
mengukuhkan taat dalam kondisi yang berlawanan dengan pendapat dan pandangan pribadi.
Wujud lain dalam husnul indhibath adalah bahwa iltizam tidak hanya dengan perintah, tapi hanya
dengan isyarat sekalipun sudah paham. Lughatu dzaki wal hakim al-isyarah (Bahasa orang pandai
cukup dengan isyarat). Innal labiba bil isyarati yafhamu (Sesungguhnya orang yang pandai itu paham
dengan isyarat).

’II. Muqtadhayatul intima


Wala aqidi, loyal terhadap akidah. Mewujudkannya melalui:
Al-isti’la, terlepas dari ikatan-ikatan duniawi sebagaimana tersebut dalam surat At-Taubah: 24.
‫وْ نَهَا أَ َحبَّ إِلَ ْي ُك ْم‬U ‫ض‬
َ ْ‫ن تَر‬Uُ ‫ا ِك‬U ‫قُلْ إِ ْن َكانَ َءابَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْم َوإِ ْخ َوانُ ُك ْم َوأَ ْز َوا ُج ُك ْم َوع َِشي َرتُ ُك ْم َوأَ ْم َوا ٌل ا ْقتَ َر ْفتُ ُموهَا َوتِ َجا َرةٌ ت َْخ َشوْ نَ َك َسا َدهَا َو َم َس‬
َ‫اسقِين‬ ِ َ‫ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َو ِجهَا ٍد فِي َسبِيلِ ِه فَتَ َربَّصُوا َحتَّى يَأْتِ َي هَّللا ُ بِأ َ ْم ِر ِه َوهَّللا ُ اَل يَ ْه ِدي القَوْ َم الف‬
ْ ْ
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”
Sebagian ulama tafsir menjabarkan arti kata ‫ ا َءابَاء‬bukan hanya bapak dalam hubungan keakraban,
tetapi termasuk dalam arti ketua, bos, atasan dan lain sebagainya. Kata َ‫ أَ ْبنَاء‬juga bukan terbatas anak
dalam keluarga, tetapi juga bawahan, anak buah dan sebagainya. Imam Syahid, pada suatu hari raya
meninggalkan anaknya, Saiful Islam yang sedang menderita sakit demam untuk pergi menunaikan
kewajiban dakwah. Istrinya sudah meminta beliau untuk menunda kepergiannya. Imam Syahid berlalu
sambil melantunkan firman Allah surat At-Taubah ayat 24.
Tajarrud (totalitas). Tajarrud bukan berarti tafarrugh (kosong dan meninggalkan semua aktivitas,
kecuali dakwah saja. Esensi ruang lingkup tajarrud tercakup dalam uraian berikut:
Tajaruud fikri atau mulazamatul fikrah. Ikatan pemikiran nilai Islam harus melekat total dalam diri
ikhwah. Salah satu penyebab kehancuran umat adalah karena mereka justru mengambil solusi hasil
infiltrasi atau barang impor dari sumber non-Islam, imitasi tidak orisinal, bukan asli. Karena palsu itu
tidak tahan lama, seperti ginjal atau jantung yang dicangkokkan pada tubuh manusia. Meski tubuh
menerima tapi paling hanya dalam jangka waktu yang pendek. Itupun dengan perasaan menderita atau
penuh siksaan. Untuk kemudian lemah dan mati. Ikhwah adalah penyangga fikrah islamiyah yang
bertanggung jawab menyebarkan dan mewariskan kepada generasi umat.
Tajarrud ruhi atau totalitas menjaga kebersihan hati dari segala keinginan yang kotor dan ambisi yang
menyimpang. Ikhwah harus ikhlas dalam mengemban dan memperjuangkan fikrah Islam.
Al-insyighal bima tathlubuhud da’wah. Menyibukkan diri dengan segenap tuntutan sakwah. Dakwah
menjadi obsesinya di setiap aktivitas.
Wadh’u nafsihi alatan fa’alah lid da’wah. Berupaya memfungsikan diri sebagai bagian yang
bermanfaat bagi dakwah. Ikhwah harus berupaya menjadi anggota tang tidak tumpul, tetapi tajam,
sehingga kebiasaannya dapat difungsikan untuk kepentingan dakwah. Menerima wazhifah, harus
optimal dan tidak boleh menyepelekan.
Wadh’u nafsihi, usariyah am fardiyah fi mashlahatid dak’wah. Meletakkan diri, baik keluarga atau
pribadi untuk kepentingan dakwah. Bekorban dengan segala sesuatu baik yang murah atau yang
mahal. Tadhhiyah yang paling berat untuk kita sementara ini adalah mengorbankan waktu istirahat.
Syu’ur bil ma’uliyah ‘alad da’wah. Menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap dakwah. Masing-
masing ikhwah harus merasakan bahwa dirinya adalah mas’ul. Sehingga tidak ada yang mengatakan
bahwa satu bidang tertentu bukan urusan saya. Sa’id Hawa mengatakan bahwa bila jama’ah menderita

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 7


kerugian dari satu orang, maka akibatnya akan menimpa seluruhnya. Karena itu pembagian tugas pun
merupakan tanggung jawab bersama.
Ishlahu nafsihi wa da’watu ghairihi. Memperbaiki diri dan menyeru orang lain. Tingkat dai dapat
mempengaruhi orang lain adalah sebagaimana ia dapat menguasai dirinya sendiri.
Tha’atullah wa rasulihi
Ketaatan yang teratur dan disiplin, tidak tergantung keinginan. Beda taat dalam disiplin Islam
dan thaghut. Taat dalam Islam dibangun di atas ilmu dan bashirah, bukan taat buta. Tingkat
ketaatan seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman dan wawasan. Setiap ikhwah harus berupaya
menambah ilmu dan memperluas wawasan. Rasul saw. berdoa, “Rabbi zidni ‘ilma”. Taat pada Allah
dan Rasul dapat dipelihara dan tercermin dalam amal jama’i. Dengan menumbuhkan sikap husnul
jundiyah dan mas’uliyah. Sikap keprajuritan dan tanggung jawab yang baik. Rincian sikap ini adalah
sebagai berikut:
As-Syu’ur bi annal ‘amala fii ayyi maufiqin ‘ibadah wa qurabah. Merasakan bahwa bagaimanapun
pekerjaan dalam satu posisi bernilai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Dalam posisi apapun,
tanggung jawab yang diberikan harus dirasakan sebagai ibadah, sehingga bisa dilaksanakan dengan
baik. Seorang ikhwah pernah dipenjara puluhan tahun, ia menyadari bahwa kondisinya saat itu adalah
dalam rangka dakwah dan taqarrub, maka dalam rentang waktu itu ia menghafal Al-Quran, berkebun
dan hasil kebun ikhwah di penjara dapat meringankan krisis ekonomi di Mesir saat itu.
Dawamul isti’dad. Selalu siap siaga. Rumah amilin adalah ibarat barak-barak dakwah. Kapan pun
diseru, mereka segera bangkit dari barak dan siap melakukan tugas. Sahabat Hanzhalah mendapat
julukan ghasilul malaikah (yang dimandikan malaikat), lantaran saat mobilisasi jihad diumumkan ia
masih bersama istri barunya kemudian berangkat jihad dan syahid dalam kondisi junub. Sekarang
tubuhnya didapati basah oleh para malaikat.
Taqdirul mas’ul ramzan lil wahdati wal quwwah. Menghormati mas’ul sebagai simbol persatuan dan
kekuatan. Memelihara sikap hormat terhadap mas’ul dan semua rekan dakwah. Dalam satu
peperangan, satu orang prajurit kehilangan tempat airnya. Melihat hal tersebut seluruh pasukan sibuk
mencarikan tempat air itu di sungai. Musuh kaget menyaksikan persatuan yang demikian kokoh.
Temannya kehilangan tempat air saja demikian, apalagi bila temannya terbunuh. Pernah pula ada
seorang ikhwah yang ditunjuk sebagai mas’ul merasa ada bawahannya yang lebih pandai dari dirinya.
Ia meminta agar ikhwah yang lebih pandailah yang lebih layak menjabat sebagai mas’ul, namun
ikhwah tersebut menolak. Ketika masalah ini sampai kepada Imam Syahid, beliau mengatakan,
“Tetaplah Anda pada posisi mas’ul, kalau Anda berbuat salah nanti orang tersebut yang akan
membenarkan Anda.” Coba kalau dia menjadi mas’ul lalu melakukan kesalahan siapa yang akan
membetulkannya?
I’tibar mauqi’ihitsughratan bin tsugharil Islam. Menganggap posisinya adalah salah satu sari
perbatasan Islam secara keseluruhan yang harus dipertahankan. Ringkasnya menanamkan rasa
tanggung jawab yang dalam terhadap keberadaan diri di mana saja. Jangan sampai Islam mendapat
keburukan dari posisinya. Pekerjaannya bagaimanapun harus bermanfaat atau bila ihmal
(menyepelekan) berarti kerugian bagi Islam.
Ta’awun
Ta’awun dapat terwujud dengan sikap-sikap:
Takaful, saling menanggung beban kolektif antara qiyadah dan junud (prajurit). Tak ada potensi yang
dianggap kecil dan disepelekan.
Tarahum. Sikap ini juga perlu ditumbuhkan. Pemisahan sikap seorang muslim dengan muslim yang
lain, seperti satu tubuh. Bila ada anggota yang sakit, maka seluruh tubuh gelisah dan tak dapat tidur.
Setiap ikhwah harus mengetahui dan menyadari tugas dan kewajiban ikhwah lainnya. Jadi tidak ada
yang merasa beban tertumpuk pada dirinya saja. Perasaan seperti ini penting, kata Sayyid Quthb,
orang yang merasakan kebersamaan dalam shaff akan terbebas dari beban-beban batin. Merasakan
bahwa alam semesta itu adalah junud, semua alam membantu.
Talahum, sedarah sedaging.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 8


Ketiga unsur sikap ini dilakukan dalam rangka ada’ul wajib (pelaksanaan kewajiban) dan
takhfiful a’ba (meringankan beban) sesama ikhwah.
Tanashuh. Agama itu tegak dengan nasihat. Yang paling butuh nasihat adalah yang berada dalam
posisi mas’ulin. Dalam hadits dikatakan, An-nashihah li aimmatil muslimin wa ‘ammatihim. Semua
ikhwah adalah mas’ul, sebab dampak kesalahan mas’ulin akan menyeluruh. Untuk proses tanashuh
membutuhkan:
Al-Ikhlash mutabadil, keikhlasan dari dua belah pihak. Dalam sebuah hadis disebutkan,
‫ني َو َع َّامتِ ِه ْم‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ‫َّصيحةُ ُقْلنَا لِمن ق‬ ِ
َ ‫ال للَّه َولكتَابِه َولَر ُسوله َوأِل َئ َّمة ال ُْم ْسلم‬ َْ َ ‫ِّين الن‬
ُ ‫الد‬
“Agama adalah nasihat. Kami bertanya (para sahabat), “Untuk siapa? Beliau bersabda, “Untuk
Allah, kitab-Nya, rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awam.” Tunaikan nasihat
dengan cara yang paling baik dan terimalah seluruhnya. Khalifah Umar pernah ditegur oleh rakyatnya,
“Ya Umar ittaqillah”. Umar berkata, “Laa khaira fiikum An la taquluha wala khaira fiina in lan
nasma’ha. (Tidak ada kebaikan bila kalian tidak mengatakan hal ini dan tidak ada kebaikan bila kami
tidak mau mendengarnya). Memberi nasihat juga harus dengan hikmah (bijak), maksudnya diatur
bahasa penyampaiannya, dipilih waktunya, lihat salurannya atau jalurnya, barangkali lebih tepat
disampaikan lewat si A.
Sirriyah. Nasihat juga baiknya disampaikan tidak vulgar di depan orang lain. Kata seorang ulama,
“man wa’azha akhahu sirriyah faqad nahahahu wa zanahu wa man wa’azha ‘alaniyah faqad fadhahahu
wa syanahu.“ (Siapa yang menasihati saudaranya dengan rahasia, ia sungguh telah menasihatinya dan
siapa yang menasihati di depan khalayak berarti ia menghina dan mencacinya). Memberi nasihat juga
tidak harus segera. Bisa dengan didiamkan dahulu, mungkin saja orang tersebut akan menyadari
kesalahannya sendiri. Seperti orang yang diobati sendiri.
Tabadul hubbi fillah
Itsar. Saling menjalin rasa cinta karena Allah. Perwujudannya yang paling tinggi adalah itsar. Menurut
Iman Ghazali dikutip oleh Sa’id Hawa bahwa itsar itu ada tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah
menganggap hak saudara kita sebagaimana hak budak, kalau ada lebihan itu haknya. Kedua adalah
menganggapnya sederajat dan sama dengan dirinya sendiri. Memenuhi kebutuhan ikhwah
sebagaimana memenuhi kebutuhan sendiri. Dan ketiga yang paling tinggi adalah menempatkan
kepentingan saudara kita di atas kepentingan sendiri. Seperti yang terjadi dalam perang Tabuk. Tiga
sahabat meninggal kehausan karena mementingkan saudaranya. Ini sulit sekali, tapi inilah bentuk
persaudaraan yang dilakukan Rasulullah saw. di Madinah. Dalam perang, masing-masing ikhwah
ingin menggantikan saudaranya. Ada ikhwah yang telah berkeluarga dijatuhi hukuman mati, ikhwah
yang masih bujang ingin menggantikannya. Alasannya bila ia mati, ia tidak meninggalkan siap-siapa,
sedangkan bila ikhwah yang telah berkeluarga mati, ia nanti akan meninggalkan istri dan anak-anak
yang perlu dipelihara.
I’tibarul akh aula min nafsihi. Menganggap ikhwah lebih tinggi kepentingannya dari dirinya. Ini
termasuk dalam tingkat itsar yang paling tinggi.
Salamatus shard. Menurut Imam Ghazali bahwa tingkatan ini adalah tingkat terendah bentuk cinta
karena Allah. Abdullah bin Umar bin ash dijamin masuk surga karena menjelang tidur tidak pernah
menyimpan masalah dengan kaum mukminin. Wala taj’al fi qulubina ghillan lillazdina amanu. Ghill
di sini artinya adalah ganjalan dalam hati yang belum diungkapkan. Sesama ikhwah harus memelihara
perasaan, lapang dada, tidak mudah tersinggung, mudah memaafkan dan toleran. Yang didahulukan
harus husnuz zhann (baik sangka). Mungkin saja bila saya yang berada dalam posisi yang sama
sepertinya, saya juga akan berbuat serupa. Kalau ingin minum air yang sama sekali tidak mengandung
kotoran, maka orang akan mati kehausan. Orang yang ingin mencari teman tanpa kesalahan sama
sekali juga tidak akan mendapatkan teman.
Wallahu a’lam

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 9


SEPULUH WASIAT
IMAM HASAN AL-BANNA
Kode : 3, c 1 3. 1

Imam Syahid Hasan Al-Banna merupakan seorang ulama Islam yang memiliki pengaruh besar di
Abad ini. Gerakan dakwah Al-Ikhwanul Muslimin yang dipimpin beliau terbukti memberikan
kontribusi besar bagi kebangkitan Umat Islam dari tidur mereka yang panjang. Sebagai qiyadah
jamaah dakwah, Imam Hasan Al-Banna telah menjadikan gerakan dakwahnya sebagai sebuah
organisasi yang dinamis dan aktif dalam melakukan perubahan di tengah-tengah umat di seluruh
dunia. Karena fikrah ikhwaniyah yang dilontarkan Imam Syahid mudah diterima dan menjadi
pegangan bagi para mujahid di seluruh medan dakwah.
Dalam mengarahkan para ikhwah untuk lebih giat berdakwah, Imam Syahid sering memberikan
wejangan yang amat praktis dan mudah diamalkan. Di antaranya adalah yang dikenal sebagai 10
wasiat Hasan Al-Banna. Wejangan Imam Syahid yang sepuluh ini bersifat sederhana dan mudah
dihafal. Layaknya seperti kiat-kiat aktifitas rutin harian yang setiap saat harus dihayati dan
dilaksanakan oleh setiap anggota Jamaah Ikhwanul Muslimun. 10 Wasiat Imam Syahid adalah sebagai
berikut ;
1. Bangunlah segera untuk melaksanakan sholat apabila mendengar adzan walau
bagaimanapun keadaanmu.
2. Baca, telaah, dan dengarlah Al-Qur-an, berdzikirlah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan janganlah engkau senang menghambur-hamburkan waktumu dalam
masalah yang tidak ada faedahnya
3. Bersungguh-sungguhlah untuk bisa dan berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih.
4. Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang percakapan karena hal
itu tidak akan mendatangkan kebaikan.
5. Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah
(berdzikir) adalah tenang dan tenteram.
6. Jangan suka bergurau, karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan
bersungguh-sungguh terus menerus.
7. Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal itu
akan mengganggu dan menyakiti.
8. Jauhilah ghibah (menggunjing) atau menyakiti hati orang lain dalam bentuk apa
pun dan janganlah berbicara kecuali yang baik.
9. Berkenalanlah dengan saudaramu yang engkau temui walaupun dia tidak meminta,
sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan taawun (kerjasama).
10. Pekerjaan rumah (PR) kita sebenarnya lebih bertumpuk daripada waktu yang
tersedia, maka tolonglah saudaramu untuk memanfaatkan waktunya dan apabila
kalian mempunyai keperluan maka sederhanakan dan cepatlah diselesaikan.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 10


Bagi para aktivis dakwah sepuluh wasiat bagaikan resep yang sangat manjur untuk mengobati
penyakit yang terdapat dalam hati mereka. Hal ini telah teruji sepanjang perjalanan dakwah Ikhwan
sejak dikumandangkan oleh Imam Syahid sampai ke masa kita sekarang ini. Wasiat Imam Syahid
merupakan rangkuman pemahaman beliau terhadap kandungan Al-Qur-an dan Sunnah yang
semestinya mendapat prioritas utama dalam pengamalannya…. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dari
perintah harian Imam Syahid Hasan Al-Banna.

Wasiat Pertama: Bangunlah segera untuk melaksanakan sholat apabila mendengar adzan walau
bagaimanapun keadaanmu.
Wasiat ini mengandung perintah agar setiap Al-akh mendahulukan sholat lima waktu dari
perkara lainnya. Karena sholat di awal waktu merupakan amal Islam yang paling utama sebagaimana
dikemukakan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam ketika ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah
amal yang paling utama ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya”. Wasiat ini juga
mengharuskan jamaah ikhwan untuk selalu menanti waktu-waktu sholat. Akan lebih utama bila
seorang akh itu selalu dalam keadaan berwudlu beberapa saat sebelum adzan berkumandang sehingga
dia dengan segera dapat mendatangi masjid dan sholat berjamaah. Al-Akh tidak boleh
memprioritaskan hal lain selain dari waktu sholat ini.

Wasiat Kedua: Baca, telaah, dan dengarlah Al-Qur-an berdzikirlah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan janganlah engkau senang menghambur-hamburkan waktumu dalam masalah yang tidak ada
faedahnya.
Setiap akh diwajibkan untuk selalu berinteraksi dengan Kitabullah Al-Qur-an. Mereka wajib
membacanya di mana ada kesempatan. Di setiap pertemuan yang diselenggarakan ikhwah hendaknya
dimulai dengan membaca Al-Qur-an. Selain itu ikhwah juga diminta untuk menelaah atau
mentadabburkan isi Kitabullah sesering mungkin. Ini bisa dilakukan dengan membaca Kitab-kitab
tafsir atau buku-buku Manhaj Islam yang menguraikan nilai-nilai Al-Qur-an. Bukankah Nabi
mengatakan bahwa sebaik-baik ummat beliau adalah yang memperlajari dan mengajarkan Al-Qur-an.
Imam Syahid juga mengingatkan agar waktu dimanfaatkan untuk berdzikir dalam segala keadaan.
Surat-surat tertentu dan ayat-ayat pilihan biasa dapat dibaca dalam berbagai keadaan. Disamping itu
ada bacaan-bacaan dzikir seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan hauqallah yang sangat penting
dilakukan dalam setiap keadaan ikhwah… Misalnya ketika berkendaraan, menunggu sesuatu, atau
tengah diam… Ikhwah hendaknya tidak menyia-nyiakan waktu bagi hal-hal yang tidak bermanfaat
karena di antara ciri orang-orang mukmin adalah “Alladzina hum anillaghwi mu’ridhuun” (Orang-
orang yang menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya.

Wasiat Ketiga: Bersungguh-sungguhlah untuk bisa dan berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih
Setiap akh diwajibkan belajar Bahasa Arab fushah (baku) dan mempraktekannya dalam
kehidupan sehari-hari. Beliau mewajibkan hal ini karena Bahasa Arab merupakan salah satu syiar
dakwah Islam. Bahasa Arab itu bahasa Al-Qur-an dan bahasa Ahlul Jannah (Ahli Syurga). Di antara
sumber kekuatan ummat Islam adalah persatuan mereka yang bersifat mendunia. Kunci persatuan
adalah kemampuan berkomunikasi cepat, dengan bahasa yang merupakan warisan Rasulullah
Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Sementara itu orang-orang di luar Islam berusaha
sekuat tenaga menjauhkan Ummat Islam dari bahasa induk mereka. Mereka mempopulerkan bahasa
Inggris dan menyatakan bahwa bahasa Arab itu terbelakang. Mereka bahkan ingin ummat Islam tak
lagi mampu membaca Al-Quranul Karim atau memahami kandungan maknanya ketika membaca Al-
Qur-an tersebut.

Wasiat Keempat: Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang percakapan karena hal
itu tidak akan mendatangkan kebaikan.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 11


Imam Syahid mengingatkan para ikhwah untuk menjauhi perdebatan dan berdiskusi tentang hal-
hal yang tak perlu. Ikhwah dianjurkan banyak bicara tetapi tentang hal-hal yang penting atau
mendesak untuk dibicarakan… Perdebatan selamanya hanya melukai orang yang didebat karena setiap
orang selalu berusaha mempertahankan pendapatnya kendati salah. Al-Qur-an sendiri mengingatkan
kita dari bicara serampangan karena syaitan itu memecah belah manusia dari perkataan yang buruk.
(S. Al-Isra: 53)

Wasiat Kelima: Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah
(berdzikir) adalah tenang dan tenteram.

Imam Syahid melarang para ikhwah banyak tertawa untuk memelihara dan menjaga kesucian
hati mereka agar selalu berdzikir kepada Allah... Banyak tertawa bisa timbul karena ada yang
membanyol, atau menceritakan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa terbahak-bahak. Biasanya
tidak jauh dari mengejek dan menghina orang lain baik secara langsung atau tidak. Karena itulah Al-
Imam mengingatkan bahaya orang-orang yang banyak tertawa dan sedikit menangis.

Wasiat Keenam: Jangan suka bergurau, karena ummat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan
bersungguh-sungguh terus menerus.

Imam Syahid Hasan Al-Banna juga melarang para ikhwah banyak bercanda atau membanyol
yang membuat orang lain tertawa baik dengan ucapan, cerita, atau tingkah laku yang lucu. Beliau
menyatakan bahwa sikap pejuang Islam adalah bersungguh-sungguh atau serius sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur-an S. Al-Ankabuut ayat 69

Wasiat Ketujuh: Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal itu
akan mengganggu dan menyakiti.

Imam Syahid Hasan Al-Banna mengingatkan para ikhwah agar memperhatikan adab berbicara
di antaranya dengan merendahkan suara dari segi volume dan merendahkan hati dari segi isi
pembicaraan. Islam memerintahkan ummatnya untuk memiliki kelembutan hati dan hal itu dimulai
dari kelembutan dalam berbicara atau berdialog.

Wasiat Kedelapan: Jauhilah ghibah (menggunjing) atau menyakiti hati orang lain dalam bentuk apa
pun dan janganlah berbicara kecuali yang baik.

Dalam wasiat ini Imam Syahid mengingatkan agar para ikhwah tidak menggunjingkan orang
lain. Bergunjing adalah membicarakan sesuatu tentang orang lain yang tidak disukai orang tersebut
bila dia mendengar pernyataan itu. Bergunjing adalah larangan keras dalam berbicara. Oleh Al-Qur-an
orang yang suka menggunjing disamakan dengan orang yang memakan daging saudaranya sendiri. ( S.
Al-Hujaraat 12.)

Wasiat Kesembilan; Berkenalanlah dengan saudaramu yang engkau temui walaupun dia tidak
meminta, sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan taawun (kerjasama).

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 12


Imam Syahid menekankan bahwa prinsip dakwah Islam sejati adalah saling berkenalan. Pepatah
mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Allah telah menciptakan manusia berjenis-jenis suku
bangsa dan bahasanya, beraneka ragam latarbelakang hidupnya agar mereka saling kenal mengenal
(Al Hujarat: 13). Untuk meraih hati orang lain pada langkah pertama adalah dengan memperkenalkan
diri dan mengenal orang lain. Dengan perkenalan itu maka jembatan antara hati kita dengan hatinya
sudah tersambung… Setelah itu potensi untuk saling tolong menolong dan bekerjasama akan terbuka.

Wasiat Kesepuluh : Pekerjaan rumah (PR) kita sebenarnya lebih bertumpuk daripada waktu yang
tersedia, maka tolonglah saudaramu untuk memanfaatkan waktunya dan apabila kalian mempunyai
keperluan maka sederhanakan dan cepatlah diselesaikan.

Imam Syahid mengingatkan bahwa tugas para ikhwah yaitu agenda dakwah sangat banyak.
Bahkan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Umur dakwah ini lebih panjang dari umur para juru
dakwah itu sendiri. Mereka tidak boleh menunda-nunda pekerjaan yang sudah ada di depan mata,
disebabkan pekerjaan lain akan segera menyusul… Karenanya ikhwah harus bekerja sama untuk
saling memudahkan pekerjaan mereka, sebagaimana sering dikemukakan Rasulullah saw.,
“Permudahlah dan jangan dipersulit”. Dalam gerakan dakwah kita harus saling melayani dan
membantu mempermudah urusan saudara kita sehingga pekerjaan dakwah akan menjadi ringan dan
menyenangkan.
Wallahu a’lam

SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN 1950-1973 M


(PERIODE MURSYID ‘AM KE-2, HASAN HUDHAIBI)
KODE : 3 C 13 8

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, maka peserta mampu:
Mengetahui sejarah dakwah dan harakah jama’ah ikhwanul muslimin di masa periode mursyid ‘Aam
yang kedua Hasan Hudaibi th 1950-1973, dan bisa mengambil hikmah dan pelajaran darinya, terutama
tentang tsabat dan istiqamah di jalan dakwah.
Memahami dan menyadari bahwa tabiat dakwah/sunnatullah dalam dakwah, para da’i dalam
melaksanakan tugas dakwah akan berhadapan dengan berbagai cobaan dan ancaman.
Meyakini bahwa dakwah lebih kuat dan lebih kekal dari segala kekuatan batil

TITIK TEKAN MATERI


Pokok-pokok pikiran dan titik tekan materi yang harus disampaikan adalah: Dakwah dan
gerakan ikhwanul muslimin di masa mursyid ‘aam kedua (Hasan Al Hudaibi). Konspirasi kekuatan

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 13


batil (musuh Islam) di dalam maupun di luar negeri untuk menghancurkan dakwah. Dakwah al haq
lebih kuat, lebih tangguh dan lebih kekal di banding dengan kekuatan-kekuatan batil. Menanamkan
semangat optimisme pada setiap aktivis dakwah, bahwa dakwahlah yang jaya.

POKOK-POKOK MATERI
1. Dakwah pasca wafatnya Imam Syahid Hasan Al Banna
2. Riwayat hidup mursyid ke-2 Hasan Hudaibi
3. Dakwah di era baru
4. Revolusi 23 juli 1952 di Mesir
5. Jamal Abdun Nasir dan Ikhwanul Muslimin
6. Ketegangan antara para pemimpin revolusi dengan Ikhwan
7. Sikap Ikhwan tentang perjanjian ditarik mundurnya tentara Inggris dari Mesir.
8. Abdun Nasir mengangkat kembali masalah penembakan Hasan Al Banna
9. Skenario drama penembakan Jamal Abdun Nasr di lapangan Al Mansyiah, Iskandariyah
10. Pembubaran Jama’ah Ikhwanul Muslimin
11. Ujian berat dihadapi Ikhwan tahun 1965
12. Wafatnya mursyid ‘Aam kedua.

'MARAJI
Kubral harakatul Islamiyah-Dr. Muhammad Said Wakil; Ahdats Shanaat Tarikh-Mahmud Abdul
Halim; Kafilah Al Ikhwan Al Muslimin-Abbas As Sisi

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 14


Al-Ikhwanul Muslimun" merupakan salah satu gerakan Islam yang terpenting di dunia saat ini. Para
pengikutnya tersebar di lebih dari 70 negara, termasuk di Indonesia. Ikhwan terkenal mempunyai
organisasi yang rapih dan teratur. Kiprahnya dalam kebangkitan kembali Islam di abad XX dan XXI
ini tak bisa dipungkiri siapa pun. Gerakan Al-Ikhwanul Muslimun (selanjutnya disebut IM) telah
mengisi sejarah dunia dengan tinta emas melalui aktifitas dakwah dan jihad lebih dari 70 tahun. Siapa
pun yang mengamati perkembangan sejarah Umat Islam mustahil melewatkan peranan serta kontribusi
gerakan IM bagi kebangkitan umat Islam dewasa ini. IM dengan berbagai gerakan dakwah yang
bervariasi telah membuka mata dunia tentang keindahan Islam dan membangunkan umat Islam dari
tidurnya yang panjang.

Hasan Al-Banna dan Kelahiran Al-Ikhwanul


Muslimun
Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924, pasca perang dunia pertama, hampir
semua negara Arab jatuh ke tangan penjajah Barat. Umat Islam pun mulai tercabik-cabik oleh
kekuatan imperialisme Barat. Dalam kondisi dunia Islam seperti itulah, seorang pemuda bernama
Hasan bersama beberapa orang sahabatnya mendirikan cikal bakal gerakan "Ikhwanul Muslimun"
Hasan Al-Banna lahir di Al-Mahmudiyah, sebuah kota kecil di Mesir, pada 14 Oktober 1906. Ayah
beliau, Ahmad Abdurahman As-Sa’ati, bekerja sebagai tukang arloji tetapi juga merupakan ulama
terkenal karena karya besarnya Fathur Rabbani dan Bulughul Amani. Ini kitab besar yang memberi
penjelasan tentang musnad Imam Ahmad yang mencakup ribuan hadits.
Hasan kecil mendapat pendidikan awal melalui kedua orangtuanya. Ruh Alquran telah tertanam dalam
jiwanya sejak kecil. Sehingga keberanian untuk menyampaikan sesuatu yang hak dan mencegah hal
yang munkar telah tumbuh semenjak remajanya. Di usianya yang masih remaja, Hasan telah
menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin dan berorganisasi. Bersama beberapa kawan
sekolahnya, ia mendirikan perkumpulan "Akhlaq Adabiyyah" yang tujuannya bagaimana menjaga
akhlak dan adab yang baik. Aktivitas mereka, yaitu saling menasihati di antara sesama anggota untuk
berakhlak mulia, di samping menghimpun dana bagi kaum fakir miskin.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Pemuda Hasan melanjutkan sekolahnya di
Perguruan Darul Ulum Kairo selama empat tahun. Sesudah lulus, ia ditugaskan mengajar sekolah
dasar di Ismailiyyah. Di kota kecil inilah Hasan membangun gerakan dakwah IM. Gerakan Ikhwan
memulai kiprahnya, semenjak Maret 1928. Tujuan gerakan IM, sebagaimana dikemukakan Hasan Al-
Banna adalah menyampaikan risalah Islam secara benar dan jelas kepada seluruh manusia pada
umumnya dan kaum muslim khususnya. Al-Ikhwan berupaya menyatukan hati umat muslim dengan
landasan yang satu, yaitu Islam. Selain itu, mereka ingin membebaskan negeri-negeri muslimin dari
kungkungan kaum penjajah. Mereka juga berupaya sekuat tenaga menegakkan negara yang
merealisasikan hukum-hukum Islam di tengah rakyatnya, serta mampu menyampaikan misi dan
risalah Islam ke luar negeri.
Pada awalnya, gerakan dakwah Al-Banna dan Ikhwannya sama seperti gerakan lainnya, yakni lebih
terfokus pada pembinaan masyarakat untuk kembali kepada Islam melalui mimbar mesjid dan sarana
dakwah lainnya. Tapi gerakan Ikhwan mempunyai keunikan tersendiri. Dakwah yang mereka lakukan
tidak hanya kokoh di mesjid-mesjid, tetapi melebar ke tempat-tempat umum, seperti sekolah-sekolah,
pasar-pasar, pabrik-pabrik, kantor-kantor bahkan di warung kopi (maqha) tempat berkumpulnya
orang-orang untuk melepas kepenatan.
Nama Al-Banna yang melekat pada Hasan adalah pemberian sahabat-sahabatnya disebabkan
keutamaan pribadi beliau sebagai muassis dan pembangun jamaah dakwah. Nama gerakan Al-
Ikhwanul Muslimun lahir begitu saja. Ketika Imam Hasan Al-Banna ditanya oleh para sahabatnya
tentang nama gerakannya, beliau menjawab “Kita semua adalah Umat Islam dan Umat Islam itu pada
hakikatnya bersaudara, jadi kita adalah “Al-Ikhwanul Muslimun (Persaudaraan Islam)”.
Sejak saat itu, pengikut Hasan Al-Banna menamakan Al-Ikhwanul Muslimun bagi organisasi mereka.
Mereka tidak membangga-banggakan nama kelompoknya ini karena tujuan mereka adalah mengajak
kepada Islam. Imam Hasan Al-Banna sendiri pernah berkata, “Kam minna wa laisa fiina wa kam fiina

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 15


wa laisa minna” (Berapa banyak orang dari kita tetapi tidak bersama kita dan berapa banyak orang
yang bersama kita, tetapi belum termasuk golongan kita). Hasan Al-Banna sendiri sangat
mengutamakan kesatuan Umat. Beliau selalu berpesan pada pengikutnya agar berpegang pada prinsip,
“Nata’awan fimaa ittaqnaa, wanataa’dzar fimaa ikhtalafnaa” (Kita bekerja sama pada hal yang kita
sepakati dan bertoleransi terhadap hal-hal yang kita berbeda).

Hasan Al-Banna dan Kharismanya


Bagi para ikhwah, Hasan Al-Banna menjadi inspirator utama jamaah. Semua anggota IM
memperhatikan dan menaati wejangan dan pengarahan beliau. Pengajian Hari Selasa yang secara rutin
beliau berikan diikuti puluhan ribu orang. Demikian juga khutbah-khutbah yang beliau sampaikan di
berbagai kesempatan selalu dikenang oleh segenap pengikutnya. Sebagai contoh, DR. Abbas As-Sisi
yang semasa remajanya berkali-kali mengikuti khutbah Imam Hasan Al-Banna sampai masa tuanya
(usia 90 tahun) selalu membayangkan saat-saat indah tatkala ruh ukhuwwah yang mengalir dari jiwa
Hasan Al-Banna mengalir ke hati para hadirin bagaikan arus listrik yang menerangi hati mereka.
Seorang muridnya yang lain mengatakan, “Aku datang ke pengajian Imam Hasan Al-Banna dengan
membawa masalah-masalah keluarga. Aku tidak menyampaikan masalah itu kepada syekh tetapi isi
pengajian itu langsung memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan hidupku”. Perasaan seperti
ini dirasakan banyak orang.
Demikian hebat kharisma yang dimiliki Imam Hasan Al-Banna. Sistem dan cara beliau membina
generasi penerusnya amat menakjubkan. Pernah ada dua orang anggota Ikhwan saling ngotot masalah
harga, yang satu adalah pembeli dan yang lain penjual, keduanya anggota Ikhwan. Si pembeli ngotot
ingin membayar di atas harga bandrol, karena ia berpikir bahwa si penjual adalah saudara
seperjuangan. Sementara si penjual ngotot ingin menjual di bawah harga bandrol. Keduanya tetap
bertahan pada pendirian masing-masing, dan tidak ada yang mau mengalah. Syukurlah, secara
kebetulan Imam Al-Banna lewat di tempat mereka. Beliau lalu mendamaikan. Sikap solidaritas
anggotanya yang begitu menakjubkan itu rasanya sulit ditemukan di abad yang serba materialistis
seperti sekarang ini.
Ketika Imam Al-Banna memutuskan untuk mendirikan "Darul Ikhwan", banyak kisah yang unik.
Sepasang suami istri berselisih hanya karena si suami ingin menyumbang satu Jeneh (Pound Mesir),
sementara si istri memaksa untuk menyumbang tiga Jeneh. Akhirnya, Imam Al-Banna memutuskan
agar mereka menyumbang dua Jeneh. Bahkan seorang anggotanya rela menjual satu-satunya harta
yang dimilikinya hanya demi terwujudnya "Darul Ikhwan". Adalagi seorang istri rela melepas
gelangnya demi perjuangan.
Figur Hasan Al-Banna sangat fenomenal. Bayangkan, beliau hafal satu persatu nama anggota Al-
Ikhwan yang jumlahnya puluhan ribu orang. Bila ada rapat besar, beliau biasa memanggil nama
sahabatnya satu persatu tanpa keliru sedikit pun. Kemampuan ini ada pada Hasan Al-Banna karena
kecintaannya kepada sesama muslim khususnya para pengikut beliau, rasa ukhuwwah (persaudaraan),
dan tanggung jawabnya sebagai mursyid (pemimpin). Karena itu pula tidak seorang pun dari
pengikutnya yang ragu memanggil beliau dengan sebutan “Imam” (Pemimpin). Mereka teramat
mencintai pemimpin yang selalu menjadi teladan dan melayani ini. Hasan Al-Banna adalah pemimpin
abad 20 yang mencerminkan kebenaran firman Allah,
‫صَب ُروا َو َكانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُو َن‬ ِ ِ
َ ‫َو َج َعْلنَا مْن ُه ْم أَئ َّمةً يَ ْه ُدو َن بِأ َْم ِرنَا لَ َّما‬
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menunjuki manusia dengan perintah Kami
ketika mereka bersabar dan mereka merupakan orang-orang yang yakin terhadap ayat-ayat Kami.”
(As-Sajdah: 24)
Dalam kehidupannya, Hasan Al-Banna bukan hanya mengandalkan kekuatan kata-kata tetapi menjalin
erat setiap hati dengan kekuatan iman dan persaudaraan. Lebih dari itu, jiwa kepemimpinan beliau
bagaikan energi yang tidak ada habisnya mendorong para ikhwah menyebarluaskan dakwah ke seluruh
penjuru Mesir dan negara lainnya. Bahkan meskipun beliau sudah tiada, tulisan-tulisan Imam Hasan
Al-Banna yang dibundel dalam kitab Majmu’atur Rasail serta ceramah-ceramah beliau yang
dirangkum dalam kitab Haditsuts Tsulasa sampai sekarang masih dibaca para Ikhwah di seluruh Dunia

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 16


dan dijadikan rujukan gerakan Dakwah mereka. Setiap ceramah beliau ditulis ulang dan diterbitkan
untuk menjadi bekal dakwah mereka.
Kegiatan gerakan IM ini mencakup semua sisi: akidah, syariah, dan gaya hidup islami, setelah
sebelumnya hal-hal itu dianggap hilang. Gerakan ini pun mencoba untuk ambil bagian dalam kegiatan
sosial, pendidikan, dan perekonomian, sehingga membuat para pengikutnya memiliki pengaruh kuat di
masyarakat. Pada Tahun 1933, Ikhwan mendirikan pabrik tenun dan pabrik permadani, di samping
mendirikan sebuah lembaga keuangan yang berlandaskan Islam. Sementara dalam dunia pendidikan,
Ikhwan mendirikan beberapa lembaga pendidikan.
Usaha yang dikelola Ikhwan saat itu merupakan perusahaan-perusahaan besar berskala nasional.
Bahkan dalam dunia pers, Ikhwan mulai menerbitkan surat kabar hariannya semenjak 5 Maret 1946.
Saat itu harian ini tersebar di seluruh Mesir dan negara-negara Arab lainnya. Sayangnya, pada 4
Desember 1948 harian tersebut dibredel oleh pemerintah Mesir. Beberapa majalah resmi yang dikelola
Ikhwan pun mengalami nasib yang sama. Satu-satunya majalah Ikhwan yang terbit sampai saat ini
adalah majalah bulanan Ad-Dakwah yang diterbitkan dari London.
Politik belum mewarnai gerakan Ikhwan di awal 1930-an. Semboyan yang dikumandangkan oleh
Imam Hasan Al-Banna adalah "kami menginginkan individu muslim, keluarga muslim dan
masyarakat muslim". Tapi kemudian Al-Banna mengembangkan arti dan pemahaman masyarakat
muslim, yaitu mencakup berdirinya negara Islam dan penerapan hukum Islam. Maka, di pertengahan
1930-an, Hasan Al-Banna dan gerakan Ikhwan mulai memasuki dunia politik. Dimulai dengan surat-
surat politik Al-Banna kepada Raja Farouk, lalu Perdana Menteri Mesir Musthafa Nuhhas, juga para
pemimpin dunia Arab, untuk menjadikan Islam sebagai pedoman hidup muslim dalam segala bidang.
Pembebasan negara Islam dari kungkungan kekuasaan imperialis Barat juga merupakan terminologi
yang dikumandangkan gerakan Ikhwan saat itu.
Pada awal Tahun 1940-an, Imam Al-Banna mencalonkan diri sebagai anggota parlemen untuk
daerahnya. Tapi ketakutan pemerintah memaksa Al-Banna untuk mengundurkan diri dengan ancaman
IM akan dibubarkan jika ia tidak mengundurkan diri dari pemilu. Tahun 1948 Imam Syahid mengirim
pasukan Ikhwan berjumlah 12 ribu orang ke Palestina untuk berperang melawan Yahudi. Pasukan
Yahudi yang dibantu Inggris kalang kabut menghadapi kekuatan pemuda Ikhwan yang memiliki ruhul
jihad tinggi dan mencintai syahid di jalan Allah,.
Maka, tak mengherankan jika pihak Zionis senantiasa merasa terancam oleh gerakan yang diilhami
oleh pemikiran Hasan Al-Banna. Pada perang Arab-Israel, IM mampu mengerahkan pasukannya dari
segala penjuru negeri-negeri Arab untuk berperang melawan Yahudi. Tercatat, pasukan sukarelawan
Ikhwan dari Mesir dipimpin Abdurrahman, saudara lelaki Al-Banna. Dari Suriah dipimpin oleh Dr.
Musthafa As-Siba’i, dari Yordania dipimpin Abdurrahman Khalifah dan dari Irak dipimpin
Muhammad Mahmud Shawwaf.
Moshe Dayyan, dalam memoarnya, mengakui keuletan dan kegigihan para pejuang Ikhwan, sehingga
daerah-daerah yang diduduki sukarelawan Ikhwan tak dapat direbut oleh Yahudi. Sayang, ketika
mereka pulang, para pejuang itu tak disambut dengan kegembiraan. Sebaliknya, pintu penjaralah yang
menanti kepulangan mereka.
Hasan Al-Banna telah menjadikan Islam bukan semata teori dan pemikiran tetapi sebuah realitas
organisasi yang tangguh dan kuat. Kalau disimpulkan, gerakan IM mencakup,
Menghidupkan kembali konsep "keuniversalan dan keintegralan Islam yang tercermin dalam semua
aspek aktivitas kehidupan".
Menciptakan generasi muslim yang memiliki keseimbangan antara akidah, pemikiran, spiritual, ritual,
dan kiprah.
Meyakinkan akan pentingnya makna ukhuwah Islamiyyah, yang bukan sekadar teori -melainkan harus
diamalkan. Juga harus menghindari masalah yang akan mengarah pada perpecahan, dengan senantiasa
konsisten pada etika perbedaan pendapat.
Seruan dakwah harus menyentuh semua lapisan masyarakat, dari mulai tingkat yang terpelajar sampai
lapisan terbawah.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 17


Mencoba mengingatkan akan bahaya gerakan Zionisme Yahudi yang didukung oleh Barat serta
mengingatkan bahwa masalah Palestina merupakan agenda umat Islam yang harus diselesaikan.

Syahidnya Hasan Al-Banna dan Pemberangusan


Jamaah
Karena kesal dengan kemajuan dakwah Islam dan langkah politis IM, Raja Farouk (Penguasa Mesir)
berkonspirasi dengan Yahudi dan militer berusaha melenyapkan Imam Hasan Al-Banna. Tanggal 12
Februari 1949, para agen Raja Farouk berhasil menyelesaikan tugas mereka: menghabisi pendiri
gerakan Ikhwanul Muslimun, Hasan Al-Banna.
Sabtu petang itu, sekitar pukul delapan lebih dua puluh menit, Hasan Al-Banna baru saja keluar dari
markas "Syubbanul Muslimin" yang terletak di Jalan Malikah Nazili (sekarang Jalan Ramses), jantung
Kairo. Beliau didampingi sahabat sekaligus menantunya, Ustad Abdul Karim Mansur, yang juga
seorang pengacara. Abdul Karim Manshur mengungkap kembali detik-detik terakhir kehidupan Imam
Hasan Al-Banna. "Kami berdua keluar menuju Jalan Ramses. Di sana taksi sudah menunggu.
Kemudian Imam Hasan Al-Banna masuk ke dalam taksi dan duduk di kursi belakang. Setelah itu saya
menyusul masuk. Di dalam taksi kami saling tukar tempat duduk, sehingga beliau duduk di sebelah
kanan saya," ujarnya.
Belum lagi taksi tersebut berjalan, tiba-tiba dua orang tak dikenal menghadang taksi yang
mereka tumpangi. "Salah seorang dari keduanya berusaha membuka pintu yang ada di sebelah saya.
Tapi saya berusaha untuk menahannya. Tiba-tiba orang itu mengarahkan pistol ke arahku dan
memuntahkan pelurunya. Satu peluru mengenai dadaku, peluru selanjutnya mengenai tangan kananku
yang berusaha untuk meraih pistolnya. Sedangkan peluru ketiga mengenai kakiku, sehingga aku tak
mampu bergerak. Hal tersebut berlangsung dengan cepat," katanya.
"Setelah melihat aku tak berdaya, ia menuju ke arah Imam Hasan Al-Banna, dan berusaha
membuka pintu taksi. Tapi tidak berhasil. Kemudian ia memuntahkan peluru pistolnya ke arah Hasan
Al-Banna. Pintu pun akhirnya terbuka. Sambil mundur, ia menembaki Hasan Al-Banna. Tujuh peluru
bersarang di tubuh Al-Banna, tapi beliau masih mampu berdiri dan lari mengejar para penembak
tersebut sekitar seratus meter. Rupanya sebuah mobil telah menunggu mereka, dan akhirnya mereka
kabur menggunakan mobil tersebut," tutur Abdul Karim Manshur.
Tak lama berselang, Hasan Al-Banna pun menemui panggilan Ilahi di rumah sakit karena kehabisan
darah. Dokter jaga pada malam itu dilarang merawat Al-Banna oleh utusan khusus Raja Farouk demi
meyakinkan bahwa Al-Banna memang telah benar-benar tak bernyawa lagi.
Sejak peristiwa keji itu seluruh dunia Islam berduka. Para ulama Mujahid sepakat memberi tambahan
gelar baru bagi Hasan Al-Banna dengan sebutan “Al-Imam As-Syahid”. Semoga arwah beliau
senantiasa dirahmati Allah Taala dan cita-cita perjuangan beliau akan menjadi kenyataan. Sementara
itu, semua kekayaan Ikhwan disita oleh pemerintah Mesir. Para pimpinan Ikhwan ditangkapi dan
dijebloskan ke dalam penjara oleh PM Jamal Abdun Naser dan sejak itu IM dinyatakan sebagai
organisasi terlarang.
Pada tahun 1951, pemerintah Mesir kembali memberi kesempatan kepada Ikhwan untuk berdiri
kembali serta mengembalikan kekayaan Ikhwan yang disita. Mulai tahun itulah, Ikhwan kembali
merekonstruksi organisasinya di bawah pimpinan Hasan Hudhaibi, seorang pengacara terkenal Mesir
saat itu. Ketika terjadi Revolusi Mesir, 23 Juli 1953, dalam upaya meruntuhkan rezim Farouk, Ikhwan
turut ambil bagian. Bahkan pemimpin revolusi Mesir, Jenderal Muhammad Najib, sempat
menyampaikan sambutannya berkenaan dengan peringatan kematian Al-Banna dan disiarkan langsung
melalui radio. Pemerintahan pasca revolusi pun sempat menawarkan kepada Ikhwan untuk bekerja
sama dalam membentuk pemerintahan. Tapi Ikhwan menolak selama Islam tidak dijadikan sebagai
landasan hukum. Penolakan tersebut merupakan awal retaknya hubungan Ikhwan dengan rezim baru.
Kesepakatan Suez yang ditandatangani pemerintah Mesir dan Inggris semakin mendorong Ikhwan
menjadi oposisi pemerintah. Pada 1954, Ikhwan kembali diberangus. Bahkan beberapa pemimpin
Ikhwan dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan. Salah seorang di antaranya adalah Dr. Abdul Qadir
Audah, seorang pakar hukum Mesir. Sementara Hasan Hudhaibi, Mursyid Ikhwan dijatuhi hukuman

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 18


seumur hidup. Penjara sipil dan militer Mesir kembali dipenuhi para pejuang Ikhwan untuk kedua
kalinya, setelah peristiwa pemberangusan pertama pada 1948 di zaman rezim Farouk.
Kalau peristiwa pemberangusan sebelumnya diprakarsai oleh Barat, maka pemberangusan anggota
Ikhwan 1965-1966 boleh dikatakan atas prakarsa Rusia. Sebab rezim yang dipimpin Naser saat itu
mendapat dukungan penuh Soviet. Korban pemberangusan gerakan Ikhwan kali ini adalah Sayyid
Qutb, penulis karya monumental Tafsir Fi Zhilalil Quran, yang sampai sekarang sudah dicetak ulang
sampai edisi ketiga puluh.
Pada masa Anwar Sadat, tahanan Ikhwan mulai dibebaskan dan mereka diperkenankan untuk bergerak
atas nama pribadi. Bukan atas nama gerakan. Tapi gerakan Ikhwan menolak hal tersebut dan ingin
tetap berdiri di bawah pimpinan Hasan Hudhaibi. Mereka juga terus mengajukan agar keputusan MPR
tahun 1954 mengenai pelarangan gerakan Ikhwan dicabut, sampai wafatnya Hudhaibi.
Barulah pada 21 Januari 1983 permohonan Ikhwan terkabul. Saat itu pemimpin Ikhwan dijabat oleh
Umar Tilmitsani sampai beliau wafat pada 1986. Tampuk pimpinan Ikhwan beralih kepada
Muhammad Hamid Abu Nashir, sampai beliau wafat pada 1997. Dan sekarang kepemimpinan Ikhwan
dipegang oleh Ustadz Musthafa Masyhur, salah seorang murid Hasan Al-Banna generasi pertama.
Walau usia Al-Banna sangat pendek (43 tahun), keberadaannya telah membawa berkah bagi umat.
Beliau telah menanamkan bibit kebangkitan umat di abad XX ini. pemikirannya bukan semakin pudar
dengan terbunuhnya beliau, melainkan justru tumbuh subur. Dengan syahidnya Imam Hasan Al-Banna
Kaderisasi Dakwah tidak lantas mati malah membuat anggota Ikhwan semakin kuat dan menyebar di
seluruh dunia.
Sistem pembinaan Al-Banna telah diwariskan kepada para pengikutnya. Keluarga Qutb adalah contoh
keluarga yang dibina Ikhwan setelah syahidnya Hasan Al-Banna. Sayyid Qutb masuk ke dalam
jamaah ini justru setelah Hasan Al-Banna menemui syahidnya. Ketika peristiwa pembunuhan keji itu
terjadi Sayyid sedang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di AS. Sayyid tertarik dengan pribadi
Hasan Al-Banna karena melihat orang-orang Amerika, para dokter dan perawat begitu senangnya
mendengar wafatnya Hasan Al-Banna. Bagi Sayyid Qutb, pribadi yang kewafatannya (kesyahidannya)
membuat orang-orang kafir menjadi senang tentulah pribadi mukmin sejati yang layak untuk diikuti.
Sepulangnya dari Amerika Sayyid segera bergabung dengan IM. Beliau dan keluarganya terus
ditarbiyah oleh para sahabat Imam Syahid. Sayyid Qutb berdakwah melalui lisan dan tulisan..
Selanjutnya, dalam kiprah dakwah, semua anggota keluarga Sayyid Qutb pernah ditangkap tetapi
mereka tetap istiqamah. Sayyid Qutub bahkan sampai dihukum mati, sementara dua saudara
perempuannya, Aminah dan Hamidah Qutub, harus mendekam di dalam penjara. Hamidah Qutub
ditangkap pada saat pesta pernikahannya. Bukan karena tindak kriminal yang dilakukannya,
melainkankan karena membela satu prinsip yang memang tak bisa ditawar-tawar: prinsip akidah.
Hamidah baru dapat bertemu kembali dengan suaminya, Kamal As-Sananiry, setelah 20 tahun berlalu
dari hari pernikahannya. Sebab si suami ini pun dijebloskan ke dalam penjara.
Kisah-kisah demikian bukan membuat orang semakin jauh dari IM. Melainkan justru semakin
mendekat dan tertarik untuk lebih tahu apa rahasia serta konsep pembinaan Ikhwan, sehingga dapat
menghasilkan generasi semacam itu. Generasi yang saling mencintai, saling mementingkan
kepentingan saudaranya. Generasi yang memiliki pendirian yang tidak bisa dibeli dengan apa pun.
Generasi yang lebih mementingkan umat ketimbang kemaslahatan dirinya sendiri.

Pengaruh Jamaah IM pada Pergerakan Islam


lainnya
Gerakan IM mampu menyedot banyak pengikut karena prinsip universal yang dianutnya. Mereka juga
mampu memenuhi keinginan para pengikutnya akan peningkatan keimanan, keluasan wawasan,
kenikmatan berukhuwah, berjamaah dan berdakwah di jalan Allah. Maka, tidaklah mengherankan jika
pengikut gerakan Ikhwan terdiri atas kaum terpelajar sampai masyarakat berpendidikan rendah yang
kesemuanya bersatu padu dalam ikatan jihad fi sabilillah.
Perlu diingat bahwa gerakan ini bukan sekadar gerakan sosial kemasyarakatan belaka. Jamaah Ikhwan
berkembang menjadi gerakan politik. Bahkan mereka mampu memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 19
Islam lain yang tumbuh di luar Mesir. Di luar Mesir, IM diperkirakan tersebar sekitar 2.000 cabang
lebih di 70 negara Islam. Jumlah itu sebanding dengan jumlah yayasan-yayasan kebaikan yang mereka
miliki. Bahkan kelompok pejuang yang paling ditakuti oleh Yahudi saat perang Palestina-Yahudi
adalah milisi bersenjata yang dibina oleh Ikhwan. Hammas merupakan sayap dari gerakan Ikwanul
Muslimun Palestina.
Konspirasi Yahudi, Barat, dan pemerintah Mesir kecele besar. Mereka menyangka dengan dihabisinya
Hasan Al-Banna dan diberangusnya gerakan tersebut di Mesir, akan punahlah pengaruhnya. Nyatanya,
setelah kematian Al-Banna, gerakan Ikhwan bukannya kendur, malah semakin pesat
perkembangannya di luar Mesir. Gerakan tersebut tumbuh subur di Suriah, Palestina, Yordania, dan
Sudan. Bahkan gerakan mereka turut memberi andil besar bagi tumbangnya kekuasaan Yahya
Hamiduddin di Yaman pada 1948. Mereka juga mengilhami gerakan "An-Nahdhah" di Tunis yang
dipimpin Rasyid Ghannusi. Juga gerakan Islam yang ada di Aljazair. Pada 1982, Ikhwan Mesir
menyempurnakan sistem keorganisasiannya dalam skala internasional, dengan menjalin kerja sama
dengan semua gerakan Ikhwan yang ada di luar Mesir
Jihad Afghanistan melawan Soviet, sampai jatuhnya Kabul, tak lepas dari andil gerakan Ikhwan. IM
mengirim perwakilan resminya, Ustad Kamal As-Sananiry untuk mengikuti perjuangan jihad itu dari
dekat. Cikal bakal gerakan Jihad Afghanistan diprakarsai oleh para dosen Universitas Kabul yang
sempat menuntut ilmu di Mesir seperti Abdur Rabbi Rasul Sayyaf. Mereka berkenalan dengan para
murabbi Ikhwan dan mendapatkan tarbiyah yang membentuk mereka menjadi mujahid dakwah.
Kabarnya, Partai Masyumi merupakan gerakan Islam Indonesia yang punya hubungan baik dengan
IM. Beberapa tokoh Islam Indonesia sempat berjumpa dan berbincang dengan Al-Banna. Bahkan
gerakan IM mendorong pemerintahan Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Jadilah Mesir
sebagai negara asing pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Dr. Said Ramadhan, salah
seorang menantu Al-Banna, dalam salah satu wawancaranya dengan majalah Ad-Dakwah,
menjelaskan hubungan beliau dengan tokoh Islam Indonesia, M. Natsir. Mereka sempat berjumpa
dalam muktamar pertama tentang Mesjidil Aqsa pada 1950.
Gerakan IM dalam bentuk struktural baru menjejakkan kakinya di Indonesia pada 1983 setelah
beberapa pelajar Islam dari Arab Saudi kembali ke Indonesia. Para pendiri gerakan ini belajar kepada
Syekh Ali Al-Juraisyah salah seorang tokoh penting IM dan salah satu murid Imam Syahid Hasan Al-
Banna. Gerakan IM di Indonesia telah menyebar ke seluruh propinsi dan memberikan gairah baru
dalam dakwah di Nusantara. Peranannya dalam Reformasi di Indonesia sangat besar melalui aktifitas
dakwah kampus yang menjadi pelopor perubahan di negeri ini. Pada tahun 1998 gerakan IM di
Indonesia resmi memunculkan diri dalam bentuk sebuah Partai terbuka yang menyebut diri mereka
sebagai “Partai Dakwah”.
Dalam perjalanannya yang sudah melampaui 70 tahun itu, gerakan Ikhwanul Muslimun tampaknya
masih belum berhasil merealisasikan apa yang mereka cita-citakan, yaitu berdirinya kembali khilafah
Islamiyyah. Apakah Ikhwan telah gagal? Ustadz Said Hawwa, salah seorang tokoh Ikhwan Suriah
generasi kedua menjawab, "Keberhasilan Ikhwan sampai saat ini baru sampai taraf penyebaran fikrah
(pemikiran) dan membangkitkan kesadaran umat. Hal itu dapat terlihat dari tersebarnya karya tokoh-
tokoh Ikhwan ke seluruh penjuru dunia."
Walahu a’lam

Adabut Taamul Fil Jamaah


Kode : 3 D 1 8 3

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta diharapkan mampu:

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 20


Memahami status sosial manusia dalam masyarakat.
Memahami etika berinteraksi dalam jamaah.
Memahami etika berinteraksi dalam masyarakat.

Titik Tekan Materi


Manusia adalah makhluk sosial, dia tidak dapat hidup seorang diri atau mengasingkan diri dari hidup
bermasyarakat. Oleh sebab itu manusia selalu memerlukan orang lain untuk banyak tujuan, salah
satunya adalah untuk saling memberi nasihat dan berwasiat tentang kebaikan. Oleh karena itu manusia
harus mengenal adab dalam berinteraksi dengan berbagai hal yang berhubungan dengan dirinya, yaitu
dengan dakwah, pemimpin, murabbi, muayyid, saudaranya dan dengan mukmin lainnya.
Hal yang perlu mendapat perhatian sehubungan dengan adab taamul ini adalah kegiatan sosial
masyarakat tentang silaturahmi, memuliakan tamu, menghormati tetangga, saling menziarahi,
memberikan ucapan selamat, saling memberi hadiah, peduli dengan aktivitas sosial di sekitarnya,
memberi bantuan sosial.

Pokok-pokok Materi
Manusia sebagi makhluk sosial.
Adab taamul dengan dakwah, pemimpin, tokoh masyarakat, tetangga, murabbi, muayyid, saudaranya
dan dengan non-muslim.
Aktivitas sosial, silaturahmi, memuliakan tamu, menghormati tetangga, saling menziarahi, memberi
ucapan selamat, saling memberi hadiah, peduli dengan aktivitas sosial di sekitarnya, memberi bantuan
sosial.

Adaabut Ta’aamul Fil Jama’aah


(Adab Berinteraksi Dalam Jamaah)
“Sesungguhnya jika engkau tidak bersama mereka, maka engkau tidak akan bersama orang-orang
selain mereka. Sementara jika mereka tidak bersamamu, mereka tetap eksis bersama yang lain.”
Kata-kata salafus shaleh di atas menyadarkan kita tentang kebutuhan kita akan jamaah dan untuk
senantiasa berada dalam ruang lingkupnya, karena bila kita tidak lagi bersama mereka, tidak mungkin
kita bergaul dengan orang-orang yang standarnya di bawah mereka. Sementara jamaah dan mereka
yang ada di dalamnya akan terus eksis dan berjalan dengan atau tanpa kita. Gamblangnya, masuk dan
keluarnya kita dari jamaah tidak akan berpengaruh banyak apalagi sampai mengguncangkan jamaah.
Dengan kata lain bila kita keluar dari jamaah, kitalah yang merugi. Sementara bagi jamaah boleh
dibilang hampir tidak ada kerugian, karena begitu banyak yang siap menggantikan kita.
Karena itu keberadaan kita di dalam jamaah adalah anugerah Allah yang harus disyukuri dan
dipelihara. Salah satu upaya menjaga karunia kesertaan kita dalam jamaah adalah dengan senantiasa
berinteraksi secara intensif dengan dakwah itu sendiri dan semua elemen-elemen dakwah atau elemen
jamaah.
Yang terpenting tentu saja adalah dengan dakwah atau jamaah itu sendiri, kemudian dengan mas’ul
atau naqib. Berikutnya dengan sesama ikhwah atau a’dha jamaah. Lalu dengan para muayyid dan
akhirnya dengan sang murabbi yang menghantarkan kita ke dalam jamaah.

A. Ma’ad Dakwah (Interaksi dengan dakwah)


1. At-takhally ‘an shillati bi ayyi haiatin aw jamaa’atin. Melepaskan diri dari segala keterikatan
dengan lembaga-lembaga atau jamaah- jamaah lainnya (terutama apabila diminta oleh jamaah untuk
melakukan itu). Salah satu arkanul ba’iah dalam jamaah kita adalah tajarrud yang penjabarannya
adalah kita memberikan loyalitas, keterikatan dan ketaatan kita secara total kepada jamaah. Kalaupun
kita memiliki kritik-kritik yang konstruktif terhadap jamaah bukan karena kita tidak tsiqah atau
bahkan melirik jamaah lain. Sehingga bila jamaah menilai kita harus memutuskan ikatan dengan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 21
yayasan atau jamaah tertentu, karena dinilai membahayakan, seyogianyalah kita menerima dan
menaati. Kecuali bila jamaah menugaskan di lembaga atau jamaah tertentu untuk tujuan tertentu (On
mission).
2. Ihyaa’ul aadaatil Islamiyah (Menghidupkan kebiasaan-kebiasan Islam). Tujuannya adalah agar kita
tetap terpelihara di dalam ruang lingkup jamaah dengan hidayah yang diberikan Allah. Di antara usaha
untuk terus meningkatkan kualitas keislaman dan keimanan adalah dengan selalu menghidupkan
kebiasaan-kebiasaan Islami seperti menyebarkan salam, membaca doa-doa harian, mendahulukan
anggota tubuh yang kanan dan lain-lain. Karena hanya dengan berupaya meningkatkan kualitas diri
sajalah kita akan tetap terjaga, kebersamaannya dengan jamaah, dengan homogenitas kebaikan yang
dimilikinya.
3. Ta’arruf alal ikhwati dua’ti ma’rifat taamati wayaal’aksa. Berkenalan dengan para du’at dengan
pengenalan yang sempurna dan sebaliknya mereka juga mengenal kita dengan sempurna. Selain untuk
menunaikan hak-hak dan kewajiban ukhuwah, perkenalan yang intensif dan sempurna dengan para
duat akan membuat kita dapat saling berkaca dan memacu diri. Apalagi dengan para ikhwah yang
lebih dulu memasuki jamaah dibanding kita. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, “Al-mu’minu
mir’ah li akhihi” (mu’min cermin bagi saudaranya).
4. Adaaul waajibaatil maaliyyah (zakat, infak dsb) Menunaikan kewajiban-kewajiban maaliyah seperti
zakat, infaq, ta’awun dll). Tak pelak lagi masalah ekonomi, maisyah atau maaliyah adalah hal yang
penting yang harus diperhatikan oleh a’dha jamaah. Untuk menunaikan kewajiban maaliyah di dalam
Islam dan jamaah seperti zakat, ta’awun, infaq dan lainnya tentu saja harus diwujudkan dulu
karateristik qaadirun alal kasbi di dalam diri a’dha tersebut.
5. Nasyrud dakwah fi kulli makaan wa ahli alaa dzaalik. Menyebarkan dakwah di setiap tempat dan
membentuk keluarga-keluarga dakwah. Pembentukan pribadi muslim di dalam jamaah dimaksudkan
tidak saja membuat seorang muslim menjadi saleh tetapi juga harus muslih. Jadi tidak hanya sekadar
mengupayakan nilai-nilai kebaikan melekat dalam dirinya, melainkan juga mengupayakan agar
keluarga dan masyarakatnya pun terwarnai oleh nilai-nilai kebaikan tersebut. Bahkan harus pula
menjadikan keluarga sebagai pendukung-pendukungnya yang utama dalam dakwah.
6. At-ta’arrufu alaal harakati Islamiyah. Mengenal harakah-harakah Islam. Keberadaan kita sebagai
a’dha di dalam jamaah ini tentu saja harus membuat kita semakin mengenal jamaah kita, sejarah, visi
dan misinya, tokoh-tokohnya dll., sebagai sebuah harakah Islam. Dan sebagai bahan pembanding kita
juga perlu mengenal harakah-harakah Islam lainnya.

B. Ma’an Naqib
Naqib atau qiyadah dalam dakwah memiliki hak seorang bapak dalam ikatan hati, hak seorang ustadz
dalam hal menambah dan mentransfer ilmu, hak seorang syekh dalam memberikan tarbiyah ruhiyah
dan akhirnya hak seorang komandan dalam menentukan atau memberikan kebijakan-kebijakan umum
di lapangan dakwah.
Dalam proses interaksi dengan naqibnya, seorang adha atau al akh dituntut supaya bisa berhubungan
dengan baik sebagai perwujudan keqiyadahan yang terdekat dengannya. Di antaranya ialah
memperhatikan hak-hak naqib seperti tersebut di atas. Selain itu juga berusaha memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
1. Tha’at. Seorang a’dha hendaknya senantiasa taat melaksanakan perintah-perintah dan arahan-
arahannya dalam kondisi senang atau susah serta sulit dan mudah.
2. Tsiqah. Seorang akh dikatakan tsiqah kepada naqibnya jika ia memiliki ketenangan dan
ketenteraman jiwa terhadap apa-apa yang datang dari sang naqib Ia tidak pernah ragu- ragu terhadap
arahan yang datang darinya.
3. Iltizam. Seorang adho harus berupaya menjaga, melanggengkan iltizam atau komitmennya kepada
naqib dan jamaah dengan jalan keterbukaan menginformasikan kondisi diri secara obyektif, sehingga
terjaga pula hubungan ruhiyah dan amaliyah dalam ruang lingkup berjamaah.
4. Memiliki sikap ihtiram (menghormati) naqib. Bukanlah suatu ciri feodalisme jika kita menghormati
atasan kita yang layak dihormati. Apalagi ia berfungsi sekaligus sebagai orang tua, guru, syekh dan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 22
qaid. Bukankah Islam mengajarkan kita menghormati orang yang lebih tua dari kita dan banyak
memberikan kebaikan untuk kita seperti orang tua, guru, syekh dan komandan.
5. Memberi nasihat, masukan, saran dan kritik secara halus dan sembunyi-sembunyi alias tidak di
depan orang lain. Memang tak bisa dipungkiri, naqib adalah juga manusia biasa yang punya
kekurangan dan kelemahan, namun bila kita ingin mengkritisi atau memberi masukan hendaknya
dengan memperhatikan adab agar martabat atau izzahnya sebagai naqib tidak terlecehkan di hadapan
orang lain.

C. Ma’al ikhwah
Terhadap sesama ikhwah atau a’dha jamaah kita pun dituntut untuk memiliki adab yang benar dalam
berinteraksi. Beberapa hal di bawah ini penting diwujudkan dalam interaksi dengan sesama ikhwah
agar suasana ukhuwah benar-benar tercipta di dalam jamaah kita.
1. Selalu husnuz zhan (bersangka baik) dan bahkan berusaha mencarikan alasan untuk membelanya
jika ada orang lain yang menghujat ikhwah kita.
2. Memperlihatkan mahabbah atau rasa cinta pada mereka dan berusaha menahan emosi atau
memaklumi kebodohan-kebodohan mereka.
3. Mendoakan mereka ketika kita berpisah atau sedang tidak bersama mereka. Dalam hadis disebutkan
doa seorang muslim untuk saudaranya ketika berpisah atau sedang tidak bersamanya mustajab. Di sisi
kepalanya ada malaikat yang setiap kali ia berdoa untuk saudaranya meminta kebaikan berkata
malaikat: Amin dan bagimu hal yang seperti itu pula..
4. Tanashur, tolong-menolong sesama ikhwah sebagai realisasi ukhuwah. “Tolonglah saudaramu yang
berbuat zhalim atau dizhalimi,” yakni engkau menghalanginya dari berbuat kezhaliman atau
membebaskannya dari keteraniayaan.
5. Mengakui dan menghargai bantuan mereka di waktu lapang dan sempit, serta merasakan dan
menyadari bahwa kekuatannya, tidak dapat bergerak dengan sendirinya tanpa andil dan bantuan
ikhwah lainnya seperti problem yang dialami dalam masalah maisyah, penyimpangan atau terkena
fitnah.
6. Tidak menyukai atau tidak rela jika saudaranya berada dalam bahaya dan bersegera berbuat untuk
mencegah atau menolak dan menyelamatkan saudaranya tersebut dari bahaya.
7. Memberikan tadhiyah (pengorbanan) terhadap sesama ikhwah. Hasan Basri, ”Tidak ada yang kekal
dalam kehidupan ini, kecuali tiga hal; Pertama saudaramu yang kau dapati berkelakuan baik. Kedua
apabila engkau menyimpang dari jalan kebenaran ia meluruskanmu dan mencegahmu dari keburukan.
Tidak ada seorang pun selainnya yang mengontrolmu. Ketiga shalat berjamaah menghindarkanmu dari
melupakannya dan meraih ganjarannya.”

D. Ma’al Mu’ayidin (Bersama Muayid)


Seorang a’dha jamaah adalah seorang murabbi bagi para muayidinnya. Ia menjadi pintu gerbang yang
akan menghantarkan muayidnya ke dalam jamaah. Agar bisa menjadi daya tarik dalam merekrut dan
menghantarkan muayidnya ke dalam jamaah, ia dituntut agar bisa berinteraksi dengan baik dan tepat
dengan mua’yidnya di antaranya ialah:
1. Menghargai dan menempatkan diri muayid secara seimbang atau proporsional. Mereka bukan
segala-galanya atau yang paling hebat dan penting sehingga seolah olah tidak akan ada yang dapat
menggantikan mereka. Tetapi tidak pula meremehkannya, merendahkannya atau menempatkannya
secara tidak proporsional di tempat yang tidak bernilai atau rendah dan tidak sesuai dengan mereka.
Sehingga terkesan tidak menghargai potensi dan bakat mereka.
2. Mendahulukan hal yang paling penting di atas hal yang paling penting atau menggunakan skala
prioritas. Dan yang pertama harus dilakukan adalah menumbuhkan akidah di hatinya.
3. Berhemat dalam menasihati muayyid sehingga bisa masuk dan meresap.
4. Meninggalkan cara-cara yang keras atau kasar walau dengan hujah yang benar.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 23


5. Menghindari jawaban langsung atau to the point dan sanggahan yang ketus atau mematahkan.
6. Menghindari penghancuran potensi dalam meng’ilaj atau mengatasi permasalahan ringan atau
dengan jalan membebani dengan beban berat yang tidak proporsional dan tidak mendidik.
7. Hati-hati terhadap pemborosan tenaga. Hendaknya kita memperhatikan tingkat kecerdasan dan ilmu
muayyid kita sehingga tidak perlu berpanjang-panjang dalam membahas hal yang sudah jelas.
8. Setiap perkataan memiliki tempatnya masing-masing dan setiap tempat memiliki jenis perkataan
yang cocok. Rasulullah saw. bersabda: “Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kemampuan akal
mereka.”
9. Mempelajari kondisi mereka dan mengenali permasalahan –permasalahan mereka misalnya ia
sebagai murabbi tidak langsung mencerca bila mad’u terlambat datang karena boleh jadi ada uzur
syar’i yang tidak bisa diatasinya. Kemudian tidak mendikte dalam pekerjaannya dan tidak
membebaninya dengan beban yang tidak sanggup ditanggungnya, karena pepatah mengatakan bahwa
Madinah tidak dibangun dalam waktu satu hari.
10. Jadilah teladan baginya dalam segala situasi.
11. Kontinyu mendakwahinya sampai tampak hasilnya.

E. Ma’al Murabbi
Seorang akh atau a’dha bisa masuk ke dalam jamaah adalah karena jasa murabbinya. Hal itu tidak
akan pernah terhilangkan dari catatan malaikat Raqib, sehingga seyogianyalah tidak terhapus dari
benak a’dha tersebut.
1. Menghormati mereka karena bagaimanapun Allah telah menjadikan mereka sebagai sebab
tergabungnya kita menjadi a’dha jamaah ini. Dengan kata lain merekalah yang telah menghantarkan
kita masuk ke dalam jamaah ini, walaupun kini kita telah menyamai atau bahkan mungkin melebihi
atau melampaui mereka dalam hal wazhifah tanzhimiyah misalnya.
2. Sesungguhnya mereka tetap gurumu dan bukan mantan guru atau sekadar orang yang pernah
menjadi gurumu.
3. Terus mengingat-ingat kebaikan mereka dan melupakan kelemahan-kelemahan mereka jika
memang ada.
Jika kesemua interaksi dengan keseluruhan elemen jamaah itu terjalin dengan baik, insya Allah akan
terpeliharalah kekokohan iltizam kita dengan jamaah itu sendiri.
Wallahu a’lam

ASY-SYAJA’AH
Kode: 3.A5.11 | Sarana: Mabit, Usrah

Tujuan Instruksional

Setelah mendapatkan materi ini, peserta mampu:


1. Memiliki sifat-sifat Asy-syaja’ah dalam kehidupannya sebagai da’i sehingga ia menjadi manusia
yang berdaya juang untuk selalu terdepan
2. Menyebutkan macam-macam syaja’ah yaitu: daya tahan besar, berterus terang dalam kebenaran,
menyimpan rahasia, mengakui kesalahan, obyektif terhadap diri sendiri, dan menahan nafsu saat
marah.
3. Merumuskan kiat-kiat memiliki sifat asy-syaja’ah
4. Merealisasikan sifat-sifat syaja’ah dalam dirinya dan istiqamah dengan sifat tersebut.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 24


Titik Tekan Materi

Banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi, tidak berani berterus terang terhadap diri sendiri,
tidak mau mengakui kesalahan, tidak obyektif terhadap diri sendiri dan tidak mampu menahan
nafsunya saat marah, ini semua adalah sifat tercela yang tidak layak ada pada seorang mukmin,
apalagi da’i. Oleh karena itu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh agar sifat ini menjadi akhlak
yang menghiasi kehidupan mukmin tadi.

Pokok-pokok Materi

1. Pengertian syaja’ah dan macam-macamnya


2. Diskusi tentang kiat-kiat memiliki sifat-sifat syaja’ah

Rincian Materi

MUKADIMAH
Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah,
selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan
yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang
nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa
turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang
memerintahkan untuk beristiqamah,
ْ ‫ك َواَل ت‬
ِ َ‫َط َغوْ ا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ َ ‫فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت‬
َ ‫َاب َم َع‬
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan."
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan
bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab,
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”.
Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di
dalam surat Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud
hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah Taala.
Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan
mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali
panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Firaun.
Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk
mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.
Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai lawan sifat asy-syaja’ah.
Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan Allah di dalam diri manusia sebagai mekanisme
pertahanan diri seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada di
bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Taala. Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat
gamblang pada kisah Nabi Musa a.s, Ibrahim a.s dan Muhammad saw.
Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan
keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan
benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 25
pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu
menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa
takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah
saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin
dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya juga terlihat
pada saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua
Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu Bakar begitu
mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau menenangkannya dengan berkata, “Jangan
takut, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan
pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat membuat
sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy yang mengejar yakin gua itu
tak mungkin dilalui oleh manusia.

Realita Dewasa Ini


Dunia dewasa ini dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi saw.
memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-
musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Ya, penyakit
wahn-lah yang menyebabkan di antara umat Islam pun banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak
lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kufar dan musyrikin.
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian tentara-tentara pejuang-pejuang
Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni
hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.
Sementara kini umat Islam terpenjara oleh dunia, begitu cinta dan tertambat pada kenikmatan dunia
sehingga begitu takut akan kematian yang dianggap sebagai pemutus kelezatan dan kenikmatan dunia.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan
sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan
sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan
berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah
menyelesaikan masalah.
Kemudian banyak pula orang yang tidak berani bersikap jujur atau berterus terang terhadap diri sendiri
termasuk menyadari kekurangan, kelemahan dan keterbatasan diri. Dan sebaliknya berani mengakui
kelebihan, kekuatan dan kemampuan orang lain.
Seorang pengecut biasanya juga tak akan mau mengakui kesalahan. Bersikap keras kepala, mau
menang sendiri dan menganggap diri tak pernah berbuat salah sebenarnya justru akan menguatkan
kepengecutan seseorang yang berlindung dibalik semua sikap tersebut.
Sikap pengecut lainnya adalah tidak mampu bersikap obyektif terhadap diri sendiri yakni berani
menerima kenyataan bahwa ada posisi negatif dan positif dalam dirinya.
Dan akhirnya sifat kepengecutan yang jelas adalah ketidakmampuan menahan nafsunya di saat marah.
Salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain
(QS. 3:134). Yang disebut orang kuat adalah orang yang mau menahan dan meredam amarahnya serta
tetap bisa mengendalikan dirinya di saat marah sekalipun.
Jika seseorang bertindak brutal dan mengeluarkan caci maki serta kata-kata kotor, ia justru masuk
kategori orang yang pengecut karena tak mampu mengendalikan diri dan menahan marah.

Macam-macam Syaja’ah

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 26


Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan
dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh
perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa perhitungan, namun
juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah (keberanian), yakni:
1. Memiliki daya tahan besar
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk
menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan
Allah.
2. Berterus terang dalam kebenaran
“Qulil haq walau kaana muuran” (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di
hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
3. Kemampuan menyimpan rahasia
Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama
dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan mengatur
strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang
bertanggung jawab.
4. Mengakui kesalahan
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari
kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”
Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf,
bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
5. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat,
mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under
estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak
memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang
yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
6. Menahan nafsu di saat marah
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah.
Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan
dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.

Contoh Figur-figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah


Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan pada diri
sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan kisah-kisah perjuangan
mereka.
Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming sedikit pun
ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan kata-katanya yang masyhur,
“Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah
menghentikan dakwahku ini”.
Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi saw., Ali bin Abu
Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan Rasulullah di tempat tidur untuk
mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun
marah serta memukuli Ali hingga babak belur.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 27


Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan sikap dan
keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi,
Umar malah berteriak lantang, “Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin anak istrinya menjadi yatim
dan janda, hadanglah Umar”.
Keberanian mempertahankan akidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir.
Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan perjuangan dengan darahnya
yang mulia.
Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin Zaid yang syahid
karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup. Mereka berani bertaruh nyawa
demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan syahidnya mereka berdua.
Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar (Bilal) dan
disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal lapisan dan strata
sosial.
Ada pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang diusir dan
tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam. Dan akhirnya wanita-wanita
perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah binti
Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah, putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah
berani dibandingkan laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.

Kiat-kiat Memiliki Sifat Syaja’ah


Dengan segala kesederhanaannya, prajurit muslim Rubyi menemui Panglima besar Persia, Rustum.
Pedangnya yang menyembul di pinggangnya menyaruk-nyaruk bentangan karpet mewah Persia yang
digelar. Seolah-olah ingin berkata, “Aku tak butuh dan tak silau oleh semua kemewahan ini”.
Rubyi bahkan berorasi dengan lantangnya, “Kami datang untuk membebaskan kalian dari kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Kami datang untuk membebaskan kalian dari kesempitan
dunia menuju keluasan dunia dan akhirat”.
Keberanian, yang ditunjukkan Rubyi adalah buah dari keimanan dan ketakwaannya. Karena ia
meyakini hanya Allahlah Yang Maha Besar dan patut ditakuti, dan manusia sehebat dan sekaya
apapun kecil dibandingkan Allah Yang Agung.
Jadi kiat utama untuk memiliki sifat syaja’ah adalah adanya daya dukung ruhiyah berupa keimanan
dan ketakwaan yang mantap. Iman dan takwa ini akan membuat seseorang tidak takut pada apapun
dan siapa pun selain Allah.
Kemudian bermujahadah melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir yang secara manusiawi ada
pada setiap manusia.
Berikutnya bisa pula dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin
Harits yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab
akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap
berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah... cobaan ini
belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu”.
Dan akhirnya kejelasan misi dan visi perjuangan serta senantiasa mengingat-ingat imbalan optimal
berupa ampunan dan surga-Nya kiranya akan memperbesar keberanian dan semangat juang, insya
Allah.
Wallahu a’lam.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 28


MUBAI’ATULLAH
Kode : 3 A 0513

ِ ِِ ِِ ِ ِ َّ ِ
‫يما‬ ْ ‫اه َد َعلَْيهُ اللَّهَ فَ َسُي ْؤتيه أ‬
ً ‫َجًرا َعظ‬
‫مِب‬
َ ‫ث َعلَى نَ ْفسه َو َم ْن أ َْوىَف َا َع‬ َ ‫ك إِمَّنَا يُبَايِ ُعو َن اللَّهَ يَ ُد اللَّ ِه َف ْو َق أَيْدي ِه ْم فَ َم ْن نَ َك‬
ُ ‫ث فَِإمَّنَا َيْن ُك‬ َ َ‫ين يُبَايِ ُعون‬
َ ‫إ َّن الذ‬
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:
Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada
pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)
Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk
manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh
seorang mukmin dengan Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus
digarisbawahi:
Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual
orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu
yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan
ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia
bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia
menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai
transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang
Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila
membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang
dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan
main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan
kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-
Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita
jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti
sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,
ِ ‫ت واَل َخطَر َعلَى َقْل‬ ِ ِ‫ال اللَّه أ َْع َد ْدت لِعِب ِادي َّ حِل‬
‫ب بَ َشر‬ َ َ ْ ‫َت َواَل أُذُ ٌن مَس َع‬
ْ ‫ني َما اَل َعنْيٌ َرأ‬
َ ‫الصا‬ َ ُ ُ َ َ‫ق‬
“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata,
tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua
pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat,
yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 29


persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah shalat, dan puncaknya
adalah jihad di jalan Allah.”

?Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad


Pertama, karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang ulama
mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang bisa melakukan shalat, tetapi
tidak secara langsung berdampak izzah terhadap umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam
adalah izzah. Al-Qur’an menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri
muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan malah cara barat yang
dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut Allah. Salah satu faktor yang bisa meniadakan izzah
adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita
puasa atau shalat, keduanya tidak menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita
pergi haji yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.
Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi
Allah, namun menuntut adanya pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana
sejarah sahabat dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,
‫مِن‬ *ً ‫ت ال َّش* َجَر ِة َف َعلِ َم َم**ا يِف ُقلُ**وهِبِ ْم فَ*أَْنَز َل ال َّس* ِكينَةَ َعلَْي ِه ْم َوأَثَ* َ*اب ُه ْم َفْت‬ ِِ ِ
‫ْخ* ُذو َن َها َو َ*ك*ا َن اللَّهُ َع ِزي* ً*زا‬ َ ‫ َو َمغَ**ا َ َكث‬.‫ح*ا قَ ِريبً**ا‬
ُ ‫ِري ًة يَأ‬ َ *َ‫ني إِ ْذ يُبَايِ ُعون‬
َ ْ‫*ك حَت‬ َ ‫لََق* ْد َرض* َي اللَّهُ َع ِن ال ُْم* ْ*ؤمن‬
‫يما‬ ِ
ً ‫َحك‬
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah
(berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang
dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat
yang pertama tahu dan paham serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan
Allah. Bila kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target materialnya, isi
perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang sempat gelisah, kecewa dan bertanya-
tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah
utusan Allah?)
Mereka kecewa karena belum dapat mencerna mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir
Quraisy. Namun Allah kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat
baiat mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah
strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) tidak
lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi
tetapi juga duniawi.
Ibrah yang dapat kita ambil untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika Allah membebani kewajiban
yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya memberikan pahala di akhirat, melainkan
juga imbalan-imbalan konkret di dunia. Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor
pendukung yang berguna untuk sampai ke akhirat nanti.
Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi
yang membuat mereka tidak gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama
halnya dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang di jalan
Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan memberikan peluang
material achievemen (hasil material) kepada para mujahid. Hanya saja yang perlu dijaga adalah
masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika Allah mengatakan,
‫ك ِم َن األُوىَل‬ ِ َ‫ول‬
َ َ‫آلخَرةُ َخْيٌر ل‬ َ
“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 30


Maksudnya bukan berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan akhirat itu lebih baik lagi dibanding
dunia. Di dunia makan enak, di akhirat jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum
susu. Hanya di surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita minum susu
sedikit, di sana bisa dan mampu minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas
nikmat di dunia jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.
Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan
atau ghanimah, melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun
mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main yang ada dalam surat
Al-Anfal.
Para sahabat paham benar dengan Q.S. At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus
dengan jihad di sabilillah dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif
pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang sudah tertera di Taurat,
Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.
Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:
Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang benar. Jika keimanan seseorang
belum benar dan mantap sulit baginya untuk berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap
saat. Persatuan akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum ada
kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan umat. Demikian pula
masalah membeelakukan kewajiban jihad.
Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa. Artinya Allah memerintahkan kita
mempersiapkan iman dan kemudian harta serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan
mewajiban mencari harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di Afganistan,
harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang. Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai
sasaran, jika tidak hilanglah uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan
budget untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan modal 100 juta dolar.
Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali
tembakan. Jika satu hari ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara stasiun
TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya, seperti harus melintasi dan melewati
gunung. Jihad tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang
Afgan yang sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk dana tersebut
dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.
Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi kemenangan individu bagi mujahidnya,
yaitu diampuni dosanya dan di akhirat mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i
(komunitas) yang sifatnya di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang
untuk menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual dan komunal.
Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan strategi-strategi. Hadits Rasulullah
saw. memberikan motivasi yang besar, “Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam
perkara; kelebihan pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya,
dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada hari kiamat, kelima Allah
letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah
nikahkan dia dengan 72 bidadari dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.
Wallahu’alam bisawab

Memuliakan Keluarga,
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 31
Tetangga Dan Teman
Kode : 3 A 0525

Pendahuluan
Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada
Rasulullah saw.
ِ ِ
َ ‫اك إِاَّل َرمْح َةً لْل َعالَم‬
‫ني‬ َ َ‫َو َما أ َْر َسْلن‬
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S.
Al-Anbiya: 107)
Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan memberikan
perhatian yang sangat tinggi terhadap segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan
membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin. Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan
lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah).
Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk
memuliakan keluarga, tetangga dan teman sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan
sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Memuliakan Keluarga
1. Hubungan suami-istri
Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-
Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala
dalam Ar-Rum: 21
‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن‬
ٍ ‫ك آَل ي‬ِ ِ ‫وِمن ءاياتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَْن ُف ِس ُكم أ َْزو‬
َ َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرمْح َةً إِ َّن يِف َذل‬
ً َ ْ ْ ْ َ َ ََ ْ َ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”
Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya
diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam rumah tangganya, dan ini memerlukan suatu upaya-
upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami
isteri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis:
‫ه َُّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن‬
“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-
Baqarah: 187)
‫وه َّن َف َع َسى أَ ْن تَكَْر ُهوا َشْيئًا َوجَيْ َع َل اللَّهُ فِ ِيه َخْيًرا َكثِ ًريا‬ ِ
ُ ‫وه َّن بِال َْم ْعُروف فَِإ ْن َك ِر ْهتُ ُم‬
ِ
ُ ‫َو َعاش ُر‬
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. “ (QS An-Nisaa:19)
ِ ‫الصاحِل ات قَانِتات حافِظَات لِْلغَي ِ مِب‬
ُ‫ب َا َحف َظ اللَّه‬ ْ ٌ َ ٌ َ ُ َ َّ َ‫ف‬
“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka...” (Q.S. An-Nisaa: 34)
“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal
seseorang? Wanita yang baik (shalihah): jika dilihat (suami) dan jika (suami) meninggalkannya ia
menjaga dirinya dan harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 32
“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan
salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (H.R. Muslim)
“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan
amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu
adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”
“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu
Abbas RA)
2. Memuliakan anak
Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam
hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga
keselamatan keluarganya dari api neraka (Q.S. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua
untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak
berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni:
- Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang
siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari
orang itu dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian )H.R.
Ad Darami).
- Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia.
Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra.
(H.R. al Hakim)
- Tahnik, yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut
di saat-saat pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu)
- Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun).
َ‫اعة‬
َ‫ض‬ َّ ‫ات يُْر ِض ْع َن أ َْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن أ ََر َاد أَ ْن يُتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َوال َْوال َد‬
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan…” (Q.S. Al-Baqarah:233)
- Memberi nama yang baik. Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara
nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk
berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan
orang tua mengandung do’a dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri
apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna.
- Aqiqah: menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw.
bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi
perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)
- Cukur rambut: Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut
tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir
miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (H.R. Al-Hakim)
- Khitan: Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia
sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.
Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al
Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah
Lukman ketika sedang mendidik anaknya:
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫اِل‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
ٌ ‫ال لُْق َما ُن بْنه َو ُه َو يَعظُهُ يَابُيَنَّ اَل تُ ْش ِر ْك باللَّه إ َّن الش ِّْر َك لَظُْل ٌم َعظ‬
‫يم‬
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 33


Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi
individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang
optimal bagi kemaslahatan umat.
Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun
keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-
putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam.
3. Memuliakan orang tua
Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orangtuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala:
ِ ‫ و‬.‫ُف واَل َتْنهرمُه **ا وقُ**ل هَل *م*ا َق**واًل َك ِرمي **ا‬ ِ ِ ‫الِدي ِن إِحس*انًا إِ َّما يبلُغَ َّن ِعْن* َ*د َك ال‬ ِ ِ ‫ِاَّل‬ ‫ض*ى َربُّ َ اَّل‬
‫ض هَلَُ*م*ا‬
ْ ‫اخف‬
ْ َ ً ْ َُ ْ َ َ ْ َ َ ٍّ ‫َح ُ*دمُهَا أ َْو كاَل مُهَ**ا فَاَل َت ُق* ْ*ل هَلَُ*م*ا أ‬
*َ ‫ْكَب* َ*ر أ‬ َْ َ ْ ْ َ ‫ك أَ َت ْعبُ* ُ*دوا إ إيَّاهُ َوبال َْو‬ َ َ‫َوق‬
ِ
‫صغ ًريا‬ ‫يِن‬ ِ ِ ِّ ُّ
َ ‫ب ْارمَحْ ُه َما َك َما َربَّيَا‬
ِّ ‫اح الذل م َن الرَّمْح َة َوقُ ْل َر‬ َ َ‫َجن‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24)
Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat
baik kepada orang tua:
‫َو ْاعبُ ُدوا اللَّهَ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِِه َشْيئًا َوبِال َْوالِ َديْ ِن إِ ْح َسانًا‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….”(QS An Nisa 36)
Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan
menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada:
Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW
mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan
untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-sholatkan
atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiyat)nya, serta
menghubungi keluarga yang tidak dapat dihubungi melainkan karena keduanya, dan menghormati
teman-teman keduanya (H.R. Abu Dawud)
Di antara tindakan-tindakan praktis membina hubungan yang baik kepada orangtua dalam konteks
memuliakan mereka adalah:
Selalu menjaga silaturahim dengan cara mengunjungi mereka secara rutin (berkala) sesuai
kemampuan. Bila jarak tempat tinggal jauh, dapat dilakukan melalui telpon atau surat. Tanyailah
keadaan kesehatan mereka, masalah-masalah mereka.
Memenuhi kebutuhan mereka, terutama tentu saja kebutuhan hidup sehari-hari berupa sandang,
pangan dan papan.
Memelihara kesehatan mereka dengan cara memonitor kesehatan mereka, menganjurkan bahkan
membantunya berobat ke dokter. Menganjurkan mereka untuk memperbaiki pola makan, pola kerja
dan pola hidup agar menjadi sehat.
Memberi mereka hadiah sesuatu yang menyenangkan mereka, meskipun cuma sebuah bingkisan kecil.
Janganlah lupa memberikan mereka buah tangan apabila kita pulang dari bepergian jauh.
Menganjurkan mereka meningkatkan ibadah, memperbanyak dzikir dan menghadiri atau
mendengarkan ceramah atau majelis ta’lim yang baik buat mereka. Berikan pula buku atau majalah
yang patut mereka baca.
Mendidik anak-anak untuk menghormati dan menggembirakan mereka (kakek-nenek)
Pamit kepada mereka ketika hendak bepergian jauh.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 34


Bila memiliki rezeki yang cukup, patutlah kita memberangkatkan mereka ke tanah suci Mekkah untuk
ibadah Haji.
Sesekali ajaklah mereka rihlah bersama di suatu tempat yang baik.
Sungguh indah bagaimana Islam memberikan pedoman-pedoman yang jelas dan rinci bagaimana
sebuah keluarga dibangun dengan cara-cara yang bersahaja dan penuh nilai-nilai luhur.

Memuliakan Tetangga
Berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perhatian serius dalam ajaran Islam. Perhatikan firman
Allah Taala:
‫َت أَ ْي َمانُ ُك ْم‬ ِ ‫ب بِ ْال َج ْن‬
ْ ‫ب َوا ْب ِن ال َّسبِي ِل َو َما َملَك‬ ِ ‫َّاح‬ ِ ُ‫ار ْال ُجن‬
ِ ‫ب َوالص‬ ِ ‫ار ِذي ْالقُرْ بَى َو ْال َج‬
ِ ‫ين َو ْال َج‬
ِ ‫َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن إِحْ َسانًا َوبِ ِذي ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َسا ِك‬
“…Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,.”
(Q.S. An-Nisa:36)
Nabi pun mengingatkan kita agar selalu berbuat baik kepada tetangga:
Ibnu Umar dan Aisyah ra berkata keduanya, “ Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan
terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam
kelompok ahli waris seorang muslim”. (H.R. Bukhari Muslim)
Abu Dzarr ra berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Hai Abu Dzarr jika engkau memasak sayur, maka
perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan ( bagilah tetanggamu (H.R. Muslim)
Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman,
demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulullah? Jawab Nabi, “Ialah orang yang tidak aman
tetangganya dari gangguannya” (H.R. Bukhari, Muslim)
Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
hendaklah memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari, Muslim).
“Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar bukanlah umatku.” (H.R.
….)
Hak-hak ketetanggaan tidak ditujukan bagi tetangga kalangan muslim saja. Tentu saja tetangga yang
muslim mempunyai hak tambahan lain lagi yaitu juga sebagai saudara (ukhuwah Islamiyah). Tetapi
dalam hubungan dengan hak-hak ketetanggaan semuanya sejajar:
Berbuat baik dan memuliakan tetangga adalah pilar terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Apabila seluruh kaum muslimin menerapkan perintah Allah Taala dan Nabi SAW ini, sudah barang
tentu tidak akan pernah terjadi kerusuhan, tawuran ataupun konflik di kampung-kampung dan di desa-
desa.
Beberapa kiat praktis memuliakan tetangga adalah:
Sering-seringlah bertegur sapa, tanyailah keadaan kesehatan mereka.
Berikanlah kepada mereka sebagian makanan
Bawakan sekadar buah tangan buat mereka, apabila kita bepergian jauh.
Bantulah mereka apabila sedang mengalami musibah ataupun menyelenggarakan hajatan.
Berikanlah anak-anak mereka sesuatu yang menyenangkan, berupa makanan ataupun mainan.
Sesekali undanglah mereka makan bersama di rumah.
Berikanlah hadiah kaset, buku bacaan yang mendorong mereka untuk lebih memahami Islam.
Ajaklah mereka sesekali ke dalam suatu acara pengajian atau majelis ta’lim, atau pergilah bersama
memenuhi suatu undangan walimah (apabila mereka juga diundang)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 35


Memuliakan Teman
Memuliakan teman berarti menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam
Tarbiyatul ‘awlaad fil Islam menyebutkan bahwa hak-hak tersebut adalah:
1. Mengucapkan salam ketika bertemu.
Rasulullah saw. yaitu, “Kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman, dan kalian tidak
akan beriman sebelum kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang
apabila kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian”.
(H.R. As-Syaikhani)
2. Menjenguk Teman Ketika Sakit
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy,ari bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jenguklah
orang yang sakit; beri makanlah orang yang lapar dan lepaskanlah orang yang dipenjara”.

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda; Hak
seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”.
3. Mendoakan Ketika Bersin
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kamu bersin, hendaklah ia mengucapkan, Al-Hamdu li’l-lah (segala puji bagi
Allah), dan saudaranya atau temannya hendaknya mengucapkan untuknya, YarhamukalLah (semoga
Allah mengasihimu)’ Apabila teman atau saudaranya tersebut mengatakan, YarhamukalLah (semoga
Allah mengasihimu), kepadanya, maka hendaklah ia mengucapkan, YahdikumulLah wa yushlihu
balakum
4. Menziarahi karena Allah
Ibnu Majah dan At-Tarmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa menjenguk orang sakit atau berziarah kepada seorang saudara di jalan Allah, maka ia
akan diseru oleh seorang penyeru “Hendaklah engkau berbuat baik, dan baiklah perjalananmu,
(karenanya) engkau akan menempati suatu tempat di surga”.
5. Menolong ketika kesempitan
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda; “Seorang muslim
itu adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat zalim kepadanya dan tidak boleh
menyia-nyiakannya (membiarkan, tidak menolongnya). Barang siapa menolong kebutuhan
saudaranya maka Allah akan menolong kebutuhannya, barang siapa menyingkirkan suatu kesusahan
dari seorang muslim, niscaya Allah akan menyingkirkan darinya suatu kesusahan di antara
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah
akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat”
6. Memenuhi undangannya apabila ia mengundang
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah ra , bahwa Rasulullah saw. bersabda; Hak
seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”
7. Memberikan ucapan selamat
Ad-Dailami meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, “Barang siapa bertemu saudaranya ketika bubar dari
sholat Jum’ah, maka hendaklah ia mengucapkan “Semoga (Allah) menerima (amal dan do’a) kami
dan kamu.
8. Saling memberi hadiah
At-Thabrani meriwayatkan dalam Al Ausath dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Saling memberi
hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”
Ad-Dailami meriwayatkan dari Anas secara marfu’, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah
karena hal itu dapat mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian”
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 36
Imam Malik di dalam Al Muwaththa’ meriwayatkan, “Saling bermaaf-maafkanlah, niscaya
kedengkian akan hilang. Dan saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai
dan hilanglah permusuhan.”
Wallahu a’lam

Keutamaan Berzikir
Kode: 3. A5. 6 | Sarana: Mabit, Usrah

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan taujih ini seorang peserta dapat:
1. Mengetahui keutamaan berzikir
2. Menyebutkan tiga keutamaan berzikir
3. Menyebutkan tiga dalil dari Al-Qur’an ataupun Hadits tentang anjuran berzikir
4. Termotivasi untuk senantiasa berzikir minimal pada setiap selesai shalat
5. Melakukan zikir harian minimal pada setiap selesai shalat

Titik Tekan Materi


Dalam Wajibatul Akh No.26: “Hendaklah engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah Taala.
Mengingat akhirat, dan bersiap-siap untuk menjemputnya, mengambil jalan pintas untuk menuju ridha
Allah Taala. Dengan tekad yang kuat, mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah sunnah seperti
qiyamul lail, puasa tiga hari minimal setiap bulan, memperbanyak zikir dan berusaha mengamalkan
do’a yang diajarkan pada setiap kesempatan”.(Risalatul Ta’lim, Hasan Al-Banna)
Selain shalat sebagai sarana utama berzikir kepada Allah, terdapat banyak cara berzikir yang lain
dengan bacaan-bacaan yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Terdapat berbagai
macam zikir yang sebaiknya dibaca setelah shalat dan bahkan di setiap waktu, keadaan, kegiatan
selalu ada zikirnya. Maka setiap kader seyogianya bahkan harus mampu mengamalkan zikir-zikir
tersebut.
Tidak ada alasan bahwa sulit menemukan bentuk-bentuk dan cara zikir, karena telah terdapat banyak
buku yang dapat dibaca, baik yang masih berbahasa Arab maupun yang telah diterjemahkan. Namun
demikian seorang kader, khususnya di bidang hadits atau bahasa Arab harus dapat menanyakan
orisinalitas zikir tersebut atau maknanya, sehingga tidak terjebak kepada zikir-zikir yang tidak ma’tsur
atau memiliki makna yang bertentangan dengan tauhid ahlussunnah wal jama’ah. Agar seorang akh
dapat mengerjakan zikir secara rutin, dapat memberikan berkah dan mengerjakan dengan penuh
keikhlasan, maka perlu difahamkan akan: Dalil-dalil tentang berzikir, fadhilah berzikir, adab berzikir.
Macam-macam zikir, cara membiasakan diri agar mencintai zikir dan melakukan zikir. Ancaman bagi
yang tidak pernah berzikir dan contoh-contoh dalam berzikir.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 37


Pokok-pokok Materi
1. Dalil-dalil tentang berzikir
2. Fadhilah berzikir
3. Adab berzikir
4. Macam-macam zikir
5. Cara membiasakan diri agar mencintai dan melakukan zikir
6. Ancaman bagi yang tidak berzikir
7. Contoh-contoh zikir

’Maraji
Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi; Majmu’atur Rasail, Hasan Al-Banna..

Mukadimah
ِ ‫*اب * الَّ ِذين ي * ْذ ُكرو َن اللَّه قِيام**ا و ُقع**ودا وعلَى جنُ**وهِبِم ويت َف َّكرو َن يِف خْل* ِ*ق ال َّس *مو‬ ِ ‫ض واختِاَل‬
ٍ * ‫ف اللَّي* ِ*ل والنَّه**ا ِر آَل ي‬
ِ * ‫*ات أِل ُويِل اأْل َلْب‬ ِ
‫ات‬ ََ َ ُ ََ َ ْ ُ َ َ ً ُ َ ً َ َ ُ ََ َ َ َ َ ْ ْ َ ِ ‫إِ َّن يِف َخْل* ِ*ق ال َّس * َم َوات َواأْل َْر‬
ِ َ‫اطاًل سبحان‬
‫اب النَّا ِر‬
َ ‫ك فَقنَا َع َذ‬ َ َ ْ ُ ِ َ‫ت َه َذا ب‬ َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬ ِ ‫َواأْل َْر‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda kebesaran bagi kaum yang berfikir, yakni mereka yang selalu mengingat Allah dalam
keadaan berdiri, duduk, atau berbaring seraya berfikir tentang penciptaan langit dan bumi (kemudian
berkata): Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari adzab api neraka”.(QS. Ali-Imran:190-191)
Suatu saat ketika Rasulullah SAW tengah shalat tahajjud, turunlah ayat ini dan beliaupun menangis.
Bilal yang berada di dekat Rasulullah SAW melihat beliau menangis bertanya: “Mengapa engkau
menangis, ya Rasulullah?” “Celakalah orang yang membaca ayat-ayat ini(QS. 3:190-191) namun
tidak juga mengambil pelajaran darinya”.
Digambarkan dalam 2 ayat di atas keterpaduan antara ayat qauliyah dan kewajiban mentadabburinya
serta ayat-ayat kauniyah dan kewajiban mentafakkurinya. Kemudian juga antara kegiatan berzikir dan
berfikir.
Rasulullah SAW sebagai pribadi mulia yang menjadi panutan digambarkan sebagai orang yang
diamnya fikir (senantiasa berfikir) dan bicaranya adalah zikir (senantiasa berzikir). Beliau tidak pernah
berdiam diri, melamun yang tidak berguna, melainkan diamnya selalu dengan konteks berfikir. Begitu
pula bila beliau berkata-kata, seluruh kata-katanya mengandung zikir atau paling tidak mengandung
muatan zikir.
Dalam QS. Ali-Imran:102, Allah Taala berfirman,
‫ين ءَ َامنُوا َّات ُقوا اللَّهَ َح َّق ُت َقاتِِه َواَل مَتُوتُ َّن إِاَّل َوأَْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمو َن‬ ِ َّ
َ ‫يَاأَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu dengan sebenar-benar taqwa (haqqa tuqatih)
dan janganlah engkau mati melainkan dalam keadaan Islam”.
Makna taqwa yang “haqqa tuqatihi” dijabarkan dalam hadits sebagai berikut: “Allah senantiasa kau
ingat (dzikrullah) dan tidak kamu lupakan. Allah selalu kau syukuri (bersyukur kepada-Nya) dan tidak
mengkufuri nikmatnya. Dan Allah senantiasa kau taati dan tidak kau kufuri”.
Salah satu ciri ketaqwaan yang hakiki ternyata adalah berzikir pada-Nya di mana saja dan kapan saja.
Artinya di dalam kondisi yang bagaimanapun kita tetap mengingatnya, berzikir dengan hati, akal dan
lisan kita.
Zikirullah juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keimanan. Dan orang-orang yang lalai
dari mengingat Allah akan mudah terperosok atau terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan.
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna ditaqdirkan Allah lahir ke dunia sebagai seorang mujtahid dan
pejuang/mujahid. Ia seorang imam dalam segala hal, demikian ungkap Syaikh Ramadhan Al-Buthi. Ia
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 38
juga pemimpin yang menyejarah, fenomenal, demikian ungkap Abul Hasan Ali An-Nadwi sedangkan
komentar Al-Bahi al-Khuli, ia adalah sebuah gagasan yang menyimpan kekuatan. Dan Robert
Jackson, pengamat asing menilai bahwa dalam diri Imam Hasan Al-Banna terkumpul kecerdikan
politisi, kekuatan para panglima, hujjah para ulama, keimanan kaum sufi, ketajaman analisa para ahli
matematika, analogi para filosofi, kepiawaian para orator dan keindahan susunan kata para sastrawan.
Salah satu bentuk kegenialan dan kecemerlangan Hasan Al-Banna adalah konsepnya tentang sosok-
sosok rijalud dakwah (pelopor-pelopor dakwah). Bahwa dalam sosok rijalud dakwah itu terkandung
konsep ulul albab yang memadukan antara unsur qalb dan ‘aql, antara unsur zikir dan fikir antara
unsur keikhlasan, kebersihan hati, ketajaman analisis dan kesempurnaan pemahaman.
Oleh karena itu dalam buku Majmu’ah Rasail Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna yang
diterjemahkan oleh penerbit Intermedia, Solo sebagai Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin selain
dibahas secara tajam dan jernih berbagai aspek yang krusial dan aktual, maka diulas pula masalah zikir
secara lengkap dan rinci beserta contoh-contohnya.
Hasan Al-Banna memuji Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik ahli zikir dan pemimpin orang-orang
yang berzikir. Rasulullah adalah hamba yang paling mengenal Rabbnya, memiliki lafal-lafal yang
indah, kedalaman makna zikir, do’a, syukur, tasbih dan tahmid di setiap waktu dan kesempatan baik
zikir yang kecil, maupun zikir yang besar.
Karena Rasulullah SAW selalu berzikir di setiap kesempatan, maka jika ada pertanyaan kapankah kita
berzikir, jawabannya adalah di setiap waktu dan tempat. Dan Hasan Al-Banna menuntut agar setiap
a’dlo Ikhwanul Muslimin ber-ittiba’ dan berqudwah kepada sunnah Nabi dengan cara menghafal lafal-
lafal zikirnya dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.

Keutamaan Atau Fadhilah Zikir


Dalam Al-Qur’an ada begitu banyak ayat yang memerintahkan kita untuk memperbanyak zikir. Dan
penjelasan tentang keutamaannya juga ada di banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
Bahkan di dalam QS. 33:35 yang berisikan ciri-ciri orang-orang yang akan mendapat ampunan dan
pahala yang besar dimulai dari laki-laki dan perempuan yang muslim, mukmin, taat, jujur, sabar,
khusyu, bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatannya hingga akhirnya puncak kriterianya adalah
orang yang banyak mengingat Allah.
Dan di surat yang sama (Al-Ahzab) tetapi di ayat 41 dan 42, tertera jelas firman Allah,
ِ ‫ياأَيُّها الَّ ِذين ءامنُوا اذْ ُكروا اللَّه ِذ ْكرا َكثِريا * وسبِّحوه بكْرةً وأ‬
‫َصياًل‬ َ َ ُُ ُ ََ ً ً َ ُ ََ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama Allah) dengan zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
Keutamaan zikir juga nampak dalam hadits-hadits ini, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku
terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku.
Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih
baik dari mereka”.(Hadits Qudsi, Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah).
Dan dalam hadits Hasan riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Yusr r.a. Ada seorang berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam telah banyak ada padaku, maka beritahulah kepadaku sesuatu
yang aku bisa berpegang teguh dengannya”. Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah lisanmu selalu
basah karena berzikir kepada Allah”.
Paling tidak ada beberapa keutamaan zikrullah yang dapat disebut di antaranya ialah:
Memperoleh ketenangan hati dan ketenteraman jiwa. Iman dan kekuatan zikir serta hubungan dengan
Allah menjadi stabilisator jiwa, sehingga seseorang selalu diliputi ketenangan dengan ketenteraman
karena selalu ingat Allah. Seorang mukmin tak akan bergembira berlebih-lebihan, melonjak-lonjak
atau terhanyut dalam kedukaan yang berkepanjangan. Seperti dalam hadits Nabi SAW: “Sungguh
ajaiblah orang yang beriman. Bila diberi karunia ia bersyukur ( mengembalikannya kepada Allah)
dan itu baik untuknya. Bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik lagi untuknya”.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 39


Memberatkan timbangan hasanat di Yaumul Mizan. Kata Rasulullah ada ucapan zikir yang ringan
diucapkan dan berat timbangan kebaikannya di antaranya ialah: Subhanallah, walhamdulillah walaa
ilaha illallah wallahu akbar.
Dijauhkan dari segala tipu daya setan dan marabahaya. Dengan seseorang rajin membaca zikir
ma’tsurat misalnya di waktu pagi dan petang, maka ia terhindar dari segala marabahaya yang datang
dari syaitan jenis manusia maupun jin. Tidak akan terkena terkena tipu daya setan, hipnotis, santet,
pelet, dan ilmu hitam lainnya.
Memperoleh keberuntungan dan kemenangan.
ِ ‫ت الص*َّاَل ةُ فَا ْنتَ ِش* ُروا يِف اأْل َْر‬
ِ ‫ض*ي‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ود‬ ِ ِ ِ َّ
‫ض‬ َ ُ‫اس َع ْوا إِىَل ذ ْ*ك ِر اللَّه َوذَ ُروا الَْبْي* َ*ع ذَل ُك ْم َخْي ٌ*ر لَ ُك ْم إِ ْن ُكْنتُ ْم َت ْعلَ ُم*و َن * فَ*ِإذَا ق‬
ْ َ‫ي للصَّاَل ة م ْن َي ْوم اجْلُ ُم َعة ف‬ َ ُ‫ين ءَ َامنُوا إذَا ن‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الذ‬
‫ض ِل اللَّ ِه َواذْ ُك ُروا اللَّهَ َكثِ ًريا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫َو ْابَتغُوا ِم ْن ف‬
“Hai orang-orang yang beriman jika sudah ada adzan/panggilan untuk shalat Jum’at,
bersegerahlah untuk zikir kepada Allah dan tinggalkan jual beli, itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Maka jika sudah menunaikan shalat itu, bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah
bagian dari karunia Allah dan berzikirlah kepada Allah banyak-banyak agar kalian
beruntung/sukses”.(QS. Al-Jumu’ah:9-10)
Jadi berzikir kepada Allah banyak-banyak adalah kunci keberuntungan dan kemenangan.
Sebagai alat kontrol dan pengendali diri jika sudah berhasil meraih kemenangan dan kesuksesan.
Dalam QS. 110, Allah berfirman: “Ketika pertolongan Allah, dan kemenangan sudah datang dan kamu
lihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah (Islam) keseluruhannya, maka
bertasbihlah memuji Rabbmu dan beristigfarlah. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun”. Ayat itu
mengingatkan kita agar tetap berzikir seandainya kemenangan sudah kita raih karena zikir akan jadi
pengendali agar kita tidak lupa diri, ghurur atau takabbur.

Adab Berzikir
Menurut Imam Hasan Al-Banna di dalam buku “Majmu’atu Rasail” yang diterjemahkan menjadi
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin bab Ma’tsurat hal 272, yang dimaksud zikir bukanlah sebatas
zikir ucapan saja melainkan segala sesuatu yang ada unsur taqarrub dan muraqabatullah. Oleh karena
itu taubat juga dapat disebut zikir, begitu pula tafakkur, menuntut ilmu dan mencari ma’isyah yang
halal. Sehingga seorang Muslim dapat berzikir di setiap waktu dan tempat sepanjang ia selalu dalam
rangka mendekatkan diri pada Allah dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
Namun jika kita berzikir tanpa memperhatikan adab-adabnya, maka ia sekedar gumaman kata-kata
yang terucap tanpa menimbulkan makna atsar, bekas dan pengaruhnya dalam jiwa.
Memang banyak ulama yang menyebut adab-adab dan tata cara berzikir, namun Hasan Al-Banna
menyebutkan 5 adab yang terpenting dan paling utama untuk dijaga dan diperhatikan yakni:
Khusyu’ atau menghadirkan hati dan pikiran dalam memahami makna lafal yang terucap. Kemudian
berusaha terwarnai oleh zikir tersebut dan berusaha menjalani maksud dan tujuannya dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Merendahkan suara sebisa mungkin, dengan konsentrasi yang penuh dan iradah (kemauan) yang besar
sehingga tidak terganggu atau mengganggu yang lain. Terkait dengan ini, Allah Taala berfirman,
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ص ِال َواَل تَ ُك ْن م َن الْغَافل‬
‫ني‬ ِ
َ ‫ضُّر ًعا َوخي َفةً َو ُدو َن اجْلَ ْه ِر م َن الْ َق ْول بِالْغُ ُد ِّو َواآْل‬ َ ‫ك يِف َن ْف ِس‬
َ َ‫ك ت‬ َ َّ‫َواذْ ُكْر َرب‬
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
lalai”.(QS. Al-A’raaf:205)
Sesuai atau seirama dengan jama’ah (baik dalam nada dan volume suara) agar tercipta harmoni dan
kebersamaan, jika kita kebetulan berzikir bersama jama’ah. Usahakan agar tidak mendahului, lebih
lambat atau lebih keras dari bacaan yang lain. Bahkan seandainya datang terlambat sementara yang
lain sudah memulai berzikir, hendaknya kita langsung mengikuti bacaan mereka. Baru kemudian di
akhir zikir, kita mengqadha’ bacaan zikir yang belum sempat kita baca. Tidak diperkenankan kita

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 40


membaca yang lain dengan bacaan yang tengah dibaca jama’ah agar tidak mengacaukan bacaan yang
lain dan mengganggu harmoni kebersamaan.
Bersih pakaian dan tempat serta memperhatikan/memilih tempat-tempat yang terhormat seperti masjid
dan waktu-waktu yang sesuai. Semua itu dimaksudkan agar semakin menambah pengkristalan iradah,
kejernihan hari dan ketulusan niat.
Mengakhiri zikir dengan penuh adab dan kekhusyu’an, menjauhi kesalahan dan main-main. Karena
hal itu dapat menghilangkan faedah dan pengaruh zikir. Jika kesemua adab berzikir tersebut
diperhatikan, dijaga dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, insya Allah kita akan bisa mendapatkan
manfaat sebesar-besarnya dari zikir yang kita baca. Kemudian akan terasa lezatnya di hati, menjadi
cahaya bagi ruhani dan melapangkan dada agar dicurahi dengan limpahan rahmat Allah Taala.

Zikir Berjamaah
Ada banyak hadits yang mengisyaratkan disunnahkannya berzikir berjama’ah. Misalnya hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk bersama
(untuk) berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengitari mereka, rahmat memayunginya,
ketenangan turun kepadanya, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada di
sisi-Nya”.
Di banyak hadits juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW, keluar untuk shalat berjamaah sementara
mereka sedang menunggu sambil berzikir di mesjid. Lalu beliau memberikan kabar gembira dan tidak
melarang mereka (melakukan hal itu).
Pada dasarnya berjamaah dalam segala kebaikan dan ketaatan dianjurkan bila membuahkan banyak
manfaat, seperti bersatunya hati, menguatkan ikatan, menggunakan waktu untuk sesuatu yang
bermanfaat, dan mengajarkan kepada orang awam yang belum baik bacaannya serta
mengumandangkan syiar Allah Taala.
Namun berzikir berjamaah dapat terlarang jika di dalamnya terdapat hal-hal yang terlarang secara
syar’i, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, diselingi senda gurau dan tawa,
menyelewengkan lafal, mengeraskan dan saling mengungguli atau mendahului dalam berzikir dan hal
yang serupa itu. Bila terjadi hal-hal seperti itu maka zikir secara jama’i dilarang karena adanya
kerusakan-kerusakan atau keburukan-keburukan. Jadi yang dilarang bukan berjama’ahnya. Apalagi
jika zikir jama’ai itu dilakukan dengan lafal-lafal yang ma’tsur dan shahih, sebagaimana dalam
wazhifah kubra dan sugra (zikir Al Ma’tsurat yang kita kenal, baca dan hafalkan)
Alangkah baiknya apabila para aktivis ikhwan sering berkumpul untuk membacanya bersama-sama di
waktu pagi dan sore di tempat-tempat berkumpul mereka atau di masjid dengan tetap menjauhi hal-hal
yang dilarang oleh syari’at. Dan barangsiapa yang tidak bisa atau tidak sempat berzikir berjama’ah,
hendaknya membacanya sendiri serta jangan sampai meninggalkannya sama sekali.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia
berkata: “Muawiyah keluar (menuju) sebuah halaqah di masjid. Ia bertanya, “Apa yang membuat
kalian duduk-duduk (di sini)?”. Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berzikir kepada Allah”.
Muawiyah menyanggahnya, “Demi Allah, kalian tidak duduk di sini untuk hal itu”. Mereka menjawab
lagi, “Demi Allah, kami tidak duduk di sini melainkan untuk itu (berzikir)”. Muawiyah berkata lagi,
“Saya tidak meminta kalian bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Karena tidak
seorangpun di antara kalian yang setara denganku, di mata Rasulullah SAW dan yang lebih sedikit
dariku dalam menukil hadits dari beliau (artinya Muawiyah merendah bahwa sahabat-sahabat tersebut
jauh lebih mulia dan lebih banyak menukil hadits Nabi dibanding dirinya). Dan sesungguhnya
Rasulullah SAW keluar menuju ke sebuah halaqah para sahabat seraya bertanya, “Apa yang
menjadikan kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Allah,
memanjatkan puji dan syukur kepada-Nya, karena Dia telah memberikan hidayah kepada Islam dan
menganugerahkannya kepada kami”. Rasulullah saw. bersabda, “Saya tidak meminta kalian untuk
bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Namun Jibril telah datang kepadaku seraya
memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan malaikat”.(HR. Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 41


Al-‘Aadah (Pembiasaan) agar kita cinta dan senang
.berzikir
Salah satu upaya agar kita cinta dan senang berzikir adalah dengan senantiasa mengingat manfaat
zikir, keutamaan zikir, dan ancaman bagi orang yang tak pernah berzikir, sehingga kita senantiasa
termotivasi untuk berzikir.
Selain itu kita memang harus membiasakan diri kita dan anak kita sejak dini agar selalu berzikir,
sehingga setiap ayunan langkah, helaan nafas, denyut nadi dan gumaman bibir kita terwarnai oleh
dzikrullah.
Seperti dalam gambaran indah saat seorang salafusshaleh yang masyhur: Abdullah Ibnu Mubarrak
bersama saudara-saudaranya diajak ayahnya rihlah (piknik) sambil riyadhah (berolahraga) dengan
mengendarai kuda di dataran yang luas dan dipenuhi pohon-pohon, “Hai anak-anakku lihatlah pohon
di sebelah sana, bertasbihlah kalian hingga ke pohon itu”. Maka berderaplah langkah-langkah kuda-
kuda Abdullah Ibnu Mubarrak dan saudara-saudaranya menuju pohon itu sementara mereka terus
bertasbih.
Kemudian begitu sampai sang ayah kembali berteriak lantang, “Anak-anakku, lihat pohon yang di
depan sana, ayo tahmid”. Mereka pun semua bertahmid sambil menderap kuda-kuda mereka.
Berikutnya sang ayah menyuruh mereka agar bertakbir hingga ke pohon yang lebih jauh lagi dan
akhirnya bertahlil hingga ke pohon yang di ujung. Subhanallah, betapa anak-anak menjadi terbiasa
berzikir dengan senang hati dan penuh keridhaan.

Macam-macam zikir dan contoh-contohnya


Ada dua jenis zikir yakni zikir yang terikat waktu dan tempat serta tata cara yang baku seperti bacaan
dalam ibadah shalat dan haji, begitu pula zikir sesudah shalat. Dan ada pula yang tidak tertentu bisa di
waktu pagi dan petang, kapan saja dan di mana saja seperti wadzifah ma’tsurat. Makalah singkat ini
dilengkapi lampiran wirid-wirid Qur’an dan keutamaan-keutamaannya serta do’a-do’a sehari-hari
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dinukil oleh Hasan Al-Banna dalam Majmu’ah
Rasailnya.

Khatimah
Di dalam khatimah pembahasan tentang zikir di Majmu’ah Rasail, Imam Hasan Al-Banna
menegaskan bahwa wadzifah baik kubra maupun sughra yang kita kenal sebagai ma’tsurat adalah
bukan wadzifah khusus untuk a’dho atau ikhwan saja, melainkan, juga untuk seluruh kaum muslimin.
Dengan harapan, zikir tersebut dapat membantu semuanya untuk taat kepada Allah dan
menghindarkan mereka dari kelalaian mengingat Allah yang menyebabkan mereka mendapat ancaman
Allah. Wadzifah tersebut dibaca di waktu pagi, dari Shubuh hingga Zhuhur dan sore hari dari Ashar
hingga ba’da Isya., baik berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Barang siapa sibuk dan melalaikannya, hendaknya tidak melalaikannya sama sekali melainkan tetap
membacanya sebagian agar tidak terbiasa mengabaikannya.
Sedangkan wirid-wirid Al-Qur’an untuk dibaca siang dan malam juga adzkar yang lain dibaca pada
waktunya yang tepat.
Akhirnya kita memohon kepada Allah agar Ia mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semua dan juga memohon kepada Allah petunjuk-Nya agar kita tidak lalai, lupa dan malas. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. keluarga dan
para sahabatnya.
WALLAHU ’ALAM

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 42


Urgensi Belajar Bahasa Arab
Kode: 3.B10.2 | Sarana: Usrah

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta diharapkan mampu untuk:
Memahami urgensi bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam memahami ajaran Islam.
Memahami manfaat mempelajari Bahasa Arab.
Termotivasi berbahasa Arab dalam berbicara dan menulis.
Menerapkan bahasa Arab dalam berbicara dan menulis.

Titik Tekan Materi


Bahasa merupakan alat ilmu pengetahuan dan alat kebudayaan manusia yang paling tinggi.
Ketrampilan berbahasa melibatkan otak kiri bawah untuk fungsi ketepatan bahasa, dan menggunakan
otak kanan bagian bawah untuk memberikan makna psikologi komunikasi.
Alquran merupakan sumber pengetahuan Islam menggunakan bahasa Arab, sehingga penguasaan
bahasa Arab menjadi sangat penting. Bahasa Arab adalah sarana utama untuk memahami Islam. Akan
menjadi sangat riskan jika seorang dai, pemikir Islam, aktivis Islam tidak menguasai bahasa Arab.
Kita berdakwah menggunakan bahasa, apakah itu bahasa tulisan atau bahasa lisan. Agar kita dapat
berdakwah dengan berbagai kalangan manusia, maka penguasaan bahasa semakin banyak semakin
baik. Jika mungkin, maka minimal kita menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Bahasa secara umum memiliki 4 ketrampilan dasar yang harus dikuasai, yaitu: ketrampilan
mendengar, bercakap, membaca dan menulis.

Pokok-Pokok Materi
• Fungsi bahasa: alat komunikasi, alat kebudayaan dll
1. Urgensi bahasa Arab
2. Urgensi bahasa asing selain arab: khususnya inggris
3. Ketrampilan mendengar
4. Ketrampilan bercakap
5. Ketrampilan membaca
6. Ketrampilan menulis
• Kursus: Upaya untuk mendapatkan skill berbahasa.
• Pembiasaan: Sarana efektif yang cepat untuk dapat berbahasa asing
• Lingkungan: penunjang kuat untuk ketrampilan berbahasa asing

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 43


Teknologi pembelajaran
Target tujuan instruksional dalam muwashafat sebenarnya orang dapat aktif berbahasa Arab, baik
dalam lisan maupun tulisan, sedangkan bahasa asing selainnya diusahakan untuk dapat berbicara dan
menulis semampunya. Jadi materi ini hanya bersifat penyadaran, sehingga pada akhir sesi diharapkan
mereka terdorong dengan semangat dan energi spiritual yang baru untuk mau belajar bahasa Arab.
Baik itu melalui kursus atau melalui program inovatif lain yang lebih disukai dan berhasil baik.
Suasana usrah sangat diperlukan untuk mendorong seluruh anggotanya menggunakan bahasa Arab
dana asing semampunya.

'Maraji
Paket terpadu di buku Silsilah ta’limul lughah; Paket terpadu di buku Al-’arabiyah lin Nasyi-iin.;
Kurikulum penyelenggara kursus

Mukadimah
Bahasa Arab adalah bahasa Islam dan kaum Muslimin. Hal ini dimulai sejak terbitnya Islam di lembah
Mekah pada 14 abad yang lalu. Dengan bahasa ini, Al-Qur’an diturunkan sebagai tata aturan
kehidupan manusia. Dengan bahasa ini pula, penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad saw.
berbicara. Kemudian, ia adalah bahasa yang tidak luntur oleh zaman dan perubahan, sebagaimana ia
telah menjadi wadah peradaban Islam selama 14 abad, baik di belahan dunia timur, maupun di barat.
Di samping itu, ia juga diakui oleh PBB sebagai bagian dari bahasa komunikasi dunia bersama bahasa
Inggris dan Prancis.
Maka, sungguh benar ketika Rasulullah saw. menyuruh kita mencintai bahasa ini, sebagaimana
sabdanya, “Cintailah bahasa Arab karena 3 hal: pertama, karena aku adalah orang Arab; kedua, karena
al-Qur’an berbahasa Arab; dan ketiga, karena bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab.”

Definisi
Tidak sedikit jumlah kaum Muslimin Indonesia yang ‘alergi’ dengan bahasa Arab. Yang terbayang
bagi mereka adalah sebuah puncak gunung es yang mustahil didaki. Hal ini didasari dugaan bahwa ia
adalah sebuah bahasa yang sulit dipelajari dan dikuasai selain oleh Bangsa Arab, padahal sejarah
membuktikan, dahulu di wilayah Afrika Utara, Persia, Daratan India, Turki, dan sebagian Eropa Timur
tidak dapat berbahasa Arab. Namun, setelah Islam masuk menjadi agama mereka, bahasa Arab dapat
menjadi bahasa percakapan mereka. Bahkan, Indonesia pun, sebelum kedatangan para penjajah,
menggunakan aksara Arab sebagai bahasa tulisan. Oleh karena itu, kenalilah bahasa ini dengan baik;
agar tumbuh benih-benih cinta kepadanya, terdorong mempelajarinya, dan mempraktekkannya dalam
bahasa lisan dan tulisan, sebagaimana pesan kekasih kita Muhammad saw. di atas tadi. Sebagaimana
pula pepatah mengatakan, “Tak kenal, maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.”
Adapun definisi bahasa Arab dapat ditinjau dari sisi bahasa dan istilah. Shafiyyurrahman al-
Mubarakfuri menyebutkan dalam bukunya al-Rahiqul Makhtum bahwa pengertian “Arab” secara
bahasa adalah gurun sahara, atau tanah tandus yang di dalamnya tidak ada air dan pohon yang tumbuh
di atasnya. Adapun “bahasa” adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk saling
berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai motivasi dan keperluan yang mereka miliki.
Jadi, definisi bahasa Arab secara istilah, adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok manusia
yang berdomisili—pada mulanya—di atas Negeri Gurun Sahara, Jazirah Arabiyah. Kemudian, bahasa
ini berkembang pada zaman Islam, dan menyebar ke seluruh pelosok dunia yang Islam menjadi
keyakinan penduduknya. Maka, bahasa Arab bukanlah hanya milik orang-orang keturunan Arab,
namun milik semua orang atau etnis yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari
mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., ” Barang siapa yang berbicara bahasa Arab,
maka dia adalah orang Arab.”

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 44


Karakteristik Bahasa Arab
1. Mudah
Al-Qur’an adalah puncak bahasa Arab dari semua sisi kebahasaan, yang terdiri dari; kosa kata, kalimat
ungkapan, dan sastra. Yang harus disadari adalah tidak ada satu kosa kata sejelas penggunaan Al-
Qur’an, tidak ada kalimat melebihi ketepatan pengungkapan Al-Qur’an, dan tidak ada karya sastra
yang dapat melebihi nilai keindahan sastra Al-Qur’an, baik sebelum datangnya masa Islam, maupun
sesudahnya. Hal inilah yang menyebabkan kaum Quraisy—yang pada zamannya menjadikan karya
sastra, baik syair, maupun prosa, sebagai bagian dari prestise dan kebanggaan seseorang dan qabilah—
tidak mampu membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur`an. Bahkan, mereka tidak mampu
mendefinisikan Al-Qur`an, apakah ia syair, atau prosa, atau malah sihir. Mereka tidak dapat
mendefinisikannya karena ketinggian sastra Al-Qur`an. Perhatikanlah firman Allah SWT, tentang al-
Walid bin Mugirah, seorang yang berusaha mendefinisikan al-Qur’an.
‫ـ‬١٨ :‫ (املدثر‬.‫ إِ ْن َه َذا إِالَّ َق ْو ُل الْبَ َش ِر‬.‫ال إِ ْن َه َذا إِالَّ ِس ْحٌر يُ ْؤثَ ُر‬
َ ‫ َف َق‬.‫استَكَْبَر‬
ْ ‫ مُثَّ أ َْد َبَر َو‬.‫س َوبَ َسَر‬
َ َ‫ مُثَّ َعب‬.‫ مُثَّ نَظََر‬.‫َّر‬
َ ‫ف قَد‬
ِ
َ ‫ مُثَّ قُت َل َكْي‬.‫َّر‬
َ ‫ف قَد‬
ِ ‫إِنَّه فَ َّكر وقَد‬
َ ‫ َف ُقت َل َكْي‬.‫َّر‬
َ ََ ُ
) ٢٥
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka celakalah
dia! Bagaimanakah dia menetapkan?, kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?,
kemudian dia memikirkan. Sesudah itu, dia bermuka masam dan merengut. Kemudian dia berpaling
(dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, ”(Al-Qur`an) ini tidak lain hanyalah
sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (al-
Muddatstsir: 18-25)
Akan tetapi, meskipun dalam Al-Qur`an segala puncak bahasa Arab tersandang pada dirinya, Al-
Qur’an itu mudah. Sebagaimana ia menyebutkan dirinya sebanyak 4 kali dalam surat yang sama.
) ٫١٧ ٫٢٢ ٤٠٫٣٢:‫َولََق ْد يَ َّسْرنَا الْ ُق ْرءَا َن َف َه ْل ِم ْن ُم َّد ِك ٍر (القمر‬
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang
mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17, 22, 32 dan 40)
Sejarah pun membuktikan bahwa bahasa Arab itu mudah. Pada mulanya, hanya penduduk Jazirah
Arabiyah, negeri-negeri Syam, dan sebagian Iraq saja yang menggunakan bahasa ini. Kemudian,
menyebar ke Afrika Utara bersamaan dengan penyebaran Islam, seperti Mesir, Libia, Tunisia,
Aljazair, Maroko, Sudan, Somalia, dan lainnya. Dahulu, Afrika Utara tidak bisa berbahasa Arab,
kecuali setelah Islam masuk pada kawasan itu. Demikian pula yang terjadi di Persia, Asia Tengah,
Selatan, dan Tenggara. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas bahasa Arab setiap kawasan
berbeda antara satu dengan yang lainnya, tergantung pada kedekatan dan jarak kawasan dengan
Jazirah Arabiyah. Misalnya, di Asia Tenggara, bahasa Arab sangat mempengaruhi bahasa Melayu,
terutama pada kosa kata dan aksara yang digunakan, khususnya pada sebelum dan saat masa zaman
penjajahan.
Bukti sejarah yang lain adalah, para perumus ilmu tata bahasa Arab sebagian besar bukan berdarah
Arab. Misalnya, Sibawayh dari Asia Tengah, Ibnu Malik dan Ibnu Hisyam dari Andalusia atau
Spanyol, serta Imrithi dari Afrika Utara. Disamping itu, ulama-ulama Islam yang lain, seperti Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari Asia Tengah, dan masih banyak ulama lainnya yang bukan dari
bangsa Arab.
Jadi, jika masih ada yang berpendapat bahwa bahasa Arab itu sulit, maka itu hanyalah ilusi, atau
mungkin hanya senjata musuh Islam dalam al-gazwul fikri agar umat ini jauh dalam memahami
agamanya. Oleh karena itu, baik secara normatif, maupun empiris, bahasa Arab itu mudah. Maka,
salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah karena mereka tidak mampu menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi mereka.
Adapun jika ditinjau dari teori modern tentang pengajaran bahasa kedua, maka dapat dikatakan bahwa
tingkat kemudahan dan kesulitan mempelajari setiap bahasa itu sama. Sekarang ini, telah tersedia
jumlah memadai kurikulum pengajaran bahasa Arab yang mudah dan menggunakan teori modern,
misalnya al-Arabiyyatu Lin Nasyi’in, yang diproduksi tahun 1980 oleh Departemen Pendidikan Saudi

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 45


Arabia. Semoga program itu dapat mendorong teman-teman belajar bahasa Arab, sebagai bagian dari
persyaratan kemenangan umat ini di masa mendatang.

2. Indah
Sesuatu yang indah harus dapat dipandang keindahannya. Namun, tidak demikian halnya dengan
bahasa, karena pada umumnya keindahan bahasa hanya dapat dirasakan melalui pendengaran atau
pemahaman ketika membacanya. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi bahasa Arab. Keindahan
bahasa Arab terdiri dari tiga dimensi; pertama, dimensi ketika ia didengar; kedua, dimensi ketika ia
dibaca, dan ketiga, dimensi ketika ia ditulis atau dilukis.
Yang pertama dan kedua merupakan cermin dari kesusastraan bahasa Arab. Seni sastra dalam bahasa
Arab dapat dipelajari dengan satu disiplin ilmu, yaitu disiplin ilmu “Balaghah”. Adapun karya
sastranya yang terdiri dari syair dan prosa disebut dengan “Adab”. Nilai sastra bahasa Arab yang
paling tinggi adalah Al-Qur`an, kemudian hadits Nabi Muhammad saw., kemudian hasil karya-karya
sastra bangsa Arab, baik yang berupa syair, maupun prosa. Di bawah ini terdapat beberapa contoh.
Al-Qur’an
‫قُ ْل َه ْل يَ ْستَ ِوي الَّ ِذيْ َن َي ْعلَ ُم ْو َن َوالَّ ِذيْ َن الَ َي ْعلَ ُم ْو َن‬
“Apakah sama bagi orang-orang yang berilmu dengan orang-orang tidak berilmu”
Hadits
‫يَ ِّسُر ْوا َوالَ ُت َع ِّسُر ْوا َوبَشُِّر ْوا َوالَ ُتَنف ُِّر ْوا‬
“Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, dan jangan menakuti.”
Syair
‫اع‬ ِ َّ‫ِمن ثَنِـي‬
ِ ‫ات ال َْو َد‬ ‫طَلَ َع الْبَـ ْد ُر َعلَْيــنَا‬
ْ
ِ ‫مـا دعـا‬
‫هلل َداع‬ ‫الشـك ُْر َعلَْينَا‬
ُّ ‫ب‬
ََ َ َ ‫َو َج‬
Prosa
‫ َك ْثَرةُ األَ ْك ِل َو َك ْثَرةُ الن َّْوِم َو َك ْثَرةُ الْ َكالَم‬:ٌ‫س هَلَا َد َواء‬
َ ‫ث لَْي‬
ٌ َ‫ثَال‬
ِ”Tiga hal yang tidak ada obatnya; banyak makan, banyak tidur, dan banyak berbicara.”
Adapun dimensi keindahan yang ketiga merupakan cerminan dari seni kaligrafi Arab. Seni ini
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Hal ini dapat kita saksikan keindahannya
pada bangunan-bangunan Islam, seperti masjid-masjid atau istana-istana peninggalan sultan-sultan
Islam. Bahkan, saat ini telah dikembangkan dalam dunia lukisan di atas kanvas, dan secara garis besar,
seni kaligrafi Arab terdiri dari 7 aliran, yaitu; Nasakh, Tsuluts, Farisi, Riq’ah, Diwani, Diwani Jaliy,
dan Kufi.
3. Syamil
Suatu kehormatan bagi bahasa Arab, karena ia telah dipilih Allah menjadi bahasa kitab suci, bahasa
nabi dan rasul terakhir, dan pada akhirnya sebagai alat komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya
dalam kegiatan ibadah, doa, dan acara ritual lainnya. Pilihan Allah bukan sembarang pilihan, pasti ada
hikmah di baliknya. Salah satu hikmah yang dapat dilihat adalah ke-syumul-an atau kesempurnaan
bahasa ini.
Bahasa Arab kaya dengan kosa kata; 1 akar kata dapat melahirkan lebih dari 3000 kosa kata baru, 1
tema dapat diungkapkan dalam lebih dari 10 kosa kata, dan setiap kosa katanya dapat diungkapkan
dalam bentuk atau makna asli (denotatif), dan dapat menjadi abstrak atau bahasa kinayah
(konotatif/kiasan). Perhatikanlah dua contoh berikut ini.
Allah bercerita tentang proses penciptaan manusia.
‫*ام حَلْ ًم*ا‬ ِ ِ ْ ‫ فَخلَ ْقنَ*ا الْم‬،ً‫ض*غَة‬
ْ ‫ فَ َخلَ ْقنَا ال َْعلَ َق* ةَ ُم‬.ً‫ مُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطْ َفةَ َعلَ َقة‬. ٍ ‫ مُثَّ َج َعْلنَاهُ نُطَْفةً يف َقَرا ٍر َم ِكنْي‬. ٍ ‫َولََق ْد َخلَ ْقنَا ا ِإلنْ َسا َن ِم ْن ُسالَلٍَة ِم ْن ِطنْي‬
َ َ‫ فَ َك َس* ْونَا الْعظ‬،‫ض*غَةَ عظَ ًام*ا‬ ُ َ
) ١٤‫ـ‬١٢ :‫َح َس َن اخْلَالِِقنْي َ (املؤمنون‬ َ ‫مُثَّ أَنْ َشأْنَاهُ َخْل ًقا‬
ْ ‫ َفتَبَ َار َك اهللُ أ‬،‫آخَر‬

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 46


“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah (sulalah). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (nuthfah) yang disimpang dalam
tempat (qarar) yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah (alaqah),
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging (mudhgah), dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang-belulang (izham), lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging (lahm).
Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain. Maka Maha Sucilah Allah Pencipta Yang Paling
Baik.” (Al-Mu’minuun: 12-14)
Dari ayat di atas, kita menemukan bahasa Arab sudah memiliki kosa kata yang mewakili proses
penciptaan manusia pada 14 abad yang lalu. Hal ini jauh sebelum ilmu pengetahuan menemukan
istilah-istilah serupa dalam bahasa Latin atau bahasa Inggris. Istilah-istilah itu adalah, sulalah,
nuthfah, qarar, alaqah, mudhgah, izham, dan lahm. Kemudian, kata qarar yang bermakna rahim
adalah peralihan makna dari pengertian aslinya, sehingga kata qarar dalam ayat ini tampil dalam
penggunaan abstrak.
Perbedaan antara kata “Rabb” dan “Ilah” yang keduanya bermakna ‘Tuhan” dalam bahasa Indonesia.
Allah SWT berfirman,
ِ ‫ ِم ْن َشِّر ال َْو ْس َو‬.‫َّاس‬
ِ ‫اس اخْلَن‬ ِ ‫ إِلَِه الن‬.‫َّاس‬ ِ ِ‫ مل‬.‫َّاس‬
ِ ‫ك الن‬ ِّ ‫َع ْوذُ بَِر‬
)١‫ ـ‬٤:‫َّاس (الناس‬ َ ِ ‫ب الن‬ ُ ‫قُ ْل أ‬
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (Rabb) manusia, Raja manusia, Sembahan (Ilah)
manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi….” (an-Naas: 1-4)
Pada ayat diatas, Allah SWT menggunakan dua kosa kata bahasa Arab yang berbeda dalam
mengungkapkan tentang diri-Nya. Dalam kesempurnaan bahasa Arab, ditemukan khazanah yang kaya
akan kosa kata. Bahkan, untuk menjelaskan konteks yang berbeda pada objek pembicaraan yang sama,
bahasa Arab memiliki kosa kata yang dapat mewakili dua konteks tersebut, tanpa memerlukan kalimat
atau penjelasan yang panjang sebagaimana kita temukan dalam bahasa kita. Kata Rabb misalnya, bila
dijelaskan dalam bahasa Indonesia, maka artinya adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, Pelindung,
Pemberi rezki dan seterusnya. Adapun kata Ilah berarti Tuhan Yang disembah, Tempat bergantung,
Tempat berdoa dan seterusnya.
4. Mu’jizah
Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah mu’jizah, yang artinya menarik. Bagi orang awam, bahasa
Arab itu menarik karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa ini. Namun, bagi pembelajar bahasa ini,
bahasa Arab itu menarik karena dapat memberikan nilai lebih dari beberapa sisi, sebagaimana tertera
di bawah ini.
pertama, singkat dan padat. Misalnya, kalimat la ilaha illallah. Baik orang Arab yang memeluk Islam,
maupun yang kafir, memahami bahwa kalimat tersebut mengandung makna dan konsekuensi yang
tidak sederhana. Hal ini dapat dilihat dari pensikapan mereka terhadap kalimat ini. Mereka yang
masuk Islam memahami bahwa kalimat ini mengandung persamaan antar setiap manusia. Pemahaman
yang sama juga dimiliki oleh mereka yang tidak masuk Islam. Hal itu terlihat ketika mereka
mengatakan, “Kalimat ini adalah kalimat yang dibenci oleh para raja.” Mengapa para raja
membencinya? Hal ini disebabkan mereka tidak mau disamakan derajatnya dengan manusia lainnya.
Kedua, jelas dalam menentukan hukum. Misalnya, dalam salah satu ayat, Allah SWT berfirman,
ِ ِ َ‫حِّرمت علَي ُكم الْميتَةُ والدَّم وحَل م اخْلِْن ِزي ِر وما أ ُِه َّل لِغ‬
) ٣:‫اهلل …(املائدة‬ ‫رْي‬ َ َ ْ ُ ْ َ ُ َ َْ ُ ْ َ ْ َ ُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah….” (al-Maidah: 3)
Oleh karena kejelasan bahasa Arab inilah, Allah SWT berfirman pada ayat yang lain,
)٣٧:‫ْما َعَربِيًّا … (الرعد‬ ِ
ً ‫ك أَْنَزلْنَاهُ ُحك‬
َ ‫َو َك َذل‬
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Qur’an itu sebagai hukum (peraturan yang benar)
dalam bahasa Arab …. (ar-Ra’d: 37)
Ketiga, ungkapan-ungkapan indah yang sarat doa dan makna. Misalnya, ungkapan “Assalamu
‘alaikum” dan “Wa ‘alaikumussalam.” Kedua ungkapan tersebut diucapkan pada saat dua orang
muslim saling bertemu, yang masing-masing saling mendoakan keselamatan. Begitu pula ungkapan

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 47


“Ahlan wa sahlan.” Ungkapan tersebut mengandung makna filosofi yang dalam, yaitu bagi yang
mendapatkan ucapan itu, berarti telah dianggap oleh yang mengucapkannya sebagai “keluarga dan
segala urusannya akan menjadi mudah, dan tidak akan menemui kesulitan.”

5. Cerdas
Untuk kecerdasan bahasa Arab, biarkanlah al-Qur’an yang memberikan kesaksian normatif tentang
kecerdasan bahasa Arab. Kecerdasan yang dimaksud adalah membuat pengguna bahasa ini menjadi
cerdas. Perhatikanlah al-Qur’an menerangkan hal tersebut:
)١‫ـ‬٢:‫ إِنَّا أَْنَزلْنَاهُ ُقْرءَانًا َعَربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم َت ْع ِقلُ ْو َن (يوسف‬. ِ ‫اب ال ُْمبِنْي‬ ِ ‫ك آيات ال‬
ِ َ‫ْكت‬ ِ
ُ َ َ ‫ تْل‬،‫الر‬
“Alif laam raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian berakal.” (Yusuf: 1-2)
Islam, dan bahasa Arab telah melahirkan berjuta ulama dari berbagai bangsa ‘ajam (bukan Arab) di
berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama, maupun teknologi. Hal ini sebagaimana telah disebutkan
pada mukadimah dan point pertama, yaitu mudah sebagai salah satu sifat bahasa arab.
Jelas
Bahasa Arab itu jelas, seperti jelasnya matahari di siang hari. Beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan
mengenai hal itu.
)١٠٣ :‫ لِ َسا ُن الَّ ِذ ْي يُْل ِح ُد ْو َن إِلَْي ِه أ َْع َج ِم ٌّي َو َه َذا لِ َسا ٌن َعَريِب ٌّ ُمبِنْيٌ (النحل‬،‫َّه ْم َي ُق ْولُْو َن إِمَّنَا يُ َعلِّ ُمهُ بَ َشٌر‬
ُ ‫َولََق ْد َن ْعلَ ُم أَن‬
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu
diajarkan oleh seorang kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
(bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab
yang terang.” (an-Nahl: 103)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,
ِ ‫ضَر ْبنَا لِلن‬
)٢٨‫ـ‬٢٧:‫ ُق ْرآنًا َعَربِيًّا َغْيَر ِذ ْي ِع َو ٍج لَ َعلَّ ُه ْم َيَّت ُق ْو َن (الزمر‬.‫َّاس يف َه َذا الْ ُق ْرآ َن ِم ْن ُك ِّل َمثَ ٍل لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُر ْو َن‬ َ ‫َولََق ْد‬
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka mendapat pelajaran. (Ialah) Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.” (az-Zumar: 27-28)
Dua ayat di atas mengingatkan setiap manusia akan orisinalitas kenabian Muhammad saw.. Hal ini
dikarenakan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dimana Allah telah menyatakan bahwa bahasa
ini jelas dan tidak bengkok. Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang samar atau salah dalam
memahami Al-Qur’an atau bahasa Arab, maka ada dua kemungkinan pada dirinya. Pertama, ilmunya
tentang bahasa Arab tidak sempurna; kedua, terdapat penyakit dalam hatinya, sehingga terhijab
baginya untuk memahami Al-Qur`an dengan benar.

Urgensi Belajar Bahasa Arab


Setelah kita mengkaji beberapa karakteristik bahasa Arab, semoga ”benih” cinta telah menjadi “tunas”
di dalam hati agar mau mempelajari bahasa Arab lebih serius dari sikap yang ada selama ini. Berikut
ini, beberapa jawaban mengapa seorang muslim, dan aktivis dakwah khususnya, harus menguasai
bahasa Arab.
1. Bahasa Arab sebagai Bahasa Islam.
Setiap muslim wajib memahami Islam sesuai dengan pemahaman orang-orang yang pertama memeluk
agama ini, yaitu sesuai pemahaman Rasulullah saw., para sahabat, dan tabi’in. Akan tetapi, hal
tersebut mustahil terwujud apabila seorang muslim tidak menguasai bahasa Arab. Hal ini disebabkan
semua literatur Islam, baik itu Al-Qur’an, sunnah, maupun karya-karya ulama sebagai tafsir atau
penjelas atas keduanya, tertulis dalam bahasa Arab. Walaupun, ada yang mungkin telah diterjemahkan
atau ditulis oleh orang ‘ajam, dan dengan bahasa ‘ajam, namun nilainya tetap tidak sama dibandingkan
jika kita memahaminya secara langsung dengan memakai bahasa Arab.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 48


Sementara itu, setiap muslim berkewajiban pula beribadah kepada Allah SWT. Hampir semua ibadah
dalam Islam menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi dengan Allah SWT. Harus
disadari, sebuah komunikasi tidak akan efektif apabila antara pembicara dan teman bicara tidak
menggunakan bahasa yang sama. Oleh karena itu, agar komunikasi seorang hamba dengan Allah
melalui ibadah menjadi efektif, maka menjadi keharusan bagi hamba untuk menguasai bahasa Arab.
Mungkin ada pertanyaan, apa tidak boleh ibadah dilakukan dengan bahasa Indonesia? Jawabannya,
memang tidak semua ibadah harus dilafadzkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, ibadah-ibadah pokok
seperti shalat, dan sebagian amalan haji mengharuskan hal itu.
Setiap muslim, pastinya mengharapkan ridha Allah SWT. Hal ini berangkat dari pemahamannya yang
benar terhadap Islam; dari ibadahnya yang ikhlas kepada Allah, dan dari amalan-amalannya yang
bermanfaat bagi peradaban dan kehidupan umat manusia. Konsekuensi logis dari ridha Allah SWT
nantinya, adalah memasuki surga-Nya di negeri akhirat, sedangkan bahasa komunikasi penduduk
surga yang digambarkan oleh Rasulullah saw. adalah bahasa Arab.
Untuk itu semua, setiap muslim yang tidak menguasai bahasa Arab wajib mempelajari bahasa ini.
Kaidah usul fiqih mengatakan,
ِ ِِ ِ ِ ِ
ٌ ‫َما الَ يَت ُّم ال َْواجب إالَّ به َف ُه َو َواج‬
‫ب‬
“Suatu amalan wajib tidak sempurna karena sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Lewat kaidah di atas kita memahami bahwa menguasai bahasa Arab wajib hukumnya. Hal ini
disebabkan, memahami Islam hukumnya wajib, dan memahami Islam tidak mungkin terjadi, kecuali
menguasai bahasa Arab. Oleh karenanya, menguasai bahasa Arab menjadi wajib pula, dan disebabkan
kita tidak dapat menguasai bahasa Arab, kecuali dengan belajar, maka belajar bahasa Arab hukumnya
wajib juga.
Demikian pula, dengan wajibnya ibadah. Akan tetapi, ibadah tidak akan sempurna, kecuali memahami
lafazh yang dibaca, dan tidak akan terpahami lafazh tersebut, kecuali menguasai bahasa Arab. Hal ini
disebabkan ibadah dan kesempurnaannya adalah wajib hukumnya. Semua ini tidak akan sempurna,
kecuali menguasai bahasa Arab, dan bahasa Arab tidak mungkin dikuasai, kecuali dengan belajar.
Maka, belajar bahasa Arab itu wajib pula hukumnya, sebagaimana wajibnya shalat.
2. Bahasa Arab sebagai Bahasa Kaum Muslimin
Sudah menjadi ketentuan Allah, bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul terakhir yang diutus
kepada seluruh umat manusia, dan menjadi rahmat bagi segenap alam semesta. Islam, risalah yang
dibawanya tidak melebihkan bangsa Arab atas bangsa ‘ajam, tidak pula melebihkan derajat kulit putih
atas kulit berwarna. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap manusia adalah anak Adam, dan Adam itu
tercipta dari tanah.”
Sudah menjadi ketentuan Allah pula, bahwa manusia itu terdiri dari suku-suku dan bangsa-bangsa,
yang satu dengan lainnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Islam tidak pernah menafikan
perbedaan itu, tetapi ia menuntun agar “yang lebih” membantu “yang kurang”, dan “yang kurang”
berterima kasih kepada “yang lebih.” Allah memilih Nabi terakhir dari bangsa Arab, yang pada
gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa agama dan bahasa pemersatu umat Islam, semata-
mata karena bangsa dan bahasa Arab memang memiliki kelayakan untuk mewakili semua bangsa dan
bahasa umat manusia di mata-Nya. Oleh karena itu, pemilihan tersebut tidak dapat dinilai dengan
sebuah kemuliaan, karena kemuliaan di sisi Allah SWT hanyalah ketakwaan.
Selanjutnya, sesuai dengan uraian di atas, dipahami bahwa Islam bukan hanya sekadar agama yang
sarat dengan ritual. Namun, Islam membawa misi peradaban, dan menjadi guru bagi kemanusiaan.
Oleh karena itulah, Islam memerlukan bahasa pemersatu bagi umatnya. Tidak ada pilihan lain untuk
melakukan peran itu, kecuali dengan berbahasa Arab. Adapun alasan-alasannya akan diuraikan
sebagaimana berikut.
Pertama, karena ia telah menjadi bahasa pilihan Allah. Kedua, sejarah telah membuktikan bangsa-
bangsa ‘ajam di luar Jazirah Arabiyah bersatu dengan bangsa Arab. Mereka meninggalkan bahasanya,
dan menggantinya dengan bahasa Arab.
Jika umat Islam dewasa ini, ingin meraih kembali kejayaan, maka salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah memiliki “bahasa pemersatu”, yaitu bahasa Arab. Setiap diri kita, sebagai bagian dari
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 49
umat ini, mempunyai kewajiban memberi kontribusi pada kejayaan umat. Maka, kita pun harus
menguasai bahasa Arab.
3. Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Peradaban
Image masyarakat tentang bahasa Arab bahwa ia terbatas hanya sebagai bahasa ilmu agama adalah
suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, melalui materi ini, akan ditemukan
kenyataannya tidaklah demikian. Bahasa Arab pernah mencakup semua disiplin ilmu. Saksi sejarah
membuktikan bahwa Bagdad, Damaskus, Kairo, Andalusia, dan pusat peradaban Islam lainnya pada
zaman keemasan Islam pernah menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan. Kota-kota itu telah
“melahirkan” Ibnu Sina sebagai dokter pertama, al-Hawarizm sebagai ahli kimia, al-Farabi sebagai
peletak note-note balok dalam ilmu musik, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut nama
mereka satu per satu dalam materi ini. Sampai saat ini, karya-karya mereka masih tetap digunakan
sebagai referensi utama dalam disiplin ilmu mereka masing-masing.
Hal yang lain yang tidak boleh dinafikan, adalah ketika umat Islam mengalami zaman keemasan.
Eropa—yang dewasa ini sebagai “panglima” teknologi—pada masa itu masih dalam zaman kegelapan,
sehingga merekalah yang belajar ilmu pengetahuan dari orang-orang Islam, khususnya di Andalusia.
Akibatnya, muncul pertanyaan. Mengapa umat Islam yang berbahasa Arab tidak lagi memimpin ilmu
pengetahuan seperti dahulu kala? Penyebabnya banyak. Jawabannya akan ditemukan, jika kita
mempelajari sejarah dan menghubungkannya dengan sunnatullah (hukum-hukum sosial) yang terkait
dengan kemajuan dan kemunduran sebuah umat. Adapun materi ini tidak dibuat untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Pertanyaan berikutnya, adalah apakah masih ada kemungkinan sejarah akan berbalik, umat Islam
dengan bahasa Arabnya memimpin kembali ilmu pengetahuan dan peradaban? Mengapa tidak? Tidak
ada yang mustahil. “Hari-hari” itu dipergilirkan oleh Allah kepada bangsa, atau umat yang siap
menerimanya. Oleh karenanya, agar “hari-hari” itu dapat diraih kembali oleh umat Islam, mereka
harus menjalankan sunnatullah yang menjadi penyebab suatu umat mendapatkan kemenangan.
Apakah bahasa Arab memiliki peran dalam hal ini? Jawabanya adalah ya. Pertama, karena sumber
ilmu pengetahuan, yaitu Al-Qur’an dan hadits menggunakan bahasa Arab. Kedua, karena bahasa Arab
adalah bahasa pemersatu umat Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ketiga, karena bahasa Arab
adalah bahasa terkaya dari semua bahasa. Keempat, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling
banyak digunakan oleh penduduk bumi, seiring dengan bertambahnya jumlah umat Islam.
Oleh karena itu, sebagai aktifis dakwah, kita harus menjadi “lokomotif” terdepan untuk menarik
“gerbong-gerbong” umat menuju kejayaan. Termasuk di dalamnya, memenuhi salah satu syaratnya,
yaitu menguasai bahasa Arab.

Manfaat Belajar
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari mempelajari bahasa Arab. Diantaranya adalah,
Pertama, memahami Islam. Kedua, mempersatukan kaum muslimin. Ketiga, menjadikan umat
manusia berperadaban.
Manfaat yang pertama dan kedua, sudah menjadi keyakinan bagi setiap muslim. Adapun manfaat yang
ketiga masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Walaupun, pada uraian di atas telah banyak
menyinggung hal itu. Satu hal yang tidak dapat ditolak adalah setiap muslim mempunyai peran ganda;
yaitu, dia harus menjadi muslim yang soleh (baik secara individu maupun secara kolektif), sekaligus
menjadi muslim yang mushlih (mampu memperbaiki orang lain). Untuk peran yang terakhir ini, Allah
SWT berfirman:
)٧:‫ك ُق ْرءَانًا َعَربِيًّا لُِتْن ِذ َر أ َُّم الْ ُقَرى َو َم ْن َح ْوهَلَا … (الشورى‬
َ ‫ك أ َْو َحْينَا إِلَْي‬
ِ
َ ‫َو َك َذل‬
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi
peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya ….”
(asy-Syura: 7)
,Dalam ayat lain, Allah berfirman

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 50


) ١٢:‫ِّق لِ َسانًا َعَربِيًّا لُِيْن ِذ َر الَّ ِذيْ َن ظَلَ ُم ْوا َوبُ ْشَرى لِْل ُم ْح ِسنِنْي َ (األحقاف‬
ٌ ‫صد‬َ ‫اب ُم‬
ِ
ٌ َ‫… َو َه َذا كت‬

“… Dan kitab (al-Qur’an) ini adalah kitab yang membenarkan (Taurat) dalam bahasa Arab untuk
memberi peringatan kepada orang-orang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang
yang berbuat baik.” (al-Ahqaf: 12)
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa bahasa Arab tidak dapat diabaikan jika kita melakukan peran
kita yang kedua, yaitu sebagai muslim yang mushlih, yang senantiasa memberikan transformasi
kebaikan kepada umat manusia lainnya.

Tujuan Agung
Akhirnya, semoga dengan mempelajari bahasa Arab, cita-cita kemenangan, dan kebahagiaan di dunia-
akhirat dapat diraih.
Wallahu a’lam

Azam Membela Islam

Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah
masyarakat tidak hanya sebagai pemandu kehidupan tetapi juga sebagai pemberi arti bagi amal-amal
yang dilakukan anggotanya. Nilai dapat mengharmonikan pluralitas yang terdapat dalam sebuah
masyarakat menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Oleh karena itu nilai-nilai selalu
dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan dijunjung tinggi oleh semua anggota sebuah
masyarakat.
Oleh karena posisi nilai dalam sebuah masyarakat demikian pentingnya maka ia selalu menjadi
penggerak motivasi dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan
dari totalitas hidupnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi tenaga
(energi) yang mendorong seseorang untuk selalu bertekad (azam) dalam menegakkan dan bahkan
membelanya.
Dalam konteks kaum muslimin nilai-nilai yang dimaksud adalah Islam, din yang mengandung tata
nilai yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Setiap muslim seyogianya tidak hanya meyakini
bahwa seluruh dimensi ajaran atau nilai-nilai Islam benar dan harus ditegakkan dalam seluruh aspek
kehidupannya, tetapi juga harus dibela agar Islam dapat tegak berada di atas agama-agama yang lain.
‫ُه َو الَّ ِذي أ َْر َس َل َر ُسولَهُ بِاهْلَُدى َو ِدي ِن احْلَ ِّق لِيُظْ ِهَرهُ َعلَى الدِّي ِن ُكلِّ ِه َولَ ْو َك ِر َه ال ُْم ْش ِر ُكو َن‬
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang
benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai.”
(QS, At-Taubah: 33)

Bagi seorang muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal
melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi
perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya
terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.
Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu
menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan
memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat
menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.
Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan
tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫َولََق ْد َع ِه ْدنَا إِىَل ءَ َاد َم ِم ْن َقْب ُل َفنَ ِس َي َومَلْ جَنِ ْد لَهُ َعْز ًما‬
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 51
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka lupa (akan perintah itu),
dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS, Thaha: 115)

Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim
dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal.
Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.
Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu
bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun
ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan
dalam menghadapi kerasnya perjuangan.
Selanjutnya kedua sayap itu siap menerbangkan azam seseorang ke alam kemenangan. Sejarah selalu
membuktikan kekuatan azam sebuah kelompok, betapa pun kecilnya, dapat mengalahkan kelompok
besar.
Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi
sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam
ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal
adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah
penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak
bergantung kepada selain-Nya.
Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada
firman Allah berikut:
ِ ‫ك إِاَّل الْ َقوم الْ َف‬ ِ ِ
‫اس ُقو َن‬ ُْ ُ َ‫اعةً ِم ْن نَ َها ٍر بَاَل غٌ َف َه ْل يُ ْهل‬ َ ‫وع ُدو َن مَلْ َيْلبَثُوا إِاَّل َس‬ ُّ ‫صَبَر أُولُو ال َْعْزم ِم َن‬
ُ ‫الر ُس ِل َواَل تَ ْسَت ْعج ْل هَلُ ْم َكأَن‬
َ ُ‫َّه ْم َي ْو َم َيَر ْو َن َما ي‬ َ ‫اص ْ َك َما‬
‫فَ ْ رِب‬
“Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul ‘azmi)
dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ...”
(QS, al-Ahqaf: 35)
ِ ِ ِ ‫ت فَظًّا َغلِي * َظ الْ َقْل‬ ِِ ٍِ
َ‫ت َفَت َو َّك ْل َعلَى اللَّه إِ َّن اللَّه‬
َ ‫ف َعْن ُه ْم َوا ْس *َت ْغفْر هَلُ ْم َو َش *ا ِو ْر ُه ْم يِف اأْل َْم* ِر فَ *ِإ َذا َع* َ*ز ْم‬
ُ ‫*اع‬ َ ‫ض *وا ِم ْن َح ْو‬
ْ *َ‫لِك ف‬ ُّ ‫ب اَل ْن َف‬ َ ‫فَبِ َ*م*ا َرمْح َ**ة م َن اللَّه لْن‬
َ ‫ت هَلُ ْم َولَ* ْ*و ُكْن‬
ِ ُّ ِ‫حُي‬
َ ‫ب ال ُْمَت َو ِّكل‬
‫ني‬
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (QS, Ali ‘Imran: 159)
Posisi azam dalam perjuangan dakwah jelas sangat penting. Oleh karena itu upaya membangun
kemauan kuat di kalangan aktivis adalah bagian dari perjuangan itu sendiri. Sepanjang sejarah dakwah
pembangunan kemauan kuat menjadi pilar utama pembentukan kader-kader yang siap terjun di medan
perjuangan. Nabi Musa AS, sebelum memberikan komando agar Bani Israel berani memasuki bumi
yang dijanjikan, selepas mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, terlebih dahulu
memberikan pengarahan kepada Bani Israel tentang pentingnya azam dalam merealisasikan cita-cita.
Firman Allah:
ِ ِ ‫تأ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ني‬ َ ‫وسى ل َق ْومه يَا َق ْوم اذْ ُكُروا ن ْع َمةَ اللَّه َعلَْي ُك ْم إِ ْذ َج َع َل في ُك ْم أَنْبِيَاءَ َو َج َعلَ ُك ْم ُملُو ًكا َوءَاتَا ُك ْم َما مَلْ يُ ْؤ‬
َ ‫َح ًدا م َن ال َْعالَم‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َ ‫ال ُم‬
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu,
ketika Ia menjadikan di tengah kalian para Nabi dan Ia jadikan kalian raja-raja (orang yang
merdeka) dan Ia berikan kepadamu sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di
dunia. Wahai kaumku, masuklah ke Tanah Suci yang telah dituliskan Allah atas kamu dan janganlah
berbalik ke belakang, nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS, al-Ma`idah: 20)
Namun orang-orang Yahudi, karena kedegilan yang melekat pada diri mereka, tidak mampu
menangkap makna pengarahan Nabi mereka. Apa yang terjadi sesudah itu membuktikan bahwa
kemauan kuat, himmah (cita-cita) yang tinggi, azam yang membaja, dan tekad yang bulat menduduki

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 52


posisi sentral dalam perjuangan dakwah, bahkan dalam setiap amal. Rasulullah SAW menegaskan
bahwa cita-cita yang tinggi merupakan bagian dari iman.
Kenyataannya Bani Israel tetap berada dalam keraguan, tidak memiliki azam, dan tekad mereka
lemah. Mereka lebih percaya kepada kekuatan materi yang tampil dalam tubuh perkasa orang-orang
Amalek yang telah lama menduduki tanah Palestina itu. Mereka melupakan siapa yang menyuruh
mereka memasuki tanah yang dijanjikan itu dan yang telah memberikan jaminan kemenangan.
ِ َ‫ك َف َقاتِاَل إِنَّا هاهنَا ق‬
‫اع ُدو َن‬ *َ ْ‫ب أَن‬ ِ ِ
َُ َ ُّ‫ت َو َرب‬ ْ ‫وسى إنَّا لَ ْن نَ ْد ُخلَ َها أَبَ ًدا َما َد ُاموا ف َيها فَا ْذ َه‬
َ ‫قَالُوا يَ ُام‬
“Kami berkata, “Hai Musa, kami tak akan memasukinya selama-lamanya selama mereka ada di
sana, maka pergilah engkau dan Tuhanmu, lalu berperanglah, karena kami akan duduk-duduk.” (QS,
Al-Ma`idah: 24)
Dengan demikian tingkat azam seseorang dapat menentukan tingkat kualitas perjuangannya. Maka
kekokohan azam seorang da’i dalam membela agamanya menentukan kualitas dan nilai amal
perjuangannya. Selanjutnya kekuatan azam tersebut akan mendudukkan dirinya pada posisi terdepan
dalam barisan mujahidin dan layak memperoleh penghargaan.
Mereka, orang-orang yang kualitas azamannya tinggi, umumnya tidak banyak. Meski demikian
mereka dapat menggerakkan mesin kemenangan. Misalnya dalam deretan nama-nama nabi kita kenal
5 nama yang diberi gelar ulul ‘azmi. Mereka adalah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad
SAW.
Kaum Hawariyyun, kaum Muhajirin dan Anshar adalah kelompok-kelompok yang memiliki azam
yang tinggi dalam membela agama mereka. Oleh karena itu sejarah perjuangan mereka sempat
diabadikan dalam al-Qur`an.
Oleh karena azam untuk membela Islam merupakan bagian dari kondisi psikis muslim, maka kita
perlu menciptakan kondisi psikis yang memungkinkan azam itu tumbuh subur dalam kalbu kita. Di
sini kita perlu terus-menerus melakukan dialog dengan diri sendiri dan memastikan bahwa diri kita
tidak ragu untuk memperjuangkan Islam.
Untuk sampai pada kepastian itu hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti kehidupan kita di
dunia ini. Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sebuah ibtila` (ujian). Di sinilah kita diuji dan di
sini pula ladang tempat penghimpunan bekal yang menentukan nasib kita di akhirat nanti.
Oleh karena itu aktivitas fisik dan psikis kita selama hidup di alam fana harus sejalan dengan nilai-
nilai yang telah kita yakini. Selanjutnya kita dituntut memiliki kesadaran batin melalui serangkaian
proses “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) spiritualitas kita. Dengan bersungguh-
sungguh kita terus-menerus menerapkan metode-metode pensucian jiwa yang dapat
mengkristalkan/mengokohkan azam kita untuk membela Islam dan mengantarkannya kepada
kemenangan sejati.
Kesadaran batin tersebut merupakan energi yang tertanam dalam diri kita. Dengan kesadaran itu kita
dapat melihat fenomena-fenomena kehidupan yang terpampang di hadapan kita dan menumbuhkan
kepercayaan pada diri kita. Selanjutnya dengan percaya diri dan kemantapan kalbu kita melakukan
mujahadah dalam menghadapi berbagai godaan yang dapat menyeret kehidupan ke jurang kenistaan.
Dari kesadaran batin itulah hendaknya logika dibangun. Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan
sesuai dengan fitrah manusia. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan
kalbu, yaitu motif-motif dan emosi-emosi yang paling dalam, dan dari penghayatan kita kepada nilai-
nilai Islam. Logika yang tidak berupa pandangan-pandangan akal yang sering menimbulkan
kebingungan dan kerancuan. Logika paling simple tetapi penuh makna, “Hidup mulia atau mati
syahid.” Dengan logika itulah kita berazam. Wallahu A’lam.

YANG BERJATUHAN DI JALAN DA'WAH


Oleh : Fathi Yakan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 53
PENDAHULUAN
Da'wah merupakan perjalanan panjang yang penuh dengan duri dan rintangan. Kemenangan
da'wah akan diperoleh apabila para anggota-anggotanya komitmen dan teguh dalam menapaki jalan
da'wah.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa akan ada anggota da'wah yang berjatuhan, baik bentuknya
penyelewengan, penyimpangan, pengunduran diri dan sebagainya, sebelum meraih kemenangan.
Fenomena ini tidak bisa dihindari, sehingga ada sebagian orang memandang hal ini sebagai suatu
fenomena yang wajar / sehat guna memperbaharui sel-sel intinya, dan membebaskan da'wah dari
segala hal yang memberatkan dan menghambat pergerakan.

FENOMENA YANG BERJATUHAN DI ZAMAN NABI


Pada zaman Rasulullah saw, sudah terjadi fenomena pembelotan para anggota jama’ah untuk
melepaskan tanggung jawab ataupun sekedar bermalas-malasan dalam berda’wah. Beberapa peristiwa
berjatuhan di jalan da'wah yang sempat terjadi adalah:
Kelompok mutakhollifin (orang-orang yang tidak berangkat) pada perang Uhud, diantaranya: Ka’ab
bin Malik, Muroroh Ibnu ‘Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Namun mereka bertiga ini kemudian
diterima taubatnya oleh Allah swt, dan penerimaan taubat mereka diabadikan di dalam Al Qur’an
dalam surat al Bara-ah, dan karena pertaubatan besar inilah surat ini juga dinamakan surat at-Taubah.
Pembocoran rahasia negara oleh Hathib bin Abi Balta’ah. Namun mengingat kebaikan masa lalunya,
yaitu keikut sertaannya dalam perang Badar yang merupakan yaumul furqan, Rasulullah saw
mengampuni dan tidak menghukumnya.
Haditsul Ifki (berita kebohongan besar) terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. Diantara orang-orang
yang terlibat dalam penyebaran berita ini, ada tiga sahabat nabi, mereka telah mendapatkan hukuman
had, yaitu masing-masing di dera 80 kali, dan setelah itu merekapun bertaubat. Mereka itu adalah:
Hassan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah bin Utsatsah.
Pengkhianatan Abu Lubabah yang membocorkan rahasia hukum yang akan diterapkan kepada orang-
orang Yahudi Bani Quraizhah. Dia telah menyatakan taubat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan
Allah swt-pun telah menerima taubatnya.
Peristiwa berdirinya masjid dhirar.

SEBAB-SEBAB BERJATUHAN
Sebab-sebab yang berhubungan dengan pergerakan
Lemahnya segi pendidikan.
Tidak menempatkan personal dalam posisi yang tepat.
Distribusi penugasan yang tidak merata pada setiap individu.
Tidak adanya monitoring personal secara baik.
Tidak menyelesaikan berbagai urusan dengan cepat.
Konflik intern. Konflik intern ini disebabkan oleh:
Lemahnya kepemimpinan.
Adanya tangan tersembunyi dan kekuatan luar yang sengaja menyebar fitnah.
Perbedaan watak dan kecenderungan individu.
Persaingan dalam memperebutkan kedudukan.
Tidak adanya komitmen dan penonjolan tingkah laku individu.
Kevakuman aktifitas dan produktifitas.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 54


Dalam sejarah, konflik yang pernah terjadi antar ummat Islam adalah pada peristiwa konflik
golongan Aus dan Khazraj. Dalangnya (provokatornya) adalah orang-orang Yahudi, yaitu Syammas
bin Qais. Atas prakarsa Rasulullah saw maka golongan Aus dan Khazraj bersatu kembali. Hal tersebut
terbukti dengan turunnya QS Ali Imran: 100 – 105.
Kepemimpinan yang tidak ahli dan qualified. Sebabnya antara lain:
Kelemahan dalam kemampuan idiologi.
Kelemahan dalam kemampuan organisatoris.

Oleh karena itu, seorang pemimpin yang diangkat haruslah memiliki syarat:
Mengenal da'wah.
Mengenal diri sendiri.
Pengayoman yang kontinyu.
Teladan yang baik.
Pandangan yang tajam.
Kemauan yang kuat.
Kharisma kepribadian yang fitri.
Optimisme.

Sebab-sebab yang berhubungan dengan individu


Yaitu berjatuhannya anggota disebabkan oleh atau bersumber pada pribadi anggota.
Yang termasuk dalam hal ini adalah:
Watak yang tidak disiplin, sehingga menyebabkan dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan
organisasi / jama’ah.
Takut terancamnya diri dan periuk nasinya (QS 4 : 120, QS 3 : 175).
Tersebut dalam hadits:
ِ ‫ت النَّا ُر بِال َّشهَ َوا‬
)‫ت (رواه أحمد ومسلم والترمذي‬ ِ ‫ت ْال َجنَّةُ بِ ْال َمك‬
ِ َّ‫ َو ُحف‬،‫َار ِه‬ ِ َّ‫ ُحف‬.
“Syurga dipagari dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka dikelilingi oleh segala hal
yang menyenangkan”. (HR Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi).
Sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.
Tersebut dalam hadits:

“Hendaklah kamu menjauhi sikap ekstrim dalam agama. Sesungguhnya orang yang sebelum kamu
binasa karena ekstrim dalam beragama”. (HR Ahmad dan An-Nasai).
Sikap terlalu memudah-mudahkan dan meremehkan.
Tersebut dalam hadits:

“Sesungguhnya kamu melakukan pekerjaan-pekerjaan dosa menurut pandangan mata kamu lebih
halus dari rambut. Di masa Rasulullah saw, kami menggolongkan perbuatan itu termasuk al
muubiqoot (hal-hal yang menghancurkan)”. (HR Bukhari).
Tertipu kondisi gemar menampilkan diri (QS 28 : 83).
Kecemburuan terhadap orang lain / kedengkian. (QS 5 : 27 – 30).
Bencana senajata / penggunaan kekuatan.
Syarat-syarat penggunaan kekuatan:
Habis segala usaha dengan jalan lain.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 55


Urusannya dipegang oleh pimpinan dan jama’ah Islam dan bukan oleh individu.
Tidak menjurus pada pengrusakan dan bencana.
Tidak boleh keluar dari ketentuan syara’.
Penggunaan kekuatan sesuai skala prioritas.
Penggunaan senjata harus mempunyai persiapan yang matang dan cermat.
Hati-hati akan pancingan berbagai reaksi.
Tidak boleh menjerumuskan ummat Islam bila posisi kekuatan tidak seimbang.

Tekanan Luar
1. Tekanan dari suatu cobaan (QS 3 : 175).
2. Tekanan keluarga dan kerabat (QS 9 : 24).
3. Tekanan Lingkungan.
4. Tekanan gerakan agitasi (penyebaran kritik dan keragu-raguan).
5. Tekanan figuritas (QS 7 : 12).

BERLOMBA MELAKUKAN KEBAIKAN


Di dalam Al-Qur’an, baik atau kebaikan menggunakan kata ihsan, birr dan ishlah. Kata ihsan (ahsan
dan muhsin) bisa dilihat pada firman Allah:
‫يم َخلِياًل‬ ِ ِ َّ ‫ومن أَحسن ِدينا مِم َّن أَسلَم وجهه لِلَّ ِه وهو ِسن واتَّبع ِملَّةَ إِبر ِاه ِ خَّت‬
َ ‫يم َحني ًفا َوا َ َذ اللهُ إ ْبَراه‬
َ َْ َ َ َ ٌ ْ‫َ َ ْ ْ َ ُ ً ْ ْ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ حُم‬
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (QS 4:125)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 56


Bila dikaitkan dengan definisi ihsan dalam hadits kedatangan Jibril kepada Nabi Muhammad Saw,
maka ihsan adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang karena merasakan kehadiran Allah
dalam dirinya atau dia merasa diawasi oleh Allah SWT yang membuatnya tidak berani menyimpang
dari segala ketentuan-Nya.
Sedangkan kata baik dalam arti birr bisa dilihat pada firman Allah:
ِ ِ ‫ب ولَ ِك َّن الْرِب َّ من ءامن بِاللَّ ِه والْي**وِم اآْل ِخ ِر والْماَل ئِ َ*ك ِ*ة وال‬
ِ *َ‫ْكت‬ ِ ِ ِ
‫*ال َعلَى ُحبِّه َذ ِوي الْ ُق* ْ*رىَب‬
َ ‫ْم‬ َ ِّ‫*اب َوالنَّبِي‬
*َ ‫ني َوءَاتَى ال‬ َ َ َ َْ َ َََ َْ َ *‫س الْرِب َّ أَ ْن ُت َولُّوا ُو ُج‬
َ ‫*وه ُك ْم قبَ* َ*ل ال َْم ْش * ِرق َوال َْم ْغ* ِر‬ َ ‫لَْي‬
ِ ‫ني الْبَ*أ‬ ِ ِ َّ ‫ص*ابِ ِرين يِف الْبأْس* ِاء وال‬ *َ ‫الز َ*ك*ا َة َوال ُْموفُ**و َن بِ َع ْ*ه ِ*د ِه ْم إِ َذا َع‬
َّ ‫ص*اَل َة َوءَاتَى‬ ِ ِّ ‫ني ويِف‬ ِِ ِ ِ
‫ْس‬ َ ‫ض*َّراء َوح‬ َ َ َ َ َّ ‫اه ُ*دوا َوال‬ َ *َ‫الرقَ**اب َوأَق‬
َّ ‫*ام ال‬ َ َ ‫ني َوابْ َن ال َّس*ب ِيل َوال َّس*ائل‬ َ ‫*امى َوال َْم َس*اك‬ َ *َ‫َوالْيَت‬
ِ َّ ِ‫أُولَئ‬
‫ك ُه ُم ال ُْمَّت ُقو َن‬َ ِ‫ص َدقُوا َوأُولَئ‬َ ‫ين‬ َ ‫ك الذ‬ َ
Bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu ke timur maupun ke barat yang disebut suatu kebaikan,
tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan nabi-
nabi serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa (QS 2:177).
Bila kita kaji ayat-ayat tentang kata al birr, termasuk ayat di atas, maka akan didapat kesimpulan
bahwa kebaikan itu seperti menurut Mahmud Syaltut dalam tafsirnya dibagi menjadi tiga, yakni birr
dalam aqidah, birr dalam amal dan birr dalam akhlak.
Adapun kata baik dengan menggunakan kata ishlah terdapat dalam banyak ayat, misalnya pada firman
Allah:
‫ص*لِ ِح َولَ* ْ*و َش*اءَ اللَّهُ أَل َْعنَتَ ُك ْم إِ َّن اللَّهَ َع ِزي* ٌ*ز‬ ِ ِ
ْ ‫وه ْم فَ*ِإ ْخ َوانُ ُك ْم َواللَّهُ َي ْعلَ ُم ال ُْم ْفس* َد م َن ال ُْم‬
ِ
ُ ُ‫ص*اَل ٌح هَلُ ْم َخْ*ي ٌ*ر َوإِ ْن خُتَ**الط‬
ْ ِ‫*امى قُ* ْ*ل إ‬ َ َ‫يِف ال* ُّ*د ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة َويَ ْس*أَلُون‬
َ *َ‫ك َع ِن الْيَت‬
‫يم‬ ِ
ٌ ‫َحك‬
Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:
mengurus urusan mereka secara patut adalah baik‫( ز‬QS 2:220)
Istilah ishlah (berlaku baik) digunakan dalam kaitan hubungan yang baik antara sesama manusia.
Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, jilid 3 hal 740 dinyatakan: “Ishlah merupakan kewajiban umat
Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan ishlah ini lebih terfokus pada hubungan antara
sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT”.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Namun, kemuliaan manusia ternyata tidak terletak pada keindahan fisiknya. Kalau manusia
dianggap mulia dengan sebab badannya yang besar, tentu akan lebih mulia binatang ternak seperti
sapi, kerbau, unta, gajah dan sebagainya yang memiliki berat badan jauh lebih berat. Karenanya bila
manusia hanya mengandalkan kehebatan dan keagungan dirinya pada berat badan, maka dia bisa lebih
rendah kedudukannya daripada binatang ternak yang kemuliaannya terletak pada berat badannya.
Allah SWT berfirman:
‫ِك‬
َ ‫ض* ُّل أُولَئ‬ َ ‫ص* ُرو َن هِبَ*ا َوهَلُ ْم ءَاذَا ٌن اَل يَ ْس* َم ُعو َن هِبَ*ا أُولَئ‬
َ َ‫ِك َكاأْل َْن َع ِ*ام بَ ْ*ل ُه ْم أ‬ ِ ‫س هَل م ُقلُ*وب اَل ي ْف َقه*و َن هِب *ا وهَل م أ َْع ٌ اَل يب‬
ُْ ‫ٌ َ ُ َ َ ُ ْ نُي‬
ِ ِ ‫ولََ*ق ْد ذَرأْنَ*ا جِل هنَّم َكث‬
ْ ُ ِ ْ‫ِريا م َن اجْل ِّن َواإْلِ ن‬
ً َ ََ َ َ
‫ُه ُم الْغَافِلُو َن‬
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka
itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
(QS 7:179)
Oleh karena itu, kemuliaan manusia bisa kita pahami dari iman dan amal shaleh atau kebaikannya

dalam bersikap dan bertingkah laku, di manapun dia berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi

dan kondisinya. Itu sebabnya, semakin banyak perbuatan baik yang dilakukannya, maka akan semakin
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 57
mulia harkat dan martabatnya di hadapan Allah SWT. Di sinilah letak pentingnya bagi kita untuk

berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana firman Allah:

‫ْت بِ ُك ُم اللَّهُ مَجِ ًيعا إِ َّن اللَّهَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬


ِ ‫ات أَين ما تَ ُكونُوا يأ‬
َ
ِ
َ َ ْ ‫استَبِ ُقوا اخْلَْيَر‬
ِ
ْ َ‫َول ُك ٍّل ِو ْج َهةٌ ُه َو ُم َولِّ َيها ف‬
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-
lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu (QS 2:148).
Jalan Menuju Amal Baik

Meskipun kebaikan kita sadari sebagai sesuatu yang harus kita laksanakan, ternyata hanya sedikit
orang yang antusias untuk melakukan kebaikan itu. Karena itu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan
resep bagi seseorang agar bersemangat melakukan kebaikan.
Niat Yang Ikhlas

Niat yang ikhlas merupakan faktor penting dalam setiap amal. Karena di dalam Islam, niat yang ikhlas
merupakan rukun amal yang pertama dan terpenting. Niat yang ikhlas karena Allah dalam melakukan
kebaikan akan membuat seseorang memiliki perasaan yang ringan dalam mengerjakan amal-amal
yang berat sekalipun, apalagi bila amal kebaikan itu tergolong amal yang ringan. Sedangkan tanpa
keikhlasan, jangankan amal yang berat, amal yang ringan pun akan terasa berat. Di samping itu,
keikhlasan akan membuat seseorang berkesinambungan (istimrar) dalam melakukan amal kebaikan.
Orang yang ikhlas tidak akan bertambah semangat hanya karena dipuji dan tidak akan melemah
karena dicela. Adanya pujian atau celaan tidak akan mempengaruhi semangatnya dalam melakukan
kebaikan.
Cinta Kebaikan Dan Orang Baik.

Seseorang akan antusias melaksanakan kebaikan manakala pada dirinya terdapat rasa cinta pada
kebaikan. Karena mana mungkin seseorang melakukan suatu kebaikan apabila dia sendiri tidak suka
pada kebaikan itu. Oleh karena itu, rasa cinta pada kebaikan harus kita tanamkan ke dalam jiwa kita
masing-masing sehingga kita menjadikan setiap bentuk kebaikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan kita. Sehingga kebaikan akan selalu menyertai kehidupan ini.
Di samping cinta kepada kebaikan, agar kita suka melakukan kebaikan, harus tertanam juga di dalam
jiwa kita rasa cinta kepada siapa saja yang berbuat baik. Hal ini akan membuat kita ingin selalu
meneladani dan mengikuti segala bentuk kebaikan, siapa pun yang melakukannya. Allah SWT telah
menyebutkan kecintaan-Nya kepada siapa saja yang berbuat baik, karenanya kita pun harus mencintai
mereka yang berbuat baik, Allah berfirman:
‫ني‬ِِ ُّ ِ‫َح ِسنُوا إِ َّن اللَّهَ حُي‬ ِ ‫وأَنْ ِف ُقوا يِف سبِ ِيل اللَّ ِه واَل تُْل ُقوا بِأَي ِدي ُكم إِىَل الت‬
َ ‫ب ال ُْم ْحسن‬ ْ ‫َّهلُ َكة َوأ‬
ْ ْ ْ َ َ َ
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berbuat baik. (QS 2:195)
Merasa Beruntung Bila Melakukan Kebaikan

Berbuat baik merupakan sesuatu yang sangat mulia dan seseorang akan bersemangat melakukan
kebaikan apabila dengan kebaikan itu dia merasa yakin memperoleh keberuntungan, baik di dunia
maupun di akhirat. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh manusia bila ia berbuat baik.
Pertama, selalu disertai oleh Allah SWT, lihat QS 16:128.
َ‫إِ َّن هَّللا َ َم َع الَّ ِذينَ اتَّقَوْ ا َوالَّ ِذينَ هُ ْم ُمحْ ِسنُون‬
Kedua, menambah kenikmatan untuknya, lihat QS 2:58. 7:161.33:29.
َ‫اب ُس َّجدًا َوقُولُوا ِحطَّةٌ نَ ْغفِرْ لَ ُك ْم َخطَايَا ُك ْم َو َسن َِزي ُد ْال ُمحْ ِسنِين‬
َ َ‫ْث ِش ْئتُ ْم َر َغدًا َوا ْد ُخلُوا ْالب‬
ُ ‫َوإِ ْذ قُ ْلنَا ا ْد ُخلُوا هَ ِذ ِه ْالقَرْ يَةَ فَ ُكلُوا ِم ْنهَا َحي‬
Ketiga, dicintai Allah, lihat QS 7:161. 5:13. 2:236. 3:134. 3:148. 5:96.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 58


َ‫اب ُس َّجدًا نَ ْغفِرْ لَ ُك ْم َخ ِطيئَاتِ ُك ْم َسن َِزي ُد ْال ُمحْ ِسنِين‬
َ َ‫ْث ِش ْئتُ ْم َوقُولُوا ِحطَّةٌ َوا ْد ُخلُوا ْالب‬
ُ ‫َوإِ ْذ قِي َل لَهُ ُم ا ْس ُكنُوا هَ ِذ ِه ْالقَرْ يَةَ َو ُكلُوا ِم ْنهَا َحي‬
Keempat, memperoleh rahmat Allah, lihat QS 7:56. Kelima, memperoleh pahala yang tidak disia-
siakan Allah SWT, lihat QS 9:120. 11:115. 12:56. Keenam, dimasukkan ke dalam surga, lihat QS
5:85. 39:34. 6:84. 12:22. 28:14. 37:80.
Merasa Rugi Bila Meninggalkan Kebaikan

Apabila seseorang merasa beruntung dengan kebaikan yang dilakukannya karena sejumlah keutamaan
yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka bila seseorang tidak berbuat baik dia akan merasa sangat
rugi, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bagi seorang mukmin, bagaimana mungkin dia tidak
merasa rugi bila tidak melakukan kebaikan, karena kehidupan ini memang harus dijalani untuk
mengabdi kepada Allah SWT yang merupakan puncak dari segala bentuk kebaikan yang harus
dijalani.
Manakala di dunia ini seseorang sudah merasa rugi, maka di akhirat pun dia akan merasa rugi, karena
apa yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya di dunia akan sangat berpengaruh pada
kehidupannya di akhirat, karena kehidupan akhirat pada hakikatnya adalah hasil dari kehidupan di
dunia. Bila seseorang berlaku baik di dunia, dia akan memperoleh keberuntungan di akhirat di
samping keberuntungan di dunia, sedangkan bila seseorang tidak melakukan kebaikan di dunia, maka
dia akan memperoleh kerugian di dunia dan penyesalan yang sangat dalam di akhirat kelak sebagai
akibat dari pengabaian nilai-nilai Islam, Allah SWT berfirman yang artinya: Barang siapa mencari
selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
َ‫َو َم ْن يَ ْبت َِغ َغي َْر اإْل ِ سْاَل ِم ِدينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬
(QS 3:85)
Meneladani Generasi Yang Baik

Perbuatan baik dan yang lebih baik lagi akan dilakukan oleh seorang muslim apabila dia mau
meneladani orang yang berbuat baik. Hal ini menjadi penting karena dengan demikian dia menyadari
bahwa meskipun ia merasa sudah banyak perbuatan baik yang dilakukannya, tetap saja dia merasa
masih sedikit dibanding orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Sehingga akan memicu
semangatnya untuk berbuat baik yang lebih banyak lagi. Karena itu, idealnya seorang mukmin bisa
menjadi seperti cermin bagi mukmin lainnya sehingga manakala seseorang mengenal dan
memperhatikan dirinya secara seksama akan terasa begitu banyak kekurangan, termasuk dalam hal
berbuat baik.
Memahami Ilmu Kebaikan

Bagi seorang muslim, setiap amal yang dilakukannya tentu harus didasari pada ilmu, semakin banyak
ilmu yang dimiliki, dipahami dan dikuasai, maka insya Allah akan makin banyak amal yang bisa
dilakukannya. Sedangkan semakin sedikit pemahaman atau ilmu seseorang, akan semakin sedikit juga
amal yang bisa dilakukannya. Apalagi orang yang mempunyai ilmu belum tentu secara otomatis bisa
mengamalkannya. Ini berarti, seseorang akan semakin terangsang untuk melakukan kebaikan
manakala dia memahami ilmu tentang kebaikan itu.
Kebaikan Yang Diterima

Setiap kebaikan yang dilakukan seseorang tentu harus menghasilkan penilaian yang positif dari Allah
SWT. Paling tidak, ada dua kriteria tentang kebaikan yang diterima oleh Allah SWT. Pertama, ikhlas
dalam beramal, yakni melakukan suatu amal dengan niat semata-mata karena Allah SWT, atau tidak
riya dalam arti mengharap pujian dari selain Allah SWT. Karena itu, dalam hadits yang terkenal,
Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Sesungguhnya amal itu sangat tergantung pada niatnya.
Kedua, melakukan kebaikan itu secara benar, karena meskipun niat seseorang sudah baik, bila ia
melakukan amal dengan cara yang tidak benar, maka hal itu tetap tidak bisa diterima oleh Allah SWT.
Sebab hal itu termasuk bagian dari mencari selain Islam sebagai agama, yang jelas-jelas akan ditolak
Allah SWT sebagaimana yang sudah disebutkan pada QS 3:85 di atas.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 59


Akhirnya, menjadi jelas bagi kita bahwa hidup ini harus kita jalani semata-mata untuk mengabdi
kepada Allah SWT (QS 51:56) yang salah satunya terwujud dalam bentuk melakukan kebaikan. Dan
masing-masing orang harus berusaha melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai perwujudan
kehidupan yang baik di dunia dan ini pula yang akan menjadi bekal bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

ِّ َ‫إِلَي أ‬
َ َّ‫ي ش َْي ٍء نَ ْدعُوا الن‬
‫اس‬
Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas (1) Dakwah Ikhwan, Dakwah Islamiyah

Dakwah Ikhwan adalah dakwah Islamiyah murni; Dasar perjuangannya, inti dakwahnya, cara dan
sarananya tidak lepas dari norma dan nilai-nilai Islam, karena Ikhwan yakin benar, bahwa Islam
adalah agama yang menghantarkan umat manusia kepada kesejahteraan, ketenteraman dan
kebahagiaan hidup.
Islamiyah Dakwah Ikhwah dapat dicermati dari beberapa indikasi sebagai berikut:
Ikhwan menjadikan Alquran sebagai tolak ukur dan sumber kejelasan langkah Dakwah Ikhwan yang
meliputi metode dan sarana yang digunakan. Alquran sebagai tolak ukur dan sumber pergerakan,
karena Alquran bak “lautan dari mana kita meraup mutiara kecemerlangan dan referensi kepada mana
kita menentukan hukum. Alquran adalah kitab sempurna yang padanya Allah memadukan dasar-dasar
kepercayaan, kaidah-kaidah perbaikan sosial, prinsip-prinsip umum hukum keduniaan, serta sederet
perintah dan larangan”.
Ikhwan yakin seyakin-yakinnya, bahwa Allah adalah tempat bersandar, hanya Allah sebagai pelindung
orang-orang beriman, Dia sebagai penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela orang-orang
tertindas, yang diperangi di negeri mereka sendiri bahkan diusir dari negeri mereka. Baca dan
renungkanlah ayat-ayat berikut:
‫اب النَّا ِر ُه ْم فِ َيه**ا‬ ِ *‫*اؤهم الطَّا ُغوت خُيْ ِرج**و َنهم ِمن النُّو ِر إِىَل الظُّلُم‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ َ‫ئِك أ‬
ُ ‫ص* * َح‬ َ َ‫*ات أُول‬ َ َ ُْ ُ ُ َ ‫ين ءَ َامنُ **وا خُيْ* * ِر ُج ُه ْم م َن الظُّلُ َم**ات إىَل النُّور َوالذ‬
ُ ُ ُ * َ‫ين َك َف* ُ*روا أ َْولي‬ َ ‫اللَّهُ َويِل ُّ الذ‬
‫َخالِ ُدو َن‬
Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang beriman. (QS. Al-Baqarah: 257)
ٌّ ‫ص ُرهُ إِ َّن اللَّهَ لََق ِو‬
‫ي َع ِز ٌيز‬ ُ ‫صَر َّن اللَّهُ َم ْن َيْن‬
ُ ‫َولََيْن‬
Sesungguhnya Allah niscaya akan menolong orang yang menolong agama-Nya. (QS. 22:40)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 60


ِ َ َ‫ْكبر وامرأَيِت عاقِر ق‬ ِ
ُ‫ك اللَّهُ َي ْف َع ُل َما يَ َشاء‬ َ ‫ال َك َذل‬ ٌ َ َ ْ َ ُ َ ‫ب أَىَّن يَ ُكو ُن يِل ُغاَل ٌم َوقَ ْد َبلَغَيِن َ ال‬ ِّ ‫ال َر‬ َ َ‫ق‬
Allah adalah Pelindung orang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
(QS. Ali Imran: 25)
ِ
َ ‫بَ ِل اللَّهُ َم ْواَل ُك ْم َو ُه َو َخْي ُر النَّاص ِر‬
‫ين‬
Tetapi ikutilah Allah pelindungmu, Dialah sebaik-baik Pelindung. (QS. Ali Imran: 150)
‫الز َكا َة َو ُه ْم َراكِ ُعو َن‬َّ ‫يمو َن الصَّاَل َة َويُ ْؤتُو َن‬ ِ ‫إِمَّنَا ولِيُّ ُكم اللَّه ورسولُه والَّ ِذين ءامنوا الَّ ِذ‬
ُ ‫ين يُق‬َ َُ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ُ َ
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) (QS. 5: 54)
‫ب اللَّهُ لَنَا ُه َو َم ْواَل نَا َو َعلَى اللَّ ِه َفْليََت َو َّك ِل ال ُْم ْؤ ِمنُو َن‬ ‫ِ ِاَّل‬
َ َ‫قُ ْل لَ ْن يُص َيبنَا إ َما َكت‬
Katakanlah: tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.
Dialah pelindung kami. Dan hanyalah kepada Allah orang-orang mukmin harus bertawakkal. (QS.
At-Taubah: 51)
ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
‫ني اَل َي ْعلَ ُمو َن‬َ ‫ني َولَك َّن ال ُْمنَافق‬ َ ‫َوللَّه الْعَّزةُ َولَر ُسوله َولْل ُم ْؤمن‬
Bagi Allahlah al-Izzah (kekuatan yang agung) dan bagi Rasul-Nya serta bagi orang-orang mukmin,
tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS. Al-Munafiqun: 8)
Keyakinan tersebut manakala tertancap pada diri setiap kita, niscaya akan mengangkat jiwa kita
menuju ketinggian, meniupkan semangat kebangkitan bersama semua orang yang senantiasa
berbuat dan berkarya di jalan Allah, untuk menghantarkan kita menjadi Robbani, di mana
hubungan kita dengan Allah terus terpaut dan selalu kepada-Nya kita menisbatkan nasab,
‫اب َومِبَا ُكْنتُ ْم تَ ْد ُر ُسو َن‬ ِ ‫ولَ ِكن ُكونُوا ربَّانِيِّ مِب‬
َ َ‫ني َا ُكْنتُ ْم ُت َعلِّ ُمو َن الْكت‬َ َ ْ َ
Akan tetapi dia berkata: Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79)
Keyakinan tersebut juga akan melahirkan sikap optimis, bahwa keberhasilan dari Allah akan datang.
Setiap akh beraktivitas tanpa rasa takut kepada siapa pun selain kepada-Nya. “(Yaitu) orang-orang
(yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah kalian
dari mereka. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka seraya mereka berkata: Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” Ali Imran: 173.
Ikhwan memandang, bahwa kebangsaan kita adalah nasab universal. Dengan menisbatkan nasab
(berafiliasi) kepada Allah, berarti matinya fanatisme kesukuan yang telah banyak mewariskan mala
petaka. Dengan akidah seperti ini Ikhwan hidup dan rela mati karenanya. Dan hanya di sana mereka
menemukan segala impian jiwa mereka akan kesenangan, kebahagiaan dan kebenaran serta keindahan.
‫ت ُقلُ*وبُ ُه ْم َو َكثِريٌ ِمْن ُه ْم‬ َ َ‫*اب ِم ْن َقْب ُ*ل فَط‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِِ ِِِ
ْ *‫*ال َعلَْي ِه ُم اأْل ََم ُ*د َف َق َس‬ َ ‫ين ءَ َامنُوا أَ ْن خَت ْ َش َع ُقلُوبُ ُه ْم لذ ْك ِر اللَّه َو َم*ا َن َ*ز َل م َن احْلَ ِّ*ق َواَل يَ ُكونُ*وا َكالذ‬
َ َ‫ين أُوتُ*وا الْكت‬ َ ‫أَمَلْ يَأْن للَّذ‬
ِ َ‫ف‬
‫اس ُقو َن‬
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-
orang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yang fasik. (QS. Al-Hadid: 16).
Misi hidup setiap muslim sebagaimana dipersepsikan Ikhwan adalah mengabdikan diri hanya kepada
Allah dengan sikap ruku, sujud, melakukan amal kebajikan terhadap sesama, bermujahadah secara
ikhlas serta berjihad di jalan Allah swt secara sungguh-sungguh, dengan cara menyebarkan dakwah
Islam kepada segenap umat manusia, jika mereka menolak dakwah dan bersikap tiran serta melakukan
kezhaliman, maka pedanglah bagi mereka. “Kalau manusia menolak hujjah dan bersikap tiran, perang
lebih baik bagi dunia dari kedamaian”; karena Jihad merupakan kekuatan untuk membela kebenaran.
“Kekuatan adalah jalan yang paling aman untuk memunculkan kebenarann. Sungguh suatu keindahan
yang sempurna bila suatu saat kekuatan bisa berjalan beriringan dengan kebenaran”. Firman Allah:

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 61


‫اه ُدوا بِأ َْم َوالِ ُك ْم َوأَْن ُف ِس ُك ْم يِف َسبِ ِيل اللَّ ِه َذلِ ُك ْم َخْيٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُكْنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬
ِ ‫انْ ِفروا ِخ َفافًا وثَِقااًل وج‬
ََ َ ُ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (QS. At-Taubah: 41).
Apa di balik perintah Jihad? Allah telah memilih orang-orang mukmin untuk menjadi pemimpin
(huwajtabaakum) bagi seluruh umat manusia, sebagai penjaga ajaran-Nya, khalifah di muka bumi dan
sebagai pewaris dakwah para Rasul-Nya. Karena itu hendaknya mereka menjadi satu barisan, satu
kekuatan dan menjadi pasukan pembebas yang akan menyelamatkan mereka ke jalan yang lurus.
Demikian beberapa indikasi penting yang memberikan makna, bahwa dakwah Ikhwan adalah dakwah
Islamiyah, tujuan, langkah-langkah dan cara tidak menyimpang dari ajaran dan nilai-nilai Islam
sebagaimana diturunkan Allah swt untuk umat manusia.
Karenanya, setiap kader Ikhwan, hendaknya senantiasa melakukan introspeksi diri agar langkah-
langkah kehidupannya dan kerja-kerja dakwah sesuai dengan al-Islam, yang akan membawanya
kepada keridhaan Allah swt.

ِّ َ‫إِلَي أ‬
َ َّ‫ي ش َْي ٍء نَ ْدعُوا الن‬
‫اس‬
Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Sayin Nad’un-Naas 2 (Tujuan Dakwah Ikhwan)

Tujuan Dakwah Ikhwan terangkum dalam firman Allah swt:


‫اجتَبَ**ا ُك ْم َو َم**ا َج َع* َ*ل َعلَْي ُك ْم يِف ال**دِّي ِن ِم ْن‬ ِِ ِ ِ ُ ‫ين ءَ َامنُ**وا ْار َك ُع**وا َوا ْس* ُج ُدوا َو ْاعبُ* ُ*دوا َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُ**وا اخْلَْ*ي َ*ر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح**و َن َو َجاه‬ ِ َّ
ْ ‫ِدوا يِف اللَّه َ*ح َّ*ق ج َ*ه*اده ُه* َ*و‬ َ ‫يَاأَيُّ َ*ه*ا الذ‬
ِ َ‫الز َك*اةَ و ْاعت‬ ِ ِ ‫يدا علَي ُكم وتَ ُكونُ**وا ش*ه َداء علَى الن‬ ِ ُ ‫الر ُس‬ َّ ‫ني ِم ْن َقْب ُل َويِف َه َذا لِيَ ُكو َن‬ ِِ ِ ِ ِ َّ ِ
‫ص* ُموا‬ َ َّ ‫يموا الص*َّاَل ةَ َوءَاتُ**وا‬ ُ ‫َّاس فَ*أَق‬ َ َ َُ َ ْ ْ َ ً ‫ول َشه‬ َ ‫يم ُه َو مَسَّا ُك ُم ال ُْم ْسلم‬ َ ‫َحَر ٍج ملةَ أَبي ُك ْم إ ْبَراه‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫باللَّه ُه َو َم ْواَل ُك ْم فَن ْع َم ال َْم ْوىَل َون ْع َم النَّصري‬
Wahai orang-orang beriman ruku’, sujudlah dan sembahlah Rabbmu, lakukan kebaikan (terhadap
sesama), agar kamu mendapat keberuntungan . Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan sebenar-
benar jihad. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) di dalam Alquran ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong (QS. Al-Hajj: 77-78).
Sangat jelas tujuan Dakwah Ikhwan, yaitu membawa umat manusia ke jalan kebenaran, membimbing
mereka ke jalan kebaikan, menerangi seluruh penjuru dunia dengan nur al-Islam. Kemuliaan tujuan
Dakwah ini akan semakin nampak dengan jelas ketika kita cermati tujuan hidup yang sebenarnya,
yakni “Memberikan pengabdian total kepada Penguasa alam semesta yaitu Allah swt, dengan
memberikan loyalitas kepada-Nya dan kepada ajaranNya secara konsisten, untuk menggapai Ridho
Allah swt yang merupakan puncak kebahagiaan yang hakiki. Ikhwan berperan dan bertugas untuk
membantu menghantarkan manusia ke pintu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup tersebut.
Sungguh berat…., berat…, memang berat dan sangat berat
‫ك َق ْواًل ثَِقياًل‬ ِ
َ ‫إِنَّا َسُنْلقي َعلَْي‬
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (QS. Al-Muzammil: 5)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 62


Lengah dari tugas mulia ini, manusia akan terjerumus ke arah tujuan-tujuan yang membawa mereka
kepada kesengsaraan dalam kehidupan. Di antara mereka yang tujuan hidup hanya mencapai
kesenangan duniawi semata, kerjanya hanya makan dan kesenangan lainnya, sebagaimana firman
Allah
ِ َّ
ُ ‫َّعو َن َويَأْ ُكلُو َن َك َما تَأْ ُك ُل اأْل َْن َع ُام َوالن‬
‫َّار َمْث ًوى هَلُ ْم‬ ُ ‫ين َك َف ُروا َيتَ َمت‬
َ ‫َوالذ‬
“..dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya hewan-
hewan, neraka adalah tempat kembali mereka” (QS. Muhammad: 12).
Ada pula yang tujuan hidupnya menyebarkan fitnah, tuduhan bohong, kejahatan dan membuat
kerusakan, meskipun mereka seringkali mengaku sebagai “reformis”.
ِ ِ ِ ‫الد ْنيا وي ْش ِه ُد اللَّه علَى ما يِف َقْلبِ ِه وه*و أَلَ ُّ*د اخْلِص* ِام وإِذَا َت*وىَّل س*عى يِف اأْل َر‬ ِ ِ
ُ‫ث َوالنَّ ْس* َل َواللَّه‬ َ ‫ض لُي ْف ِس* َد ف َيه*ا َويُ ْهل‬
َ ‫ِك احْلَ ْ*ر‬ ْ ََ َ َ َ َُ َ َ َ َ ُ َ َ ُّ ‫ك َق ْولُهُ يِف احْلَيَاة‬ ِ ‫َوِم َن الن‬
َ ُ‫َّاس َم ْن يُ ْعجب‬
ُّ ِ‫اَل حُي‬
‫ب الْ َف َس َاد‬
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang
paling keras. Dan jika ia berpaling (darimu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kerusakan”
(QS. Al-Baqarah: 204-205).
Dalam ayat 78 al-Hajj di atas juga dijelaskan, bahwa tugas mengemban dalam mencapai tujuan mulia
ini diamanatkan kepada umat Islam yang diberikan predikat “Ummatan Wasathan” dan “Khairu
Ummah Ukhrijat Lin-Naas”. Allah menegskan kembali di dalam firman-Nya:
ِ
َ َ‫ك فَ َكِّب ْر َوثِيَاب‬
‫ك فَطَ ِّهْر‬ ِّ ‫يَاأَيُّ َها ال ُْمد‬
َ َّ‫َّثُر قُ ْم فَأَنْذ ْر َو َرب‬
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, Tuhanmu agungkanlah,
pakaianmu bersihkanlah…” (QS. Al-Muddatsir: 1-4).
Realitanya, apakah kaum muslimin telah memahami makna tersebut dari Alquran sehingga jiwa dan
ruh mereka naik ke langit ketinggian, terbebas dari perbudakan meterialisme, bersih dari syahwat dan
ambisi dunia, mengarahkan wajah dengan lurus kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi,
menegakkan kalimat-Nya dan berjuang di jalan-Nya, menyebarkan agama dan membela syariat-Nya?
Ataukah mereka justru telah menjadi tawanan syahwat dan budak keserakahan, di mana mereka hanya
memikirkan makanan lezat, kendaraan megah, perhiasan mewah, tidur nyenyak, istri cantik,
penampilan parlente dan gelaran-gelaran palsu?
Mereka sudah cukup senang dengan mimpi-mimpi
Dan teruji dengan keberuntungan
Mereka bilang menyelami laut perjuangan
Tapi mereka toh tak teruji

Sungguh benar ketika Rasulullah saw bersabda:


‫ تعس عبد القطيفة‬، ‫ تعس عبد الدرهم‬، ‫تعس عبد الدينار‬
Celakalah hamba dinar (uang emas), celakalah hamba dirham (uang perak), celakalah hamba selimut
(dari sutera).
Sehingga sangat jelas, bahwa tujuan dakwah Ikhwan adalah memimpin dunia dan membimbing
manusia kepada ajaran Islam yang syamil, dimana manusia tidak mungkin menemukan kebahagiaan
selain dari Islam.
Tujuan ini adalah tujuan yang dijelaskan di dalam Alquran, hadits Nabi saw dan sikap serta perilaku
generasi awal Islam, yang telah menghantarkan peradaban Islam ke panggung kejayaan dalam sejarah
peradaban dunia.
Untuk tujuan inilah setiap akh bekerja dengan penuh kesungguhan. Betapa tidak…, mereka adalah
pemuda Ikhwan, begadang ketika semua orang tertidur lelap, mereka gelisah di saat semua orang
lengah. Lihatlah, seorang dari mereka duduk bekerja, berijtihad dan berfikir keras di kantornya sejak

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 63


sore hingga larut malam. Dalam hari-hari di sepanjang bulan ia terus melakukan itu. Sampai ketika
akhir bulan tiba, ia pun mengumpulkan pendapatannya untuk kemudian menginfakkannya bagi
Jamaah dan Dakwahnya. Ia menjadikan hartanya sebagai sarana mencapai tujuan suci dakwah ini.
Seakan-akan lisannya yang suci hendak berkata kepada kaumnya yang tidak pernah mengetahui
betapa besar pengorbanannya, “Tak ada ganjaran yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap
pahala dari Allah”.
Mereka adalah rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari, dengan kekuatan akidahnya
mereka melaksanakan kewajiban individunya sebagaimana mengerjakan kewajiban sosial; sebab
mereka yakin benar bahwa kewajiban individu adalah sarana menuju terlaksananya kewajiban
sosialnya. Setiap mereka tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban-kewajiban individu dengan alasan
sibuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial, sebagaimana tidak dibenarkan meninggalkan
kewajiban sosialnya dengan alasan sibuk dengan kewajiban individunya. Sungguh suatu formula
kebijakan yang seimbang dan sempurna.
Beribadah kepada Allah, berjihad menegakkan agama dan meninggikan-Nya adalah misi kaum
muslimin dalam kehidupan. Jika mereka melaksanakan dengan baik, niscaya akan memperoleh
kemenangan. Tetapi jika mereka hanya melaksanakan sebagiannya atau bahkan melalaikan semuanya,
maka cukuplah bagi mereka untuk merenungkan ayat berikut:
ِ
ُ ‫أَفَ َح ِسْبتُ ْم أَمَّنَا َخلَ ْقنَا ُك ْم َعبَثًا َوأَنَّ ُك ْم إِلَْينَا اَل ُت ْر َج ُعو َن َفَت َعاىَل اللَّهُ ال َْمل‬
ُّ ‫ك احْلَ ُّق اَل إِلَهَ إِاَّل ُه َو َر‬
‫ب ال َْعْر ِش الْ َك ِر ِمي‬
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang
sebenarnya (QS. Al-Mu’minun: 115-116).
Renungkan pula peringatan dari Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Kalau manusia mulai kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual beli dengan cara riba,
mengikuti ekor sapi (umat lain, Yahudi dan Nasrani) dan meninggalkan jihad di jalan Allah,
maka Allah akan memasukkan kehinaan ke dalam diri mereka. Dan tidak akan menghilangkannya
kecuali jika mereka kembali kepada agama mereka (HR oleh Imam Ahmad dalam musnadnya,
Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir, al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abdullah bin
Umar).

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 64


Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 65
ِّ َ‫إِلَي أ‬
َ َّ‫ي ش َْي ٍء نَ ْدعُوا الن‬
‫اس‬

Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas 3 (Bekal Perjuangan Menghadapi Masalah Di Jalan
Dakwah)

Ada sebagian yang berputus harapan dalam perjuangan Dakwah Islam lantaran fenomena
ketidakmampuan umat Islam dalam kekuatan material, seraya mengatakan: Bangsa-bangsa Timur
tidak akan mampu bangkit dan berpacu dengan bangsa-bangsa Barat, karena mereka tidak
memiliki kekuatan fisik yang memadai untuk perjuangan mereka, seperti dana, sarana tempur,
prasarana dakwah dsb. Lain halnya dengan Barat yang memiliki sejumlah kekuatan fisik dengan
perkembangan teknologi yang begitu sangat canggih”.
Kita tidak dapat menyalahkan asumsi seperti itu, namun sebenarnya mereka melupakan satu hal yang
lebih penting, bahwa ada kekuatan yang terpenting dalam perjuangan Dakwah Islam, yaitu kekuatan
spiritual; akhlak luhur, jiwa mulia, kebenaran akidah dan ideologi, pengetahuan tinggi, tekad sekuat
baja, semangat pengorbanan, kesatuan fikrah, kesetiaan rasional dan loyalitas yang proporsional,
semuanya modal utama dalam perjuangan.
Seyogianya orang-orang Timur menyadari, bahwa sesungguhnya Barat telah merampas haknya dan
menghancurkan hidupnya. “Jika mereka menyadari akan haknya tersebut, kemudian berusaha
merubah diri sendiri, membangun kekuatan spiritual yang dahsyat dan membina keluhuran budi

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 66


pekerti, niscaya sarana-sarana kekuatan fisik itu dengan sendirinya akan datang kepada mereka dari
berbagai arah. Sungguh terlalu banyak lembaran sejarah yang membuktikan akan hal itu”.
Ikhwan meyakini ini sepenuhnya. Keyakinan itulah yang mendorong mereka untuk terus mensucikan
hati, menguatkan jiwa dan meluhurkan budi pekerti. Keyakinan itu pulalah yang mendorong mereka
untuk terus berjuang menyebarkan dakwah, memahamkan umat manusia akan hakikat misi dan
ideologi yang mereka seru, kemudian menyeru umat untuk turut membersihkan jiwa dan meluruskan
kehidupan mereka. Keyakinan ini bukan suatu yang dibuat-buat mereka sendiri, tetapi merupakan
taujih Ilahi dalam Alquran:
( 11:‫ إِ َّن اللَّهَ ال يُغَِّيُر َما بَِق ْوٍم َحىَّت يُغَِّيُروا َما بِأَْن ُف ِس ِه ْم َوإِذَا أ ََر َاد اللَّهُ بَِق ْوٍم ُسوءاً فَال َمَر َّد لَهُ َو َما هَلُ ْم ِم ْن ُدونِِه ِم ْن َو ٍال) الرعد‬...
(Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan
yang ada dalam diri mereka sendiri) QS. Ar-Ra’d: 11 .
Betapa luhur bekal perjuangan di jalan Dakwah ini.
Memang benar, sungguh luhur dan besar bekal dan kekuatan yang harus dimiliki Ikhwan; karena
masalah-masalah yang dihadapinya pun demikian membutuhkan kekuatan spiritual –utamanya- dan
kekuatan fisik. Taklid buta, kerusakan hukum, penyimpangan kehidupan sosial, sikap-sikap hedonis
yang telah akrab dengan masyarakat, merajalelanya isme-isme dan pemikiran destruktif yang begitu
kuat mencengkram negeri ini, amburadul pendidikan, hubungan silaturahmi yang kacau; adalah
sebagian dari sekian permasalahan yang dihadapi dakwah.
Akankah masalah-masalah kompleks tersebut dapat terselesaikan? Mungkinkah? Jika kita telah
meyakini, bahwa masalah tersebut akan terselesaikan dan sangat mungkin, namun bilakah akan
selesai?
Ya akhi, jalan ini amatlah panjang….sungguh panjang..
Para pakar ilmu sosial menyatakan, bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari
ini akan menjadi kenyataan esok hari. Siapa yang menyangka sebelumnya kalau para ilmuwan akan
sampai pada penemuan penemuan dahsyat seperti yang kita saksikan sekarang. Bahkan para ilmuwan
itu sebelum tidak percaya, tetapi ketika hal itu terjadi mereka semakin yakin terhadap pernyataan
dalam perspektif filsafat sosial itu.
Dalam perspektif sejarah, kebangunan semua bangsa di dunia selalu bermula dari kelemahan; sesuatu
yang sering membuat orang percaya bahwa kemajuan uyang mereka capai kemudian adalah sebentuk
kemustahilan. Tapi di balik anggapan kemustahilan itu, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan
kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan dan ketenangan dalam melangkah, telah
mengantarkan bangsa-bangsa lemah merangkak dari ketidakberdayaan menuju kejayaan.
Siapa yang bisa percaya sebelumnya, bahwa di tengah gurun pasir Jazirah Arab yang gersang dan
kering kerontang itu akan memancar seberkas cahaya kearifan, dimana dengan kekuatan spiritual dan
kemampuan berpolitik putra-putranya dapat menguasai semua kekuatan adidaya dunia? Siapakah yang
menyangka, sosok seperti Abu Bakar yang lemah lembut itu tiba-tiba saja mengirim pasukan untuk
memerangi para pembangkang, pemberontak dan kaum murtad di Yamamah. Siapa yang menyangka
sosok-sosok pribadi yang dahulunya mengajar di surau-surau, tiba-tiba suaranya terdengar di seantero
nusantara lewat mikrofon gedung DPR-RI.
Ikhwan fillah ……
Walau demikian hebatnya cobaan dan tantangan yang harus dihadapi, walau demikian berat beban
perjuangan ini, walau demikian besar biaya persiapan bekal dakwah ini, walaupun demikian
panjangnya jalan dakwah ini, namun semuanya tetap harus dijalankan, harus diyakini, bahwa tak ada
jalan lain untuk membangun kejayaan umat dengan benar.
Seorang pekerja pertama kali harus bekerja menunaikan kewajibannya, baru kemudian boleh
mengharap hasil kerjanya. Jika ia telah bekerja, berarti ia telah menunaikan kewajiban dan pasti kelak
akan mendapat balasan dari Allah. Tak ada keraguan dalam hal ini, selagi syarat-syarat terpenuhi.
Sedang masalah hasil, itu terserah kepada Allah swt. Boleh jadi peluang kemenangan itu datang tanpa
terduga, sehingga ia memperoleh hasil yang sangat memuaskan dan penuh berkah. Sementara bila ia

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 67


tidak bekerja, ia akan mendapat dosa karena tidak berbuat, ia juga akan kehilangan pahala jihad, dan
tentu saja dia sama sekali tidak akan mendapatkan hasil di dunia.
Allah menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
ِ َّ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِ مِل‬
ْ َ‫َوإِ ْذ قَال‬
َ ‫ت أ َُّمةٌ مْن ُه ْم َ تَعظُو َن َق ْوماً اللَّهُ ُم ْهل ُك ُه ْم أ َْو ُم َع ِّذبُ ُه ْم َع َذاباً َشديداً قَالُوا َم ْعذ َرةً إىَل َربِّ ُك ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيَّت ُقو َن َفلَ َّما نَ ُسوا َما ذُ ِّك ُروا به أَجْنَْينَ**ا الذ‬
‫ين َيْن َ*ه ْ*و َن َع ِن‬
(165-164:‫يس مِب َا َكانُوا َي ْف ُس ُقو َن) األعراف‬ ٍ ِ‫اب بَئ‬ ٍ ‫َخ ْذنَا الَّ ِذين ظَلَموا بِع َذ‬ ِ ُّ
َ ُ َ َ ‫السوء َوأ‬
“Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata: Mengapa kamu menasihati kaum yang
Allah akan membinasakan mereka atau mengazab dengan keras? Mereka menjawab: Agar kami
mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa ! Maka
tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang
melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang
keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik” (QS. Al-A’raf: 164-165).
Ikhwan Fillah…
Mari kita dengarkan bersama senandung ayat-ayat Alquran yang menggema pada segenap ufuk, yang
memenuhi mayapada dan tujuh susun langit, yang membisikkan dalam diri setiap mukmin makna
kebanggaan dan kemuliaan tertinggi..
Sungguh Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman (al-Baqarah: 257).
Benar wahai Ikhwan, benar, itulah panggilan Allah pada kita semua. Maka kita menjawab panggilan-
Nya: Ya Allah, segala puji, segala syukur yang tiada terbilang hanya untuk-Mu. Engkau dan hanya
Engkaulah Pelindung orang-orang beriman, Penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela
orang-orang tertindas, yang diperangi dalam rumah-rumah mereka. Sungguh terhormatlah orang yang
bersandar pada-Mu, dan niscaya menanglah orang yang berlindung di bawah perlindungan-Mu.
Karenanya, seyogianya kita tetap optimis dan yakin dengan janji-janji-Nya, serta tegar dan bersabar
dalam menapaki langkah-langkah perjuangan sampai ke tujuan. Karena dengan keyakinan dan
kesabaran itulah Allah akan menjadikan orang-orang beriman mampu memimpin umat manusia di
dunia ini “Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin ketika mereka bersabar dan mereka pun yakin
dengan ayat-ayat Kami” QS. As-Sajdah.
Kita sandarkan semuanya kepada Allah, kita tapaki langkah-langkah ini dengan al-Islam milik-Nya:
Jangan panggil aku
Kecuali dengan seruan “Hai hamba-Nya”,
Karena itulah semulia-mulia namaku.

Islamlah ayahku,
Aku tak punya ayah selain itu
Biarlah mereka bangga dengan Qais atau Tamim

Selamat bekerja. Allah bersama kita. Wallahu a’lam

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 68


Istiqamah
TUJUAN INTRUKSIONAL

Setelah mendapatkan materi ini, peserta mampu:


Memahami makna istiqamah dengan benar, baik secara etimologi maupun terminologi
Menerapkan dan mengaplikasikan sikap dan makna istiqamah dalam ucapan dan perbuatan.
Bersikap positif dalam segala pemikiran, ucapan dan perbuatan serta menjauhi sikap negatif.

TITIK TEKAN MATERI

Peserta memahami bahwa sikap Istiqomah dalam setiap ucapan dan perbuatan adalah buah dari
keimanan yang dalam dan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan
keindahan Islam. Istiqamah yang dibangun di atas pondasi optimalisasi, keikhlasan dan mengikuti
sunnah akan melahirkan keberanian, ketenangan dan optimisme dalam kehidupan. Karena dengan
istiqamah, manusia muslim akan selalu tegar menghadapi badai kehidupan dan segala rintangan jalan
dakwah. Dan diharapkan melalui materi ini, peserta mampu memahami manifestasi istiqamah dalam
kehidupan seorang mukmin.
POKOK-POKOK MATERI

Definisi istiqamah baik secara etimologi maupun terminologi


Dasar dan dalil-dalil istiqamah
Faktor-faktor yang melahirkan istiqamah
Dampak dan buah istiqamah
Manifestasi istiqamah

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 69


MUKADIMAH
Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya,
harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas
kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam
kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari
bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu
mengimplementasikan dalam seluruh sisi-sisi kehidupannya. Dan orang yang mampu
mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen
dan istiqomah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.
Maka istiqomah dalam memegang tali Islam merupakan kewajiban asasi dan sebuah keniscayaan bagi
hamba-hamba Allah yang menginginkan husnul khatimah dan harapan-harapan surgaNya. Rasulullah
saw bersabda:
َ‫و َل هَّللا ِ َواَل أَ ْنت‬U ‫ا َر ُس‬UUَ‫اربُوا َو َس ِّددُوا َوا ْعلَ ُموا أَنَّهُ لَ ْن يَ ْن ُج َو أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِب َع َملِ ِه قَالُوا ي‬
ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ ق‬
َ َ‫ال ق‬
ْ‫ض‬َ ْ ْ‫ح‬ ‫هَّللا‬
‫ال َو أنَا إِ أن يَتغ َّم َدنِ َي ُ بِ َر َم ٍة ِمنهُ َوف ٍل رواه مسلم‬ َ َ ْ َ ‫اَّل‬ َ ‫اَل‬ َ ‫ق‬َ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan
beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan
amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya … Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak
selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (H.R. Muslim
dari Abu Hurairah)
Istiqamah bukan hanya diperintahkan kepada manusia biasa saja, akan tetapi istiqamah ini juga
diperintahkan kepada manusia-manusia besar sepanjang sejarah peradaban dunia, yaitu para Nabi dan
Rasul. Perhatikan ayat berikut ini;
ْ ‫ك َوال ت‬
ِ َ‫َط َغوْ ا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
)112:‫صي ٌر (هود‬ َ ‫فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت‬
َ ‫َاب َم َع‬
“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Hud:112)

A. Definisi

Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia


bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqamah
dari kata “qaama” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian
dan selalu konsekuen.
Secara terminologi, istiqamah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;
Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab bahwa istiqamah adalah
kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapa pun)
Umar bin Khattab ra berkata, “Istiqamah adalah komitmen terhadap perintah dan larangan dan tidak
boleh menipu sebagaimana tipuan musang”
Utsman bin Affan ra berkata, “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah Taala”
Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
Al-Hasan berkata, “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan”
Mujahid berkata, “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah
Taala”
Ibnu Taimiah berkata, “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa
menoleh kiri kanan”

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 70


Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya
dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang tegar menghadapi gempuran ombak-ombak
yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan
dakwah. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi seluruh godaan dalam medan dakwah yang
diembannya. Meskipun tahapan dakwah dan tokoh sentralnya mengalami perubahan. Itulah manusia
muslim yang sesungguhnya, selalu istiqamah dalam sepanjang jalan dan di seluruh tahapan-tahapan
dakwah.

B. Dalil-Dalil Dan Dasar Istiqomah

Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan
masalah istiqamah di antaranya adalah;
ْ ‫ك َواَل ت‬
ِ َ‫َط َغوْ ا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ َ ‫فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت‬
َ ‫َاب َم َع‬
“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya
harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan. Istiqomah dalam mabda (dasar atau awal
pemberangkatan), minhaj dan hadaf (tujuan) yang digariskan dan tidak boleh menyimpang dari
perintah-perintah ilahiah.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan,
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu".
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai
hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41: 30-32)
َ ِ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُونَ أُولَئ‬
َ‫ك أَصْ َحابُ ْال َجنَّ ِة خَالِ ِدينَ فِيهَا َجزَ ا ًء بِ َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬ ٌ ْ‫إِ َّن الَّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا هَّللا ُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا فَاَل خَ و‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah
mereka kerjakan. (QS 46:13-14)
Empat ayat di atas menggambarkan urgensi istiqamah setelah beriman dan pahala besar yang
dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba
Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.
Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;
ْ‫ل‬UUُ‫ث أَبِي أُ َسا َمةَ َغ ْيرَكَ قَا َل ق‬ َ ‫ُول هَّللا ِ قُلْ لِي فِي اإْل ِ سْاَل ِم قَوْ اًل اَل أَسْأ َ ُل َع ْنهُ أَ َحدًا بَ ْع َد‬
ِ ‫ك َوفِي َح ِدي‬ ُ ‫ع َْن ُس ْفيَانَ ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ الثَّقَفِ ِّي قَا َل قُ ْل‬
َ ‫ت يَا َرس‬
‫ت بِاهَّلل ِ فَا ْستَقِ ْم رواه مسلم‬ُ ‫آ َم ْن‬
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak
akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada
Allah, kemudian beristiqamahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada
seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga Anda Ya …
Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku
dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Selain ayat-ayat dan beberapa hadits di atas, ada beberapa pernyataan ulama tentang urgensi istiqamah
sebagaimana berikut;
Sebagian orang-orang arif berkata, “Jadilah kamu orang yang memiliki istiqomah, tidak menjadi
orang yang mencari karomah. Karena sesungguhnya dirimu bergerak untuk mencari karomah
sementara Robbmu menuntutmu untuk beristiqomah.”
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 71
Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebesar-besar karomah adalah memegang istiqamah.”
C. Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqomah

Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu
melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;

Beramal dan melakukan optimalisasi .1


‫ َذا‬Uَ‫ ُل َوفِي ه‬U‫لِ ِمينَ ِم ْن قَ ْب‬U‫م ْال ُم ْس‬Uُ ‫ َّما ُك‬U‫ َو َس‬Uُ‫ َرا ِهي َم ه‬U‫ج ِملَّةَ أَبِي ُك ْم إِ ْب‬ َّ ‫َو َجا ِهدُوا فِي هَّللا ِ َح‬
ِ ‫ق ِجهَا ِد ِه هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬
ٍ ‫ َر‬U‫ِّين ِم ْن َح‬
ْ
‫وْ لَى َونِ ْع َم‬UU‫وْ اَل ُك ْم فَنِ ْع َم ال َم‬U‫و َم‬Uُ ‫هَّلل‬
َ ‫ ُموا بِا ِ ه‬U‫َص‬ ِ ‫اةَ َوا ْعت‬Uَ‫وا ال َّزك‬Uُ‫اَل ةَ َو َءات‬U‫الص‬ َ ِ َّ‫هَدَا َء َعلَى الن‬U‫لِيَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َش ِهيدًا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكونُوا ُش‬
َّ ‫أقِي ُموا‬Uَ‫اس ف‬
‫صي ُر‬ ِ َّ‫الن‬
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan
(begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong.” (QS 22:78)

Berlaku moderat antara tindakan melampui batas .2


dan menyia-nyiakan
‫ك قَ َوا ًما‬ ِ ‫َوالَّ ِذينَ إِ َذا أَ ْنفَقُوا لَ ْم يُس‬
َ ِ‫ْرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُرُوا َو َكانَ بَ ْينَ َذل‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS 25:67)
‫ ْد أَ ْفلَ َح َو َم ْن‬U َ‫نَّتِي فَق‬U ‫هُ ِإلَى ُس‬U ُ‫َت فَ ْت َرت‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِ ُك ِّل َع َم ٍل ِش َّرةٌ َولِ ُكلِّ ِش َّر ٍة فَ ْت َرةٌ فَ َم ْن كَان‬
َ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ك‬ َ ْ
َ ‫ك فقد هَل‬ َ َ َ َ َ ْ
َ ِ‫كَانَت إِلى غي ِْر ذل‬
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki
puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada
masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa
futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat
Anshar)

Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu .3


pengetahuannya
َ ِ‫ص َر َو ْالفُؤَا َد ُكلُّ أُولَئ‬
‫ك َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُواًل‬ َ َ‫ْس لَكَ بِ ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬
َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban.”
(QS 17:36)

Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, .4


melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas
Ikhlas .5
‫صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا ال َّزكَاةَ َو َذلِكَ ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS 98:5)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 72


Mengikuti Sunnah .6
Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan
melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah
Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.”(Abu Daud dari Al-Irbadl bin Sariah)
Imam Sufyan berkata, “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus
perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai
dengan sunnah.”

D. Dampak Positif Dan Buah Istiqomah

Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam
dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat
sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut;

Keberanian (Syaja’ah) .1
Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak
akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan
pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu jugaberbeda dengan orang yang di dalam
hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan
kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah. Perhatikan firman Allah
Taala dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;
ْ ‫ح أَوْ أَ ْم ٍر ِم ْن ِع ْن ِد ِه فَي‬ ْ
‫بِحُوا َعلَى‬U ‫ُص‬ ِ ‫صيبَنَا دَائِ َرةٌ فَ َع َسى هَّللا ُ أَ ْن يَأتِ َي بِ ْالفَ ْت‬
ِ ُ‫ار ُعونَ فِي ِه ْم يَقُولُونَ ن َْخشَى أَ ْن ت‬
ِ ‫فَت ََرى الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َم َرضٌ يُ َس‬
ُ ْ َ
َ‫َما أ َسرُّ وا فِي أنف ِس ِه ْم نَا ِد ِمين‬ َ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat
bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka
rahasiakan dalam diri mereka.”
Dan kita bisa melihat kembali keberanian para sahabat dan para kader dakwah dalam hal ini;
‫ان منهم‬UU‫ل إنس‬UU‫ديهم ك‬UU‫طوا أي‬UU‫ذا؟ فبس‬UU‫ من يأخذ مني ه‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم أخذ سيفا يوم أحد فقال‬ َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أن َرسُول هَّللا‬
ِ ‫عن أنس َر‬
ُ‫ َر َواه‬.‫ركين‬UU‫ام المش‬UU‫ه ه‬UU‫ق ب‬UU‫ذه ففل‬UU‫ فأخ‬.‫ه‬UU‫ذه بحق‬UU‫ أنا آخ‬:ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫ فقال أبو دجانة َر‬.‫ فمن يأخذه بحقه؟ فأحجم القوم‬:‫ فقال‬.‫ أنا أنا‬:‫يقول‬
‫ُم ْسلِ ٌم‬
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw menawarkan pedang kepada para sahabat dalam perang Uhud,
Siapa yang berani mengambil pedangku ini? Maka seketika seluruh sahabat mengangkat tangannya
untuk menerima tawaran beliau sambil berkata, “Saya, saya.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya
lagi, siapa yang akan mengambilnya dengan tanggung jawab? Seketika para sahabat terdiam, dan saat
itulah Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan mengambilnya dengan tanggung jawab, kemudian
membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim)
Pada saat seorang sahabat mendapat jawaban dari Rasulullah saw bahwasanya ia masuk surga
kalau mati terbunuh dalam medan pertempuran, maka ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya
lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya kemudian ia meluncur ke medan
pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid).
(Muttafaqun Alaih)
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abu Thalib setelah ia menerima bendera Islam dalam
peperangan Khaibar sebagai berikut, “Jalanlah, jangan menoleh sehingga Allah SWT memberikan
kemenangan kepada kamu.” Lantas Ali berjalan, kemudian berhenti sejenak dan tidak menoleh seraya
bertanya dengan suara yang keras; “Ya Rasulullah atas dasar apa aku memerangi manusia?” Beliau
bersabda, “Perangi mereka sampai bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah……” (HR Muslim)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 73


Inilah gambaran keberanian para sahabat yang lahir dari keistiqomahannya yang harus diteladani oleh
generasi-generasi penerus dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam.

Ithmi’nan (ketenangan) .2
Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan
istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan,
kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan dakwah yang panjang, melewati jalan terjal
perjuangan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan
yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik
setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya. Perhatikan firman Allah di
bawah ini;
َ‫ض ُعفُوا َو َما ا ْستَكَانُوا َوهَّللا ُ يُ ِحبُّ الصَّابِ ِرين‬ َ َ‫َوكَأَي ِّْن ِم ْن نَبِ ٍّي قَات ََل َم َعهُ ِربِّيُّونَ َكثِي ٌر فَ َما َوهَنُوا لِ َما أ‬
َ ‫صابَهُ ْم فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َو َما‬
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut
(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan
Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang
sabar.”(QS 3:146)
َ ِ‫الَّ ِذينَ َءا َمنُوا َولَ ْم َي ْلبِسُوا إِي َمانَهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُولَئ‬
َ‫ك لَهُ ُم اأْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدون‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”(QS 6:82)
ْ ‫َط َمئِ ُّن قُلُوبُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ أَاَل بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت‬
ُ‫َط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬ ْ ‫الَّ ِذينَ َءا َمنُوا َوت‬
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)

Tafa’ul (optimis) .3
Keistiqamahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap
pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah
dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Kefuturan yang
mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang
menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan
ilahiah. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;
‫اتَ ُك ْم َوال‬UUَ‫ا ف‬UU‫وْ ا َعلَى َم‬U‫ي ٌر لِ َكيْال تَأْ َس‬U‫ك َعلَى هَّللا ِ يَ ِس‬ َ Uِ‫ب ِم ْن قَب ِْل أَ ْن َنب َْرأَهَا إِ َّن َذل‬ ٍ ‫ض َوال فِي أَ ْنفُ ِس ُك ْم إِاَّل فِي ِكتَا‬ ِ ْ‫صيبَ ٍة فِي اأْل َر‬ ِ ‫اب ِم ْن ُم‬ َ َ‫َما أ‬
َ ‫ص‬
)23-22 :‫د‬UUUUUUUUUUUUUU‫ور) (الحدي‬UUUUUUUUUUUUUU
ٍ ُ
‫خ‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬
ٍ ‫ا‬UUUUUUUUUUUUUUَ ‫ت‬ ْ
‫خ‬ ‫م‬
ُ ‫ل‬َّ UUUUUUUUUUUUUU ُ
‫ك‬ ُّ‫ب‬‫ُح‬
ِ ‫ي‬ ‫ال‬ ُ ‫هَّللا‬‫و‬ ‫م‬
َ ْ ُ
‫ك‬ ‫ا‬UUUUUUUUUUUUUUَ ‫ت‬ ‫آ‬ ‫ا‬UUUUUUUUUUUUUU
‫م‬َِ ‫ب‬ ‫وا‬UUUUUUUUUUUUUUُ ‫ح‬‫ر‬َ ْ
‫ف‬ َ ‫ت‬
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS 57:22-23)
)87:‫ح هَّللا ِ ِإاَّل ْالقَوْ ُم ْالكَافِرُونَ (يوسف‬ ِ ْ‫ح هَّللا ِ إِنَّهُ ال يَيْأَسُ ِم ْن رَو‬ ِ ْ‫ي ْاذهَبُوا فَتَ َح َّسسُوا ِم ْن يُوسُفَ َوأَ ِخي ِه َوال تَيْأَسُوا ِم ْن َرو‬ َّ ِ‫يَابَن‬
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir".(QS 12: 87)
ُّ ‫ال َو َم ْن يَ ْقنَطُ ِم ْن َرحْ َم ِة َربِّ ِه إِاَّل الض‬
)56:‫َّالونَ (الحجر‬ َ َ‫ق‬
Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang
yang sesat".(QS 15:56)
Maka dengan tiga buah istiqamah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan
merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak.
Perhatikan ayat di bawah ini;

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 74


‫ا ُؤ ُك ْم فِي‬UUَ‫ ُدونَ نَحْ نُ أَوْ لِي‬U‫رُوا بِ ْال َجنَّ ِة الَّتِي ُك ْنتُ ْم تُو َع‬U‫وا َوأَب ِْش‬Uُ‫افُوا َوال تَحْ زَ ن‬UUَ‫ ةُ أَاَّل تَخ‬U‫ َّز ُل َعلَ ْي ِه ُم ْال َمالئِ َك‬Uَ‫تَقَا ُموا تَتَن‬U‫اس‬ ْ ‫إِ َّن الَّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا هَّللا ُ ثُ َّم‬
)32-30 :‫ور َر ِح ٍيم (فصلت‬ ٍ ُ ‫ف‬ َ
‫غ‬ ‫ن‬ْ ‫م‬
ِ ‫ُاًل‬
‫ز‬ ُ ‫ن‬ َ‫ون‬ ُ
‫ع‬ َّ
‫د‬ َ ‫ت‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ا‬‫ه‬‫ي‬ ‫ف‬ ‫م‬‫ك‬ُ
َ َ ِ ْ َ ْ َ ‫ل‬‫و‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫س‬
ُ ُ ‫ف‬ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫ه‬
ِ َ ‫ت‬ ْ
‫ش‬ َ ‫ت‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ا‬‫ه‬‫ي‬ ‫ف‬ ‫م‬‫ك‬ُ َ
َ َ ِ ْ َ َِ ِ‫ل‬‫و‬ ‫ة‬‫ر‬ ‫خ‬ ‫آْل‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫و‬
َِ َ ‫ا‬‫ي‬‫ن‬ْ ُّ
‫د‬ ‫ال‬ ِ ‫ْال َحيَا‬
‫ة‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan,
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang
kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS 41:30-32)

LOYALITAS ISLAM
Salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah memberikan wala’ (loyalitas).
Al Wala’ atau walayah adalah buah dari mahabbah (kecintaan). Ketika seseorang mencintai sesuatu,
ia wajib memberikan wala’ kepada yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba
mencintai Allah, maka dia harus memberikan wala’nya itu kepada Allah. Cinta yang tidak
menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.
Wala’ atau walayah biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim
dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan,
penghormatan, terhadap orang-orang yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’
adalah baro’ atau 'adawah yaitu kebencian atau permusuhan.
‫ت‬ ُّ ‫ور إِلَى‬
ِ ‫الظلُ َما‬ ُ ‫ور َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَوْ لِيَا ُؤهُ ُم الطَّا ُغ‬
ِ ‫وت ي ُْخ ِرجُونَهُ ْم ِمنَ ال ُّن‬ ُّ َ‫ هَّللا ُ َولِ ُّي الَّ ِذينَ آ َمنُوا ي ُْخ ِر ُجهُ ْم ِمن‬...
Uِ ‫الظلُ َما‬
ِ ‫ت إِلَى ال ُّن‬
Allah Wali dari orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.
Dan orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan”. (Al Baqarah: 257)
Allah sebagai “waliyullladzina amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong,
dan pelindung bagi orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang
sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Sebaliknya “awliyaa” (para
pemimpin, penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala
yang disembah selain Allah. Thagut itu jumlahnya banyak dan mereka menyesatkan orang-orang yang
mengikutinya sehingga mereka keluar dari cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al
Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan kedekatan.
Sedangkan asal pengertian al-‘adawah adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat.
Dalam Bahasa Arab “hadza yali hadza” artinya ini dekat dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi
Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,
“Serahkan ilmu waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa daripada harta
warisan, maka ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.
Berwala’ dalam Islam ini implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’ kepada
Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan, sebagaimana disebutkan Al Qur-an,
َ‫إِنَّ َما َولِيُّ ُك ُم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا الَّ ِذينَ يُقِي ُمونَ الصَّالةَ َوي ُْؤتُونَ ال َّزكَاةَ َوهُ ْم َرا ِكعُون‬
Sesungguhnya Wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al
Maaidah:55)

LOYALITAS KEPADA ALLAH

Sumber utama dari Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di antara
makna kalimat Tawhid adalah “Laa waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah).
Loyalitas kepada Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 75


Allah dengan segala kecintaan dan kesetiaan. Maka wala’ kepada Allah bermakna bersedia
menyerahkan diri secara total kepada Allah untuk dipimpin dan diarahkan dengan segala kecintaan.
Atau menyediakan diri untuk dipimpin Allah secara total tanpa sedikitpun perlawanan. Wala’ kepada
Allah ini hanya akan diterima manakala terdapat Bara (penolakan) kepada segala bentuk sembahan
selain Allah atau kepemimpinan yang tidak bersumber dari Allah.
Al Waliy merupakan salah satu makna Al Ilah (Sembahan). Dengan kata lain sesuatu yang
disembah adalah sesuatu yang dijadikan pemimpin, penolong, pelindung atau teman akrab yang
sangat dicintai. Tiada yang boleh diperlakukan sebagai sembahan dalam bentuk seperti ini kecuali
Allah semata. Nabi Ibrahim Alaihissalaam telah menunjukkan sikap tauhid seperti ini,
َ Uُ‫وْ ِم ِه ْم إِنَّا ب‬UUَ‫الُوا لِق‬UUَ‫ هُ إِ ْذ ق‬U‫َت لَ ُك ْم أُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِب َْرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َع‬
‫ا َوبَ ْينَ ُك ُم‬UUَ‫دَا بَ ْينَن‬Uَ‫ا بِ ُك ْم َوب‬UUَ‫ ُدونَ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ َكفَرْ ن‬Uُ‫رآ ُء ِم ْن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعب‬U ْ ‫قَ ْد كَان‬
‫هَّلل‬ ً
... ُ‫ضا ُء أبَدا َحتَّى تُ ْؤ ِمنُوا بِا ِ َوحْ َده‬َ ْ َ ‫ْال َعد‬
َ ‫َاوةُ َوالبَ ْغ‬
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami
dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…
(QS. 60. Al Mumtahanah:4)
Al Wala’ kepada Allah ini selain diartikan loyalitas juga mengandung makna “kesetiaan” dan lawan
dari pengkhianatan. Karena itu, manakala seseorang memberikan wala’nya kepada Allah maka dia
tidak boleh mengkhianati-Nya. Dia pun wajib memberikan kesetiaan kepada Allah meskipun dia
berada dalam keadaan susah.
Bukan itu saja, dia pun harus menyesuaikan diri dengan mengikuti petunjuk-Nya tentang apa
yang dicintai dan diridhai-Nya, tentang apa yang dimurkai, diperintah dan dilarang-Nya. Sebagai
balasannya, Allah akan memberikan wala’Nya kepada orang tersebut. Allah pasti akan mencintai,
melindungi, membimbing dan menolongnya. Bahkan orang yang memusuhi wali Allah juga akan
menjadi musuh Allah. Dan orang yang menjadi musuh Allah otomatis menjadi musuh walinya pula.
Firman Allah,
َ ُ‫ِين آ َم ُنوا ال َت َّتخ ُِذوا َعدُوِّ ي َو َعد َُّو ُك ْم أَ ْولِ َيا َء ُت ْلق‬
... ‫ون إِلَي ِْه ْم ِب ْال َم َو َّد ِة‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-
teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih
sayang”. (Al Mumtahanah: 1)
Barang siapa yang memusuhi wali Allah berarti dia memusuhi Allah. Dan barang siapa
memusuhinya, berarti ia memeranginya. Maka disebutkan dalam sebuah hadits: “Dan barang siapa
memusuhi penolong-Ku, maka dia telah memperlihatkan kepada-Ku permusuhan”.
Bagaimanakah penampilan orang-orang yang memberikan walanya kepada Allah sepenuhnya?
Sejarah Islam memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi mulia pencinta Allah dan pemuja-pemuja-
Nya yang setia. Pola kehidupan mereka memang terasa aneh untuk orang-orang di zaman ini, tetapi itu
adalah kenyataan dari hasil keimanan dan amal sholeh mereka. Beberapa hal berikut ini merupakan
sekelumit dari kisah-kisah mereka.
Amirul mu'minin Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami kesibukan yang luar biasa. Beliau
asyik mengurus kebunnya sampai masuklah waktu sholat ashar. Ketika beliau sadar, beliau segera
bergegas ke masjid ternyata orang-orang sudah pulang dari masjid. Khalifah sangat menyesali
kejadian itu. Baru kali ini dalam hidupnya beliau terlambat sholat berjamaah di masjid. Karena
kejadian ini, Khalifah Umar memutuskan untuk menyedekahkan kebun yang melalaikan dirinya.
Ketika melukiskan pribadi Al Hasan Al Zubdy, Imam Al Zahaby berkata, "Beliau menghabiskan
seluruh waktunya demi ibadah, ilmu, menulis, mengajar dan belajar, hingga akhirnya Allah
memberinya tempat yang istimewa di hati manusia, baik kaum awam maupun ulama".
Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy sendiri adalah seorang ulama yang sangat sholeh. Dalam perjalanan
hajinya dari Syria menuju Makkah Al Mukarramah beliau menulis Kitab Zadul Ma'ad yang
spektakuler. Kitab itu kadang beliau tulis di atas ontanya yang sedang melaju menuju Baitullah.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 76


Adapun Imam Ibnu Taimiyah, guru Ibnul Qayyim terkenal sebagai ulama mujadid (pembaharu)
yang banyak menghasilkan karya besar. Namun hidup beliau senantiasa dalam fitnah karena dikejar-
kejar orang-orang yang memusuhi Islam. Ketika beliau di penjara, beliau bersenandung,
Apa yang dikehendaki musuh-musuhku daripadaku

sesungguhnya surgaku ada dalam hatiku


Apabila mereka memenjarakan daku, maka penjara itu tempatku berkhalwat
Dan apabila mereka mengusirku maka kepergianku adalah tamasya
Dan apabila mereka membunuhku mereka mempertemukan Aku dengan kekasih-Ku
Beliau berkata, "Di dunia ini ada satu surga, siapa saja yang tidak memasukinya, ia tidak akan
merasakan surga akhirat". Yang dimaksud surga oleh beliau adalah "kelezatan iman dan cinta kepada
Allah". Demikianlah pendirian Ibnu Taimiyah yang telah menunjukkan wala-Nya kepada Allah dan
mengabdikan diri untuk berjihad di jalan-Nya.
Gambaran di atas baru sekelumit saja dari panggung sejarah Islam yang kaya dengan orang-orang
sholeh dan sepak terjangnya di jalan Allah.

Loyalitas Kepada Rasulullah

Sebagai konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan
mengikuti beliau. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus
diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,

‫قُ ْل إِنْ ُك ْنتُ ْم ت ُِحبُّونَ هَّللا َ فَاتَّبِ ُعونِي يُ ْحبِ ْب ُك ُم هَّللا ُ َويَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3. Ali Imraan:31)

Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk
memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan
segala kecintaan menjadikan Nabi Muhammad sebagai kekasih, pemimpin, pembimbing hidup,
penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap daya upaya dan pengorbanan dalam
rangka berwala’ kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan
menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti Rasulullah merupakan
konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.
Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang kepada Allah
mengikuti manhaj (konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik
manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan utama dalam
menegakkan Kalimat tauhid.
Rasulullah adalah Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus Waliyullah (Sahabat Dekat Allah). Inilah
manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa? Karena beliau diberi
Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau adalah hamba pilihan Allah dan utusannya
yang terakhir untuk segenap manusia. Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah
meletakkan pancangan "Iqomatud diin" (penegakkan Agama) yang akan tetap terpelihara sampai hari
kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni'mat
yang diberikan-Nya. Beliau merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya.
Menjadi contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu Allah dan para
Malaikat memuji beliau,

ْ َ‫سلِّ ُموا ت‬
ً ‫سلِيما‬ َ ‫صلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي يَا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
َ ‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫إِنَّ هَّللا َ َو َمالئِ َكتَهُ ي‬
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman,
bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya". (Al Ahzab: 56)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 77


Bila Allah dan para Malaikatnya menyampaikan sholawat kepada Rasul, maka kita lebih wajib lagi
untuk mengucapkannya. Disebutkan dalam hadis,
ُ ‫لَّى هَّللا‬U‫ص‬ َّ ‫لَّى عَل‬U‫ص‬
َ ،ً‫ َّرة‬U‫ي َم‬ َ ‫ فإنَّهُ َم ْن‬،‫ي‬ َ ‫ َدهُ فَ ْلي‬U‫ت ِع ْن‬
َّ ‫ ِّل عَل‬U‫ُص‬ ُ ْ‫ " َم ْن ُذ ِكر‬:‫قال رسول هّللا صلى هّللا عليه وسلم‬: ‫عن أنس رضي هّللا عنه قال‬
ً ْ َ
."‫َعز َو َج َّل َعل ْي ِه َعشرا‬ َّ
Dari Anas r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa yang disebut namaku di
hadapannya, makabershalawatlah kepadaku, barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka
Allah akan mendoakannya sepuluh kali"
Suatu ketika shahabat Rasulullah Umar bin Khattab datang menemui Rasulullah Sholallahu alaihi wa
sallam. Umar radliyallahu anhu berkata kepada beliau, "Ya Rasulullah, aku mencintaimu!"
"Seperti apakah kecintaanmu padaku hai Umar?" tanya Rasulullah.
"Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!" sahut Umar.
"Tidak, hai Umar!! Engkau baru dikatakan mu'min bila mencintaiku lebih dari mencintai dirimu
sendiri". kata Rasulullah menegaskan.
Umar berkata, "Kalau begitu, aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri".
"Nah sekarang baru benar" , kata Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.
Jelas bahwa Rasulullah mengajarkan para shahabatnya untuk lebih mencintai beliau dari diri mereka
sendiri. Dalam ajaran Islam kecintaan seperti ini merupakan pertanda lurusnya iman seseorang.
Beliau bersabda,
‫ والناس أجمعين‬،‫ ووالده‬،‫ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده‬
Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya,
atau seluruh manusia". (HR. Bukhari)
Hal ini berarti, kecintaan kepada Rasulullah tidak boleh dikalahkan oleh kecintaan kepada istri, anak
tersayang, profesi, hobbi, bangsa, negara, dan sebagainya. Bila tidak, maka kita tidak bisa digolongkan
orang mu'min! Jika ada orang mengaku beriman, tetapi ternyata hawa nafsunya belum bisa
meninggalkan suatu yang dilarang Rasulullah, maka imannya dusta, dan ia tergolong munafik! Hal ini
ditegaskan pula oleh Rasulullah,
‫ال يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا ً لما جئت به‬
Tidak beriman salah seorang dari kamu, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa". (HR.
Bukhari Muslim)
Kalau kita buka lembaran sejarah dan menelusuri kembali rangkaian kisah generasi pertama dari
kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, niscaya akan kita jumpai contoh-contoh
manusiawi yang mengagumkan tentang bagaimana mereka merasakan gelora cintanya kepada Allah
dan Rasul.
Al Baghawi menuturkan kisah dialog Rasulullah dengan Tsauban, seorang khadam (pelayan) yang
sangat cinta pada beliau. Suatu hari, saat Rasulullah menjumpai Tsauban, serta merta raut wajahnya
berubah. Lalu Rasulullah bertanya padanya, "Mengapa rona wajahmu berubah Tsauban?". Dengan
serius, Tsauban menjawab, "Saya tidak sakit ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat
memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Ketakutan
dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Kemudian saya ingat akan
akhirat, dan sayapun kembali diliputi oleh rasa cemas kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau.
Bukankah engkau kelak diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika
saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Tetapi jika saya tidak masuk
surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya".
Itulah ungkapan perasaan Tsauban yang teramat mencintai Rasulullah. Perasaan seperti itu sungguh
mengagumkan, sehingga Allah sendiri berkenan menjawab keresahan hati Tsauban. Kepada
Rasulullah turunlah Surat An Nisa ayat 69, sebagai jawaban bagi kerinduan hati Tsauban:
َ ِ‫ُول فَأُولَئِكَ َم َع الَّ ِذينَ أَ ْن َع َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِمنَ النَّبِيِّينَ َوالصِّ دِّيقِينَ َوال ُّشهَدَا ِء َوالصَّالِ ِحينَ َو َحسُنَ أُولَئ‬
ً ‫ك َرفِيقا‬ َ ‫َو َم ْن ي ُِط ِع هَّللا َ َوال َّرس‬

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 78


"Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang yang
shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"

Loyalitas kepada orang-orang yang beriman


Bagian ketiga dari wala’ dalam Islam adalah berwala’ kepada orang-orang yang beriman.
Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mu'min merupakan perwujudan dari berwala’ kepada
Allah dan Rasulnya. Al Qur-anul Karim telah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah
awliya Allah (para wali Allah).
َ ُ‫ِين آ َم ُنوا َو َكا ُنوا َي َّتق‬
‫ون‬ َ ‫أَال إِنَّ أَ ْولِ َيا َء هَّللا ِ ال َخ ْوفٌ َعلَي ِْه ْم َوال ُه ْم َيحْ َز ُن‬
َ ‫ون الَّذ‬
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS.
10:62-63)

Karena mereka merupakan awliya Allah maka setiap mereka hendaknya saling memberikan wala.
Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang
muslim dengan yang lain. Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati
(salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan
pertengkaran. Mahabbah dalam kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas,
tolong menolong, saling membimbing) antara satu dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”. Bentuk
wala’ yang paling tinggi adalah itsar, yaitu mengutamakan memenuhi kepentingan saudaranya sesama
muslim daripada kepentingannya sendiri.
َ ‫ونَ هَّللا‬UU‫اةَ َوي ُِطي ُع‬Uَ‫ونَ ال َّزك‬Uُ‫الةَ َوي ُْؤت‬U‫الص‬َّ ِ ‫وْ نَ ع َِن ْال ُم ْنك‬UUَ‫ُوف َويَ ْنه‬
َ‫ون‬U‫ر َويُقِي ُم‬Uَ ْ U‫أْ ُمرُونَ ِب‬Uَ‫ْض ي‬
ِ ‫ال َم ْعر‬U ٍ ‫ا ُء َبع‬Uَ‫ضهُ ْم أَوْ لِي‬ ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ‫ع‬ ‫هَّللا‬ َّ
‫ن‬ ‫إ‬ ‫هَّللا‬ ‫م‬ُ ‫ه‬‫م‬‫ح‬
ِ ُ ُ ُ َ ََ َ ِ ْ‫ر‬ ‫ي‬ ‫س‬ ‫ك‬‫ئ‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ُ ‫أ‬ ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫و‬
َ َ
ِ َ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali
(penolong) sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At
Taubah:71)

Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah. Abu Bakar senantiasa
mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam dari kepentingan dirinya. Ketika
keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya, Abu Bakar selalu
melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu Bakar tidak berani membangunkan
Nabi yang tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan rasa sakitnya
yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang kelelahan dan beristirahat di
pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun,
Nabi pun mengobati luka Abu Bakar …
Benarlah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

ِ ‫حب لِنَ ْف‬


‫س ِه‬ َّ ‫أح ُد ُك ْم حتَّى يُ ِح‬
ُّ ُ‫ب أل ِخي ِه ما ي‬ َ ُ‫ال يُؤْ ِمن‬
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri." (HR.Muttafaqun'Alaih)

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 79


Dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas saudaranya
sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang bila dirinya memperoleh
kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan hal yang demikian itu terhadap saudaranya. Dan jika
ia menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga
menginginkan hal itu diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia
juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan manakala ia menginginkan untuk tidak
disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan
kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala
sesuatu yang ia cintai dan benci.
Berwala’ kepada orang-orang beriman mewajibkan kaum muslimin meninggalkan wala’
kepada selain Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Ini berarti kaum muslimin harus
mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Sejalan dengan firman Allah,
ِ ‫ون ِباهَّلل‬O َ ‫ِين آ َم ُنوا أَطِ يعُوا هَّللا َ َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوأُولِي اأْل َمْ ِر ِم ْن ُك ْم َفإِنْ َت َن‬
ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُردُّوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬
َ O‫ُول إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
ً‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ َتأْ ِويال‬
َِ ‫َو ْال َي ْو ِم اآْل خ ِِر َذل‬
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain
mereka. Memberikan wala’ kepada orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,
ً ‫ُون أَنْ َتجْ َعلُوا هَّلِل ِ َع َل ْي ُك ْم س ُْل َطانا ً م ُِبينا‬
َ ‫ِين أَ ُت ِريد‬ ِ ‫ين أَ ْولِ َيا َء مِنْ د‬
َ ‫ُون ْالم ُْؤ ِمن‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ال َت َّتخ ُِذوا ْال َكاف ِِر‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu) (QS. 4:144)

Memberikan wala’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang
membuat pelakunya digolongkan kepada golongan mereka

‫ِين‬ ٍ ْ‫ض ُه ْم أَ ْولِ َيا ُء َبع‬


َّ ‫و َم‬Oْ O‫ دِي ْال َق‬O‫ض َو َمنْ َي َت َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم َفإِ َّن ُه ِم ْن ُه ْم إِنَّ هَّللا َ ال َي ْه‬
َ ‫الظالِم‬ ُ ْ‫ارى أَ ْولِ َيا َء َبع‬
َ ‫ص‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ال َت َّتخ ُِذوا ْال َيهُودَ َوال َّن‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS.
5:51)

SYUR’ATUL ISTIJABAH
(Respon yang cepat)

Kesetiaan seorang pekerja kepada atasannya diukur dengan kecepatannya melaksanakan


perintah dan menjauhi larangan atasan tersebut. Demikian juga dalam hubungan interaksi seorang
manusia dengan Allah Azza Wa Jalla. Dalam hubungannya dengan Allah seorang muslim bagaikan
seorang pekerja terhadap Tuannya. Bahkan Allah melebihi Tuan mana pun di permukaan bumi ini,
Dia memberikan fasilitas kepada hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan hidup yang tidak dapat
dibalas dengan harga semahal apapun. Karena itu, sebagai hamba, manusia yang beriman kepada
Allah wajib sesegera mungkin merespon apa saja yang Allah perintahkan sekuat kemampuannya.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 80


Manakala ia dilarang atau diharamkan terhadap sesuatu maka dengan cepat dia harus
.menghentikannya. Sikap demikian itu disebut “Syur’atul Istijabah” (Respon yang cepat).
Respon yang tinggi dan cepat dari seorang muslim terhadap perintah dan laranganNya ini
merupakan buah keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, dan Rasul-rasul-Nya. Keimanan yang
benar dan mendalam merupakan modal utama dari “istijabah”, sebagaimana dinyatakan di dalam Al
Qur-anul Karim,
‫ا‬UUَ‫ ِم ْعنَا َوأَطَ ْعن‬U‫الُوا َس‬UUَ‫لِ ِه َوق‬U‫ُس‬
ُ ‫ ٍد ِم ْن ر‬U‫ق بَ ْينَ أَ َح‬ ُ ‫آ َمنَ ال َّرسُو ُل بِ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه ِم ْن َربِّ ِه َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ُكلٌّ آ َمنَ بِاهَّلل ِ َو َمالئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َور‬
ُ ‫ ِّر‬Uَ‫لِ ِه ال نُف‬U‫ُس‬
)285:‫صي ُر (البقرة‬ ِ ‫ك ْال َم‬ َ ‫ُغ ْف َرانَكَ َربَّنَا َوإِلَ ْي‬
Rasul telah beriman kepada al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami ta'at".
(Mereka berdoa):"Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS. 2:Al
Baqarah: 285)
Sikap “sam’an wa thoatan” (mendengar dan taat) merupakan tuntutan iman. Dengan kata lain,
iman seseorang tidak dapat dianggap benar dan lurus sebelum melahirkan sikap ini dalam kehidupan
sehari-hari. Iman sejati membawa orang beriman pada perjanjian yang mengikat dengan Allah untuk
melaksanakan syariat-Nya di muka bumi. Sebagai contoh, ayat dalam Surat Al Baqarah di atas,
sebelumnya didahului dengan firman Allah ayat 284 yang membuat para sahabat Nabi menangis
ketika ayat tersebut diturunkan. Pasalnya, dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa Dia akan
menghisab amal manusia baik yang tampak maupun tersembunyi dan Dia akan mengampuni atau
mengazab manusia sesuai dengan kehendak-Nya,
ِ ‫ض َوإِ ْن تُ ْبدُوا َما فِي أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَو تُ ْخفُوهُ ي َُح‬
‫ ِّل‬U‫ا ُء َوهَّللا ُ َعلَى ُك‬U‫ ِّذبُ َم ْن يَ َش‬U‫ء َويُ َع‬Uُ ‫ا‬U‫ ُر لِ َم ْن يَ َش‬Uِ‫ ِه هَّللا ُ فَيَ ْغف‬Uِ‫م ب‬Uْ ‫اس ْب ُك‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬ َ ‫هَّلِل ِ َما فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
)284:‫َي ٍء قَ ِدي ٌر (البقرة‬ ْ ‫ش‬
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang
ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2.Al
Baqarah :284)
Para sahabat Nabi menangis membaca ayat ini karena merasa betapa jiwa mereka tidak
memiliki kemampuan untuk senantiasa bersih dari noda dan dosa. Namun di sisi lain mereka siap
menerima ketentuan Allah dalam ayat ini. Lantaran itu mereka bertanya kepada Nabi Muhammad
dan mendapat jawaban dengan turunnya ayat 285-286. Allah memuji kesiapan mereka untuk
mendengar dan taat karena keimanan mereka kepada Allah yang memiliki langit dan bumi.
Ketika seorang muslim bersyahadat, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah dan Rasul-
Nya dia melakukan jual beli dengan Allah. Dia sebagai pihak penjual dan Allah sebagai Pembeli.
Syahadat kita adalah bai’ah yang wajib direalisasikan dalam hidup keseharian. Seorang pedagang
yang baik tidak akan memberikan barang dagangan yang buruk, palsu atau pun rendah kualitasnya.
Apalagi pembelinya adalah Allah Azza Wa Jalla yang memberikan harga yang mahal yaitu syurga.
Firman Allah,
ِ ِ‫إِ َّن هَّللا َ ا ْشت ََرى ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ أَ ْنفُ َسهُ ْم َوأَ ْم َوالَهُ ْم بِأ َ َّن لَهُ ُم ْال َجنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي َسب‬
ِ ‫يل هَّللا ِ فَيَ ْقتُلُونَ َويُ ْقتَلُونَ َو ْعداً َعلَ ْي ِه َحقّا ً فِي التَّوْ َرا ِة َواأْل ِ ْن ِج‬
‫يل‬
)111:‫آن َو َم ْن أَوْ فَى ِب َع ْه ِد ِه ِمنَ هَّللا ِ فَا ْستَب ِْشرُوا بِبَي ِْع ُك ُم الَّ ِذي بَايَ ْعتُ ْم بِ ِه َو َذلِكَ هُ َو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم (التوبة‬ ِ ْ‫َو ْالقُر‬
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:111)
Karena harga tinggi (surga) yang diberikan Allah inilah maka orang-orang beriman bersegera
memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Dalam hal ini kualitas tertinggi dari pencapaian iman
seseorang adalah kesediaan memberikan nyawa di jalan Allah. Karena itu dinyatakan bahwa mereka
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 81
siap berperang membunuh atau terbunuh. Atas janji yang demikian Allah menuntut orang-orang
beriman untuk senantiasa memiliki komitmen terhadap perjanjian ini.
)7:‫ُور (المائدة‬ ِ ‫َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َمةَ هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو ِميثَاقَهُ الَّ ِذي َواثَقَ ُك ْم بِ ِه إِ ْذ قُ ْلتُ ْم َس ِم ْعنَا َوأَطَ ْعنَا َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم بِ َذا‬
ِ ‫ت الصُّ د‬
Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika

kamu mengatakan :"Kami dengar dan kami ta'ati". Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui isi hati(mu). (QS. 5. Al Maaidah:7)

Pelajaran Dari Al Qur-an dan Sunnah

Al Quranul Karim dipenuhi ibroh dari kehidupan orang-orang beriman di masa lalu. Kisah-kisah
dalam Kitabullah bukan hanya sekedar cerita tetapi merupakan contoh teladan dan pelajaran yang
penting bagi setiap insan beriman untuk meningkatkan kualitas imannya kepada Allah. Salah satu
kisah yang populer dalam menunjukkan syuratul istijabah suatu kaum di masa lalu adalah kisah para
hawariy yang merupakan sahabat dekat Nabi Isa Alaihis Salam. Mereka memiliki kepekaan yang
tinggi dalam memberikan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masyarakatnya. Manakala Bani
Israil mengingkari Kerasulannya, Nabi Isa segera bertanya kepada para hawariy. Mereka segera pula
memberikan jawaban yang menunjukkan kesiapan bekerjasama dengan pemimpinnya.
)52:‫صا ُر هَّللا ِ آ َمنَّا بِاهَّلل ِ َوا ْشهَ ْد بِأَنَّا ُم ْسلِ ُمونَ (آل عمران‬
َ ‫اريُّونَ نَحْ نُ أَ ْن‬
ِ ‫ال ْال َح َو‬
َ َ‫اري إِلَى هَّللا ِ ق‬
ِ ‫ص‬َ ‫ال َم ْن أَ ْن‬
َ َ‫فَلَ َّما أَ َحسَّ ِعي َسى ِم ْنهُ ُم ْال ُك ْف َر ق‬
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia:"Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah" Para hawariyyin (sahabat-sahabat
setia) menjawab:"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. 3:52)
Nyata sekali bahwa iman kepada Allah dan penyerahan diri kepada syariat-Nya menjadikan
para hawariy mempunyai kepekaan yang tinggi untuk segera merespon seruan dari pemimpin mereka.
Selain itu syuratul istijabah menunjukkan pemahaman yang mendalam kepada wahyu yang
diturunkan, mengikuti petunjuk Rasul, dan mempunyai semangat serta cita-cita yang tinggi.
Perhatikan kelanjutan ayat berikut ini
)53:‫َربَّنَا آ َمنَّا بِ َما أَ ْن َز ْلتَ َواتَّبَ ْعنَا ال َّرسُو َل فَا ْكتُ ْبنَا َم َع ال َّشا ِه ِدينَ (آل عمران‬
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti
rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang
keesaan Allah)". (QS. 3. Ali Imraan:53)
Dalam kisah hidup Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam kita juga menemukan
kecepatan reaksi para sahabat Rasulullah ketika mereka menerima seruan Nabi. Hal ini karena mereka
ingin mengikuti keteladanan para hawariy Isa dalam menolong agama Allah,
َ ‫اريُّونَ نَحْ نُ أَ ْن‬
Uْ ‫آ َمن‬Uَ‫ا ُر هَّللا ِ ف‬U‫ص‬
‫َت‬ ِ ‫ال ْال َح َو‬U
َ َ‫اري إِلَى هَّللا ِ ق‬ َ ‫اريِّينَ َم ْن أَ ْن‬
ِ U‫ص‬ ِ ‫ َو‬U‫رْ يَ َم لِ ْل َح‬U‫ى ابْنُ َم‬U‫يس‬
َ ‫ا َل ِع‬Uَ‫ار هَّللا ِ َك َما ق‬
َ ‫ص‬َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا أَ ْن‬
َ َّ َ
)14:‫ت طَائِفَة فَأيَّ ْدنَا ال ِذينَ آ َمنُوا َعلَى َع ُد ِّو ِه ْم فَأصْ بَحُوا ظَا ِه ِرينَ (الصف‬ ٌ ْ ‫ْرائيل َو َكفَ َر‬َ ٌ
‫طَائِفَة ِم ْن بَنِي إِس‬
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa
putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:"Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?". Pengikut-pengikut yang setia itu
berkata:"Kamilah penolong penolong agama Allah!", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan
segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap
musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61. As Shof:14)
Kecepatan merespon perintah pemimpin sangat penting dalam gerakan dakwah Islam. Ini
dicontohkan sahabat, Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: Ketika ayat ini diturunkan:

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 82


‫ت النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ص ْو‬
َ ‫ق‬ ْ َ‫ين آ َمنُوا اَل تَرفَ ُعوا أ‬
َ ‫ص َواتَ ُك ْم فَ ْو‬ َ ‫يَا أَ ُّي َها الَّ ِذ‬
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suara kamu melebihi suara Nabi).
Hingga ke akhir ayat 2 surat al-Hujurat. Tsabit bin Qais sedang duduk di rumahnya dan berkata: "Aku
ini termasuk ahli Neraka!" Beliau bersembunyi dari Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam
sehingga beliau bertanya kepada Saad bin Muaz, “Wahai Abu Amru, bagaimanakah keadaan Tsabit ?
Adakah dia sakit ? “ Sa’ad menjawab, “Keadaannya seperti biasa dan aku tidak mendengar berita
yang menyatakan dia sakit”. Lalu Saad pun menziarahinya dan memberitahu kepadanya tentang
percakapan beliau dengan Rasulullah. Tsabit berkata, “Ayat ini diturunkan, sedangkan kamu semua
mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling nyaring suaranya, melebihi suara Rasulullah. Kalau
begitu aku ini termasuk ahli Neraka. Maka Sa’ad menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shollallahu
Alaihi Wa Sallam. Maka Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam pun bersabda,”Bahkan dia
termasuk dari kalangan ahli Surga *
)24:‫ُول إِ َذا َدعَا ُك ْم لِ َما يُحْ يِي ُك ْم َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ يَحُو ُل بَ ْينَ ْال َمرْ ِء َوقَ ْلبِ ِه َوأَنَّهُ إِلَ ْي ِه تُحْ َشرُونَ (ألنفال‬
ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا ْستَ ِجيبُوا هَّلِل ِ َولِل َّرس‬
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
(QS. 8:24)

ِ ‫ان أَ ْن آ ِمنُوا بِ َربِّ ُك ْم فَآ َمنَّا َربَّنَا فَا ْغفِرْ لَنَا ُذنُوبَنَا َو َكفِّرْ َعنَّا َسيِّئَاتِنَا َوتَ َوفَّنَا َم َع اأْل َ ْب َر‬
)193:‫ار (آل عمران‬ ِ ‫َربَّنَا إِنَّنَا َس ِم ْعنَا ُمنَا ِديا ً يُنَا ِدي لِإْل ِ ي َم‬
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu):"Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah
kami beserta orang-orang yang berbakti. (QS. 3:193)

‫ِر َجا ُل ال َّد ْع َو ِة‬


RIJALUD-DA’WAH

Oleh: Ahmad Madany

Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan
sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu
dapat kit aambil titik temunya, mereka adalah orang-orang yang memiliki:
Quwwatur-ruh, dan
Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam
kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika
sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup
diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 83


Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang banyak dikutip dalam buku-buku
sirah, ketika para sahabat menceritakan kepribadian Umar ra, Rasulullah saw bersabda:
ِ ‫ضى قَ ْبلَ ُك ْم ِمنَ اأْل ُ َم ِم ُم َح َّدثُونَ َوإِنَّهُ إِ ْن َكانَ فِي أُ َّمتِي هَ ِذ ِه ِم ْنهُ ْم فَإِنَّهُ ُع َم ُر بْنُ ْال َخطَّا‬
)‫ب (رواه أحمد والبخاري‬ َ ‫إِنَّهُ قَ ْد َكانَ فِي َما َم‬.
“Sesungguhnya pada setiap ummat ada orang yang mendapatkan ilham (muhaddits). Sesungguhnya
jika di dalam ummatku ada muhaddits, maka dia adalah Umar”.
Jika kita membaca sejarah hidup Umar ra, kita akan menemukan bahwa beliau adalah orang yang
memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ilham yang dimilikinya. Suatu ketika, ketika
beliau berdiri di mimbarnya, Allah memperlihatkan kepadanya perjalanan pertempuran antara
Sariyyah dan Romawi, dari jarak ratusan, bahkan ribuan mil, Umar memerintahkan: “Wahai Sariyyah,
berlindunglah ke balik gunung, berlindunglah ke gunung”. Para sahabat yang mendengar
kebingungan, tapi diantara mereka tidak ada yang berprasangka bukan-bukan terhadap Umar. Ketika
Sariyyah pulang dari pertempuran dengan membawa kemenangan, mereka bertanya: “Apakah kalian
mendengat seruan Umar?”. Kata Sariyyah: “Kami mendengar dan kami mentaatinya”.
Dalam kesempatan lain, dalam kesendiriannya, Umar berkata: “Barang siapa dari keturunanku nanti
memiliki luka di wajahnya, dia akan meramaikan dunia dengan keadilannya”.
Ketika Umar bin Abdul Aziz lahir, di wajahnya tidak ada luka. Tapi ketika ia masih kecil, dia pernah
terluka di wajahnya ketika sedang bermain-main.
Ini sekaligus sebagai bukti kebenaran Ilham Umar ra.
Ketika Abdul Aziz bin Marwan (Bapaknya Umar bin Abdul Aziz) melihat hal itu, ia mengatakan:
“Kalau engkau adalah orang yang diungkapkan oleh kakekmu dulu, engkaulah pemakmur dunia ini
dengan keadilan”.
Kebenaran ini terbukti kemudian.
Tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah. Meskipun ia hanya menjabat sebagai
khalifah selama dua tahun lima bulan, namun hasil kekhalifahannya terlihat jelas.
Dalam kitab Hayatush-Shahabah disebutkan, ketika Umar menjadi khalifah, adalah seorang pemuda
yang menjadi rakyatnya yang setiap shalat digoda oleh wanita cantik untuk berbuat serong. Lama
kelamaan ia tergoda dan melakukan perbuatan serong. Ia menyesal dan kemudian meninggal. Ketika
Umar tidak melihat pemuda ini dalam jama’ah shalat, bertanyalah Umar tentang pemuda ini.
Diceritakanlah kisah tentang pemuda itu. Karena kematiannya berada di tempat orang yang hanya
pemuda itu dan si wanita, segeralah pemuda itu dikuburkan tanpa memberitahu orang lain. Ketika
Umar ra mengetahui, ia bertanya: “Mengapa kalian lakukan yang demikian?”. Kemudian Umar ra
ingin bicara langsung dengan pemuda itu. Umar ra kemudian mendatangi kuburan pemuda itu.
Dalam sejarah kita menemukan pula kejadian serupa dalam diri imam Syafi’i. Beliau adalah orang
yang mendapatkan ilham. Muridnya yang empat: Ar-Rabi’ bin Sulaiman, Al Buwaithi, Al Muzani dan
Ibnu Abdil Hakam, sebelum meninggal mengungkapkan kepada murid-muridnya tersebut, kamu akan
menjadi ini, kamu akan menjadi ini dan sebagainya. Semua ucapan imam Syafi’i ini kemudian terbukti
kebenarannya.
Pada dasa warsa ini, salah satu tokoh yang insya Allah mendapatkan ilham adalah asy-syahid imam
Hasan Al Banna rahimahullah.
Kalau kita membaca buku Ikhwanul Muslimin; Ahdats Shana’at-Tarikh, kiat akan melihat bahwa
perjalanan awal asy-syahid Sayiid Qutub, kelasnya selevel dengan “Nurcholis group”. Saat itu di
Mesir terbit majalah sastra yang menjadi ajang pertemuan 20 sastrawan. Salah satu kubunya adalah
para tokoh aliran sastra bebas yang dikomandani oleh Abbas Mahmud Al Aqqad, dan kubu lainnya
adalah sastrawan muslim yang dikomandani oleh Musthofa Shadiq Ar-Rafi’i. Sayyid Qutub adalah
murid pilihan Al Aqqad. Ketika Musthofa meninggal, Al Aqqad naik, karena tidak ada saingan,
murid-muridnya diberi rangsangan untuk menulis.
Dalam sebuah surat kabar mingguan, Sayyid Qutub menulis makalah di mana dia menyerukan kepada
para wanita muslimah untuk membuka auratnya, karena menutup aurat dianggap olehnya sebagai
penghambat kemajuan wanita.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 84


Tulisan ini dibaca oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud dan beliau membuat tanggapan. Tapi sebelum
tanggapan ini dimuat di media massa, Ustadz Abdul Halim mendiskusikannya terlebih dahulu dengan
Imam Al Banna.
Kata Imam Al Banna: “Saya menyetujui 100 % tulisan kamu, tapi saya memiliki perasaan lain tentang
orang ini, berilah beberapa pertimbangan:
Pertama: Dia masih muda, dan apa yang ditulisnya bukanlah dari otaknya sendiri, tapi dari
lingkungannya.
Kedua: Anak muda biasanya menyenangi sensasi dan mencari musuh, apa yang dilakukan Sayyid
Qutub oleh Imam Al Banna dinilai sebagai upaya mencari eksistensi diri.
Ketiga: karena dia masih muda, kita masih memiliki harapan, siapa tahu dia akan menjadi pemikul
beban da’wah.
Pertimbangan yang lain, kata Imam Al Banna, dia (Sayyid) menulis di surat kabar yang tidak terlalu
terkenal di Mesir ini. Kalaupun dikenal, makalah atau kolom, umumnya tidak terlalu menarik
perhatian orang banyak untuk membacanya, apalagi kalau ditulis oleh seorang pemula yang belum
memiliki nama. Kalau kita menanggapinya, orang-orang yang semula tidak tahu menjadi ingin
mengetahuinya, dan orang-orang yang mungkin pernah membaca secara selintas akan mengulang
kembali membacanya untuk mengenali muatan tulisan tersebut. Tujuan anak muda ini menulis adalah
untuk mendapatkan serangan atau tantangan dari khayalak yang dengan serangan itu akan menaikkan
dan mengangkat namanya. Imam Al Banna berkata lagi: “Kalau kita bantah tulisan itu, kita berarti
menutup kesempatan diri pemuda itu untuk bertobat karena orang cenderung untuk membela diri jika
kesalahannya diluruskan, apalagi bila pelurusan itu dilakukan di depan umum, ia akan membela
dirinya mati-matian, meskipun dalam hati kecilnya ia menyadari kesalahan atau kekeliruannya.
Dengan demikian, kalau tanggapan itu ita lakukan, berarti kita telah menutup kesempatan bertaubat
bagi dirinya”.
Akhirnya Imam Al Banna mengatakan: “Wahai Mahmud, inilah pandanganku tentang orang ini, akan
tetapi, kalau engkau tetap ingin mengirimkannya, silahkan saja”.
Ustadz Mahmud setuju untuk meninjau kembali rencana pengiriman tulisan itu, sehingga akhirnya
tulisan itu tidak jadi dikirim.
Dan pada akhirnya, terbuktilah kebenaran perasaan Imam Al Banna, sebab pada akhir perjalanan
hidupnya, Sayyid Qutub menjadi penopang dan pemikul beban da’wah dan iapun bergabung dengan
jama’ah ini.
Hal itu merupakan bagian dari firasat seorang mukmin yang dimiliki oleh Imam Al Banna.
Untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti perjalanan beliau sejak kecil hingga beliau meninggalkan dunia
yang fana ini.
Imam Al Banna dilahirkan sama dengan tahun dilahirkannya Sukarno, yaitu tahun 1906 M, di suatu
wilayah yang bernama Al Mahmudiyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang gemar kepada ilmu.
Ayahnya seorang ulama’ yang bernama Asy-Syekh Ahmad bin Abdur-Rahman As-Sa’ati, seorang
tukang jam. Meskipun seorang tukang servis jam, namun beliau juga seorang ulama’. Diantara karya
besarnya adalah menertibkan kitab hadits musnad Imam Ahmad sesuai dengan urutan tema fiqih, kitab
itu diberi nama Al Fathu Ar-Rabbani fi Tartibi Musnadil Imami Ahmad Asy-Syaibani.
Ketika kecil beliau mendapatkan pendidikan di Madrasah Ar-Rosyad Ad-Diniyyah yang diasuh oleh
Asy-Syekh Az-Zahroni. Disekolah SD itulah beliau menghafal Al Qur’an sebanyak setengah Al
Qur’an atau kurang lebih 15 juz. Rupanya sekolah ini tidak lama umurnya, karena Asy-Syekh Az-
Zahrani ditarik oleh departemen pendidikan di sana, dan bubarlah sekolahan itu.
Beliau kemudian melanjutkan sekolahnya di Al I’dadiyyah. Disana beliau membagi waktunya menjadi
empat bagian: belajar di pagi hari, kemudian sepulang sekolah beliau belajar memperbaiki jam hingga
sore hari, dan di malam harinya beliau mempersiapkan diri untuk sekolah besok paginya, dan pagi
harinya setelah shalat Shubuh, beliau menghafalkan Al Qur’an. Dengan kebiasaan inilah beliau hampir
menamatkan hafalan Al Qur’annya.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 85


Setelah tamat di Al I’dadiyyah, Hasan Al Banna kecil melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Al
Mu’allimin Al Awwaliyyah di Damanhur. Disana beliau tamat menghafalkan Al Qur’an. Madrasah Al
Mu’allimin ini adalah sekolah yang di sini setingkat dengan SPG atau SMU. Setelah itu beliau
mendapatkan dua peluang belajar, di Al Azhar atau di Darul ‘Ulum. Kalau melanjutkan di Darul
‘Ulum ia akan menjadi guru. Dan kalau di Al Azhar beliau bisa melanjutkan dan biasanya menjadi
ulama’ besar. Namun beliau lebih memilih Ma’had Darul ‘Ulum program diploma tiga tahun. Lalu
pindahlah beliau ke Kairo.
Pada masa mudanya –bahkan sejak masih duduk di bangku SD- Hasan Al Banna tertarik kepada salah
satu tarekat yang memang tumbuh menjamur pada masa itu. Tarekat yang diminatinya bernama
tarekat Al Hashafiyyah, yang didirikan oleh seorang ulama’ besar bernama Syekh Al Hasanain Al
Hashafi, seorang tamatan Al Azhar.
Dalam buku yang ditulis oleh Imam Al Banna; Mudzakkiratud-Da'wahwah Wad-Da'wahiyah,
disebutkan, tarekat yang didirikan oleh Syekh Al Hashafi berbeda dengan tarekat-tarekat lain yang ada
pada masa itu. Syekh Al Hashafi selalu gemar menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Al
Banna bercerita tentang Syekh Al Hashafi, meskipun beliau belum pernah bertemu langsung
dengannya. Kata beliau, pada saat berkunjung kepada Syekh Khudhari Bik, seorang penguasa Mesir,
beliau menyampaikan salam yang kemudian dijawab oleh Hudhari Bik dengan isyarat. Dengan berang
Al Hashofi mengatakan:
‫ َوالَ يَ ْكفِي ِباْ ِإلشَا َر ِة‬، ٌ‫َر ُّد ال َّسالَ ِم َوا ِجب‬
Menjawab salam hukumnya wajib dan tidak cukup dengan isyarat.
Akhirnya Khudhari Bik malu sendiri dan menjawab:
ُ‫َو َعلَ ْي ُك ُم ال َّسالَ ُم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َركَاتُه‬
Kemudian ketika beliau diundang oleh seorang perdana menteri Mesir bersama ulama’-ulama’ yang
lain, beliau melihat ulama’-ulama’ tersebut menundukkan kepada kepada perdana menteri karena
mengikuti seorang ulama’ yang menundukkan kepalanya kepada sang perdana menteri itu. Ketika
melihat hal itu syekh Al Hashafi memukul dan berkata kepada para ulama’ itu:
ِ َّ‫ع لِلن‬
‫اس‬ ْ َ‫ع هللِ فَق‬
ُ ْ‫ َوالَ يَ ِحلُّ الرُّ ُكو‬،‫ط‬ ُ ْ‫!يَا هَ َذا! اَلرُّ ُكو‬
Wahai orang ini! Ruku’ itu hanya untuk Allah semata, dan tidak halal ruku’ kepada manusia!
Inilah diantara kisah kepribadian Syekh Hasanain Al Hashafi yang membuat Hasan Al Banna tertarik
kepadanya dan ingin berhubungan lebih jauh dengan tarekat yang didirikannya.
Beliau mengikuti tarekat Al Hashafiyah semasa dipimpin oleh putra Syekh Hasanain Al Hashafi,
namanya syekh Abdul Wahhab bin Hasanain Al Hashafi.
Diceritakan oleh Imam Al Banna bahwa syekh Abdul Wahhab tidak sekeras dan setegas bapaknya.
Namun beliau orang bersih, lurus dan dikenal sebagai ahli suluk, yaitu orang yang ibadahnya tidak
diragukan lagi.
Beliau juga bisa dikatakan sebagai orang yang mulham.
Suatu ketika beliau bersama seorang sahabatnya yang bernama Ahmad Affandi As-Sakari bertemu
dengan syekh Abdul Wahhab, beliau mengatakan kepada keduanya:
ِ ‫ا‬Uَ‫أَلُ ُك ْم ع َْن أَوْ ق‬U‫ا ْعلَ ُموْ ا أَ َّن هللاَ َسيَ ْس‬UUَ‫ ف‬،‫اس‬
َ‫يَجْ تَ ِمعُوْ ن‬U‫ ُؤالَ ِء الَّ ِذ ْينَ َس‬Uَ‫ت ه‬ ِ َّ‫رًا ِمنَ الن‬Uْ‫ ُّم َعلَ ْي ُك ْم َكثِي‬U‫ض‬ َ ‫ب َويَ ْن‬َ ْ‫و‬Uُ‫أَنَّنِ ْي أَت ََو َّس ُم أَ َّن هللاَ َسيَجْ َم ُع َعلَ ْي ُك ُم ْالقُل‬
َ‫ت هَبَا ًء فَيُ َؤا َخ ُذوْ نَ َوتُ َؤاخَ ُذوْ ن‬ ْ َ‫ص َرف‬ َ ‫ أَ ْم اِ ْن‬،‫ َولَ ُك ْم ِم ْثلُهُ ْم‬، ُ‫ َويَ ُكوْ نُ لَهُ ْم الثَّ َواب‬،‫ أَفَ ْدتُ ُموْ هُ ْم فِ ْيهَا‬،‫ َعلَ ْي ُك ْم‬.
Aku melihat dari wajah kalian bahwa Allah swt akan menghimpun hati manusia kepada kalian dan
Allah akan menyatukan mereka kepada kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah swt akan bertanya kepada
kalian atas waktu mereka yang berkumpul kepada kalian itu, apakah kalian memberikan kepada
mereka manfaat dan tentunya mereka akan mendapat pahala dan demikian pula kalian, atau waktu
mereka itu hilang percuma, maka mereka akan dimintai pertanggung jawaban dan demikian pula
kalian.
Inilah yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahhab kepada Hasan Al Banna dan Ahmad Affandi As-
Sakari.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 86


Dari pengalamannya di tarekat inilah beliau mulai berorganisasi dengan membentuk satu organisasi
yang diberi nama Jam’iyyah Al Khairiyyah Al Hashafiyyah. Dalam organisasi ini yang menjadi
ketuanya adalah Ahmad Affandi As-Sakari –yang nantinya dalam jama’ah Ikhwanul Muslimin dia
menjadi wakil- dan yang menjadi sekretarisnya adalah Hasan Al Banna.
Aktifitas organisasi ini ada dua:
Menyebarkan da'wah kepada akhlaq yang mulia dan memerangi berbagai kemunkaran dan hal-hal
yang diharamkan dan tersebar luas di masyarakat, seperti: judi, minuman keras, dan bid’ah-bid’ah
yang ada pada perayaan-perayaan.
Menghadapi propaganda missi Zending Kristen yang ada di Mesir pada waktu itu.
Dalam buku Mudzakkirotud-Da'wah Wad-Da'iyah Imam Al Banna menceritakan, beberapa kantor IM
berdampingan dengan kantor-kantor missi kristenisasi.
Dan kita lihat pula dalam kitab fi qafilatil Ikhwan Al Muslimin yang ditulis oleh Ustadz Abbas As-Sisi,
foto-foto yang ada dalam buku tersebut menggambarkan betapa jama’ah ini memiliki toleransi dengan
orang-orang palangis itu. Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘aam kedua misalnya, dalam foto-foto itu
bergambar berdampingan dengan pembesar Kristen Qibti. Hal itu menandakan bahwa jama’ah ini
sejak pertama tidak melupakan peran sosialnya kepada orang Nasrani yang merupakan bagian dari
ummat manusia.
Setelah beliau selesai dari Mu’allimin Al Awwaliyyah dan setelah beliau memilih Darul ‘Ulum
sebagai sekolah kelanjutannya, beliau terpaksa harus berpisah dengan keluarga dan sahabat yang
dicintainya. Disana, di Kairo, beliau hidup sendirian dan tidak mengandalkan kiriman wesel dari orang
tuanya, beliau benar-benar mandiri. Karena kemandiriannya ini, beliau menjadi sangat sibuk, sampai-
sampai ketika menjelang ujian masuk Darul ‘Ulum beliau tidak sempat belajar.
Dalam kitab Ahdats Shana’at-Tarikh Imam Al Banna bercerita: Di malam ujian itu beliau melakukan
shalat tahajjud seperti biasanya, dan memohon serta mengadu kepada Allah swt. Dalam do’anya
beliau berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu betapa rindunya diriku kepada ilmu dan betapa
cintaku kepada-Mu, tapi Engkau juga tahu betapa sibuknya diriku dalam mencari ma’isyah untuk
mempertahankan hidup di kota ini, berilah jalan keluar bagiku”.
Beliau akhirnya tertidur malam itu dan bermimpi kedatangan seseorang yang membawa buku dan
membuka-buka buku itu dan dia turut membuka dan membacanya. Ketika ujian tiba, ternyata apa yang
dia baca dalam mimpi itulah yang diujikan esok harinya.
Beliau lulus dan mendapatkan nilai istimewa. Ini juga salah satu tanda bahwa beliau termasuk seorang
yang Muhaddats, Mulham karena kebersihan dan ketaqwaannya, insya Allah.
Beliau selanjutnya belajar di Darul ‘Ulum dengan lancar. Selain mencintai Al Qur’an dan As-Sunnah,
beliau juga menyenangi syi’ir-syi’ir Arab. Setiap mendapatkan syi’ir beliau mencatatnya hingga buku-
bukunya tentang syi’ir bertumpuk.
Ketika ujian kelulusan dari Darul ‘Ulum, saat tes lisan, beliau bawa buku-buku itu. Salah satu dari dua
orang penguji bertanya tentang apa yang dihafalnya dari syi’ir-syi’ir itu. Dia menjawab: “Semuanya
aku hafal”. Yang satunya lagi bertanya: “Bait mana yang paling engkau senangi dari syi’ir-syi’ir itu?
Al Banna mengatakan: “Bait Syi’ir yang diucapkan oleh Thorfah bin Al ‘Abd, salah seorang penyair
di zaman jahiliyyah.
ُ ‫إِ َذا ْالقَوْ ُم قَالُوْ ا َم ْن فَتَى؟ ِخ ْل‬
‫ت‬ ‫ْت فَلَ ْم أَ ْك َسلْ َولَ ْم أَتَبَلَّ ِد‬
ُ ‫أَنَّنِ ْي ُعنِي‬
Bila orang bertanya : “Siapa pemuda? Saya membayangkan akulah yang dimaksud, karenanya, saya
tidak bermalas-malas dan tidak membodohi diri.
Mendengar jawaban itu, sang penguji mengatakan: “Wahai anakku, dengan demikian aku nyatakan
engkau lulus dari Darul ‘Ulum, dan yang memiliki jawaban seperti ini hanya engkau dan ustadz
Muhammad Abduh. Aku melihat bahwa engkau akan memiliki masa depan yang gemilang”.
Ada syi’ir lain yang selalu beliau kumandangkan, yaitu:
ُ‫ك ألَ ْم ٍر لَوْ فَ ِط ْنتَ َله‬ َ ‫فَارْ بَأْ بِنَ ْف ِس‬
َ ْ‫ك أَ ْن تَ ُكوْ نَ َم َع ْالهَ َم ِل قَ ْد َر َّشحُو‬
Orang-orang telah mencalonkan kamu untuk suatu urusan, kalau saja kamu tahu.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 87


Maka jagalah dirimu jangan sampai engkau termasuk orang-orang yang lalai.
Beliau lulus dari Darul ‘Ulum tahun 1926 M dan langsung memilih mengajar di sebuah SD di
Isma’iliyyah. Ketika beliau hidup di tengah masyarakat, mulailah beliau berkomunikasi dan berbaur
dengan masyarakat danmendekati tokoh-tokoh agama.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, beliau berkumpul bersama tokoh-tokoh ‘ulama’ di rumah salah
seorang ‘ulama’ senior yang bernama syekh Yusuf Ad-Dajawiy. Di masa itu, orang-orang sosialid
komunis, kapitalis dan palanis telah merajalela dalam perngrusakan ummat, sehingga
kemungkarantersebar ke mana-mana. Dalam kesempatan tersebut Hasan Al Banna mengutarakan
keresahan hatinya dan meminta para ulama’ itu untuk melakukan sesuatu demi amar ma’ruf nahi
munkar. Jawaban syekh Yusuf pada waktu itu: “Sesungguhnya Allah swt tidak membebani seseorang
yang melebih kemampuannya”.
Mendengar jawaban seperti itu Hasan Al Banna tidak puas, ia kemudian berkata: “Wahai Syekh!
Andaikan ucapan ini diucapkan oleh selain anda, mungkin kami bisa menerimanya, tapi bila anda
yang mengucapkannya, maka sulit bagi kami untuk menerimanya. Ucapan ini terkesan lebih
merupakan pembelaan diri, sementara tidak ada sesuatu-pun yag anda lakukan untuk membendung
kemungkaran ini”.
Rupanya ucapan Hasan Al Banna ini membuat marah hadirin yang lain. Tapi Al Hamdulillah beliau
didukung oleh salah seorang hadirin yang bernama Syekh Bik Kamil. Hasan Al Banna sebenarnya
baru pertama kali bertemu dengan syekh Ahmad Bik Kamil ini, namun karena pembelaannya yang
tepat pada waktunya itu –di saat Al Banna dalam posisi tersudut- membuat Al Banna tertarik
kepadanya dan berharap dapat berjumpa kembali dengannya pada masa yang akan datang.
Karena pembicaraan itu terus berkepanjangan, sementara mereka yang hadir juga diundang di majlis
yang lain, maka syekh Yusuf mengajak tamu-tamunya untuk pergi. Hasan Al Banna yang sebenarnya
tidak diundang untuk acara tersebut, ikut pula bersama mereka. Mereka semua berkunjung ke rumah
salah seorang ulama’ yang bernama syekh Muhammad Sa’ad.
Di rumah syekh Muhammad Sa’ad, Hasan Al Banna sengaja memilih tempat duduk persis di sebelah
syekh Yusuf yang merupakan ulama’ yang dituakan, agar perhatian turut pula ditujukan kepadanya.
Benar saja, tuan rumah tidak lama kemudian bertanya kepada syekh Yusuf tentang pemuda yang ada
di sebelahnya, yang tidak lain adalah Hasan Al Banna, yang saat itu usianya baru 21 tahun.
Di rumah syekh Sa’ad mereka disuguhi aneka makanan lezat. Melihat semuanya itu, Hasan Al Banna
merasa panas dan tidak senang hatinya. Beliau kemudian berkata: “Apakah kalian kira Allah swt tidak
akan menghisab kalian dengan apa yang kalian perbuatan seperti ini? Jika kalian tahu bahwa Islam
memiliki ulama’-ulama’ selain kalian, tolong tunjukkan aku kepada mereka, mungkin aku akan
mendapatkan sesuatu dari mereka yang tidak aku dapatkan pada kalian!”
Mendengar ucapan Hasan Al Banna ini, syekh Sa’ad menangis, lalu ia berkata: “idzan, madza af’al
(kalau begitu, apa yang harus saya lakukan?) jawab Al Banna: Masalah ummat ini adalah masalah
yang berat. Sebagaimana mereka menyerang ummat ini dengan tulisan-tulisan, kita hadapi pula
tindakan mereka dengan tulisan, kalian adalah ulama’-ulama’ besar dan memiliki hubungan yang luas.
Kumpulkan orang-orang kaya untuk menyokong dana dan kalian para ulama’ menyiapkan tulisan-
tulisan untuk menghadapi serangan mereka”.
Mendengar jawaban Hasan Al Banna, syekh Sa’ad segera memerintahkan menyingkirkan makanan
dan minuman, dan kemudian mengambil pena dan kertas. Malam itu juga mereka menginventarisir
siapa ulama’ yang harus mereka hubungi untuk membuat tulisan dan siapa orang-orang kaya yang
akan mereka mintai bantuan dananya.
Kelompok ini pada saat itu agak berseberangan jalan dengan kelompok syekh Rasyid Ridha dan
kawan-kawannya. Pada malam itu syekh Sa’ad memerintahkan pula untuk melibatkan syekh Rasyid
Ridha dkk. Diantara yang hadir mengatakan: “Bukankah mereka berbeda (tidak sefikrah) dengan kita?
Jawab syekh Sa’ad: “Masalah sekarang ini lebih besar daripada masalah yang kita perselisihkan
selama ini, lupakan semua perbedaan itu dan kita cari apa yang kita sepakati”.
Dari pertemuan inilah kemudian berdiri satu jam’iyyah, yaitu: Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Tidak lama setelah itu terbitlah majallah Syubbanul Muslimin yang bernama Al Fath Al Islami.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 88


Hasan Al Banna sebelumnya, semasa di Kairo, selain belajar, beliau juga aktif berda’wah. Ketika di
Al Isma’iliyyah, beliau kembali melakukannya. Beliau mendatangi kedai-kedai kopi. Da’wah beliau
begitu indahnya. Meskipun hanya beberapa menit saja, mampu mengundang sempati orang-orang
yang kurang terpelajar. Mengenai hal ini semua antum sudah mengetahui.
Suatu ketika datanglah beberapa orang kepada Hasan Al Banna. Mereka berkata: “Wahai Ustadz!
Kami sudah tidak sabar. Kami hanyalah orang yang tidak mengerti apa-apa, hendak engkau bawa
kemana-pun kami, kami akan ikuti. Sekarang, apa yang harus kami lakukan?
Dari pembicaraan-pembicaraan seperti ini, kemudian pada bulan Maret 1928 M terjadilah pembai’atan
pertama dalam sejarah jama’ah ini. Ada enam orang yang berbai’at, yaitu:
Hafizh Abdul Halim.
Ahmad Al Hushari.
Fuad Ibrahim.
Abdur-Rahman Hasbullah.
Isma’il Izz, dan
Zakkiy Al Maghribi.
Setelah keenam orang ini berbai’at, salah seorang diantaranya bertanya: “Sekarang kita sudah
berkumpul, hendak kita namakan apa kelompok kita ini? Apakah kita perlu membentuk organisasi
atau klub atau salah satu tarekat atau yang lainnya dan kita mengambil bentuk yang formal?
Hasan Al Banna menjawab: “Sesungguhnya kita tidak termasuk yang ini atau yang itu dan kita tidak
terlalu peduli masalah formal seperti ini. Hendaknya kita menjadikan awal dan dasar pertemuan ini
karena kesamaan fikrah, perasaan dan kesamaan untuk beramal. Kita bersaudara dalam berkhidmah
kepada ummat Islam. Berarti kita adalah Ikhwanul Muslimin”. Sejak itulah istilah Ikhwanul Muslimin
digunakan.
Ada beberapa sisi lain dari kehidupan Hasan Al Banna yang dapat kita pelajari. Diantaranya adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud ketika beliau berjumpa dengan
seorang ulama’ Al Azhar yang dikenal dengan sebutan Hakimul Islam, yaitu: Syekh Thanthawi
Jauhari. Beliau adalah seorang ulama’ yang berusaha menggabungkan ilmu qauli dengan ilmu kauni,
salah seorang ulama’ tafsir, kitab tafsirnya bernama: Al Jawahir. Dalam usianya yang sudah tua,
beliau rela dipimpin oleh seorang yang masih muda dan hanya sebatas guru SD. Padahal beliau adalah
syekh yang dituakan dan ulama’ terkenal.
Kata Ustadz Abdul Halim, ketika beliau sedang menulis Arjuzah di kantor Ikhwanul Muslimin, saat
itu beliau sedang sendirian, datanglah syekh Thanthawi menjumpainya. Sebelumnya Ustadz Abdul
Halim sempat berharap dapat bertemu langsung dengan syekh Thanthawi dan berbicara secara khusus,
dan Al Hamdulillah Allah swt mengabulkannya.
Syekh Thanthawi bertanya kepada Ustadz Abdul Halim: “Apa yang sedang engkau tulis? Dijawab
oleh ustadz Abdul Halim: “Saya sedang menulis syi’ir yang dipesankan oleh Imam Hasan Al Banna”.
Syi’ir itu kemudian dibaca oleh syekh Thanthawi dan beliau kemudian meminta ustadz Abdul Halim
membacakanya untuknya. Ustadz Abdul Halim yang hanya lulusan teknik dan bukan lulusan syari’ah
serta tidak memahami cara membaca syi’ir, kemudian membaca syi’ir itu. Kata syekh Thanthawi:
“Bukan begitu cara membaca syi’ir”. Ustadz Abdul Halim bertanya: “Apakah ada bagian yang keliru
saya baca? Jawab syekh Thanthawi: “Tidak, tidak ada satupun bagian yang keliru, akan tetapi bukan
begitu cara membaca syi’ir”. Kemudian syekh Thanthawi menambahkan lagi: “Dulu, di masa
jahiliyyah, ada sebuah pasar bernama Ukazh, di sana orang-orang jahiliyyah mengambil syi’irnya,
seandainya syi’ir itu dibaca dengan cara hafal membacanya, tidak ada daya tariknya, akan tetapi, syi’ir
itu harus dibaca sesuai dengan ruhnya”. Maka syekh Thanthawi kemudian mencontohkan cara
membacanya dengan demikian indahnya.
Kemudian syekh Thnathawi melanjutkan: “Wahai anakku, manusia dalam hidup ini membutuhkan
riyadhah (latihan), sebagaimana fisik itu harus dilatih, ruh itupun harus dilatih. Orang-orang yang
biasa berlatih akan memiliki satu tingkat dari orang-orang yang tidak pernah berlatih”. (Di dalam
tarekat ada satu tingkatan yang paling tinggi, yaitu Al Kasyf, yaitu kemampuan mengetahui apa-apa

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 89


yang tidak diketahui oleh orang lain, bi-idznillah, suatu tingkatan bagi orang-orang yang memiliki
tingkat latihan ruhiyyah paling tinggi). Syekh Thanthawi kemudian bertanya: “Adakah orang lain yang
kedudukannya lebih tinggi lagi dari Ahlul Al Kasyf wahai anakku! Kata ustadz Abdul Halim: “Saya
kira tidak ada wahai syekh!”.
Dijawab oleh Thanthawi: “Tidak wahai anakku”. Abdul Halim bertanya lagi: “Kedudukan mana lagi
yang lebih tinggi dari itu?”. Jawab syekh Thanthawi: “Kedudukan yang lebih tinggi dari itu adalah
kedudukan para rijal yang dibentuk oleh Allah swt dan dipilih diantara makhluq-Nya, mereka dipilih
oleh Allah swt untuk memusnahkan kerusakan, menghilangkan kezhaliman, menghidupkan api
keimanan di dalam hati setiap orang, serta menyebarkan ukhuwwah diantara orang-orang yang
beriman, hingga da’wah ini menjadi kuat dan mampu mengangkat nama Allah di atas bumi dan
mampu menghadapi orang-orang zhalim yang membuat kerusakan”.
Selanjutnya syekh Thanthawi mengatakan: “Ketahuilah anakku, misi ini, yang Allah pilih mereka
untuk mengemban-Nya, menuntut mereka menjadi ahlul hajb, menjadi orang yang tidak nampak
kekuatan spiritualnya (tidak bisa jalan di air, tahan dibakar api, dsb) –akan tetapi kedudukan mereka
lebih tinggi dari Ahlul Kasyf, mengapa? Sebab, ilmu ahlul kasyf tidak dapat dipelajari, sedangkan
ilmu ahlil hajb dapat dipelajari dan dapat berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga
akhir zaman”. Tambah syekh Thanthawi, “termasuk diantara ahlil hajb adalah para rasul, nabi Musa
as (ahlul hajb) kedudukannya lebih tinggi dari nabi Khidhir as (ahlul kasyf), sebab nabi Musa as
termasuk ulul ‘azmi minar-rasul, hanya lima dari sekian banyak nabi dan rasul yang mendapatkan
gelar ini, meskipun di dalam Al Qur’an secara sepintas seolah nabi Khidhir lebih tinggi daripadanya.
Demikian pula dengan nabi Sulaiman as, ketika burung pelatuk kecil menemukan kerajaan Bilqis,
berkata nabi Sulaiman: “Siapa yang dapat memindahkan singgasana ratu Bilqis kemari sebelum
mereka datang ke sini? Berkata salah satu jin Ifrith: “Aku mampu memindahkan singgasana itu
sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu”. Berkatalah seseorang yang diberi ilmu kitab, Asyif
namanya: “Aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Meskipun ilmu ahli
kitab (ahlul kasyf) itu lebih tinggi dibanding nabi Sulaiman as, akan tetapi kedudukan nabi Sulaiman
tetap lebih mulia, sebab dia adalah seorang rasul Allah, sedangkan Asyif tidak”.
Kata syekh Thanthawi: “Diantara ahlul hajb adalah sahabat-sahabat yang besar, seperti Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Al Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dll. Diantara mereka
yang lain adalah kibarul mushlihin (para reformer besar) yang diantaranya adalah Hasan Al Banna”.
Bertanya Ustadza Abdul Halim: “Begitukah engkau melihat Hasan Al Banna?”.
Dijawab: “Ya”.
Ditanya lagi: “Bagaimana engkau dapat mengenalnya?”
Jawab Thanthawi: “Ketika aku mendangar namanya disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku
duduk bersamanya, aku tanya dia: “Apa yang engkau da’wahkan?”. Sebagaimana banyak orang yang
yang pernah aku jumpai dia menjawab: “Aku menda’wahi orang kepada Al Qur’an”. Maka aku
katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu
kelompokpun di dalam da’wah Islamiyyah ini –termasuk yang sesat sekalipun- kecuali mereka
mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an. Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang da’wah
yang engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan! Kemudian ia menerangkan da’wahnya dan aku
dapati da’wahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul saw”.
Diceritakan pula, ketika Thanthawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Hasan
Al Banna, dia bertanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir
ini, andalah Hakimul Islam, kulihat anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam
da’wah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Ketika Hasan Al Banna menjawab sungkan,
dijawab oleh Thanthawi: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban
da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku”.
Ketika beliau bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, teman-teman seangkatan beliau meledeknya
dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syekh, mengapa anda mau menjadi
kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan anda hanya menjadi seorang pemimpin redaksi?
Dijawab oleh Thanthawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al Banna, anda akan lebih dahulu
bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 90


Dari apa yang diungkapkan oleh Ustadz Abdul Halim Mahmud, kita dapat melihat bahwa Hasan Al
Banna adalah orang yang dapat secara akrab menjalin hubungan dengan anggota setiap kelompok
masyarakat tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Dalam buku ini pula dapat kita saksikan bagaimana kearifan sikap Hasan Al Banna ketika menghadapi
Thaha Husain, gembong kerusakan di bidang pemikiran yang membuka cakrawala pemikiran sesat di
kalangan para pemikir Islam di belahan dunia, ketika ia menerbitkan buku Mustaqbaluts-Tsaqafah fi
Mishr (Masa depan budaya Mesir), yang mendapat sanggahan bertubi-tubi dari berbagai kelompok
yang ada di Mesir. Hasan Al Banna sendiri –karena kesibukannya- tidak mempunyai waktu untuk
menanggapinya. Beberapa pengikutnya kemudian mengingatkan beliau dan berkata bahwa orang-
orang menunggu tanggapan Ikhwanul Muslimin atas buku Thaha Husain itu, karena kedudukan
Ikhwanul Muslimin saat itu sudah diperhitungkan di masyarakat. Dijawab oleh Hasan Al Banna
bahwa dia sibuk dan tidak sempat membacanya.
Tanpa sepengetahuan Hasan Al Banna, para pengikutnya merencanakan untuk mengadakan semacam
bedah buku Thaha Husain itu, dengan beliau sebagai pembahasanya. Lima hari sebelum acara
berlangsung, diberitahukan kepadanya mengenai hal ini. Hasan Al Banna berkata terpaksa dia
membaca buku itu dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah, sementara ia berada di atas
treem. Ia membaca buku itu dan memberi garis bawah bagian-bagian yang penting. Sebelum lima hari
buku itu sudah selesai dibaca dan sudah pula dihafalnya. Buku itu tebalnya dua ratus halaman lebih.
Bedah buku itu diselenggarakan di kantor Syubbanul Muslimin, yang menjadi moderator adalah DR.
Yahya Ad-Dardiri, sekjen Syubbanul Muslimin dan hadir pada acara bedah buku itu tokoh-tokoh
Mesir dari berbagai kalangan.
Hasan Al Banna mengkritik buku itu dengan cara yang unik, dia mengatakan: “Saya tidak akan
mengkritik buku ini dengan pendapat saya, tapi saya akan mengkritiknya dengan buku ini sendiri”.
Kemudian beliau mengungkapkan bagian-bagian yang kontradiktif dari buku itu, lengkap dengan letak
nomor halamannya, sekian dan sekian.
DR. Yahya Ad-Dardiri kemudian menyetop dan mengatakan bahwa dirinya telah membaca buku itu,
tapi sepertinya dia tidak menemukan apa yang Hasan Al Banna kemukakan, dan dia meminta kepada
Hasan Al Banna untuk mengijinkannya mengecek kebenaran kutipan-kutipan Hasan Al Banna
langsung kepada buku itu. Ternyata terbukti, seluruh yang diungkapkan Hasan Al Banna benar
adanya.
Dalam acara bedah buku itu sebenarnya Thaha Husain juga hadir, namun ia berada di tempat yang
tersembunyi. Sebelum pulang ia mengatakan bahwa ia ingin bertemu dan berdialog dengan Hasan Al
Banna. Ia menawarkan tiga tempat; di rumahnya, di kantornya atau di rumah Hasan Al Banna. Adapun
waktunya, ia menyerahkannya kepada Hasan Al Banna. (bayangkan! Seorang mustasyar atau
penasehat negara, menyerahkan waktu pertemuannya kepada seorang guru SD!).
Akhirnya terjadilah pertemuan di kantor Thoha Husain. Berkata Thoha Husain: “Seandainya di Mesir
ini ada tokoh yang paling besar, andalah orangnya, apa yang anda sampaikan tentang buku saya,
demikian baik”. Kata Hasan Al Banna: “Al Hamdulillah, adakah hal-hal yang tidak anda setujui?”
dijwab oleh Thoha Husain: “Tidak ada, bahkan saya ingin agar pembahasan itu ditambah lagi”.
Kemudian Thaha Husain bertanya: “Apakah ada sikap dan perkataan saya yang tidak anda senangi?
Ketahuilah! Selama ini saya berhadapan dengan orang yang tidak mempunyai etika dalam berdebat,
ketika mereka menyerang saya, diri saya-pun diserang. Seandainya musuh-musuh saya adalah orang-
orang semulia anda, sejak awal saya akan menghormati mereka”.
Hasan Al Banna menjawab: “Anda adalah seseorang yang cukup bangga dengan Barat, akan tetapi
sayang, anda tidak mampu membedakan dua hal yang sangat berbeda. Adapun ilmu, itu adalah sesuatu
yang terus berkembang, hari ini kita benar, esok hari bisa jadi kita keliru. Akan tetapi agama, dia
adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah, jika kita menjadikan agama sebagai ilmu, sama artinya
kita merubah agama itu dari hari ke hari, dan jika kita menjadikan ilmu sebagai agama, kita berarti
telah membunuh hak ilmu itu untuk berkembang, padahal semestinya kita meletakkan keduanya pada
tempatnya masing-masing.
Hal yang lain lagi, kalian –para pengagum Barat- lebih mendahulukan akan daripada wahyu, ketika
akal bertabrakan dengan wahyu, kalian mengambil akal dan membuang wahyu”.
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 91
Dalam kesempatan dialog itu Hasan Al Banna juga mengkritik polemik yang tejadi antar sesama
ummat Islam. Beliau mengatakan kalau seandainya berpolemik ummat Islam mempunyai tenggang
rasa sedikit saja, mereka akan bertemu pada satu titik persamaan, akan tetapi sayang, mereka memilih
bersikap seperti empat orang buta yang mensifati binatang gajah, yang kata Imam Al Ghozali, masing-
masing bersikeras pada pendapatnya yang sebenarnya juz’i. Seandainya mereka memiliki toleransi
sedikit saja, mereka bisa bersepakat dalam menilai gajah tersebut dalam bentuknya yang utuh.
Ustadz Abdul Halim mencatat, sejak saat itu Thaha Husain menjadi lebih baik sikapnya. Beliau
kemudian memilih untuk mendalami sastra Arab dan mengurangi perannya dalam menyesatkan
ummat.
Adapun hubungan Hasan Al Banna dengan para ulama’, ketika syekh Abdul yazid datang ke
Indonesia, beliau bercerita: “Di Mesir, ada sebuah kota yang bernama Zaqzuq. Ketika Hasan Al Banna
hendak melakukan kunjungan ke sana, adalah seorang ulama’ tarekat terkenal yang memiliki banyak
murid. Ia berupaya membuat makar untuk menggagalkan acara kunjungan Hasan Al Banna. Namun
karena tanggal kedatangan Hasan Al Banna dirahasiakan, hanya sedikit orang yang tahu, ulama’ ini
tidak mengetahui persis kapan Hasan Al Banna akan datang berkunjung. Pada suatu hari, sang ulama’
ini dikejutkan oleh seseorang yang mengetuk pintunya untuk berkunjung. Ulama’ itu bertanya:
“Siapa?” dijawab: “Saya, Hasan Al Banna”. Maka terkejutlah dia, dengan ‘terpaksa’ ia menjamu
Hasan Al Banna. Hasan Al Banna kemudian berkata kepada sang ulama’ itu: “Adalah satu hal yang
tidak pantas bagi saya, ketika saya masuk suatu negeri dengan tidak meminta ijin pada penguasanya”.
Sampai saat ini keturunan ulama’ itu, meskipun tidak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, setiap
kali ada kegiatan ikhwan, selalu membantu.
Demikian pula sikap Hasan Al Banna terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ketika Ikhwanul
Muslimin mengirim pasukan ke Paletina, Hasan Al Banna mampu mempergunakan Manthiqul Hal
dalam berdialog dengan para penguasa maupun tokoh-tokoh lainnya.
Inilah profil Hasan Al Banna. Kita perlu menggali lebih jauh dan dalam lagi. Dalam sejarah, umumnya
memang para tokoh-tokoh utama itulah yang muncul secara mengesankan, sehingga mampu memberi
warna perjalanan da’wah.
Di zaman Rasulullah saw misalnya, sepeninggal Rasulullah bisa dibilang tidak ada tokoh sehebat
beliau yang muncul.
Demikian pula dalam jama’ah ini, yang menurut DR. Al Faruqi, belum ada tokoh sebesar Hasan Al
Banna yang muncul, namun kita tetap yakin bahwa :
‫إِ َّن لِ ُك ِّل َمرْ َحلَ ٍة ِر َجالُهَا‬
Sesungguhnya tiap-tiap marhalah itu ada tokohnya.
Pertanyaan kita hari ini:
‫!ر َّدةٌ َوالَ أَبَا بَ ْك ٍر لَهَا‬
ِ
1

Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.

1
Ini adalah judul buku yang ditulis oleh Abul Hasan An-Nadawi.

Urgensi dan Keutamaan Qiyamul Lail

‫ َر ِة إِاَّل‬U‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل إِ َّن فِي اللَّي ِْل لَ َسا َعةً اَل يُ َوافِقُهَا َر ُج ٌل ُم ْسلِ ٌم يَسْأ َ ُل هَّللا َ َخ ْيرًا ِم ْن أَ ْم ِر ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ‬ َّ ِ‫ْت النَّب‬
َ ‫ي‬ Uُ ‫ال َس ِمع‬
َ َ‫ع َْن َجابِ ٍر ق‬
‫أ ْعطَاهُ إِيَّاهُ َو َذلِكَ ُك َّل لَ ْيلَ ٍة‬ َ
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 92
Sekarang ini ada masyarakat, mana Hasan Al Banna-nya?!!

Dari Jabir r.a., ia barkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada malam
hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah
suatu kebaikan dunia dan akhirat pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya) dan itu setiap
malam.” (H.R. Muslim dan Ahmad)

Qiyam al-lail merupakan sarana berkomunikasi seorang muslim dengan Rabbnya, merasa lezat
dikala munajat dengan penciptanya, ia berdo’a, beristighfar, bertasbih dan memujinya. Akhirnya yang
maha pengasih lagi maha penyayang mempermudah semua aspek kehidupan hambanya baik pribadi,
keluarga, masyarakat maupun negara. Begitu pula aspek da’wah, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya
maupun politik. Dia akan dekat dengan Rabbnya, diampuni dosanya, dihormati sesama dan menjadi
penghuni surga yang disediakan untuknya.

QIYAM AL-LAIL MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Orang yang kontinyu mengerjakan qiyam al-lail pasti dicintai dan dekat dengan Allah

“lazimkan dirimu untuk shalat malam, karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu,
mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit dan pencegah dari dosa”
(HR. Ahmad)

Dapat dipahami bahwa qiyam al-lail selain medekatkan diri kepada Allah dapat mencetak keshalihan
dan selamat zhahir dari penyakit dan batin dari lumuran dosa.

Dari sahal bin Sa’ad ra, ia berkata :


“Malaikat Jibril as datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Wahai Muhamad hiduplah sebebas-
bebasnya akhirnyapun kamu akan mati. Berbuatlah semaumu, pasti akan dapat balasan. Cintailah
orang yang engkau mau pasti kamu akan berpisah. Kemuliaan orang mu’min dapat diraih dengan
melakukan shalat malam dan harga dirinya dapat ditemukan dengan tidak minta tolong orang lain”.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 93


Seorang diri ingin mulia disisi Allah dan disisi manusia hendaknya ian membiasakan qiyam al-lail,
bahkan akan berwajah ceria, karena dia bermunajat dengan ar-rahman maka terpancarlah nur dari
wajahnya.

QIYAM AL-LAIL PENYEBAB MASUK SURGA

Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin salam dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Wahai manusia sebarkanlah salam, berikanlah makanan dan shalt malamlah pada waktu orang-
orang tidur, kalian kan masuk surga dengan selamat”.

Seorang da’i yang ingin berhasil da’wahnya harus menabur kasih sayang kepada seluruh lapisan
masyarakat hal itu dapat digapai dengan wajah yang berseri-seri, mengucapkan salam, mengulurkan
bantuan dan silatu al-rahim dan pada malam hari memohon kepada Allah diawali dengan qiyam al-lail
, namun mereka yang kontinyu melaksankan qiyam al-lail sangat sedikit jumlahnya, semoga kita
termasuk kelompok ini yang dapat masuk surga tanpa dihisab.

Rasululah SAw bersabda :


“Seluruh manusia dikumpulkan ditanah lapang pada hari qiyamat . Tiba ada panggilan
dikumandangkan dimana orang yang meninggalkan tempat tidurnya, maka berdirilah mereka
jumlahnya sangat sedikit , lalu masuk surga tanpa hisab, baru kemudaian seluruh manusia diperintah
untuk diperiksa”.

KIAT-KIAT MEMPERMUDAH QIYAM AL-LAIL

Qiyam al-lail memerlkan kesungguhan dan kebulatan tekad, jika demikian akan sangat
mudah merealisasikannya dengan izin Allah, berikut ini kiat-kiat pendorong meninggalkan
tempat tidur untuk bermunajat dengan yang maha pengasih.

Memprogram aktivitas 24 jam


Memaham kebutuhan jasmani, aqli dan ruhani dan diberikan dengan seimbang
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 94
Menghindari ma’siat. Sufyan Ats-tsauri berkata : “saya sulit sekali melakukan qiyam al-lail selama 5
bulan disebabkan satu dosa yang aku lakukan”
Megetahui fadhilah dan keistimewaannya
Mempunyai perasaan bermunajat dengan Allah yang maha kasih sayang

Inilah yang dapat disajikan kepada ikwan-akhwat tentang urgensi , keutamaan dan kiat-kiat qiyam al-
lail. Semoga memberikan motivasi kepada kita menjadi orang yang dekat dengan Allah, mulya disisi
Allah dan disisi manusia yang akhirnya menjadi penghuni surga.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 95


Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 96
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 97
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 98
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 99
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 100
ADAB BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT
Dengan atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kepastian. Bagi seorang muslim,
untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu dilakukan dengan berinteraksi dengan
masyarakat lebih-lebih dalamkaitannya dengan da’wah, karena da’wah sendiri harus dengan berbaur
dengan masyarakat (mukholathah) dengan mukholtahoh yang ijabi (positif).
Allah swt berfirman:

Dengan demikian, thobi’at da’wah itu adalah ‘aammah (umum). da’wah khoshshoh bukan merupakan
suatu badil (pengganti) bagi da’wah ‘aammah, tetapi lebih merupakan penunjang bagi da’wah
‘aammah, karena da’wah ‘aammah belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya.
Berinteraksi dengan masyarakat ini dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan
mizanud-da’wah. Sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah al mu’amalah bilmitsli.
َ ْ‫ا ِملُو‬U‫ا تُ ِحبُّ أَ ْن يُ َع‬U‫اس بِ َم‬
Sedangkan sikap ta’amul da’wah adalah ‫ ِه‬Uِ‫ك ب‬ َ َّ‫ا ِملُوْ ا الن‬Uَ‫ع‬. Bagaimana atau apa yang
seharusnya kita berikan kepada masyarakat.
Berinteraksi Dengan Para Da’i Yang Lain
Yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaffi dengan kita.
Kita memiliki tujuan umum yang sama, yaitu : membela Islam dan memajukan ummat.
Namun demikian, kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).
‫اختَلَ ْفنَا فِ ْي ِه‬ ُ ‫ َويُ ْع ِذ ُر بَ ْع‬،‫( نَتَ َعا َونُ فِ ْي َما اتَّفَ ْقنَا فِ ْي ِه‬Menjalin kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan
ْ ‫ضنَا َب ْعضًا فِ ْي َما‬
bersikap toleran dalam hal-hal yang ikhtilaf).
Menyenangi ijma’ untuk mencapai al wihdah al fikriyyah dan tidak senang nyeleneh (syadz). Syadz
berbeda dengan ghoriib (aneh, asing, tidak dikenal, atau lupa dikenal). Syadz artinya bertolak belakang
dengan yang shahih. Sedangkan ghariib adalah sesuatu yang baik yang tidak atau belum dikenal oleh
masyarakat banyak. Karena inilah Rasulullah saw bersabda:
)‫ اَلَّ ِذ ْينَ يُصْ لِحُوْ نَ َما أَ ْف َس َد النَّاسُ (الحديث‬،‫َر ْيبًا َك َما بَدَأَ فَطُوْ بَى لِ ْل ُغ َربَا ِء‬ ِ ‫بَدَأَ ْا ِإل ْسالَ ُم غ‬
ِ ‫َر ْيبًا َو َسيَعُوْ ُد غ‬
Islam datang sebagai sesuatu yang ghariib (asing dan tidak dikenal) dan ia akan kembali asing
sebagaimana saat datang pertama kalinya, maka beruntung sekali orang-orang yang ghariib itu, yaitu
orang-orang yang meng-ishlah (memperbaiki) apa yang dirusak oleh orang lain. (Hadits).
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 101
Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’ashshub (fanatisme).
ِ َ‫ الَتُ ْف ِس ُد لِ ْل ُو ِّد ق‬Persoalan apapun tidak boleh merusak mawaddah (rasa saling mencintai) antar sesama
ٌ‫ضيَّة‬
kaum muslimin. Pernah Hasan Al Banna difitnah bahwa janah ‘askari (sayap militer) akan menyerang
jama’ah jihad. Tentu saja pimpinan jama’ah jihad marah dan meminta dialog dengan Hasan Al Banna
untuk mengeluarkan segala unek-uneknya. Hasan Al Banna hanya menjawab: saamihuuni (ma’afkan
saya).
Khilaf itu silahkan dikaji secara ilmiyyah dalam suasana jernih dan ukhuwwah, dan jangan hanya
berhenti sebatas apologetik (pembelaan diri) saja.
Berinteraksi Dengan Tokoh Masyarakat
Tempatkanlah mereka sesuai dengan kedudukannya.
)‫َازلَهُ ْم (الحديث‬ َ َّ‫اِ ْن ِزلُوْ ا الن‬
ِ ‫اس َمن‬
Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya (Al Hadits)‫ز‬
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sufyan ra waktu fathu Makkah, beliau saw
bersabda: “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman …”.Dalam kejadian ini
Rasulullah saw menjadikan rumah Abu Sufyan sebagai baitul qashiidi (rumah yang dituju), dan
kedudukan Abu Sufyan tidak direbut, justru di-ta’ziz.Hormatilah mereka di tengah-tengah para
pengikutnya.
Sa’ad bin Mu’adz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil keputusan hukum atas Bani
Quraizhah, Rasulullah saw bersabda: Quumu ila sayyidikum.
Sebutkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.
Ketika pemilihan khalifah di Tsaqifah Bani Sa’idah, pidato Abu Bakar sangat bijak. Ia menyebut-
nyebut nikmat Islam, jasa-jasa Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu, kaum
Anshar ikut mendukung.
Dalam sebuah munasabah (kesempatan) Hasan Al Banna juga pernah diminta untuk mengisi acara
semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’, sehingga terjadi konflik
dengan ulama’ disekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik tersebut
kepada Hasan Al Banna sebelum acara dimulai, maka Hasan Al Banna meminta ijin untuk mendatangi
para ulama’ itu satu persatu untuk memohon ma’af kepada mereka. Setelah itu barulah beliau memulai
ceramahnya. Dalam ceramahnya beliau menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa mereka terhadap
Islam. Akhirnya para ulama’ itu mendatangi tempat di mana Hasan Al Banna berceramah.
Menjalin hubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.
Rasulullah saw menghubungi tokoh Thaif serta mendo’akan mereka.
Umar At-Tilmisani ketika Anwar Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan: “Inna Lillahi wa inna
ilaihi Raji’un”. Ucapan ini membuat tercengang semua ikhwa yang mendengar, sebab Anwar Sadatlah
yang menghukum dan menyiksa ikhwah termasuk syekh Umar.
Memperhatikan kepentingan bersama
Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik yang berbeda.
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 102
Hasan Al Banna dalam berda’wah memulai dari titik-titik yang sama, kemudian mendudukkan poin-
poin yang berbeda.
Berinteraksi Dengan Tetangga dan Kolega
Menjaga hak-hak tetangga.
Tidak mengganggu mereka.
Berbuat baik dan menghormatinya serta berbuat ihsan kepada mereka, minimal berwajah ceria di
hadapan mereka dan ramah.
Memperhatikan mereka dan memeriksa keadaan mereka. “Jika membuat sayur, perbanyaklan airnya,
dan perhatikan tetangga”.
Mendengarkan mereka.
Shabar. Ingat peristiwa Rasulullah saw dengan tetangganya yang Yahudi.
Menda’wahi mereka dan mendo’akan mereka.
Beirnteraksi Dengan Non Muslim
Mu’amalah dengan yang setimpal.
Tidak mengakui kekufuran mereka.
Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
Mengasihani mereka dengan rahmah basyariyyah.
Menunjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.

Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 103

Anda mungkin juga menyukai