Tujuan Instruktional
Iltizam adalah bentuk ikatan. Iltizam yang kita harapkan adalah yang tumbuh dengan baik yaitu
kesadaran sendiri dari dalam diri seseorang yang dilandasi pengetahuan yang utuh. Untuk itu
seseorang perlu mengetahui ruang lingkup iltizam yang baik, sehingga akan mendapatkan berkah dari
Allah Taala. Iltizam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu iltizam dengan
syariah dan dengan jamaah. Dari iltizam tersebut diharapkan terbentuk seseorang yang mempunyai
kepribadian yang utuh dan sempurna.
Pokok-Pokok Materi
Pengantar iltizam
Makna iltizam terhadap kualitas amal dalam dakwah.
Membangun iltizam dari dalam diri.
Iltizam dengan syariah: aqidah as shalihah, ibadah salimah, Al-akhlaq Al-hamidah, ad dakwah wal
jihad asy syumul wa tawazun.
Iltizam dengan jamaah: bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemimpin.
Mukadimah
Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang
bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara
utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap
tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar
seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap
dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian
mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan
tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan
pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-
raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan
dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan
bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi
keyakinannya baru sampai tataran logika.
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 1
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi
semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya
selalu diterangi cahaya Allah.
Indikasi-Indikasi Iltizam
Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau
komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir
selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab.
Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab
belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan
seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah,
melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai
kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang
bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji
kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada
seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
َّاس خِب ُلُ ٍق َح َس ٍن ِِ َّ ت َوأَتْبِ ْع ِ
َ ات َِّق اللَّه َحْيثُ َما ُكْن
َ السيِّئَةَ احْلَ َسنَةَ مَتْ ُح َها َو َخالق الن
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan
baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Urgensi Iltizam
Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau
para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan
berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang
akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan
tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran
atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam
dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan
berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan
kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-
aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang
layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut
adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau
beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah,
melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin
besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin
berbobot pula kualitas dirinya.
Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan
iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad,
syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq,
qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia
yang utuh (insan mutakamil).
Intima’ Jama’i
Kode : 3 C 1 3 5
Imam Syahid Hasan Al-Banna merupakan seorang ulama Islam yang memiliki pengaruh besar di
Abad ini. Gerakan dakwah Al-Ikhwanul Muslimin yang dipimpin beliau terbukti memberikan
kontribusi besar bagi kebangkitan Umat Islam dari tidur mereka yang panjang. Sebagai qiyadah
jamaah dakwah, Imam Hasan Al-Banna telah menjadikan gerakan dakwahnya sebagai sebuah
organisasi yang dinamis dan aktif dalam melakukan perubahan di tengah-tengah umat di seluruh
dunia. Karena fikrah ikhwaniyah yang dilontarkan Imam Syahid mudah diterima dan menjadi
pegangan bagi para mujahid di seluruh medan dakwah.
Dalam mengarahkan para ikhwah untuk lebih giat berdakwah, Imam Syahid sering memberikan
wejangan yang amat praktis dan mudah diamalkan. Di antaranya adalah yang dikenal sebagai 10
wasiat Hasan Al-Banna. Wejangan Imam Syahid yang sepuluh ini bersifat sederhana dan mudah
dihafal. Layaknya seperti kiat-kiat aktifitas rutin harian yang setiap saat harus dihayati dan
dilaksanakan oleh setiap anggota Jamaah Ikhwanul Muslimun. 10 Wasiat Imam Syahid adalah sebagai
berikut ;
1. Bangunlah segera untuk melaksanakan sholat apabila mendengar adzan walau
bagaimanapun keadaanmu.
2. Baca, telaah, dan dengarlah Al-Qur-an, berdzikirlah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan janganlah engkau senang menghambur-hamburkan waktumu dalam
masalah yang tidak ada faedahnya
3. Bersungguh-sungguhlah untuk bisa dan berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih.
4. Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang percakapan karena hal
itu tidak akan mendatangkan kebaikan.
5. Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah
(berdzikir) adalah tenang dan tenteram.
6. Jangan suka bergurau, karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan
bersungguh-sungguh terus menerus.
7. Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal itu
akan mengganggu dan menyakiti.
8. Jauhilah ghibah (menggunjing) atau menyakiti hati orang lain dalam bentuk apa
pun dan janganlah berbicara kecuali yang baik.
9. Berkenalanlah dengan saudaramu yang engkau temui walaupun dia tidak meminta,
sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan taawun (kerjasama).
10. Pekerjaan rumah (PR) kita sebenarnya lebih bertumpuk daripada waktu yang
tersedia, maka tolonglah saudaramu untuk memanfaatkan waktunya dan apabila
kalian mempunyai keperluan maka sederhanakan dan cepatlah diselesaikan.
Wasiat Pertama: Bangunlah segera untuk melaksanakan sholat apabila mendengar adzan walau
bagaimanapun keadaanmu.
Wasiat ini mengandung perintah agar setiap Al-akh mendahulukan sholat lima waktu dari
perkara lainnya. Karena sholat di awal waktu merupakan amal Islam yang paling utama sebagaimana
dikemukakan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam ketika ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah
amal yang paling utama ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya”. Wasiat ini juga
mengharuskan jamaah ikhwan untuk selalu menanti waktu-waktu sholat. Akan lebih utama bila
seorang akh itu selalu dalam keadaan berwudlu beberapa saat sebelum adzan berkumandang sehingga
dia dengan segera dapat mendatangi masjid dan sholat berjamaah. Al-Akh tidak boleh
memprioritaskan hal lain selain dari waktu sholat ini.
Wasiat Kedua: Baca, telaah, dan dengarlah Al-Qur-an berdzikirlah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan janganlah engkau senang menghambur-hamburkan waktumu dalam masalah yang tidak ada
faedahnya.
Setiap akh diwajibkan untuk selalu berinteraksi dengan Kitabullah Al-Qur-an. Mereka wajib
membacanya di mana ada kesempatan. Di setiap pertemuan yang diselenggarakan ikhwah hendaknya
dimulai dengan membaca Al-Qur-an. Selain itu ikhwah juga diminta untuk menelaah atau
mentadabburkan isi Kitabullah sesering mungkin. Ini bisa dilakukan dengan membaca Kitab-kitab
tafsir atau buku-buku Manhaj Islam yang menguraikan nilai-nilai Al-Qur-an. Bukankah Nabi
mengatakan bahwa sebaik-baik ummat beliau adalah yang memperlajari dan mengajarkan Al-Qur-an.
Imam Syahid juga mengingatkan agar waktu dimanfaatkan untuk berdzikir dalam segala keadaan.
Surat-surat tertentu dan ayat-ayat pilihan biasa dapat dibaca dalam berbagai keadaan. Disamping itu
ada bacaan-bacaan dzikir seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan hauqallah yang sangat penting
dilakukan dalam setiap keadaan ikhwah… Misalnya ketika berkendaraan, menunggu sesuatu, atau
tengah diam… Ikhwah hendaknya tidak menyia-nyiakan waktu bagi hal-hal yang tidak bermanfaat
karena di antara ciri orang-orang mukmin adalah “Alladzina hum anillaghwi mu’ridhuun” (Orang-
orang yang menghindarkan diri dari perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya.
Wasiat Ketiga: Bersungguh-sungguhlah untuk bisa dan berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih
Setiap akh diwajibkan belajar Bahasa Arab fushah (baku) dan mempraktekannya dalam
kehidupan sehari-hari. Beliau mewajibkan hal ini karena Bahasa Arab merupakan salah satu syiar
dakwah Islam. Bahasa Arab itu bahasa Al-Qur-an dan bahasa Ahlul Jannah (Ahli Syurga). Di antara
sumber kekuatan ummat Islam adalah persatuan mereka yang bersifat mendunia. Kunci persatuan
adalah kemampuan berkomunikasi cepat, dengan bahasa yang merupakan warisan Rasulullah
Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya. Sementara itu orang-orang di luar Islam berusaha
sekuat tenaga menjauhkan Ummat Islam dari bahasa induk mereka. Mereka mempopulerkan bahasa
Inggris dan menyatakan bahwa bahasa Arab itu terbelakang. Mereka bahkan ingin ummat Islam tak
lagi mampu membaca Al-Quranul Karim atau memahami kandungan maknanya ketika membaca Al-
Qur-an tersebut.
Wasiat Keempat: Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang percakapan karena hal
itu tidak akan mendatangkan kebaikan.
Wasiat Kelima: Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah
(berdzikir) adalah tenang dan tenteram.
Imam Syahid melarang para ikhwah banyak tertawa untuk memelihara dan menjaga kesucian
hati mereka agar selalu berdzikir kepada Allah... Banyak tertawa bisa timbul karena ada yang
membanyol, atau menceritakan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa terbahak-bahak. Biasanya
tidak jauh dari mengejek dan menghina orang lain baik secara langsung atau tidak. Karena itulah Al-
Imam mengingatkan bahaya orang-orang yang banyak tertawa dan sedikit menangis.
Wasiat Keenam: Jangan suka bergurau, karena ummat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan
bersungguh-sungguh terus menerus.
Imam Syahid Hasan Al-Banna juga melarang para ikhwah banyak bercanda atau membanyol
yang membuat orang lain tertawa baik dengan ucapan, cerita, atau tingkah laku yang lucu. Beliau
menyatakan bahwa sikap pejuang Islam adalah bersungguh-sungguh atau serius sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur-an S. Al-Ankabuut ayat 69
Wasiat Ketujuh: Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal itu
akan mengganggu dan menyakiti.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengingatkan para ikhwah agar memperhatikan adab berbicara
di antaranya dengan merendahkan suara dari segi volume dan merendahkan hati dari segi isi
pembicaraan. Islam memerintahkan ummatnya untuk memiliki kelembutan hati dan hal itu dimulai
dari kelembutan dalam berbicara atau berdialog.
Wasiat Kedelapan: Jauhilah ghibah (menggunjing) atau menyakiti hati orang lain dalam bentuk apa
pun dan janganlah berbicara kecuali yang baik.
Dalam wasiat ini Imam Syahid mengingatkan agar para ikhwah tidak menggunjingkan orang
lain. Bergunjing adalah membicarakan sesuatu tentang orang lain yang tidak disukai orang tersebut
bila dia mendengar pernyataan itu. Bergunjing adalah larangan keras dalam berbicara. Oleh Al-Qur-an
orang yang suka menggunjing disamakan dengan orang yang memakan daging saudaranya sendiri. ( S.
Al-Hujaraat 12.)
Wasiat Kesembilan; Berkenalanlah dengan saudaramu yang engkau temui walaupun dia tidak
meminta, sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan taawun (kerjasama).
Wasiat Kesepuluh : Pekerjaan rumah (PR) kita sebenarnya lebih bertumpuk daripada waktu yang
tersedia, maka tolonglah saudaramu untuk memanfaatkan waktunya dan apabila kalian mempunyai
keperluan maka sederhanakan dan cepatlah diselesaikan.
Imam Syahid mengingatkan bahwa tugas para ikhwah yaitu agenda dakwah sangat banyak.
Bahkan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Umur dakwah ini lebih panjang dari umur para juru
dakwah itu sendiri. Mereka tidak boleh menunda-nunda pekerjaan yang sudah ada di depan mata,
disebabkan pekerjaan lain akan segera menyusul… Karenanya ikhwah harus bekerja sama untuk
saling memudahkan pekerjaan mereka, sebagaimana sering dikemukakan Rasulullah saw.,
“Permudahlah dan jangan dipersulit”. Dalam gerakan dakwah kita harus saling melayani dan
membantu mempermudah urusan saudara kita sehingga pekerjaan dakwah akan menjadi ringan dan
menyenangkan.
Wallahu a’lam
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, maka peserta mampu:
Mengetahui sejarah dakwah dan harakah jama’ah ikhwanul muslimin di masa periode mursyid ‘Aam
yang kedua Hasan Hudaibi th 1950-1973, dan bisa mengambil hikmah dan pelajaran darinya, terutama
tentang tsabat dan istiqamah di jalan dakwah.
Memahami dan menyadari bahwa tabiat dakwah/sunnatullah dalam dakwah, para da’i dalam
melaksanakan tugas dakwah akan berhadapan dengan berbagai cobaan dan ancaman.
Meyakini bahwa dakwah lebih kuat dan lebih kekal dari segala kekuatan batil
POKOK-POKOK MATERI
1. Dakwah pasca wafatnya Imam Syahid Hasan Al Banna
2. Riwayat hidup mursyid ke-2 Hasan Hudaibi
3. Dakwah di era baru
4. Revolusi 23 juli 1952 di Mesir
5. Jamal Abdun Nasir dan Ikhwanul Muslimin
6. Ketegangan antara para pemimpin revolusi dengan Ikhwan
7. Sikap Ikhwan tentang perjanjian ditarik mundurnya tentara Inggris dari Mesir.
8. Abdun Nasir mengangkat kembali masalah penembakan Hasan Al Banna
9. Skenario drama penembakan Jamal Abdun Nasr di lapangan Al Mansyiah, Iskandariyah
10. Pembubaran Jama’ah Ikhwanul Muslimin
11. Ujian berat dihadapi Ikhwan tahun 1965
12. Wafatnya mursyid ‘Aam kedua.
'MARAJI
Kubral harakatul Islamiyah-Dr. Muhammad Said Wakil; Ahdats Shanaat Tarikh-Mahmud Abdul
Halim; Kafilah Al Ikhwan Al Muslimin-Abbas As Sisi
Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta diharapkan mampu:
Pokok-pokok Materi
Manusia sebagi makhluk sosial.
Adab taamul dengan dakwah, pemimpin, tokoh masyarakat, tetangga, murabbi, muayyid, saudaranya
dan dengan non-muslim.
Aktivitas sosial, silaturahmi, memuliakan tamu, menghormati tetangga, saling menziarahi, memberi
ucapan selamat, saling memberi hadiah, peduli dengan aktivitas sosial di sekitarnya, memberi bantuan
sosial.
B. Ma’an Naqib
Naqib atau qiyadah dalam dakwah memiliki hak seorang bapak dalam ikatan hati, hak seorang ustadz
dalam hal menambah dan mentransfer ilmu, hak seorang syekh dalam memberikan tarbiyah ruhiyah
dan akhirnya hak seorang komandan dalam menentukan atau memberikan kebijakan-kebijakan umum
di lapangan dakwah.
Dalam proses interaksi dengan naqibnya, seorang adha atau al akh dituntut supaya bisa berhubungan
dengan baik sebagai perwujudan keqiyadahan yang terdekat dengannya. Di antaranya ialah
memperhatikan hak-hak naqib seperti tersebut di atas. Selain itu juga berusaha memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
1. Tha’at. Seorang a’dha hendaknya senantiasa taat melaksanakan perintah-perintah dan arahan-
arahannya dalam kondisi senang atau susah serta sulit dan mudah.
2. Tsiqah. Seorang akh dikatakan tsiqah kepada naqibnya jika ia memiliki ketenangan dan
ketenteraman jiwa terhadap apa-apa yang datang dari sang naqib Ia tidak pernah ragu- ragu terhadap
arahan yang datang darinya.
3. Iltizam. Seorang adho harus berupaya menjaga, melanggengkan iltizam atau komitmennya kepada
naqib dan jamaah dengan jalan keterbukaan menginformasikan kondisi diri secara obyektif, sehingga
terjaga pula hubungan ruhiyah dan amaliyah dalam ruang lingkup berjamaah.
4. Memiliki sikap ihtiram (menghormati) naqib. Bukanlah suatu ciri feodalisme jika kita menghormati
atasan kita yang layak dihormati. Apalagi ia berfungsi sekaligus sebagai orang tua, guru, syekh dan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 22
qaid. Bukankah Islam mengajarkan kita menghormati orang yang lebih tua dari kita dan banyak
memberikan kebaikan untuk kita seperti orang tua, guru, syekh dan komandan.
5. Memberi nasihat, masukan, saran dan kritik secara halus dan sembunyi-sembunyi alias tidak di
depan orang lain. Memang tak bisa dipungkiri, naqib adalah juga manusia biasa yang punya
kekurangan dan kelemahan, namun bila kita ingin mengkritisi atau memberi masukan hendaknya
dengan memperhatikan adab agar martabat atau izzahnya sebagai naqib tidak terlecehkan di hadapan
orang lain.
C. Ma’al ikhwah
Terhadap sesama ikhwah atau a’dha jamaah kita pun dituntut untuk memiliki adab yang benar dalam
berinteraksi. Beberapa hal di bawah ini penting diwujudkan dalam interaksi dengan sesama ikhwah
agar suasana ukhuwah benar-benar tercipta di dalam jamaah kita.
1. Selalu husnuz zhan (bersangka baik) dan bahkan berusaha mencarikan alasan untuk membelanya
jika ada orang lain yang menghujat ikhwah kita.
2. Memperlihatkan mahabbah atau rasa cinta pada mereka dan berusaha menahan emosi atau
memaklumi kebodohan-kebodohan mereka.
3. Mendoakan mereka ketika kita berpisah atau sedang tidak bersama mereka. Dalam hadis disebutkan
doa seorang muslim untuk saudaranya ketika berpisah atau sedang tidak bersamanya mustajab. Di sisi
kepalanya ada malaikat yang setiap kali ia berdoa untuk saudaranya meminta kebaikan berkata
malaikat: Amin dan bagimu hal yang seperti itu pula..
4. Tanashur, tolong-menolong sesama ikhwah sebagai realisasi ukhuwah. “Tolonglah saudaramu yang
berbuat zhalim atau dizhalimi,” yakni engkau menghalanginya dari berbuat kezhaliman atau
membebaskannya dari keteraniayaan.
5. Mengakui dan menghargai bantuan mereka di waktu lapang dan sempit, serta merasakan dan
menyadari bahwa kekuatannya, tidak dapat bergerak dengan sendirinya tanpa andil dan bantuan
ikhwah lainnya seperti problem yang dialami dalam masalah maisyah, penyimpangan atau terkena
fitnah.
6. Tidak menyukai atau tidak rela jika saudaranya berada dalam bahaya dan bersegera berbuat untuk
mencegah atau menolak dan menyelamatkan saudaranya tersebut dari bahaya.
7. Memberikan tadhiyah (pengorbanan) terhadap sesama ikhwah. Hasan Basri, ”Tidak ada yang kekal
dalam kehidupan ini, kecuali tiga hal; Pertama saudaramu yang kau dapati berkelakuan baik. Kedua
apabila engkau menyimpang dari jalan kebenaran ia meluruskanmu dan mencegahmu dari keburukan.
Tidak ada seorang pun selainnya yang mengontrolmu. Ketiga shalat berjamaah menghindarkanmu dari
melupakannya dan meraih ganjarannya.”
E. Ma’al Murabbi
Seorang akh atau a’dha bisa masuk ke dalam jamaah adalah karena jasa murabbinya. Hal itu tidak
akan pernah terhilangkan dari catatan malaikat Raqib, sehingga seyogianyalah tidak terhapus dari
benak a’dha tersebut.
1. Menghormati mereka karena bagaimanapun Allah telah menjadikan mereka sebagai sebab
tergabungnya kita menjadi a’dha jamaah ini. Dengan kata lain merekalah yang telah menghantarkan
kita masuk ke dalam jamaah ini, walaupun kini kita telah menyamai atau bahkan mungkin melebihi
atau melampaui mereka dalam hal wazhifah tanzhimiyah misalnya.
2. Sesungguhnya mereka tetap gurumu dan bukan mantan guru atau sekadar orang yang pernah
menjadi gurumu.
3. Terus mengingat-ingat kebaikan mereka dan melupakan kelemahan-kelemahan mereka jika
memang ada.
Jika kesemua interaksi dengan keseluruhan elemen jamaah itu terjalin dengan baik, insya Allah akan
terpeliharalah kekokohan iltizam kita dengan jamaah itu sendiri.
Wallahu a’lam
ASY-SYAJA’AH
Kode: 3.A5.11 | Sarana: Mabit, Usrah
Tujuan Instruksional
Banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi, tidak berani berterus terang terhadap diri sendiri,
tidak mau mengakui kesalahan, tidak obyektif terhadap diri sendiri dan tidak mampu menahan
nafsunya saat marah, ini semua adalah sifat tercela yang tidak layak ada pada seorang mukmin,
apalagi da’i. Oleh karena itu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh agar sifat ini menjadi akhlak
yang menghiasi kehidupan mukmin tadi.
Pokok-pokok Materi
Rincian Materi
MUKADIMAH
Asy-syaja’ah (keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah,
selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan
yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang
nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa
turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang
memerintahkan untuk beristiqamah,
ْ ك َواَل ت
ِ ََط َغوْ ا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب
صي ٌر َ فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت
َ َاب َم َع
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan."
Rasulullah saw. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan
bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab,
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”.
Di kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di
dalam surat Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud
hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah Taala.
Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan
mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali
panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Firaun.
Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk
mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.
Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai lawan sifat asy-syaja’ah.
Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan Allah di dalam diri manusia sebagai mekanisme
pertahanan diri seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada di
bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Taala. Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat
gamblang pada kisah Nabi Musa a.s, Ibrahim a.s dan Muhammad saw.
Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan
keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan
benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 25
pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu
menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa
takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah
saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api agar menjadi dingin
dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya juga terlihat
pada saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua
Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Kaki-kaki musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu Bakar begitu
mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau menenangkannya dengan berkata, “Jangan
takut, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Taala memberikan
pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang secara kilat membuat
sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat musyrikin Quraisy yang mengejar yakin gua itu
tak mungkin dilalui oleh manusia.
Macam-macam Syaja’ah
ِ ِِ ِِ ِ ِ َّ ِ
يما ْ اه َد َعلَْيهُ اللَّهَ فَ َسُي ْؤتيه أ
ً َجًرا َعظ
مِب
َ ث َعلَى نَ ْفسه َو َم ْن أ َْوىَف َا َع َ ك إِمَّنَا يُبَايِ ُعو َن اللَّهَ يَ ُد اللَّ ِه َف ْو َق أَيْدي ِه ْم فَ َم ْن نَ َك
ُ ث فَِإمَّنَا َيْن ُك َ َين يُبَايِ ُعون
َ إ َّن الذ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:
Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada
pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)
Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk
manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh
seorang mukmin dengan Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus
digarisbawahi:
Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual
orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu
yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan
ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia
bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia
menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai
transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang
Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila
membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang
dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan
main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan
kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-
Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita
jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti
sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,
ِ ت واَل َخطَر َعلَى َقْل ِ ِال اللَّه أ َْع َد ْدت لِعِب ِادي َّ حِل
ب بَ َشر َ َ ْ َت َواَل أُذُ ٌن مَس َع
ْ ني َما اَل َعنْيٌ َرأ
َ الصا َ ُ ُ َ َق
“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata,
tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua
pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat,
yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok
Memuliakan Keluarga,
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 31
Tetangga Dan Teman
Kode : 3 A 0525
Pendahuluan
Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada
Rasulullah saw.
ِ ِ
َ اك إِاَّل َرمْح َةً لْل َعالَم
ني َ ََو َما أ َْر َسْلن
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S.
Al-Anbiya: 107)
Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan memberikan
perhatian yang sangat tinggi terhadap segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan
membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin. Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan
lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah).
Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk
memuliakan keluarga, tetangga dan teman sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan
sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Memuliakan Keluarga
1. Hubungan suami-istri
Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-
Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala
dalam Ar-Rum: 21
ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّك ُرو َن
ٍ ك آَل يِ ِ وِمن ءاياتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَْن ُف ِس ُكم أ َْزو
َ َ اجا لتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرمْح َةً إِ َّن يِف َذل
ً َ ْ ْ ْ َ َ ََ ْ َ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”
Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya
diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam rumah tangganya, dan ini memerlukan suatu upaya-
upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami
isteri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis:
ه َُّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن
“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-
Baqarah: 187)
وه َّن َف َع َسى أَ ْن تَكَْر ُهوا َشْيئًا َوجَيْ َع َل اللَّهُ فِ ِيه َخْيًرا َكثِ ًريا ِ
ُ وه َّن بِال َْم ْعُروف فَِإ ْن َك ِر ْهتُ ُم
ِ
ُ َو َعاش ُر
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. “ (QS An-Nisaa:19)
ِ الصاحِل ات قَانِتات حافِظَات لِْلغَي ِ مِب
ُب َا َحف َظ اللَّه ْ ٌ َ ٌ َ ُ َ َّ َف
“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka...” (Q.S. An-Nisaa: 34)
“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal
seseorang? Wanita yang baik (shalihah): jika dilihat (suami) dan jika (suami) meninggalkannya ia
menjaga dirinya dan harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 32
“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan
salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (H.R. Muslim)
“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan
amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu
adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”
“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu
Abbas RA)
2. Memuliakan anak
Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam
hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga
keselamatan keluarganya dari api neraka (Q.S. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua
untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak
berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni:
- Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang
siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari
orang itu dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian )H.R.
Ad Darami).
- Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia.
Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra.
(H.R. al Hakim)
- Tahnik, yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut
di saat-saat pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu)
- Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun).
َاعة
َض َّ ات يُْر ِض ْع َن أ َْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن أ ََر َاد أَ ْن يُتِ َّم
َ الر
ِ
ُ َوال َْوال َد
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan…” (Q.S. Al-Baqarah:233)
- Memberi nama yang baik. Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara
nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk
berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan
orang tua mengandung do’a dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri
apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna.
- Aqiqah: menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw.
bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi
perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)
- Cukur rambut: Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut
tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir
miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (H.R. Al-Hakim)
- Khitan: Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia
sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.
Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al
Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah
Lukman ketika sedang mendidik anaknya:
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ اِل َ ََوإِ ْذ ق
ٌ ال لُْق َما ُن بْنه َو ُه َو يَعظُهُ يَابُيَنَّ اَل تُ ْش ِر ْك باللَّه إ َّن الش ِّْر َك لَظُْل ٌم َعظ
يم
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)
Memuliakan Tetangga
Berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perhatian serius dalam ajaran Islam. Perhatikan firman
Allah Taala:
َت أَ ْي َمانُ ُك ْم ِ ب بِ ْال َج ْن
ْ ب َوا ْب ِن ال َّسبِي ِل َو َما َملَك ِ َّاح ِ ُار ْال ُجن
ِ ب َوالص ِ ار ِذي ْالقُرْ بَى َو ْال َج
ِ ين َو ْال َج
ِ َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن إِحْ َسانًا َوبِ ِذي ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َسا ِك
“…Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,.”
(Q.S. An-Nisa:36)
Nabi pun mengingatkan kita agar selalu berbuat baik kepada tetangga:
Ibnu Umar dan Aisyah ra berkata keduanya, “ Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan
terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam
kelompok ahli waris seorang muslim”. (H.R. Bukhari Muslim)
Abu Dzarr ra berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Hai Abu Dzarr jika engkau memasak sayur, maka
perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan ( bagilah tetanggamu (H.R. Muslim)
Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman,
demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulullah? Jawab Nabi, “Ialah orang yang tidak aman
tetangganya dari gangguannya” (H.R. Bukhari, Muslim)
Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
hendaklah memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari, Muslim).
“Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar bukanlah umatku.” (H.R.
….)
Hak-hak ketetanggaan tidak ditujukan bagi tetangga kalangan muslim saja. Tentu saja tetangga yang
muslim mempunyai hak tambahan lain lagi yaitu juga sebagai saudara (ukhuwah Islamiyah). Tetapi
dalam hubungan dengan hak-hak ketetanggaan semuanya sejajar:
Berbuat baik dan memuliakan tetangga adalah pilar terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Apabila seluruh kaum muslimin menerapkan perintah Allah Taala dan Nabi SAW ini, sudah barang
tentu tidak akan pernah terjadi kerusuhan, tawuran ataupun konflik di kampung-kampung dan di desa-
desa.
Beberapa kiat praktis memuliakan tetangga adalah:
Sering-seringlah bertegur sapa, tanyailah keadaan kesehatan mereka.
Berikanlah kepada mereka sebagian makanan
Bawakan sekadar buah tangan buat mereka, apabila kita bepergian jauh.
Bantulah mereka apabila sedang mengalami musibah ataupun menyelenggarakan hajatan.
Berikanlah anak-anak mereka sesuatu yang menyenangkan, berupa makanan ataupun mainan.
Sesekali undanglah mereka makan bersama di rumah.
Berikanlah hadiah kaset, buku bacaan yang mendorong mereka untuk lebih memahami Islam.
Ajaklah mereka sesekali ke dalam suatu acara pengajian atau majelis ta’lim, atau pergilah bersama
memenuhi suatu undangan walimah (apabila mereka juga diundang)
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda; Hak
seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”.
3. Mendoakan Ketika Bersin
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kamu bersin, hendaklah ia mengucapkan, Al-Hamdu li’l-lah (segala puji bagi
Allah), dan saudaranya atau temannya hendaknya mengucapkan untuknya, YarhamukalLah (semoga
Allah mengasihimu)’ Apabila teman atau saudaranya tersebut mengatakan, YarhamukalLah (semoga
Allah mengasihimu), kepadanya, maka hendaklah ia mengucapkan, YahdikumulLah wa yushlihu
balakum
4. Menziarahi karena Allah
Ibnu Majah dan At-Tarmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa menjenguk orang sakit atau berziarah kepada seorang saudara di jalan Allah, maka ia
akan diseru oleh seorang penyeru “Hendaklah engkau berbuat baik, dan baiklah perjalananmu,
(karenanya) engkau akan menempati suatu tempat di surga”.
5. Menolong ketika kesempitan
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda; “Seorang muslim
itu adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat zalim kepadanya dan tidak boleh
menyia-nyiakannya (membiarkan, tidak menolongnya). Barang siapa menolong kebutuhan
saudaranya maka Allah akan menolong kebutuhannya, barang siapa menyingkirkan suatu kesusahan
dari seorang muslim, niscaya Allah akan menyingkirkan darinya suatu kesusahan di antara
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah
akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat”
6. Memenuhi undangannya apabila ia mengundang
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah ra , bahwa Rasulullah saw. bersabda; Hak
seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”
7. Memberikan ucapan selamat
Ad-Dailami meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, “Barang siapa bertemu saudaranya ketika bubar dari
sholat Jum’ah, maka hendaklah ia mengucapkan “Semoga (Allah) menerima (amal dan do’a) kami
dan kamu.
8. Saling memberi hadiah
At-Thabrani meriwayatkan dalam Al Ausath dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Saling memberi
hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”
Ad-Dailami meriwayatkan dari Anas secara marfu’, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah
karena hal itu dapat mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian”
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 36
Imam Malik di dalam Al Muwaththa’ meriwayatkan, “Saling bermaaf-maafkanlah, niscaya
kedengkian akan hilang. Dan saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai
dan hilanglah permusuhan.”
Wallahu a’lam
Keutamaan Berzikir
Kode: 3. A5. 6 | Sarana: Mabit, Usrah
Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan taujih ini seorang peserta dapat:
1. Mengetahui keutamaan berzikir
2. Menyebutkan tiga keutamaan berzikir
3. Menyebutkan tiga dalil dari Al-Qur’an ataupun Hadits tentang anjuran berzikir
4. Termotivasi untuk senantiasa berzikir minimal pada setiap selesai shalat
5. Melakukan zikir harian minimal pada setiap selesai shalat
’Maraji
Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi; Majmu’atur Rasail, Hasan Al-Banna..
Mukadimah
ِ *اب * الَّ ِذين ي * ْذ ُكرو َن اللَّه قِيام**ا و ُقع**ودا وعلَى جنُ**وهِبِم ويت َف َّكرو َن يِف خْل* ِ*ق ال َّس *مو ِ ض واختِاَل
ٍ * ف اللَّي* ِ*ل والنَّه**ا ِر آَل ي
ِ * *ات أِل ُويِل اأْل َلْب ِ
ات ََ َ ُ ََ َ ْ ُ َ َ ً ُ َ ً َ َ ُ ََ َ َ َ َ ْ ْ َ ِ إِ َّن يِف َخْل* ِ*ق ال َّس * َم َوات َواأْل َْر
ِ َاطاًل سبحان
اب النَّا ِر
َ ك فَقنَا َع َذ َ َ ْ ُ ِ َت َه َذا ب َ ض َربَّنَا َما َخلَ ْق ِ َواأْل َْر
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda kebesaran bagi kaum yang berfikir, yakni mereka yang selalu mengingat Allah dalam
keadaan berdiri, duduk, atau berbaring seraya berfikir tentang penciptaan langit dan bumi (kemudian
berkata): Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari adzab api neraka”.(QS. Ali-Imran:190-191)
Suatu saat ketika Rasulullah SAW tengah shalat tahajjud, turunlah ayat ini dan beliaupun menangis.
Bilal yang berada di dekat Rasulullah SAW melihat beliau menangis bertanya: “Mengapa engkau
menangis, ya Rasulullah?” “Celakalah orang yang membaca ayat-ayat ini(QS. 3:190-191) namun
tidak juga mengambil pelajaran darinya”.
Digambarkan dalam 2 ayat di atas keterpaduan antara ayat qauliyah dan kewajiban mentadabburinya
serta ayat-ayat kauniyah dan kewajiban mentafakkurinya. Kemudian juga antara kegiatan berzikir dan
berfikir.
Rasulullah SAW sebagai pribadi mulia yang menjadi panutan digambarkan sebagai orang yang
diamnya fikir (senantiasa berfikir) dan bicaranya adalah zikir (senantiasa berzikir). Beliau tidak pernah
berdiam diri, melamun yang tidak berguna, melainkan diamnya selalu dengan konteks berfikir. Begitu
pula bila beliau berkata-kata, seluruh kata-katanya mengandung zikir atau paling tidak mengandung
muatan zikir.
Dalam QS. Ali-Imran:102, Allah Taala berfirman,
ين ءَ َامنُوا َّات ُقوا اللَّهَ َح َّق ُت َقاتِِه َواَل مَتُوتُ َّن إِاَّل َوأَْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمو َن ِ َّ
َ يَاأَيُّ َها الذ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu dengan sebenar-benar taqwa (haqqa tuqatih)
dan janganlah engkau mati melainkan dalam keadaan Islam”.
Makna taqwa yang “haqqa tuqatihi” dijabarkan dalam hadits sebagai berikut: “Allah senantiasa kau
ingat (dzikrullah) dan tidak kamu lupakan. Allah selalu kau syukuri (bersyukur kepada-Nya) dan tidak
mengkufuri nikmatnya. Dan Allah senantiasa kau taati dan tidak kau kufuri”.
Salah satu ciri ketaqwaan yang hakiki ternyata adalah berzikir pada-Nya di mana saja dan kapan saja.
Artinya di dalam kondisi yang bagaimanapun kita tetap mengingatnya, berzikir dengan hati, akal dan
lisan kita.
Zikirullah juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keimanan. Dan orang-orang yang lalai
dari mengingat Allah akan mudah terperosok atau terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan.
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna ditaqdirkan Allah lahir ke dunia sebagai seorang mujtahid dan
pejuang/mujahid. Ia seorang imam dalam segala hal, demikian ungkap Syaikh Ramadhan Al-Buthi. Ia
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 38
juga pemimpin yang menyejarah, fenomenal, demikian ungkap Abul Hasan Ali An-Nadwi sedangkan
komentar Al-Bahi al-Khuli, ia adalah sebuah gagasan yang menyimpan kekuatan. Dan Robert
Jackson, pengamat asing menilai bahwa dalam diri Imam Hasan Al-Banna terkumpul kecerdikan
politisi, kekuatan para panglima, hujjah para ulama, keimanan kaum sufi, ketajaman analisa para ahli
matematika, analogi para filosofi, kepiawaian para orator dan keindahan susunan kata para sastrawan.
Salah satu bentuk kegenialan dan kecemerlangan Hasan Al-Banna adalah konsepnya tentang sosok-
sosok rijalud dakwah (pelopor-pelopor dakwah). Bahwa dalam sosok rijalud dakwah itu terkandung
konsep ulul albab yang memadukan antara unsur qalb dan ‘aql, antara unsur zikir dan fikir antara
unsur keikhlasan, kebersihan hati, ketajaman analisis dan kesempurnaan pemahaman.
Oleh karena itu dalam buku Majmu’ah Rasail Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna yang
diterjemahkan oleh penerbit Intermedia, Solo sebagai Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin selain
dibahas secara tajam dan jernih berbagai aspek yang krusial dan aktual, maka diulas pula masalah zikir
secara lengkap dan rinci beserta contoh-contohnya.
Hasan Al-Banna memuji Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik ahli zikir dan pemimpin orang-orang
yang berzikir. Rasulullah adalah hamba yang paling mengenal Rabbnya, memiliki lafal-lafal yang
indah, kedalaman makna zikir, do’a, syukur, tasbih dan tahmid di setiap waktu dan kesempatan baik
zikir yang kecil, maupun zikir yang besar.
Karena Rasulullah SAW selalu berzikir di setiap kesempatan, maka jika ada pertanyaan kapankah kita
berzikir, jawabannya adalah di setiap waktu dan tempat. Dan Hasan Al-Banna menuntut agar setiap
a’dlo Ikhwanul Muslimin ber-ittiba’ dan berqudwah kepada sunnah Nabi dengan cara menghafal lafal-
lafal zikirnya dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.
Adab Berzikir
Menurut Imam Hasan Al-Banna di dalam buku “Majmu’atu Rasail” yang diterjemahkan menjadi
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin bab Ma’tsurat hal 272, yang dimaksud zikir bukanlah sebatas
zikir ucapan saja melainkan segala sesuatu yang ada unsur taqarrub dan muraqabatullah. Oleh karena
itu taubat juga dapat disebut zikir, begitu pula tafakkur, menuntut ilmu dan mencari ma’isyah yang
halal. Sehingga seorang Muslim dapat berzikir di setiap waktu dan tempat sepanjang ia selalu dalam
rangka mendekatkan diri pada Allah dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
Namun jika kita berzikir tanpa memperhatikan adab-adabnya, maka ia sekedar gumaman kata-kata
yang terucap tanpa menimbulkan makna atsar, bekas dan pengaruhnya dalam jiwa.
Memang banyak ulama yang menyebut adab-adab dan tata cara berzikir, namun Hasan Al-Banna
menyebutkan 5 adab yang terpenting dan paling utama untuk dijaga dan diperhatikan yakni:
Khusyu’ atau menghadirkan hati dan pikiran dalam memahami makna lafal yang terucap. Kemudian
berusaha terwarnai oleh zikir tersebut dan berusaha menjalani maksud dan tujuannya dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Merendahkan suara sebisa mungkin, dengan konsentrasi yang penuh dan iradah (kemauan) yang besar
sehingga tidak terganggu atau mengganggu yang lain. Terkait dengan ini, Allah Taala berfirman,
ِِ ِ ِ ِ
َ ص ِال َواَل تَ ُك ْن م َن الْغَافل
ني ِ
َ ضُّر ًعا َوخي َفةً َو ُدو َن اجْلَ ْه ِر م َن الْ َق ْول بِالْغُ ُد ِّو َواآْل َ ك يِف َن ْف ِس
َ َك ت َ ََّواذْ ُكْر َرب
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan
tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
lalai”.(QS. Al-A’raaf:205)
Sesuai atau seirama dengan jama’ah (baik dalam nada dan volume suara) agar tercipta harmoni dan
kebersamaan, jika kita kebetulan berzikir bersama jama’ah. Usahakan agar tidak mendahului, lebih
lambat atau lebih keras dari bacaan yang lain. Bahkan seandainya datang terlambat sementara yang
lain sudah memulai berzikir, hendaknya kita langsung mengikuti bacaan mereka. Baru kemudian di
akhir zikir, kita mengqadha’ bacaan zikir yang belum sempat kita baca. Tidak diperkenankan kita
Zikir Berjamaah
Ada banyak hadits yang mengisyaratkan disunnahkannya berzikir berjama’ah. Misalnya hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk bersama
(untuk) berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengitari mereka, rahmat memayunginya,
ketenangan turun kepadanya, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada di
sisi-Nya”.
Di banyak hadits juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW, keluar untuk shalat berjamaah sementara
mereka sedang menunggu sambil berzikir di mesjid. Lalu beliau memberikan kabar gembira dan tidak
melarang mereka (melakukan hal itu).
Pada dasarnya berjamaah dalam segala kebaikan dan ketaatan dianjurkan bila membuahkan banyak
manfaat, seperti bersatunya hati, menguatkan ikatan, menggunakan waktu untuk sesuatu yang
bermanfaat, dan mengajarkan kepada orang awam yang belum baik bacaannya serta
mengumandangkan syiar Allah Taala.
Namun berzikir berjamaah dapat terlarang jika di dalamnya terdapat hal-hal yang terlarang secara
syar’i, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, diselingi senda gurau dan tawa,
menyelewengkan lafal, mengeraskan dan saling mengungguli atau mendahului dalam berzikir dan hal
yang serupa itu. Bila terjadi hal-hal seperti itu maka zikir secara jama’i dilarang karena adanya
kerusakan-kerusakan atau keburukan-keburukan. Jadi yang dilarang bukan berjama’ahnya. Apalagi
jika zikir jama’ai itu dilakukan dengan lafal-lafal yang ma’tsur dan shahih, sebagaimana dalam
wazhifah kubra dan sugra (zikir Al Ma’tsurat yang kita kenal, baca dan hafalkan)
Alangkah baiknya apabila para aktivis ikhwan sering berkumpul untuk membacanya bersama-sama di
waktu pagi dan sore di tempat-tempat berkumpul mereka atau di masjid dengan tetap menjauhi hal-hal
yang dilarang oleh syari’at. Dan barangsiapa yang tidak bisa atau tidak sempat berzikir berjama’ah,
hendaknya membacanya sendiri serta jangan sampai meninggalkannya sama sekali.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia
berkata: “Muawiyah keluar (menuju) sebuah halaqah di masjid. Ia bertanya, “Apa yang membuat
kalian duduk-duduk (di sini)?”. Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berzikir kepada Allah”.
Muawiyah menyanggahnya, “Demi Allah, kalian tidak duduk di sini untuk hal itu”. Mereka menjawab
lagi, “Demi Allah, kami tidak duduk di sini melainkan untuk itu (berzikir)”. Muawiyah berkata lagi,
“Saya tidak meminta kalian bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Karena tidak
seorangpun di antara kalian yang setara denganku, di mata Rasulullah SAW dan yang lebih sedikit
dariku dalam menukil hadits dari beliau (artinya Muawiyah merendah bahwa sahabat-sahabat tersebut
jauh lebih mulia dan lebih banyak menukil hadits Nabi dibanding dirinya). Dan sesungguhnya
Rasulullah SAW keluar menuju ke sebuah halaqah para sahabat seraya bertanya, “Apa yang
menjadikan kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Allah,
memanjatkan puji dan syukur kepada-Nya, karena Dia telah memberikan hidayah kepada Islam dan
menganugerahkannya kepada kami”. Rasulullah saw. bersabda, “Saya tidak meminta kalian untuk
bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Namun Jibril telah datang kepadaku seraya
memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan malaikat”.(HR. Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).
Khatimah
Di dalam khatimah pembahasan tentang zikir di Majmu’ah Rasail, Imam Hasan Al-Banna
menegaskan bahwa wadzifah baik kubra maupun sughra yang kita kenal sebagai ma’tsurat adalah
bukan wadzifah khusus untuk a’dho atau ikhwan saja, melainkan, juga untuk seluruh kaum muslimin.
Dengan harapan, zikir tersebut dapat membantu semuanya untuk taat kepada Allah dan
menghindarkan mereka dari kelalaian mengingat Allah yang menyebabkan mereka mendapat ancaman
Allah. Wadzifah tersebut dibaca di waktu pagi, dari Shubuh hingga Zhuhur dan sore hari dari Ashar
hingga ba’da Isya., baik berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Barang siapa sibuk dan melalaikannya, hendaknya tidak melalaikannya sama sekali melainkan tetap
membacanya sebagian agar tidak terbiasa mengabaikannya.
Sedangkan wirid-wirid Al-Qur’an untuk dibaca siang dan malam juga adzkar yang lain dibaca pada
waktunya yang tepat.
Akhirnya kita memohon kepada Allah agar Ia mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
semua dan juga memohon kepada Allah petunjuk-Nya agar kita tidak lalai, lupa dan malas. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. keluarga dan
para sahabatnya.
WALLAHU ’ALAM
Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta diharapkan mampu untuk:
Memahami urgensi bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam memahami ajaran Islam.
Memahami manfaat mempelajari Bahasa Arab.
Termotivasi berbahasa Arab dalam berbicara dan menulis.
Menerapkan bahasa Arab dalam berbicara dan menulis.
Pokok-Pokok Materi
• Fungsi bahasa: alat komunikasi, alat kebudayaan dll
1. Urgensi bahasa Arab
2. Urgensi bahasa asing selain arab: khususnya inggris
3. Ketrampilan mendengar
4. Ketrampilan bercakap
5. Ketrampilan membaca
6. Ketrampilan menulis
• Kursus: Upaya untuk mendapatkan skill berbahasa.
• Pembiasaan: Sarana efektif yang cepat untuk dapat berbahasa asing
• Lingkungan: penunjang kuat untuk ketrampilan berbahasa asing
'Maraji
Paket terpadu di buku Silsilah ta’limul lughah; Paket terpadu di buku Al-’arabiyah lin Nasyi-iin.;
Kurikulum penyelenggara kursus
Mukadimah
Bahasa Arab adalah bahasa Islam dan kaum Muslimin. Hal ini dimulai sejak terbitnya Islam di lembah
Mekah pada 14 abad yang lalu. Dengan bahasa ini, Al-Qur’an diturunkan sebagai tata aturan
kehidupan manusia. Dengan bahasa ini pula, penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad saw.
berbicara. Kemudian, ia adalah bahasa yang tidak luntur oleh zaman dan perubahan, sebagaimana ia
telah menjadi wadah peradaban Islam selama 14 abad, baik di belahan dunia timur, maupun di barat.
Di samping itu, ia juga diakui oleh PBB sebagai bagian dari bahasa komunikasi dunia bersama bahasa
Inggris dan Prancis.
Maka, sungguh benar ketika Rasulullah saw. menyuruh kita mencintai bahasa ini, sebagaimana
sabdanya, “Cintailah bahasa Arab karena 3 hal: pertama, karena aku adalah orang Arab; kedua, karena
al-Qur’an berbahasa Arab; dan ketiga, karena bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab.”
Definisi
Tidak sedikit jumlah kaum Muslimin Indonesia yang ‘alergi’ dengan bahasa Arab. Yang terbayang
bagi mereka adalah sebuah puncak gunung es yang mustahil didaki. Hal ini didasari dugaan bahwa ia
adalah sebuah bahasa yang sulit dipelajari dan dikuasai selain oleh Bangsa Arab, padahal sejarah
membuktikan, dahulu di wilayah Afrika Utara, Persia, Daratan India, Turki, dan sebagian Eropa Timur
tidak dapat berbahasa Arab. Namun, setelah Islam masuk menjadi agama mereka, bahasa Arab dapat
menjadi bahasa percakapan mereka. Bahkan, Indonesia pun, sebelum kedatangan para penjajah,
menggunakan aksara Arab sebagai bahasa tulisan. Oleh karena itu, kenalilah bahasa ini dengan baik;
agar tumbuh benih-benih cinta kepadanya, terdorong mempelajarinya, dan mempraktekkannya dalam
bahasa lisan dan tulisan, sebagaimana pesan kekasih kita Muhammad saw. di atas tadi. Sebagaimana
pula pepatah mengatakan, “Tak kenal, maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.”
Adapun definisi bahasa Arab dapat ditinjau dari sisi bahasa dan istilah. Shafiyyurrahman al-
Mubarakfuri menyebutkan dalam bukunya al-Rahiqul Makhtum bahwa pengertian “Arab” secara
bahasa adalah gurun sahara, atau tanah tandus yang di dalamnya tidak ada air dan pohon yang tumbuh
di atasnya. Adapun “bahasa” adalah alat komunikasi yang digunakan manusia untuk saling
berinteraksi dan berhubungan dengan berbagai motivasi dan keperluan yang mereka miliki.
Jadi, definisi bahasa Arab secara istilah, adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok manusia
yang berdomisili—pada mulanya—di atas Negeri Gurun Sahara, Jazirah Arabiyah. Kemudian, bahasa
ini berkembang pada zaman Islam, dan menyebar ke seluruh pelosok dunia yang Islam menjadi
keyakinan penduduknya. Maka, bahasa Arab bukanlah hanya milik orang-orang keturunan Arab,
namun milik semua orang atau etnis yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari
mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., ” Barang siapa yang berbicara bahasa Arab,
maka dia adalah orang Arab.”
2. Indah
Sesuatu yang indah harus dapat dipandang keindahannya. Namun, tidak demikian halnya dengan
bahasa, karena pada umumnya keindahan bahasa hanya dapat dirasakan melalui pendengaran atau
pemahaman ketika membacanya. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi bahasa Arab. Keindahan
bahasa Arab terdiri dari tiga dimensi; pertama, dimensi ketika ia didengar; kedua, dimensi ketika ia
dibaca, dan ketiga, dimensi ketika ia ditulis atau dilukis.
Yang pertama dan kedua merupakan cermin dari kesusastraan bahasa Arab. Seni sastra dalam bahasa
Arab dapat dipelajari dengan satu disiplin ilmu, yaitu disiplin ilmu “Balaghah”. Adapun karya
sastranya yang terdiri dari syair dan prosa disebut dengan “Adab”. Nilai sastra bahasa Arab yang
paling tinggi adalah Al-Qur`an, kemudian hadits Nabi Muhammad saw., kemudian hasil karya-karya
sastra bangsa Arab, baik yang berupa syair, maupun prosa. Di bawah ini terdapat beberapa contoh.
Al-Qur’an
قُ ْل َه ْل يَ ْستَ ِوي الَّ ِذيْ َن َي ْعلَ ُم ْو َن َوالَّ ِذيْ َن الَ َي ْعلَ ُم ْو َن
“Apakah sama bagi orang-orang yang berilmu dengan orang-orang tidak berilmu”
Hadits
يَ ِّسُر ْوا َوالَ ُت َع ِّسُر ْوا َوبَشُِّر ْوا َوالَ ُتَنف ُِّر ْوا
“Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, dan jangan menakuti.”
Syair
اع ِ َِّمن ثَنِـي
ِ ات ال َْو َد طَلَ َع الْبَـ ْد ُر َعلَْيــنَا
ْ
ِ مـا دعـا
هلل َداع الشـك ُْر َعلَْينَا
ُّ ب
ََ َ َ َو َج
Prosa
َك ْثَرةُ األَ ْك ِل َو َك ْثَرةُ الن َّْوِم َو َك ْثَرةُ الْ َكالَم:ٌس هَلَا َد َواء
َ ث لَْي
ٌ َثَال
ِ”Tiga hal yang tidak ada obatnya; banyak makan, banyak tidur, dan banyak berbicara.”
Adapun dimensi keindahan yang ketiga merupakan cerminan dari seni kaligrafi Arab. Seni ini
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Hal ini dapat kita saksikan keindahannya
pada bangunan-bangunan Islam, seperti masjid-masjid atau istana-istana peninggalan sultan-sultan
Islam. Bahkan, saat ini telah dikembangkan dalam dunia lukisan di atas kanvas, dan secara garis besar,
seni kaligrafi Arab terdiri dari 7 aliran, yaitu; Nasakh, Tsuluts, Farisi, Riq’ah, Diwani, Diwani Jaliy,
dan Kufi.
3. Syamil
Suatu kehormatan bagi bahasa Arab, karena ia telah dipilih Allah menjadi bahasa kitab suci, bahasa
nabi dan rasul terakhir, dan pada akhirnya sebagai alat komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya
dalam kegiatan ibadah, doa, dan acara ritual lainnya. Pilihan Allah bukan sembarang pilihan, pasti ada
hikmah di baliknya. Salah satu hikmah yang dapat dilihat adalah ke-syumul-an atau kesempurnaan
bahasa ini.
Bahasa Arab kaya dengan kosa kata; 1 akar kata dapat melahirkan lebih dari 3000 kosa kata baru, 1
tema dapat diungkapkan dalam lebih dari 10 kosa kata, dan setiap kosa katanya dapat diungkapkan
dalam bentuk atau makna asli (denotatif), dan dapat menjadi abstrak atau bahasa kinayah
(konotatif/kiasan). Perhatikanlah dua contoh berikut ini.
Allah bercerita tentang proses penciptaan manusia.
*ام حَلْ ًم*ا ِ ِ ْ فَخلَ ْقنَ*ا الْم،ًض*غَة
ْ فَ َخلَ ْقنَا ال َْعلَ َق* ةَ ُم.ً مُثَّ َخلَ ْقنَا النُّطْ َفةَ َعلَ َقة. ٍ مُثَّ َج َعْلنَاهُ نُطَْفةً يف َقَرا ٍر َم ِكنْي. ٍ َولََق ْد َخلَ ْقنَا ا ِإلنْ َسا َن ِم ْن ُسالَلٍَة ِم ْن ِطنْي
َ َ فَ َك َس* ْونَا الْعظ،ض*غَةَ عظَ ًام*ا ُ َ
) ١٤ـ١٢ :َح َس َن اخْلَالِِقنْي َ (املؤمنون َ مُثَّ أَنْ َشأْنَاهُ َخْل ًقا
ْ َفتَبَ َار َك اهللُ أ،آخَر
5. Cerdas
Untuk kecerdasan bahasa Arab, biarkanlah al-Qur’an yang memberikan kesaksian normatif tentang
kecerdasan bahasa Arab. Kecerdasan yang dimaksud adalah membuat pengguna bahasa ini menjadi
cerdas. Perhatikanlah al-Qur’an menerangkan hal tersebut:
)١ـ٢: إِنَّا أَْنَزلْنَاهُ ُقْرءَانًا َعَربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم َت ْع ِقلُ ْو َن (يوسف. ِ اب ال ُْمبِنْي ِ ك آيات ال
ِ َْكت ِ
ُ َ َ تْل،الر
“Alif laam raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian berakal.” (Yusuf: 1-2)
Islam, dan bahasa Arab telah melahirkan berjuta ulama dari berbagai bangsa ‘ajam (bukan Arab) di
berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama, maupun teknologi. Hal ini sebagaimana telah disebutkan
pada mukadimah dan point pertama, yaitu mudah sebagai salah satu sifat bahasa arab.
Jelas
Bahasa Arab itu jelas, seperti jelasnya matahari di siang hari. Beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan
mengenai hal itu.
)١٠٣ : لِ َسا ُن الَّ ِذ ْي يُْل ِح ُد ْو َن إِلَْي ِه أ َْع َج ِم ٌّي َو َه َذا لِ َسا ٌن َعَريِب ٌّ ُمبِنْيٌ (النحل،َّه ْم َي ُق ْولُْو َن إِمَّنَا يُ َعلِّ ُمهُ بَ َشٌر
ُ َولََق ْد َن ْعلَ ُم أَن
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu
diajarkan oleh seorang kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
(bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab
yang terang.” (an-Nahl: 103)
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,
ِ ضَر ْبنَا لِلن
)٢٨ـ٢٧: ُق ْرآنًا َعَربِيًّا َغْيَر ِذ ْي ِع َو ٍج لَ َعلَّ ُه ْم َيَّت ُق ْو َن (الزمر.َّاس يف َه َذا الْ ُق ْرآ َن ِم ْن ُك ِّل َمثَ ٍل لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُر ْو َن َ َولََق ْد
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan
supaya mereka mendapat pelajaran. (Ialah) Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.” (az-Zumar: 27-28)
Dua ayat di atas mengingatkan setiap manusia akan orisinalitas kenabian Muhammad saw.. Hal ini
dikarenakan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dimana Allah telah menyatakan bahwa bahasa
ini jelas dan tidak bengkok. Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang samar atau salah dalam
memahami Al-Qur’an atau bahasa Arab, maka ada dua kemungkinan pada dirinya. Pertama, ilmunya
tentang bahasa Arab tidak sempurna; kedua, terdapat penyakit dalam hatinya, sehingga terhijab
baginya untuk memahami Al-Qur`an dengan benar.
Manfaat Belajar
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari mempelajari bahasa Arab. Diantaranya adalah,
Pertama, memahami Islam. Kedua, mempersatukan kaum muslimin. Ketiga, menjadikan umat
manusia berperadaban.
Manfaat yang pertama dan kedua, sudah menjadi keyakinan bagi setiap muslim. Adapun manfaat yang
ketiga masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Walaupun, pada uraian di atas telah banyak
menyinggung hal itu. Satu hal yang tidak dapat ditolak adalah setiap muslim mempunyai peran ganda;
yaitu, dia harus menjadi muslim yang soleh (baik secara individu maupun secara kolektif), sekaligus
menjadi muslim yang mushlih (mampu memperbaiki orang lain). Untuk peran yang terakhir ini, Allah
SWT berfirman:
)٧:ك ُق ْرءَانًا َعَربِيًّا لُِتْن ِذ َر أ َُّم الْ ُقَرى َو َم ْن َح ْوهَلَا … (الشورى
َ ك أ َْو َحْينَا إِلَْي
ِ
َ َو َك َذل
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi
peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya ….”
(asy-Syura: 7)
,Dalam ayat lain, Allah berfirman
“… Dan kitab (al-Qur’an) ini adalah kitab yang membenarkan (Taurat) dalam bahasa Arab untuk
memberi peringatan kepada orang-orang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang
yang berbuat baik.” (al-Ahqaf: 12)
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa bahasa Arab tidak dapat diabaikan jika kita melakukan peran
kita yang kedua, yaitu sebagai muslim yang mushlih, yang senantiasa memberikan transformasi
kebaikan kepada umat manusia lainnya.
Tujuan Agung
Akhirnya, semoga dengan mempelajari bahasa Arab, cita-cita kemenangan, dan kebahagiaan di dunia-
akhirat dapat diraih.
Wallahu a’lam
Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah
masyarakat tidak hanya sebagai pemandu kehidupan tetapi juga sebagai pemberi arti bagi amal-amal
yang dilakukan anggotanya. Nilai dapat mengharmonikan pluralitas yang terdapat dalam sebuah
masyarakat menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Oleh karena itu nilai-nilai selalu
dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan dijunjung tinggi oleh semua anggota sebuah
masyarakat.
Oleh karena posisi nilai dalam sebuah masyarakat demikian pentingnya maka ia selalu menjadi
penggerak motivasi dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan
dari totalitas hidupnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi tenaga
(energi) yang mendorong seseorang untuk selalu bertekad (azam) dalam menegakkan dan bahkan
membelanya.
Dalam konteks kaum muslimin nilai-nilai yang dimaksud adalah Islam, din yang mengandung tata
nilai yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Setiap muslim seyogianya tidak hanya meyakini
bahwa seluruh dimensi ajaran atau nilai-nilai Islam benar dan harus ditegakkan dalam seluruh aspek
kehidupannya, tetapi juga harus dibela agar Islam dapat tegak berada di atas agama-agama yang lain.
ُه َو الَّ ِذي أ َْر َس َل َر ُسولَهُ بِاهْلَُدى َو ِدي ِن احْلَ ِّق لِيُظْ ِهَرهُ َعلَى الدِّي ِن ُكلِّ ِه َولَ ْو َك ِر َه ال ُْم ْش ِر ُكو َن
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang
benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai.”
(QS, At-Taubah: 33)
Bagi seorang muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal
melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi
perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya
terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.
Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu
menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan
memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat
menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.
Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan
tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َولََق ْد َع ِه ْدنَا إِىَل ءَ َاد َم ِم ْن َقْب ُل َفنَ ِس َي َومَلْ جَنِ ْد لَهُ َعْز ًما
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 51
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka lupa (akan perintah itu),
dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS, Thaha: 115)
Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim
dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal.
Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.
Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu
bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun
ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan
dalam menghadapi kerasnya perjuangan.
Selanjutnya kedua sayap itu siap menerbangkan azam seseorang ke alam kemenangan. Sejarah selalu
membuktikan kekuatan azam sebuah kelompok, betapa pun kecilnya, dapat mengalahkan kelompok
besar.
Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi
sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam
ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal
adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah
penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak
bergantung kepada selain-Nya.
Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada
firman Allah berikut:
ِ ك إِاَّل الْ َقوم الْ َف ِ ِ
اس ُقو َن ُْ ُ َاعةً ِم ْن نَ َها ٍر بَاَل غٌ َف َه ْل يُ ْهل َ وع ُدو َن مَلْ َيْلبَثُوا إِاَّل َس ُّ صَبَر أُولُو ال َْعْزم ِم َن
ُ الر ُس ِل َواَل تَ ْسَت ْعج ْل هَلُ ْم َكأَن
َ َُّه ْم َي ْو َم َيَر ْو َن َما ي َ اص ْ َك َما
فَ ْ رِب
“Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul ‘azmi)
dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ...”
(QS, al-Ahqaf: 35)
ِ ِ ِ ت فَظًّا َغلِي * َظ الْ َقْل ِِ ٍِ
َت َفَت َو َّك ْل َعلَى اللَّه إِ َّن اللَّه
َ ف َعْن ُه ْم َوا ْس *َت ْغفْر هَلُ ْم َو َش *ا ِو ْر ُه ْم يِف اأْل َْم* ِر فَ *ِإ َذا َع* َ*ز ْم
ُ *اع َ ض *وا ِم ْن َح ْو
ْ *َلِك ف ُّ ب اَل ْن َف َ فَبِ َ*م*ا َرمْح َ**ة م َن اللَّه لْن
َ ت هَلُ ْم َولَ* ْ*و ُكْن
ِ ُّ ِحُي
َ ب ال ُْمَت َو ِّكل
ني
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (QS, Ali ‘Imran: 159)
Posisi azam dalam perjuangan dakwah jelas sangat penting. Oleh karena itu upaya membangun
kemauan kuat di kalangan aktivis adalah bagian dari perjuangan itu sendiri. Sepanjang sejarah dakwah
pembangunan kemauan kuat menjadi pilar utama pembentukan kader-kader yang siap terjun di medan
perjuangan. Nabi Musa AS, sebelum memberikan komando agar Bani Israel berani memasuki bumi
yang dijanjikan, selepas mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, terlebih dahulu
memberikan pengarahan kepada Bani Israel tentang pentingnya azam dalam merealisasikan cita-cita.
Firman Allah:
ِ ِ تأ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
ني َ وسى ل َق ْومه يَا َق ْوم اذْ ُكُروا ن ْع َمةَ اللَّه َعلَْي ُك ْم إِ ْذ َج َع َل في ُك ْم أَنْبِيَاءَ َو َج َعلَ ُك ْم ُملُو ًكا َوءَاتَا ُك ْم َما مَلْ يُ ْؤ
َ َح ًدا م َن ال َْعالَم َ ََوإِ ْذ ق
َ ال ُم
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu,
ketika Ia menjadikan di tengah kalian para Nabi dan Ia jadikan kalian raja-raja (orang yang
merdeka) dan Ia berikan kepadamu sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di
dunia. Wahai kaumku, masuklah ke Tanah Suci yang telah dituliskan Allah atas kamu dan janganlah
berbalik ke belakang, nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS, al-Ma`idah: 20)
Namun orang-orang Yahudi, karena kedegilan yang melekat pada diri mereka, tidak mampu
menangkap makna pengarahan Nabi mereka. Apa yang terjadi sesudah itu membuktikan bahwa
kemauan kuat, himmah (cita-cita) yang tinggi, azam yang membaja, dan tekad yang bulat menduduki
SEBAB-SEBAB BERJATUHAN
Sebab-sebab yang berhubungan dengan pergerakan
Lemahnya segi pendidikan.
Tidak menempatkan personal dalam posisi yang tepat.
Distribusi penugasan yang tidak merata pada setiap individu.
Tidak adanya monitoring personal secara baik.
Tidak menyelesaikan berbagai urusan dengan cepat.
Konflik intern. Konflik intern ini disebabkan oleh:
Lemahnya kepemimpinan.
Adanya tangan tersembunyi dan kekuatan luar yang sengaja menyebar fitnah.
Perbedaan watak dan kecenderungan individu.
Persaingan dalam memperebutkan kedudukan.
Tidak adanya komitmen dan penonjolan tingkah laku individu.
Kevakuman aktifitas dan produktifitas.
Oleh karena itu, seorang pemimpin yang diangkat haruslah memiliki syarat:
Mengenal da'wah.
Mengenal diri sendiri.
Pengayoman yang kontinyu.
Teladan yang baik.
Pandangan yang tajam.
Kemauan yang kuat.
Kharisma kepribadian yang fitri.
Optimisme.
“Hendaklah kamu menjauhi sikap ekstrim dalam agama. Sesungguhnya orang yang sebelum kamu
binasa karena ekstrim dalam beragama”. (HR Ahmad dan An-Nasai).
Sikap terlalu memudah-mudahkan dan meremehkan.
Tersebut dalam hadits:
“Sesungguhnya kamu melakukan pekerjaan-pekerjaan dosa menurut pandangan mata kamu lebih
halus dari rambut. Di masa Rasulullah saw, kami menggolongkan perbuatan itu termasuk al
muubiqoot (hal-hal yang menghancurkan)”. (HR Bukhari).
Tertipu kondisi gemar menampilkan diri (QS 28 : 83).
Kecemburuan terhadap orang lain / kedengkian. (QS 5 : 27 – 30).
Bencana senajata / penggunaan kekuatan.
Syarat-syarat penggunaan kekuatan:
Habis segala usaha dengan jalan lain.
Tekanan Luar
1. Tekanan dari suatu cobaan (QS 3 : 175).
2. Tekanan keluarga dan kerabat (QS 9 : 24).
3. Tekanan Lingkungan.
4. Tekanan gerakan agitasi (penyebaran kritik dan keragu-raguan).
5. Tekanan figuritas (QS 7 : 12).
dalam bersikap dan bertingkah laku, di manapun dia berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi
dan kondisinya. Itu sebabnya, semakin banyak perbuatan baik yang dilakukannya, maka akan semakin
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 57
mulia harkat dan martabatnya di hadapan Allah SWT. Di sinilah letak pentingnya bagi kita untuk
Meskipun kebaikan kita sadari sebagai sesuatu yang harus kita laksanakan, ternyata hanya sedikit
orang yang antusias untuk melakukan kebaikan itu. Karena itu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan
resep bagi seseorang agar bersemangat melakukan kebaikan.
Niat Yang Ikhlas
Niat yang ikhlas merupakan faktor penting dalam setiap amal. Karena di dalam Islam, niat yang ikhlas
merupakan rukun amal yang pertama dan terpenting. Niat yang ikhlas karena Allah dalam melakukan
kebaikan akan membuat seseorang memiliki perasaan yang ringan dalam mengerjakan amal-amal
yang berat sekalipun, apalagi bila amal kebaikan itu tergolong amal yang ringan. Sedangkan tanpa
keikhlasan, jangankan amal yang berat, amal yang ringan pun akan terasa berat. Di samping itu,
keikhlasan akan membuat seseorang berkesinambungan (istimrar) dalam melakukan amal kebaikan.
Orang yang ikhlas tidak akan bertambah semangat hanya karena dipuji dan tidak akan melemah
karena dicela. Adanya pujian atau celaan tidak akan mempengaruhi semangatnya dalam melakukan
kebaikan.
Cinta Kebaikan Dan Orang Baik.
Seseorang akan antusias melaksanakan kebaikan manakala pada dirinya terdapat rasa cinta pada
kebaikan. Karena mana mungkin seseorang melakukan suatu kebaikan apabila dia sendiri tidak suka
pada kebaikan itu. Oleh karena itu, rasa cinta pada kebaikan harus kita tanamkan ke dalam jiwa kita
masing-masing sehingga kita menjadikan setiap bentuk kebaikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan kita. Sehingga kebaikan akan selalu menyertai kehidupan ini.
Di samping cinta kepada kebaikan, agar kita suka melakukan kebaikan, harus tertanam juga di dalam
jiwa kita rasa cinta kepada siapa saja yang berbuat baik. Hal ini akan membuat kita ingin selalu
meneladani dan mengikuti segala bentuk kebaikan, siapa pun yang melakukannya. Allah SWT telah
menyebutkan kecintaan-Nya kepada siapa saja yang berbuat baik, karenanya kita pun harus mencintai
mereka yang berbuat baik, Allah berfirman:
نيِِ ُّ َِح ِسنُوا إِ َّن اللَّهَ حُي ِ وأَنْ ِف ُقوا يِف سبِ ِيل اللَّ ِه واَل تُْل ُقوا بِأَي ِدي ُكم إِىَل الت
َ ب ال ُْم ْحسن ْ َّهلُ َكة َوأ
ْ ْ ْ َ َ َ
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berbuat baik. (QS 2:195)
Merasa Beruntung Bila Melakukan Kebaikan
Berbuat baik merupakan sesuatu yang sangat mulia dan seseorang akan bersemangat melakukan
kebaikan apabila dengan kebaikan itu dia merasa yakin memperoleh keberuntungan, baik di dunia
maupun di akhirat. Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh manusia bila ia berbuat baik.
Pertama, selalu disertai oleh Allah SWT, lihat QS 16:128.
َإِ َّن هَّللا َ َم َع الَّ ِذينَ اتَّقَوْ ا َوالَّ ِذينَ هُ ْم ُمحْ ِسنُون
Kedua, menambah kenikmatan untuknya, lihat QS 2:58. 7:161.33:29.
َاب ُس َّجدًا َوقُولُوا ِحطَّةٌ نَ ْغفِرْ لَ ُك ْم َخطَايَا ُك ْم َو َسن َِزي ُد ْال ُمحْ ِسنِين
َ َْث ِش ْئتُ ْم َر َغدًا َوا ْد ُخلُوا ْالب
ُ َوإِ ْذ قُ ْلنَا ا ْد ُخلُوا هَ ِذ ِه ْالقَرْ يَةَ فَ ُكلُوا ِم ْنهَا َحي
Ketiga, dicintai Allah, lihat QS 7:161. 5:13. 2:236. 3:134. 3:148. 5:96.
Apabila seseorang merasa beruntung dengan kebaikan yang dilakukannya karena sejumlah keutamaan
yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka bila seseorang tidak berbuat baik dia akan merasa sangat
rugi, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Bagi seorang mukmin, bagaimana mungkin dia tidak
merasa rugi bila tidak melakukan kebaikan, karena kehidupan ini memang harus dijalani untuk
mengabdi kepada Allah SWT yang merupakan puncak dari segala bentuk kebaikan yang harus
dijalani.
Manakala di dunia ini seseorang sudah merasa rugi, maka di akhirat pun dia akan merasa rugi, karena
apa yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya di dunia akan sangat berpengaruh pada
kehidupannya di akhirat, karena kehidupan akhirat pada hakikatnya adalah hasil dari kehidupan di
dunia. Bila seseorang berlaku baik di dunia, dia akan memperoleh keberuntungan di akhirat di
samping keberuntungan di dunia, sedangkan bila seseorang tidak melakukan kebaikan di dunia, maka
dia akan memperoleh kerugian di dunia dan penyesalan yang sangat dalam di akhirat kelak sebagai
akibat dari pengabaian nilai-nilai Islam, Allah SWT berfirman yang artinya: Barang siapa mencari
selain Islam sebagai agamanya, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
ََو َم ْن يَ ْبت َِغ َغي َْر اإْل ِ سْاَل ِم ِدينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِرين
(QS 3:85)
Meneladani Generasi Yang Baik
Perbuatan baik dan yang lebih baik lagi akan dilakukan oleh seorang muslim apabila dia mau
meneladani orang yang berbuat baik. Hal ini menjadi penting karena dengan demikian dia menyadari
bahwa meskipun ia merasa sudah banyak perbuatan baik yang dilakukannya, tetap saja dia merasa
masih sedikit dibanding orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Sehingga akan memicu
semangatnya untuk berbuat baik yang lebih banyak lagi. Karena itu, idealnya seorang mukmin bisa
menjadi seperti cermin bagi mukmin lainnya sehingga manakala seseorang mengenal dan
memperhatikan dirinya secara seksama akan terasa begitu banyak kekurangan, termasuk dalam hal
berbuat baik.
Memahami Ilmu Kebaikan
Bagi seorang muslim, setiap amal yang dilakukannya tentu harus didasari pada ilmu, semakin banyak
ilmu yang dimiliki, dipahami dan dikuasai, maka insya Allah akan makin banyak amal yang bisa
dilakukannya. Sedangkan semakin sedikit pemahaman atau ilmu seseorang, akan semakin sedikit juga
amal yang bisa dilakukannya. Apalagi orang yang mempunyai ilmu belum tentu secara otomatis bisa
mengamalkannya. Ini berarti, seseorang akan semakin terangsang untuk melakukan kebaikan
manakala dia memahami ilmu tentang kebaikan itu.
Kebaikan Yang Diterima
Setiap kebaikan yang dilakukan seseorang tentu harus menghasilkan penilaian yang positif dari Allah
SWT. Paling tidak, ada dua kriteria tentang kebaikan yang diterima oleh Allah SWT. Pertama, ikhlas
dalam beramal, yakni melakukan suatu amal dengan niat semata-mata karena Allah SWT, atau tidak
riya dalam arti mengharap pujian dari selain Allah SWT. Karena itu, dalam hadits yang terkenal,
Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Sesungguhnya amal itu sangat tergantung pada niatnya.
Kedua, melakukan kebaikan itu secara benar, karena meskipun niat seseorang sudah baik, bila ia
melakukan amal dengan cara yang tidak benar, maka hal itu tetap tidak bisa diterima oleh Allah SWT.
Sebab hal itu termasuk bagian dari mencari selain Islam sebagai agama, yang jelas-jelas akan ditolak
Allah SWT sebagaimana yang sudah disebutkan pada QS 3:85 di atas.
ِّ َإِلَي أ
َ َّي ش َْي ٍء نَ ْدعُوا الن
اس
Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas (1) Dakwah Ikhwan, Dakwah Islamiyah
Dakwah Ikhwan adalah dakwah Islamiyah murni; Dasar perjuangannya, inti dakwahnya, cara dan
sarananya tidak lepas dari norma dan nilai-nilai Islam, karena Ikhwan yakin benar, bahwa Islam
adalah agama yang menghantarkan umat manusia kepada kesejahteraan, ketenteraman dan
kebahagiaan hidup.
Islamiyah Dakwah Ikhwah dapat dicermati dari beberapa indikasi sebagai berikut:
Ikhwan menjadikan Alquran sebagai tolak ukur dan sumber kejelasan langkah Dakwah Ikhwan yang
meliputi metode dan sarana yang digunakan. Alquran sebagai tolak ukur dan sumber pergerakan,
karena Alquran bak “lautan dari mana kita meraup mutiara kecemerlangan dan referensi kepada mana
kita menentukan hukum. Alquran adalah kitab sempurna yang padanya Allah memadukan dasar-dasar
kepercayaan, kaidah-kaidah perbaikan sosial, prinsip-prinsip umum hukum keduniaan, serta sederet
perintah dan larangan”.
Ikhwan yakin seyakin-yakinnya, bahwa Allah adalah tempat bersandar, hanya Allah sebagai pelindung
orang-orang beriman, Dia sebagai penolong orang-orang yang berbuat kebaikan, Pembela orang-orang
tertindas, yang diperangi di negeri mereka sendiri bahkan diusir dari negeri mereka. Baca dan
renungkanlah ayat-ayat berikut:
اب النَّا ِر ُه ْم فِ َيه**ا ِ **اؤهم الطَّا ُغوت خُيْ ِرج**و َنهم ِمن النُّو ِر إِىَل الظُّلُم ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ َئِك أ
ُ ص* * َح َ َ*ات أُول َ َ ُْ ُ ُ َ ين ءَ َامنُ **وا خُيْ* * ِر ُج ُه ْم م َن الظُّلُ َم**ات إىَل النُّور َوالذ
ُ ُ ُ * َين َك َف* ُ*روا أ َْولي َ اللَّهُ َويِل ُّ الذ
َخالِ ُدو َن
Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang beriman. (QS. Al-Baqarah: 257)
ٌّ ص ُرهُ إِ َّن اللَّهَ لََق ِو
ي َع ِز ٌيز ُ صَر َّن اللَّهُ َم ْن َيْن
ُ َولََيْن
Sesungguhnya Allah niscaya akan menolong orang yang menolong agama-Nya. (QS. 22:40)
ِّ َإِلَي أ
َ َّي ش َْي ٍء نَ ْدعُوا الن
اس
Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Sayin Nad’un-Naas 2 (Tujuan Dakwah Ikhwan)
Abstraksi: Risalah ini ditulis oleh Imam syahid Hasan Al-Banna pada tahun 1936. Berintikan hakikat
dakwah Ikhwan, karakter dan tujuan. Sebagaimana risalah ini berisi penjelasan tentang
permasalahan umat masa kini dan terapi yang ditawarkan Ikhwan. Di samping terdapat pesan-pesan
da’awi dan tarbawi untuk para kader Ikhwan, agar tetap tegar di jalan Dakwah ilallah.
Ila Ayyi Syain Nad’un-Naas 3 (Bekal Perjuangan Menghadapi Masalah Di Jalan
Dakwah)
Ada sebagian yang berputus harapan dalam perjuangan Dakwah Islam lantaran fenomena
ketidakmampuan umat Islam dalam kekuatan material, seraya mengatakan: Bangsa-bangsa Timur
tidak akan mampu bangkit dan berpacu dengan bangsa-bangsa Barat, karena mereka tidak
memiliki kekuatan fisik yang memadai untuk perjuangan mereka, seperti dana, sarana tempur,
prasarana dakwah dsb. Lain halnya dengan Barat yang memiliki sejumlah kekuatan fisik dengan
perkembangan teknologi yang begitu sangat canggih”.
Kita tidak dapat menyalahkan asumsi seperti itu, namun sebenarnya mereka melupakan satu hal yang
lebih penting, bahwa ada kekuatan yang terpenting dalam perjuangan Dakwah Islam, yaitu kekuatan
spiritual; akhlak luhur, jiwa mulia, kebenaran akidah dan ideologi, pengetahuan tinggi, tekad sekuat
baja, semangat pengorbanan, kesatuan fikrah, kesetiaan rasional dan loyalitas yang proporsional,
semuanya modal utama dalam perjuangan.
Seyogianya orang-orang Timur menyadari, bahwa sesungguhnya Barat telah merampas haknya dan
menghancurkan hidupnya. “Jika mereka menyadari akan haknya tersebut, kemudian berusaha
merubah diri sendiri, membangun kekuatan spiritual yang dahsyat dan membina keluhuran budi
Islamlah ayahku,
Aku tak punya ayah selain itu
Biarlah mereka bangga dengan Qais atau Tamim
Peserta memahami bahwa sikap Istiqomah dalam setiap ucapan dan perbuatan adalah buah dari
keimanan yang dalam dan pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan
keindahan Islam. Istiqamah yang dibangun di atas pondasi optimalisasi, keikhlasan dan mengikuti
sunnah akan melahirkan keberanian, ketenangan dan optimisme dalam kehidupan. Karena dengan
istiqamah, manusia muslim akan selalu tegar menghadapi badai kehidupan dan segala rintangan jalan
dakwah. Dan diharapkan melalui materi ini, peserta mampu memahami manifestasi istiqamah dalam
kehidupan seorang mukmin.
POKOK-POKOK MATERI
A. Definisi
Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan
masalah istiqamah di antaranya adalah;
ْ ك َواَل ت
ِ ََط َغوْ ا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب
صي ٌر َ فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت
َ َاب َم َع
“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS 11:112)
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya
harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan. Istiqomah dalam mabda (dasar atau awal
pemberangkatan), minhaj dan hadaf (tujuan) yang digariskan dan tidak boleh menyimpang dari
perintah-perintah ilahiah.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan,
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu".
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai
hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS 41: 30-32)
َ ِف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُونَ أُولَئ
َك أَصْ َحابُ ْال َجنَّ ِة خَالِ ِدينَ فِيهَا َجزَ ا ًء بِ َما كَانُوا يَ ْع َملُون ٌ ْإِ َّن الَّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا هَّللا ُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا فَاَل خَ و
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah
mereka kerjakan. (QS 46:13-14)
Empat ayat di atas menggambarkan urgensi istiqamah setelah beriman dan pahala besar yang
dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba
Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.
Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;
ْلUUُث أَبِي أُ َسا َمةَ َغ ْيرَكَ قَا َل ق َ ُول هَّللا ِ قُلْ لِي فِي اإْل ِ سْاَل ِم قَوْ اًل اَل أَسْأ َ ُل َع ْنهُ أَ َحدًا بَ ْع َد
ِ ك َوفِي َح ِدي ُ ع َْن ُس ْفيَانَ ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ الثَّقَفِ ِّي قَا َل قُ ْل
َ ت يَا َرس
ت بِاهَّلل ِ فَا ْستَقِ ْم رواه مسلمُ آ َم ْن
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak
akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada
Allah, kemudian beristiqamahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
“Rasulullah saw bersabda, “Berlaku moderatlah dan beristiqomah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada
seorangpun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga Anda Ya …
Rasulullah, Beliau bersabda, “Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku
dengan rahmat dan anugerahNya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Selain ayat-ayat dan beberapa hadits di atas, ada beberapa pernyataan ulama tentang urgensi istiqamah
sebagaimana berikut;
Sebagian orang-orang arif berkata, “Jadilah kamu orang yang memiliki istiqomah, tidak menjadi
orang yang mencari karomah. Karena sesungguhnya dirimu bergerak untuk mencari karomah
sementara Robbmu menuntutmu untuk beristiqomah.”
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 71
Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebesar-besar karomah adalah memegang istiqamah.”
C. Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqomah
Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu
melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;
Manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam
dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif dan buahnya yang lezat
sepanjang hidupnya. Adapun dampak dan buah istiqomah sebagai berikut;
Keberanian (Syaja’ah) .1
Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak
akan gentar menghadapi segala rintangan dakwah. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan
pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu jugaberbeda dengan orang yang di dalam
hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan
kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan dakwah. Perhatikan firman Allah
Taala dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;
ْ ح أَوْ أَ ْم ٍر ِم ْن ِع ْن ِد ِه فَي ْ
بِحُوا َعلَىU ُص ِ صيبَنَا دَائِ َرةٌ فَ َع َسى هَّللا ُ أَ ْن يَأتِ َي بِ ْالفَ ْت
ِ ُار ُعونَ فِي ِه ْم يَقُولُونَ ن َْخشَى أَ ْن ت
ِ فَت ََرى الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َم َرضٌ يُ َس
ُ ْ َ
ََما أ َسرُّ وا فِي أنف ِس ِه ْم نَا ِد ِمين َ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat
bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka
rahasiakan dalam diri mereka.”
Dan kita bisa melihat kembali keberanian para sahabat dan para kader dakwah dalam hal ini;
ان منهمUUل إنسUUديهم كUUطوا أيUUذا؟ فبسUU من يأخذ مني ه:صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم أخذ سيفا يوم أحد فقال َ ِ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أن َرسُول هَّللا
ِ عن أنس َر
ُ َر َواه.ركينUUام المشUUه هUUق بUUذه ففلUU فأخ.هUUذه بحقUU أنا آخ:ُض َي هَّللا ُ َع ْنه
ِ فقال أبو دجانة َر. فمن يأخذه بحقه؟ فأحجم القوم: فقال. أنا أنا:يقول
ُم ْسلِ ٌم
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw menawarkan pedang kepada para sahabat dalam perang Uhud,
Siapa yang berani mengambil pedangku ini? Maka seketika seluruh sahabat mengangkat tangannya
untuk menerima tawaran beliau sambil berkata, “Saya, saya.” Kemudian Rasulullah saw. bertanya
lagi, siapa yang akan mengambilnya dengan tanggung jawab? Seketika para sahabat terdiam, dan saat
itulah Abu Dujanah berkata, “Aku yang akan mengambilnya dengan tanggung jawab, kemudian
membawa pedang itu dan menebaskan ke kepala orang-orang musyrik.” (HR Muslim)
Pada saat seorang sahabat mendapat jawaban dari Rasulullah saw bahwasanya ia masuk surga
kalau mati terbunuh dalam medan pertempuran, maka ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya
lagi seraya melempar kurma yang ada di genggamannya kemudian ia meluncur ke medan
pertempuran dan akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan yaitu, syahadah (mati syahid).
(Muttafaqun Alaih)
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abu Thalib setelah ia menerima bendera Islam dalam
peperangan Khaibar sebagai berikut, “Jalanlah, jangan menoleh sehingga Allah SWT memberikan
kemenangan kepada kamu.” Lantas Ali berjalan, kemudian berhenti sejenak dan tidak menoleh seraya
bertanya dengan suara yang keras; “Ya Rasulullah atas dasar apa aku memerangi manusia?” Beliau
bersabda, “Perangi mereka sampai bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah……” (HR Muslim)
Ithmi’nan (ketenangan) .2
Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan
istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan,
kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan dakwah yang panjang, melewati jalan terjal
perjuangan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan
yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik
setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya. Perhatikan firman Allah di
bawah ini;
َض ُعفُوا َو َما ا ْستَكَانُوا َوهَّللا ُ يُ ِحبُّ الصَّابِ ِرين َ ََوكَأَي ِّْن ِم ْن نَبِ ٍّي قَات ََل َم َعهُ ِربِّيُّونَ َكثِي ٌر فَ َما َوهَنُوا لِ َما أ
َ صابَهُ ْم فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َو َما
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut
(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan
Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang
sabar.”(QS 3:146)
َ ِالَّ ِذينَ َءا َمنُوا َولَ ْم َي ْلبِسُوا إِي َمانَهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُولَئ
َك لَهُ ُم اأْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”(QS 6:82)
ْ َط َمئِ ُّن قُلُوبُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ أَاَل بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت
َُط َمئِ ُّن ْالقُلُوب ْ الَّ ِذينَ َءا َمنُوا َوت
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)
Tafa’ul (optimis) .3
Keistiqamahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap
pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah
dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Kefuturan yang
mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang
menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan
ilahiah. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;
اتَ ُك ْم َوالUUَا فUUوْ ا َعلَى َمUي ٌر لِ َكيْال تَأْ َسUك َعلَى هَّللا ِ يَ ِس َ Uِب ِم ْن قَب ِْل أَ ْن َنب َْرأَهَا إِ َّن َذل ٍ ض َوال فِي أَ ْنفُ ِس ُك ْم إِاَّل فِي ِكتَا ِ ْصيبَ ٍة فِي اأْل َر ِ اب ِم ْن ُم َ ََما أ
َ ص
)23-22 :دUUUUUUUUUUUUUUور) (الحديUUUUUUUUUUUUUU
ٍ ُ
خ َ ف ل
ٍ اUUUUUUUUUUUUUUَ ت ْ
خ م
ُ لَّ UUUUUUUUUUUUUU ُ
ك ُّبُح
ِ ي ال ُ هَّللاو م
َ ْ ُ
ك اUUUUUUUUUUUUUUَ ت آ اUUUUUUUUUUUUUU
مَِ ب واUUUUUUUUUUUUUUُ حرَ ْ
ف َ ت
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS 57:22-23)
)87:ح هَّللا ِ ِإاَّل ْالقَوْ ُم ْالكَافِرُونَ (يوسف ِ ْح هَّللا ِ إِنَّهُ ال يَيْأَسُ ِم ْن رَو ِ ْي ْاذهَبُوا فَتَ َح َّسسُوا ِم ْن يُوسُفَ َوأَ ِخي ِه َوال تَيْأَسُوا ِم ْن َرو َّ ِيَابَن
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir".(QS 12: 87)
ُّ ال َو َم ْن يَ ْقنَطُ ِم ْن َرحْ َم ِة َربِّ ِه إِاَّل الض
)56:َّالونَ (الحجر َ َق
Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang
yang sesat".(QS 15:56)
Maka dengan tiga buah istiqamah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan
merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak.
Perhatikan ayat di bawah ini;
LOYALITAS ISLAM
Salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah memberikan wala’ (loyalitas).
Al Wala’ atau walayah adalah buah dari mahabbah (kecintaan). Ketika seseorang mencintai sesuatu,
ia wajib memberikan wala’ kepada yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba
mencintai Allah, maka dia harus memberikan wala’nya itu kepada Allah. Cinta yang tidak
menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.
Wala’ atau walayah biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim
dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan,
penghormatan, terhadap orang-orang yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’
adalah baro’ atau 'adawah yaitu kebencian atau permusuhan.
ت ُّ ور إِلَى
ِ الظلُ َما ُ ور َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَوْ لِيَا ُؤهُ ُم الطَّا ُغ
ِ وت ي ُْخ ِرجُونَهُ ْم ِمنَ ال ُّن ُّ َ هَّللا ُ َولِ ُّي الَّ ِذينَ آ َمنُوا ي ُْخ ِر ُجهُ ْم ِمن...
Uِ الظلُ َما
ِ ت إِلَى ال ُّن
Allah Wali dari orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.
Dan orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan”. (Al Baqarah: 257)
Allah sebagai “waliyullladzina amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong,
dan pelindung bagi orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang
sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Sebaliknya “awliyaa” (para
pemimpin, penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala
yang disembah selain Allah. Thagut itu jumlahnya banyak dan mereka menyesatkan orang-orang yang
mengikutinya sehingga mereka keluar dari cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al
Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan kedekatan.
Sedangkan asal pengertian al-‘adawah adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat.
Dalam Bahasa Arab “hadza yali hadza” artinya ini dekat dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi
Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,
“Serahkan ilmu waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa daripada harta
warisan, maka ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.
Berwala’ dalam Islam ini implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’ kepada
Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan, sebagaimana disebutkan Al Qur-an,
َإِنَّ َما َولِيُّ ُك ُم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا الَّ ِذينَ يُقِي ُمونَ الصَّالةَ َوي ُْؤتُونَ ال َّزكَاةَ َوهُ ْم َرا ِكعُون
Sesungguhnya Wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al
Maaidah:55)
Sumber utama dari Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di antara
makna kalimat Tawhid adalah “Laa waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah).
Loyalitas kepada Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh
Sebagai konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan
mengikuti beliau. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus
diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,
قُ ْل إِنْ ُك ْنتُ ْم ت ُِحبُّونَ هَّللا َ فَاتَّبِ ُعونِي يُ ْحبِ ْب ُك ُم هَّللا ُ َويَ ْغفِ ْر لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم
Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3. Ali Imraan:31)
Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk
memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan
segala kecintaan menjadikan Nabi Muhammad sebagai kekasih, pemimpin, pembimbing hidup,
penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap daya upaya dan pengorbanan dalam
rangka berwala’ kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan
menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti Rasulullah merupakan
konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.
Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang kepada Allah
mengikuti manhaj (konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik
manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan utama dalam
menegakkan Kalimat tauhid.
Rasulullah adalah Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus Waliyullah (Sahabat Dekat Allah). Inilah
manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa? Karena beliau diberi
Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau adalah hamba pilihan Allah dan utusannya
yang terakhir untuk segenap manusia. Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah
meletakkan pancangan "Iqomatud diin" (penegakkan Agama) yang akan tetap terpelihara sampai hari
kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni'mat
yang diberikan-Nya. Beliau merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya.
Menjadi contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu Allah dan para
Malaikat memuji beliau,
ْ َسلِّ ُموا ت
ً سلِيما َ صلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي يَا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا
َ صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َ ُإِنَّ هَّللا َ َو َمالئِ َكتَهُ ي
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman,
bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya". (Al Ahzab: 56)
Karena mereka merupakan awliya Allah maka setiap mereka hendaknya saling memberikan wala.
Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang
muslim dengan yang lain. Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati
(salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan
pertengkaran. Mahabbah dalam kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas,
tolong menolong, saling membimbing) antara satu dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”. Bentuk
wala’ yang paling tinggi adalah itsar, yaitu mengutamakan memenuhi kepentingan saudaranya sesama
muslim daripada kepentingannya sendiri.
َ ونَ هَّللاUUاةَ َوي ُِطي ُعUَونَ ال َّزكUُالةَ َوي ُْؤتUالصَّ ِ وْ نَ ع َِن ْال ُم ْنكUUَُوف َويَ ْنه
َونUر َويُقِي ُمUَ ْ Uأْ ُمرُونَ ِبUَْض ي
ِ ال َم ْعرU ٍ ا ُء َبعUَضهُ ْم أَوْ لِي ُ َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن
ُ َات بَ ْع
َزي ٌز َح ِكي ٌم ع هَّللا َّ
ن إ هَّللا مُ همح
ِ ُ ُ ُ َ ََ َ ِ ْر ي س كئ َ ل وُ أ ُ ه َ ل ُو
س ر و
َ َ
ِ َ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali
(penolong) sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At
Taubah:71)
Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah. Abu Bakar senantiasa
mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam dari kepentingan dirinya. Ketika
keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya, Abu Bakar selalu
melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu Bakar tidak berani membangunkan
Nabi yang tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan rasa sakitnya
yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang kelelahan dan beristirahat di
pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun,
Nabi pun mengobati luka Abu Bakar …
Benarlah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain
mereka. Memberikan wala’ kepada orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,
ً ُون أَنْ َتجْ َعلُوا هَّلِل ِ َع َل ْي ُك ْم س ُْل َطانا ً م ُِبينا
َ ِين أَ ُت ِريد ِ ين أَ ْولِ َيا َء مِنْ د
َ ُون ْالم ُْؤ ِمن َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َ ِين آ َم ُنوا ال َت َّتخ ُِذوا ْال َكاف ِِر
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu) (QS. 4:144)
Memberikan wala’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang
membuat pelakunya digolongkan kepada golongan mereka
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS.
5:51)
SYUR’ATUL ISTIJABAH
(Respon yang cepat)
kamu mengatakan :"Kami dengar dan kami ta'ati". Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Al Quranul Karim dipenuhi ibroh dari kehidupan orang-orang beriman di masa lalu. Kisah-kisah
dalam Kitabullah bukan hanya sekedar cerita tetapi merupakan contoh teladan dan pelajaran yang
penting bagi setiap insan beriman untuk meningkatkan kualitas imannya kepada Allah. Salah satu
kisah yang populer dalam menunjukkan syuratul istijabah suatu kaum di masa lalu adalah kisah para
hawariy yang merupakan sahabat dekat Nabi Isa Alaihis Salam. Mereka memiliki kepekaan yang
tinggi dalam memberikan reaksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masyarakatnya. Manakala Bani
Israil mengingkari Kerasulannya, Nabi Isa segera bertanya kepada para hawariy. Mereka segera pula
memberikan jawaban yang menunjukkan kesiapan bekerjasama dengan pemimpinnya.
)52:صا ُر هَّللا ِ آ َمنَّا بِاهَّلل ِ َوا ْشهَ ْد بِأَنَّا ُم ْسلِ ُمونَ (آل عمران
َ اريُّونَ نَحْ نُ أَ ْن
ِ ال ْال َح َو
َ َاري إِلَى هَّللا ِ ق
ِ صَ ال َم ْن أَ ْن
َ َفَلَ َّما أَ َحسَّ ِعي َسى ِم ْنهُ ُم ْال ُك ْف َر ق
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia:"Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah" Para hawariyyin (sahabat-sahabat
setia) menjawab:"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. 3:52)
Nyata sekali bahwa iman kepada Allah dan penyerahan diri kepada syariat-Nya menjadikan
para hawariy mempunyai kepekaan yang tinggi untuk segera merespon seruan dari pemimpin mereka.
Selain itu syuratul istijabah menunjukkan pemahaman yang mendalam kepada wahyu yang
diturunkan, mengikuti petunjuk Rasul, dan mempunyai semangat serta cita-cita yang tinggi.
Perhatikan kelanjutan ayat berikut ini
)53:َربَّنَا آ َمنَّا بِ َما أَ ْن َز ْلتَ َواتَّبَ ْعنَا ال َّرسُو َل فَا ْكتُ ْبنَا َم َع ال َّشا ِه ِدينَ (آل عمران
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti
rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang
keesaan Allah)". (QS. 3. Ali Imraan:53)
Dalam kisah hidup Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam kita juga menemukan
kecepatan reaksi para sahabat Rasulullah ketika mereka menerima seruan Nabi. Hal ini karena mereka
ingin mengikuti keteladanan para hawariy Isa dalam menolong agama Allah,
َ اريُّونَ نَحْ نُ أَ ْن
Uْ آ َمنUَا ُر هَّللا ِ فUص
َت ِ ال ْال َح َوU
َ َاري إِلَى هَّللا ِ ق َ اريِّينَ َم ْن أَ ْن
ِ Uص ِ َوUرْ يَ َم لِ ْل َحUى ابْنُ َمUيس
َ ا َل ِعUَار هَّللا ِ َك َما ق
َ صَ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا أَ ْن
َ َّ َ
)14:ت طَائِفَة فَأيَّ ْدنَا ال ِذينَ آ َمنُوا َعلَى َع ُد ِّو ِه ْم فَأصْ بَحُوا ظَا ِه ِرينَ (الصف ٌ ْ ْرائيل َو َكفَ َرَ ٌ
طَائِفَة ِم ْن بَنِي إِس
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa
putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia:"Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?". Pengikut-pengikut yang setia itu
berkata:"Kamilah penolong penolong agama Allah!", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan
segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap
musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61. As Shof:14)
Kecepatan merespon perintah pemimpin sangat penting dalam gerakan dakwah Islam. Ini
dicontohkan sahabat, Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: Ketika ayat ini diturunkan:
ِ ان أَ ْن آ ِمنُوا بِ َربِّ ُك ْم فَآ َمنَّا َربَّنَا فَا ْغفِرْ لَنَا ُذنُوبَنَا َو َكفِّرْ َعنَّا َسيِّئَاتِنَا َوتَ َوفَّنَا َم َع اأْل َ ْب َر
)193:ار (آل عمران ِ َربَّنَا إِنَّنَا َس ِم ْعنَا ُمنَا ِديا ً يُنَا ِدي لِإْل ِ ي َم
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu):"Berimanlah kamu kepada Tuhanmu"; maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah
bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah
kami beserta orang-orang yang berbakti. (QS. 3:193)
Jika kita membicarakan salah satu tokoh diantara tokoh ummat yang pernah hidup dalam perjalanan
sejarah, kita akan menemukan persamaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya. Persamaan itu
dapat kit aambil titik temunya, mereka adalah orang-orang yang memiliki:
Quwwatur-ruh, dan
Quwwatul qalb.
Dengan kekuatan ini, kuat pula segala hal lain yang mereka miliki.
Benar apa yang diungkapkan oleh Bisyr Al Khothib yang dikutip oleh Syekh Ahmad Rasyid dalam
kitabnya, katanya: “Cukuplah bagimu, engkau melihat orang-orang yang telah mati yang ketika
sejarah hidupnya dipelajari hati menjadi hidup, sebagaimana ada pula manusia-manusia yang hidup
diantara kita yang dengan melihatnya hati kita menjadi mati”.
Kalau pada zaman dahulu, ada kemurtadan, dan ada Abu Bakar, sehingga kemurtadan itu sirna.
1
Ini adalah judul buku yang ditulis oleh Abul Hasan An-Nadawi.
َر ِة إِاَّلUصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل إِ َّن فِي اللَّي ِْل لَ َسا َعةً اَل يُ َوافِقُهَا َر ُج ٌل ُم ْسلِ ٌم يَسْأ َ ُل هَّللا َ َخ ْيرًا ِم ْن أَ ْم ِر ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َّ ِْت النَّب
َ ي Uُ ال َس ِمع
َ َع َْن َجابِ ٍر ق
أ ْعطَاهُ إِيَّاهُ َو َذلِكَ ُك َّل لَ ْيلَ ٍة َ
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 92
Sekarang ini ada masyarakat, mana Hasan Al Banna-nya?!!
Dari Jabir r.a., ia barkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada malam
hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah
suatu kebaikan dunia dan akhirat pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya) dan itu setiap
malam.” (H.R. Muslim dan Ahmad)
Qiyam al-lail merupakan sarana berkomunikasi seorang muslim dengan Rabbnya, merasa lezat
dikala munajat dengan penciptanya, ia berdo’a, beristighfar, bertasbih dan memujinya. Akhirnya yang
maha pengasih lagi maha penyayang mempermudah semua aspek kehidupan hambanya baik pribadi,
keluarga, masyarakat maupun negara. Begitu pula aspek da’wah, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya
maupun politik. Dia akan dekat dengan Rabbnya, diampuni dosanya, dihormati sesama dan menjadi
penghuni surga yang disediakan untuknya.
Orang yang kontinyu mengerjakan qiyam al-lail pasti dicintai dan dekat dengan Allah
“lazimkan dirimu untuk shalat malam, karena hal itu tradisi orang-orang shalih sebelummu,
mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit dan pencegah dari dosa”
(HR. Ahmad)
Dapat dipahami bahwa qiyam al-lail selain medekatkan diri kepada Allah dapat mencetak keshalihan
dan selamat zhahir dari penyakit dan batin dari lumuran dosa.
Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin salam dari Nabi SAW beliau bersabda :
“Wahai manusia sebarkanlah salam, berikanlah makanan dan shalt malamlah pada waktu orang-
orang tidur, kalian kan masuk surga dengan selamat”.
Seorang da’i yang ingin berhasil da’wahnya harus menabur kasih sayang kepada seluruh lapisan
masyarakat hal itu dapat digapai dengan wajah yang berseri-seri, mengucapkan salam, mengulurkan
bantuan dan silatu al-rahim dan pada malam hari memohon kepada Allah diawali dengan qiyam al-lail
, namun mereka yang kontinyu melaksankan qiyam al-lail sangat sedikit jumlahnya, semoga kita
termasuk kelompok ini yang dapat masuk surga tanpa dihisab.
Qiyam al-lail memerlkan kesungguhan dan kebulatan tekad, jika demikian akan sangat
mudah merealisasikannya dengan izin Allah, berikut ini kiat-kiat pendorong meninggalkan
tempat tidur untuk bermunajat dengan yang maha pengasih.
Inilah yang dapat disajikan kepada ikwan-akhwat tentang urgensi , keutamaan dan kiat-kiat qiyam al-
lail. Semoga memberikan motivasi kepada kita menjadi orang yang dekat dengan Allah, mulya disisi
Allah dan disisi manusia yang akhirnya menjadi penghuni surga.
Dengan demikian, thobi’at da’wah itu adalah ‘aammah (umum). da’wah khoshshoh bukan merupakan
suatu badil (pengganti) bagi da’wah ‘aammah, tetapi lebih merupakan penunjang bagi da’wah
‘aammah, karena da’wah ‘aammah belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya.
Berinteraksi dengan masyarakat ini dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan
mizanud-da’wah. Sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah al mu’amalah bilmitsli.
َ ْا ِملُوUا تُ ِحبُّ أَ ْن يُ َعUاس بِ َم
Sedangkan sikap ta’amul da’wah adalah ِهUِك ب َ َّا ِملُوْ ا النUَع. Bagaimana atau apa yang
seharusnya kita berikan kepada masyarakat.
Berinteraksi Dengan Para Da’i Yang Lain
Yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaffi dengan kita.
Kita memiliki tujuan umum yang sama, yaitu : membela Islam dan memajukan ummat.
Namun demikian, kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).
اختَلَ ْفنَا فِ ْي ِه ُ َويُ ْع ِذ ُر بَ ْع،( نَتَ َعا َونُ فِ ْي َما اتَّفَ ْقنَا فِ ْي ِهMenjalin kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan
ْ ضنَا َب ْعضًا فِ ْي َما
bersikap toleran dalam hal-hal yang ikhtilaf).
Menyenangi ijma’ untuk mencapai al wihdah al fikriyyah dan tidak senang nyeleneh (syadz). Syadz
berbeda dengan ghoriib (aneh, asing, tidak dikenal, atau lupa dikenal). Syadz artinya bertolak belakang
dengan yang shahih. Sedangkan ghariib adalah sesuatu yang baik yang tidak atau belum dikenal oleh
masyarakat banyak. Karena inilah Rasulullah saw bersabda:
) اَلَّ ِذ ْينَ يُصْ لِحُوْ نَ َما أَ ْف َس َد النَّاسُ (الحديث،َر ْيبًا َك َما بَدَأَ فَطُوْ بَى لِ ْل ُغ َربَا ِء ِ بَدَأَ ْا ِإل ْسالَ ُم غ
ِ َر ْيبًا َو َسيَعُوْ ُد غ
Islam datang sebagai sesuatu yang ghariib (asing dan tidak dikenal) dan ia akan kembali asing
sebagaimana saat datang pertama kalinya, maka beruntung sekali orang-orang yang ghariib itu, yaitu
orang-orang yang meng-ishlah (memperbaiki) apa yang dirusak oleh orang lain. (Hadits).
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 101
Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’ashshub (fanatisme).
ِ َ الَتُ ْف ِس ُد لِ ْل ُو ِّد قPersoalan apapun tidak boleh merusak mawaddah (rasa saling mencintai) antar sesama
ٌضيَّة
kaum muslimin. Pernah Hasan Al Banna difitnah bahwa janah ‘askari (sayap militer) akan menyerang
jama’ah jihad. Tentu saja pimpinan jama’ah jihad marah dan meminta dialog dengan Hasan Al Banna
untuk mengeluarkan segala unek-uneknya. Hasan Al Banna hanya menjawab: saamihuuni (ma’afkan
saya).
Khilaf itu silahkan dikaji secara ilmiyyah dalam suasana jernih dan ukhuwwah, dan jangan hanya
berhenti sebatas apologetik (pembelaan diri) saja.
Berinteraksi Dengan Tokoh Masyarakat
Tempatkanlah mereka sesuai dengan kedudukannya.
)َازلَهُ ْم (الحديث َ َّاِ ْن ِزلُوْ ا الن
ِ اس َمن
Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya (Al Hadits)ز
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sufyan ra waktu fathu Makkah, beliau saw
bersabda: “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman …”.Dalam kejadian ini
Rasulullah saw menjadikan rumah Abu Sufyan sebagai baitul qashiidi (rumah yang dituju), dan
kedudukan Abu Sufyan tidak direbut, justru di-ta’ziz.Hormatilah mereka di tengah-tengah para
pengikutnya.
Sa’ad bin Mu’adz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil keputusan hukum atas Bani
Quraizhah, Rasulullah saw bersabda: Quumu ila sayyidikum.
Sebutkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.
Ketika pemilihan khalifah di Tsaqifah Bani Sa’idah, pidato Abu Bakar sangat bijak. Ia menyebut-
nyebut nikmat Islam, jasa-jasa Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu, kaum
Anshar ikut mendukung.
Dalam sebuah munasabah (kesempatan) Hasan Al Banna juga pernah diminta untuk mengisi acara
semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’, sehingga terjadi konflik
dengan ulama’ disekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik tersebut
kepada Hasan Al Banna sebelum acara dimulai, maka Hasan Al Banna meminta ijin untuk mendatangi
para ulama’ itu satu persatu untuk memohon ma’af kepada mereka. Setelah itu barulah beliau memulai
ceramahnya. Dalam ceramahnya beliau menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa mereka terhadap
Islam. Akhirnya para ulama’ itu mendatangi tempat di mana Hasan Al Banna berceramah.
Menjalin hubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.
Rasulullah saw menghubungi tokoh Thaif serta mendo’akan mereka.
Umar At-Tilmisani ketika Anwar Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan: “Inna Lillahi wa inna
ilaihi Raji’un”. Ucapan ini membuat tercengang semua ikhwa yang mendengar, sebab Anwar Sadatlah
yang menghukum dan menyiksa ikhwah termasuk syekh Umar.
Memperhatikan kepentingan bersama
Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik yang berbeda.
Materi Tarbiyah Muntasib DPD Depok 102
Hasan Al Banna dalam berda’wah memulai dari titik-titik yang sama, kemudian mendudukkan poin-
poin yang berbeda.
Berinteraksi Dengan Tetangga dan Kolega
Menjaga hak-hak tetangga.
Tidak mengganggu mereka.
Berbuat baik dan menghormatinya serta berbuat ihsan kepada mereka, minimal berwajah ceria di
hadapan mereka dan ramah.
Memperhatikan mereka dan memeriksa keadaan mereka. “Jika membuat sayur, perbanyaklan airnya,
dan perhatikan tetangga”.
Mendengarkan mereka.
Shabar. Ingat peristiwa Rasulullah saw dengan tetangganya yang Yahudi.
Menda’wahi mereka dan mendo’akan mereka.
Beirnteraksi Dengan Non Muslim
Mu’amalah dengan yang setimpal.
Tidak mengakui kekufuran mereka.
Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
Mengasihani mereka dengan rahmah basyariyyah.
Menunjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.