Anda di halaman 1dari 5

Cost Accounting & Cost Recovery

Industri Minyak dan Gas Bumi

Disusun Oleh :
Nisrina Zulfa Fitriani 142180141
Ismi Alifah 142180144
Bakti Rahayuningsih 142180145
BAB 1
PENDAHULUAN

Sebagai komoditas yang telah menunjang industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi dunia selama
lebih dari satu abad, minyak dan gas bumi (migas) pada saat ini memenuhi lebih dari dua pertiga
kebutuhan dunia akan energi. Usaha hulu migas merupakan kegiatan yang sulit, membutuhkan
modal besar, dengan jangka waktu sangat panjang. Dalam upaya mengendalikan risiko, Indonesia
sebagai salah satu Negara penghasil minyak dan gas bumi melaksanakan kegiatan usaha hulu migas
melalui sistem kontrak yang disebut sebagai Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil). Dalam
kontrak tersebut, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berkewajiban untuk melaksanakan operasi
perminyakan dengan menyediakan dana, menanggung resiko, menyediakan teknologi berikut
tenaga profesional sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sebagai kontraprestasi,
KKKS mempunyai hak untuk melaksanakan operasi perminyakan, menggunakan peralatan dan
sarana yang dibeli atau disewa sesuai rencana kerja dan anggaran, memperoleh pengembalian yang
diistilahkan sebagai cost recovery (pemulihan biaya) sesuai prinsip akuntansi, dan memperoleh
pembagian hasil produksi setelah dikurangi cost recovery. Ketentuan cost recovery dalam PSC secara
khusus diatur dalam Section V (1.2) tentang Pemulihan Biaya Operasi dan Penanganan Produksi
(Recovery of Operating Cost and Handling of Production). Secara garis besar, komponen utama
dalam cost recovery terdiri dari biaya non kapital (biaya operasi) tahun berjalan, biaya depresiasi
atas biaya modal, dan biaya operasi tahun sebelumnya yang belum mendapatkan penggantian. Hasil
penelitian menunjukkan adanya perbedaan penafsiran antara kedua belah pihak akibat klausula
kontrak mengenai penjelasan biaya operasi yang bersifat terbuka, tidak terkecuali mengenai jumlah
dan penentuan biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya operasi terkait cost recovery. Tidak
adanya batasan yang jelas mengenai biaya-biaya yang dapat dibebankan menyebabkan kritik publik
terhadap pembebanan biayabiaya yang tidak relevan dengan operasi perminyakan oleh KKKS,
sementara disisi lain KKKS menghendaki adanya kepastian hukum. (DHANI, Melisa Sekar,
Drs.Paripurna S., S.S.,M.Hum.LL.M)
BAB 2
PEMBAHASAN

Sistem PSC dalam Pengelolaan Migas

PSC, atau Production Sharing Contract, adalah mekanisme kerjasama pengelolaan


migas antara Pemerintah dan kontraktor. Sistem ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo pertama
kali pada tahun 1960, namun baru benar-benar diterapkan pada tahun 1964.

Sekilas tentang kontrak bagi hasil ( Production Sharing)


Sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia adalah didasarkan pada Kontrak
Bagi Hasil (PSC- Production Sharing Contract  ). Pada masa itu, berdasarkan UU No 8 Tahun
1971, tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, Pertamina ditunjuk
oleh Pemerintah untuk mewakilinya dalam melakukan kontrak dengan pengusaha migas,
yang pada umumnya merupakan perusahaan asing. Artinya, untuk dan atas nama pemerintah,
Pertamina melakukan kontrak dengan perusahaan asing dan sekaligus mengawasi
pelaksanaan kontrak tersebut.

UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merubah PSC menjadi
Kontrak Kerjasama (KKKS). Undang-Undang ini sekaligus mengalihkan pengelolaan
kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina kepada Badan Pelaksana Kegiatan
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2002, BPMIGAS merupakan aparat pemerintah. Dalam PSC, Pemerintah (c.q. Pertamina)
membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih
merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas ( lifting ) dengan biaya pokok atau
biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor
migas disebut sebagai  Equity to be Split  (ETBS). Perhitungan bagi hasil antara pemerintah
dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun. Pada hakikatnya, biaya operasi yang
timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh pemerintah.
Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi
tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi, peralatan dan
keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut dan menanggung
semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut
dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery
.
Cost recovery adalah satu istilah yang umum digunakan dalam hal pengembalian dana yang akan
atau telah digunakan pada operasi kegiatan bisnis hulu minyak dan gas bumi (Migas). pihak
kontraktor perlu menyiapkan dana atau modal awal untuk memenuhi segala kebutuhan biaya
selama proyek tersebut berlangsung, misalnya dari tahap explorasi migas hingga tahap
pengembangan ladang migas. Dana yang telah dikeluarkan oleh pihak kontraktor nantinya akan
dikembalikan dalam bentuk pembagian persentase hasil penjualan migas. Jadi dengan kata lain,
pengembaliannya tidak dilakukan secara tunai maupun transfer dana melainkan dengan sistem bagi
hasil.
Prinsip-prinsip umum PSC adalah:

1. kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara;


2. kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi
biaya-biaya (cost recovery);  resiko ditanggung oleh kontraktor;
3. aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara;
4. kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih
mereka; kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25%
dari bagian mereka.

Skema Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja
minyak dan gas bumi (migas) antara Pemerintah dan Kontraktor Migas yang di
perhitungkan di muka. Melalui skema gross split, Negara akan mendapatkan bagi hasil
migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara
menjadi lebih pasti. Negara pun tidak akan kehilangan kendali, karena penentuan wilayah
kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil masih ditangan Negara. Oleh
karenanya, penerapan skema ini diyakini akan lebih baik dari skema bagi hasil
sebelumnya yaitu Kontrak Bagi Hasil (skema cost recovery). Dengan skema gross split,
biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi
hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan
Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi
merupakan tanggung jawab Kontraktor. Semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya
semakin baik. Model gross split ini mirip dengan model royalti, namun eksekusi program
dan pelaksanaannya mengikuti kontrak bagi hasil. Dengan tetap mempertahankan model
kontrak bagi hasil, maka pemerintah memiliki akses relatif leluasa untuk mengatur.
Termasuk di antaranya mempertahankan prinsip dasar kontrak kerjasama, yaitu:
kepemilikan sumber daya alam dan aset ada pada pemerintah, pengalihan risiko kepada
investor dan mewajibkan investor untuk menyediakan dana

Anda mungkin juga menyukai