Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANING ATAS TRANSAKSI KHUSUS


Aspek Perpajakan atas Join Operation (JO), Pengertian dan Contohnya
Dosen : Bpk. Irsan Lubis, S.E.,Ak.,M.Akt.,BKP.,CAP

Dibuat oleh:
Ridho Jatmiko Utama, SE
NIM: 2250100038

FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI


PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI 2023

INSTITUT KEUANGAN PERBANKAN DAN INFORMATIKA ASIA


(ASIA BANKING FINANCE AND INFORMATICS INSTITUTE)
PERBANAS
2023
I. Pendahuluan
Ekspansi bisnis telah menjadi impian sebagian besar pengusaha. Sebagai wujud
realisasi mimpi tersebut, pengusaha perlu menimang bentuk usaha yang paling
menguntungkan dengan resiko terkecil serta dukungan modal yang cukup. Selain itu,
ada saatnya pengusaha mengajak mitra usahanya untuk membentuk suatu kerja sama,
salah satunya dengan joint operation.
Sejarah awal mula Joint Operation diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1991
sebagai bentuk kemitraan antara badan usaha jasa konstruksi asing (BUJKA) dengan
badan usaha jasa konstruksi nasional (BUJKN). Model kerja sama seperti joint
operation kerap diaplikasikan pada proyek infrastruktur skala besar yang
berkarakteristik kompleks, berteknologi tinggi, dan berisiko besar. Namun, saat ini joint
operation sudah banyak dijalankan untuk kerja sama perusahaan di bidang
telekomunikasi hingga makanan.
Awal keberadaannya, joint operation diperkenalkan di Indonesia menggunakan
regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.50/PRT/1991 dan perubahan terakhir
dari regulasi tersebut ialah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2011.
Dalam regulasi tersebut, joint operation bersifat sementara dan bukan
merupakan bentuk badan hukum baru. regulasi tersebut sebenarnya mengatur syarat
pemberian izin perwakilan konsiderannya untuk mendorong peningkatan kemampuan
usaha jasa konstruksi nasional dan perekonomian nasional. Dalam mencapai tujuan dari
regulasi tersebut maka setiap BUJKA akan melaksanakan aktivitas proyeknya di
Indonesia diwajibkan menjadi mitra dengan BUJKN. Model kerja sama ini
menguntungkan Indonesia lantaran BUJKA diwajibkan melakukan transfer of
knowledge kepada partner lokalnya.

II. Definisi

Dasar Hukum Uraian Definisi


Surat Dirjen Pajak Joint Operation merupakan bentuk perkumpulan dua badan atau
Nomor lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dengan
S-323/PJ.42/1989 jangka waktu sementara hingga proyek tersebut selesai dilaksanakan
Kerja Sama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara
Surat Dirjen Pajak
hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek
No.S-823/PJ.321/2002
tersebut tuntas dikerjakan.
Peraturan Dirjen Pajak Joint Operation tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yang
menyebutkan pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur
bahwa para pihak yang disebut operator bersama telah memiliki
No.PER-04/PJ.2020 pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset dan kewajiban
terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan atau memperoleh
barang dan jasa atas nama kerja sama operasi atau joint operation.
Operasi bersama (joint operation) adalah pengaturan bersama yang
mengatur para pihak untuk memiliki pengendalian bersama atas
PSAK 66
pengaturan memiliki hak atas aset dan kewajiban terhadap liabilitas
terkait menggunakan pengaturan tersebut.

III. Tujuan Joint Operation


Umumnya, suatu perusahaan melakukan joint operation untuk memperluas
wilayah usaha atau meningkatkan kualitas produknya. Sebagai contoh perusahaan
makanan dan minuman dalam negeri yang bekerja sama dengan pemegang merek es
krim luar negeri untuk mencapai target pasar dan meningkatkan hasil penjualannya.
Perusahaan asing tersebut memilikAi maksud untuk menjajaki pasar lokal dengan
bekerja sama dengan perusahaan domestik agar merknya lebih dikenal dan mudah
berekspansi kedepannya.

IV. Tipe Joint Operation


a) Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak
dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO.
Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari
perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek
berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian
modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya
bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan
pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-
masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

b) Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering
disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat
langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya
bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner
berada pada masing-masing anggota.

V. Mekanisme Perpajakan Joint Operation


Joint Operation tidak termasuk Subjek Pajak PPh, maka penghasilan yang
diterima suatu Joint Operation sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang
besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian.
Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau
diperoleh Joint Operation (J.O.) dari WP Badan Dalam Negeri dan Perseorangan yang
ditunjuk (selanjutnya disebut : Pemberi Hasil), dipotong PPh Ps. 4 ayat (2), maka bukti
potong PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota Joint
Operation agar dapat dikreditkan.
Joint Operation tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan
dan membayar PPh Pasal 25 dan Pasal 29. Kewajiban yang ada hanya sebagai
pemotong/pemungut PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26
dan PPN.

VI. Aspek Perpajakan Kerjasama Operasi (Joint Operation)


Kerja Sama Operasi dibentuk ketika seorang pengusaha melihat peluang
investasi, tetapi tidak memiliki dana, asset atau tenaga ahli yang cukup. Untuk dapat
memanfaatkan peluang tersebut, pengusaha itu akan mengajak mitra lain untuk
memanfaatkan peluang dengan cara membentuk Kerja Sama Operasi (KSO). Kerjasama
Operasi (Joint Operation) tersebut merupakan usaha gabungan bersifat sementara
antara satu atau beberapa Badan Usaha.
1.   baik nasional dengan nasional,
2.   maupun nasional dengan asing,
yang dinyatakan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi (Joint Operation Agreement)
yang menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak atas kerjasama
tersebut.Perjanjian KSO ada yang dibuat dengan akta dibawah tangan ataupun dalam
bentuk legalisasi oleh notaries.
Di Indonesia Kerja Sama Operasi umumnya terjadi pada bidang konstruksi.
Untuk dapat mengerjakan proyek konstruksi, perusahaan harus mempunyai Surat Izin
Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Perusahaan biasanya melakukan KSO dengan
melakukan penggabungan atas kepemilikan sumber daya:
1.   Personel yaitu: Sumber Daya Manusia atau Personil Inti/Tenaga Ahli yang
cukup;
Salah satu persyaratan guna memperoleh SIUJK dengan Klasifikasi Kecil adalah
perusahaan harus mempunyai pekerja yang mempunyai Sertifikat Tenaga Terampil
(SKT) dengan ijazah SMU/STM . Sedangkan SIUJK dengan Klasifikasi Besar,
perusahaan harus mempuiyai pekerja dengan Sertifikat Tenaga Ahli STA) dengan
ijazah S1 sesuai bidanng keahliannya (Sipil, Elektrik, Arsitek).

2.   Modal perusahaan atau Kekayaan Bersih;


Untuk dapat melaksanakan proyek besar, biasanya pemilik proyek mensyaratkan
bahwa vendor harus memiliki modal bersih yang cukup (diatas Rp 1 milyar).

3.   Peralatan Utama dan Fasilitas lain,  yang diperlukan dalam pengadaan


barang/jasa;
a)   Adakalanya perusahaan mempunyai peralatan utama untuk mengerjakan proyek
(seperti: traktor, buldoser, dan alat berat lainnya) namun tidak memiliki dana
yang cukup untuk melaksanakan proyek konstruksi.
b)   Fasilitas Lain adalah priviliege yang diberikan oleh pemerintah kepada
pengusaha local bahwa  Badan Usaha asing dalam melakukan kegiatannya di
Indonesia harus membentuk kerjasama operasi (joint operation) dengan Badan
Usaha nasional yang berbadan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Nomor 11a Tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi.

VII. Kewajiban Perpajakan


1. Administrative JO
a) Sebagai Subjek Pajak
Joint operation merupakan bentuk kerjasama operasi antara 2 (dua)
badan atau lebih atas suatu proyek hanya sampai dengan proyek tersebut selesai,
dengan demikian joint operation bukan merupakan subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU Pajak Penghasilan.
Kewajiban Pajak Penghasilan Badan terletak pada masing-masing
anggota Joint Operation, kewajiban memiliki NPWP terhadap Joint Operation
adalah sebagai Wajib Pajak Pemotong dan Pajak Pertambahan Nilai.
Dikarenakan Joint Operation merupakan subjek Pajak Pertambahan Nilai
maka Joint Operation dan masing-masing anggota Joint Operation wajib
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b) Sebagai Pemotong Pajak
Kewajiban pemotong pajak sama dengan kewajiban subjek pajak pada
umumnya yaitu, kewajiban mendaftar, kewajiban menghitung pajak yang
dipotong, kewajiban menyetor/membayar pajak yang dipotong dan kewajiban
melaporkan pemotongan pajak yang dilakukannya setiap masa pajak.

c) Sebagai Pengusaha Kena Pajak


Kewajiban Pengusaha Kena Pajak adalah:
1. Mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila
sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa
kena pajak melebihi Rp4.800.000.000 (empat milyar delapan ratus juta
rupiah) (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013);
2. Membuat Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PPN;
3. Menghitung PPN yang masih harus dibayar yaitu dengan cara
mengkreditkan Pajak Masukan dalam suatu masa pajak kepada Pajak
Keluaran masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2));
4. Membayar Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar paling lambat
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (1));
5. Melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (2)).

d) Kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai pada


Administrative Joint Operation
Seluruh kontrak Administrative JO ditandatangani atas nama JO,
sehingga JO model ini bertindak layaknya badan usaha yang terpisah dengan
anggota JO. Dengan alasan tersebut seluruh kewajiban perpajakan kecuali
kewajiban Pajak Penghasilan Badan berada pada JO.
(1) Kewajiban PPh Pasal 21
JO wajib melakukan pemotongan atas pembayaran sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.
Yang berbeda dengan Wajib Pajak Badan pada umumnya, dalam
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21, JO diwajibkan melampirkan Daftar
Biaya (Formulir 1721-V) yang bentuk formulirnya dapat ditemukan di
Peraturan Dirjen Pajak Nomor 14/PJ/2013. Formulir tersebut hanya
dilaporkan pada masa Desember saja.

(2) Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26
Kewajiban pemotongan, pembayaran dan pelaporan PPh atas
pembayaran/biaya yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23,
dan Pasal 26 sama dengan Wajib Pajak pemotong lainnya.

(3) Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai penerima penghasilan


Pengguna jasa konstruksi dari JO wajib melakukan pemotongan
imbalan jasa konstruksi kepada JO. Pada prinsipnya Joint Operation tidak
termasuk sebagai subyek Pajak Penghasilan, oleh karena itu penghasilan
yang diterima suatu joint operation sebenarnya adalah penghasilan para
anggota yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian
pembentukan joint operation.
Dengan demikian pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan suatu
joint operation hakekatnya adalah pengenaan Pajak Penghasilan atas
penghasilan anggota JO yang besarnya sesuai dengan bagian masing-masing
anggota dalam perjanjian JO.
Apabila suatu JO menerima penghasilan yang dikenakan PPh final,
maka pengenaan PPh final atas penghasilan tersebut hakekatnya adalah atas
penghasilan anggota JO.
Tata cara pemecahan bukti potong mengikuti SE-44/PJ.1994 tentang
Pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23. Walaupun SE-44/PJ.1994 hanya
mengatur PPh Pasal 23 tetapi masih relevan digunakan untuk melakukan
pemecahan bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) mengingat dua-duanya
merupakan bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan masing-masing
anggota, hal ini ditegaskan Dirjen Pajak menggunakan S-251/PJ.313/1998.
Tata cara pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai
berikut:
a) Dalam hal penerima jasa sudah melakukan pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2) atas nama JO, JO dapat mengajukan permohonan pemecahan
bukti pemotongan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana JO
terdaftar. Selanjutnya KPP dimana JO terdaftar melakukan
pemindahbukuan ke KPP dimana masing-masing anggota JO terdaftar
sesuai proporsi bagi hasil;
b) Dalam hal penerima jasa belum melakukan pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2), JO dapat mengajukan pemecahan bukti potong kepada
penerima jasa yang selanjutnya akan menerbitkan bukti pemotongan
PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO qq. Masing-masing anggota JO
sesuai dengan proporsi bagi hasil.

4. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai


Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
2012 sebagaiman telah diubah terkahir kali dengan Peraturan Pemerintah
No.44 Tahun 2022 tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Administrative
JO (yang melakukan kontrak/perjanjian atas nama JO) wajib dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi logis dari hal tersebut JO bentuk ini mempunyai
kewajiban PPN secara penuh yaitu mendaftar, menghitung, membayar dan
melapor.

5. Kewajiban pembukuan memenuhi ketentuan Pasal 28 UU KUP


Tujuan utama dari pembukuan/pencatatan dalam pasal 28 UU KUP
adalah agar pajak terutang dapat dihitung. Untuk memenuhi hal tersebut JO
wajib membuat catatan mengenai peredaran usaha (merupakan objek PPh
Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi dan PPN) dan biaya yang dikeluarkan
untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong oleh JO.

2. Non-Administrative JO
Seluruh pekerjaan dan tanggung jawab terhadap penerima jasa konstruksi
Non-Administrative JO dilakukan oleh masing-masing anggota JO. Oleh karena itu
seluruh kewajiban perpajakan berkaitan dengan transaksi tersebut menjadi tanggung
jawab masing-masing anggota JO. Dengan begitu Non-Administrative JO tidak
perlu mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP dan tidak perlu juga dikukuhkan
sebagai PKP.

VIII. Contoh Kasus

Untuk menggambarkan penghematan pajak dengan penggunaan joint operation


akan menggunakan contoh kasus antara joint operation dan pendirian perusahaan baru.
Pemilihan pendekatan PT baru karena PT baru merupkan bentuk usaha yang paling
menyerupai dengan joint operation.

Sebagai contoh kasus sebagai berikut : PT. Jaya,PT. Indah, PT. Sentosa telah
sepakat untuk membuat joint operation pembangunan apartmen dengan porsi
kepemilikan Pt. Jaya 62%,PT. Indah 33% dan PT. Sentosa sebesar 5%. Dalam
pembentukan joint operation ini PT. jaya menyerahkan modalnya dengan tanah seluas
10 Ha seharga 124 miliar rupiah, PT. Indah menyerahkan modalnya berupa uang tunai
sebesar 66 miliar rupiah dan PT Sentosa senilai 10 miliar rupiah. Proyek apartmen
tersebut sukses besar dan terjual seluruhnya dengan penjualan 2.094 unit dengan harga
jual perunit 495 juta sehingga menghasilkan total penjualan sebesar
Rp.1.036.530.000.000. Pada akhir tahun diketahui laba bersih JO Jaya Indah sebesar
Rp.233.108.372.093
Berdasarkan kasus tersebut penulis akan menjabarkan aspek-aspek perpajakan
dan perhitungan perpajakan dengan membandingkan perpajakan joint operation Jaya
Indah dan baru dengan nama PT. Jaya Indah.
1. Analisa Aspek Perpajakan jika menggunakan joint operation
a) Kewajiban Perpajakan
Berdasarkan UU PPh Pasal 2 ayat (1) huruf b joint operation tidak
termasuk ke dalam pengertian subjek pajak badan. Meskipun bukan merupakan
subjek pajak badan, namun JO wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kewajiban ini semata – mata hanya untuk
memenuhi kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
Joint operation juga tidak berkewajiban untuk membayar dan/atau melaporkan
PPh pasal 25 dan melaporkan SPT Badan.
b) Aspek Perpajakan Penyertaan Atas Modal

Berdasarkan UU PPh Pasal 2 ayat (1) huruf b joint operation tidak


termasuk kedalam pengertian subjek pajak badan, oleh karena itu penyerahan
tanah PT. Jaya senilai 124 miliar bukan merupakan objek pajak. Ketentuan ini
dipertegas dengan UU PPh pasal 4 ayat (3) huruf c yang menyatakan “harta
termasuk setoran tunai yang diterima sebagai penganti penyertaan modal bukan
merupakan objek pajak. Joint operation merupakan bentuk kerjasama, oleha
karena penyerahan tanah oleh PT. Jaya tidak termasuk definisi penyerahan
berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2016 sehingga tidak terutang BPHTB.
Sehingga atas aspek ini dapat disimpulkan seperti tabel di bawah ini:
Keterangam PT. Jaya PT. Indah PT. Sentosa JO Jaya Indah
Pajak 0 0 0 0
Penghasilan
Tabel 1 : PPh setoran modal kepada joint operation

c) Aspek Pajak Penghasilan atas penjualan property


Berdasarkan data-data penjualan yang telah disebutkan di atas, berikut
ini adalah perhitungan jumlah penghasilan atas penjualan unit perumahan yang
diterima oleh joint operation besarta perhitungan PPh finalnya berdasrkan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016.
Keteangan Joint operation
Jumlah unit 2.094 unit
Harga jual/unit Rp.495.000.000
Total penjualan Rp.1.056.530.000.000
Total PPh Final 2,5% Rp. 25.913.250.000
Tabel 2 : Penghasilan penjualan properti dan PPh final
Dikarenakan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah joint operation maka PPh final atas pengalihan ha katas
tanah/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota joint operation
sesuai dengan proporsi yang telah disepakti pada awal.
Keterangan Persentase kepemilikan PPh Final
JO Jaya Indah Sentosa - Rp.25.913.250.000
PT. Jaya 62% Rp. 16.066.215.000
PT. Indah 33% Rp. 8.551.372.500
PT. Sentosa 5% Rp.1.295.662.500
Tabel 3 : PPh Final penjualan apartmen

d) Aspek Pajak Pengasilan Atas Laba Bersih


Atas laba bersih yang diterima oleh JO langsung dibagikan kepada
masing- masing badan yang bergabung dalam JO. Laba bersih tersebut akan
menambah laba bersih masing-masing badan yang bergabung dalam JO dan
akan dikenakan pajak penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku
Keterangan Kepemilikan Laba Bersih
JO Jaya Indah Sentosa - Rp.233.018.372.093
PT. Jaya 62% Rp.144.471.390.698
PT. Indah 33% Rp.76.896.062.791
PT. Sentosa 5% Rp.11.650.918.605
Tabel 4 : pembagian laba usaha joint operation

2. Badan (Perseroan Terbatas)


a) Kewajiban Perpajakan
Perseroan terbatas merupakan subjek pajak badan sebagaimana
dimaksud dalam UU PPh Pasal 2 ayat 1 (1) huruf b. PT wajib mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP, kewajiban perpajakan PT adalah sebagai pembayar
pajak, pemotong dan/atau pemungut serta melaporkan SPT Tahunan Badan.
b) Aspek pajak Penghasilan atas penyerahan modal
Penyerahan modal awal baik berupa uang tunai maupun tanah tidak
terhutang pajak penghasilan sebagaimana UU PPh Pasal 4 ayat (3) huruf c yang
menyatakan “harta termasuk setoran tunai sebagai penganti saham atau penganti
penyertaan modal tidak termasuk objek pajak”. Namun penyerahan tanah
terhutang PPh Final atas pengalihan atas hak atas tanah dan/atau banggunan
sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2016 dengan tarif
final sebesar 2,5% karena dianggap penyerahan terhadap entitas lain.
Keterangan Pt. Jaya Pt. Indah PT. sentosa PT. Jaya
Indah
Sentosa
Pajak Rp.3.120.181.53 0 0 0
Penghasilan 1
Tabel 5 : PPh setoran modal kepada PT baru

c) Aspek Pajak Penghasilan atas Penjualan Properti


Pajak final penghasilan atas penjualan properti penjualan apartmen
semuanya ditanggung oleh PT. Jaya Indah Sentosa tidak dilakukan pemecahan
atau pembagian PPh final kepada 3 PT yang melaukan modal awal karena
PT. Jaya Indah Sentosa merupakan badan tersendiri.
Keteangan Joint operation
Jumlah unit 2.094 unit
Harga jual/unit Rp.495.000.000
Total penjualan Rp.1.056.530.000.000
Total PPh Final 2,5% Rp. 25.913.250.000
Tabel 6 : Pengasilan penjualan properti dan PPh

Keterangan Persentase kepemilikan PPh Final


PT. Jaya Indah Sentosa Rp.25.913.250.000
PT. Jaya 62% -
PT. Indah 33% -
PT. Sentosa 5% -
Tabel 7 : PPh Final penjualan apartmen

d) Aspek Pajak Penghasilan atas Laba Bersih dan Deviden


Atas laba bersih PT baru akan dikenakan pajak penghasilan berdasarkan
UU PPh Pasal 16 ayat (1) dan pasal 17 ayat (2a). Dikarenakan penghasilan PT
baru berupa penjualan apartmen yang telah dikenakan PPh final, maka tidak
terdapat penghasilan badan yang terutang sebagaimana beban pajak penghasilan
yang mengurangi laba bersih PT Jaya Indah Sentosa adalah PPh Final yang
telah dibayarkan atas penjualan apartmen.
Atas laba bersih yang diterima PT. baru setelah dikurangi penyisihan
untuk cadangan akan dibagikan kepada para pemegang saham yaitu PT. Jaya,
PT. Indah dan PT. Sentosa dalam bentuk dividen. Kepemilikan PT. Jaya
sebesar 62%, PT. Indah 33% dan PT. Sentosa sebesar 5%. berdasarkan UU PPh
Pasal 4 ayat (3) huruf f menyatakan “dividen yang diterima dengan kepemiikan
lebih dari 25% dari modal yang disetor bukan merupakan objek pajak”, oleh
karena itu dividen yang diterima PT. Jaya dan PT. Indah bukan merupakan
objek pajak.
Laba Bersih PT. Jaya PPh Dividen PT. Jaya PPh Dividen PT. PPh dividen PT.
Indah Sentosa (62%) Indah (33%) Sentosa (5%)
Rp.233.018.372.093 - - Rp.1.747.637.791

Tabel 8 : perhitungan PPh dividen

IX. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh penjabaran dua skenario diatas dan untuk memperjelas
penjabaran tersebut maka dirangkum dalam bentuk tabel rangkuman seperti berikut :

Keterangan Alternatif 1 pembentukan joint operation


PT. Jaya PT. Indah PT. Sentosa JO. Total
JIS
PPh Rp. - Rp. - Rp. - Rp. Rp. -
.Penyeraha -
n Modal
PPh atas Rp.16.066.215.000 Rp.8.551.372.500 Rp.1.295.662.500 Rp. Rp.
penjualan - 25.913.250.00
properti 0
PPh atas Rp. - Rp. - Rp. - Rp. Rp. -
laba -
PPh atas Rp. - Rp. - Rp. - Rp. Rp. -
dividen -
Jumlah Rp.16.066.215.00 Rp.8.551.372.50 Rp.1.295.662.50 Rp Rp.
0 0 0 .- 25.913.250.00
0
Tabel 9 : rangkuman alternatif 1 JO

Keteranga Alternatif 2 pembentukan PT baru


PT. Jaya PT. PT. Sentosa PT. JIS Total
n
Inda
h
PPh Rp.3.120.181.53 Rp. - Rp. - Rp. - Rp.3.120.181.531
penyeraha 1
n modal
PPh atas Rp. - Rp. - Rp. - Rp..25.913.250.0 Rp..25.913.250.0
penjualan 00 00
properti
PPh atas Rp. - Rp. - Rp. - Rp. - Rp. -
laba
PPh atas Rp. - Rp. - Rp.1.747.637.79 Rp. - Rp.1.747.637.791
dividen 1
Jumlah Rp.3.120.181.5 Rp. Rp.1.747.637.7 Rp.25.913.250.00 Rp30.781.069.32
31 - 91 0 2
Tabel 10 : pembentukan PT baru

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa dengan pembetukan joint


operation akan memberikan manfaat terhadap badan atau persereon yang terlibat
dengan pembayaran pajak total hanya sebesar Rp.25.913.250.000 berbanding jika harus
mendirikan PT. baru dengan pajak total sebesar Rp.30.781.069.322.
Joint operation walaupun mempunyai NPWP namun tidak termasuk subjek
pajak sehingga atas pajak yang diperolehnya dipecah kemudian dibagikan secara
proprosional menurut persentase kesepakan kepada badan yang tergabung didalamnya,
begitu juga apabila pada akhir tahun joint operation mendapat laba.

Anda mungkin juga menyukai