Anggota Kelompok :
1. Muhammad Nur Hidayah (155030407111033)
2. Murni Enesti Adu (155030407111031)
3. Katharina S. Sarman (155030407111029)
4. Katharina G. Murtiningsih ( 155030401111031)
5.Maria M. F. Ekawati (155030407111023)
6.Serraphine H. P. Maharani ( 155030400111024)
7. Kevin Adiyasa Pahlevi (155030401111036)
8. Esri Saragih (155030401111044)
Pengertian
Secara singkat, Joint Operation adalah kerjasama operasional antara dua badan usaha
untuk mengerjakan suau proyek. Bentuk badan usaha ini pada umumnya dibentuk untuk pelaku
usaha asing yang ingin melakukan pengerjaan proyek di Indonesia, dimana berdasarkan
peraturan di Indonesia, pelaku usaha asing tersebut membutuhkan partner lokal untuk dapat
mengerjakan proyek di Indonesia.
Dalam pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2011, dijelaskan
bahwa:
Kerjasama operasi (joint operation) adalah kerjasama usaha antara satu atau lebih BUJKA
dengan satu atau lebih BUJK, bersifat sementara untuk menangani satu atau beberapa proyek
dan tidak merupakan suatu badan hukum baru berdasarkan perundang-undangan Indonesia.
Dari definisi yang diberikan oleh peraturan diatas dapat diarikan bahwa Joint Operation
adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua badan hukum atau lebih, yaitu antara badan hukum
lokal dan badan hukum asing yang dipersamakan dengan Perseroan Terbatas, yang khusus
bergerak di bidang jasa konstruksi Dari ketentuan bidang perpajakan juga memberikan definisi
tentang Joint Operation.
Dalam Surat Dirjen Pajak N0. S-323/PJ.2/1989 tentang Masalah Perpajakan bagi Joint
Operation, mendefinisikan Joint Operation adalah kumpulan dua badan atau lebih yang
bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek penggabungan yag bersifat sementara sampai
proyek tersebut selesai
Dalam hal persyaratan tidak dapat dipenuhi, BUJK calon mitra kerjasama operasi mengajukan
permohonan persetujuan kepada Menteri
tenaga
kerja,
biaya
bersama (joint
cost) serta
pembagian
hasil (profit
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering
disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas
nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat
koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing
anggota.
Kewajiban Pajak Penghasilan Badan terletak pada masing-masing anggota Joint Operation,
kewajiban memiliki NPWP terhadap Joint Operation adalah sebagai Wajib Pajak Pemotong dan
Pajak Pertambahan Nilai.
Dikarenakan Joint Operation merupakan subjek Pajak Pertambahan Nilai maka Joint Operation
dan masing-masing anggota Joint Operation wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
b. Sebagai Pemotong Pajak
Kewajiban pemotong pajak sama dengan kewajiban subjek pajak pada umumnya yaitu,
kewajiban
mendaftar,
kewajiban
menghitung
pajak
yang
dipotong,
kewajiban
menyetor/membayar pajak yang dipotong dan kewajiban melaporkan pemotongan pajak yang
dilakukannya setiap masa pajak.
c. Sebagai Pengusaha Kena Pajak
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak adalah:
1. Mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila sampai dengan
suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto atas
penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak melebihi Rp4.800.000.000 (empat
milyar delapan ratus juta rupiah)(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013);
2. Membuat Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PPN;
3. Menghitung PPN yang masih harus dibayar yaitu dengan cara mengkreditkan Pajak
Masukan dalam suatu masa pajak kepada Pajak Keluaran masa pajak yang sama (Pasal 9
ayat (2));
4. Membayar Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar paling lambat akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (1));
5. Melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (2)).
Aspek Perpajakan non-Administrasi Joint Operation
Non-administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan
ke project owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan
melalui JO namun commercial invoice, faktu pajak dan bukti potong pph pasal 23 tetap atas
dasar perusahaan masing-masing anggota JO (Konsorsium). Dengan begitu Non-Administrative
JO tidak perlu mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP dan tidak perlu juga dikukuhkan
sebagai PKP.
Mengingat KSO Non Administratif bukan usaha yang berdiri sendiri, KSO Non Administratif
dapat mengabaikan penyelenggaraan pembukuan yang khusus bagi KSO. Pembukuan dapat
dicatat oleh masing-masing anggota KSO. Namun akan lebih baik jika pembukuan khusus untuk
KSO tetap diselenggarakan, antara lain agar:
Masing-masing anggota KSO dapat mengetahui jumlah dan jenis kontribusi yang
diberikan terhadap KSO;
2. Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26
Kewajiban pemotongan, pembayaran dan pelaporan PPh atas pembayaran/biaya yang
terutang PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26 sama dengan Wajib Pajak
pemotong lainnya.
3. Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai penerima penghasilan
Pengguna jasa konstruksi dari JO wajib melakukan pemotongan imbalan jasa konstruksi
kepada JO. Pada prinsipnya Joint Operation tidak termasuk sebagai subyek Pajak Penghasilan,
oleh karena itu penghasilan yang diterima suatu joint operation sebenarnya adalah penghasilan
para anggota yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian pembentukan
joint operation.
Dengan demikian pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan suatu joint operation
hakekatnya adalah pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan anggota JO yang besarnya
sesuai dengan bagian masing-masing anggota dalam perjanjian JO.
Apabila suatu JO menerima penghasilan yang dikenakan PPh final, maka pengenaan PPh final
atas penghasilan tersebut hakekatnya adalah atas penghasilan anggota JO.
Tata cara pemecahan bukti potong mengikuti SE-44/PJ.1994 tentang Pemecahan Bukti
Potong PPh Pasal 23. Walaupun SE-44/PJ.1994 hanya mengatur PPh Pasal 23 tetapi masih
relevan digunakan untuk melakukan pemecahan bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) mengingat
dua-duanya merupakan bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan masing-masing anggota, hal ini
ditegaskan Dirjen Pajak menggunakan S-251/PJ.313/1998.
Tata cara pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai berikut:
1. Dalam hal penerima jasa sudah melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama
JO, JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti pemotongan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dimana JO terdaftar. Selanjutnya KPP dimana JO terdaftar
melakukan pemindahbukuan ke KPP dimana masing-masing anggota JO terdaftar sesuai
proporsi bagi hasil;
2. Dalam hal penerima jasa belum melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), JO dapat
mengajukan pemecahan bukti potong kepada penerima jasa yang selanjutnya akan
menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO qq. Masing-masing
anggota JO sesuai dengan proporsi bagi hasil.
Contoh Kasus
1. Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak:
PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk
melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation. Dalam
perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan
atas nama joint operation. Berdasarkan hal di atas:
a.
b.
apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint
2. Contoh
bentuk
kerja
sama
operasi
(joint
operation)
yang tidak
wajib
untuk
PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk
melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.
Sumber Referensi
Rustadi,Pryanto.2014.Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi. Diambil dari
https://staff.blog.ui.ac.id/priyanto.rustadi/files/2014/05/JO-0514.pdf
http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=18
Frank.S, Christian.2012. Joint Operation Sebagai Subyek Dalam Kepailitan. Diambil dari Tesis
Christian Frank.S (1006736463) Fakultas Hukum Program Pascasarjana Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 10/Prt/M/2014 Tentang
Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing