Pembahasan Kasus :
PT Depok Jaya Real Property, Tbk
Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
6 Juni 2011
Program Studi Magister Akuntansi – Pendidikan Profesi Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
STATEMENT OF AUTHORSHIP
Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Pertanyaan
Pembahasan masalah
Menurut PSAK No. 39, Kerjasama Operasi (KSO) diartikan sebagai perjanjian
antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing sepakat untuk melakukan
usaha bersama dengan menggunakan aset atau hak usaha yang dimiliki dan
secara bersama menanggung risiko usaha tersebut.
Pengertian KSO dalam perpajakan adalah dalam kaitannya dengan
perpajakan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No.
S-123/PJ.42/1989 serta ditegaskan dalam surat tersebut bahwa KSO adalah
merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau
lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan
bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat
penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah KSO seringkali
dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan
Non-Administrative JO.
Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana
kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas
nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri
terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan
terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing
anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek,
pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta
pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek
didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang
disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi
sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project
Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota.
Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab
pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.
Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat
mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat
pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO
dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit
pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur
mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:
Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO,
maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh
pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar
sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan
masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.
Lebih lanjut Pasal 3 UU PPh mengatur bahwa yang tidak termasuk subjek
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
tidak menjalankan usaha kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Sejak tahun 2008, jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final yang
dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna
Jasa merupakan pemotong pajak; atau disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.
Pustaka :
- www.ortax.org
- Peraturan perpajakan yang berlaku