Anda di halaman 1dari 10

PERPAJAKAN

Pembahasan Kasus :
PT Depok Jaya Real Property, Tbk

Disusun Oleh Grup III:


BOBY YANUAR PRIBADI (1006829971)
YAHYA BAOADI SILALAHI (10068 )
YOHANES ENHO (1006831976)

Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
6 Juni 2011
Program Studi Magister Akuntansi – Pendidikan Profesi Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas


terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan
orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya”.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk


makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas
bahwa kami menyatakan menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Mata Ajaran : Perpajakan


Judul Makalah/Tugas : Pembahasan Kasus PT Depok Jaya Real
Property, Tbk
Kelas :
Tanggal : 8 Juni 2011
Nama Pengajar : Danny Sirait
Mahasiswa :

Boby Yanuar Pribadi Yahya Baoadi Silalahi Yohanes Enho


(1006829971) (10068 ) (1006831976)
Latar Belakang

PT Depok Jaya Real Property (DJRP) Tbk merupakan perusahaan yang


bergerak dalam bidang real estat dan industrial estat yaitu membangun
sarana dan prasaran/infrastruktur, merencanakan, membangun dan
menyewakan gedung-gedung perkantoran, apartemen dan pusat
perbelanjaan. PT DJRP didirikan pada tahun 1992 dan berkedudukan di
Jakarta, terdaftar sebagai Wajib Pajak dan dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP) sejak 12 Juli 1992.

Dalam rangka pengembangan usahanya, PT DJRP sedang merencanakan


untuk mencari sumber pendanaan baru. Alternatif pendanaan yang
dipertimbangkan oleh perusahaan adalah dengan menerbitkan obligasi
syariah (sukuk) karena saat ini obligasi syariah merupakan salah satu sumber
pendanaan dan instrument investasi yang berkembang sangat pesat. Dalam
hal ini perusahaan memilih untuk menggunakan instrument obligasi syariah
ijarah (sukuk al-ijarah) yang merupakan obligasi syariah yang berbasis
transaksi leasing/sewa menyewa dan dengan adanya return berupa
pendapatan sewa. Terdapat dua alternatif yang dapat dipertimbangkan
perusahaan yaitu penerbitan obligasi syariah ijarah tanpa SPV (special
purpose vehicle) atau penerbitan obligasi syariah ijarah dengan SPV.

Dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah ijarah tanpa melibatkan SPV,


PT DJRP selaku pemilik aset akan menjadi penerbit obligasi syariah ijarah.
Investor membeli obligasi syariah ijarah sebagai bukti penyertaan atas aset
atau atas manfaat aset. Pemilik aset dapat menyewakan aset yang dijadikan
dasar penerbitan obligasi syariah ijarah kepada pihak ketiga atau menyewa
kembali aset tersebut untuk dirinya sendiri. Selanjutnya sebagai pemilik aset
atau manfaat atas aset, investor berhak atas penghasilan sewa yang
dihasilkan aset tersebut.
Sedangkan mekanisme penerbitan obligasi syariah dengan SPV adalah PT
DJRP akan menjual kepada suatu perusahan (sebagai SPV) yang selanjutnya
SPV tersebut akan menerbitkan obligasi syariah ijarah kepada para investor
dimana obligasi syariah ijarah tersebut merupakan bukti kepemilikan yang
mewakili bagian penyertaan atas aset/manfaat aset yang akan dibeli dari
emiten. Investor membayar sejumlah tertentu sebagai pembayaran atas
bagian kepemilikan yang didapatnya. Selanjutnya selama periode obligasi
syariah ijarah, PT DJRP akan menyewa kembali aset yang telah dijualnya
tersebut dan membayar sewa aset tersebut kepada SPV selaku wakil
investor. Pada akhir periode sewa, pemilik aset akan membeli kembali aset
yang bersangkutan dari SPV dan SPV akan menarik obligasi syariah ijarah
dengan dana yang didapatkannya dari pemilik awal aset.

Pertanyaan

1. Sebutkan dan jelaskan tipe-tipe obligasi syariah yang dikenal dalam


khazanah Islamic Finance saat ini?
2. Jelaskan aspek perpajakan atas penerbitan obligasi syariah ijarah tanpa
SPV yang dilakukan PT DJRP tersebut?
3. Jelaskan aspek perpajakannya jika penerbitan obligasi syariah ijarah
tersebut melalui SPV?

Pembahasan masalah

Menurut PSAK No. 39, Kerjasama Operasi (KSO) diartikan sebagai perjanjian
antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing sepakat untuk melakukan
usaha bersama dengan menggunakan aset atau hak usaha yang dimiliki dan
secara bersama menanggung risiko usaha tersebut.
Pengertian KSO dalam perpajakan adalah dalam kaitannya dengan
perpajakan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No.
S-123/PJ.42/1989 serta ditegaskan dalam surat tersebut bahwa KSO adalah
merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau
lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan
bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat
penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah KSO seringkali
dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.

Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan
Non-Administrative JO.
 Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana
kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas
nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri
terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan
terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing
anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek,
pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta
pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek
didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang
disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

 Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi
sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project
Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota.
Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab
pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.

1. Perlakuan pajak atas Kerja Sama Operasi dan Konsorsium


Kecuali reksadana, penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara
spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian
Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak. Namun dalam surat-surat
penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan
merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan
SPT PPh Badan.
 Aspek PPh - Administrative JO.
Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP
yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN
dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal
26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas
penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan)
yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan
atau penghasilan yang diterimanya.

Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat
mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat
pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO
dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit
pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur
mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:

Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau


pemotongan PPh pasal 23, maka JO dapat mengajukan permohonan
pemecahan bukti potong kepada Project Owner yang selanjutnya akan
membuat bukti potong PPh pasal 23 atas nama JO.qq. perusahaan anggota
berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO,
maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh
pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar
sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan
masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.

Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 juncto KEP-


161/PJ/2001 mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21,
JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan
pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu
proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative
JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam
PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate
consolidation atau metode equity.

 Aspek PPh Non-Administrative JO


Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan
oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri
oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO
namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23
tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).

2. Kedudukan klien-klien perusahaan (kaitannya dengan subjek/non


subjek pajak penghasilan) dan pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima perusahaan dari klien-klien tersebut.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) mengatur bahwa yang
menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.

Lebih lanjut Pasal 3 UU PPh mengatur bahwa yang tidak termasuk subjek
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
tidak menjalankan usaha kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Sejak tahun 2008, jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final yang
dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna
Jasa merupakan pemotong pajak; atau disetor sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

Klien Subjek Pengenaan pajak


(S)/Non penghasilan
Subjek (NS)
KPS S Dipotong oleh Klien
Departemen S Dipotong oleh Klien
Perindustrian
Bapak Surya Cipta S Dipotong oleh Klien
(meninggal dunia
pada awal tahun
2010).
Kantor konsulat NS Disetor sendiri oleh PT Indiana
Jepang di Jakarta
NGO CIFOR (The NS Disetor sendiri oleh PT Indiana
Center for (PMK 251
International Forestry 2008)
Research) di Jakarta

3. Perlakuan pajak penghasilan atas:


a. Kontrak Pengelolaan Dana
Pasal 4 ayat 3 huruf i UU PPh mengatur bahwa bagian laba yang
diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
Dengan demikian atas penghasilan yang diterima dari kontrak
pengelolaan dana tidak dikenakan pajak penghasilan karena telah
dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan
tersebut.

b. Investasi Dalam Negeri


Pasal 4 ayat 3 huruf UU PPh mengatur bahwa dividen atau bagian laba
yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

Dengan asumsi bahwa seluruh kondisi yang dipersyaratkan dalam


ketentuan di atas dipenuhi maka dividen atas kepemilikan saham
sebesar 20% di PT Dinihari merupakan obyek pajak (dipotong PPh Pasal
23 sebesar 15% oleh PT Dinihari) dan harus digabung dengan
penghasilan lain pada akhir tahun untuk dikenai PPh Badan sebesar
25%. Sedangkan, dividen ataskepemilikan saham sebesar 40% di PT
Damuri bukan merupakan obyek pajak sehingga seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk perolehan dividen tersebut bukan merupakan beban
pengurang dalam pajak
4. Perlakuan pajak penghasilan atas bantuan yang diberikan perusahaan
kepada:
a. Yayasan Karya Nusantara (non-profit organization kebudayaan).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008
tanggal 31 Desember 2008, sumbangan yang diterima Yayasan Karya
Nusantara bukan obyek pajak apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
− semata-mata menyelenggarakan pelestarian lingkungan hidup;
dan/atau kegiatan sosial lainnya; dan
− tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara PT Indiana (selaku pemberi sumbangan) dengan
Yayasan Karya Nusantara (selaku penerima hibah, bantuan, atau
sumbangan).

b. Sembako kepada karyawan


Pasal 4 ayat 3 huruf d UU PPh mengatur bahwa penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak
atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Sebagaimana diketahui jasa konstruksi, mulai tahun 2008 adalah
penghasilan yang dikenakan PPh final. Dengan begitu atas pemberian
sembako kepada karyawan merupakan obyek pajak penghasilan yang
harus dipotong PPh pasal 21 oleh PT Indiana.

Pustaka :
- www.ortax.org
- Peraturan perpajakan yang berlaku

Anda mungkin juga menyukai