Anda di halaman 1dari 13

TUGAS I

MANAJEMEN PERPAJAKAN

DISUSUN OLEH :

NAMA : DEVINA FALENSY


NIM : 2250100020

DOSEN :
Irsan Lubis, S.E., Ak., M.Akt., BKP., CAP

PROGRAM PPAK PERBANAS INSTITUTE

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh suatu perusahaan, maka dibutuhkan
alternatif sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mendapatkan tambahan dana dalam aktivitas
bisnis perusahaan. Sumber pembiayaan tersebut dapat diperoleh baik secara internal maupun
eksternal, dimana kesemua hal tersebut sangatlah mempengaruhi struktur modal perusahaan. Oleh
karena itu, perusahaan berupaya untuk membentuk struktur modal yang optimal untuk
memaksimalkan nilai perusahaan.

Perusahaan pembiayaan atau biasa dikenal dengan istilah multifinance telah terbukti berperan
penting dalam pendistribusian dan pengalokasian sumber daya keuangan kepada pelaku usaha dan
masyarakat Indonesia, baik melalui penyediaan pembiayaan atas barang-barang produktif yang
dibutuhkan oleh pelaku usaha maupun barang- barang konsumtif yang menjadi kebutuhan
masyarakat, yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya peningkatan aktivitas ekonomi dalam
masyarakat Indonesia.

Dalam penulisan ini, sumber pembiayaan perusahaan dapat berupa dari factoring atau anjak
piutang, leasing atau sewa hak guna, intrumen keuangan hybrid dan offshore dan onshore financing.
Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Leasing adalah suatu kontrak antara pemilik
aktiva yang disebut lessor dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva tersebut disebut leese untuk
jangka waktu tertentu. Hybrid instrument yaitu instrumen keuangan yang diperlakukan berbeda
oleh negara-negara yang terlibat. Onshore financing adalah pembiayaan yang dananya berasal
dari dalam negeri dan dapat diberikan dalam bentuk rupiah atau valuta asing. Sedangkan
offshore financing adalah pembiayaan yang dananya berasal dari luar negeri dan diberikan dalam
bentuk valuta asing.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah sebagai berikut,


1. Bagaimana dalam menjelaskan defenisi dan perlakuan pajak factoring
2. Bagaimana dalam menjelaskan defenisi dan perlakuan pajak leasing
3. Bagaimana dalam menjelaskan definisi dan perlakuan pajak hybrid financial instruments?
4. Bagaimana dalam menjelaskan defenisi dan perlakuan pajak dari onshore vs offshore
financing?
1.3 Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui Ketepatan dalam Menjelaskan pengertian dan contoh penerapan factoring
2. Dapat mengetahui Ketepatan dalam Menjelaskan pengertian dan contoh penerapan leasing.
2. Dapat mengetahui Ketepatan dalam Menjelaskan definisi dan contoh penerapan hybrid financial
instruments.
3. Dapat mengetahui Ketepatan dalam Menganalisis manajemen perpajakan dari onshore vs
offshore financing.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Factoring

Factoring atau Anjak Piutang adalah suatu teknik pendanaan jangka pendek dengan
memanfaatkan piutang yang dimiliki suatu perusahaan. Perusahaan yang bersangkutan menjual atau
menyerahkan hak atas piutangnya kepada perusahaan anjak piutang (factor). Perusahaan factor dapat
merupakan sebuah bank atau lembaga keuangan. Kemudian factor akan menyerahkan uang kepada
perusahaan tersebut sebesar persentase tertentu dari jumlah nilai piutang. Sebagai imbalan, factor akan
membebankan biaya administrasi dan bunga perusahaan tersebut. Berdasarkan PMK Nomor
84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan pasal 1 (e) mendefinisikan bahwa (Factoring)
Anjak Piutang berupa suatu kegiatan dalam hal pembiayaan dengan bentuk pembelian piutang
dengan periode jangka pendek milik perusahaan beserta pengurusannya.

Adapun alasan perusahaan melakukan anjak piutang diantaranya:

1. Bisa jadi hal ini merupakan satu-satunya sumber untuk memperoleh kas. Ketika keadaan kas
sudah menipis, kemampuan perusahaan untuk memperoleh pinjaman akan dana akan
berkurang, kas yang tipis bisa menjadi penghalang kemampuan perusahaan untuk membayar
bunga pinjaman
2. Waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penagihan memamkan waktu yang lama dan biaya
yang besar. Lebih mudah bagi perusahan untuk menjual piutangnya dengan memperoleh kas
yang lebih cepat dan menghemat waktu dan biaya untuk melakukan penagihan

Dalam aktivitas factoring akan terlibat 3 entitas:

1. Nasabah adalah pihak yang menjual piutang. Biasanya merupakan pihak penyedia barang /
penjual yang melakukan transaksi dengan penggalan / pemberi secara kredit
2. Perusahaan factoring adalah perusahaan pembiayaan ataupun bank yang membeli piutang dari
nasabah
3. Debitur adalah pihak yang memiliki utang kepada nasabah, dalam factoring kewajiban
membayar utangnya dialihkan kepada perusahaan factoring, sehingga nantinya debitur akan
membayar utangnya kepada perusahaan factoring bukan nasabah

Jenis Anjak Piutang

1. Anjak Piutang tanpa jaminan dari Penjual Piutang (Without Recourse) adalah kegiatan Anjak
Piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung seluruh risiko tidak tertagihnya piutang
2. Anjak Piutang dengan jaminan dari Penjual Piutang (With Recourse) adalah kegiatan Anjak
Piutang di mana Penjual Piutang menanggung risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh
piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.

Dalam anjak piutang, perusahaan melakukan tiga fungsi yaitu:

1. Pemeriksaan piutang,
2. Memberikan pinjaman (pembayaran piutang), dan
3. Menanggung risiko default pelanggan

Perpajakan dalam factoring diatur dalam SE-06/PJ.53/1997 ,berdasarkan Surat Edaran Direktur
Jendral Pajak Nomor SE – 06/PJ.53/1997 tentang Perlakuan PPn atas Jasa Anjak Piutang (Seri PPn 40-95),
berikut beberapa poin dalam pemungutan ppn atas factoring :

1. Berdasarkan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Pasal 9 angka 4 dan Pasal 13 angka 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, maka jasa anjak piutang tidak termasuk jenis jasa yang tidak
dikenakan pajak, sehingga atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, perusahaan anjak piutang merupakan perusahaan yang
melakukan kegiatan Lembaga Pembiayaan. Perusahaan anjak piutang adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan
luar negeri (Penjual Piutang/Klien). Kegiatan usaha anjak piutang dilakukan dalam bentuk
pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri dan penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan klien.
3. Lebih lanjut, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada butir 2
menetapkan bahwa kegiatan usaha anjak piutang dapat dilakukan oleh Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan berbentuk Perseroan Terbatas atau
Koperasi. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha anjak
piutang wajib melaporkan usahanya kepada Menteri Keuangan. Perusahaan Pembiayaan dapat
melakukan kegiatan usaha anjak piutang setelah memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
Terjadinya transaksi/penyerahan jasa anjak piutang antara perusahaan anjak piutang dan klien
diikat dengan adanya Perjanjian Pembiayaan.
4. Imbalan jasa anjak piutang yang diterima perusahaan anjak piutang dari kliennya berupa service
charge, provisi dan diskon. Pencatatan imbalan dilakukan secara akrual, sehingga saat
penandatanganan Perjanjian Pembiayaan merupakan saat pajak terutang.
5. Sesuai dengan Pasal 1 huruf n Undang-undang tersebut pada butir 1 jo. Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 642/KMK.04/1994 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 292/KMK.04/1996,
maka Nilai Lain sebagai DPP atas penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh
imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon. PPN terutang adalah 10% x 5%
x jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon, sehingga tarif
efektif adalah 0,5% x seluruh imbalan tersebut, dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan
pajak yang terutang tersebut tidak dapat dikreditkan, karena dalam Nilai Lain sebagai DPP telah
diperhitungkan Pajak Masukan dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang bersangkutan.
6. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1994 jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-27/PJ/1995,
maka perusahaan anjak piutang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perusahaan didirikan.
Sehubungan dengan itu, maka pelaksanaan kewajiban PPN atas jasa anjak piutang diberikan
penegasan sebagai berikut :
6.1 Perusahaan yang belum mendapat Surat Keputusan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
tetapi sudah melakukan pemungutan PPN, diwajibkan melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan menjadi PKP terhitung mulai tanggal melakukan pemungutan PPN.
6.2 Perusahaan yang telah melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP dan telah
mendapat Surat Keputusan pengukuhan PKP sebelum tanggal 1 April 1997, harus
melaksanakan kewajiban perpajakan terhitung mulai tanggal dikukuhkan.
6.3 Perusahaan yang telah didirikan sebelum tanggal 1 Mei 1997 wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi PKP paling lambat tanggal 31 Mei 1997.
6.4 Perusahaan yang didirikan tanggal 1 Juni 1997 atau sesudahnya wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi PKP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah didirikan.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya dan agar disebarluaskan kepada
seluruh perusahaan yang bersangkutan.

2.2 Leasing

Menurut NOMOR 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan Sewa Guna Usaha


(Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna
usaha dengan hak opsi (Finance Lense) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lense)
untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran. Leasing adalah suatu kontrak antara pemilik aktiva yang disebut lessor
dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva tersebut disebut leese untuk jangka waktu tertentu. Salah
satu manfaat leasing adalah lesse dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memiliki aktiva
tersebut. Sebagai kompensasi manfaat ayng dinikmati, maka leese mempunyai kewajiban membayar
secara periodic sebagai sewa aktiva yang digunakan. Manfaat lain adakag bahwa leese tidak perlu
menanggung biaya perawatan, pajak, dan asuransi.

Bentuk-bentuk leasing:

1. Sale and lease back

Bentuk yang pertama sale and lease back dimana perusahaan yang memiliki aktiva seperti tanah,
bangunan dan peralatan pabrik menjual aset tersebut kepada perusahaan lain dan sekaligus menyewa
kembali asettersebut untuk periode tertentu. Pembeli aset tersebut bisa sebuah bank, perusahaan
asuransi, perusahaan leasing, pegadaian, atau investor individu. Biasanya aset tersebut dijual dengan
harga pasar. Manfaat dari sale and lease back ini adalah penjual atau lessee menerima pembayaran
segera sebagai tambahan dana yang dapat diinvestasikan ke investasi lain; dan bersamaan dengan itu
lessee masih menggunakan aset yang dijualnya selama jangka waktu perjanjian leasing. Lessee
mempunyai kewajiban membayar secara periodic sebesar harga jual ditambah dengan tingkat
keuntungan yang disyaratkan lessor.

2. Operation leases

Bentuk leasing kedua adalah operating leasing yang sering disebut service leases atau direct leases.
Jenis ini pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya perawatan yang keseluruhannya tercakup
dalam pembayaran leasing. Ciri utama bentuk leasing ini adalah bahwa harga perolehan aset tersebut
sebagai objek leasing tidak diamortisasikan secara penuh. Dengan kata lain pembayaran yang
disyaratkan tidak cukup untuk menutup keseluruhan harga perolehan dan biaya perawatan aset. Namun
demikian jangka waktu operating lease ini biasanya lebih pendek dari pada umur ekonomis yang
diharapkan. Sehingga lessor berharap dapat menyewakan kembali kepada pihak lain atau menjual aset
tersebut untuk menutup harga perolehan, biaya perawatan dan tingkat keuntungan yang disyaratkan.

3. Financial lease

Jenis leasing ketiga adalah financial leasing atau capital leasing. Bentuk leasing ini berbeda dengan
operating leases karena lessor tidak menanggung biaya perawatan, tidak dapat dibatalkan dan
diamortisasikan secara penuh. Dengan demikian lessor menerima pembayaran sebesar harga perolehan
aset ditambah tingkat keuntungan yang disyaratkan. Pada umumnya lessee juga harus membayar pajak
dan asuransi aset objek leasing tersebut. Perbedaan utama antara financial leases dengan operating
leases adalah bahwa perusahaan memperoleh aktiva yang baru bukan aktiva yang selama ini telah
digunakan. Sering kali dalam bentuk leasing ini melibatkan pihak ketiga yaitu pemberi pinjaman. Pihak
ketiga ini memberi pinjaman kepada lessor untuk membeli aktiva, misalnya 80% dibiayai dengan utang
sedangkan selebihnya dari modal sendiri. Sebagai pemilik aktiva, lessor berhak mengalokasikan harga
perolehan aktiva sebagai depresiasi. Sementara itu lessor juga dapat membebankan pembayaran bunga
sebagai pengurang pajak.

Perlakuan PPn bagi Lessor dan Lesse pada Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi

1. Bagi Lessor
1.1 penghasilan lessor yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha
dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha.
1.2 lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak
opsi 
1.3 Dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa sewa guna usaha yang
seharusnya, DJP melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor (Ketentuan
lebih lanjut mengenai ketentuan PPh dan PPN nya
1.4 Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo
akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi. Piutang sewa-guna-usaha (Lease
Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-
usaha
1.5 Kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk
pada awal tahun pajak yang bersangkutan
1.6 Dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya
dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan,
sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat
dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.

2. Bagi Lesse
2.1 Selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang
modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli
2.2 setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang
modal yang bersangkutan
2.3 Pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan
atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee
sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan untuk digolongkan
sebagai Sewa Guna Usaha dengan hak opsi
2.4 Dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa sewa guna usaha yang
seharusnya, DJP melakukan koreksi atas pembebanan biaya SGU (Ketentuan lebih lanjut
mengenai ketentuan PPh dan PPN nya)
2.5 Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau
terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee,
dikecualikan dari pengenaan PPN. (Pasal 15 KMK-1169/KMK.01/1991)

1. Ketentuan Lebih Lanjut diatur di  SE-129/PJ/2010 Dalam hal BKP berupa barang modal yang
menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (supplier)
1. BKP tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh PKP pemasok (supplier) kepada
lessee;
2. Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP karena dianggap hanya menyerahkan jasa
pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN;
3. PKP pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan
identitas lessee sebagai pembeli BKPk/penerima JKP (tidak menggunakan metode
qualitate qua (q.q.)).
4. DPP yang dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah sebesar Harga Jual dari PKP pemasok.
5. Penggunaan qualitate qua (q.q) pada bagian nama dan/atau NPWP pembeli BKP atau
penerima JKP pada Faktur Pajak yang telah diterbitkan oleh PKP pemasok (supplier)
sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini (sebelum tanggal 29 November 2010) dapat
dibenarkan dan tidak menjadikan Faktur Pajak tersebut cacat.
2. Dalam hal BKP berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari persediaan
yang telah dimiliki oleh lessor :

1. Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu :


1. Penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN;dan
2. penyerahan BKP, yang merupakan objek PPN.
2. Lessor harus dikukuhkan sebagai PKP dan harus menerbitkan Faktur Pajak atas
penyerahan BKP tersebut kepada lessee. Pengukuhan lessor sebagai PKP ini dilakukan
dengan tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut ketentuan Undang-
Undang PPN.
3. DPP yang dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur
bunga yang diminta atau seharusnya diminta oleh lessor karena jasa pembiayaan yang
diserahkannya.
Pelaksanaan Hak Opsi

1. Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi,
lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-
usaha.
2. Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang
disewa-guna-usaha.
3. Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha,
maka nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam
menetapkan piutang sewa-guna-usaha.
4. Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa
barang modal

Perlakuan PPn bagi Lessor dan Lesse pada Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi
semua kriteria berikut :(Pasal 4 KMK-1169/KMK.01/1991)

1. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat


menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh lessor (harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah
keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor ≥jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-
guna-usaha pertama )

2. Perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee

Perlakuan PPh bagi Lessor dan Lesse pada Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi(Pasal 17 Ayat (1) KMK-
1169/KMK.01/1991)

1. Bagi Lessor
1.1 Seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh
lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan
1.2 Lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-
usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya.
2. Bagi Lesse
2.1 Pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh
lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2.2 Lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-
usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.

Ketentuan Terkait Sale And Leaseback(SE-129/PJ/2010)

a. Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha dengan hak opsi :
1. Penyerahan BKP dari lessee kepada lessor (sale) tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan BKP yang dikenai PPN karena :
1.1 BKP yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee, yang dijual oleh
lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
1.2 Lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa
bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan
tersebut;
1.3 Penyerahan BKP tersebut dari lessee kepada lessor pada dasarnya merupakan
penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang;

2. Penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback)
merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN.

b. Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha tanpa hak opsi :
1. Penyerahan BKP dari lessee kepada lessor (sale) dikenai PPN sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback)
dikenai PPN sebagaimana kegiatan usaha sewa menyewa pada umumnya

2.3 Instrumen Keuangan Hybrid

Salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh perusahaan dalam
melakukan investasi adalah “hybrid financial instruments”. Dari sisi pertimbangan komersial, inovasi
instrumen keuangan dengan menggunakan hybrid financial instruments akan memberikan keuntungan
bagi perusahaan saat menghadapi risiko investasi yang besar. Hybrid instrument, yaitu instrumen
keuangan yang diperlakukan berbeda oleh negara-negara yang terlibat. Sebagai contoh suatu
instrumetn diperlakukan sebagai utang di suatu negara, tetapi di negara lain diperlakukan sebagai
modal.

Karakteristik Utang dan Penyertaan Modal

Penyertaan Modal Modal


Dana akan dikembalikan dalam jangka waktu Dana hanya akan dikembalikan pada saat likuidasi
yang telah ditetapkan
Imbalan dari utang harus tetap dibayar meskipun Imbalan dari pernyetaan modal tergantung dari
penerima utang dalam keadaan merugi perfoma usaha penerima modal
Dalam keadaan likuiditas, pemberi utang Hak pemberi modal (pemegang saham) atas asset
(kreditor) memiliki hak prioritas untuk atas asset merupakan hak tagih terkahir setelah kreditor
Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki control Pemberi modal (pemegang saham) memiliki
atas perusahaan control atas perusahaan

Besarnya pajak terutang yang harus dibayar perusahaan dapat diketahui dari laporan keuangan
perusahaan secara fiskal dimana dalam merekonsiliasi laporan keuangan perusahaan berdasarkan PSAK
menjadi laporan keuangan perusahaan secara fiskal terdapat biaya-biaya perusahaan yang boleh diakui
(deductible expenses) dan tidak boleh diakui (non-deductible expenses). Bunga atas utang yang dibayar
perusahaan secara fiskal merupakan biaya yang dapat diakui, sedangkan imbalan atas penyertaan modal
secara fiskal merupakan biaya yang tidak diakui (UU No.36 Tahun 2008). Besarnya bunga atas utang
yang dapat diakui secara fiskal dapat diketahui dengan perbandingan antara utang dengan modal, yaitu
4:1 (No.169/PMK.010/2015). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perusahaan lebih
memilih sumber pendanaan perusahaannya lewat utang dikarenakan biaya bunga atas utang tersebut
boleh diakui secara fiskal.

Contoh transaksi yang menggunakan skema hybrid financial instrument:

Subjek Pajak Dalam Negeri (“SPDN”) Perusahan di Negara B (“B Co”) dibiayai oleh SPDN
Perusahaan di Negara A dengan instrumen yang dikualifikasi sebagai ekuitas di Negara A tetapi sebagai
utang di Negara B. Jika pembayaran saat ini dilakukan berdasarkan instrumen, maka terdapat beban
bunga yang dapat dikurangkan untuk B Co berdasarkan hukum pajak Negara B. Penerima penghasilan di
negara A menerima dividen yang diperlakukan sebagai dividen yang dibebaskan untuk tujuan
perpajakan Negara A.

Akibatnya, pengurang bersih muncul di negara B tanpa memasukan pendapatan yang sesuai di
negara A. Hasil yang sama juga dapat dicapai melalui penggunaan entitas hybrid (misalnya jika entitas
diperlakukan sebagai non-transparan di negara dimana ia diselenggarakan membuat pembayaran
dikurangkan untuk para pemegang saham, yang negaranya tinggal memperlakukan entitas asing sebagai
transparan (unit tidak kena pajak) sehingga mengabaikan pembayaran untuk tujuan pajak) dan transfer
hybrid (misalnya jika dua perusahaan masuk ke dalam penjualan dan pembelian kembali kesepakatan
pengalihan saham dari special purpose vehicle (SPV) dan satu negara memperlakukan transaksi sebagai
penjualan dan pembelian kembali saham SPV sementara negara lain memperlakukan transaksi sebagai
pinjaman dijamin melalui saham SPV)

2.4 Onshore dan Offshore Financing

Onshore financing adalah pembiayaan yang dananya berasal dari dalam negeri dan dapat
diberikan dalam bentuk rupiah atau valuta asing. Sedangkan offshore financing adalah pembiayaan
yang dananya berasal dari luar negeri dan diberikan dalam bentuk valuta asing. Perusahaan onshore
adalah perusahaan yang terdaftar di negara yang tidak memberikan perlindungan pajak (non-tax
haven country), biasanya di negara berkembang yang mengenakan tarif pajak yang tinggi.
Sedangkan perusahaan offshore dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang terdaftar di negara
yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country). Meskipun begitu, tax haven sendiri tidak
memiliki definisi khusus. Hal ini dikarenakan benefit dalam hal perpajakan yang diberikan oleh tiap
tax haven country bersifat relatif dan mungkin merupakan tax haven bagi perusahaan pada tingkat
tertentu.

Tax heaven country adalah suatu negara yang memberikan tarif pajak penghasilan yang rendah
bahkan pembebasan pajak bagi para wajib pajak. Menurut OECD ada 4 kreteria untuk tax heaven
country:

1. Menerapkan tarif pajak rendah atau 0%


2. Tidak adanya pertukaran informasi
3. Tidak ada transparansi untuk adminstrasi perpajakan
4. Tidak ada persyaratan aktivitas subtansi bagi perusahaan, namun di bedakan dari sisi
resident dan non resident.

BAB III

KESIMPULAN

Factoring atau Anjak Piutang adalah suatu teknik pendanaan jangka pendek dengan
memanfaatkan piutang yang dimiliki suatu perusahaan. Perusahaan yang bersangkutan menjual atau
menyerahkan hak atas piutangnya kepada perusahaan anjak piutang (factor). Perusahaan factor dapat
merupakan sebuah bank atau lembaga keuangan. Kemudian factor akan menyerahkan uang kepada
perusahaan tersebut sebesar persentase tertentu dari jumlah nilai piutang. Sebagai imbalan, factor akan
membebankan biaya administrasi dan bunga perusahaan tersebut.

Leasing adalah suatu kontrak antara pemilik aktiva yang disebut lessor dan pihak lain yang
memanfaatkan aktiva tersebut disebut leese untuk jangka waktu tertentu. Salah satu manfaat leasing
adalah lesse dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memiliki aktiva tersebut. Sebagai
kompensasi manfaat ayng dinikmati, maka leese mempunyai kewajiban membayar secara periodic
sebagai sewa aktiva yang digunakan. Manfaat lain adakag bahwa leese tidak perlu menanggung biaya
perawatan, pajak, dan asuransi.

Instrument keuangan hybrid merupakan elemen keuangan yang menggabungkan hutang


dengan modal dan didalam perpajakannya dianggap memiliki karakteristik yang tidak konsisten
karena dapat diperlakukan sebagai hutang atau modal dalam tiap-tiap negara.

Onshore financing adalah pembiayaan yang dananya berasal dari dalam negeri dan dapat
diberikan dalam bentuk rupiah atau valuta asing. Sedangkan offshore financing adalah pembiayaan
yang dananya berasal dari luar negeri dan diberikan dalam bentuk valuta asing.
DAFTAR PUSTAKA

https://ortax.org/forums/discussion/anjak-piutang

Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE – 06/PJ.53/1997

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.012/2006 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

Module Chartered Accountant, 2015

https://www.thinktax.id/tax-flash/perlakuan-pph-dan-ppn-atas-leasing-sewa-guna-usaha

Gunawan, Barbara. Anjak Piutang : Sebuah Alternatif Memperoleh Dana Usaha, 2001

Anda mungkin juga menyukai