Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN PERPAJAKAN

PEMILIHAN SUMBER PEMBIAYAAN II

1. ANJAK PIUTANG (FACTORING)


Anjak piutang adalah suatu transaksi keuangan sewaktu suatu perusahaan menjual
piutangnya (misalnya tagihan) dengan memberikan suatu diskon yang melibatkan tiga pihak
(penjual, debitur, dan pihak yang membiayai (factor)).Menurut Keppres No. 61 tahun 1988, tentang
lembaga pembiayaan, factoring merupakan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan / atau
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan yang terbit
dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
Pihak yang terlibat dalam kegiatan factoring adalah :
1. Pihak perusahaan faktor, yakni merupakan pihak memberi jasa factoring, dan bertindak
sebagai pihak pemberi piutang.
2. Pihak klien merupakan pihak yang mempunyai piutang/ tagihan yang akan dijual kepada
pihak perusahaan faktor.
3. Pihak customer, merupakan pihak debitur yang berhutang kepada pihak klien, untuk
selanjutnya dia akan membayar hutangnya kepada pihak perusahaan factor.
Subyek hukum dari perjanjian anjak piutang itu tentu saja adalah Penjual, Pembeli dan
Perusahaan anjak piutang. Namun penamaan tersebut dirubah disesuaikan dengan hakekat anjak
piutang.Obyek hukum dalam perjanjian ini jelas adalah piutang itu sendiri. Baik itu dijual atau
dialihkan atau diurus oleh pihak lain.
Jenis-jenis factoring
a. Dari segi pemberitahuan customer
1. Diosclosed factoring
2. Undiosclosed factoring
b. Dari segi keterlibatan klien
1. Recourse factoring
Anjak piutang dengan cara recourse atau disebut juga with recourse factoring berkaitan
dengan risiko debitor yang tidak mampu memenuhi kewajibannya. Keadaan ini bagi
perusahaan anjak piutang merupakan ancaman risiko. Dalam perjanjian with recourse,
klien akan menanggung risiko kredit terhadap piutang yang dialihkan kepada perusahaan
anjak piutang. Oleh karena itu, perusahaan anjak piutang akan mengembalikan tanggung
jawab (recourse) pembayaran piutang kepada klien atas piutang yang tidak tertagih dari
customer.

2. Without recourse factoring


Anjak piutang ini juga disebut non-recourse factoring, yaitu perusahaan anjak piutang
menanggung risiko atas tidak tertagihnya piutang yang telah dialihkan oleh
klien.Namun, dalam perjanjian anjak piutang dapat dicantumkan bahwa di luar keadaan
macetnya tagihan dapat diberlakukan bentuk recourse. Ini untuk menghindarkan tagihan
yang tidak dibayar karena pihak klien ternyata mengirimkan barang yang cacat atau
tidak sesuai dengan perjanjian kepada nasabahnya. Dengan demikian customer berhak
untuk mengembalikan barang yang telah diserahkan tersebut dan terlepas dari kewajiban
pembayaran utang. Dalam hat terjadi kasus demikian, perusahaan factoring dapat
mengembalikan tagihan tersebut kepada klien.

c. Dari segi tempat kedudukan para pihak


1. Domestic factoring, yaitu yaitu kegiatan transaksi anjak piutang dengan melibatkan
perusahaan anjak piutang, klien dan debitor yang semuanya berdomisili di dalam negeri.
2. International factoring, yaitu adalah kegiatan anjak piutang untuk transaksi ekspor impor
barang yang melibatkan dua perusahaan factoring di masing-masing negara sebagai
export factor dan import factor.
d. Dari segi banyaknya piutang yang dialihkan
1. Facultative factoring
2. Whole turnover factoring
e. Dari segi sarana pengalihan
1. Factoring dengan account receivables
2. Factoring dengan promissory notes
f. Dari segi servis yang diberikan
1. Maturity factoring
Dalam maturity factoring, pembiayaan pada dasarnya tidak diperlukan oleh klien tetapi
oleh pengurusan penjualan dan penagihan piutang serta proteksi atas tagihan. Fasilitas
anjak piutang maturity memberikan kredit perdagangan kepada customer atau nasabah
dengan pembayaran segera. Misalnya, 2% 10 hari, net 30, artinya apabila debitor
membayar dalam jangka waktu 10 hari pertama, ia memperoleh potongan sebesar 2%.
Apabila tidak, pembayaran penuh harus dilakukan dalam waktu 30 hari. Dalam
perjanjian anjak piutang ini perusahaan factoring akan membayar kliennya tidak lebih
dari 10 hari setelah faktur jatuh tempo. Oleh karena itu tidak ada beban bunga yang
diperhitungkan. Pembayaran atas piutang yang dialihkan dapat dilakukan berdasarkan
periode tertentu yang didasarkan atas perkiraan rata-rata jatuh tempo faktur atau
penyerahan copy faktur.
2. Financial factoring, yaitu perusahaan anjak piutang yang hanya menyediakan fasilitas
pembiayaan saja tanpa ikut menanggung risiko atas piutang tak tertagih. Penyediaan
pembiayaan dana tunai pada saat penyerahan faktur kepada perusahaan factoring sampai
sejumlah 80% dari nilai seluruh faktur sesuai dengan besarnya plafon pembiayaan (limit
kredit). Klien tetap bertanggung jawab terhadap pembukuan piutang dan penagihannya,
termasuk menanggung risiko tidak tertagihnya piutang tersebut.
g. Dari segi bentuk khusus
1. Bulk factoring
Jasa factoring ini juga disebut dengan agency factoring yaitu transaksi yang mengaitkan
perusahaan factoring sebagai agen dari klien. Bentuk fasilitas factoring ini pada dasarnya
hampir samadengan full service factoring, namun penagihan piutang tetap dilakukan
oleh klien dan proteksi risiko kredit tidak dijamin perusahaan factoring.
2. Agency factoring
Hubungan hukum dalam factoring
Dalam factoring internasional pihak perusahaan factor yang terlibat terdiri dari dua pihak,
yaitu ekspor factor yang berkedudukan di negara pihak pengekspor dan impor factor, yang berada
di negara pengimpor. Sehingga keseluruhan pihak yang terlibat menjadi empat pihak yaitu klien,
ekspor factor, customer dan impor factor
Dalam factoring chain antar negara, apabila perusahaan factor domestik ingin berbisnis
secara internasional, maka perusahaan factor domestik haruslah masuk menjadi anggota salah satu
factoring chain antar negara, sehingga perusahaan factor tersebut tinggal mengontak perusahaan
factor di negara mana customernya berada yang juga sama-sama bernaung dibawah organisasi yang
sama mengenai factoring internasional.
Kelebihan dan kelemahan pembiayaan factoring
Kelebihan pembiayaan factoring :
1. Dapat menurunkan biaya produksi
2. Membantu peningkatan sumber kredit
3. Meningkatkan daya saing dari dunia usaha
4. Dengan cepatnya mendapatkan instant cash, maka factoring dapat membantu peningkatan
perolehan laba dari dunia usaha
5. Pengambilalihan resiko kerugian dunia usaha jika ternyata tagihan tidak bisa dicairkan
6. Membantu akselerasi proses perputaran roda perekonomian
Kelemahan pembiayaan factoring :
1. Pemborosan biaya, banyak terlibat pihak lain
2. Menurunkan reputasi
3. Bisnis rentan resiko
4. Kurang professional
Perhitungan Pajak
Nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak atas penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari
jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon. PPN terutang
adalah 10% x 5% x jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan
diskon, sehingga tarif efektif adalah 0,5% x seluruh imbalan tersebut, dan pajak masukan yang
berkenaan dengan pajak yang terutang tersebut tidak dapat dikreditkan, karena dalam nilai lain
sebagai dasar pengenaan pajak telah di perhitungkan pajak masukan dari barang kena pajak dan jasa
kena pajak yang bersangkutan. 
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-06/PJ.53/1997 Tanggal 18 Maret 1997
Tentang Perlakuan PPN atas Jasa Anjak Piutang, sehubungan dengan banyaknya pertanyaan dan
dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemudahan pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai atas jasa anjak piutang (factoring), dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Pasal 4A Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 11 Tahun 1994 , Pasal 9 angka 4 dan Pasal 13 angka 1 Peraturan
Pemerintah nomor 50 TAHUN 1994, maka jasa anjak piutang tidak termasuk jenis jasa yang
tidak dikenakan pajak, sehingga atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, perusahaan anjak piutang merupakan perusahaan yang
melakukan kegiatan Lembaga Pembiayaan. Perusahaan anjak piutang adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan luar
negeri (Penjual Piutang/Klien). Kegiatan usaha anjak piutang dilakukan dalam bentuk
pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri dan penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan klien.
3. Lebih lanjut, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada butir 2
menetapkan bahwa kegiatan usaha anjak piutang dapat dilakukan oleh Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank, dan Perusahaan Pembiayaan berbentuk Perseroan Terbatas atau
Koperasi. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha anjak
piutang wajib melaporkan usahanya kepada Menteri Keuangan. Perusahaan Pembiayaan dapat
melakukan kegiatan usaha anjak piutang setelah memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
Terjadinya transaksi/penyerahan jasa anjak piutang antara perusahaan anjak piutang dan klien
diikat dengan adanya Perjanjian Pembiayaan.
4. Imbalan jasa anjak piutang yang diterima perusahaan anjak piutang dari kliennya berupa service
charge, provisi dan diskon. Pencatatan imbalan dilakukan secara akrual, sehingga saat
penandatanganan Perjanjian Pembiayaan merupakan saat pajak terutang.
5. Sesuai dengan Pasal 1 huruf n Undang-undang tersebut pada butir 1 jo. Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 642/KMK.04/1994Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor292/KMK.04/1996 ,
maka Nilai Lain sebagai DPP atas penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh
imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon.PPN terutang adalah 10% x
5% x jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon,
sehingga tarif efektif adalah 0,5% x seluruh imbalan tersebut, dan Pajak Masukan yang
berkenaan dengan pajak yang terutang tersebut tidak dapat dikreditkan, karena dalam Nilai Lain
sebagai DPP telah diperhitungkan Pajak Masukan dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang bersangkutan.
6. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan ayat 5 Undang-Undang nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 9 Tahun 1994 jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak
NomorKEP-27/PJ./1995 , maka perusahaan anjak piutang wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
perusahaan didirikan. Sehubungan dengan itu, maka pelaksanaan kewajiban PPN atas jasa anjak
piutang diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Perusahaan yang belum mendapat Surat Keputusan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
tetapi sudah melakukan pemungutan PPN, diwajibkan melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan menjadi PKP terhitung mulai tanggal melakukan pemungutan PPN.
b. Perusahaan yang telah melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP dan telah
mendapat Surat Keputusan pengukuhan PKP sebelum tanggal 1 April 1997, harus
melaksanakan kewajiban perpajakan terhitung mulai tanggal dikukuhkan.
c. Perusahaan yang telah didirikan sebelum tanggal 1 Mei 1997 wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi PKP paling lambat tanggal 31 Mei 1997.
d. Perusahaan yang didirikan tanggal 1 Juni 1997 atau sesudahnya wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan menjadi PKP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah didirikan.

Untuk penghitungan penghasilan kena pajak, tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 9 ayat 1 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008
menyebutkan jenis-jenis biaya yang tidak boleh diperkurangkan dari penghasilan bruto.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

 Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang;
 Cadangan untuk asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan
penyelenggara jaminan sosial;
 Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan;
 Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
 Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
 Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat- syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
Financial factoring, yaitu perusahaan anjak piutang yang hanya menyediakan fasilitas
pembiayaan saja tanpa ikut menanggung risiko atas piutang tak tertagih. Penyediaan
pembiayaan dana tunai pada saat penyerahan faktur kepada perusahaan factoring sampai sejumlah
80% dari nilai seluruh faktur sesuai dengan besarnya plafon pembiayaan (limit kredit). Klien tetap
bertanggung jawab terhadap pembukuan piutang dan penagihannya, termasuk menanggung
risiko tidak tertagihnya piutang tersebut.
2.SEWA GUNA USAHA (LEASING)
Pengertian Sewa Guna Usaha (Leasing)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tanggal 21 Nopember
1991, sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun secara sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.
Pembayaran kepada badan usaha atas jasa consumer finance atau jasa pembiayaan menurut
Pasal 23 ayat (4) huruf h UU PPh bukan objek pemotongan PPh Pasal 23. Sedangkan menurut Pasal
4A ayat (3) huruf d UU PPN, jasa pembiayaan merupakan Non-JKP sehingga atas penyerahannya
tidak terutang PPN.
Untuk dapat dianggap atau diperlakukan sebagai finance lease dan memperoleh treatment
pajak, leasing harus memenuhi seluruh kriteria berikut:
 Jumlah pembayaran leasing selama masa leasing pertama ditambah dengan nilai sisa barang
modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor
 Masa leasing ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I,
atau 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan
bangunan. Penggolongan barang modal dalam konteks ini merujuk sepenuhnya pada Pasal 11
UU PPh yaitu penggolongan harta untuk keperluan penghitungan penyusutan yang rincian jenis
hartanya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2009
tanggal 15 Mei 2009
 Perjanjian leasing memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee
 kontrak leasing adalah apabila lessor-nya perusahaan leasing yang sudah mendapat izin dari
Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha (leasing). Jika lessor tidak atau
belum memperoleh izin dari Menteri Keuangan, maka kontrak pembiayaan itu bukan kontrak
leasing

Jenis sewa guna usaha yang diakui menurut perpajakan hanya ada dua, yaitu:
1. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease / Capital Lease)
Financial Lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut
berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak
penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi
sewa (perusahaan leasing). Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha
dengan hak opsi apabila memenuhi karakteristik sebagai berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor.
b. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal
golongan I, 3 tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 tahun untuk
golongan bangunan.
c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya
manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik
bagi pihak pemberi sewa. Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha
tanpa hak opsi apabila memenuhi karakteristik sebagai berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak
dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewagunausahakan ditambah
keuntungan lessee.
b. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
3. Perbedaan Finance Lease dan Operating Lease

a. Finance Lease
 Perjanjian tidak dapat dibatalkan
 Masa sewa selama umur ekonomis
 Ada hak opsi
 Transaksi keuangan
 Tidak dikenakan PPn
 Bersifat full pay out
 Lessor tidak dapat menyusutkan barang
b. Operating Lease
 Perjanjian dapat dibatalkan
 Masa sewa relatif singkat
 Tidak ada hak opsi
 Transaksi sewa menyewa
 Dikenakan PPn
 Tidak bersifat full pay out
 Lessor dapat menyusutkan barang modal.

Perlakuan Sewa Guna Usaha Dalam Laporan Keuangan Lessee


Secara akuntansi dalam Capital Lesse, Lessee harus mencatat barang modal sewa guna
usaha sebagai aktiva, dan kewajiban pada suatu jumlah yang sama dengan nilai tunai pembayaran
sewa guna usaha minimum selama masa sewa guna usaha pada saat permulaan sewa guna usaha.
Dalam hal jumlah yang ditentukan terhadap aktiva yang disewagunausahakan melebihi nilai
pasar yang wajar pada saat permulaan sewa guna usaha, jumlah yang dicatat sebagai aktiva dan
kewajiban harus tetap bedasarkan jumlah nilai pasar yang wajar. Selama masa sewa guna usaha
setiap pembayaran sewa guna usaha akan dialokasikan sebagai pengurangan kewajiban serta biaya
bunga.
Aktiva yang disewagunausahakan berdasarkan capital Lease serta akumulasi penyusutannya
harus disajikan dalam neraca lessee secara terpisah ataupun diungkapkan secara wajar dalam
catatan atas laporan keuangan. Demikian pula dengan kewajiban karena suatu sewa guna usaha,
harus dinyatakan dan dikelompokkan sebagai kewajiban lancar atau kewajiban jangka panjang
dalam neraca sesuai dengan ketentuan yang lazim dilakukan. Penyusutan aktiva yang
disewagunausahakan yang dibebankan terhadap pendapatan harus pula diungkapkan.
Dalam perpajakan, perlakuan perpajakan untuk operating lease:
Bagi lessor
1. Seluruh pembiayaan yang diterima atau diperoleh oleh lessor merupakan penghasilan
2. Lessor berhak menyusutkan aktiva yang dileasingkan sesuai dengan ketentuan penyusutan
fiskal
3. Lessor wajib mengenakan pph atas jasa leasing tersebut
Bagi lesse
1. Jumlah sewa yang dibayar atau terhutang pada tahun yang bersangkutan merupakan biaya
yang dapat dikurangkan
2. Lesse tidak berhak menyusutkan aktiva yang disewanya
3. Lesse wajib memotong PPH pasal 23 atas sewa
Perlakuan perpajakan untuk capital lease:
Bagi lessor
1. Penghasilan lessor dari leasing dihitung dari seluruh pembayaran leasing dikurangi angsuran
pokok
2. Lessor tidak berhak menyusutkan aktiva yang dileasingkan
3. Lessor dapat membentuk dana cadangan piutang tak tertagih yang dibiayakan mak. 2,5 % x
saldo rata-rata piutang leasing
4. Pembayaran leasing tidak dikenakan PPN
Bagi lesse
1. Lesse boleh menyusutkan aktiva yang di leasing
2. Angsuran leasing ( angsuran pokok maupun bunga) yang dibayar atau terutang pada lessor
diakui sebagai biaya

Keuntungan dan Kerugian Sewa Guna Usaha (Leasing)


Situasi dari masing-masing perusahaan yang berbeda-beda menyebabkan faktor yang
menunjang pada suatu kasus tidaklah dapat diterapkan pada kasus lain. Salah satu keuntungan
berikut ini mungkin akan menjelaskan lebih lanjut sehingga menyebabkan kontrak lease akan
menjadi alternatif yang menarik untuk penyediaan barang modal/biaya (financing) pada situasi
tertentu. Diantara keuntungan tersebut adalah :
1. Penghematan modal, yaitu tidak perlu menyediakan dana yang besar, maksimum hanya
untuk “down payment” yang jumlahnya biasanya tidak besar. Hal ini merupakan
penghematan modal bagi lessee, sehingga lessee dapat menggunakan modal yang
tersedia untuk keperluan lainnya, karena leasing umumnya membiayai 100% barang
modal yang dibutuhkan.
2. Sangat fleksibel, yaitu bersifat sangat luas yang merupakan ciri utama bagi kelebihan
leasing dibanding kredit dari bank. Fleksibilitas meliputi struktur kontraknya, besarnya
pembayaran rental, jangka waktu pembayaran serta nilai sisanya.
3. Sebagai sumber dana, leasing merupakan salah satu sumber dana bagi perusahaan-
perusahaan industri maupun perusahaan komersil lainnya. Mekanisme untuk
memperoleh dana yaitu dengan melalui sale and leaseback atas aset yang sudah dimiliki
oleh lessee. Sementara itu credit line atau fasilitas kredit yang sudah ada dari bank masih
tetap tidak terganggu dan siap digunakan setiap saat.
4. On atau off balance sheet yaitu, leasing sesuai dengan kebutuhannya bisa dibukukan
dalam neraca.
5. Menguntungkan cash flow, fleksibilitas dari penentuan besarnya rental sangat
menguntungkan cash flow. Untuk suatu investasi dimana pendapatan penjualan
diperoleh secara musiman atau juga dimana keuntungan baru bisa diperoleh pada masa-
masa akhir investasi maka besarnya rental juga bisa disesuaikan dengan kemapuan cash
flow yang ada. Pengaturan seperti ini bisa mencegah timbulnya gejolak-gejolak
kekosongan dana di dalam kas perusahaan. Dilain pihak jika keadaan keuangan cukup
longgar maka besarnya rental dapat diperbesar untuk mempercepat amortisasi
prinsipalnya. Ini semua bisa diatur dengan menyusun struktur rental yang baik
disesuaikan dengan proyeksi cash flow-nya.
6. Menahan pengaruh inflasi, dalam keadaan inflasi lessee mengeluarkan biaya rental yang
sama. Dengan demikian, nilai rill dari rental tersebut telah berkurang. Atau bisa
dikatakan bahwa lessee membayar hari ini dengan perhitungan nilai mata uang kemarin.
7. Sarana kredit jangka menengah dan jangka panjang. Terutama sekali di Indonesia, saat
ini dirasakan sangat sulit sekali untuk mendapat dana pinjaman rupiah untuk jangka
menengah dan jangka panjang. Untuk mengatasi hal tersebut, leasing merupakan salah
satu alternatif yang bisa memenuhi kebutuhan ini. Melalui sale and leaseback maka
lessee akan bisa mendapatkan dana yang diperlukan dengan masa pengembalian jangka
menengah atau jangka panjang. Bahkan lessee juga bisa melakukan bullet repayment
seperti pada long term bank loan dimana rental yang dilakukan tiap bulan hanyalah
merupakan pembayaran interest saja
8. Dokumentasinya sangat sederhana, biasanya sudah standar sehingga lebih simpel bagi
lessee untuk memperpanjang transaksi leasing daripada merundingkan perjanjian baru
dengan pihak bank. Selanjutnya pengelompokkan berbagai biaya dalam satu paket
kemudian bisa digabungkan menjadi satu dengan harga barang untuk kemudian
diamortisasikan sepanjang masa leasing.
Tentunya disamping keuntungan-keuntungan tersebut diatas, leasing juga mempunyai kerugian atau
kelemahan antara lain sebagai berikut :
1. Pembiayaan secara leasing merupakan sumber pembiayaan yang relatif mahal bila
dibandingkan dengan kredit investasi dari bank. Hal ini terjadi karena sumber dana
lessor pada umumnya dari bank atau lembaga keuangan bukan bank.
2. Barang modal yang di lease tidak dapat dicantumkan sebagai unsur aktiva lease untuk
tujuan “collateral credit” dari bank, yaitu “trade creditor” mungkin akan menilai
perusahaan tersebut memiliki posisi keuangan yang lemah.
3. Bagi para perusahaan tertentu kadang-kadang timbul masalah prestise antara memiliki
barang modal sendiri atau lease.
4. Resiko yang lebih besar pada lessor, artinya adanya tanggung jawab yang menuntuk
pihak ketiga jika terjadi kecelakaan atau kerusakan atas barang orang lain yang
disebabkan oleh “lease property” tersebut, dan juga lessor belum tentu yakin bahwa
barang lease tersebut bebas dari berbagai ikatan seperti “liens (gadai) preference”,
priorities”, “charge” atau kepentingan-kepentingan lainnya.

Perbandingan Sewa Guna Usaha (Leasing) dan Kredit Bank


Jika dibandingkan dengan kredit perbankan, pembiayaan leasing mempunyai beberapa keunggulan
secara ekonomi diantaranya :
1. Pembiayaan penuh 100% tanpa uang muka
2. Persyaratan relatif tidak ketat
3. Pembayaran angsuran relatif fleksibel
4. Tidak harus dicantumkan dalam neraca (off balance sheet)
5. Terlindung dari resiko keuangan
6. Tingkat keamanan pembiayaan terjamin
7. Tidak perlu menyediakan jaminan (collateral)
8. Aset yang diperoleh melalui leasing merupakan jaminan bagi lessor mengingat status
kepemilikan barang modal objek leasing berada pada lessor.
Penyusutan Dalam Perpajakan
Dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi.
Metode penyusutan yang boleh digunakan menurut undang-undang perpajakan adalam
metode garis lurus dan metode saldo menurun. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan
tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tabel 1. Metode dan


Tarif Penyusutan
Menurut Undang-
Undang Pajak
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Masa Manfaat Sebagaimana Dimaksud
Berwujud Dalam
Ayat (1) Ayat (2)

I. BukanBangunan

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%


Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan

Permanen 20 Tahun
Tidak Permanen 10 Tahun 5%
10%

Revaluasi aktiva tetap


Revaluasi aktiva teap berdasarkan ketentuan fiskal diatur dalam keputusan menteri keuangan no
384/KMK.04/1998. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
- Revaluasi aktiva tetap hanya boleh dilakukan oleh wajib pajak badan dalam negeri
- Revaluasi aktiva tetap hanya dapat dilakukan atas aktiva yang terletak atau berada di indonesia.
- Aktiva tetap yang dapat direvaluasi meliputi semua aktiva berwujud, yang dimaksud tidak
untuk dijual atau dialihkan, tidak termasuk aktiva yang disewa.
- Revaluasi terhadap aktiva tetap dapat dilkakukan atau seluruh sebagian aktiva yang dimiliki
perusahaan
- Revaluasi harus dilkakukan oleh perusahaan penilai atau penilai yang diakui pemerintah
- Metode dan cara penilaian sepenuhnya diserahkan kepada profesi penilai dengan batasan: 1.
Metode dan cara penilaian sesuai dengan kelaziman 2. Hasil penilaian kembali dilakukan atau
dihitung berdasarkan nilai pasar
- Saat penilaian diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan perusahaan, pada awal tahun buku atau
pertengahan tahun buku. Namun untuk kepraktusan dan efisiensi penilaian kembali dianjurkan
pada awal tahu buku
- Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai yang diakui oleh
pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya maka dirjen
pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar dari aktiva yang bersangkutan.
- Wajib pajak yang melakukan revaluasi harus memberitahukan hasil revaluasi kepada kepala
KPP tempat WP terdaftar
- Wajib pajak yang akan melakuakan revaluasi wajib melunasi semua hutang dan tagihan pajak
yang masih ada, termasuk pajak yang terhutang atas selisih lebih penilaian kembali
- Selisih lebih penilaian kembali dapat dikompensasikan dengan kerugian pada tahun yang sama
atau tahun sebelumnya. Selisih lebih penilaian kembali setelah dikompensasikan dengan
kerugian dikenakan pajak penghasilan sebesar 10% dan bersifat final
- Penyusutan atas aktiva yang telah direvaluasi dilakukan berdasarkan masa manfaa aslinya,
sehingga aktiva yang dinilai kembali dianggap seperti aktiva baru
- Aktiva tetap yang telah direvaluasi dan telah dikenakan pajak penghasilan tidak dapat diahlikan
kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu 5 tahun setelah dilakukan revaluasi.

Perbedaan kebijakan akuntansi dan fiskal


Banyak terdapat perbedaan antara kebijakan akuntansi dn fiskal dalam hal penyusutan :
1. Praktik akuntansi komersial sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya mengenal
beberapa metode penyusutan :
i. Garis lurus
ii. Accelerated
iii. Aktivitas perunit
iv. Jenis dan kelompok
Namun dalam akuntansi fiskal hanya diperkenankan dua metode yaitu metode garis lurus dan
saldo menurun
2. Perbedaan lain adalah penentuan saat dimulainya penyusutan
3. Masa manfaat aktiva tetap pada kebijakan akuntansi ditentukan berdasarkan taksiran umur
ekonomis maupun teknis kemudian ditelaah ulang secara periodik dan nilai residu
diperhitungkan sedangkan pada kebijakan fiskal masa manfaat ditetapkan berdasarkan
keputusan Menteri keuangan dan nilai sisa tidak diperhitungkan
4. Pada kebijakan akuntansi harga perolehan adalah harga yang sesungguhnya untuk aktiva
yang berasal dari pembelian sedangkan pada kebijakan fiskal harga perolehan adalah harga
yang sesungguhnya untuk transaksi yang tidak mempunyai hubungan istimewa
5. Pada kebijakan akuntansi dikenal istilah deplesi namun berdasarkan kebijakan fiskal
alokasi sistematis dan rasional dari biaya perolehan hak pemanfaatan sumber alam
dilakukan dalam bentuk amortisasi
Leasing
Leasing mendapat perlakuan yang sama dalam kebijakan akuntansi dan fiskal untuk leasing
yang termasuk dalam kategori operating lease. Sedangkan untuk leasing yang masuk dalam kategori
capital lease mendapat perlakuan yang berbeda antara kebijakan akuntansi dan kebijakan fiskal.
Pada kebijakan fiskal, lesse tidak boleh menyusutkan aktiva tetap leasingnya, sedangkan pada
kebijakan akuntansi aktiva tetap leasing dapat disusutkan oleh lesse. Selain itu angsuran leasing
baik angsuran maupun bunga yang dibayar atau terutang kepada lessor dalam dalam kebijakan
fiskal diakui sebagai biaya, namun dalam kebijakan akuntansi pembayaran angsuran pokok
diberlakukan sebagai pembayaran hutang leasing dan bunganya merupakan biaya.
Revaluasi aktiva tetap
Pada revaluasi aktiva tetap jelas terlihat adanya perbedaan antara kebijakan akuntansi dan
fiskal. Kebijakan akuntansi tidak memperkenankan adanya revaluasi aktiva tetap. Sedangkan pada
kebijakan fiskal revaluasi dapat dibenarkan dengan tujuan untuk menyesuaikan laporan keuangan
agar tidak lebih/ kurang saji dan membawa posisi finansial kepada nilai sekarang yang sebenarnya.
Selain itu dalam hal penyusutan aktiva revaluasi, menurut kebijakan akuntansi aktiva revaluasi
disusutkan berdasarkan sisa manfaat dari aktiva yang bersangkutan. Namun menurut kebijakan
pajak aktiva revaluasi disusutkan berdasarkan masa manfaat asli aktiva yang berangkutan.
3. HYBRID FINANCIAL INSTRUMENTS.
Yaitu Produk investasi yang menggabungkan atribut dari efek ekuitas dengan utang.
Umumnya, instrumen hibrida dirancang sebagai instrumen utang dengan eksposur ke pasar ekuitas.
Contoh instrumen hibrida adalah obligasi konversi (convertible bond), saham preferen, default swap
ekuitas dan catatan terstruktur terkait dengan indeks ekuitas
Mayoritas sistem perpajakan di dunia (termasuk di Indonesia)memperlakukan bunga dan
dividen secara berbeda, yaitu dengan mengakui biaya bunga sebagai biaya fiskal sedangkan dividen
tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal. Biaya fiskal (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan) merupakan pengurang penghasilan bruto perusahaan, sehingga dengan
biaya fiskal yang besar, maka pajak yang harus dibayar oleh perusahaan berkurang. Biaya bunga
diakui sebagai biaya fiskal karena biaya bunga merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
untuk menjalankan usaha(cost of doing business).
Sedangkan dividen pada dasarnya merupakan pembagian laba (dividen dibagikan kepada
pemilik atau pemegang saham jika perusahaan memperoleh laba sesudah pajak yang positif),
sehingga tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal. Karena sistem perpajakan mengakui biaya bunga
sebagai biaya fiskal (sehingga memberikan manfaat pajak bagi perusahaan), maka secara implisit
sistem perpajakan mendorong perusahaan untuk melakukan debt financing daripada equity
financing. Hal tersebut dikenal dengan istilah debt bias. Debtbias menyebabkan berbagai distorsi di
bidang ekonomi (De Moijj, 2011;
Hemmelgarn dan Nicodeme, 2012)
Hybrid Financial Instrument menimbulkan debt bias, hal tersebut dilakukan perusahaan
dengan “mempersulit” penentuan PKP.Penentuan PKP “dipersulit” perusahaan dengan penggunaan
instrumen keuanganhibrida (hybrid financial instrument) sebagai sumber pendanaan.
Perkembanganinstrumen keuangan hibrida yang cukup pesat memungkinkan instrumentersebut
mengandung unsur utang dan ekuitas (seperti convertible bond),sehingga batas antara utang dengan
ekuitas menjadi kurang jelas. Hal tersebut mempersulit penentuan PKP, karena utang dan ekuitas
diperlakukan berbedamenurut UU PPh yang berlaku.
Pajak sebagai salah satu lingkungan bisnis perusahaan mempengaruhiberbagai keputusan
yang diambil oleh perusahaan, salah satunya adalahkeputusan pendanaan. Pajak mempengaruhi
keputusan pendanaan perusahaankarena membedakan perlakuan pemajakan antara bunga
(konsekuensi yang timbul dari kegiatan pendanaan eksternal dengan sumber dana dari utang
(debtfinancing) dengan dividen (konsekuensi timbul dari kegiatan pendanaan eksternal dengan
sumber dana dari ekuitas (equity financing). Perbedaan perlakuan tersebut adalah perbedaan
pengakuan biaya yang timbul dari kegiatan pendanaan. Biaya yang timbul dari debt financing
(biaya bunga) dapat diakui sebagai biaya fiskal (sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1).
Sedangkan biaya yang timbul dari equity financing (dividen) tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal
(sesuai UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 9 ayat (1).

Penerapan Hybrid Financial Instrument di Belanda


Mahkamah Agung Belanda telah menjatuhkan hukuman dalam dua kasus mengenai
klasifikasi instruments keuangan hybrid Pertanyaan dalam kedua kasus adalah apakah saham dapat
memenuhi syarat sebagai instrumen utang untuk keperluan pajak.
Seperti di banyak yurisdiksi, perbedaan antara ekuitas dan utang untuk tujuan perpajakan
sangat penting. keputusan akhir Belanda Mahkamah Agung dalam kedua kasus menyatakan bahwa
klasifikasi saham di bawah hukum sipil Belanda yang menentukan. Kedua kasus menunjukkan
bahwa perlakuan pajak dari instrumen keuangan hybrid menjadi sorotan di Belanda. Bahwa
masalah yang sama adalah semakin penting secara global, seperti yang ditunjukkan oleh hybrid
bunga instrumen keuangan menarik dari OECD, G20 dan Komisi Eropa dalam perjuangan mereka
melawan penghindaran pajak oleh perusahaan multi nasional
Seperti di banyak yurisdiksi lain, di bawah hukum pajak Belanda, remunerasi untuk utang
(bunga) umumnya dikurangkan, sedangkan remunerasi untuk ekuitas (distribusi laba) tidak dapat
dikurangkan. Selanjutnya, pada prinsipnya pajak pemotongan dividen Belanda 15 persen dikenakan
pada distribusi keuntungan, sementara tidak ada pemotongan pajak Belanda dikenakan pada
pembayaran bunga. Keduanya bunga dan distribusi laba dikenakan pajak di tangan penerima.
Hukum pajak perusahaan Belanda menyediakan untuk pembebasan, yang disebut pembebasan
partisipasi (deelnemingsvrijstelling), penghasilan yang diperoleh dari investasi ekuitas di anak
perusahaan dalam hal pemegang saham memiliki minimal 5 persen dari nominal modal disetor
saham di anak perusahaan, tidak diperlakukan sebagai investasi portofolio.
Sejumlah kasus pengadilan telah menghasilkan kerangka kerja yang ditetapkan untuk
mengklasifikasi utang menjadi ekuitas untuk tujuan pajak Belanda. Pada prinsipnya, apakah
instrumen keuangan harus dipertimbangkan utang atau ekuitas ditentukan atas dasar qualification.
Dalam kasus hukum Laut Kaspia, Mahkamah Agung Belanda memperjelas bahwa karakteristik
penting dari pinjaman adalah kewajiban pembayaran kembali oleh debitur. Ini berarti bahwa jika
penerima pembiayaan tertentu tidak diwajibkan untuk membayar kembali, pembiayaan tersebut,
pada prinsipnya, tidak dianggap pinjaman. Namun demikian, tiga pengecualian akibat yang utang
untuk tujuan hukum sipil tetap dianggap atau setidaknya diperlakukan sebagai ekuitas untuk tujuan
pajak Belanda. Pengecualian ini adalah pinjaman palsu (schijn leningen), pinjaman pembiayaan loss
(bodemloze put leningen) dan pinjaman yang berpartisipasi (deelnemerschapslening).
Untuk memenuhi syarat utang sebagai pinjaman yang berpartisipasi, kondisi berikut
dikembangkan di kasus hukum Belanda harus secara kumulatif dipenuhi: (I) Remunerasi pinjaman
tergantung pada keuntungan dari peminjam (Ii) Pinjaman subordinasi terhadap klaim semua
kreditur lainnya dan (Iii) Pinjaman tidak mempunyai jangka waktu atau abadi (pinjaman memiliki
jangka lebih dari 50 tahun dianggap telah sesuai kondisi ini) Oleh karena itu, kualifikasi pinjaman
sebagai utang untuk tujuan hukum perdata yang bukan pinjaman palsu, pinjaman pembiayaan
kerugian atau pinjaman berpartisipasi dianggap utang untuk tujuan pajak Belanda
Putusan pada tanggal 7 Februari 2014 adalah kasus pengadilan pertama di mana Mahkamah
Agung Belanda membahas pertanyaan apakah ekuitas untuk tujuan pajak (saham) dapat
dikualifikasi ulang ke dalam utang.
4. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI
Pembiayaan cabang perusahaan yang pendapatannya menjadi obyek pajak bertarif tinggi dapat
usahakan agar mendorong terciptanya pengurangan biaya bunga dan pembayaran dividen
semaksimal mungkin.
Tax treaty
Pembayar pajak juga dapat mengurangi beban pajak asing dengan memanfaatkan tax treaty,
khususnya yang berkaitan dengan pengurangan tarif pemotongan bagi BUT. Sebagai contoh,
sebagian besar tax treaty mengatur bahwa keuntungan perusahaan domestik adalah bukan
obyek pemajakan oleh pihak asing kecuali bisnisnya dijalankan melalui BUT. Artinya perusahaan
induk dapat mengurangi pemotongan pajak asing dengan memperoleh hak kepemilikan cabang di
luar negeri sehingga dapat berstatus sebagai domestik, bukan BUT. Hal ini biasa disebut dengan
“treaty shopping”.
Dengan memanfaatkan tax treaty antar negara atas bunga yang dapat dibebankan
perusahaan dapat memilih alternatif atas pembiyaan Luar Negeri dalam rangka Tax Planning untuk
meminimalkan pembayaran pajak. Tetapi perlu diperhatikan tidak semua biaya hutang dapat
dibebankan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 ini
menetapkan bahwa untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan besarnya perbandingan antara
hutang dan modal sendiri (debt equity ratio) ditetapkan setinggitingginya empat dibanding satu (4 :
1) dimana biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal dengan ratio
setinggitingginya empat dibanding satu (4 : 1).
Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015
menetapkan bahwa Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan
laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
konsekuensi bila tidak dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak, maka atas biaya pinjaman yang
terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dijadikan pengurang/beban (non
deductible expenses) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Aturan ini mulai diberlakukan
untuk tahun pajak 2016 dan seterusnya.

Tinjauan Perencanaan Pajak Sehubungan Pembelian Aktiva Tetap Berwujud


Secara Tunai, Kredit dan Leasing

Daniel Benyamin de Poere dan Siti Ita Rosita Program Studi Akuntansi, Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan Bogor, Indonesia
E-Mail : rositaita50@yahoo.com
Sesuai dengan keputusan pajak terbaru UU PPh nomor 36 tahun 2008 Bagi WP badan, tarif
PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan (10%, 15% dan 30%) menjadi tarif tunggal 28%. Tarif PPh
ini digunakan untuk mengurangi laba kena pajak hasil dari koreksi fiskal terhadap biaya yang
dapat dikurangkan.
Dan untuk perhitungan penghematan pajak dapat dilakukan dengan cara:
1. menjumlahkan semua biaya yang dapat dibebankan pada aktiva tetap baik nilai penyusutan,
biaya administrasi dan biaya asuransi, maupun nilai payment lease.
2. setelah mendapakan nilai dari penghasilan kena pajak, lalu mengkalikan jumlah penghasilan
kena pajak dengan tarif pajak tunggal yang telah ditetapkan,
3. setelah didapat nilai pajak yang harus dibayarkan perusahaan, maka untuk menilai
penghematan pajak yang akan dibayarkan dapat dicari dengan menggunakan discount factor.
Rumus: FV = PV ( 1 + i )t

Dimana : FV = FutureValue
PV = present Value
i = annual interest rate
Untuk menghitung annual interest rate dengan tingkat bunga 7,5% yaitu dengan menggunakan

rumus 1 / ( 1 + i )t

Berikut ini adalah besarnya pembayaran sewa guna usaha (lease payment) yang dilakukan oleh
PT.Sarana Garment (lessee).
Perbandingan Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dengan pembelian secara tunai, kredit bank,
dan leasing (menggunakan metode penyusutan garis lurus)

Biaya yang boleh dikurangkan Tunai Kredit (9%) Leasing (13%)


Biaya Penyusutan 100.000.000,- 100.000.000,- 30.000.000,
Lease Payment 70.000.000,
Biaya Bunga Pinjaman 9.643.381,- 9.870.262,-
Biaya Administrasi 2.000.000,- 2.000.000,-
Biaya Asuransi 5.000.000,- 5.000.000,-
Jumlah 100.000.000,- 116.643.381,- 116.870.262,
PPh 28% 28.000.000,- 32.660.147,- 32.723.673,
PV (Disc Rate 7,5%) 28.000.000,- 27.729.952,- 27.982.097,

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dapat dilihat bahwa dampak atau pengaruh biaya
yang dapat dikurangkan dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak, untuk alternatif
pembelian melalui sewa guna usaha (leasing) biaya yang dapat dikurangkan dalam pembayaran
pajak adalah pembiayaan paling besar karena semua lease payment, ditambah biaya administrasi,
serta biaya penyusutan sebesar nilai sisa (residual value) boleh dibiayakan, sedangkan untuk
alternatif pembelian melalui kredit bank hanya biaya penyusutan, biaya administrasi dan biaya
bunga atas pinjaman pada bank dan juga untuk alternatif pembelian secara tunai hanya biaya
penyusutan yang dapat dibiayakan.
Apabila menggunakan penyusutan (penyusutan yang dipercepat atau accelerated depreciation).
Hal ini akan mempengaruhi besarnya pajak penghasilan yang dapat dihemat oleh perusahaan.

Perbandingan Penghematan Pajak dengan pembelian secara tunai dengan kredit


Leasing vs
Tunai 28.000.000,-
Kredit 9% 27.729.952,-
Penghematan Pajak 270.048,-
Perbandingan Penghematan Pajak dengan pembelian secara tunai dan leasing
Leasing vs
Tunai 28.000.000,-
Leasing 13% 27.982.097,-
Penghematan Pajak 17.903,-
Untuk alternatif pembiayaan dengan memakai tingkat discount rate 7.5%, dan menggunakan
metode penyusutan garis lurus, maka jumlah pajak penghasilan yang dapat dihemat perusahaan
adalah Rp 28.000.000,- untuk pembelian aktiva tetap secara tunai, dan penghematan pajak untuk
pinjaman kredit bank sebesar Rp 27.729.952,- sedangkan untuk leasing penghematan pajaknya
sampai dengan Rp 27.982.097,-

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Penghematan pajak yang diperoleh untuk pembelian 2 (dua) unit mesin fotocopy Xerox ND :
456 antara pembiayaan secara tunai dengan kredit adalah sebesar Rp 270.048,-. Sedangkan
pembiayaan secara tunai dengan leasing penghematan pajaknya sebesar Rp 17.903,-.
2. Alternatif pembiayaan melalui tunai merupakan alternatif yang memiliki nilai penghematan
pajak terbesar dibandingkan pembiayaan dengan cara kredit bank dan pembiayaan secara sewa
guna usaha (leasing). Biaya perolehan aktiva tetap berwujud yang dikeluarkan secara tunai jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kredit maupun sewa guna usaha (leasing).
3. Besarnya penghematan pajak dapat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga efektif dan
discount factor yang ditetapkan.
Saran
Dari hasil pembahasan yang dilakukan, maka saran yang dapat diberikan adalah:
1. Memilih alternatif pembiayaan melalui tunai dalam memperoleh aktiva tetap berwujud karena
dengan menggunakan pembiayaan melalui tunai, lebih menguntungkan diantara alternatif
pembiayaan secara kredit bank atau leasing.
2. Perolehan aktiva tetap dengan pembiayaan tunai merupakan penghematan pajak yang benar
yaitu tidak menyimpang dari aturan perpajakan yang berlaku (lawful), sehingga Wajib Pajak
tetap dapat meminimalkan beban pajaknya serendah mungkin.
3. Untuk PT. Sarana Garment yang merupakan perusahaan yang memiliki arus kas yang baik.
Perolehan aktiva tetap berwujud yang diperoleh dengan cara tunai, akan lebih efektif dan
efisien, karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan beban lebih untuk biaya bunga dan
administrasi lainnya sehubungan perolehan.

Anda mungkin juga menyukai