Kelas : A1/Akuntansi
NPM : 18133100122
Pembedaan antara dua bagian elemen ekuitas pemegang sangat penting, Dari segi
administrasi keuangan, laba ditahan merupakan indicator daya melaba sehingga laba ditahan
harus selalu dipisahkan dengan modal setoran meskipun jumlahnya akhirnya ditotal untuk
membentuk ekuitas pemegang saham. Pembedaan ini juga sangat penting secara yuridis karena
modal setoran merupakan dana dasar yang harus tetap dipertahankan untuk menunjukkan
perlindungan bagi pihak lain. Dana ini hanya dapat ditarik kembali dalam likuidasi atau dalam
keadaan luar biasa lainnya.Sementara itu, laba ditahan adalah jumlah rupiah yang secara yuridis
dapat digunakan untuk pembagian dividen.
3. Modal Yuridis
Modal yuridis timbul karena ketentuan hukum yang mengharuskan bahwa harus ada
sejumlah rupiah yang harus dipertahankan dalam rangka perlindungan rehadap pihak lain.
Bentuk ketentuan hukum ini adalahbahwa saham harus mempunyai nilai nominal atau nilai
minimum yang dinyatakan untuk menunjukkan hak yuridis. Modal yuridis merupakan jumlah
rupiah “minimal” yang harus disetor oleh investor sehingga membentuk modal yuridis.
4. Modal Setoran Lain
Transfer dari modal setoran ke laba ditahan tanpa alasan yang kuat adalah penyimpangan
dari penalaran yang valid. Ini berarti bahwa modal tidak dapat digunakan sebagao sumber laba
ditahan. Demikian juga, tidak sebagianpun dari jumlah rupiah laba ditahan dapat dimasukkan
sebagai modal setoran kecuali jumlah rupiah tersebut telah diubah menjadi modal dengan proses
kapitalisasi yuridis atau telah berubah karena transaksi modal yang dibahas dibawah ini.
KONSEP NILAI TAMBAH
Konsep nilai tambah secara umum dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara penghasilan
kotor yang diterima oleh suatu perusahaan dari hasil penjualan produk dan jasa dengan jumlah
uang yang dibayarkan untuk membeli bahan baku dan jasa lain yang disediakan oleh pemasok
dari luar perusahaan. Atau dapat disimpulkan bahwa nilai tambah pada dasarnya adalah hasil
penjualan dikurangi dengan biaya bahan baku dan jasa pihak luar yang digunakan dalam rangka
menciptakan penghasilan tersebut. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa sebagaian dari hasil
penjualan dipakai untuk membayar bahan baku dan jasa yang dibeli dari masyarakat diluar
perusahaan. Sisanya adalah kekayaan atau nilai tambah perusahaan yang diciptakan oleh para
pegawai yang ada dalam perusahaan yang bekerja dengan sejumlah modal yang berasal dari
pemegang saham, kreditur dan pemakai fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah.
METODE PENENTUAN NILAI TAMBAH EKUITAS
Terdapat dua metoda dalam menghitung besarnya nilai tambah, antara lain :
· Metode Substraktif : Yaitu dengan menghitung besarnya nilai penjualan kotor perusahaan, atau
dengan cara hasil penjualan dikurangi dengan beban input yang terdiri dari bahan baku atau jasa
yang dibeli dari luar perusahaan yang dipakai untuk menghasilkan penjualan tersebut.
· Metode Aditif : Di mana nilai tambah perusahaan dihitung dari laporan laba operasi, atau
dengan cara menjumlahkan semua input produksi yang berasal dari modal dan tenaga kerja
dalam menghasilkan penjualan.
KASUS MENGENAI EKUITAS
2 April 2019
Polemik dimulai saat dua komisaris Garuda Indonesia, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (saat
ini sudah tidak menjabat), menolak menandatangani laporan keuangan Garuda Indonesia
karena tidak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Dalam
pembukuan tersebut, Garuda Indonesia menyatakan laba bersih mereka senilai USD890,85
ribu atau setara dengan Rp11,33 miliar dengan asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS. Lonjakan
sangat tajam dan signifikan ini berbanding terbalik dengan pembukuan sebelumnya yang
menyatakan kerugian sebesar USD216,5 juta. Ternyata, Garuda Indonesia mengakui piutang
dari PT Mahata Aero Teknologi (MAT) terkait pemasangan wifi sebagai laba perusahaan.
30 April 2019
Menanggapi skandal tersebut, jajaran direksi Garuda Indonesia dipanggil oleh Bursa Efek
Indonesia (BEI). Pertemuan itu diadakan bersama auditor Garuda Indonesia, Ketua Akuntan
Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan rekan (Member of BDO International).
Saat itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, belum bisa memberikan sanksi pada KAP dan rekan
karena masih melakukan analisis laporan keuangan dari pihak auditor.
2 Mei 2019
Sebulan setelah penolakan penandatanganan oleh dua komisaris, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
meminta verifikasi laporan keuangan Garuda Indonesia pada BEI atas polemik tersebut.
3 Mei 2019
Garuda Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akan mengaudit ulang
laporan keuangannya yang tidak sesuai dengan PSAK.
8 Mei 2019
MAT bersuara setelah namanya terseret dalam skandal laporan keuangan Garuda Indonesia.
Perusahaan yang baru berdiri pada 3 November 2017 ini berani bekerja sama dengan Garuda
Indonesia dengan mencatatkan utang senilai USD239 juta yang kemudian dimasukkan ke
dalam kolom pendapatan oleh Garuda Indonesia.
21 Mei 2019
Garuda Indonesia kembali dipanggil oleh Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
dimintai keterangan terkait skandal tersebut. Direktur Utama Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah
Askhara Danadiputra atau biasa disebut Ari Askhara menjelaskan bahwa pengakuan piutang
sebagai pendapatan karena dari USD239, 94 juta, USD28 juta di antaranya adalah bagi hasil
yang seharusnya dibayarkan oleh MAT.
14 Juni 2019
Sekretaris Jendral Kementerian Keuangan (Sekjen Kemenkeu) Hardiyanto menyampaikan
hasil pemeriksaan terhadap KAP yaitu adanya dugaan audit yang tidak sesuai PSAK dan sanksi
yang akan diberikan pada KAP dan rekan masih menunggu koordinasi dari OJK.
18 Juni 2019
BEI yang juga berkoordinasi intens dengan OJK terkait sanksi yang akan diberikan pada KAP
dan rekan masih menunggu keputusan final OJK.
28 Juni 2019
Garuda Indonesia menerima sanksi dari berbagai pihak. Sanksi untuk auditor dari Sri Mulyani
yaitu pembekuan izin selama 12 bulan. Sementara itu, OJK mengenakan sanksi pada Garuda
Indonesia dengan denda Rp100 juta serta masing-masing jajaran direksi dan komisaris didenda
dengan harus patungan membayar Rp100 juta. Di samping itu, BEI juga mengenakan sanksi
pada Garuda Indonesia dengan denda sebesar Rp250 juta.
Pelanggaran PT Garuda Indonesia
Otoritas jasa keuangan memutuskan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah
melakukan kesalahan terkait penyajian laporan keuangan tahunan per 31 Desember 2018. OJK
mengungkapkan bahwa PT Garuda Indonesia telah terbukti melanggar:
1. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal)
“(1) Laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib disusun berdasarkan
prinsip akuntansi yang berlaku umum. (2) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat menentukan ketentuan akuntansi di bidang
Pasar Modal.”,
2. Peraturan Bapepam dan LK Nomor VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan
Laporan Keuangan Emiten dan Perusahaan Publik,
3. Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 tentang Penentuan Apakah Suatu
Perjanjian Mengandung Sewa, dan
4. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 30 tentang Sewa.
Sanksi yang dijatuhkan pada PT Garuda Indonesia
Setelah melakukan koordinasi dengan Kementrian Keuangan Republik Indonesia, PT Bursa
Efek Indonesia, dan pihak terkait lainnya, sanksi yang dijatuhkan OJK kepada PT Garuda
Indonesia berupa:
1. Memberikan perintah tertulis kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk
memperbaiki dan menyajikan kembali LKT PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk per 31
Desember 2018 serta melakukan public expose atas perbaikan dan penyajian kembali
LKT per 31 Desember 2018 dimaksud paling lambat 14 hari setelah ditetapkannya surat
sanksi, atas pelanggaran yang telah dijelaskan penulis di atas,
2. Memberi perintah tertulis kepada KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan
(Member of BDO International Limited) untuk melakukan perbaikan kebijakan dan
prosedur pengendalian mutu atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor 13/POJK.03/2017
jo. SPAP Standar Pengendalian Mutu (SPM 1) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
ditetapkannya surat perintah dari OJK,
3. OJK menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 100 juta kepada PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor
29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik,
4. Sanksi berupa denda kepada masing-masing anggota Direksi PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk sebesar Rp 100 juta atas pelanggaran Peraturan Bapepam Nomor
VIII.G.11 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan, dan
5. BEI resmi menjatuhkan sanksi kepada PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) atas kasus
klaim laporan keuangan perseroan yang menuai polemik. Beberapa sanksi yang
dijatuhkan antara lain denda senilai Rp 250 juta dan restatement atau perbaikan laporan
keuangan perusahaan dengan paling lambat 26 Juli 2019 ini.
Rekomendasi atas Kasus Garuda Indonesia
Agar kasus serupa tidak terulang kembali, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
berbagai pihak. Pihak KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang dan Rekan (Member of BDO
International Limited) perlu melakukan pengecekan ulang terhadap piutang PT Garuda
Indonesia Tbk (GIAA) atas Mahata sebesar US$239,94. Pihak KAP perlu melakukan
pengecekan pada histori dokumen penjualan dan penerimaan perusahaan. Dokumen penjualan
dalam hal ini contohnya: 1). Customer Order, 2). Sales order, 3). Shipping document, 4). Sales
invoice, 5). Sales transaction file, 6). Sales journal or listing, 7). Account receivable master
file, 8). Account receivable trial balance, 9). Monthly statement. Dokumen penerimaan dalam
hal ini contohnya: 1). Remittance advice, 2). Prelisting of cash receipts, 3). Cash receipt
transaction file, 4). Cash receipt journal or listing. Pengecekan histori dokumen-dokumen ini
bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam proses audit sehingga audit yang dilakukan sudah
sesuai dengan ketentuan PSAK. Selain itu, dari sisi internal sendiri, PT Garuda Indonesia
harusnya dapat menjelaskan nature transaksi mereka kepada publik sehingga tidak
menimbulkan kerancuan di tengah publik terkait kondisi perusahaan di kuartal-III 2018 yang
masih merugi dan dalam waktu singkat memperoleh laba di penghujung tahun 2018.
Garuda Indonesia Pasca Kasus Laporan Keuangan
Pasca penetapan sanksi yang diberikan oleh OJK kepada Garuda Indonesia akibat melakukan
pemolesan pada laporan keuangan mereka pada 2018 silam, kinerja PT Garuda Indonesia
tampak tidak mengalami perubahan yang berarti. Sanksi yang diberikan OJK ini tidak
menimbulkan perubahan pada cash out Garuda Indonesia. Di lain sisi, sejak penetapan sanksi
oleh OJK, harga saham Garuda Indonesia di BEI mengalami penurunan. Penurunan nilai saham
yang dialami oleh PT Garuda Indonesia dinilai wajar dan tidak terlalu signifikan.
Rupanya, skandal laporan keuangan Garuda Indonesia bukanlah skandal terakhir bagi Garuda
Indonesia. Setelah itu, pada bulan Agustus 2019, mantan dirut Garuda Indonesia, Emirsyah
Satar, ditahan KPK terkait dugaan suap dan pencucian uang dalam pengadaan suku cadang
pesawat. Selanjutnya, kasus perseteruan Garuda Indonesia dengan Content Creator Rius
Vernandes dan turunnya peringkat Garuda Indonesia pada ajang World Airline Awards. Lalu,
kasus penyeludupan sepeda motor Harley Davidson dan Sepeda Brompton yang terjadi
November 2019. Selain itu, masih ada kisruh pada akuisisi PT Garuda Indonesia melalui anak
usaha Citilink terhadap Sriwijaya Air yang menyebabkan kedua maskapai tersebut
menghentikan kerjasamanya. Terakhir, terkuaknya kesewenang-wenangan Dirut Ari Askhara
pada jam terbang pramugari serta pemotongan biaya dalam layanan penumpang cukup menjadi
alasan yang kuat dalam pencopotan jabatan Ari Askhara sebagai Dirut Garuda Indonesia oleh
Menteri BUMN, Eric Thohir.
Kasus-kasus yang menimpa PT Garuda Indonesia secara silih berganti ini secara tidak langsung
dapat memengaruhi reputasi dan kepercayaan Garuda Indonesia di mata masyarakat. Pihak
customer menjadi bertanya-tanya dan menimbulkan keraguan dalam menggunakan jasa
penerbangan Garuda Indonesia. Apabila tidak ada perubahan dari pihak internal perusahaan
dalam usaha memperbaiki reputasi mereka di tengah masyarakat, bukan tidak mungkin jasa
layanan penerbangan Garuda Indonesia akan ditinggalkan oleh customer-nya. Tidak hanya itu,
masalah-masalah yang menimpa Garuda Indonesia dapat membuat para investor menjadi ragu
atas kinerja Garuda Indonesia. Perusahaan bisa saja ditinggal oleh para pemegang saham yang
ragu atas kinerja perusahaan. Pihak Garuda Indonesia perlu melakukan usaha dari sisi internal
Ekuitas perseroan terus mengalami kenaikan dari tahun 2014-2019. Kerugian yang dialami
Perseroan membuat ekuitas Perseroan meningkat 37,19% dari Rp2,07 triliun di tahun 2018
menjadi Rp2,84 triliun di tahun 2019. Kemampuan Perseroan untuk memenuhi kewajiban jangka
Panjang diukur berdasarkan rasio liabilitas terhadap aset Perseroan. Sementara kemampuan
untuk membayar utang diukur berdasarkan rasio utang terhadap ekuitas. Pada tahun 2019, rasio
utang terhadap aset Perseroan berada di tingkat 0,35 sedangkan rasio utang terhadap ekuitas
berada di tingkat 0,53. Hal ini terjadi karena selama tahun 2019 Perseroan melakukan
pembayaran cicilan utang. Untuk memastikan keberlanjutan usaha, Perseroan berusaha untuk
terus mempertahankan struktur modal di tingkat yang sehat. Hal ini dilakukan melalui penekanan
pengeluaran, pengelolaan utang secara efektif dan pengelolaan cadangan kas yang memadai.
Kemampuan Perseroan untuk mempertahankan struktur modal yang sehat dapat terlihat dari
perbandingan antara liabilitas dan ekuitas Perseroan, yang menunjukkan ketersediaan dana bagi
Perseroan untuk melunasi kewajibannya.
MITRA PINASTHIKA MUSTIKA
Ekuitas perseroan tahun 2014-2018 terus mengalami kenaikan. Perseroan membukukan total
ekuitas sebesar Rp7.266 miliar per 31 Desember 2019, turun sebesar 17,1% dari Rp8.770 miliar
pada 2018, terutama disebabkan karena penurunan pada saldo laba terkait pembagian dividen.
Untuk memiliki struktur modal yang ideal, Perseroan merancang pendanaannya dengan saksama
guna mengurangi beban modal dan melakukan pengembangan bisnis secara fleksibel. Hal ini
bertujuan untuk memberikan imbal hasil kepada para pemegang saham dan manfaat yang lebih
luas kepada para pemangku kepentingan. Struktur modal Perseroan mematuhi Peraturan
Kementerian Keuangan No.169/PMK.010/2015, dimana rasio DER maksimum yang
diperbolehkan untuk kepentingan pajak adalah 4:1. Hingga 2019, Perseroan belum memiliki
kebijakan khusus terkait struktur permodalan, namun Perseroan terus memastikan kepatuhan
terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pada 2019, Perseroan memiliki rasio DER
sebesar 0,06x. Struktur modal Perseroan per 31 Desember 2019 terdiri atas liabilitas sebesar
24,0% dan ekuitas sebesar 76,0%.
Pada tahun 2020, rasio rugi neto tahun berjalan terhadap total aset dan rasio rugi neto tahun
berjalan terhadap total penjualan neto masing-masing mengalami penurunan dari semula -6,54%
dan -13,05% menjadi -2,96% dan -8,27%. Sedangkan, rasio rugi neto tahun berjalan terhadap
total ekuitas mengalami peningkatan dari semula -77,31% menjadi -340,79%. Hal ini
menunjukkan bahwa Perseroan perlu terus meningkatkan upaya untuk lebih efektif dan efisien
dalam mengelola beban-beban operasional guna mengoptimalkan laba yang diperoleh. Pada
tahun 2020, Perseroan mencatatkan penurunan pada total ekuitas sebesar 89,19% atau
Rp278.084 juta dari Rp311.778
juta di tahun 2019 menjadi Rp33.694 juta. Penurunan tersebut disebabkan adanya penurunan
pada penghasilan komprehensif lain sebesar Rp142.700. Setelah pengakuan awal, Grup dapat
memilih
untuk mengklasifikasikan investasi ekuitasnya secara tidak dapat dibatalkan sebagai instrumen
ekuitas yang ditetapkan pada nilai wajar melalui OCI jika definisi ekuitas sesuai PSAK No. 50:
Instrumen Keuangan: Penyajian dan tidak dimiliki untuk diperdagangkan. Klasifikasi ditentukan
berdasarkan instrumen per instrumen. Total liabilitas terhadap total ekuitas dan total liabilitas
terhadap total aset pada tahun 2020 masing-masing sebesar 11.429,01% dan 99,13% mengalami
peningkatan dibandingkankan dengan tahun 2019 masing-masing sebesar 1.082,33% dan
91,54%. Meskipun rasio solvabilitas mengalami peningkatan, kemampuan Perseroan dalam
membayar utang tetap terjaga dengan baik. Perseroan mampu memenuhi kewajibankewajiban
jangka panjangnya secara tepat waktu.
VICTORIA INSURANCE
Tahu Modal Saham Tambahan Saldo Laba Penghasilan Jumlah ekuitas Ekuitas
n Modal Belum Komprehensif dipakai
Disetor ditentukan Lain diatribusikan
penggunaanny kepadaKepentinga
a n non pengendali
Pada tahun 2014-2019 total ekuitas perseroan mengalami kenaikan dan penurunan signifikan.
Total Ekuitas yang berhasil dibukukan Perseroan pada posisi 31 Desember 2020 adalah sebesar
Rp184.247 juta menurun sebesar Rp2.085 juta atau 1,12% dari posisi 31 Desember 2019 yang
mencapai Rp186.332 juta. Penurunan Ekuitas tersebut disebabkan oleh adanya pembagian
dividen. ada tanggal 31 Desember 2020, Ekuitas Perseroan mencapai sebesar Rp184.247 juta
berdasarkan POJK No. 71/POJK.05/2016 Perseroan wajib memiliki modal sendiri (ekuitas)
minimum sebesar Rp100.000.000.000,-. Dengan demikian ekuitas Perseroan telah memenuhi
ketentuan tersebut. Dana jaminan bagi Perusahaan asuransi umum berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 71/POJK.05/2016 tentang “Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi” adalah jumlah yang lebih besar antara 20% dari ekuitas
minimum atau hasil penjumlahan 1% dari premi neto ditambah 0,25% dari premi reasuransi
ditambah 2% dari cadangan atas PAYDI. Perusahaan telah memenuhi ketentuan mengenai
besarnya dana jaminan tersebut di atas. Dana Jaminan bagi Perseroan asuransi umum
berdasarkan POJK No. 71/POJK.05/2016 adalah jumlah yang lebih besar antara 20% dari
Ekuitas minimum atau hasil penjumlahan 1% dari premi neto ditambah 0,25% dari premi
reasuransi ditambah 2% dari cadangan atas PAYDI. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat
bahwa dana jaminan Persereoan adalah sebesar Rp22.490.000.000. Dengan demikian, Perseroan
telah memenuhi ketentuan mengenai besarnya dana jaminan tersebut.