Anda di halaman 1dari 16

KASUS GAYUS TAMBUNAN

Minggu, 28 Maret 2010, 13:36 WIB

VIVAnews – Satuan Tugas Pemberantas Mafia Hukum mengungkapkan bahwa kasus

Gayus Tambunan merupakan kasus mafia yang tergolong berat. Dampak kerusakannya juga

sangat besar. “Bayangkan, jika kasus ini dibiarkan, dampaknya akan sangat merusak,” ujar

Sekretaris Satgas Mafia Hukum.

Denny Indrayana saat dihubungi VIVAnews di Jakarta, Minggu, 28 Maret 2010. Dia

menekankan kategori beratnya kasus ini karena bukan hanya menyangkut aparat pajak,

melainkan juga terkait dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Di sisi lain, dampak besar dari kasus ini adalah dari sisi penerimaan negara. Padahal, penerimaan

negara selama ini sebagian besar disumbang dari pajak. “Bayangkan, jika kasus ini dibiarkan

terjadi,” katanya. Karena itu, kata Denny, Satgas membantu kepolisian untuk mengungkap kasus

tersebut. Satgas telah menghimpun informasi sangat penting dan strategis dari Gayus Tambunan

guna menginvestigasi kasus ini lebih lanjut.

Informasi itu terkait dengan mafia yang bukan sekedar melibatkan orang pajak, tetapi

juga terkait dengan mafia peradilan, yakni mencakup institusi penegak hukum lainnya. “Penulis

sudah serahkan kepada Mabes Polri untuk ditindaklanjuti.”

Anggota Satuan Tugas (Satgas), Mas Achmad Santosa mengungkapkan pengadilan pajak

merupakan tempat penyelewengan yang dilakukan pegawai pajak. Gayus Tambunan kini tengah

diburu oleh Ditjen Pajak dan Kepolisian Indonesia. Gayus menjadi tersangka dugaan makelar

kasus pajak karena di rekeningnya terdapat duit senilai Rp 25 miliar yang diduga berasal dari

wajib pajak.
1. Analisa kasus :

Kasus gayus dinyatakan bukan kasus pidana perpajakan oleh dirjen pajak karena kasus

ini tidak berkaitan dengan SPT wajib pajak, tetapi dalam pendapat Penulis, kasus ini tidak lepas

dari jenis kasus perpajakan, dimana tindak kejahatan terjadi di dalam lingkup perpajakan. Selain

itu, kasus ini juga menyeret secara langsusng beberapa pasal dalam undang-undang yang

berbeda. Sehingga, menimbulkan spekulasi tentang analisis kasus ini. Di lain sisi putusan yang

telah ada sampai dengan kasus gayus ini di angkat hingga tingkat kasasi menyebutkan bahwa :

 Gayus Tambunan dinyatakan melakukan pelanggaran pada pasal 3 jo pasal 18 UU no.

31/1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor), dianggap merugikan

negara sebanyak 570 juta rupiah, serta menyalahkan wewenang dengan memberikan

keberatan serta banding dari wajib pajak PT. Surya Alam Perkasa.

 Gayus juga dinyatakan melanggar pasal 5 ayat (1) a, UU no. 31/1999 (tipikor), berkaitan

dengan ini Gayus melakukan penyuapan sebanyak 750 juta dolar Amerika, diduga

diberikan kepada beberapa orang Penyidik Bareskrim Mabes Polri, hal itu dilakukan

supaya mereka tidak memblokir rekeningnya d salah satu bank, supaya tidak menyita

rumahnya, dan supaya memindahkan pemeriksaan atas dirinya yang asalnya di Mabes

Polri menjadi di hotel.

 Selanjutnya Gayus Tambunan dinyatakan bersalah atas pelanggaran pasal 6 ayat(1)a,

UUno.31/1999 (tipikor), berhhubungan dengan hal ini Gayus perbah menjanjikan akan

memberikan uang 40 ribu dolar Amerika kepada PN Tangerang yang bernama Muhtadi

Asnun, supaya dapat mempengaruhi majelis hakim.


 Pasal berikutnya yang menjadi pelanggaran Gayus adalah pasal 22 jo pasal 22 UU no.

31/1999 (tipikor) pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Berkenaan dengan Gayus yang

memberikan keterangan palsu kepada penyidik menyangkut kepemilikan rekening di

salah satu bank yang isi rekeningnya berjumlah miliaran rupiah.

Berdasarkan hal diatas, dalam mata kuliah hukum pidana di Strata 1 Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, kasus Gayus ini merupakan suatu concursus atau perbarengan tindak

pidana. Hal ini pun ditegaskan dalam amar putusan yang menyatakan terdapat suatu perbarengan

Tindak pidana dalam kasus Gayus. Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan tindak

pidana ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang

dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak

pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Dapat juga di dalam bentuk

concursus itu terjadi dua atau lebih tindak pidana oleh dua atau lebih orang. Jadi intinya, yang

terpenting adalah ada lebih dari satu tindak pidana dan diantara tindak pidana tersebut belum

diputus hakim.

Pada pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu

orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan

pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat/pelaku,

bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan

(concursus) syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan. Pengulangan tindak pidana

lebih familiar dengan sebutanrecidive.

Gayus Halomoan Tambunan dituduh melakukan tiga tindak pidana sekaligus, yaitu korupsi,

pencucian uang, dan penggelapan. Ini tidak masuk ke dalam suatu penyertaan pidana karena
Gayus melakukan delik secara sendiri dan tidak bersama-sama. Penyertaan dalam poin kesatu

bentuk-bentuk penyertaan, yaitu “mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: Pleger)” adalah

berbeda dengan enkelvoudige dader (pembuat tunggal).

Perbedaan pleger dengan dader (pembuat tunggal) adalah, bagi seorang pleger masih

diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis, misalnya terlibat dengan

seorang pembuat penganjur; atau terlibat secara fisik, misalnya dengan pembuat peserta atau

pembuat pembantu. Jadi, seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam

mewujudkan tindak pidana. Tetapi, keterlibatan dalam hal sumbangan peserta lain ini,

perbuatannya haruslah sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu tidak semata-mata

menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju terutama dalam hal kasus gayus

tambunan.

Fakta-fakta di dalam kasus mafia pajak dengan tersangka Gayus Halomoan Tambunan,

menunjukkan dan mengindikasikan bahwa itu merupakan suatu perbarengan

tindak pidana.Hal tersebut karena Gayus disangkakan dan dijerat dengan pasal mengenai

korupsi, pencucian uang (money laundering) serta penggelapan. Ketiganya merupakan bentuk

tindak pidana. Masing-masing berbeda antara satu dengan yang lain. Korupsi diatur di dalam

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, money laundering diatur di

dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian

Uangjuncto Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.


15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Lalu, penggelapan itu diatur di dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 372-377.

Oleh karena itu, concursus dari kasus Gayus masuk ke dalam concursus

realis (perbarengan perbuatan) atau meerdaadse samenloop. Perihal apa yang dimaksud dengan

perbarengan perbuatan, kiranya dapat disimpulkan dari rumusan pasal 65 ayat (1) dan pasal 66

ayat (1) KUHP[12], Pengertian perbuatan dalam rumusan di ayat (1) pasal 65 dan 66 adalah

perbuatan yang telah memenuhi seluruh syarat dari suatu tindak pidana tertentu yang dirumuskan

dalam undang-undang, atau secara singkat adalah tindak pidana, yang pengertian ini telah sesuai

dengan kalimat di belakangnya, “sehingga merupakan beberapa kejahatan” (berdasarkan

penafsiran sistematis).

Jadi berdasarkan rumusan ayat (1) pasal 65 dan 66 KUHP, maka dapat disimpulkan

bahwa masing-masing tindak pidana yang mana tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu

satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah ciri pokok dari perbarengan perbuatan.

Kesimpulannya, kasus Gayus Halomoan Tambunan dalam penyelesaiannya dapat diadili dan

dipidana sekaligus karena ini merupakan concursus. Sehingga benar adanya jika kasus ini

diputus hakim dalam satu putusan pidana dan tidak dijatuhkan sendiri-sendiri.

1. Pasal yang menjerat tersangka :

UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan :

 Pasal 36A (4) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan,

berbunyi :
“Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk

membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,

diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.”

Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk

membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,

diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.

 Pasal 3 jo pasal 18 UU no. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

berbunyi :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

 Pasal 12 UU Tipikor, di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.:


Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420,

Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kasus ini merupakan kasus pidana penyuapan, dengan adanya kesaksian tersangka atas

adanya suap PT. Bakrie yang diterima oleh tersangka. Pasal yang terkait dengan kasus ini adalah

Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi mengatur tentang penerimaan uang oleh

pegawai negeri yang patut diduga berhubungan dengan jabatannya dan gratifikasi.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Isi pasal 418 dan 419 KUHP, yang mana berkaitan dengan kasus dalam pembahasan

Penulis adalah sebagai berikut. Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal

diketahui atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena

kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran

orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan

pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
(1) yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan

untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya;

(2) yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. atau oleh

karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya.

Kasus ini juga masuk dalam kasus pidana, karena berkaitan dengan adanya upaya

penggelapan dana negara. Penggelapan itu diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) pasal 372 , yang isinya :

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya

bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat

tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah  Selain kasus penggelapan, juga

terdapat adanya upaya untuk menguntungkan diri sendiri, sebagaimana disebutkan dalam pasal

378

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu

kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena

penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun

Selain jeratan sanksi diatas, kasus ini juga masuk dalam ranah money loundry, diatur di

dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun

2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan adanya pengalihan uang dengan cara

dialirkan ke rekening lain, yang ketika dicek saldo rekening gayus, hanya ditemukan nominal

Rp. 400.000.000,00, yang tidak sesuai dengan laporan yang diperoleh dari penyidikan.

Dari pembahasan diatas, kasus ini juga termasuk dalam kasus tindak pidana ekonomi karena

berkaitan dengan kondisi keuangan/fiskal negara. Karena berkaitan dengan kondisi keuangan

negara, khususnya dalam hal keuangan negara.


Kesimpulan Beserta Penyelesaian Masalah

Kasus gayus dinyatakan bukan kasus pidana perpajakan oleh dirjen pajak karena kasus

ini tidak berkaitan dengan SPT wajib pajak, tetapi dalam pendapat Penulis, kasus ini adalah

kasus perpajakan, dimana tindak kejahatan terjadi di dalam lingkup perpajakan. Selain itu, kasus

ini juga menyeret secara langsusng beberapa pasal dalam undang-undang yang berbeda. Kasus

Gayus, menurut Penulis, merupakan suatu concursus atau perbarengan tindak pidana. Pada

dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan tindak pidana ialah terjadinya dua atau lebih tindak

pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana,

atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu

putusan hakim. Dapat juga di dalam bentuk concursus itu terjadi dua atau lebih tindak pidana

oleh dua atau lebih orang. Jadi intinya, yang terpenting adalah ada lebih dari satu tindak pidana

dan diantara tindak pidana tersebut belum diputus hakim.

Gayus Halomoan Tambunan dituduh melakukan tiga tindak pidana sekaligus, yaitu

korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Ini tidak masuk ke dalam suatu penyertaan pidana

karena Gayus melakukan delik secara sendiri dan tidak bersama-sama. Penyertaan dalam poin

kesatu bentuk-bentuk penyertaan, yaitu “mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: Pleger)”

adalah berbeda dengan enkelvoudige dader (pembuat tunggal).


Fakta-fakta di dalam kasus mafia pajak dengan tersangka Gayus Halomoan Tambunan,

menunjukkan dan mengindikasikan bahwa itu merupakan suatu perbarengan tindak pidana. Jadi

berdasarkan rumusan ayat (1) pasal 65 dan 66 KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa masing-

masing tindak pidana yang mana tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain

adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah ciri pokok dari perbarengan perbuatan. Kesimpulannya,

kasus Gayus Halomoan Tambunan dalam penyelesaiannya dapat diadili dan dipidana sekaligus

karena ini merupakanconcursus. Sehingga sudah patut diputus dalam satu putusan pidana dan

tidak dijatuhkan sendiri-sendiri.

Gayus dianggap merugikan negara sebanyak 570 juta rupiah, serta menyalahkan

wewenang dengan memberikan keberatan serta banding dari wajib pajak PT. Surya Alam

Perkasa.

 Pasal 5 ayat (1) a, Udang-Undang 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, berbunyi :

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”

Berkaitan dengan ini Gayus melakukan penyuapan sebanyak 750 juta dolar Amerika, diduga

diberikan kepada beberapa orang Penyidik Bareskrim Mabes Polri, hal itu dilakukan supaya

mereka tidak memblokir rekeningnya d salah satu bank, supaya tidak menyita rumahnya, dan

supaya memindahkan pemeriksaan atas dirinya yang asalnya di Mabes Polri menjadi di hotel.
 Pasal 6 ayat(1) a, UU no.31/1999 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

berbunyi :

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus

lima puluh juta rupiah)”

Berhhubungan dengan hal ini Gayus  perbah menjanjikan akan memberikan uang 40 ribu dolar

Amerika kepada PN Tangerang yang bernama Muhtadi Asnun, supaya dapat mempengaruhi

majelis hakim.

 Pasal 22 jo pasal 22 UU no. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

berbunyi :

“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang

dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 9tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

Berkenaan dengan Gayus yang memberikan keterangan palsu kepada penyidik menyangkut

kepemilikan rekening di salah satu bank yang isi rekeningnya berjumlah miliaran rupiah.

 Pasal 12 UU Tipikor, di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-undang No. 20 Tahun 2001


Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,

“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420,

Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi mengatur tentang penerimaan uang

oleh pegawai negeri yang patut diduga berhubungan dengan jabatannya dan gratifikasi, Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 372 dan pasal 378.Selain jeratan sanksi diatas,

kasus ini juga masuk dalam ranah money loundry, diatur di dalam Undang-undang No. 15 Tahun

2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Undang-undang No. 25 Tahun 2003

Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang. Sehingga dari pembahasan diatas, kasus ini juga termasuk dalam kasus tindak pidana

ekonomi karena berkaitan dengan kondisi keuangan/fiskal negara. Karena berkaitan dengan

kondisi keuangan negara, khususnya dalam hal keuangan negara.


Sumber

Suharto RM,S.H.2002.Hukum Pidana Materiil, Penerbit Sinar Grafika: Jakarta.

Lamintang .P.A.F : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, penerbit Sinar Baru: Jakarta

H.A.Zainal Abidin Farid.2010. Hukum Pidana 1, Penerbit Sinar Grafika :Jakarta,

Teguh prasetyo.2005, Hukum Pidana Materiil jilid 2 .Kurnia Kalam:  Yogyakarta

Adami Chazawi.2005. Hukum Pidana Materiil dan Formiil  Korupsi di indonesia. Bayu Media


Pubhlising : Malang.

Indonesia .http://hukumpidana.bphn .go.id/babbuku/bab-vi-perbarengan-tindak-

https://ganjarprima.wordpress.com/2015/06/24/hukum-pidana-analisa-kasus-gayus-tambunan-
tugas-semester-2-fh-universitas-brawijaya/

aparatpajak.www.vivanews.com/kasus:satgasdampakkasusgayussangatmerusakkategoriberatnya
kasusinikarenabukanhanyamenyangkutaparatpajak.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang


TUGAS HUKUM EKONOMI
“Menganalisis Kasus Hukum Ekonomi Dan Penyelesaiannya”

OLEH
NIDAUL HASANAH
B111 13 571
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

Anda mungkin juga menyukai