eksploitasi di Indonesia, skema product sharing contract atau gross split? Adakah bentuk kontrak lain
selain dua kontrak tersebut?
Kontrak kerja sama dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dapat berupa kontrak bagi
hasil (product sharing contract atau cost recovery). Kemudian dikenal pula skema gross split yang
dipandang lebih menguntungkan karena sudah tidak menggunakan mekanisme First Tranche
Petroleum (FTP) dan lebih efisien.
Sebelumnya perlu Anda pahami dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (“UUD 1945”) telah diuraikan secara tegas:Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara .
Lebih jauh lagi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Sebagai amanat di atas, terbitlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (“UU 22/2001”) yang dalam bagian menimbang menyebutkan pembangunan nasional harus
diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan, perubahan peraturan tentang pertambangan
minyak dan gas bumi diharapkan dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, dan
mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional serta memberikan landasan hukum bagi
langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas
bumi.
Sebagai gambaran, kegiatan hulu minyak dan gas bumi terdiri dari dua jenis kegiatan:
a. Eksplorasi
Kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
b. Eksploitasi
Rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang
ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi
di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Perlu Anda ketahui investor dalam pertambangan minyak dan gas bumi disebut dengan Kontraktor
Kontrak Kerja Sama berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
1
Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor Energi dan Sumber Daya
Mineral: Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja
berdasarkan kontrak kerja sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bum
Cost Recovery
Pihak kontraktor dalam melaksanakan kegiatan memperoleh imbalan hasil produksi dari lapangan
minyak dan gas yang masih belum pasti atau tidak dapat diukur hasilnya, dan apabila menghasilkan
akan terjadi pembagian pendapatan yang diterima oleh si pelaksana dengan negara berdasarkan asas
konsesualisme dalam perjanjian.
Penjabaran lebih lanjut mengenai ketentuan kontrak kerja sama tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan
perubahannya. Sebelum skema gross split sebagaimana Anda sebutkan dibentuk, ada dua bentuk
kontrak antara lain:
1. Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu
(eksplorasi dan eksploitasi) berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
2. Konrak Jasa adalah suatu bentuk kontrak kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak
dan gas bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan
Nugroho Eko Priamoko dalam buku Kontrak Bagi Hasil Migas Aspek Hukum dan Posisi Berimbang
Para Pihak (hal. 58) menerangkan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
yang merupakan implementasi dari filosofis pengusaha minyak dan gas bumi. Adapun prinsip-prinsip
kontrak bagi hasil adalah: Sistem pembagian berdasarkan hasil produksi; Kewenangan manajemen
ada pada Pertamina; Semua peralatan, sarana dan fasilitas yang dibeli dan dibangun untuk operasi
menjadi milik Pertamina; Pembagian produk sampingan berbeda dengan pembagian produksi utama;
Pertamina memegang kewenangan menentukan pengembalian biaya operasi; Kontraktor menanggung
resiko kerugian biaya operasi; Kepemilikan atas mineral tetap di tangan Negara hingga titik
penyerahan.
Pertamina di sini adalah perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara yang dibentuk
berdasarkan UU 22/2001.
2
Gross Split
Menyambung pertanyaan Anda, sejatinya UU 22/2001 membuka pintu bagi bentuk kontrak lain selain
sistem production sharing contract atau cost recovery. Mengingat, frasa “Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk kerja sama lain” memberi peluang bentuk skema baru dalam pengelolaan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi dengan tetap memperhatikan prinsip yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Aturan inilah yang mendorong pemerintah membentuk format baru yang disesuaikan dengan
perkembangan iklim investasi sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Pasal 1 angka 7 Permen
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split
berbunyi: Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian
biaya operasi.
Dengan model gross split ini, produksi yang diukur setelah keluar dari titik penyerahan ( custody
transfer) akan langsung dihitung pembagian untuk pemerintah dan kontraktor, tanpa dikurangi dengan
biaya-biaya operasi kegiatan hulu migas yang telah dikeluarkan oleh kontraktor seperti halnya
dalam production sharing contract atau cost recovery. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan kontraktor
menjadi beban dan tanggung jawabnya sendiri.
Sebagai kompensasi tidak adanya penggantian biaya operasi oleh negara, dalam skema gross
split kontraktor diberikan kepastian penerimaan bagi hasil yang ditentukan di awal kontrak yang
dinamakan base split. Kepastian pembagian hasil di awal ini dimaksudkan agar kontraktor lebih efektif
dan efisien dalam realisasi biaya operasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan eksplorasi dan
eksploitasi.
Di mana Pasal 2 ayat (2) Permen ESDM 12/2020 berbunyi: Penetapan bentuk dan ketentuan pokok
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bentuk: Kontrak Bagi
Hasil Gross Split; Kontrak Bagi Hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi; atau kontrak
kerja sama lainnya.
Adapun Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang
Kontrak Bagi Hasil Gross Split merubah terms kontrak bagi hasil gross split yaitu parameter dan
3
koreksi split 10 komponen variabel dan 3 komponen progresif. Selain itu, tambahan bagi hasil untuk
komersialisasi lapangan tergantung keekonomian lapangan.
Perubahan kedua melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun
2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split dilakukan penyempurnaan komponen variabel TKDN dan
penyempurnaan komponen progresif tentang produksi kumulatif. Sedangkan Permen ESDM 12/2020
menegaskan pemberlakuan bentuk kerja sama dan fleksibilitas bentuk kontrak bagi hasil gross
split atau cost recovery.
Secara konseptual skema gross split bertujuan untuk memotong rantai birokrasi. Harapannya
skema gross split akan mendorong efisiensi sehingga usaha eksplorasi dan eksploitasi akan lebih
cepat atau tepat waktu, tepat anggaran, dan mencapai target kinerja.