Anda di halaman 1dari 49

ASPEK LEGAL

• PRODUCTION SHARING CONTRACT

1
Aspek Legal Sistim Production
Sharing Contract Indonesia

❖ Sejarah perminyakan Indonesia sudah berlangsung lama


sejak zaman Hindia Belanda ketika Reering melakukan
pencarian minyak pada tahun 1871.
❖ Keberhasilan menemukan minyak menyebabkan
Pemerintah Hindia Belanda membentuk Royal Dutch
Company.
❖ Konsesi kepada swasta diberikan mulai tahun 1883. UU
pertambangan Hindia Belanda diundangkan pada tahun
1899 (Indische Mijnwet).
❖ Indische Mijnwet ini mempunyai persamaan dengan
hukum Indonesia berkaitan dengan kepemilikan
kekayaan alam:
❖ “ Hak atas tanah tidak memberikan hak atas kekayaan
tambang yang terdapat didalam tanah dibawah
permukaan. Kekayaan tambang dalam tanah dibawah
permukaan menjadi milik negara”.

2
Aspek Legal Sistim Production
Sharing Contract Indonesia
❖ Dasar Hukum Sistim PSC:
Undang – Undang Dasar 1945
33 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
33 (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

❖ Amandemen UUD 1945 menambahkan ayat ke (4):


diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional, kemakmuran segala orang.

3
❖ Pasal 33 UUD 45 mengandung filsafat dan
tujuan yang dicita-citakan berkaitan
dengan kekayaan alam dan produksi yang
penting bagi hajat hidup orang banyak.
❖ Dengan pasal 33 ini maka bangsa
Indonesia memberikan kekuasaan kepada
Negara untuk mengatur, memelihara dan
menggunakan kekayaan alam nasional
sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat
adil dan makmur.

4
❖ Penafsiran “dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” dapat berarti kepemilikan oleh Negara;
pengelolaan secara langsung atau tidak
langsung oleh Negara; dan pengaturan,
pemeliharaan dan penggunaan minyak dan gas
bumi sebaik-baiknya untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur.
❖ Pengertian yang terakhir menjadi pertimbangan
kebijakan Pemerintah mengikut sertakan
swasta dalam kegiatan Usaha perminyakan.

5
❖Kegiatan Migas Indonesia memiliki
dua masa hukum perminyakan UU
44 Prp Tahun 1960 juncto UU 8
Tahun 1971 dan UU 22 Tahun 2001.
❖Kedua UU Migas itu bermuara
kepada pasal 33 UUD 45.
❖Pasal-pasal dari Undang-Undang dan
bentuk kerjasama terkait dijiwai oleh
isi pasal 33 UUD 1945.

6
❖ Perbedaan pokok antara kedua Undang-
Undang tersebut adalah mengenai Kuasa
Pertambangan.
❖ Kuasa Pertambangan menurut UU 44 Prp/
1960 dan UU 8/1971 merupakan
wewenang yang diberikan kepada
Perusahaan Negara untuk melaksanakan
Usaha pertambangan Migas.
❖ Namun untuk melaksanakan pekerjaan-
pekerjaan yang belum atau tidak dapat
dikerjakan sendiri, Perusahaan Negara
dibolehkan bekerja sama dengan Pihak
lain.

7
• Kuasa Pertambangan menurut UU
22/ 2001 adalah wewenang yang
diberikan kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi.
• Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu
Migas dilaksanakan oleh Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap,
termasuk PERTAMINA, berdasarkan
Kontrak Kerja Sama.

8
Bentuk-bentuk kerjasama
perminyakan Indonesia
❖ 1951 Panitia urusan tambang yang
diketuai oleh Teuku Moh. Hasan
berpendapat bahwa konsesi bertentangan
dengan kepentingan bangsa Indonesia dan
merugikan karena konsesi tidak menjamin
digunakannya kekayaan alam untuk
sebesar-besar manfaat rakyat

9
1. Kontrak Karya (1963 - 1993)
Pemerintah merubah sistim konsesi
yang bertentangan denga UUD
menjadi sistim Kontrak Karya.
Kontrak Karya mulai berlaku pada
tahun 1963 dan disahkan sebagai
Undang-undang 28 November
1963.
Bentuk Kontrak Karya tidak ada
lagi setelah tahun 1993.

10
Kontrak Karya (1963 – 1993)

a) Perusahaan asing bertindak sebagai kontraktor dari


salah satu Perusahaan Negara;
b) Jangka waktu kontrak 30 tahun untuk daerah baru
dan 20 tahun untuk daerah lama;
c) Keuntungan operasi dibagi dengan Pemerintah 60:40.
Pemerintah akan menerima sedikitnya 20% dari nilai
kotor minyak yang dihasilkan setiap tahun;
d) Kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri sampai
dengan 25% dari minyak yang dihasilkan dengan
harga duapuluh sen per barrel.
e) Managemen operasi dipegang Kontraktor;
f) Resiko operasi ditanggung Kontraktor;

11
2. Kontrak Production Sharing Generasi I
(1966 – 1977): perusahaan asing pertama
yang menandatangani PSC adalah IIAPCO
pada 16 Agustus 1966.

a. PERTAMINA menguasai managemen operasi;


b. Kontraktor bertanggung jawab kepada PERTAMINA
atas pelaksanaan operasi;
c. Kontraktor memikul resiko biaya eksplorasi;
d. Kontraktor menyediakan kebutuhan dana dan
bantuan teknis;
e. Penggatian biaya operasi dibatasi setinggi-tingginya
40% dari minyak yang dihasilkan pada satu tahun
kalender;

12
f. Produksi minyak setelah dipotong biaya operasi dibagi
65% PERTAMINA dan 35% Kontraktor (termasuk pajak);
produksi diatas 75.000 barrel/hari bagi hasilnya 67.5/
32.5;
g. Semua peralatan yang dibeli bertalian dengan operasi
Migas menjadi milik PERTAMINA;
h. Kewajiban memenuhi kebutuhan BBM maksimum 25%
dari bagian Kontraktor dengan harga 20 sen per barrel;
i. Setelah komersial, wajib menawarkan sepuluh persen
dari Participating Interestnya kepada perusahaan
nasional.
j. PERTAMINA membayar pajak kepada Pemerintah.

Pada Tahun 1974-1977 ketika harga minyak dunia naik


Kontraktor diwajibkan memberikan tambahan
pembayaran pajak kepada Pemerintah.

13
3. Kontrak Production Sharing Generasi II
(1977-1984): adanya IRS Ruling yang
diberlakukan oleh Pemerintah USA yang
menetapkan bahwa penyetoran 60% sesuai
pasal 14 UU 8/1971 dianggap sebagai
pembayaran royalty sehingga Kontraktor
diharuskan membayar Pajak langsung kepada
Pemerintah.

a. Penggantian biaya operasi tidak dibatasi;


b. Produksi minyak setelah dipotong biaya operasi
dibagi 65,91% PERTAMINA dan 34,09%
Kontraktor atau lazim dikatakan 85% / 15%
termasuk Pajak; untuk gas 31,80%
PERTAMINA dan 68,20% Kontraktor;

14
c. Kontraktor membayar pajak
langsung kepada Pemerintah
sebesar 56%;
d. Kewajiban memenuhi kebutuhan
BBM maksimum 25% dari bagian
Kontraktor dengan harga ekspor
penuh selama 5 tahun berturut-
turut dimulai dari bulan pengiriman
pertama.
e. Investment credit 20 %.

15
4. Kontrak Production Sharing Generasi III
(1984-1988)
Sebagai akibat Ketentuan Perpajakan baru dari
Pemerintah Indonesia tahun 1984 untuk KPS,
48%.
a. Bagi hasil minyak 71,15% PERTAMINA dan
28,85% Kontraktor; Gas 42,31% PERTAMINA
dan 57,64% Kontraktor atau Bagi Hasil bersih
85/ 15 minyak 70/ 30 gas.
b. Kontraktor membayar pajak langsung kepada
Pemerintah sebesar 48%;
c. Investment Credit 17%.

16
5. Kontrak Production Sharing Generasi IV
(1988 – 2001).
a. Penyisihan minyak pertama (First Tranche Petroleum)
sebesar 20% disisihkan dari produksi sebelum
dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara
PERTAMINA dan Kontraktor.
b. Untuk daerah Frontier dan lahan marginal berlaku
bagi hasil 80% Pemerintah dan 20% Kontraktor.
c. Ketentuan lahan komersial apabila bagian Pemerintah
sedikit-dikitnya 49% tidak berlaku lagi.
d. Kewajiban memenuhi kebutuhan BBM maksimum
25% dari bagian Kontraktor dengan harga 10% harga
ekspor selama 5 tahun berturut-turut dimulai dari
bulan pengiriman pertama.

17
6. Kontrak Production Sharing Generasi V (sekarang)
setelah berlakunya UU 22/2001.
a. Sesuai Model Kontrak Kerja Sama bagi hasil Minyak
Daerah Marginal adalah: 64.2857% BPMIGAS dan
35.7143% Kontraktor; bagi hasil minyak hasil dari
tertiary recovery dari Proyek EOR 64.2857%
BPMIGAS dan 35.7143% Kontraktor; bagi hasil
minyak dari batuan cadangan pre-tertiary bertahap
sesuai hasil produksinya 64.2857%, 73,2143% dan
82,1429% BPMIGAS dan 35,7143%, 26,7857% dan
17,8571% Kontraktor, bagi hasil Minyak wilayah
lainnya adalah 73,2143% BPMIGAS dan 26,7857%
Kontraktor; gas 37,5000% BPMIGAS dan 62,5000%
Kontraktor.

18
b. Kewajiban memenuhi kebutuhan
Migas dalam negeri maksimum 25%
dari bagiannya dengan harga 15%
dari harga yang ditentukan sesuai
ketentuan; selama lima tahun
berturut-turut dimulai dari bulan
pengiriman pertama dengan harga riil
bersih FOB Indonesia.
c. Invesment Credit 15,7800%.
d. Pajak Pendapatan 30% dan pajak
keuntungan cabang 14%.

19
7. Kontrak Bantuan Teknis
(TAC)
Kontrak kerjasama PERTAMINA
dengan perusahaan swasta dalam
rangka rehabilitas dan produksi
lapangan yang sudah ditinggalkan
dan sumur tua di wilayah kuasa
pertambangan PERTAMINA.
Kenaikan produksi dari upaya
rehabilitasi inilah yang menjadi
subyek bagi hasil.
20
Kontrak Bantuan Teknis (TAC)
a) PERTAMINA menguasai managemen operasi.
b) Kontraktor bertanggung jawab kepada
PERTAMINA.
c) Kontraktor memikul resiko biaya eksplorasi;
d) Kontraktor menyediakan kebutuhan dana dan
bantuan teknis
e) Pengembalian biaya operasi dibatasi 35%;
f) Bagi hasil setelah pajak 65 % : 35%
g) Kewajiban memenuhi kebutuhan BBM
maksimum 25% dari bagian kontraktor dengan
harga ekspor penuh untuk minyak kebutuhan
dalam negeri setelah lima tahun pertama
produksi;

21
8. Kontrak EOR (Enhanced Oil
Recovery)
• Kontrak antara PERTAMINA dan Kontraktor dalam
rangka meningkatkan produksi lapangan yang
produksinya mulai menurun di wilayah kuasa
pertambangan PERTAMINA.
• Teknologi yang dipergunakan adalah teknologi
tinggi untuk usaha secondary dan tertiary
recovery. Kenaikan produksi dari kegiatan EOR
yang menjadi subyek bagi hasil

22
a. Di lakukan di atas lapangan produksi;
b. PERTAMINA menguasai managemen
operasi;
c. Resiko biaya eksplorasi ditanggung
bersama;
d. Partisipasi Interes 50/ 50;
e. Biaya Operasi 50/ 50;
f. Pengembalian biaya dibatasi;
g. Bagi Non Shareable Oil 0 atau
seluruhnya untuk PERTAMINA, shareable
Oil 85/ 15;

23
Prinsip Production Sharing
Contract (PSC)
• Sistim Production Sharing Contract Indonesia
sejak 1960 sampai sekarang berdasarkan prinsip
dasar bagi hasil migas yang diproduksikan.
• Agar penggunaan migas tercapai sebaik-baiknya
kepada Kontraktor untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur maka resiko investasi Migas
diserahkan kepada Kontraktor untuk
dilaksanakan tanpa menyerahkan hak atas
sumber daya alamnya.

24
• Sesuai Peraturan Pemerintah No 35
tahun 1994 prinsip kerjasama dalam
kontrak Production Sharing:
1. Managemen ditangan PERTAMINA;
2. Kontraktor menyediakan semua dana,
teknologi dan keahlian
3. Kontraktor menanggung resiko
financial
4. Besarnya bagi hasil ditentukan atas
dasar tingkat produksi minyak dan gas
bumi.

25
• Sesuai Undang-undang No 22
tahun 2001 dan PP 35 tahun 2004.
1. Kepemilikan sumber daya alam tetap
ditangan pemerintah sampai pada titik
penyerahan;
2. Pengendalian managemen operasi
berada pada Badan Pelaksana;
3. Modal dan resiko seluruhnya
ditanggung Badan Usaha dan Bentuk
Usaha Tetap.

26
• UU 22/2001 menetapkan isi yang harus dimuat dalam
Kontrak Kerja Sama:

1) Penerimaan Negara;
2) Wilayah Kerja dan Pengembaliannya;
3) Kewajiban pengeluaran dana;
4) Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas migas;
5) Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
6) Penyelesaian perselisihan;
7) Kewajiban pemasokan Migas untuk kebutuhan dalam negeri;
8) Berakhirnya kontrak;
9) Kewajiban pasca operasi pertambangan;
10) Keselamatan dan kesehatan kerja;
11) Pengelolaan lingkugan;
12) Pengalihan hak dan kewajiban;
13) Pelaporan yang diperlukan;
14) Rencana pengembangan lapangan;
15) Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
16) Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak
masyarakat adat;
17) Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

27
• Keseluruhan isi KKS disyaratkan UU
22 tahun 2001 sudah tercantum
dalam pasal-pasal Kontrak
Production Sharing yang berlaku
maupun dalam model PSC yang
dipergunakan untuk berunding
dengan Kontraktor dan tidak jauh
berbeda dengan model KPS masa UU
44 Prp/ 1960 jo UU 8/ 1971

28
A. Perpindahan kepemilikan
hasil produksi Migas
• Kepemilikan sumber daya alam Migas harus tetap ditangan
Pemerintah sampai pada titik penyerahan.
• Oleh karena itu Pembagian hasil Migas antara Pemerintah
dan Kontraktor dilakukan pada titik penyerahan.
• Penyerahan hak atas Migas yang merupakan bagian
Kontraktor dilakukan setelah pelepasan hak di pelabuhan
ekspor Indonesia.
• Dengan demikian pengertian biaya yang dikatagorikan
sebagai biaya operasi hanyalah biaya yang timbul
sehubungan dengan kegiatan eksplorasi, pengembangan
dan produksi.
• Itupun kalau Kontraktor berhasil mendapatkan Migas.

29
B. Penerimaan Negara

• Penerimaan Negara menunjukkan


bahwa kegiatan Usaha Migas adalah
kegiatan pengambilan kekayaan
Negara sehingga harus dikenakan
kewajiban pembayaran pajak dan
bukan pajak sebagai imbalan atas
kesempatan melakukan eksplorasi
dan eksploitasi dan kompensasi atas
pengambilan kekayaan alam migas.
30
• Penerimaan negara secara tegas
ditetapkan oleh kedua UU Migas dalam
bentuk bagian Negara dan pajak serta
iuran dan pungutan lain berkaitan dengan
kegiatan usaha Migas.
• UU 8/1971 bahkan lebih nyata
menetapkan persentase bagian Negara
dari hasil eksplorasi dan eksploitasi Migas
setelah dikurangi biaya berikut pajak.

31
• UU 44 Prp/ 1960 menetapkan bahwa
Pemegang Kuasa Pertambangan
membayar kepada Negara iuran
pasti, iuran eksplorasi dan atau
pembayaran lain yang berhubungan
pemberian Kuasa Pertambangan

• UU 8/ 1971 menetapkan kewajiban


Penyetoran kepada Negara:

32
a) 60% dari penerimaan bersih usaha atas
hasil operasi Perusahaan sendiri;
b) 60% dari penerimaan bersih usaha atas
hasil Kontrak Production Sharing
sebelum dibagi antara Perusahaan dan
Kontraktor;
c) Seluruh hasil yang diperoleh dari
Perjanjian Karya termaksud dalam UU
No 14 tahun 1963.
d) 60% dari penerimaan-penerimaan bonus
Perusahaan yang diperoleh dari hasil
Kontrak Production Sharing.

33
• Penyetoran kepada kas Negara
tersebut di atas membebaskan
PERTAMINA dan Kontraktor serta
merupakan pembayaran pajak:

a. Pajak Perseroan (Ordonansi Pajak Perseroan


1925)
b. Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi
dan pembayaran lainnya yang berhubungan
dengan pemberian kuasa Pertambangan;

34
c. Pungutan atas ekspor minyak dan gas
bumi serta hasil pemurnian dan
pengolahan;
d. Bea masuk (Indische Tariefwet 1873)
sebagaimana ditambah dan dirobah
dan pajak Penjualan (UU 19.Drt/
11951 jo UU 2/1968) sebagaimana
ditambah dan dirobah atas semua
barang operasi yang dipergunakan;
e. Iuran Pembangunan Daerah.

35
• UU No 22/ 2001 mengatur kewajiban
membayar penerimaan Negara dari
Badan Usaha dan/ atau Bentuk Usaha
Tetap yang berupa pajak:

a) Pajak – pajak;
b) Bea masuk dan pungutan lain atas impor dan
cukai;
c) Pajak daerah dan retribusi Daerah;

36
Penerimaan Negara bukan Pajak

A. Bagian Negara;
B. Pungutan Negara berupa iuran
tetap dan iuran eksplorasi dan
eksploitasi;
C. Bonus- bonus.

37
• Kontraktor diperbolehkan membagi resiko investasi dan
melakukan kerjasama pendanaan PSC secara patungan
dengan cara mengalihkan, menjual, menyerahkan dan
melepaskan sebagian Participating Interest nya kepada
pihak lain.
• Pengertian pemegang Participating Interest tidak sama
dengan pemegang saham.
• Pengertian penyertaan Participating Interest dalam kerja
sama Migas hanya menunjukkan pembagian beban resiko
atas pendanaan operasi Migas.
• Kontraktor merupakan subyek pajak Indonesia.
• Masing-masing pemegang Participating Interest adalah
juga subyek pajak Indonesia.

38
C. Pengembalian Biaya
Operasi (Cost Recovery)
• Pola bagi hasil mengandung unsur penyerahan resiko
kepada Kontraktor yang menanggung seluruh dana
investasi pengembangan usaha Migas.
• Kontraktor hanya mempunyai tagihan dalam bentuk bagian
produksi yang dihasilkan selama masa kontrak.
• Jika Kontraktor gagal dan tidak mendapatkan minyak,
penagihannya belum atau tidak dapat dilaksanakan
sehingga resikonya ditanggung sendiri oleh Kontraktor dan
Negara tidak ikut memikul biaya operasinya.

39
• Jika berhasil maka hasilnya dibagi
sesuai bagi hasil yang ditetapkan,
sedangkan biaya operasi yang dipikul
oleh Kontraktor dikembalikan melalui
mekanisme pengembalian biaya atau
Cost Recovery.
• Dengan demikian bagi Kontraktor
pengembalian biaya merupakan
bagian dari hak tagihannya.

40
• Semasa UU 44 Prp tahun 1960 pengembalian
biaya ini dibatasi.
• IRS Ruling yang diberlakukan oleh Pemerintah
USA yang menetapkan bahwa penyetoran 60%
sesuai ketentuan pasal 14 UU 8/1971 dianggap
sebagai pembayaran royalty sehingga Kontraktor
diharuskan membayar Pajak langsung kepada
Pemerintah.
• Sejak itu (1976) dan seterusnya pembatasan
cost recovery tidak ada lagi.
• Minyak Penyisihan Pertama (First Tranche
Petroleum / FTP) yang diterapkan pada PSC
generasi ke empat (1988) sebesar 20% dapat
disamakan dengan pembatasan cost recovery
sebesar 80%.

41
• Pengembalian biaya operasi diperhitungkan dari
nilai hasil produksi bersih setelah dikurangi
minyak yang hilang untuk keperluan operasi.
• Penentuan pengembalian biaya operasi setara
jumlah minyak mentah dinilai menurut harga
rata-rata tertimbang (weighted average price)
seluruh minyak yang diproduksikan dari wilayah
kerja itu salama satu tahun.
• Jika dalam satu tahun besarnya biaya operasi
melebihi nilai ketentuan batas pengembalian,
maka kelebihannya dapat diperhitungkan
terhadap produksi dari tahun-tahun berikutnya
sampai terkembalikan semuanya.

42
D. Kewajiban Memenuhi
Kebutuhan Dalam Negeri-
Domestic Market Obligation(DMO)
• Kewajiban memasok kebutuhan dalam
negeri merupakan ketentuan UU, demi
untuk menjamin kebutuhan dalam negeri.
• Kewajiban Kontraktor menyerahkan
kepada Negara sebagian bagian bagi
hasilnya untuk menjamin dipenuhinya
kebutuhan Migas dalam negeri (DMO)
diatur dalam kontrak kerjasama Migas.
• Besarnya kewajiban ini sesuai UU 22/
2001 adalah 25% dari bagiannya.

43
• Kewajiban DMO sudah diberlakukan sejak dahulu dalam
bentuk-bentuk kerjasama perminyakan Indonesia namun
penentuan harganya mengalami beberapa kali perubahan
dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan
Migas.
• Dalam KPS kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri
ditentukan maksimum 25% dengan harga riil bersih F.O.B
Indonesia selam lima tahun berturut-turut dimulai dari
bulan pengiriman pertama, selanjutnya harga 15% dari
harga yg ditentukan sesuai ketentuan. Kebijaksanaan
penentuan harga DMO seperti ini berdasarkan klasifikasi
Minyak Baru (New Oil) dan Minyak Lama (Old Oil).
• Selama enam puluh bulan produksi pertama minyak
dianggap Minyak Baru sehingga Kontraktor diberikan harga
pasar; selanjutnya atas dasar Minyak Lama minyak DMO
dihargai duapuluh sen per barrel.

44
E. Penyertaan BUMD dan
Perusahaan Nasional
• Baik Hukum Migas Indonesia maupun Kontrak
Production Sharing mengatur penyertaan BUMD
dalam KPS sebesar 10% pada saat KPS ybs
berproduksi komersial.
• Ketentuan ini memberikan peluang kepada
Daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah
setempat untuk turut mengelola wilayah kerja
migas.
• BUMD tidak perlu menanggung resiko eksplorasi
karena sudah produksi komersial.

45
• Namun Peraturan menutup kesempatan ini
dengan menyediakan tenggang waktu
hanya enam puluh hari sejak penawaran.
• Jika dalam tempo enam puluh hari BUMD
tidak memberikan pernyataan
kesanggupan ikut serta maka tawaran
diberikan kepada Perusahaan Nasional.
• Perusahaan Nasional pun hanya mendapat
kesempatan selama enam puluh hari
untuk menyampaikan minatnya, bila tidak
penawaran dinyatakan tertutup.

46
F. Komitmen Pasti
• Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2004 dan Kontrak
Produciton Sharing mengatur kewajiban Kontraktor
melakukan program kerja pasti dengan perkiraan jumlah
pengeluaran pasti selama 3 tahun pertama.
• Kewajiban ini biasa disebut komitmen pasti.
• Dengan kewajiban seperti itu diharapkan Kontraktor
melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi eksplorasi dan/
atau pengembangan lahan Migas Indonesia.
• Apabila kewajiban itu tidak atau belum dilaksanakan maka
sisanya harus dibayarkan kepada Pemerintah.
• Sanksi ini nampaknya belum cukup menunjang harapan
tersebut.

47
• Lazimnya komitmen pasti itu tidak
sepenuhnya terlaksana dan ditunda
kedepan ke tahun tahun berikutnya
sehingga sampai masa eksplorasi berakhir
(sepuluh tahun) komitmen pasti masih
ada yang tersisa.
• Berdasarkan ketentuan pasal 32 PP 35/
2004 seharusnya dapat diterapkan sanksi
dalam hal Kontraktor tidak dan/ atau
belum melaksanakan komitmen pastinya
maka pada tahun ketiga diwajibkan
menyerahkan kembali wilayah kerjanya.

48
G. Pengembangan Lapangan

• Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2004 dan Kontrak


Production Sharing mengatur kewajiban Kontraktor untuk
segera melaksanakan kegiatan pengembangan lapangan.
• Apabila Kontraktor yang telah mendapat persetujuan
pengembangan lapangan yang pertama dalam jangka
waktu selambat-lambatnya lima tahun sejak akhir masa
eksplorasi belum atau tidak melaksanakan kewajibannya
maka Kontraktor diwajibkan mengembalikan seluruhnya
wilayah kerjanya.
• Ketentuan yang sama berlaku pula jika Kontraktor tidak
memulai kegiatannya dalam jangka seratus delapan puluh
hari setelah tanggal efektif berlakunya PSC, maka
BPMIGAS dapat mengusulkan pengakhiran PSC.

49

Anda mungkin juga menyukai