Anda di halaman 1dari 3

Undang-Undang Republik Indonesia

No. 22 Tahun 2001


Tentang Minyak dan Gas Bumi

Pasal 1
(5) Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
Komentar:
Masalah yang menyangkut pemurnian/pengilangan, pengangkutan dan penjualan BBM tidak
termasuk di dalam rangkaian Kuasa Pertambangan dan oleh karenanya tidak termasuk di
dalam wewenang yang diberikan oleh negara kepada pemerintah. Padahal hingga saat ini,
BBM masih merupakan cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dimana hingga saat ini belum tersedia substitusinya yang memadai serta
merupakan produk yang tidak bisa diperbaharui. Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001
ini telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak, dalam hal pengusahaan migas adalah cabang usaha mulai dari
pengolahan/pemurnian, pengangkutan hasil olahan, penyimpanan/penimbunan serta distribusi
dan pemasarannya. Padahal penguasaan oleh negara tersebut merupakan amanat Pasal 33
ayat (2) UUD 1945 dimana berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Pasal 11
(1) Kegiatan usaha hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilaksanakan oleh badan
usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana.
Komentar:
Pada ayat tersebut mengandung kontroversi dimana pembentukan Undang-Undang baru yang
berdasarkan pada UUD 1945 yakni “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Dimana pada kegiatan hulu migas hendaknya memaksimalkan sumber daya
manusia yang terdapat di Indonesia agar tujuan tersebut tercapai, dan meminimalisir tenaga
kerja asing atau Perusahaan asing untuk masuk ke Indonesia.

Pasal 14
(1) Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Komentar:
Menurut saya, jangka waktu kontrak dengan KKKS selama 30 tahun dan dilanjutkan dengan
20 tahun setelahnya terlalu lama. Apabila dalam total waktu 50 tahun tersebut suatu WK
telah melewati peak atau puncak produksinya, yang diserahkan kepada pemerintah Indonesia
hanyalah cadangan yang nilainya sudah sangat sedikit dan tidak begitu menguntungkan bagi
negara. Oleh karenanya, perlu pertimbangan kembali terkait jangka waktu kontrak antara
pemerintah dengan KKKS.

Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua
puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Komentar:
Peraturan ini menetapkan bahwa KKKS berkewajiban menyerahkan 25% bagiannya dari
hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kewajiban penyerahan
dilaksanakan setelah dimulainya produksi komersial. Menurut saya, seiring dengan naiknya
kebutuhan minyak dan gas bumi sebagai energi utama, hendaknya nilai kewajiban untuk
menyerahkan hasil produksinya ke dalam negeri turut pula dinaikkan. Dapat diketahui bahwa
naiknya persen kewajiban yang harus diserahkan ke dalam negeri akan dapat mengurangi
impor minyak dan gas bumi dari luar negeri.

Pasal 28
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar.
Komentar:
Menurut saya, Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan bahwa
implikasi pasal ini adalah bahwa kegiatan perdagangan BBM yang semula dimaksudkan
untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 diliberalisasi
dengan mekanisme persaingan usaha dengan pemain tidak hanya swasta nasional tetapi juga
pengusaha asing multinasional.
Pasal 63
c. semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan
Komentar:
Menurut saya, Pasal 63 poin c ini bertentangan dengan Pasal 33 (3) UUD 1945,
pemberlakuan kontrak-kontrak yang sedang melakukan pelanggaran tehadap konstitusi
haruslah batal tanpa harus habis jangka waktu kontraknya.

Anda mungkin juga menyukai