Kasus Hukum Pajak PT Asian Agri
Kasus Hukum Pajak PT Asian Agri
PENDAHULUAN
BAB 2
RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah Pemilik PT. Asian Agri Grup ?
2. Bagaimana Kasus Penggelapan PT. Asian Agri Grup diketahui Negara ?
3. Bagaimana Kronologis kasus Penggelapan PT. Asian Agri Grup?
4. Modus apakah yang dilakukan oleh PT. Asian Agri Grup ?
5. Apa sajakah isi putusan Mahkamah Agung kepada PT. Asian Agri Grup
6. Apakah sanksi yang dikenakan kepada PT. Asian Agri Grup ?
BAB 3
PEMBAHASAN MASALAH
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun
2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8
miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di
bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International
Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil &
Gas.
Asian Agri merupakan salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia
dengan kapasitas produksi per tahun mencapi 1 juta ton. Saat ini, Asian Agri mengelola 28
perkebunan minyak kelapa sawit dan 19 pabrik pengilangan minyak kelapa sawit. Perusahaan
ini memiliki total area perkebunan kelapa sawit sebesar 160.000 hektar, yang mana 60.000
hektar diantaranya dikembangkan oleh para petani kecil di bawah Plasma/Skema KKPA. Ini
adalah salah satu skema kerja sama komunitas paling besar dan paling sukses di Indonesia
yang telah membawa keuntungan ekonomi dan transformasi sosial bagi 29.000 keluarga
petani plasma yang semuanya berlokasi di Sumatera.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin
Sutanto (Vincent) berusaha mencuri uang perusahaan AAG dengan membobol brankas PT
AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006.
Pada tanggal 1 Desember 2006 Vincent sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan
data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border
Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini
memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG233 secara terperinci dan membeberkan
penyimpangan pajak yang dilakukan PT AAG.
Selanjutnya, kasus ini diproses hukum hingga akhirnya MA memutuskan Suwir Laut
bersalah dan 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG turut dihukum dengan membayar
pajak terhutang Rp. 1.259.977.695.652 dan hukuman denda 2 kali pajak terhutang, yaitu
sebesar Rp 2,5 triliun.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan
investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan dari Vincent. Dalam
konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,
mestinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower (tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kekurangan
yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain, berkaitan dengan
kecurangan yang merugikan perusahaan sendiri maupun pihak lain).
2006
24 Nov:
Kontak pertama kali Tempo dengan Vincentius A. Sutanto lewat internet.
Vincent mengaku memiliki dokumen penggelapan pajak Asian Agri. Chatting
juga dilakukan dengan dua media lain, termasuk majalah Trust.
28 Nov-30 Nov:
Tempo ke Singapura menemui Vincent—sebelumnya bertemu dengan wartawan
Trust. Ia sempat berencana bunuh diri dan akan menyerahkan diri ke
polisi Singapura, karena merasa di Indonesia keselamatannya terancam.
Juru Bicara RGM, Tjandra Putra, mengontak saya di Singapura, mengundang
bertemu.
1 Des:
Vincent mulai membeberkan dugaan manipulasi pajak dan suap Asian Agri
kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan harapan ada
perlindungan saksi oleh KPK. Di Jakarta, RGM mengundang wartawan,
menyatakan Vincent buronan Polda (Bisnis Indonesia, 2 Desember 2006).
2 Des:
Vincent mendapat ancaman dari private investigator di Singapura (Mr.
Goh) untuk segera menyerahkan diri.
3 Des:
Vincent kembali ke Jakarta, dijemput oleh KPK untuk melanjutkan
pelaporan indikasi manipulasi dan suap pajak.
11 Des:
Diantar KPK, Vincent menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya (diterima AKBP
Aris Munandar).
2007
Awal Januari
Keluarga Vincent meminta perlindungan Komnas HAM dan Komnas Anak.
15 Jan:
Cover story Tempo soal dugaan manipulasi pajak Asian Agri.
19 Jan:
Tim gabungan Direktorat Jenderal Pajak dan KPK melakukan pemeriksaan di
kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan (diliput media massa). Sebagian
besar dokumen diduga telah dipindahkan.
Pertengahan April:
Vincent dipindahkan ke penjara Salemba. Menerima sejumlah ancaman dan teror.
14 Mei:
Dirjen Pajak Darmin Nasution mengumumkan kepada pers telah menemukan
bukti awal pidana pajak Asian Agri dengan kerugian negara Rp 786 miliar.
Lima direksi ditetapkan sebagai tersangka.
15 Mei:
Tim intelijen dan investigasi Ditjen Pajak mendapatkan 9 truk dokumen
Asian Agri yang disembunyikan di kompleks pertokoan Duta Merlin, Jakarta
Pusat. Vincent mulai diadili, dijerat pasal pencucian uang dengan
tuntutan 12 tahun penjara.
9 Agust:
Vincent divonis 11 tahun penjara, dianggap terbukti melakukan pencucian
uang.
19 Agust:
Kasat II/Fismondev Polda Metro Jaya, Aris Munandar, dikutip Detik.com.
menyatakan meski Vincent sudah divonis, pengusutan diteruskan untuk
mencari otak pembobolan.
27-28 Agust:
Sejumlah media menyebutkan, menurut sumber di Polda, terdapat seorang
pengusaha berinisial E dan wartawan M di balik perbuatan Vincent.
Diberitakan juga M ditunggu kesaksiannya, tapi belum datang.
Berita bahkan menyebut nama Meta Dharma S. Seluruh pemberitaan tanpa
konfirmasi.
Livina Sutanto, adik Vincent, menerima surat panggilan dari Polda untuk
diminta keterangannya sebagai saksi kasus pencucian uang pada 3 September.
29 Agust:
Surat No. Pol/Spgl/3002/VIII/2007/Ditsersekrimsus untuk pemanggilan saya
pada 14 Agustus telah beredar di media massa, berikut print-out SMS
Telkom Flexi.
Aris Munandar semula membantah menandatangani surat panggilan,
belakangan membenarkan. Tapi, kata dia, surat belum dikirim dan tidak
tahu mengapa banyak media sudah mengetahui.
3 Sept:
Surat panggilan Polda No. Spgl/3301/IX/2007/Ditreskrimsus yang
ditandatangani Aris Munandar, dikirimkan ke rumah. Meminta saya sebagai
karyawan swasta memberi keterangan sebagai saksi berkaitan dengan
pelarian Vincent Jakarta-Singapura.
4 Sept:
Berita pemanggilan saya kembali diberitakan sejumlah media.
Sebuah majalah mengutip sumber di Polda, memberitakan seorang pengusaha
dan wartawan di balik pelarian Vincent.
Aris Munandar menyatakan bukti diperoleh dari rekaman komunikasi sang
pengusaha dengan wartawan.
5 Sept:
Direktur Compliance & Risk Management Telkom, Prasetio, dalam suratnya
menyatakan telah menerima permintaan resmi dari Penegak Hukum untuk
mengeluarkan print-out SMS. Namun, kepada Tempo, Polda menyatakan
pemanggilan saya bukan didasarkan pada SMS, tapi chatting dengan Vincent
saat dalam pelarian.
Setiyardi Negara atas nama Forum Keluarga Alumni Tempo menggelar Diskusi
Independensi Media di Era Pers Bebas: Kasus Tempo vs RGM di Gedung
Joeang' 45, Jakarta, dengan pembicara Martin Aleida dan Arsad Abdul Malkan.
5-6 Sept:
Sejumlah media memuat berita diskusi tersebut, tanpa konfirmasi.
7 Sept:
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, kepada Detik.com menyatakan
peliputan kasus Asian Agri telah memenuhi kaidah jurnalistik.
Asian Agri mengeluarkan siaran pers yang ditandatangani oleh Rudy Victor
Sinaga, Corporate Communication Manager Asian Agri mempertanyakan sikap
Tempo dengan mengutip sejumlah pemberitaan media.
Jakarta, 14 September
Metta Dharmasaputra
Wartawan Tempo
PENGGELAPAN PAJAK YANG DILAKUKAN PT ASIAN AGRI GROUP
Penggelapan pajak yang dilakukan PT AAG berupa penggelapan pajak penghasilan (pph) dan
pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005,
terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Mendongkrak kerugian transaksi
ekspor Rp 232 miliar. Mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.
Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan
usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari
SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap
Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money
laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai
kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya,
kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan
pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul
keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak
yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong
Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha
Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi
(Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu).
Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana
juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres
sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung
fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo
memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang
hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah
perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat,
yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang
berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan
yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan
yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang.
Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan
pencucian uang :
Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi
tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut
(mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007).
Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money laundering
yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati
selayaknya uang halal.
PT. Asian Agri group menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT
AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar yang kemudian
dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam
negeri bisa ditekan.
Modus operandi yang dilakukan Vincent, yang merupakan otak pelaku kejahatan, adalah
dengan mendirikan PT fiktif yang menjadi rekanan PT. AAG dalam menjual produk
minyaknya keluar negeri dan membuat rekening fiktifnya. Dia bekerja sama dengan kedua
temannya yang dikenalnya ketika mengambil gelas MBA di Amerika, yaitu Hendri Susilo
dan AFS yang membuat akta pendirian perusahaan yaitu PT Asian Agri Jaya dan PT Asian
Agri Utama. Vincent berjanji akan memberikan 10% keuntungan kepada temannya tersebut.
Kemudian pada tanggal 15 November 2006, uang tersebut ditransfer ke rekening Bank Panin
milik PT Asian Agri Jaya yang didirikan oleh Hendri. Sehari kemudian perusahaan di
Singapura mengecek transfer tadi, ternyata anak perusahaan di Jakarta tidak menerima uang
tersebut, yang menerima malah perusahaan lain (yang didirikan Hendri). Kemudian Asian
Agri pun melaporkan keganjilan tersebut kepada polisi dan rekening untuk penampung
transfer tersebut ketahuan dan diblokir, padahal Vincent baru mengambil Rp. 200 juta.
Asian Agri yang dibantu polisi, sudah keburu mengendus aksinya dan melakukan pengejaran,
Vincent lalu melarikan diri ke Singapura. Sebagai salah satu akuntan top di Asian Agri,
Vincent memiliki banyak dokumen penting yang hendak dijadikan senjata agar pihak Asian
Agri mau mengampuninya dan tidak membawa kasus tersebut ke polisi. Namun, pihak Asian
Agri terus mengejarnya, akhirnya Vincent memutuskan untuk menyerahkan diri ke Polda
Metro Jaya dan melaporkan kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian
Agri, sehingga pihak Asian Agri pun harus berurusan dengan polisi dan Direktorat Jenderal
Pajak.
1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari
Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur yang sudah
menjalani penahanan sejak Desember 2010.
2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan pajak di beberapa Kantor Pajak
dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya tax planning meeting yang membahas
perencanaan untuk mengecilkan pajak. (Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat
karena tax planning tidak sama dengan tax evasion).
3. Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 mengenai
perencanaan guna mengecilkan pembayaran pajak melalui beberapa cara yakni :
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya
langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan
dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual
kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats
Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian
dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin
Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer.
Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company
atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara
dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih
harga jual.
Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual
yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke
perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih
rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong,
Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor
dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di
Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang
dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya ;
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya management fee.
Disebutkan lebih lanjut, dalam halaman :
BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat dengan MEMO
VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi
ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung pengeluaran uang dari rekening
perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL
(Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko
Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.
BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss
creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss". Mekanismenya dilakukan
dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat
kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan
di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun
sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih
harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss.
BIAYA MANAJEMEN FEE, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan
Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar
perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada
pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk
penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan
penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak
C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan
laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Hal ini menimbulkan kerugian yang
dijelaskan dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.
Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 39
ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan negara berupa
sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan
Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
4. Pajak Internasional
Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang mengapa sanksi
pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal pembuktian
dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam
kasus ini.
Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan
dengan pajak internasional dan dianggap sebagai pendukung penggelapan pajak seperti
berikut:
-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah perusahaan di luar negeri seperti
perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune Oils &
Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Begitu juga dengan
perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta perusahaan di British Virgin
Island yakni Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak dijelaskan apakah mereka merupakan
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat
diperkirakan merupakan perusahaan terkait karena nama Asian Agri.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan SPV dan melakukan
under invoicing.
-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait apakah hal sebaiknya peraturan yang
diterapkan seharusnya merupakan peraturan transfer pricing sebagaimana diatur misalnya
dengan Per DJP No. PER - 32/PJ/2011 tentang penerapan Arm's Length Principle dalam
related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer pricing dan tax evasion yang
sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat putusan seperti ini.
-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah sesuai dengan standar akuntansi atau
merupakan satu financial engineering yang merupakan satu penggelapan pajak. Penentuan
harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa yang dipakai dalam ekspor
komoditas. Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman
Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam hal
harga pasar produk komoditas oleh pihak independen. Dalam fakta hukum yang diungkap,
halaman 468, dijelaskan bahwa yang telah terjadi adalah hedging fiktif.
-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP
tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan
manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee").
Umumnya hal ini menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya
merupakan related party transaction.
Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management fee termasuk
management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962
halaman 198). Tidak dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan
hubungan istimewa.
ANALISIS KASUS DAN PENERAPAN PASAL
a. Modus Terdakwa
Modus yang dilakukan PT AAG adalah Cara dengan menghindari pembayaran
pajak melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya.
dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran
PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga
pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi.
Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
Dihubungkan dengan TPPU, dapat diuraikan dugaan TPPU sbb:
Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas
namakan rang lain sipelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari
perbuatan pencucian uang.
Menurut UU pajak sanksi dibagi menjadi dua yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Sanksi administrasi adalah sanksi berupa denda, bunga, dan sanksi kenaikan. Sanksi pidana
adalah sanksi berupa kurungan dan penjara.
Mahkamah Agung (MA) menghukum Asian Agri, perusahaan perkebunan kelapa sawit milik
Sukanto Tanoto bayar denda Rp 2,5 triliun atas kasus penggelapan pajak. Putusan perkara
penggelapan pajak diputuskan sebagai corporate liability (pertanggungjawaban kolektive)
yaitu Fucarious Liability (Perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan pidana
karyawannya).
Penggelapan yang dilakukan PT Asian Agri Group dan 14 perusahaan yang tergabung adalah
:
PT asian agri group dikenai sanksi pidana oleh MA berupa denda pajak sebesar 2,5
triliun dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Manager pajak Asian agri
berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) No 2239.K/PID.SUS/2012 tanggal 18
Desember 2012 yaitu suwir laut yang divonis 2 tahun dengan masa percobaan 3 tahun
karena memasukkan data pajak yang tidak sebenarnya (self assesment) melanggar prinsip
hukum pajak yaitu memenuhi kewajiban membayar pajak dengan melaporkan secara
jujur sendiri kewajiban hutang pajaknya (terdakwa mengisi data palsu kewajiban
perusahaan). Sehingga berturut-turut selama 4 tahun sejumlah 16 perusahaan tidak/kurang
membayar kewajiban pajak yg sebenarnya.
Sebelumnya, kasus penggelapan pajak perkebunan kelapa sawit milik Tanoto Sukanto
ini dibongkar oleh Mantan Group Financial Controller Asian Agri, Vincentius Amin
Sutanto
Akibat kasus penggelapn pajak ini, Negara dirugikan senilai Rp. 1.259.977.695.652,-
(satu trilyun dua ratus lima puluh Sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta
enam ratus sembilan puluh lima ribu enam ratus lima puluh dua rupiah). Dan perusahaan
yang bergabung dengan AAG group harus membayar senilai 2 x Rp 1.259.977.695.652 =
2.519.955.391.304.
Sedangkan Direktorat jenderal Pajak akan menagih kekurangan pajak sebesar RP.
1,25 triliun selama 2002 - 2005 dengan dendanya sebesar 1,9 triliun. Adapun rincian
tagihan pajak terhadap tunggakan pajak asain agri adalah :
Pokok pajak RP. 1,295 triliun
Sanksi pajak Rp. 653,4 miliar
Total 1,913 triliun.
Pada akhir Januari 2014, kejaksaan dan AAG sepakat membayar terlebih dahulu sebesar
Rp719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar
Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan. Sebagai jaminan
itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro
lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Mandiri dan tiap bulan dapat di cairkan.
Datas Ginting juga menjelaskan, pihak Kejaksaan sebagai eksekutor ketika itu sepakat
memberikan kesempatan pada AAG untuk melakukan pembayaran dengan sistem mencicil
karena lembaga kejaksaan juga harus mempertimbangkan aspek mendasar dari hukum itu
sendiri yakni keadilan.
Pembayaran sisa denda sebesar dua kali pajak terhutang ini dilakukan lebih cepat dari
kebijakan waktu yang diberikan oleh Jaksa Eksekutor. PT Asian Agri Group perusahaan
milik Sukanto Tanoto ini melunasi secara total cicilan pada 17 september 2004.
Sedangkan untuk kekurangan pajak dan sanksinya PT. Asian agri Group masih
mengajukan banding.Dan dua anak usaha Asian Agri Group yaitu PT Rigunas Agri Utama
dan PT Raja Garuda Mas Sejati telah diberikan penolakan banding oleh Pengadilan Pajak.
Dua hakim telah menolak banding yang diajukan oleh kedua anak usaha Asian Agri, namun,
salah seorang dari tiga hakim yang mengadili banding tersebut menyatakan disssenting
opinion. Alasan penolakan dari kedua hakim adalah mereka tidak memiliki kewenangan
memproses banding tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Perpajakan Universitas Indonesia (UI), Prof Gunadi,
mengatakan, tujuan hukum pajak adalah bukan untuk mempidana orang, tetapi lebih pada
upaya untuk mengumpulkan uang untuk mengisi pundi-pundi APBN dari sektor pajak yang
akan digunakan untuk pembangunan. “Tujuan hukum pajak juga bukan semata-mata untuk
kepastian hukum saja, tapi juga untuk memenuhi rasa keadilan,” kata Gunadi.