Anda di halaman 1dari 18

KELOMPOK 4

PERPAJAKAN

Dosen Pengampu : Drs. Junaidi Abdillah, S.T.,


M.M.
NAMA
KELOMPOK

• ANTI MUKHLISOH 205189

• LISTI FANI 205171

• RIFKI EKA HERMAWAN 205173


TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK
Pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh suatu negara khususnya Indonesia
didasarkan atas beberapa teori. Teori-teori tersebut, antara lain:
1. Teori asuransi
Dalam perjanjian asuransi, dinyatakan bahwa setiap peserta asuransi wajib untuk
membayar premi asuransi dengan tujuan sebagai perlindungan bagi orang yang
bersangkutan atas keselamatan dan harta bendanya.
2. Teori kepentingan
Dalam teori ini, pembebanan pajak kepada masyarakat didasarkan atas besarnya
kepentingan masyarakat dalam suatu negara.
3. Teori daya pikul
Teori ini menyatakan bahwa biaya-biaya atas perlindungan yang diberikan oleh
negara kepada warga negara haruslah dipikul oleh segenap orang yang menikmatinya
dalam bentuk pajak.
4. Teori bakti
Masyarakat dianggap memiliki kewajiban mutlak, yaitu berbakti kepada negara.
Untuk membuktikan baktinya, masyarakat harus menyadari bahwa pajak adalah suatu
kewajiban.
5. Teori asas daya beli
Teori ini beranggapan bahwa pajak digunakan untuk menarik daya beli
masyarakat.
JENIS JENIS PAJAK
JENIS JENIS PAJAK
Selain pengelompokan tersebut, pajak juga dapat dibedakan menjadi dua,
antara lain:
1. Pajak final
Pajak final berarti pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak
melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan
tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan pada total PPh yang terutang
pada akhir tahun saat pengisian SPT Tahunan PPh. Contoh dari pajak
final adalah Hadiah berupa undian.
2. Pajak tidak final
Sebagian besar pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak tidak
final. Pajak tidak final adalah pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib
Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun
berjalan dan dapat dikreditkan pada total PPh yang terutang pada akhir
tahun saat pengisian SPT Tahunan. Misalnya, Pajak Penghasilan Pasal
21, 22, 23, dan 24, serta PPN.
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
 Asas Pemungutan Pajak
Adam Smith menyatakan bahwa pemungutan pajak seharusnya didasarkan atas asas:
1. Equality
Harus terdapat keadilan, serta persamaan hak dan kewajiban di antara Wajib Pajak
dalam suatu negara. Keadilan dalam pemungutan pajak ini dibedakan menjadi dua,
yaitu a) Keadilan Horizontal, b) Keadilan Vertikal.
2. Certainty
Penetapan pajak harus jelas, tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
3. Convenience
Pemungutan pajak harus memperhatikan kenyamanan (convenience) dari Wajib
Pajak, dalam arti pajak harus dibayar oleh Wajib Pajak pada saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak, yaitu pada saat memperoleh penghasilan (pay as you earn).
4. Economics
Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan Perhitungan Biaya untuk pemungutan pajak
harus seminim mungkin.
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
 Syarat Pemungutan Pajak
1. Pemungutan pajak harus adil
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang
3. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
4. Positif bagi perekonomian negara
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Sistem pemungutan pajak merupakan suatu cara yang digunakan untuk
menghitung besarnya pajak yang perlu dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada
negara. Dengan kata lain, sistem ini menjadi metode untuk mengelola utang pajak
yang bersangkutan supaya bisa masuk ke kas negara.

Setiap negara di dunia mempunyai sistem dan metode yang berbeda, sedangkan
Indonesia mempunyai 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang berlaku.

• Self Assessment System


• Official Assesment System
• Withholding Assesment System
• Self-Assessment System yaitu, Sistem perpajakan ini yang digunakan untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan.
Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak self-assessment adalah :
1) Wajib Pajak menentukan besaran pajak terutang.
2) Wajib Pajak berperan aktif dalam menyelesaikan kewajiban perpajakannya
(perhitungan, pembayaran, dan pelaporan).
3) Pemerintah tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
• Official Assessment System yaitu, Sistem pemungutan pajak ini yang
memungkinkan pihak berwenang untuk dengan bebas menentukan jumlah pajak
yang harus dibayarkan kepada otoritas pajak atau pemungut pajak. Ciri - ciri dari
sistem pemungutan pajak official assessment adalah :
1) Petugas pajak berwenang menghitung dan memungut besaran pajak terutang.
2) Wajib Pajak berperan pasif.
3) Besaran pajak akan diketahui oleh Wajib Pajak setelah petugas pajak melakukan
perhitungan dan menerbitkan SKP.
4) Pemerintah memiliki hak penuh pada saat menentukan besaran pajak yang perlu
dibayarkan
• Withholding Assessment System yaitu, Sistem pemungutan pajak ini
memberikan
pengertian bahwa besarnya pajak akan dihitung oleh pihak ketiga yang
bukan wajib pajak atau petugas pajak. Ciri - ciri dari sistem pemungutan
pajak withholding assessment adalah :
1) Wajib Pajak dan pemerintah tidak berperan aktif dalam menghitung
besaran pajak.
2) Pihak ketiga berwenang menentukan besarnya pajak terutang.
3) Menerbitkan bukti potong/pungut bagi Wajib Pajak yang telah melunasi
pajak terutang.
STUDI KASUS

PT. Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Group Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah
Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga yang paling kaya di Indonesia,
dengan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat
perusahaan lain yang berada dibawah naungan Grup Raja Garuda Mas,
diantaranya : Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL),
Indorayon, dan Pacific Oil & Gas. Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu
hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand.
Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit
mentah selain juga pabrik minyak goreng.
AWAL MULA KASUS
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi
Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui
selukbeluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan
dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh.
Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara
Vincent dan wartawan Tempo. Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11
Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu,
pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen
keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang
berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”,
disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing
PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di
bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga
tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu,
rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian
adalah perusahaan fiktif. Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh
KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena
memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.
Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian
membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini
bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan –
termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di
Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp
1,3 triliun. Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007
telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA,
TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan
pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak
Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
PENYELESAIAN KASUS
PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara
senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal
ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya. Meski
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi
pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum
untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal
44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana
di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus
berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah
melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan.
Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana
perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap
Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari
warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya.
Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara
ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah. Jadi, penyelesaian kasus
tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori
“Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar
sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri
Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses
penyelesaian tindak pidana perpajakan ini. Asian Agri akhirnya benar - benar
melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat
Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan perkebunan
sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan setelah
membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni
mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang
ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total
utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang
mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan
perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus
denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun. General Manajer Grup Asian
Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka waktu
tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta,
Rabu (4/9). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus
mengakui telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP
wajib memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam
SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP
dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan
dan blokir rekening hingga pelelangan aset.

Anda mungkin juga menyukai