Anda di halaman 1dari 5

Marshall Stanley

120200426

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 5):

- Kejelasan tujuan  Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

- Kelembagaan  Bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus


dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.

- Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan  Bahwa dalam


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan.

- Dapat dilaksanakan  Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang- undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.

- Kedayagunaan dan kehasilgunaan  Bahwa setiap Peraturan Perundang-


undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

- Kejelasan rumusan  Bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus


memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.

- Keterbukaan  Bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Materi Muatan  Materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai


dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Asas Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 6):

- Pengayoman  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-


undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.

- Kemanusiaan  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-


undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
Marshall Stanley
120200426

manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.

- Kebangsaan  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan


harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan
tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

- Kekeluargaan  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-


undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.

- Kenusantaraan  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-


undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

- Bhinneka Tunggal Ika  Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-


undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

- Keadilan  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan


harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

- Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan  Bahwa setiap


Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.

- Ketertiban dan kepastian hukum  Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.

- Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan  Bahwa setiap Materi


Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.

Materi Muatan yang harus diatur dengan UU haruslah berisi:

- Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945.
- Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
- Pengesahan perjanjian internasional tertentu.
- Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.
- Ppemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Marshall Stanley
120200426

Meta Principle:

- Lex superior derogat legi inferiori atau Lex inferior  Mengedepankan


peraturan yang lebih tinggi apabila normanya mengalami pertentangan dengan
peraturan yang lebih rendah.

- Lex specialis derogat legi generali atau Lex generalis  Hukum yang bersifat
khusus atau lex specialis mengesampingkan hukum yang bersifat umum lex
generalis. Mengatur lebih khusus dan tajam terperinci, tapi ia harus mengalah
kepada UU yang menjadi rujukannya (The Umbrella Act atau UU Payung).
UU Payung merupakan UU terhadap UU Sektoral. UU Payung dapat
dijadikan landasan untuk menilai sebuah UU untuk dijadikan sebagai bahan
Judicial Review.

- Lex posterior derogat legi priori  Hukum yang terbaru atau posterior
mengesampingkan hukum yang lama atau prior.

- Lex posterior generali non-derogat lex priori specialis  ---

Penyelesaian konflik norma menurut Meta Principle:

- Pengingkaran atau Disavowal  Mempertahankan bahwa tidak ada konflik di


dalam norma tersebut.

- Reinterpretasi atau Reinterpretation  Menginterpretasi kembali norma


utama dengan cara yang lebih fleksibel dan menerapkan norma tersebut
dengan mengesampingkan norma yang lain.

- Pembatalan atau Invalidation  Pembatalan abstrak melalui Judicial Review


dan pembatalan praktikal dengan tidak menerapkan norma tersebut di dalam
kasus konkrit.

- Pemulihan atau Remedy  Melakukan pemulihan untuk membatalkan suatu


ketentuan atau kompensasi.

Terdapat 2 macam produk hukum yang memuat norma di dalamnya, yaitu:

- Bersifat Regelling  Menggunakan norma hukum umum dan daya


lakunya terus-menerus atau dauerhaftig  MENGATUR  Peraturan
Presiden.

- Bersifat Beschikking  Menggunakan norma hukum individual dan daya


lakunya sekali-selesai atau einmahlig  MENETAPKAN  Keputusan
Presiden.

Terdapat 2 ahli yang mengemukakan Teori Hierarki Perundang-undangan, yaitu:

- Hans Kelsen  Stufentheorie (Teori Jenjang Norma)  Norma-norma


hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis di dalam suatu hierarki.
Sehingga, suatu norma yang lebih rendah itu berlaku, bersumber, dan berdasar
Marshall Stanley
120200426

pada norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi itu berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu saat, norma tersebut tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat fiktif atau Norma Dasar (Groundnorm). Norma Dasar
merupakan norma yang tertinggi di dalam suatu sistem norma dan ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat.

- Hans Nawiasky  Die Theorie Vom Stufenordnung Der Rechtsnormen


(Teori Jenjang Norma Hukum)  Selain norma hukum itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok dan
pengelompokan norma hukum dari suatu negara tersebut terdiri atas 4
kelompok besar, yaitu:

o Kelompok I (Tertinggi)  Staatsfundamentalnorm (Norma


Fundamental Negara)  Merupakan norma tertinggi di dalam suatu
negara yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi
atau telah ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dan norma ini
juga merupakan tempat bergantungnya norma-norma hukum di
bawahnya.

o Kelompok II  Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara)  Dapat


dituangkan di dalam suatu dokumen negara yang biasanya diatur hal-
hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan.
Selain itu juga mengatur hubungan antar lembaga-lembaga negara dan
mengatur hubungan antara negara dengan warganya.

o Kelompok III  Formell Gesetz (Undang-Undang “Formal”) 


Norma-norma hukum di dalam suatu UU sudah merupakan norma-
norma yang lebih konkret, terperinci, dan sudah dapat langsung
berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukumnya ini bersifat
tunggal dan berpasangan.

o Kelompok IV (Terendah)  Verordnung & Autonome Satzung


(Peraturan Pelaksanaan & Peraturan Otonom)  Berfungsi untuk
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan di dalam UU. Peraturan
Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi dan Peraturan
Otonom bersumber dari kewenangan atribusi yang artinya kewenangan
untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh
UUD ataupun UU.

Perbedaan dan persamaan antara Stufentheorie (Teori Jenjang Norma) milik Hans
Kelsen dengan Die Theorie Vom Stufenordnung Der Rechtsnormen (Teori Jenjang
Norma Hukum) milik Hans Nawiasky adalah sebagai berikut:

- Perbedaannya adalah:

o Hans Kelsen tidak mengelompokkan norma-norma itu, sedangkan


Hans Nawiasky membagi norma-norma itu ke dalam 4 kelompok yang
berlainan.
Marshall Stanley
120200426

o Teori Hans Kelsen membahas jenjang norma secara umum yang


artinya berlaku untuk semua jenjang norma, sedangkan Hans
Nawiasky membahas Teori Jenjang Norma itu secara lebih khusus
dengan menghubungkannya terhadap suatu negara.

- Persamaannya adalah:

o Keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan


berlapis-lapis dan bersifat axiomatis.

Kemudian, Teori Hierarki Perundang-undangan itu diaplikasikan pada Hierarki


Perundang-undangan RI menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1):

- UUD 1945
- TAP MPR
- UU/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Propinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Anda mungkin juga menyukai