Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peratuan Perundang-Undangan

1. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ada beberapa

asas umum yang berlaku yaitu :1

Pertama, Undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini dapat dibaca

dalam Pasal 13 Algemene Bepalingen van Wetgeving (selanjutnya disebut

A.B.) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut: “Undang-undang

hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan

yang berlaku surut.” Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

Pidana,yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada peristiwa dapat dipidana,

kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang

mendahulukan.” Artinya dari asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya

boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang

tersebut, dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku.

Kedua, Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan

undang-undang yang lebih rendah (lex superiori derogate lex inferiori).

Menurut asas ini bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

1
Ni‟matul Huda, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Nusamedia,
Bandung, 2011, hal.12.
undangan yang lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama. Konsekuensi

hukum asas lex superiori derogate lex inferiori ialah:

a) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi


mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
b) Undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi;
c) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah, atau
ditambah oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang
sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.

Ketiga, Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan

undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis).

Menurut asas ini apabila ada dua macam ketentuan peraturan perundangan

yang setingkat atau kedudukannya sama dan berlaku dalam waktu yang

bersamaan serta saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan atau

menggunakan yang khusus sebagai dasar hukum, dan mengesampingkan

yang umum.

Keempat, undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan

undang-undang terdahulu (lex posteriori derogate lex priori). Maksudnya

adalah undang-undang atau peraturan yang terdahulu (lama) menjadi tidak

berlaku apabila penguasa yang berwenang memberlakukan undang-undang

atau peraturan yang baru dalam hal mengatur objek yang sama, dan

kedudukan undang-undang atau peraturannya sederajat.2

2. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Jenis-jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

terdapat pada hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di

2
Ibid., hal 13
Indonesia disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(selanjutnya disebut UU). Pembentukan Peraturan Perundang-undanngan),

jenis-jenis peraturan perundang-undangan yaitu terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat
3. Undang-Undang/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan terdapat jenis peraturan perundang-undangan selain

yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yaitu mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-

Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat.

Tidak hanya itu, pada Pasal 8 ayat (2) Undang UU Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa terdapat Peraturan

Perundang-undangan tersebut yang diakui keberadaannya dan mempunyai


kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangannya.

Kekuatan hukum dari setiap peraturan perundang-undangan

sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan

dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-

undanngan. Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan

menurut Bagir Manan mengandung beberapa prinsip, yakni:

a. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus


bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi;
b. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan
tingkat lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, kecuali apabila peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevoegd)
atau melampaui wewenang (deternement de pouvouir).
c. Harus diadakan mekanisme yang menjaga dan menjamin
agar prinsip tersebut tidak disimpangi atau dilanggar.

3. Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Norma ( Teori Hirarki

Peraturan Perundang-undangan)

a) Teori Hans Kelsen ( Stufentheorie ) “general theory of law and state”

1) Norma dalam suatu masyarakat selalu berlapis /bertingkat/


berjenjang.
2) Setiap norma dibawah bersumber pada norma yang ada
diatsnya begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang paling
atas/tinggi dimana Norm paling tinggi ( tidak ditemukan lagi
norma)
3) Norma yang paling atas dikenal de groun Norm ( norma dasar
) yang tidak bersumber pada suatu apapun
4) Presufresif : Merupakan pernyataan kehendak bersama semua
masyarakat tanpa memperhatikan apa yang menjadi dasarnya
5) Ground norm timbul karena Presufresif .
Teori Hans kelsen ini mendapat banyak perhatian adalah hierarki

norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum

(stufentheorie).3 Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut

adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky.

b) Teori Hans Nawiasky (theorie von stufenufbau der rechtsordnung)

1) Norma yang berlaku dalam masyarakat berjenjang-jenjang

2) Norma bersumber pada norma yang diatasnya

Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, kita dapat

membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada

struktur tata hukum di Indonesia. Menurut Attamimi menunjukkan struktur

hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky: 4

a) Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental


Negara)
b) Kelompok II: Staatsgrungesetz (Aturan dasar/Pokok
negara)
c) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang Formal)
d) Kelompok IV: Verordnung Dan Autonome Satzung (Aturan
Pelaksana dana aturan Otonom)

Jika dibandingkan dengan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari

Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (Theorie vom Stufenaufbau

der Rechtsordnung) dari Hans Nawiasky, maka dapat dilihat adanya

cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum

Negara Republik Indonesia.

3
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, 2007, Bee Media
Indonesia, Jakarta, hal. 165-169
4
Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe,
Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, Cet 2, hal. 31
Jika dilihat dari hal yang diatur atau perbuatannya, norma hukum

terbagi menjadi norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma

hukum abstrak adalah norma hukum yang melihat pada perbuatan

seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret, sedangkan

norma hukum konkret adalah norma hukum yang melihat perbuatan

seseorang secara lebih nyata (konkret). Dalam praktiknya, norma-norma

hukum tersebut dapat dikombinasikan sebagai berikut:

1. Norma hukum umum-abstrak


2. Norma hukum umum-konkret
3. Norma hukum individual-abstrak
4. Norma hukum individual-konkret

Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia norma-

norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis

dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu

norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu

norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu

Pancasila.

Eksplorasi pemikiran Hans Kalsen mengenai hirarki peraturan

perundang-undangan yang ab initio harus didalam konteks nalar legal

positivism atau the hierarchy of norms.

Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang

diintrodusir Hans Kalsen di atas dapat dimaknai sebagai berikut:


a. peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
b. isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh minyimpangi atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan teori Hans Kelsen, struktur tata hukum Indonesia

adalah:5

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).


2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau
Walikota.

Terkait dengan subtansi norma dasar, Hans Kalsen membedakan

dua jenis norma atau sistem norma. Keduanya adalah sistem norma statis

(the static system of norm) dan sistem norma dinamis (the dinamic system

of norm).

Sistem norma statis adalah sistem yang melihat suatu norma dari

segi isi atau materi muatan norma itu sendiri. Isinya menunjukan kualitas

yang terbukti secara lansung menjamin validitasnya. Sedangkan, sistem

norma dinamis adalah sistem yang melihat suatu norma yang

pembentukannya sesuai dengan prosedur oleh yang ditentukan konstitusi.

Dengan perkataan lain norma dalam perspektif sistem norma

dinamis adalah norma yang dilahirkan oleh pihak yang berwenang untuk

membentuk norma tersebut yang tentu saja norma tersebut bersumber dari

norma yang lebih tinggi. Kewenangan tersebut merupakan suatu delegasi.

5
A. Attamimi, A. Hamid. Op.cit..
Norma yang membentuk kekuasaan didelegasikan dari suatu otoritas

kepada otoritas yang lain. Otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih

tinggi, otoritas yang kedua adalah otoritas yang lebih rendah. 6

Selain itu, norma hukum jika ditinjau berdasarkan masa

berlakunya, dapat dibagi menjadi norma hukum yang berlaku terus

menerus (dauerhaftig) dan norma hukum yang sekali selesai (einmalig).

B. Tindakan Hukum Pemerintah / Instrumen Pemerintahan

1. Pengertian Tindakan Hukum Pemerintah

Pemerintah atau administrasi Negara adalah sebagai subjek

hukum, sebagai drager van de rechten en plitchen atau pendukung hak-

hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah

sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan baik

tindakan nyata (feitelijkhandeling) maupun tindakan hukum

(rechthandelingen).7

Menurut R.J.H.M. Huisman, tindakan-tindakan yang berdasarkan

sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, atau “Een

rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten of plitchen”,8

(Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk ciptakan hak

dan kewajiban).

Menurut H.J. Romejin yang dimaksud dengan tindakan hukum

administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ

administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan

6
Hans Kelsen, Op. Cit. hal. 165-169
7
Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Rajawali Pers, 2013, hal. 109
8
Ibid., hal.110
akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Akibat hukum yang lahir

dari tindakan hukum adalah dampak yang memiliki relevansi dengan

hukum, seperti penciptaan hukum baru, perubahan, atau pengakhiran

hubungan hukum yang ada. 9

Berdasarkan pengertian oleh beberapa ahli di atas, maka yang

dimaksudkan dengan Tindakan Hukum Pemerintah adalah tindakan yang

dilakukan oleh organ pemerintahan atau administrasi Negara yang

memiliki tujuan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang pemerintahan

atau administrasi Negara. Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa

unsur dari Tindakan Hukum Pemerintah, yaitu : 10

a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam


kedudukannya sebagai alat kelengkapan pemerintahan dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan.
c. Perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum di bidang
administrasi.
d. Perbuatan tersebut bersangkutan dengan kepentingan Negara
dan masyarakat.
e. Perbuatan harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
f. Perbuatan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu
berdasarkan hukum.

2. Jenis-Jenis Tindakan Hukum Pemerintah

Tindakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah dibedakan

atas tindakan hukum privat (privaatrechtelijke rechtshandelingen) dan

tindakan dalam hukum public (publiekrechtelijke rechtshandelingen).

9
Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
Bandung : PT. Alumni, 2004, hal. 62
10
Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Bandung:Nuansa, 2009, hal.142
Tindakan hukun privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada

ketentuan-ketentuan hukum privat, sedangkan tindakan hukum publik

adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum

publik.

Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah dalam

menjalankan fungsi pemerintahannya, dapat dibedakan dalam tindakan

hukum public yang bersifat sepihak dan tindakan banyak pihak. Tindakan

hukum publik sepihak berbentuk tindakan yang dilakukan sendiri oleh

organ pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum publik, contohnya

adalah pemberian izin bangunan oleh pemerintah.

Tindakan hukum publik dua pihak atau lebih dapat dilakukan

hanya menyangkut cara-cara merealisasikan tindakan hukum tersebut.

Tindakan hukum dua pihak atau lebih biasanya dijumpai dalam Peraturan

Bersama. Peraturan bersama pada hakekatnya hanyalah cara untuk

melaksanakan tugas dan urusan pemerintahan tertentu yang kebetulan ada

kesamaan dengan organ pemerintahan lainnya atau karena ada tujuan agar

pelaksanaan tugasnya dapat terselenggara secara efektif dan efisien dengan

cara dilaksanakannya secara bersama-sama.

Tindakan hukum publik pemerintah menurut sasarannya dibedakan

menjadi : Pertama; ditujukan kepada umum yang menghasilkan norma

umum; Kedua; ditujukan kepada individu yang menghasilkan norma


khusus. Dari norma umum dan khusus tersebut, masing-masing dibedakan

lagi menjadi : 11

a. Norma umum-abstrak; tindakan pemerintah yang normanya


bersifat mengatur
b. Norma individual-konkret; keputusan pemerintah berupa
penetapan tertulis, mengenai hak tertentu dan ditujukan kepada
orang tertentu.
c. Norma umum-konkret; tindakan hukum pemerintah yang
isinya konkret yang dapat diterapkan praktis menurut tempat
dan waktu dari norma peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum.
d. Norma individual-abstrak; syarat-syarat yang bersifat
mengatur dan abstrak, yang menyertai pemberian izin
berdasarkan Undang-Undang.

Pembagian yang menarik dari hasil tindakan hukum publik

pemerintah adalah apa yang dikemukakan oleh Algemene bepalingen van

administratief recht, yaitu belsuiten van algemene strekking dan

beschikking atau keputusan yang ditujukan bersifat umum dan keputusan

yang bersifat konkrit individual. Tindakan Hukum Pemerintah dapat

berupa Keputusan yang bersifat umum mencakup peraturan perundang-

undangan (umum-abstrak), peraturan kebijakan atau beleidsregel (umum-

konkret), dan rencana (individual-abstrak) atau planing , dan individual

konkrit berupa keputusan atau beschikking.12

1. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan bersifat umum abstrak. Artinya

berlaku pada semua tempat (dalam suatu jurisdiksi), tidak hanya

berlaku untuk tempat tertentu; berlaku untuk masa yang tidak tertentu,

11
Ibid., hal.72
12
Ibid., hal. 76.
tidak untuk waktu tertentu; ditujukan kepada setiap orang, tidak hanya

untuk subjek hukum tertentu; penetapan peraturan berulang-ulangnya,

tidak untuk kasus tertentu, tetapi pada sejumlah keadaan yang tidak

tertentu.13

Tindakan hukum pemerintah yang menghasilkan peraturan

perundang-undangan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi

maupun Kabupaten/Kota.

2. Peraturan Kebijakan (Beleidsregels)

Beleidsregel menurut J.H. van Kreveld adalah aturan hukum

yang administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan

administrasi Negara dengan kewenangan yang tidak bersumber pada

undang-undang dasar atau undang-undang. Oleh karena itu tidak

memiliki kekuatan hukum layaknya peraturan perundang-undangan

yang mendapat atribusian atau delegasian dari undang-undang dasar

atau undang-undang.14

Menurut P.J.P. Tak, peraturan kebijaksanaan adalah peraturan

umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenan dengan

pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga Negara atau

terhadap instansi lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak

memiliki dasar yang tegas dalam undang-undang dasar atau undang-

13
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 27
14
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksana Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi
HukumTertulis Nasional, Disertasi: Universitas Padjajaran, Bandung, 1997, hal.178
undang, baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan

kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan

perundang-undangan. Oleh karena itu, tidak termasuk peraturan

perundang-undangan yang mengikat umum, tetapi didasarkan pada

wewenang pemerintahan suatu organ administrasi Negara yang

berkenaan dengan pelaksanaan kewenangannya.

Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan kewenanganan

pemerintahan yang bebas (freies ermessen) dan ketiadaan wewenang

administrasi yang bersangkutan membuat peraturan perundang-

undangan.

3. Rencana (Planing)

Rencana adalah instrumen penting pemerintah, karena rencana

memegang peranan yang strategis di berbagai kegiatan pemerintah.

Rencana menurut Belifante adalah keseluruhan tindakan pemerintah

yang bersangkut paut, yang mengupayakan terwujudnya suatu

keadaan tertentu yang teratur. Keseluruhan itu disusun dalam bentuk

tindakan hukum administrasi Negara, sebagai tindakan yang

menimbulkan akibat-akibat hukum. 15

4. Keputusan (beschikking)/ KTUN

Menurut C.W. van Der Pot, keputusan adalah pernyataan

kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus,

ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah, atau

15
Irfan Fachruddin, Op.Cit., hal.77
menghapus hubungan hukum yang ada.16 Sedangkan menurut Ten

Berge, keputusan (beschikking) adalah keputusan hukum public yang

bersifat konkret dan individual; keputusan itu berasal dari

pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik,

dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau

lebih perkara atau keadaan.

Keputusan menurut F.C.M.A. Michiels, keputusan adalah

sebagai tindakan hukum, yang merupakan wujud dari; motivieven-wil-

keuze-gerdrag/handeling (alasan-alasan, kehendak, pilihan tindakan).

Artinya keputusan merupakan hasil dari tindakan hukum yang

dituangkan dalam bentuk tertulis, sebagai wujud dari motivasi dan

keinginan pemerintah.17

Berdasarkan pengertian keputusan yang disampaikan oleh

beberapa ahli di atas, ada enam unsur dari keputusan yaitu :18

a. Suatu pernyataan kehendak tertulis,


b. Diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari
Hukum Tata Negara
c. Bersifat sepihak
d. Dengan mengecualikan keputusan yang bersifat umum
e. Bersifat konkret, individual, dan final.
f. Yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau
pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau
menciptakan hubungan hukum baru yang memuat penolakan,
sehingga terjadi penetapa, perubahan, penghapusan, atau
penciptaan.
g. Berasal dari organ pemerintahan.

16
Ridwan H.R, Op.Cit., hal. 139
17
Ibid., hal.146
18
Bahsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990, hal. 47

Anda mungkin juga menyukai