Anda di halaman 1dari 4

Teori Hukum Berjenjang dalam Perspektif Hans Kelsen dan Hans

Nawiasky

Memahami norma hukum dalam suatu negara, maka kita akan dikenalkan dengan suatu penjenjangan
hukum (hierarki norma hukum). Teori tersebut pertama kali kemukakan oleh Adolf Merkl yang
kemudian disebut oleh Zoran Jaliae dalam tulisannya A Note on Adolf Merkl’s Theory of
Administrative Law sebagai stairwell structure of legal order.

Menurut Adolf Merkl hukum adalah suatu sistem tata urutan hierarkis. Lebih lanjut dikatakan, norma
hukum selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Norma hukum ke atas akan selalu
berdasar dan bersumber pada norma hukum di atasnya, sedangkan ke bawah maka akan menjadi dasar
dan sumber bagi norma hukum di bawahnya.

Dengan demikian norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif, tergantung pada keberlakuan
norma yang di atasnya. Jika yang di atasnya dihapuskan maka norma hukum yang di bawahnya akan
terhapus pula.

Secara teoritik, mengenai penjenjangan hukum (yang bermula dari Merkl) lebih populer sebagai
pemikiran Hans Kelsen melalui Teori Hukum Berjenjang (Stufenbau des Recht). Kelsen berpendapat,
norma yang lebih rendah dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu berjenjang dan
berlapis-lapis membentuk suatu hierarkis.

Maksudnya setiap norma yang lebih rendah bersumber, berlaku, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi. Norma yang lebih tinggi bersumber dari norma yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya
hingga sampailah pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan
fiktif, yakni norma dasar (Grundnorm).

Grundnorm merupakan suatu asas hukum yang bersifat abstrak, umum, dan hipotesis yang menjadi
landasan segala sumber hukum dalam arti formal. Dengan kata lain merupakan norma yang paling
tertinggi, jika diilustrasikan sebagai suatu piramida maka ia terletak pada posisi puncak piramida
tersebut.
Untuk itulah Kelsen menganggapnya sebagai suatu meta juristic yakni suatu norma yang di luar
sistem hukum atau algemene verbindende voorschrifften (bukan bagian daripada peraturan
perundang-undangan). Ia adalah the source of the source dari tatanan peraturan yang ada di
bawahnya.

Teori di atas dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang juga menjadi murid dari Kelsen.
Teori yang diperkenalkan adalah Die Stufenordnung der Rechtsnormen. Dalam pandangannya,
Nawiasky mengaitkan hirarki tersebut dengan suatu negara. Pada intinya sama dengan yang
dikemukakan Kelsen, bahwa suatu norma hukum dalam negara senantiasa berjenjang dan berlapis-
lapis. Setiap norma yang lebih tinggi menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum yang lebih rendah
atau yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yaitu Norma Dasar.

Dalam gagasan Nawiasky, norma hukum suatu negara tidak hanya berjenjang, namun juga
berkelompok-kelompok. Adapun klasifikasinya terbagi menjadi 4 (empat) bagian sebagai berikut:

1. Staatsfundamentalnorm;
2. Staatsgrundgesetz;
3. Formel Gesetz; dan
4. Verordnung & Autonome Satzung.

Dalam kaitannya pemuncak piramida norma hukum, Nawiasky


meletakkan Staatsfundamentalnorm pada posisi tersebut, yang diterjemahkan oleh Hamid S.
Attamimi sebagai Norma Fundamental Negara. Ia menjadi norma tertinggi dalam sebuah negara yang
tidak dibentuk oleh dan dari norma yang lebih tinggi.

Bagi Nawiasky, staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat pre-supposed atau ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat suatu negara sekaligus menjadi tempat bergantungnya norma-norma
hukum yang ada di bawahnya. Bahkan secara hakikat menjadi dasar pembentukan konstitusi suatu
negara dan syarat bagi berlakunya konstitusi tersebut. Sebab ia ada terlebih dahulu sebelum konstitusi
itu dibentuk.

Melihat uraian di atas, tentunya kedua pemikiran (Kelsen dan Nawiasky) memiliki persamaan. Bahwa
norma itu berjenjang dan berlapis serta bersumber dari norma yang lebih tinggi. Hingga akhirnya
sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lagi sumber asalnya sebab ia pre-supposed.

Namun demikian, juga memiliki perbedaan. Yang mana Nawiasky telah membuat pengelompokkan
norma. Kelsen juga melihat dalam perspektif norma secara umum, berbeda dengan muridnya yang
menghubungkan langsung dengan suatu negara.

Perbedaan terakhir adalah Nawiasky menyebut norma dasar


dengan staatsfundamentalnorm bukan staatsgrundnorm. Yang menjadi pertimbangan
adalah grundnorm merupakan suatu tatanan norma yang ajeg (tidak berubah-ubah).

Sedangkan norma tertinggi masih dimungkinkan berubah manakala terjadi pemberontakan, coup
d’etat, Putsch, Anscluss, dan sebagainya. Walaupun dalam beberapa pandangan hukum masih sering
menggunakan kata grundnorm ketimbang staatsfundamentalnorm.

KONSEP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Konsep hierarki peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari teori Hans Kelsen dan
Hans Nawiasku. Kami akan menjelaskan teori keduanya sebagaimana dikutip oleh Nisrina Irbah Sati
dalam Ketetapan MPR dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (hal. 837–
838).
Menurut Hans Kelsen, pada dasarnya terdapat dua golongan norma dalam hukum, yakni norma yang
bersifat inferior dan norma yang bersifat superior. Terkait kedua norma tersebut, validitas dari norma
yang lebih rendah dapat diuji terhadap norma yang secara hierarkis berada di atasnya.
Berangkat dari teori Hans Kelsen tersebut, Hans Nawiasky kemudian merincikan bahwa susunan
norma hukum tersusun dalam bangunan hukum berbentuk stupa (stufenformig) yang terdiri dari
bagian-bagian tertentu (zwischenstufe). Adapun hierarki bagian tersebut adalah
staatsfundamentalnorm (norma dasar), staatsgrundgesetz (norma yang sifatnya dasar dan luas, dapat
tersebar dalam beberapa peraturan), formellgesetz (sifatnya konkret dan terperinci),
verordnungsatzung (peraturan pelaksana), dan autonome satzung (peraturan otonom).

Hierarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia


Peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengenal hierarki. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
12/2011 menerangkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri
atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang paling tinggi adalah UUD 1945. Kemudian, penting untuk diketahui bahwa kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan yang disebutkan berlaku sesuai dengan hierarkinya dan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.[1]
Jenis dan hierarki peraturan perundang undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh:[2]
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
b. Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
c. Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
d. Mahkamah Agung;
e. Mahkamah Konstitusi (“MK”);
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. Komisi Yudisial;
h. Bank Indonesia;
i. Menteri;
j. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (“UU”)
atau pemerintah atas perintah UU;
k. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota; dan
l. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.[3]
Perlu juga diketahui bahwa dari hierarki dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut,
materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UU, Perda Provinsi, atau Perda
Kabupaten/Kota.[4]
Sebagai tambahan informasi, setiap peraturan perundang-undangan memiliki Bagian Menimbang
(konsiderans) dan Bagian Mengingat yang masing-masing memiliki muatan tersendiri. Apakah itu?
Anda dapat simak Arti ‘Menimbang’ dan ‘Mengingat’ dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Prinsip-prinsip dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan


Selanjutnya, terdapat empat prinsip dalam hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu:
Lex superiori derogat legi inferiori: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya tidak sederajat dan
saling bertentangan.
Lex specialis derogat legi generali: peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang
lebih umum. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan materi yang
sama.
Lex posteriori derogat legi priori: peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Asas ini
berlaku saat ada dua peraturan yang hierarkinya sederajat dengan tujuan mencegah ketidakpastian
hukum. Peraturan hanya bisa dihapus dengan peraturan yang kedudukannya sederajat atau lebih
tinggi.

Anda mungkin juga menyukai