Anda di halaman 1dari 99

HUKUM PERUNDANGUNDANGAN

Pengertian Peraturan Perundangundangan


Undang-Undang No.12 Tahun 2011 (Pasal 1 angka 2)
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan.
Bagir Manan
Keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan yang
berwenang, yang berisi antara lain: aturan-aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat secara umum.

Pengertian Perundang-undangan

Ciri-ciri Peraturan
Perundang-undangan

Fungsi Peraturan Perundangundangan


Secara Umum berfungsi mengatur (instrumen kebijakan)
Secara substansi untuk memecahkan masalah yang ada dalam
masyarakat
Bagir Manan
Fungsi Internal (Fungsi Peraturan Perundang-undangan sebagai
sub sistem hukum terhadap sistem kaidah hukum
Fungsi Eksternal, keterkaitan peraturan perundang-undangan
dengan tempat berlakunya, fungsi ini dapat dimaknai pula dengan
fungsi sosial hukum.

Fungsi Internal Peraturan Perundangundangan


Fungsi Penciptaan Hukum, yang melahirkan kaidah hukum yang
berlaku umum yang dilakukan atau terjadi dengan beberapa cara:
melalui putusan hakim (yurisprudensi), kebiasaan yang tumbuh
dalam praktek ketatanegaraan, dan sebagai kebijakan tertulis.
Fungsi Pembaharuan Hukum, peraturan perundang-undangan
merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum
(dalam rangka penggantian hukum dari masa ke masa)
Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum, sebagai sarana
integrasi berbagai sistem hukum yang masih berlaku di Indonesia
(Sistem hukum adat, sistem hukum Islam, sistem hukum Eropa
kontinental (pengaruh daerah jajahan), dan sistem hukum nasional.

Fungsi Internal Peraturan Perundangundangan


Fungsi Kepastian hukum, merupakan instrumen penting dalam
tindakan hukum dan penegakkan hukum, bahkan salah satu tujuan
utama adalah menciptakan kepastian hukum.
Syarat kepastian hukum:
Jelas dalam perumusannya
Konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ekstern
(hubungan sematik, kebakuan susunan dan bahasa) (harmonis)
Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah di mengerti, bahasa
hukum baik dalam arti struktur ataupun peristilahan tertentu harus
digunakan secara jelas dalam upaya menjamin kepastian hukum.

Fungsi Eksternal Peraturan


Perundang-undangan
Fungsi Perubahan, hukum sebagai sarana pembaharuan (law as a
tool of social engenering)
Fungsi Stabilisasi, fungsi stabilisasi ini dalam arti menjama
keamanan dan ketertiban, banyak kaidah hukum yang bertujuan
untuk menjamin stabilitas masyarakat
Fungsi Kemudahan, sebagai sarana pengatur berbagai kemudahan.
Peraturan yang berisi ketentuan intensif seperti keringanan pajak,
dll justru memberikan kemudahan bagi jalannya kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

NORMA HUKUM

Norma Hukum
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh
seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya
ataupun dengan lingkungannya.
Norma (kaidah: Bahasa Arab) berupa pedoman,
patokan, dan aturan
Dalam perkembangnya, norma itu diartikan sebagai
suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam
bertindak atau bertingkahlaku dalam masyarakat.

Norma Hukum
Hans Kelsen, norma hukum adalah aturan, pola, atau standar
yang perlu diikuti, yang berfungsi memerintah, melarang,
menguasakan, membolehkan, dan menyimpan ketentuan.
Sudikno Mertokusumo: kaidah hukum merupakan peraturan
hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya
berperilaku, bersikap, di dalam masyarakat agar
kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.
Dalam khasanah Eropa Kontinental bahwa peraturan
perundang-undangan mengandung tiga unsur pokok: norma
hukum, berlaku keluar, bersifat umum dalam arti luas.

Norma Hukum
Hans Kelsen membagi norma dalam dua sistem: sistem norma
yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik
(nomodinamics)
Norma yang statik adalah suatu sistem yang melihat pada isi
suatu norma, dimana norma-norma umu dapat ditarik menjadi
norma-norma khusus, atau sebaliknya
Norma dinamik adalah suatu sistem norma yang melihat
berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya dan
penghapusannya
Hans Kelsen: Norma hukum merupakan norma yang dinamik
karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga atau
otoritas yang berwenang membentuknya,norma hukum akan
dinilai valid jika dibentuk oleh lembaga yang sah.

Norma Hukum
Dinamika norma hukum:
Dinamika norma hukum vertikal adalah dinamika yang
berjenjang dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas, dalam
dinamika hukum ini bahwa suatu norma hukum itu berlaku,
berdasar, bersumber pada norma hukum di atasnya, dan tidak boleh
norma yang berada di bawahnya bertentangan dengan norma
hukum di atasnya.
Dinamika norma hukum horizontal, suatu norma hukum itu
bergerak tidak hanya ke atas ke bawah, tetapi juga ke samping.
Dinamika norma hukum ini membentuk suatu norma hukum baru,
bisa terjadi karena analogi (suatu penarikan norma hukum untuk
kejadian-kejadian yang dianggap serupa).

Ragam Norma Hukum


Norma hukum umum dan norma hukum individual (norma
hukum di tujukan kepada siapa, masyarakat umum atau
perseorangan)
Norma hukum abstrak atau konkret (peristiwa nyata)
Norma hukum yang einmahlig (norma hukum yang berlaku
sekali selesai) atau norma hukum yang daeurhaftig (norma
hukum yang berlaku terus menerus
Norma hukum tunggal dan norma hukum yang berpasangpasangan, norma hukum tunggal adalah norma hukum yang
berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh norma hukum lainnya
(primer atau sekunder). Norma hukum berpasangan adalah
norma hukum yang mengandung norma hukum primer dan
sekunder.

HIERARKI NORMA
HUKUM

Heirarki Norma Hukum


Hans Kelsen
Dalam suatu sistem norma hukum, terdapat hierarki norma
hukum yang berjenjang, yang menetapkan bahwa norma yang
di bawah adalah absah dan memiliki daya laku (valid) apabila
dibentuk oleh atau berdasar serta bersumber pada norma yang
lebih tinggi.
Hal itu berlangsung berjenjang-jenjang seterusnya, hingga
sampai norma yang tertinggi (hukum dasar/ grundnorm).
Berlakunya sebuah norma dalam sistem norma hukum adalah
relatif, ia bergantung norma yang lebih tinggi membentuk dan
menentukan daya lakunya.
Hans Kelsen membagi jenjang norma, yaitu grundnorm atau
basic norm (sebagai jenjang norma tertinggi) dan norm.

Heirarki Norma Hukum


Hans Kelsen
Hans Kelsen mengemukakan bahwa di puncak stufenbau terdapat kaidah dasar
dari suatu tatanan hukum nasional yang merupakan suatu kaidah fundamental
(grundnorm/ ursprungnorm), grundnorm merupakan asas-asas hukum yang
bersifat abstrak, umum dan hipotesis.
Grundnorm pada umumnya bersifat metajurisdisch, bukan produk buatan badan
pembuat undang-undang (de wetgeving), bukan bagian dari peraturan perundangundangan (algemene venbindende voorschrifften), namun merupakan sumber dari
semua sumber (the source of the sources) dari tatanan peraturan perundangundangan yang berada di bawahnya.
Grundnorm berada dipuncak stufenbau, namun stands outside on the hilltop dan
hanya ada satu grundnorm, serta tidak boleh bercokol dua atau lebih grundnorm
dipuncak bangunan piramida.
Grundnorm menjadikan aturan-aturan hukum berlaku mengikat sebagai kaidahkaidah hukum positif, atau grundnorm merupakan dasar segala kekuasaan dan
legalitas hukum positif.

Heirarki Norma Hukum


Hans Nawiasky

Struktur sistem norma yang berlapis atau berjenjang


dikualifikasikan menjadi empat tingkat norma hukum
yang berurutan:
Tingkat pertama: Staatsfundamentalnorm atau
staatsgrundnorm yaitu norma fundamental negara,
norma pertama atau norma dasar
Tingkat kedua, staatsgrundgesetz, yaitu norma hukum
dasar negara, aturan pokok, atau konstitusi;
Tingkat ketiga, formell gesetz yaitu norma hukum
tertulis, undang-undang, dan norma hukum kongrit;
Tingkat keempat, verordnung dan autonome satzung,
aturan pelaksana dan aturan hukum.

Heirarki Norma Hukum


Hans Nawiasky

Staatsfundamentalnorm memiliki karakteristik khusus:


Staatsfundamentalnorm itu merupakan norma hukum
tertinggi dalam suatu negara (termasuk dalam hukum
positif);
Norma hukum tertinggi dalam suatu negara itu cenderung
berubah, maka dia menggunakan sebutan
staatsfundamentalnorm dan bukan grundnorm atau
staatsgrundnorm seperti Kelsen;
Staatsfundamentalnorm merupakan suatu norma yang
menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau UUD
Staatsfundamentalnorm ada sebelum konstitusi terbentuk;
Staatsfundamentalnorm berbentuk tertulis.

Heirarki Norma Hukum


A. Hamid S Attamimi

Menurut Hamid S. Attamimi, teori Hans Nawiasky jika


dihubungkan dengan negara hukum Indonesia,
mempunyai struktur tata susunan sebagai berikut:
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD
1945);
Staatsgrundgesetz: Batang tubuh / pasal-pasal UUD
1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
Konvensi Ketatanegaraan;
Formell gesetz: undang-undang;
Verordnungen autonome satzung: secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan
Bupati atau Walikota.

Teori Heirarki Norma Hukum

Hans Kelsen

Hans Nawiasky

Indonesia

Heirarki Norma Hukum


Indonesia
Tap MPRS No.
XX/ MPRS/1966
1. UUD 1945
2. Tap MPR/S
3. UU/ Perppu
4. PP
5. Keppres
6. Peraturan
pelaksanaan
lainnya

Tap MPR No. UU No. 10 Tahun UU No.12 Tahun


III/ MPR/
2004
2011
2000
1. UUD
1945
2. Tap
MPR/S
3
UU/Perp
pu
4. PP
5. Perda

1. UUD 1945
2. UU/
Perppu
3. PP
4. Perpres
5. Perda
(Peraturan
Propinsi,
Peraturan
Kabupaten/
Kota, dan
Peraturan

1. UUD 1945
2. Tap MPR
3. UU/
Perppu
4. PP
5. PerPres
6. Perda
Provinsi
7. Perda
Kabupaten/
Kota

Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011


Ayat (1): Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Heirarki Norma Hukum


Indonesia

Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida,


norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang
berjenjang, berlapis sekaligus berkelompok.
Absahnya suatu norma hukum secara vertikal ditentukan
sejauhmana norma hukum yang berada di bawah tidak bertentangan
(sesuai atau tidak) dengan norma hukum di atasnya
Dalam arti bahwa norma hukum tersebut berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum
yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila.

Heirarki Norma Hukum


Indonesia

Notonagoro
Dalam tertib hukum Indonesia dapat diadakan pembagian susunan
yang hierarkis daripada peraturan hukum, dan dalam susunan itu UUD
yang merupakan hukum dasar negara yang tertulis bukan merupakan
peraturan hukum yang tertinggi karena diterangkan masih mempunyai
dasar-dasar pokok yang dalam hakikatnya terpisah dari UUD,
dinamakan pokok kaidah negara yang fundamental
(Staatsfundamentalnorm).
Hal ni membuktikan bahwa pokok kaidah negara yang fundamental
(Pancasila) mengkristal dan menjadi penuntun dalam pembentukan
dan pelaksanaan UUD 1945.

Implikasi Heirarki Norma


Hukum

Hierarki norma hukum Indonesia atau hukum peraturan perundangundangan (dalam pengertian khusus) yang berlapis, berjenjang dan
berkelompok tersebut bertujuan menentukan derajat norma masingmasing agar tercipta sistem norma hukum yang harmonis baik
secara vertikal maupun horizontal.
Derajat norma yang tersusun hierarkis tersebut menentukan norma
hukum yang lebih tinggi dan rendah, dengan konsekuensi norma
hukum yang lebih rendah akan bergantung dan bersumber pada
norma hukum yang derajatnya lebih tinggi adalah jika ada peraturan
yang bertentangan, maka yang dinyatakan berlaku adalah yang
derajatnya lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah dapat
dibatalkan.

Implikasi Heirarki Norma


Hukum

Desain derajat norma hukum adalah jika sebuah undang-undang


bertentangan UUD 1945 atau Pancasila, maka undang-undang
tersebut harus dibatalkan, inilah pengujian undang-undang terhadap
UUD lebih dikenal dengan istilah constitutional review atau
menguji konstitusionalitas undang-undang.
Hierarki norma hukum juga berimplikasi pada adanya norma hukum
dalam derajat yang sama (berkelompok) untuk tidak saling
bertentangan, misalnya kelompok norma dalam bentuk undangundang juga berimplikasi pada adanya norma yang harmonis/ sesuai
dan tidak saling bertentangan antara satu undang-undang dengan
undang-undang lainnya. Demikian juga antar pasal atau ayat yang
satu dengan yang lainnya dalam satu undang-undang harus juga
harmonis.

Implikasi Heirarki Norma


Hukum

Untuk mengantisipasi adanya ketidakharmonisan/ pertentangan


norma hukum diperlukan upaya harmonisasi.
Harmonisasi merupakan upaya maupun proses yang hendak
mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertegangan, dan
kejanggalan.
Harmonisasi norma hukum perlu mendapat perhatian karena dalam
praktiknya timbul pertentangan antara satu norma hukum dengan
yang lainnya, hal ini disebabkan bahwa tidak adanya jaminan
absolut dalam sebuah kesatuan tatanan hukum tidak adanya problem
pertentangan norma hukum.
Harmonisasi norma hukum ini bukan sesuatu yang dapat terjadi
dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan, salah satu upayanya
adalah pengujian konstitusional.

LANDASAN
PERUNDANGUNDANGAN

Prinsip-Prinsip Peraturan PerundangUndangan

Landasan Keberlakuan Peraturan


Perundang-undangan
Dalam teori hukum dikenal adanya landasan keberlakuan undangundang, landasan ini diperlukan agar undang-undang yang
dibentuk memiliki kaidah/ norma hukum yang sah secara hukum
(legal validity) dan menghasilkan undang-undang yang tangguh
dan berkualitas; memiliki substansi yang berkeadilan,
berkemanfaatan hukum, berkepastian hukum, serta tidak
mengandung norma hukum/ materinya yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945; dan tentunya harus mampu berlaku
efektif di dalam masyarakat secara wajar serta berlaku untuk waktu
yang panjang.
Landasan keberlakuan terdiri dari: Landasan Filsofis, landasan
sosiologis, dan landasan yuridis.

Landasan Filosofis
Hal berlakunya norma hukum secara filosofis, artinya adalah
norma hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositieven wert).
Landasan ini merupakan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai
konstitusi, nilai-nilai Pancasila meliputi: nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Sementara nilai-nilai konstitusi berupa nilai-nilai keadilan,
kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
Landasan ini merupakan tempat bergantungnya norma-norma
hukum di bawahnya dan berimplikasi pada norma hukum yang di
bawahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam sebuah undang-undang, landasan filosofis terkandung
dalam konsideran/ dasar menimbang pembentukan undang-undang

Landasan Filosofis
Landasan filosofis UU MK No.24/2003: bahwa NKRI merupakan
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara
yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan; dan bahwa MK
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai
peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945.
Landasan filofosis UU No.12 Tahun 2011: bahwa untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara
berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang
dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam
sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan
kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis lebih difokuskan pada perspektif medan
penerapan hukum dalam keadaan nyatanya, yang selalu disertai
ciri berupa penerimaan (acceptance) peraturan oleh sekelompok
masyarakat, berlakunya kaidah hukum secara sosiologis adalah
efektifitas kaidah hukum di dalam lapangan masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu peraturan perundang-undangan
dikaitkan dengan dua teori: pertama, teori kekuasaan, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh
komunitas masyarakat; kedua, teori pengakuan, yang menyatakan
bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan
atau pengakuan masyarakat ditempat hukum itu diberlakukan.

Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan
konsideran huruf b) dan c) , yaitu: huruf b) yang berbunyi
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan
huruf c) dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 masih terdapat
kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan
kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti.

Landasan Yuridis
Hal berlakunya norma hukum secara yuridis, landasan ini
mengacu pada pemahaman pada teori stufenbau, Hans Kelsen
mengatakan bahwa norma hukum akan berlaku secara yuridis
apabila penentuannya berdasarkan norma hukum yang lebih
tinggi. Artinya norma hukum yang lebih tinggi itu menjadi dasar
terbentuknya norma hukum yang berada di bawahnya.
Misalnya Undang-undang No.12 tahun 2011 dasar mengingatnya
adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD 1945. Jika
ternyata dalam pasal atau ayat Undang-undang No.12 Tahun 2011
menyimpang dari landasan yuridis pada norma di atasnya (pasalpasal atau ayat dalam UUD 1945), maka dapat diuji dan di
batalkan.

Landasan Yuridis
UU MK Perubahan No.8/2011 yang memiliki landasan yuridis
Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal
24, Pasal 24C, dan Pasal 25 UUD 1945, artinya Pasal tersebut
dapat dijadikan batu uji/ tolok ukur untuk menilai pertentangan
norma jika ada Pasal atau ayat yang diuji. Namun tolok ukur
secara yuridis tidak hanya yang tertuang dalam dasar mengingat
(landasan yuridis) saja, sebab pertentangan norma dalam
perspektif yuridis dapat terjadi antara Pasal atau ayat dalam
undang-undang yang bertentangan dengan Pasal dalam konstitusi/
UUD 1945 selain yang dijadikan dasar mengingat.

MATERI MUATAN
PERUNDANGUNDANGAN

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan
Istilah materi muatan undang-undang ini diperkenalkan oleh A.Hamid
S.Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No.3 Tahun ke-IX
Mei 1979 sebagai terjemahan dari het eigenaardig onderwerp der wet.
Materi muatan undang-undang merupakan hal penting untuk diteliti
karena pembentukan undang-undang suatu negara bergantung pada cita
negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan
pembagian kekuasaan negara, dan pada sistem pemerintahan yang
diselenggarakan.
materi muatan setiap peraturan perundang-undangan berbeda sesuai
dengan jenjangnya masing-masing, sehingga tata susunan, fungsi, dan
materi muatan tersebut selalu membentuk hubungan fungsional peraturan
yang satu dengan yang lainnya.

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan
Materi muatan undang-undang merupakan kandungan atau isi dari sebuah undangundang, kandungannya berupa norma hukum yang mengikat yang terangkai dalam
bentuk pasal-pasal dan ayat-ayat, antara norma hukum tersebut saling kait mengait
dalam satu kesatuan sistem norma dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Materi muatan dalam heirarki norma hukum Indonesia sudah ditentukan substansi
dan derajatnya

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan yang Baik
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila, yaitu:
mencerminkan religiusitas ber-Ketuhanan segenap warga negara melalui
keyakinan segenap warga terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
mencerminkan prinsip-prinsip humanitas yang berkeadilan dan kerkeadaban atau
sila kemanusiaan yang adil dan beradab;
menjamin dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui
Sila Persatuan Indonesia;
memperkuat nilai-nilai kedaualatan kerakyatan melalui sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;
melembagakan upaya untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan yang Baik
Erman Radjagukguk mengemukakan bahwa undangundang yang baik merupakan undang-undang yang
memenuhi unsur-unsur, yaitu:
Norma harus sesuai dengan perasaan hukum
masyarakat;
Isinya merupakan pesan yang dapat dimengerti oleh
masyarakat;
Ada aturan implementasi;
Harus ada sarana pelaksanaannya, dan
Harus sinkron dengan undang-undang lain

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan yang Baik
Undang-undang yang baik tersebut harus akomodatif yang
berkarateristik:
terpenuhinya nilai-nilai fundamental yang menjelmakan
karakter bangsa dan asas-asas/ prinsip-prinsip yang bersifat
umum dan khusus
terpenuhinya pengakuan, penghormatan, pemenuhan,
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia;
terpenuhinya standar kejelasan perumusan norma;
terpenuhinya kejelasan tentang subyek baik dari segi
kedudukan, maupun dari segi perilaku, dan objek / sasaran
pengaturannya dan wilayah dan waktu keberlakuannya;
terpenuhinya syarat-syarat atau prosedur untuk berbuat
sesuatu atau sebaliknya bagi subyek pemegang peran dan aparat
pelaksana;

Materi Muatan Peraturan


Perundang-undangan yang Baik
Undang-undang yang baik tersebut harus akomodatif yang
berkarateristik:
terpenuhinya kejelasan penyelesaian perkara (jika relevan);
terpenuhinya aspek dana dan fasilitas bagi penerapan dan
penegakkannya;
memiliki kekuatan adaptasi dan prekdibilitas yang tinggi
terhadap setiap perubahan kondisi masyarakat;
memiliki konsistensi terhadap prinsip-prinsip konstitusi
termasuk dalam hal kejelasan dan kerincian tentang syaratsyarat atau prosedur pendelegasian pengaturan lebih lanjut.

Ketidaksempurnaan Materi
Muatan Peraturan Jeremy Betham
Ketidaksempurnaan (imperfections) yang
dapat mempengaruhi undang-undang
(statute law) dapat dibagi dalam dua derajat
atau tingkatan ketidaksempurnaan, yang
disebabkan hal-hal berikut: arti ganda
(ambiguity), kekaburan (obscurity), dan
terlalu luas (overbulkinnes).

Ketidaksempurnaan Materi
Muatan Peraturan Jeremy Betham
ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan oleh:
ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of
expression), ketidaktepatan tentang pentingnya
sesuatu (unsteadiness in respect of import),
berlebihan (redundancy), dan terlalu panjang lebar
(longwindedness), membingungkan (entanglement),
tanpa tanda yang memudahkan pemahaman
(nakedness in respect of helps to intelletion), dan
ketidakteraturan (disorderliness).
Ketidaksempurnaan undang-undang bisa jadi terletak
pada penafsiran lembaga negara tertentu, dalam arti
banyak undang-undang yang ditafsirkan salah dan
menyimpang dari makna aslinya (norma hukumnya).

Materi Muatan Undang-undang


Menurut A.Hamid S.Attamimi terdapat sembilan butir materi muatan undangundang, yaitu: (1) yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR; (2)
yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD; (3) yang mengatur hak-hak asasi
manusia; (4) yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; (5) yang mengatur
pembagian kekuasaan negara; (6) yang mengatur organisasi pokok lembagalembaga tertinggi/ tinggi negara; (7) yang mengatur pembagian wilayah / daerah
negara; (8) yang mengatur siapa warga negara dan cara memperolehnya/ kehilangan
kewarganegaraan; (9) yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur
dengan undang-undang.
Menurut Bagir Manan bahwa undang-undang memiliki materi muatan yang tolok
ukurnya masih bersifat umum, antara lain: ditetapkan dalam UUD; ditetapkan dalam
undang-undang terdahulu; ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah, dan
mengganti undang-undang yang lama; menyangkut hak-hak dasar/ hak asasi
manusia; dan menyangkut kepentingan dan kewajiban rakyat.

Undang-Undang No.12 Tahun 2011


Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi:
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945
perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang;
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR
atau Presiden

Undang-Undang No.12 Tahun 2011


Pasal 11: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Syarat (Putusan MK No.138/PUU-VII/2009):


hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam Pasal 22 ayat (1)
UUD 1945 yaitu:
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak
memadai;
kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Undang-Undang No.12 Tahun 2011


Pasal 12: Materi muatan Peraturan Pemerintah
berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Undang-Undang No.12 Tahun 2011

Pasal 14: Materi muatan Peraturan Daerah


Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Pasal 15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan
pidana hanya dapat dimuat dalam: a. UndangUndang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pembentukan
Peraturan
Perundangundangan

ketentuan UndangUndang Dasar


Negara Republik
Indonesia Tahun
1945;
2.Perintah suatu
Undang-Undang
untuk diatur
dengan UndangUndang;
3.Pengesahan
perjanjian
internasional
tertentu;
4.Tindak lanjut atas
putusan Mahkamah
Konstitusi;
dan/atau
5.Pemenuhan

MATERI
MUATAN
UU

LANDASAN
PEMBENTUKAN
Landasan Filosofis: norma hukum itu sesuai dengan
cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang
tertinggi (uberpositieven wert). Landasan ini
merupakan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai
konstitusi
Landasan Sosiologis: perspektif medan penerapan
hukum dalam keadaan nyata, yang selalu disertai ciri
berupa penerimaan (acceptance) peraturan oleh
sekelompok masyarakat (efektifitas kaidah hukum)
Landasan Yuridis: Berlakunya norma hukum secara
yuridis mengacu pada Hierarki Norma Hukum (norma
hukum akan berlaku secara yuridis apabila
penentuannya berdasarkan norma hukum yang lebih
tinggi).

2.Asas
kelembagaan
atau pejabat
pembentuk yang
tepat
3.Kesesuaian
antara jenis,
hierarki, dan
materi muatan
4.Dapat
dilaksanakan,
5.Kedayagunaan
dan
kehasilgunaan
6.Kejelasan
rumusan

ASAS
FORMIL

1.Pengayoman
2.Kemanusiaan
3.Kebangsaan
4.Kekeluargaan
5.Kenusantaraan
6.Bhineka Tunggal
Ika
7.Keadilan
8.Kesamaan
Kedudukan dalam
Hukum dan
Pemerintahan
9.Ketertiban dan
Kepastian Hukum
10.Keseimbangan,
Kerserasian dan
Keselarasan
11.Asas Lain sesuai
bidang hukum

ASAS
MATERIIL

LANGKAH
MENYUSUN
UNDANG-UNDANG

Identifikasi
Isu &
Masalah
(DIM)
Identifikasi
Legal
Baseline
Penyusunan
NA

PENGESAH
AN

Disetujui oleh
DPR &
Presiden
Pembahasan
RUU
Public Hearing

Penulisan
Naskah RUU

IDENTIFIKASI ISU
& MASALAH

ROCCIPI THEORY

Rule (Peraturan mungkin menyelesaikan


Masalah), diperlukan riset yang mendalam
(Keberlakuan Yuridis)
Opportunity (Apakah Undang-undang memiliki
kesempatan untuk mengatur)
Capacity (Kemampuan undang-undang dalam
mengatur perilaku)
Communication (Ketidaktahuan itu menyebabkan
permasalahan hukum)
Interest (Kepentingan Sosial dan Umum harus
diutamakan)
Process (Bagaimana kriteria dan prosedur
masyarakat patuh pada Undang-undang)
Ideology (Apakah Nilai-nilai, kebiasaan
mempengaruhi perilaku masyarakat)

IDENTIFIKASI ISU
& MASALAH

Regulatory Impact
Assessment (RIA)

Men (dilakukan pengujian bagaimana


perilaku menimbulkan masalah)
Money (dilakukan pengujian
bagaimana anggaran menimbulkan
masalah)
Management (pola manajerial yang
menyebabkan adanya peraturan)
Method (hubungan subjek dan objek
hukum)
Environment (Pengaruh lingkungan
dalam pembentukan undang-undang)

NA
PARTISIPATIF
Tahapan Persiapan Penyusunan NA
1. Pembentukan Tim Penyusun NA
2. Pengumpulan Data (Library Research dan
Empirical Research)
Tahap Pelaksanaan: Penyusunan
Kerangka draf NA dan
Penyusunan Draf NA
Diskusi Publik (Public Hearing):
Masukan-masukan Berbagai Pihak
Evaluasi Draf NA: Akomodasi masukanmasukan dari berbagai Pihak (Misalnya
Ahli)
Finalisasi dan Penetapan Draf
NA

MPR RI
DPR RI &
PRESIDEN
PRESIDEN
DPRD PROV &
GUB
DPRD
KAB/KOTA &
BUP/W.KOTA

ASAS
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG- UNDANGAN

Asas-asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan
A.Hamid S Attamimi
Merupakan asas-asas yang berfungsi untuk memberikan pedoman
dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan
susunan yang sesuai, sehingga tepat penggunaan metode
pembentukannya, serta sesuai dengan proses dan prosedur
pembentukan yang telah ditentukan .
Yusril Ihza Mahendra
Asas-asas hukum pembentukkan peraturan perundang-undangan
yang baik merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya suatu
peraturan perundang-undangan yang dapat diterima dan berlaku di
masyarakat, karena telah mendapatkan dukungan landasan filosofis,
yuridis dan sosiologis.

Asas-asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan
Philipus M.Hadjon
Asas-asas umum pembentukan aturan hukum yang baik dapat
berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan
hukum (uji formil) maupun sebagai dasar pengujian terhadap
aturan hukum yang berlaku (uji materiil).
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik bermanfaat bagi penyiapan, penyusunan, dan pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dapat
digunakan hakim untuk melakukan pengujian (toetsen) agar
peraturan tersebut memenuhi asas dimaksud.

Asas-asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan
Van der Vlies
Asas formal meliputi: (1) het beginselen van duidelijke
doelstelling (asas tujuan yang jelas); (2) het beginselen van het
juiste orgaan (asas organ/ lembaga yang tepat); (3) het
noodzakerlijkheids beginselen (asas perlunya pengaturan); (4) het
beginselen van uitvoerbaarheids (asas dapat dilaksanakan); (5) het
beginselen vn consencus (asas konsensus).
A. Hamid S.Attamimi
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
meliputi: (a) cita hukum Indonesia (Pancasila); (b) asas negara
berdasarkan hukum; (c) asas pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi; (d) asas-asas lainnya

Asas Formal Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Asas Kejelasan Tujuan. Setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;

Asas Formal Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Asas Formal Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
Keterbukaan, adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan
dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Asas Material Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Asas Pengayoman, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
Asas Kemanusiaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
Asas Kebangsaan, adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

Asas Material Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Asas Kekeluargaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
Asas Kenusantaraan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah indonesia dan materi muatan Peraturan Perundangundangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
Asas Bhinneka Tunggal Ika, adalah bahwa materi muatan peraturan
perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Asas Material Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Asas Keadilan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial.
Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum, adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Asas Material Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Asas Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.
Asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing, maksudnya
materi muatan peraturan perundangundangan yang bersangkutan,
antara lain: dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah, dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam
hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik

PENGUJIAN
PERUNDANGUNDANGAN

Istilah Pengujian Peraturan


Ragam Istilah:
Toetsingrecht
judicial review
Executive Review
Legislative Review
Constitutional review
Judicial constitutional review

Toetsingrecht
Toetsingrecht berarti hak menguji, hak atau kewenangan untuk
menguji atau hak uji, pengertian tersebut memperjelas bahwa
toetsingrecht merupakan suatu proses untuk melakukan pengujian
atau menguji.
Jimly Asshiddiqie: toetsingrecht bukan merupakan kata kerja,
toetsing atau pengujian, pengukuran, penilaian merupakan bentuk
kata benda atau gerund, yang berasal dari kata toetsen yang berarti
menguji/ mengukur/ menakar, misalnya dikatakan bahwa undangundang diuji terhadap UUD (wetten aan de grondwet worden
getoetst), pengujian dapat dilakukan mengenai kebertujuan hukum
atau mengenai kesesuaian antara norma dengan norma hukum lain
(toetsing naar doelmatigheid en toetsing naar rechtmatigheid),
pengertian lain yang dipakai dalam bahasa Belanda misalnya
pengujian keberwenangan (toetsing naar van bevoegdheid),
pengujian tentang dapat tidaknya diterima (toetsing naar van de
ontvankelijkheid), pengujian undang-undang terhadap UUD (toetsing
van wet aan grondwet), pengujian peraturan perundang-undangan
(toetsing van wetgeving)

Judicial Review
Judicial review merupakan pengujian norma yang
dilakukan oleh lembaga yudisial atau lembaga
pengadilan, atau merupakan pengawasan kekuasaan
kehakiman (judicial power) terhadap kekuasaan
legislatif dan eksekutif.
Jimly Asshiddiqie secara teknis pengertian judicial
review adalah lebih luas daripada pengujian
peraturan, judicial review berarti peninjauan kembali,
menilai kembali atau menguji kembali. Dalam literatur
Inggris bahwa judicial review termasuk semuanya
yaitu kegiatan menilai norma-norma hukum baik
produk legislatif, pejabat hukum, atau pejabat tata
usaha negara.

Constitutional Review dan Judicial


Constitutional Review
Constitutional review atau pengujian konstitusional
merupakan pengujian mengenai konstitusionalitas dari
norma hukum yang sedang di uji (judicial review on the
constitutionality of law), yang pengujiannya dilakukan
dengan menggunakan alat ukur konstitusi.
M. Fajrul Falaakh bahwa upaya menjaga dan menegakkan
konstitusi disebut constitutional review, artinya produkproduk dan perbuatan hukum harus sesuai dan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
Perkembangan constitutional review, membawa wacana
dengan memunculkan istilah khusus judicial constitutional
review yang digunakan dalam membicarakan proses uji
konstitusionalitas yang dilakukan oleh lembaga peradilan
saja

Legislative dan Executive Review


Legislative Review merupakan pengujian
peraturan yang dilakukan oleh legislatif
Executive Review merupakan pengujian
peraturan yang dilakukan oleh lembaga
eksekutif.

Pengujian Peraturan Perundangundangan

Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini


mencakup pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 dan pengujian peraturan di bawah undangundang terhadap undang-undang.
Berdasarkan Pasal 24A UUD 1945, Mahkamah
Agung menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK menguji
undang-undang terhadap UUD 1945, namun
penelitian ini hanya mengkaji kewenangan MK
dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Abstract and Concrete Review


Jimly Asshiddiqie membagi dua jenis judicial review,
yaitu:
concrete norm review dan abstract norm review.
Concrete norm review tersebut dapat berupa; (a)
pengujian terhadap norma konkrit terhadap
keputusan-keputusan yang bersifat administratif
(beschikking), seperti dalam Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN); (b) pengujian terhadap norma
konkrit dalam jenjang peradilan umum, seperti
pengujian putusan peradilan tingkat pertama oleh
peradilan banding, pengujian putusan peradilan
banding oleh peradilan kasasi serta pengujian
putusan peradilan kasasi oleh MA

Abstract and Concrete Review


Abstract norm review yaitu kewenangan
pengujian produk peraturan perundangundangan, yang memfokuskan pada norma
abstrak dalam peraturan.
Di Indonesia terkait dengan tugas MK dalam hal
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
dan MA yang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.

NASKAH
AKADEMIK

Naskah Akademik
Naskah Akademik adalah naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.

Sistematika NA
BAB I Pendahuluan
BAB II Kajian Teoretis dan Praktik Empiris
BAB III Evaluasi dan Analisis Peraturan
Perundang- undangan terkait
BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan
Yuridis
BAB V Jangkauan, Arah Pengaturan, dan
Ruang Lingkup Materi Muatan Undangundang, peraturan daerah provinsi, atau
peraturan daerah kabupaten/kota
BAB VI Penutup

Pendahuluan
Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah
tertentu.
Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan
Perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam
dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang
berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk.
Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan
argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung
perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.

Pendahuluan
Identifikasi Masalah
Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana
permasalahan tersebut dapat diatasi
Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah
tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam
penyelesaian masalah tersebut.
Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.
Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan

Pendahuluan
Tujuan Penyusunan NA
Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut.
Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.
Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.

Pendahuluan
Metode Penyusunan NA
Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka
yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa
Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil
penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode
yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.
Metode yuridis empiris (penelitian sosiolegal). Metode yuridis
empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan
penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang- undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan
observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner
untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan
yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang diteliti.

Kajian Teoretis dan Praktik


Kajian teoretis.
Empiris

Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan


penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asasasas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
kehidupan terkait dengan Peraturan Perundangundangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang
ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang
akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan
Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara

Evaluasi dan Analisis


Peraturan terkait
Kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum
yang ada, keterkaitan UU dan Perda baru
dengan Peraturan Perundang-undangan lain,
harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundangundangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku
karena tidak bertentangan dengan UU atau
Perda yang baru

Landasan Filosofis, Sosiologis,


dan Yuridis
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945

Landasan Filosofis, Sosiologis,


dan Yuridis
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara

Landasan Filosofis, Sosiologis,


dan Yuridis
Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.

Landasan Filosofis, Sosiologis,


dan Yuridis

Landasan Yuridis

Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum


yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang
sudah ketinggalan, peraturan yang tidak
harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan
yang lebih rendah dari UU sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi
tidak memadai, atau peraturannya memang
sama sekali belum ada.

Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang


Lingkup Materi Muatan
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi
mengarahkan ruang lingkup materi muatan
RUU, Raperda, yang akan dibentuk.
Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang
lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran
yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan
pengaturan.
Materi didasarkan pada ulasan yang telah
dikemukakan dalam bab sebelumnya

Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang


Lingkup Materi Muatan
Cakupan:
ketentuan umum memuat rumusan akademik
mengenai pengertian istilah, dan frasa;
materi yang akan diatur;
ketentuan sanksi; dan
ketentuan peralihan.

Penutup
Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan
asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

Saran
Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan RUU/
Raperda dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi
Daerah
Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung
penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut

Lain-lain
Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan
penyusunan Naskah Akademik.

Lampiran
Lampiran Rancangan Peraturan Perundang-undangan (RUU,
Raperda Provinsi, Raperda Kab/ Kota.

Anda mungkin juga menyukai