Anda di halaman 1dari 20

CRITICAL JOURNAL REVIEW

“MKU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN”


DOSEN PENGAMPU : HODRIANI, S.Sos.,M.AP

OLEH:
KEVIN YOSUA HUTAURUK (7193510067)

PRODI : MANAJEMEN A 2019

SEMESTER IV

JURUSAN MANAJEMEN A

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI

MEDAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
tugas Critical Jurnal Review ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dosen yang sudah
memberikan tugas ini.

Dan harapan saya semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi saya dan para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi tugas ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih


banyak kekurangan dalam tugas ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas ini.

Medan, 20 April 2021

Kevin Yosua Hutauruk


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................

PENDAHULUAN....................................................................................................4

1.1 Latar Belakang Penulisan CJR......................................................................4

1.2 Tujuan Penulisan CJR....................................................................................4

1.3 Manfaat Penulisan CJR..................................................................................4

1.4 Identitas Jurnal...............................................................................................5

BAB II........................................................................................................................

RINGKASAN ISI JURNAL....................................................................................3

2.1 Ringkasan Jurnal Utama.................................................................................6

2.2 Ringkasan Jurnal Pembanding ....................................................................11

BAB III.......................................................................................................................

PEMBAHASAN....................................................................................................16

4.1 Keunggulan Jurnal...................................................................................16

4.2 Kelemahan Jurnal....................................................................................17

BAB IV......................................................................................................................

PENUTUP..............................................................................................................18

4.1 Kesimpulan...................................................................................................18

4.2. Saran............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan CJR

Melakukan Critical Jurnal Review pada suatu jurnal dengan mengkritik jurnal
sangat penting untuk dilakukan,dari kegiatan inilah kita dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan suatu jurnal. Dari mengkritik inilah kita jadi
mendapatkan informasi yang kompeten dengan cara menggabungkan informasi
dari jurnal yang lain. Hal ini adalah salah satu upaya KKNI untuk benar- benar
menjadikan mahasiswa yang unggul dalam segala hal,salah satunya yaitu
mengkritik jurnal, khususnya mata kuliah umum Pendidikan Kewarganegaraan.

1.2 Tujuan Penulisan CJR


1. Menambah wawasan pembaca mengenai Pendidikan Kewarganegaraan
2. Meningkatkan motivasi pembaca dalam melahirkan jiwa pancasila dalam
dirinya
3. Menguatkan pemahaman pembaca mengenai betapa pentingnya pendidikan
kewarganegaraan itu

1.3 Manfaat Penulisan CJR


1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Melatih kemampuan penulis dalam mengkritisi suatu jurnal.
3. Menumbuhkan pola pikir kreatif dalam membandingkan jurnal yang satu
dengan yang lain.
4. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pancasila dan
pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Mengetahui tentang penjelasan Integrasi Nasional.

1.4 Identitas Jurnal


 Jurnal Utama
Judul Jurnal : “NASIONALISME,NEGARA-BANGSA,DAN
INTEGARASI NASIONAL INDONESIA,:MASIH
PERLUKAH”
Jenis Jurnal : Jurnal Sejarah dan Pendidikan
Kewarganegaraan
No ISSN :-
Penulis : Singgih Tri Sulistiyono
Volume : Vol. 3, No. 1,2018
Tahun : 30 Maret 2018
Jumlah Halaman : 10 Halaman
Bahasa Jurnal : Bahasa
Indonesia
 Jurnal Pembanding
Judul Jurnal : “PERWUJUDAN INTEGRASI NASIONAL PADA
MASYARAKAT KOTA PALEMBANG”
Jenis Jurnal : Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan

No ISSN : 22337-5205
Penulis : Edwin Nurdiansyah, Aulia Novemy Dhita
Volume : Volume 10 Nomor 1
Tahun : Mei 2020
Jumlah Halaman : 9 Halaman
Bahasa Jurnal : Bahasa
Indonesia
BAB II

RINGKASAN ISI JURNAL

2.1 Ringkasan Jurnal Utama:

Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah


mengaburkan batas-batas negara, politik, ekonomi, dan budaya. Hubungan
internasional bukan hanya terbatas pada hubungan government to government (atau
antarbangsa) secara formal, namun juga sudah mencakup antarkomunitas dan
bahkan juga mencakup interelasi antarkomunitas atau pun antar individu secara
face to face. Kemudahan interaksi global telah membangkitkan kesan bahwa
keberadaan negara hanya dirasakan sebagai barier atau handycap dalam berbagai
hal baik dalam ekonomi, sosial-budaya, kebebasan, hubungan internasional, dan
sebagainya. Mereka membayangkan jika tidak ada negara maka akan lebih leluasa
untuk mengekspresikan dirinya. Dalam konteks inilah barangkali sebagian
generasi muda berpendapat bahwa negara- bangsa dan integrasi nasional tidak
diperlukan lagi. Apa yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah
nasionalisme, negara-bangsa, dan integrasi nasional Indonesia tidak diperlukan lagi?
Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan kajian terhadap paling tidak dua aspek
penting, yaitu aspek historis dan aspek strategis. Aspek yang pertama mengacu kepada
analisis diakronis terhadap proses formasi negara-bangsa Indonesia dan intergrasi
nasional Indonesia sebagai proses historis yang evolusioner. Sementara itu, aspek ke
dua menyangkut kajian lingkungan strategis yang kontekstual terhadap situasi
kontemporer dan bahkan prediksi masa depan.
Nasionalisme Indonesia menggambarkan ikatan budaya yang
menyatukan dan mengikat rakyat Indonesia yang majemuk menjadi satu bangsa
dalam ikatan negara-bangsa (nation state). Dalam upaya menyatukan pada
sebuah ikatan itu, maka diperlukan ikatan budaya sebagai pendorong hidup
bangsa. Berkembangnya nasionalisme Indonseia sangat bergantung pada
kohesivitas dalam bentuk ketahanan budaya yang bertumpu pada ikatan budaya
tersebut. Ikatan ini mampu menjadi daya tahan yang kuat dalam menghadapi
arus globalisasi yang cenderung berdampak pada peniadaan batas-batas
teritorial dan kedaulatan bangsa (Thung Ju Lan & Manan, 2011: 5-6).
Dalam konteks keindonesiaan, perkem- bangan rasa kebangsaan lebih dulu
berkembang daripada rasa kenusaan. Rasa kebangsaan yang muncul dalam
masyarakat Indonesia dipicu oleh formasi masyarakat kolonial yang bersifat
rasial. Seperti diketahui bahwa periode munculnya pergerakan nasional
bersamaan dengan puncak perkembangan masyarakat kolonial yang merupakan
produk dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Dalam masyarakat kolonial itu
posisi dan peranan masyarakat Indonesia dipinggirkan oleh kaum kolonialis.
Dengan berbagai cara, kaum kolonialis menguasai kehidupan masya- rakat
Indonesia: intimidasi, mengadu domba, hingga invasi dan aneksasi. Bahkan
kekuatan kolonial berusaha melanggengkan perampasan itu dengan
menciptakan tata hukum yang mereka buat, sehingga seolah-olah kehadiran
mereka memiliki dasar legalitas. Dengan cara begitu, mereka mencoba untuk
menciptakan masyarakat kolonial dengan semangat apartheid. Basis rasial
digunakan untuk menciptakan hukum-hukum kolonial. Dalam Pasal 109
Peraturan Pemerintah (Regeering Reglement) 1854 misalnya, ditetapkan
adanya pembedaan golongan masyarakat: golongan Eropa dan orang-orang
yang dipersamakan dengan Eropa di satu pihak,

dan Pribumi di pihak lain. Pada awalnya kategori Pribumi juga mencakup
orang-orang pendatang dari Asia seperti orang Cina, India, Arab, dan
sebagainya. Namun, kemudian mereka dipisahkan menjadi kelompok sendiri
dengan sebutan golongan Timur Asing yang menduduki kelas ke dua setelah
golongan Eropa. Jadi kriteria etnik dan ras dijadikan dasar dari struktur hukum
masyarakat kolonial (Houben dalam Dick, 2002). Jadi pada waktu itu
masyarakat Indonesia memang sedang menghadapi ketidakadilan struktural
yang sengaja diciptakan oleh penguasa kolonial yang menempatkan rakyat
pribumi pada posisi yang paling hina dalam struktur masyarakat kolonial.
Secara kultural, kebijakan semacam ini telah menjadikan rakyat pribumi
mengidap minder-wardigheidscomplex, semacam sindrom rendah diri yang
kronis.
Dalam masyarakat kolonial tersebut, batas- batas sosial ditetapkan dengan
tegas antara golongan penjajah sebagai penguasa (ruller) dengan golongan
terjajah (rulled), atau antara golongan Eropa (Europeanen) dan golongan
Pribumi (Inlanders). Memang ada golongan Timur Asing (Vreemde
Oosterlingen) namun sebagian besar dari mereka lebih condong berpihak
kepada penjajah daripada kepada inlanders sebab mereka merupakan kelas
sosial yang diuntungkan dalam sistem seperti itu. Dengan demikian, ingroup
dan outgroup feeling yang membedakan atau bahkan mempertentang- kan
antara kaum terjajah dengan kaum penjajah tumbuh dengan pesat. Hal ini
menjadi dasar yang kuat rasa kebangsaan atau nasionalisme di kalangan kaum
pribumi. Namun demikian, ketika komitmen untuk menjadi suatu bangsa, yaitu
bangsa Indonesia terbentuk, mereka belum memiliki tanah air atau nusa sebab
wilayah Hindia Belanda waktu itu diklaim sebagai milik Belanda. Jadi pada
waktu itu terbentuknya sebuah bangsa baru yaitu bangsa Indonesia pada waktu
diikrarkan pada 28 Oktober 1928 belum memiliki wilayah negara. Mereka
masih ndhompleng di wilayah yang dimiliki oleh Belanda. Mereka adalah
sebuah bangsa tanpa negara (stateless nation). Barulah tahun 1945 ketika
Soekarno- Hatta atas nama bangsa Indonesia mempro klamasikan kemerdekaan
maka bangsa Indonesia sudah memiliki negara-bangsa (nation-state) yaitu
Republik Indonesia. Untuk selanjutnya, baru 12 tahun kemudian wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru diumumkan secara pasti
pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda. Dengan demikian
sejak 1957 bangsa Indonesia (yang diformulasikan tahun 1928 oleh para
pemuda dalam Sumpah Pemuda) sudah memiliki negara- bangsa (sejak 1945)
dan telah memiliki wilayah negara yang definitif dengan dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda. Semangat nasionalisme Indonesia telah mendapatkan
momentum untuk memberikan kesetiaan kepada bangsa, negara dan wilayah
tanah air (patriotisme).
Pentingnya semangat nasionalisme, eksistensi negara-bangsa, dan
integrasi nasional dapat juga dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia
dan beberapa negara dunia ketiga yang merupakan bekas negara-negara
jajahan. Banyak negara telah dilanda perang saudara yang menyebabkan
disintegrasi negara dan bangsa karena mereka tidak mampu lagi memupuk dan
mempertahankan integrasi nasional mereka, seperti Yugoslavia, Pakistan,
Libanon, bahkan negara perserikatan adidaya seperti Uni-Soviet juga
mengalami kehancuran. Utamanya negara- negara Dunia Ketiga seperti
Indonesia yang batas-batas wilayah negara disesuaikan dengan batas-batas
wilayah yang dipaksakan begitu saja oleh negara kolonial yang mewariskannya
tanpa kompromi terlebih dahulu dengan penduduk setempat, maka pemupukan
integrasi nasional menjadi amat penting. Selain itu, pemerintah nasional yang
baru merdeka itu tidak memiliki kesempaan yang cukup untuk mengatur
daerah- daerah yang dikuasainya sesuai dengan kehendak kelompok-kelompok
etnik yang berbeda-beda. Dalam konteks itulah maka integrasi nasional
dirasakan menjadi sesuatu yang sangat urgen. Apalagi jika negara-bangsa yang
baru merdeka itu merupakan negara yang luas dan memiliki keanekaragaman
potensi wilayah, ras, etnik, dan latar belakang budaya, maka integrasi nasional
merupakan sesuatu yang sangat urgen. Hal seperti inilah yang dihadapi oleh
Indonesia (Harvey, 1990; Leirissa, 1991; Syamsudin,
1985).
Ancaman disintegrasi nasional di Indonesia muncul selama Perang
Kemerdekaan (1945 -1949) dan bahkan semakin menggejala pada periode
segera sesudahnya. Berbagai perlawanan terhadap pemerintah pusat muncul
seperti DI/TII/ PRRI/PERMESTA, RMS, Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan
Papua Merdeka, dan sebagainya. Bahkan gerakan seperatis yang disebut
terakhir ini masih belum bisa diselesaikan dengan baik. Gerakan-gerakan itu
merupakan gerakan yang sangat kompleks meskipun sering kali mereka
menuduh pemerintah pusat terlalu mementingkan Jawa dan mengabaikan
daerah-daerah luar Jawa (Ricklefs, 1981).
Dalam konteks tertentu, keutuhan bangsa Indonesia dan NKRI banyak
bergantung kepada hubungan antara pusat dan daerah atau pun

antara lokal dan nasional. Seperti diketahui bahwa meskipun negara Indonesia
telah berdiri lebih dari tujuh dekade sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945, namun sebetulnya formasi dari apa yang disebut sebagai bangsa dan
komunitas Indonesia masih terus dalam proses. Artinya, ‘proses menjadi
Indonesia’ dalam konteks sosio-kultural masih terus berlangsung dan sulit
diprediksikan kapan proses itu berakhir. Ben Anderson memformulasikan
proses formasi komunitas dan bangsa Indonesia itu dengan konsep yang
menarik, yaitu imagined community dan bahkan imagined nation (Anderson,
1983). Dengan demikian, apa yang disebut sebagai komunitas dan bangsa
Indonesia merupakan sebuah masyarakat dan bangsa yang dibayangkan atau
mungkin dicita-citakan yang berbeda dengan komunitas dan bangsa secara
realitas. Tentu sebuah cita-cita memerlukan proses untuk mencapainya.
Pencapaian sebuah cita-cita dan tujuan akan memberikan dua kemungkinan:
berhasil atau gagal. Jika berhasil, hal itu berarti ada sinkronisasi antara negara
Republik Indonesia (RI) sebagai wadah dan komunitas atau pun bangsa sebagai
isi. Sebaliknya, jika proses itu mengalami kegagalan maka proses pembentukan
komunitas dan bangsa Indonesia itu tidak seiring dengan proses pembentukan
negara RI yang pada gilirannya akan menyebabkan runtuhnya negara RI atau
setidak- tidaknya apa yang disebut sebagai negara RI tidak sama dengan seperti
ketika pertama kali berdiri tahun 1945, misalnya jika Papua, Aceh, Kalimantan
memisahkan diri dari negara RI.
Proses menjadi komunitas dan bangsa Indonesia (process to become Indonesian
community and nation) terkait erat dengan tumbuhnya rasa keindonesiaan atau
rasa menjadi bagian yang inheren dari bangsa Indonesia dan bahkan ini juga
terkait erat dengan rasa memiliki (sense of belonging) di setiap anggota
komunitas bangsa Indonesia. Rasa memiliki (Jawa: handarbeni) terkait dengan
perasaan mencintai (Jawa: hanresnani) dan kerelaan untuk
memepertahankannya (Jawa: hangrungkebi) dari segala macam tantangan yang
dipandang destruktif yang akan menghancurkannya. Munculnya gerakan untuk
memisahkan diri dari

negara RI, apa pun alasannya, barangkali merupakan sebuah refleksi


bagaimana ‘sense of Indonesianess’ masih di dalam persoalan yang serius.
Apa yang selama ini menjadi persoalan adalah bahwa fenomena resistensi
daerah dan gerakan separatisme di berbagai daerah seringkali hanya dilihat dari
perspektif ‘pusat’ yang dalam hal ini adalah pemerintah RI di Jakarta. Setiap
bentuk resistensi dan separatisme dipandang sebagai manifestasi sikap tidak
loyal dan pengingkaran terhadap ‘konsensus luhur’ dari para founding fathers
yang telah merintis berdirinya negara RI. Logika kekuasaan pemerintah pusat
sering kali didasari atas premis bahwa pemadaman terhadap setiap resistensi
dan separatisme daerah merupakan sebuah misi untuk menegakkan ‘konsensus
luhur’ menegak- kan negara RI. Jadi setiap tindakan represif pemerintah pusat
mendapatkan justifikasi dari premis berpikir seperti itu. Dalam melakukan
represi, hampir tidak pernah terdengar bahwa pemerintah pusat melakukan
mawas diri untuk menjawab pertanyaan mengapa resistensi dan gerakan
separatisme itu terjadi. Jadi memang sudah waktunya pemerintah pusat harus
konsen terhadap kemajuan daerah-daerah secara berimbang.
Disintegrasi nasional tentu saja bukan
hanya selalu terkait dengan gerakan politik yang berupa separatisme. Pada awal
reformasi, berbagai persoalan juga muncul terkait dengan gejala-gejala
keretakan rasa keindonesiaan sebagai hasil dari konsensus kebangsaan yang
telah dilakukan oleh para founding fathers. Hal itu bisa dilihat dari wacana
kebudayaan nasional Indonesia yang hampir tidak pernah disinggung,
sebaliknya wacana kebudayaan lokal dan etnis terus berkembang (Sulistiyono,
2009). Di beberapa daerah, revitalisasi budaya lokal dan etnik tampak sebagai
upaya antitesis terhadap proses dominasi kebudayaan nasional yang didorong
oleh pemerintah pusat. Mereka mulai khawatir akan kehilangan identitas lokal
dan/ atau etnik, sehingga reformasi dan otonomi daerah dimanfaatkan sebagai
momentum untuk merevivalisasi budaya lokal dan/etnik. Memang hal itu tidak
menjadi masalah dan bahkan sebaliknya akan memperkaya kebudayaan

Indonesia. Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah adanya upaya


untuk mengembangkan budaya lokal sebagai bagian dari upaya politis untuk
melepaskan diri dari bingkai NKRI.
Proses tersebut di atas dengan cepat ditunjukkan oleh berbagai kejadian yang
dengan jelas mencerminkan adanya peningkatan eskalasi fanatisme etnisitas
dan kelompok yang ditunjukkan dengan terjadinya konflik-konflik yang
bernuansa suku bangsa, agama, ras, dan antarkelompok. Persoalan itu semakin
bertambah rumit sejalan dengan berkembangnya semangat ‘putra daerah’ yang
sering kali dijadikan kedok sebagai media untuk mengakses kekuasaan politik
dan keuntungan ekonomi tanpa banyak mempertimbangkan ekses-ekses
berkembangnya semangat kedaerahan dan primordialisme yang mengancam
proses integrasi nasional.
Paling tidak ada dua kemungkinan untuk menangani kondisi tersebut di atas:
pertama, dibiarkan secara alamiah yang memungkinkan tumbuh kembangnya
kesetiaan primordial kesukuan di atas rasa kebangsaan karena kesetiaan
terhadap suku bangsa merupakan sesuatu yang lebih alamiah jika dibandingkan
dengan kesetiaan terhadap bangsa mengingat bahwa entintas negara-bangsa
yang plural merupakan hasil sebuah rekayasa (Birch, 2009). Kedua, perlu
adanya policy yang memungkinkan campur tangan negara yang bisa juga
melibatkan pejabat-pejabat negara dan tokoh-tokoh masyarakat untuk ikut
menentukan arah perjalanan kebudayaan bangsa di masa yang akan datang.
Policy ini sering kali disamakan dengan startegi kebudayaan atau mungkin bisa
disebut sebagai rekayasa kebudayaan atau cultural engineering. Hal ini terkait
erat dengan kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai kebudayaan nasional
bagi Indonesia sesungguhnya masih merupakan ‘imagined culture’ atau sebuah
bentuk kebudayaan yang dicita-citakan. Hal ini akan memperkuat integrasi
negara-bangsa. Dalam konteks itulah sesungguhnya semangat nasionalisme,
eksistensi negara-bangsa, dan proses integrasi nasional masih sangat
dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini dan mungkin juga di masa depan.

2.2 Ringkasan Jurnal Pembanding:


Keragaman merupakan hasil dari perpaduan unsur-unsur budaya.
Letak geografis Kepualauan Nusantara menjadi salah satu faktor yang
menjadikan negeri ini kaya akan budaya. Bukan hanya itu, Sejarah
panjang bangsa Indonesia, semakin menambah khasanah dan keragaman
budaya, sebagai cikal bakal kebudayaan nasional. Tentu, keragaman
budaya ini merupakan nikmat yang tak terbantahkan, sekaligus penyebab
semangat integrasi nasional ditengah keragaman. Bhineka Tunggal Ika,
adalah simbol yang harus dijunjung tinggi dalam setiap bentuk
keragaman, karena didalamnya juga terdapat potensi disnitegrasi bangsa.
Hal yang perlu diperhatikan ketika mengkaji permasalahan identitas
adalah mengaitkannya dengan sistem kemasyarakatan, terutama unsur
sosial dan politik (Sechermerhorn, 1970), sehingga pemasalahan yang
berkaitan dengan integrasi nasional berhubungan dengan legitimasi,
konkurensi budaya dan ketidakserasian sudut pandang suatu suku bangsa.
Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang telah lama menjalin hubungan
antar bangsa, menerapkan asimilisi dan akulturasi budaya. Sehingga,
mengakibatkan lahirnya istilah ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’. Istilah
mayoritas ditujukan kepada, masyarakat yang telah lama mendiami
Kepulaun Indonesia. Sedangkan istilah ‘minoritas’ ditujukan kepada
beberapa suku tertentu (pendatang) diantaranya Cina, India dan Arab.
Berkembangnya istilah tersebut, dapat menumbuhkan benih disintegrasi
nasional. Walaupun disatu sisi, peleburan antara budaya tersebut dan
budaya lokal menciptakan ciri khas dan sebagai simbol perwujudan
integrasi nasional.
Integrasi nasional atau National Character menurut Mead adalah
konstruksi tentang sifat-sifat yang dibawa sejak lahir oleh setiap manusia
yang kemudian menjadi ciri khas suatu bangsa. Identitas nasional dilihat
sebagai proses yang menyeluruh (bersifat dinamis) dari lahir hingga
interaksinya dengan unsur lain (dalam hal ini unsur budaya antar bangsa),
sehingga sejarah suatu bangsa sangat menentukan terbentuknya identitas
nasional. Faktor penyebab terbentuknya integrasi nasional dapat dibagi
dua yaitu faktor objektif dan faktor subjektif. Faktor objektif meliputi
letak geografis, keadaan lingkungan dan masyarakat. Sedangkan faktor
subjektif antara lain sejarah bangsa, kehidupan sosial politik dan
kebudayaan. Bentuk indentitas nasional Bangsa Indonesia diantaranya
Bahasa Indonesia, Bendera Merah Putih, Lagu Indonesia Raya, Pancasila,
UUD 1945, Garuda Pancasila dan Kebudayan Daerah.
Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia memiliki keanekaragaman
budaya. Setiap daerah memiliki ciri khas yang menjadi penanda identitas
nasional. Ciri khas budaya tersebut, diantaranya dapat lahir dari proses
akulturasi dan asimiliasi, yang menciptakan harmoni dari berbagai
kesatuan yang pada dasarnya berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
beberapa tahapan yaitu pengumpulan data, pengujian data, analisis data
dan laporan penulisan penelitian. Pengumpulan data penelitian ini
meliputi studi kepustakaan yang berhubungan dengan Integrasi Nasional,
Bukit Siguntang, Motif Songket Palembang, Masjid Agung Palembang,
Kampung Arab Al Munawar, Kampung Kapiten, serta artikel dan arsip
lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Tahapan pengujian data
dilakukan terkait dengan kredibilitas data-data yang diperoleh, dengan
melaksanakan kritik ekstern dan kritik intern. Selanjutnya melakukan
analisis data kualitatif yaitu, mendeskripsikan seluruh data yang
diperoleh dalam bentuk uraian yang menggambarkan suatu peristiwa,
proses sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Tahap akhir metode
penelitian ini adalah penulisan penelitian berdasarkan perkembangan
objek penelitian, sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang memiliki
makna. Songket merupakan kerajinan tenun khas Kota Palembang.
Berdasarkan kajian historis, ada beberapa pendapat mengenai awal
kelahiran kain tenun ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa songet
telah ada pada masa Kerajaan Sriwijaya. Posisi strategis Kerajaan
Sriwijaya dan interaksinya dengan Cina, merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi motif songket Palembang. Berbeda dengan
pendapat pertama, Pendapat
kedua,menyatakan bahwa songket lahir pada masa Kesultanan
Palembang. Pernyataan tersebut terkait pada bukti pada lukisan Sultan
Mahmud Badaruddin II, yang mengenakan songket pada bagian bawah
pakaian.
Motif songket mengalami perkembangan sesuai dengan jiwa
jaman. Sebelum masa Kesultanan Palembang, motif yang mendominasi
songket menampilkan makhluk hidup (manusia dan hewan). Sedangkan
pada masa Keesultanan Palembang, motif songket berubah menjadi
motif abstrak. Perubahan tersebut karena, Islam mengharamkan
penggunaan makhluk hidup sebagai bentuk lukisan atau hiasan.
Beberapa motif songket yang berkembang yaitu Nago Besaung, Limar,
Limar Mentok, Bungo Cino dan Bungo Pacik.
Identitas adalah ciri, pengenal, penanda, dengan tanda apa
seseorang mengenal kita, apa yang menandakan bahwa kita adalah A
atau kita adalah B. Identitas nasional, erat kaitannya dengan ciri khas kita
sebagai Indonesia. Apakah pengenal, penanda yang menandakan bahwa
kita adalah Bangsa Indonesia, siapa yang disebut Bangsa Indonesia?.
Tentu untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu identitas sebagai
Bangsa Indonesia. Dari manakah identitas itu kita peroleh?, secara de
facto, Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 29145. Sedangkan secara
de jure, Indonesia lahir setelah disahkannya Undang-Undang Dasar
1945, sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Namun, jauh
sebelum itu, secara psikologis, Indonesia telah lahir sebagai kesatuan
wilayah yang bebas dari penjajahan.

Sepanjang perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, berbagai


peristiwa dan peleburan kebudayaan baik secara akulturasi dan asimilasi,
telah melahirkan identitas nasional sebagai ciri khas Bangsa Indonesia.
Banyaknya nilai-nilai yang dibawa oleh para pedagang ke nusantara saat
itu membuat berbagai budaya bermunculan, Masrukhi (2019)
mengemukakan suatu nilai dan nora sudah membudaya atau menjadi
karakter apabila nilai dan norma tersebut sudah dipahami, diyakini,
dihayati dan diamalkan sebagai suatu kebiasaan hidup habits).
Banyaknya budaya yang menjadi identitas nasonal maka tidak salah jika
Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu.
Keanekaragaman budaya ini di satu sisi merupakan keunggulan
yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, misalnya dalam bidang
pariwisata. Dimana setiap tahunnya jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia sangat banyak, belum lagi mobilitas wisatawan
local yang juga ikut meramaikan pariwisata Indonesia. Namun di sisi
lain, keanekaragama budaya ini juga dapat menjadi titik lemah Indonesia
jika tidak mampu dikelola secara baik. Totok (2018) mengungkapkan,
terkikisnya jati diri bangsa akan menyebabkan budaya dan kearifan lokal
bukan lagi sebagai sesuatu kekhasan yang perlu dipertahankan.
Sejarah membuktikan betapa Belanda mampu menjadikan
keberagaman itu sebagai senjata melalui politik Devide et impera nya.
Perbedaan mampu membuat potensi konflik semakin besar, maka semua
komponen bangsa haruslah terlibat

aktif dalam usaha membangun kesatuan dan persatuan tidak


terkecuali generasi muda Indonesia, sebagai dasar perkembagan suatu
bangsa generasi muda juga harus dimobilisasi secara baik (Wadu dkk:
2019), sehingga integrasi nasional Indonesia terus terjaga.
Myron Weiner dlam Juhardi (2014) memberikan lima definisi
mengenai integrasi yaitu :
1. Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai
kelompok budaya dan sosial dalam
satu wilayah dan proses pembentukan identitas nasional,
membangun rasa kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan pada
ikatan-ikatan yang lebih sempit.
2. Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan
wewenang kekuasaan nasional pusat diatas unit-unit sosial yang lebih
kecil yang beranggotakan kelompok- kelompok social budaya masyarakt
tertentu.
3. Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara
pemerintah dengan yang diperintah. Mendekatan perbedaan-perbedaan
mengenai aspirasi dan nilai pada
kelompok elit dan massa.
4. Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai
yang minimum yang diperlukan dalam memelihara tertib sosial.
5. Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang
terintegrasi dan yang diterima demi mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat jika proses integrasi
menitikberatkan pada membangun kebersamaan dengan
menyampingkan berbagai perbedaan yang ada dengan tujuan akhir ialah
timbulnya persatuan sebagai satu kesatuan yang utuh.
Kemudian, Usman (1998) menyatakan, bahwa suatu kelompok
masyarakat dapat terintegrasi apabila : 1) masyarakat dapat menemukan
dan menyepakati nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan rujukan
bersama, 2) masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus memiliki
“croos cutting affiliation” (anggota dari berbagai kesatuan sosial),
sehingga menghasilkan “croos cutting loyality” (loyalitas ganda) dari
anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial dan 3) masyarakat
berada di atas saling ketergantungan di antara unit-unit sosial yang
terhimpun di dalamnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Dalam mewujudkan integrasi nasional, haruslah juga
memperhatikan banyak aspek, tidak serta merta memaksa minoritas
mengikuti mayoritas, inilah yang pada akhirnya menimbulkan
disintegrasi. Gultom (2019) mengemukakan perubahan bila melibatkan
warga, maka komunalitas hampir pasti bisa terganggu. Jadi dalam
mewujudkan integrasi nasional harus dicari aspek yang mampu menjadi
perekat agar kesatuan dan persatuannya dapat bertahan lama.
Kota Palembang, merupakan salah satu kota tertua di Indonesia
yang secara historis memiliki hubungan dengan Cina dan Arab.
Terutama sekali pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan
Palembang. Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pendidikan Agama
Budha, sedangkan Kesultanan Palembang erat sekali dengan Islam.
Pengaruh dua unsur tersebut paling kentara terlihat pada sistem
pemerintahan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Integrasi
nasional di Kota Palembang, dapat dilihat dari berbagai hasil kebudayaan
masyarakatnya diantaranya Bukit
Siguntang, Motif Songket, Masjid Agung,

Kampung Arab Al Munawar, dan Kampung Kapiten,


Bukit Siguntang merupakan identitas penting bagi masyarakat
Kota Palembang pada umumnya, dan Melayu pada khususnya. Di Bukit
Siguntang inilah ditemukan berbagai arca Budha, manik- manik,
lempengan emas dan lainnya. Penemuan arkeologis tersebut
menandakan bahwa Bukit Siguntang merupakan tempat yang
sakral.Bukit ini memiliki sejarah panjang dan istimewa, sehingga pantas
dijadikan sebagai perwujudan identitas nasional.
Perpaduan antara budaya lokal dengan Cina dan Arab pada
masyarakat Palembang merupakan hasil dari proses akulturasi dan
asimilasi kebudayaan. Proses ini yang disebut assimilation incorporation
atau cultural autonomy, yang menghasilkan kebudayaan yang harmoni
sebagai ciri khas kelokalitasan. Ciri khas tersebut merupakan identitas
nasional Bangsa Indonesia, yang dapat dijadikan penanda dan pengingat,
bahwa corak ragam budaya sangat berpotensi besar meningkatkan
kesadaran sebagai satu bangsa. Bhineka Tunggal Ika, seperti yang
dinyatakan (Suroto, 2019, p.1043) upaya membangun kesadaran
terhadap adanya kearifan lokal sebagai sebuah realitas budaya, yang juga
berfungsi dalam memposisikan identitas budaya, bagi masyarakat
tertentu sebagai pencirinya, pada akhirnya harus menjadi spirit yang
tidak boleh diabaikan dalam konteks menjaga nilai-nilai kebangsaan agar
tidak pudar dan agar nilai-nilai itu tetap dihayati dalam situasi apapun,
maka menjadi suatu keniscayaan untuk selalu menjaga identitas budaya
lokal yang beragam dalam konteks eksistensi perwujudan integrasi
nasional.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 KELEBIHAN JURNAL

KEUNGGULAN JURNAL UTAMA

 Kajian antar topik pada jurnal ini saling terkait, yakni mengkaji
tentang pendidikan karakter dan upaya yang harus dilakukan oleh
mahasiswa dan orang orang untuk bisa meningat sejarah dan
membakar semnagat nasionalisme serta Integritas negara
Indoensia.

 Jurnal utama dari segi kelengkapan materi jurnal sudah sangat


lengkap dan tersutruktur terlihat dari pendahuluan dan dasar teori
yang cukup mudah dimengerti sehingga mudah dimengerti juga
dari segi tujuan penelitian dan manfaatnya dan juga dari hasil
penelitian yang berdasarkan bukti-bukti dan hasil hipotesis dari
penulis sudah sangat jelas dipaparkan.

 Referensi yang dipakai sangat luas yang memaparkan pendapat-


pendapat ahli dan membuktikannya sendiri melalui hipotesis.

KEUNGGULAN JURNAL PEMBANDING


 Metode yang digunakan sudah sangat baik dilihat dari hasil
penelitiannya.

 Penjelasan Hasil Penelitian dari metode yang telah dilakukan


sangatlah lengkap.

 Dari segi penulisan nya sudah cukup rapi

 Banyak nya refrensi yang digunakan membuat hasil penelitian


menjadi lebih akurat.
 Metode yang digunakan sudah sangat luas dengan melihat referensi
yang berbeda-beda.

3.2 KEKURANGAN JURNAL


KELEMAHAN JURNAL UTAMA
 Pada jurnal utama referensinya kurang dimana penulis hanya
satu orang sehingga kurang adanya variasi antar penulis.
 Ada beberapa kalimat yang sukar dipahami (beberapa bahasa kurang
sederhana).

 Bahasa yang digunakan dalam jurnal agak sedikit bertele-tele.

 Penggunaan bahasa asing yang terlalu sering dalam jurnal.

KELEMAHAN JURNAL PEMBANDING


 Bahasa asing yang digunakan ke dalam jurnal cukup banyak sehingga
orang awam terkadang tidak akan mengerti.
 Disarankan menambah referensi-referensi lainnya sebagai sumber
pendukung.
 Maunya metode penelitian nya ditambah jangan hanya kualitatif saja
kalau bisa ada yang kuantitatif agar materi dari jurnal menjadi lebih
kuat

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

Jurnal ini dapat digunakan mahasiswa sebagai pendukung materi dalam


mata kuliah Kewarganegaraan karena dilengkapi dengan metode dan model.
Jurnal ini juga dapat digunakan oleh guru agar lebih kreatif lagi dalam mengajar
dan mahasiswa dan siswa juga boleh menggunakan jurnal inio untuk menambnah
pengetahuan nya . Jurnal ini dapat digunakan dalam menambah semangat
Nasionalisme dan menambah integrasi Nasional pada diri masyarakat Indoensia
terkhusunya pemuda Pemudi Indonesia. Dengan jurnal ini Mahasiswa itu sendiri
dapat berimprovisasi dalam menerapkan metode dan model belajar yang lebih
kreatif. Sehingga siswa dan mahasiswa akan lebih mengerti dan lebih
menyenangkan dalam belajar. Hal ini akan berdampak positif pada kualitas siswa
yang baik untuk pembangunan Indonesia kedepannya.

4.2 SARAN
Dalam jurnal terdapat kelebihan dan kekurangan jurnal. Dalam kelebihan jurnal
semoga dapat dipertahankan dalam metode pembuatan jurnal. Begitu juga dengan
kekurangan jurnal semoga kedepannya lebih bisa direvisi dan diperbaiki kembali.
Saya mengetahui dalam pembuatan critical jurnal riview ini masih banyak
memiliki kekurangan oleh karena itu saya sangat menantikan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca sekalian, agar dalam pembuatan tugas yang sama
selanjutnya saya dapat lebih baik lagi, akhir kata saya mengucapkan banyak
terimakasih bagi dosen pengampu.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL UTAMA
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/download/17912/pdf

JURNAL PEMBANDING
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/pkn/article/view/7165

Anda mungkin juga menyukai