Anda di halaman 1dari 2

#press release

Pegiat Lingkungan Desak Dibentuknya Lembaga Nasional Pengelola Sampah

JAKARTA – Para pegiat lingkungan mendesak pemerintah untuk segera membentuk


Lembaga Nasional Pengelola Sampah untuk mengatasi persoalan sampah yang
volumenya terus bertambah setiap tahun dan menimbulkan dampak negatif bagi
kesehatan masyarakat.

Hal itu disampaikan para pegiat lingkungan dalam diskusi daring dengan tema
“Ecosociopreneurship, Komunitas Biru dan Kelestarian Lingkungan” yang digelar oleh
Komunitas Angkirang Bentara Rakyat (AKAR) pada Jumat (19/3/2021).

Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi dan inisiator AKAR, menilai semua
aktivitas sosial bakal berujung pada keadilan ekonomi, keadilan ekologi dan keadilan
iklim.
Menurutnya, Covid-19 justru telah melahirkan gagasan inovatif dan kreatif yang ramah
lingkungan salah satunya tentang sampah. Hal itu tidak hanya berdampak terhadap
bangkitnya kesadaran ekologi, tetapi juga perputaran manfaat ekonomi di tingkat
komunitas.

Karim menjelaskan ecosociopreneurship menjadi terminologi penting karena


wirausaha sosial masih jarang yang bergerak dalam isu ekologi. Selain itu, katanya,
komunitas biru merupakan cara pandang baru dalam pengelolaan sumber daya alam
yang fokus pada kesejahteraan komunitas dengan mengedepankan ekologi.
Menurutnya, ekonomi biru bertujuan mendorong pertumbuhan industri yang
keberlanjutan, sedangkan komunitas biru peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah
pembangunan ekonomi biru lebih memprioritaskan investasi swasta, sedangkan
komunitas biru berkolaborasi antara publik, swasta dan komunitas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempublikasikan bahwa jumlah
sampah nasional pada 2020 mencapai 67,8 juta ton. Namun, tingkat pengelolaan
sampah (waste management) di Indonesia masih minim. Faktanya, sekitar 65 juta ton
atau 45% sampah plastik di Indonesia per tahun tidak diolah.
Founder Mountrash Gideon Wijaya Ketaren menjelaskan bahwa sejak 2021 Mountrash
telah mengembangkan fitur baru seperti trash loan, koperasi mitra Mountrash, green
barcode, toilet VVIP, waste water treatment plant (WWTP) monitoring, dan robotic
sorting.

Menurutnya, Mountrash membawa misi keadilan sosial ekonomi. Aplikasi yang


dikembangkan Mountrash, lanjutnya, merupakan salah satu cara mengatasi tindakan
ijon yang kerap dialami pemulung.

“Mereka [pemulung] kerap sudah diberi uang oleh pengusaha sampah, tetapi hasilnya
jauh panggang dari api. Saya berharap dengan aplikasi Mountrash ini mampu
memberikan manfaat sosial ekonomi bagi pemulung,” ujarnya.
Aplikasi Mountrash dibesut oleh PT Avatar Indonesia yang menjadi perusahaan
pertama di dunia yang menerapkan aplikasi sistem barcode dalam penanganan sampah.
Mountrash telah membangun ekosistem di delapan kota, yaitu DKI Jakarta, Bogor,
Bekasi, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Kebumen, dan Tulung Agung.

Gideon menargetkan pengguna aplikasi ini mencapai 50 juta user pada 2025. Hingga
2020, katanya, Mountrash telah mengembangkan fitur-fitur seperti transaksi sampah,
map lokasi/mitra bank sampah, payment gate way PPOB, Moun-TPS (angkut sampah
berlangganan), daur market, dan Mountrash Bank.

Dia menambahkan bahwa UU No. 18/2018 tentang Pengelolaan Sampah telah


mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan dana
penyelenggaraan pengelolaan sampah lewat APBN dan APBD. Pemerintah wajib
memberikan kompensasi kepada orang yang terkena dampak sampah dalam bentuk
relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan atau kompensasi
lainnya.
Gideon mengusulkan agar pemerintah segera membentuk Badan Nasional Penanganan
Sampah (BNPS).
Didin Hasanuddin, Founder the Compost Institute, lebih menginginkan adanya Dewan
Sampah Nasional (DSN).
Aktivitas Didin ini berpusat pada masyarakat dan beragam seperti composting and
home farming, pemanfaatan ulang ban bekas, rumah eco brick, eco trip, eco training, dan
eco literasi. Semua aktivitas ini digerakan lewat The Compost Institute (TCI), lembaga
pengembangan kewirausahaan sosial berbasis sumber daya lingkungan.
Rifqi Hidayatullah, pegiat lingkungan Ecopedia, telah mengembangkan wirausaha
pengolahan sampah plastik. Dia memberikan definisi ecopreneurship sebagai konsep
kewirausahaan yang menekankan tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan
dan keberlanjutan lingkungan hidup dengan memperhatikan proses produksi dan
distribusi.
Aktivitas Rifqi ini bermula dari model start-up. Selama menggeluti aktivitasnya, Rifqi
telah menghasilkan produk ramah lingkungan dan berorientasi konservasi seperti kaos
serat bambu, sedotan bambu, sedotan stainless, sikat gigi bambu, kotak makan lipat,
gelas lipat dan set alat makan reusable.

Anda mungkin juga menyukai