Anda di halaman 1dari 10

ECOPRENEURSHIP

Pengertian Ecopreneurship
Istilah ecopreneurship berasal dari gabungan dua kata, yakni ecological (ekologis) dan
entrepreneurship (kewirausahaan). Oleh karena itu, ecopreneurship dapat didefinisikan sebagai
kegiatan-kegiatan kewirausahaan yang melibatkan inisiatif dan keahlian
kewirausahaan seseorang ataupun kelompok untuk mencapai kesuksesan bisnis dengan inovasiinovasi lingkungan (Stefanschaltegger: 2002)
Mengapa?
Indonesia sebenarnya menyimpan beragam potensi bisnis ramah lingkungan (ecofriendly).
Sayangnya, belum semua potensi tersebut telah dikembangkan secara maksimal,
diantaranya seperti gandum organik, produk-prouduk yang terbuat dari plastik, maupun energi
bersih.
Banyak kegiatan bisnis konvensional yang telah terbukti berbahaya bagi lingkungan dan
bahkan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan besar-besaran, seperti perubahan iklim,
deforestasi, polusi udara, maupun pencemaran air. Oleh sebab itu, konsep ecopreneur dinilai
menjadi salah satu solusi yang dapat menjembatani kesenjangan antara kepentingan ekonomi dan
lingkungan.

Cara menjadi Ecopreneurship


1. Temukan minatmu terkait lingkungan dan penciptaan bisnis.
2. Tentukan target pasarmu serta jenis produk yang ingin kamu buat.
3. Rencanakan sebuah konsep bisnis (termasuk anggaran, bahan produk, dst.) yang
dapat menghasilkan keuntungan sekaligus memiliki nilai sosial tinggi.
4. Bangun jaringan koneksi yang baik dengan mitra lainnya.
5. Lakukan aksi nyata segera.

Contoh Ecopreneurship

ECOPRENEUR: DARI SAMPAH TERBITLAH RUPIAH

Timbunan sampah bisa menjadi barang yang amat berharga bila ada ecopreneur yang jeli
memanfaatkan peluang. Berbekal kreativitas, sampah yang terbuang bisa menjadi produk baru
bernilai ratusan juta rupiah.
Tahukah Anda, berapa volume sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota per hari? Menurut
catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, tiap orang di kota ini menghasilkan sampah ratarata 800 gram per hari. Mulai dari wadah styrofoam dan kantong plastik yang sulit terurai hingga
kertas bekas dan sisa-sisa kulit kacang yang bisa terurai.
Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari warga Jakarta
menghasilkan 6.000 ton sampah (1 ton setara dengan berat 6.000 gajah). Kalau seluruh sampah
tadi ditumpuk di Taman Monumen Nasional (Monas) yang luasnya 110 hektar, niscaya dalam 40
hari taman itu bakal tertimbun sampah setinggi satu meter. Dan, kalau dibiarkan menumpuk
selama satu tahun, warga Jakarta bisa membangun 185 candi Borobudur yang berisi sampah.
Sayangnya, sampah-sampah tadi hanya dibuang begitu saja ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Bantar Gebang. Kalau tak memperhitungkan daya tampung, bukan tidak mungkin, bencana
sampah longsor bakal terjadi lagi. Padahal, kalau saja sampah itu dikelola dengan prinsip reuse,
reduce, recycle, Bumi tak hanya sekadar lebih terawat. Tapi, bagi pihak yang mampu
mengelolanya dengan baik, akan mendapatkan omzet hingga ratusan juta rupiah, bahkan lebih.

Tak percaya? Simak pengalaman Hidayat, pelopor konsep waste management di Indonesia.
Ecopreneur (entrepreneur yang bergerak di bidang lingkungan hidup) dari Jatimurni, Pondok
Gede, Bekasi ini menawarkan konsep waste management untuk pemukiman dan pasar
tradisional. Bila diterjemahkan secara bebas, waste management artinya pengelolaan sampah. Di
negeri ini, Hidayat telah merintis bisnis itu sejak 1993.
Semula, Hidayat, melalui PT Mitratani Mandiri Perdana (Mittran) memproduksi mesin pengolah
sampah, seperti mesin pencacah plastik dan pengepres sampah. Sayangnya, mesin-mesin itu
tidak banyak peminatnya. Oleh karena sudah terlanjur mempekerjakan banyak karyawan, dia
harus memikirkan masa depan bisnisnya. Hingga suatu hari, ia memiliki ide untuk
memberdayakan mesin-mesin buatan pabriknya. Daripada mangkrak di gudang, saya
memperluas cakupan bisnis Mittran dengan menawarkan jasa pengelolaan sampah, ungkap
Hidayat.
Sebagai pilot project, ia menawarkan jasa ke lingkungan tempat tinggalnya di kawasan
Jatimurni. Ia meminta izin dari ketua RT/RW. Sayang, niat baiknya tak disambut warga.
Padahal, waktu itu saya tawarkan gratis, keluh Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia ini.
Tapi, entrepreneur sejati pantang menyerah. Berbekal izin dari ketua RT/RW setempat, karyawan
Mittran memasang tong sampah di pinggir jalan kampung Jatimurni, yang mayoritas dihuni
masyarakat kelas sosial menengah-bawah.
Setia ppagi, karyawan Mittran mengambil sampah dari rumah ke rumah tanpa menarik retribusi
satu sen pun dari warga. Berselang satu bulan, di depan rapat warga, Hidayat menawarkan opsi:
masyarakat meneruskan memakai jasa Mittran untuk membersihkan lingkungan atau tidak.
Ternyata, Setelah mencoba layanan kami secara gratis, warga mufakat terus memakai jasa
kami, seru suami Kusmayawati ini.
Sebagai entrepreneur, ia menuturkan bahwa layanan pengelolaan sampah ini tidak gratis.
Nyatanya, warga setuju membayar retribusi Rp30.000 per bulan per tong. Meski sudah
membayar, Hidayat memberi peraturan tegas bagi warga. Karyawan Mittran hanya mengambil
sampah yang dimasukkan dalam tong. Kalau sampah tercecer (karena tong kelebihan muatan),
tim pengambil sampah akan membiarkan sampah-sampah itu. Menurut Hidayat hal ini untuk
melatih kedisiplinan warga dalam menghitung sampah yang mereka hasilkan. Hanya sampah
yang tak bisa diolah yang bisa memenuhi tempat sampah. Sebab, Mittran menawarkan program
barter untuk barang yang bisa didaur ulang, misalnya buku telepon, koran bekas, atau botol
beling (kaca). Tiap kilogram, perusahaan akan memberi nilai Rp500 yang bisa ditukarkan dengan
mi instan, telur, atau susu. Program barter ini merangsang masyarakat untuk memilah sampah
yang akan mereka buang, kata dia.
Setelah mengambil sampah dari tiap rumah, sampah kemudian ditampung ke lokasi
penampungan sementara. Di tempat itu, sampah mulai diolah. Seluruh sampah yang diangkut
mobil pick up dimasukkan ke mesin sortasi. Nantinya, tim Mittran mendapatkan dua jenis

sampah, yakni organik dan anorganik. Sampah organik akan diolah dan dijual dalam bentuk
kompos.
Adapun sampah anorganik, tim Mittran akan melakukan proses lebih panjang. Sampah plastik
yang masih bagus akan dijual ke pihak lain untuk didaur ulang. Sedangkan sampah anorganik
yang tak bisa dimanfaatkan lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa.
Nah, sampah biomassa ini harganya jauh lebih mahal ketimbang kompos atau bahan baku
produk daur ulang. Sebab, biomassa adalah bahan bakar alternatif. Perusahaan yang
mengeluarkan kadar karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar dari cerobong asapnya, seperti
pabrik semen atau pabrik gula, kini mulai mencari biomassa. Mereka memilih biomassa karena
BBM industri makin mahal. Selain itu, mereka ingin mendapatkan kredit karbon karena
menggunakan energi alternatif, jelas Hidayat.
Berhasil di kampungnya, bisnis Hidayat terus melebar. Kini ia mengelola sampah untuk beberapa
komplek perumahan dan pasar tradisional. Konsep pengelolaan sampah ala Hidayat terus
diduplikasi. Sebab, di bawah naungan Yayasan Rumah Perubahan, Mittran mengadakan program
penciptaan 1.000 entrepreneur sampah. Kalau dikelola dengan benar, sampah bisa menjadi amat
berharga, tutur Hidayat. Sebagai gambaran, omzet bisnis sampah ini mencapai sekitar Rp225
juta per bulan. Ini belum termasuk penjualan mesin pengolah sampah, biaya pelatihan, dan fee
dari perusahaan pemakai jasa.
Lantas, tak salah jika Valerina Daniel, Runner Up Putri Indonesia 2005 menyatakan jika bisnis
yang berkaitan dengan isu-isu ramah lingkungan amat menjanjikan. Bisnis berbasis ecopreneur
tidak hanya menjanjikan dari sisi bisnis, tapi juga memberi kepuasan karena kita bisa
mempertanggungjawabkan moral terhadap ekosistem alam yang makin terancam, urai Duta
Kementrian Lingkungan Hidup ini. Menurut dia, makin banyak entrepreneur yang melirik bisnis
berbasis pada isu ramah lingkungan. Seperti pusat-pusat daur ulang sampah yang kini tersebar di
seluruh Nusantara.

Membatik di Filter Oli Bekas

Setiap 22 April, seluruh warga dunia memperingati Hari Bumi. Perayaan ini dirancang untuk
meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap planet yang kita ditinggali bersama:
Bumi. Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang tidak sadar kalau ulahnya bisa makin merusak
lingkungan. Misalnya saja menggunakan tas kresek baru setiap kali berbelanja di minimarket
langganan, minum dari gelas atau piring sekali pakai (yang biasanya terbuat dari styrofoam),
atau membeli sabun pencuci piring dengan kemasan isi ulang kecil. Terlihat sepele. Tapi,
ternyata, tiga aktivitas itu menciptakan lebih banyak sampah.
Sampah merupakan masalah serius. Tapi, selalu dihindari orang, keluh Freddy Rangkuti, pakar
strategi bisnis dan marketing dari MD Frai Marketing. Menurut Freddy dari lingkungan terkecil,
yakni rumah tangga, hingga lingkungan korporat, selalu menghasilkan sampah. Tapi, tidak
banyak yang mau menggali potensi bisnis dari sampah. Masyarakat menggantungkan masalah
sampah pada pemerintah, imbuh dia.
Freddy mengamini pernyataan Hidayat bahwa sampah bisa menjadi barang yang amat berharga.
Asalkan mengerti cara memanfaatkan peluang itu. Dosen program doktor manajemen Institut
Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) ini menyoroti ada dua potensi pendapatan yang bisa
diambil dari sampah, yakni retribusi dan penjualan produk daur ulang.
Sementara itu, menurut Yoris Sebastian, Chief Creative Officer OMG Creative Consulting para
entrepreneur yang bergelut di bidang pengelolaan sampah (ecopreneur) merupakan orang-orang
kreatif. Mereka mampu menciptakan produk olahan yang berbeda dengan produk kebanyakan.
Butuh kreativitas tinggi untuk menyulap benda tak terpakai menjadi karya yang unik dan mahal,
kata Yoris, di sela-sela seminar Green Living Tupperware.

Simak bagaimana G.S Ade Asmara dan Nova M. Napitupulu memanfaatkan filter oli bekas dan
limbah besi untuk dijadikan lampu hias (art lighting) dan aneka pajangan cantik.
Di tangan Ade, lempengan besi dan filter oli bekas dibatik. Bedanya, bila membatik di atas kain,
Anda menggunakan canting. Membatik di atas lempengan besi harus menggunakan las. Butuh
waktu tiga sampai lima jam untuk membatik, ujar Ade. Tapi, sebelum memulai proses
membatik, besi-besi bekas itu harus direndam ke dalam larutan cairan kimia semalaman untuk
menghilangkan karat.
Selama ini, Skala 6 menggunakan motif batik Jawa, Betawi, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan
Papua untuk mempercantik lampu hias karya mereka. Maka, tak heran jika banyak warga asing
tertarik membeli produk besutan Ade. Apalagi, Ade memiliki galeri di Bali. Produk buatan Skala
6 dibanderol antara Rp35.000 hingga Rp525.000 per buah. Menurut Ade saat ini dirinya telah
mengekspor produk ke Jerman, Perancis, Uni Emirat Arab, dan Thailand. Proses produknya
rumit, tapi terbayar dengan hasilnya yang cantik, ucap pria kelahiran 6 Oktober 1974 ini. Agar
kualitas selalu terjaga, Ade memilih untuk memproduksi barang secara terbatas.
Tapi, apalah artinya kreativitas bila pasokan baku terhambat. Itu sebabnya, Ade menjalin
kerjasama dengan PT Astra International Tbk. untuk mendapatkan pasokan filter oli bekas dalam
jumlah banyak dan kontinyu.

Gaun Pengantin dari Kresek

Sedangkan Slamet Riyadi, lewat CV Lumintu yang menyulap tube pasta gigi menjadi tas cantik,
mendapatkan pasokan dari PT Delident Chemical Industri, produsen pasta gigi Delident yang
berbasis di kawasan Daan Mogot, Tangerang. Setiap tiga bulan sekali, Slamet mendapatkan 1,5
ton tube reject dari perusahaan itu. Kata Slamet, ini merupakan salah satu program CSR
Delident. Adapun pasta gigi Delident sendiri banyak diekspor ke Afrika, Amerika Selatan, dan
Eropa Timur.
Sementara itu, Heryanti Simarmata mendapatkan pasokan bungkus plastik bekas karena ia
berada di kawasan yang memiliki sentra Green and Clean dan Bank Sampah. Warga menyetor
sampah rumah tangga di Bank Sampah. Setelah melewati priode tertentu, warga bisa menarik
tabungan dalam bentuk dana tunai, kata Yanti, menjelaskan konsep Bank Sampah. Nah, dari
setoran sampah itu, setelah melewati proses sortasi, Yanti mendapatkan pasokan bungkusbungkus plastik bekas dalam jumlah cukup banyak.
Selanjutnya, Yanti akan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang berdomisili di Pasar
Minggu, Jakarta Selatan untuk mencuci bersih, menjahit bungkus plastik menjadi satu lembaran
besar, membuat desain dan pola, sampai menjahitnya menjadi produk-produk cantik. Di
antaranya dompet, payung, tas, atau sepatu cantik. Ibu-ibu mendapatkan bayaran berdasarkan
tiap item yang mereka buat, jelas Yanti. Hanya saja, karena sudah banyak entrepreneur yang
menggarap bisnis serupa, omzet Yanti sempat turun. Dari sebelumnya mencapai Rp10 jutaan per
bulan, kini berada di kisaran Rp6 jutaan per bulan.
Tak bisa dimungkiri, untuk memasarkan produk daur ulang, ecopreneur harus ekstra kreatif. Bila
Slamet dan Yanti sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar dari korporat, maka P.
Fabiawan memilih untuk memasarkan produk Gerai Green via online. Akan tetapi, tak ada yang
menyaingi strategi pemasaran out of the box ala Erni Suhaina Ilham Fadzry

saat memperkenalkan produk daur ulang besutan lembaga kursus milik suaminya, LKP Bu
Nandang.
Selama ini, lembaga kursus dan pelatihan milik Nandang Sukmana, suami Erni, memanfaatkan
limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk dijadikan kerajinan. Sejak beberapa tahun
silam, mereka memproduksi dan memasarkan produk daur ulang ke toko-toko sovenir atau
berharap rezeki saat pameran. Namun, Erni menginginkan lebih. Agar produk LKP Bu Nandang
yang dikelolanya lebih dikenal, Erni menggagas pesta pernikahan salah satu anggotanya dengan
tema Limbah Non B3.
Semua yang berkaitan dengan hajatan itu, seperti undangan, dekorasi, sovenir, hingga gaun
pengantin terbuat dari daur ulang sampah. Untuk gaun pengantin, Erni membuatnya dari tas
kresek yang digulung kecil dan dijahit pada kain pola (dasaran) yang terbuat dari kain spanduk
bekas. Dari kejauhan, gulungan plastik itu mirip kuntum mawar. Sedangkan untuk tiara yang
dipasangkan di rambut pengantin, Erni membuatnya dari kabel.
Dan, seperti perkiraannya, banyak tamu yang tertarik membeli gaun pengantin itu. Apalagi
pernikahan dengan tema Limbah Non B3 diliput oleh banyak media cetak dan televisi.
Perempuan yang tengah melanjutkan S1 jurusan Bahasa Inggris di Universitas Widhya Dharma,
Klaten ini lalu memberikan kartu nama dan brosur lembaga pendidikan miliknya. Sekarang
LKP Bu Nandang kebanjiran order pembuatan undangan, sovenir, dan pakaian dari limbah
plastik, kata Erni, bahagia. Tak cuma itu, Erni kini memiliki bisnis event organizer (EO) setelah
hajatan pernikahan dengan tema Limbah Non B3 mendapatkan banyak respon positif dari
masyarakat.
Lebih lanjut Yoris mengatakan bahwa selama isu lingkungan hidup dan kampanye gaya hidup
ramah lingkungan masih ada, maka prospek bisnis ecopreneur masih menjanjikan. Sekarang,
tinggal pintar-pintarnya si entrepreneur mendapatkan pasokan bahan baku dan memasarkan
produk, tegas Yoris.
Tips Sukses Mengais Rupiah dari Sampah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Amati sampah yang ada di sekitar, pilih beberapa bahan menjadi bahan baku.
Pastikan Anda memanfaatkan limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Bereksperimen dengan sampah/limbah yang akan dipakai sebagai bahan baku. Ciptakan
produk se-kreatif mungkin.
Pastikan Anda mendapat pasokan bahan baku (sampah/limbah) secara kontinyu.
Berdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah sampah/limbah menjadi produk kreatif.
Jalin kerjasama dengan banyak pihak, terutama perusahaan besar untuk mendapatkan
pasokan bahan baku atau bahkan pemasaran produk.
Pilih saluran pemasaran yang pas untuk produk daur ulang Anda, misalnya lewat
pameran, toko sovenir, bekerja sama dengan toko-toko besar, atau penjualan online.
Jangan berhenti bekreasi, temukan desain-desain baru agar berbeda dengan kompetitor.

Peluang Bisnis dari Sampah


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengelola sampah kawasan dan mengubahnya menjadi biomassa


Mendaur ulang bungkus plastik menjadi produk fashion (tas, dompet, payung, dsb)
Mendaur ulang tube pasta gigi menjadi tas, sajadah, dsb
Mendaur ulang tas kresek bekas menjadi gaun pengantin
Mendaur ulang botol kaca menjadi pajangan
Mendaur ulang filter oli bekas menjadi lampu pajangan (art lighting)
Mendaur ulang kayu bekas menjadi furnitur
Mendaur ulang minyak bekas (jlantah) menjadi sabun, e-fuel (minyak pengganti lilin),
dan lotion anti nyamuk
9.
Mendaur ulang ban mobil bekas menjadi sandal
10.
Mendaur ulang limbah cair tapioka menjadi nata de cassava
Lama Hancur Terurai
Kantong plastik 10 12 tahun
Gelas sekali pakai > 20 tahun
Styrofoam > 500 tahun
Kapasitas Produksi Sampah Orang Indonesia
1 Orang 0,8 kg per hari
Seluruh Warga Jakarta 6.000 ton per hari
Seluruh Warga Indonesia 176.000 ton per hari

DAFTAR PUSTAKA

http://www.yepcamp.org/apa-itu-ecopreneurship.html

Anda mungkin juga menyukai