REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU Sinopsis
REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU Sinopsis
1
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Pemilik
panti
menyuruh
anak-‐anak
pantinya
bekerja
mencari
uang.
Termasuk
Rehan.
Namun
tidak
seperti
anak-‐anak
lain
yang
mengamen,
menyemir
sepatu
atau
Diaz
yang
menjaga
WC
Terminal,
Rehan
tidak
pernah
benar-‐benar
bekerja.
Seperti
siang
itu.
Masih
dalam
bulan
puasa.
Rehan
membawa
dua
bungkus
parcel
lebaran
besar
dan
menjualnya.
Ia
mendapat
uang
yang
lalu
dipakai
untuk
berjudi
di
pojok
Terminal.
Sorenya,
ketika
bersama
anak
anak
lain,
Rehan
pulang
ke
panti
untuk
menyetor,
pemilik
panti
segera
menarik
Rehan
dan
semua
kembali
terulang.
Rehan
mencuri
parcel
lebaran
kiriman
para
donatur
panti.
Rotan
kembali
menghajar
tubuhnya.
Rehan
melawan,
mengeluarkan
kata-‐kata
kasar,
mengatakan
bahwa
lebih
baik
parcel-‐parcel
itu
dijual
daripada
isinya
cuma
habis
oleh
pemilik
panti.
Bahwa
uang
dari
para
donatur
pun
cuma
untuk
memenuhi
kebutuhan
pribadi
pemilik
panti.
Dan
rotan
kembali
beraksi.
Lebih
keras.
Lebih
banyak.
Tidak
ada
lagi
jatah
berbuka
puasa
untuk
Rehan.
Ia
tidak
dikunci
di
luar
kali
ini.
Ia
dikunci
di
dalam
kamar.
Rehan
kembali
mengutuk.
“Kenapa
Tuhan
menaruh
aku
di
panti
ini?”
***
Esoknya,
setelah
menghabiskan
waktu
seharian
berjudi
di
terminal
dan
menang
lumayan
banyak,
Rehan
berkata
kepada
Diar
yang
mengajaknya
pulang...
“Aku
tidak
akan
pulang
ke
panti
lagi.”
Pemilik
panti
tidak
pernah
kehilangan
Rehan.
Cuma
Diar
yang
kehilangan
teman
sekamarnya
itu,
meskipun
ia
tahu
di
mana
Rehan
berada.
Tidur
di
terminal,
berkeliaran
memalak
uang
anak-‐anak
SMP,
dan
berjudi.
***
Malam
itu,
malam
lebaran.
Takbir
berkumandang
di
seluruh
sudut
kota
mungil
itu.
Rehan
menunggu
sampai
pemilik
panti
membawa
anak-‐anak
ke
lapangan
untuk
ikut
dalam
perayaan.
Rehan
merusak
jendela
dan
masuk
ke
dalam.
Ia
habiskan
sisa-‐sisa
makanan
lalu
mendobrak
pintu
kantor
pemilik
panti.
Ia
mencari
uang
di
laci
atas
meja
kerja.
Hanya
beberapa
lembar
rupiah.
Ia
membuka
laci
bawah.
Terkunci.
Berharap
mendapat
uang
yang
lebih
besar
lagi,
Rehan
membongkar
laci
bawah.
Yang
ia
temukan
adalah
sederetan
file
bertuliskan
nama
anak-‐anak
penghuni
panti
di
setiap
filenya.
Rehan
menemukan
namanya
sendiri.
REHAN
RAUJANA.
Rehan
membukanya.
Berbagai
dokumen
pengesahan
dari
petugas
ini
itu.
Plus...
sebuah
potongan
koran.
Kebakaran
besar
lima
belas
tahun
silam.
Seratus
rumah
musnah.
Pasar
luluh
lantak
tak
bersisa.
Salah
satu
yang
selamat
adalah
bayi
kecil
yang
ditemukan
di
bantaran
kali.
Wajah
Rehan
mengeras.
Ia
masukkan
potongan
koran
itu
ke
celana.
Ia
tinggalkan
ruangan.
Ia
tinggalkan
panti
itu.
Ia
kembali
ke
terminal.
***
2
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Lebaran
sudah
berlalu.
Kehidupan
berjalan
normal
di
kota
mungil
itu.
Diar
sedang
menjaga
WC
di
terminal,
ketika
Rehan
menghampirinya.
Rehan
memaksa
meminta
uang
dari
kotak
bayaran
pemakai
WC.
Diar
menolak.
Saat
mereka
sedang
berargumen
itulah,
seorang
supir
bis
masuk
dan
mandi
di
salah
satu
bilik.
Rehan
bergegas
masuk
dan
menarik
celana
si
supir
yang
terhampar
di
pintu.
Supir
berteriak
dari
dalam.
Rehan
dengan
cepat
mengambil
segepok
uang
dari
celana
itu
dan
berlari,
mendorong
Diar
yang
sedang
berusaha
mencegah
Rehan.
Supir
bergegas
keluar.
Wajah
pertama
yang
ia
temui
adalah
wajah
Diar.
Diar
memutar
tubuhnya
dan
berlari
mengejar
Rehan.
Seisi
terminal
segera
membantu
supir
mengejar
si
pencuri.
Dan...
supir
cuma
tahu
bahwa
Diar
yang
mencuri.
Diar
tak
berhasil
mengejar
Rehan.
Massa
mengepungnya
dan
memukuli
Diar
tanpa
ampun.
Rehan
sudah
menghilang
entah
ke
mana.
***
Malam
itu,
berbekal
uang
yang
cukup
banyak
hasil
pencurian
di
WC
terminal,
Rehan
mendatangi
sebuah
ruko
dan
memasukinya.
Sebuah
tempat
judi
yang
lebih
besar,
lebih
ramai,
dibandingkan
pojokan
judinya
di
terminal.
Yang
bermain
juga
orang-‐orang
berduit.
Rehan
memasang
taruhan,
diiringi
tatapan
aneh
orang-‐orang
melihat
penampilan
Rehan
yang
tidak
pantas
berada
di
situ.
Dan...
Rehan
menang.
Berulang
kali.
Sepanjang
malam.
Selalu
menang.
Rehan
melangkah
keluar
dari
sana
dengan
uang
berjumlah
jutaan
di
kantongnya.
Rehan
membeli
minuman
keras
di
warung
24
jam,
membawanya
ke
emperan
terminal,
menenggaknya
sendirian
sampai
mabuk.
Ia
mengeluarkan
potongan
koran
dari
saku
celananya.
Kebakaran
lima
belas
tahun
silam.
Rehan
lalu
menatap
langit.
Bulan
yang
bulat
sempurna.
Purnama.
Ia
kembali
bertanya...
Kenapa
ia
harus
menghabiskan
tahun-‐tahun
penuh
penyiksaan
di
panti,
sementara
malam
ini
jalanan
membuktikan
hidup
di
luar
panti
bisa
jauh
lebih
menyenangkan?
”Kenapa
Kau
menaruh
aku
di
panti
itu?”
Rehan
berbicara
sendiri
dalam
keadaan
mabuk
berat.
Ray
Sang
Pasien
ada
di
dekat
situ
menatap
Rehan.
Tuan
Berwajah
Teduh
berdiri
di
sebelahnya,
berkata
bahwa
ia
membawa
Ray
ke
terminal,
karena
di
sinilah
Ray
pertama
kali
berkenalan
dengan
rembulan.
Dan
karena
di
sini
jugalah
Ray
pertama
kali
merasa
senang
walaupun...
cuma
sesaat.
Tiga
lelaki
utusan
bandar
judi
tiba-‐tiba
muncul
dalam
remang
dan
menusukkan
pisau
mereka
ke
perut
Rehan.
Rehan
berteriak
dan
jatuh
tersungkur.
Ray
Sang
Pasien
ikut
berteriak
menyaksikan
kejadian
tadi.
***
Rehan
dilarikan
ke
rumah
sakit
oleh
pedagang
yang
kebetulan
melintas.
Pemilik
panti
sedang
duduk
muram
di
samping
dipan
Diar
yang
babak
belur,
ketika
pintu
bangsal
terbuka
dan
dipan
Rehan
didorong
masuk.
Diar
ikut
menoleh
dan
membisikkan
nama
3
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Rehan.
Pemilik
panti
berdiri
kaku,
tidak
tahu
harus
berbuat
apa.
Diar
dengan
sisa-‐sisa
tenaganya
menarik
lengan
pemilik
panti.
“Itu
Rehan...
tolong
Rehan...”
“Buat
apa?”
“Aku
yang
merusak
tasbih
Bapak...”
Pemilik
panti
tergugu.
Ia
akhirnya
melangkahkan
kaki
mendekati
usaha
penyelamatan
nyawa
Rehan.
Diar
mengawasi
dari
tempat
tidurnya
sendiri.
Ray
mendekati
Diar,
bertanya
dengan
panik,
kenapa
Diar
babak
belur?
Yang
menjawab
adalah
Tuan
Berwajah
Teduh.
Tentang
Diar
yang
dikeroyok
karena
dituduh
mencuri,
sementara
pencuri
aslinya
sudah
kabur
entah
kemana.
Ray
merasa
bersalah.
Ia
memohon
maaf.
Diar
tentu
saja
tak
mendengar.
Perlahan
Diar
menutup
mata.
Nafasnya
berhenti.
Ray
panik.
Ia
segera
ditarik
dari
situ
oleh
Tuan
Berwajah
Teduh.
***
Ray
duduk
menangis
di
lorong
rumah
sakit.
“Kenapa
kau
ditaruh
di
panti
itu...
karena
kau
harus
menjadi
pahlawan
buat
Diar.
Kau
selalu
membelanya
dari
Pemilik
Panti.
Bahkan
saat
tasbih
itu
rusak
gara-‐gara
kecerobohan
Diar,
kau
yang
mengaku
telah
melakukannya.
Diar
mati
karena
dipukuli
akibat
perbuatanmu,
tapi
ia
tidak
merasa
itu
salahmu.
Ia
merasa
kau
tetap
pahlawannya.
Apalagi
kemudian
ia
dijemput
oleh
ratusan
malaikat,
ia
bahagia
dan
justru
berterima
kasih
kepadamu.”
Ray
menatap
wajah
teduh
di
sampingnya.
Dokter
melintas
di
depan
mereka
dan
dikejar
oleh
pemilik
panti.
“Aku
tidak
mau
kehilangan
kedua-‐duanya.
Tolong
selamatkan
yang
satu
lagi...”
erang
si
pemilik
panti
kepada
sang
dokter.
Ray
menatap
percakapan
di
hadapannya.
Wajah
teduh
di
sampingnya
kembali
berkata.
“Kau
adalah
sebab
bagi
Diar
dan
Diar
menjadi
sebab
bagi
kesadaran
si
Pemilik
Panti
tentang
perlakuan
jahatnya
selama
ini...
Ialah
yang
membiayai
pengobatanmu
lalu
mengirimmu
ke
Jakarta.”
Ray
menunduk
dengan
perasaan
tak
menentu.
***
4
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
5
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Ray
mendatangi
warung
itu.
Lima
remaja
lelaki
sedang
nongkrong
sambil
tertawa-‐tawa.
Ray
pun
tanpa
basa
basi
melesat
dan
memukuli
mereka.
Dan
mereka
semua...
kalah.
Pemilik
warung
berteriak-‐teriak.
Petugas
keamanan
datang
kemudian.
***
Bang
Ape
menebus
Ray
supaya
keluar
dari
tahanan.
Sepanjang
jalan
menuju
rumah
singgah,
Ray
meyakinkan
Bang
Ape
bahwa
apa
yang
ia
lakukan
benar,
sementara
Bang
Ape
tetap
menyalahkan
Ray
yang
membalas
kekerasan
dengan
kekerasan
juga.
Ray
kesal
dengan
Bang
Ape.
Ia
langsung
naik
ke
kamarnya
dan
tidak
keluar-‐keluar
lagi
sampai
siang
hari,
saat
Natan
pulang
membawa
berita,
ia
lolos
ke
babak
12
besar
kompetisi
menyanyi.
Ray
memutuskan
tetap
mengamen
siang
itu.
Ia
sedang
memetik
gitarnya
di
atas
bis
ketika
lima
preman
dewasa
naik
ke
atas
bis
dan
mengeroyok
Ray.
Ray
melawan
mereka.
Tanpa
ampun.
Ia
kembali
bisa
menghabisi
mereka,
lalu
berlari
turun
dari
bis.
Bang
Ape
kembali
menegur
Ray
yang
pulang
dalam
keadaan
bonyok
walau
tak
seberapa.
Ia
tidak
pernah
mendidik
anak-‐anak
rumah
singgahnya
untuk
jadi
tukang
berkelahi.
Ray
diam
saja
dan
memilih
naik
ke
atap
rumah
singgah.
Ia
duduk
mengeluarkan
secarik
berita
di
koran
dari
kantongnya.
Kebakaran
besar
yang
meluluh
lantakkan
perumahan
dan
pasar.
Bayi
yang
selamat...
Natan
muncul
menyusul
Ray,
memamerkan
baju
barunya
yang
akan
ia
pakai
di
babak
pertama.
Mulai
besok
Natan
akan
masuk
karantina.
Suasana
mulai
mencair,
apalagi
kemudian
Ilham,
Oude
dan
Ouda
menyusul
ke
atap.
Ray
melupakan
kekesalannya
hari
itu.
Serangan
mendadak
itu.
Bonyok
di
pipinya
yang
tak
seberapa
itu...
***
Pagi
yang
cerah
untuk
seluruh
penghuni
rumah
singgah.
Ray
memutuskan
tidak
kemana-‐mana
dan
membersihkan
seluruh
isi
rumah.
Ia
tenggelam
dalam
kesibukannya
dan
tidak
tahu
apa
yang
terjadi
di
luar
sana.
Oude
dan
Ouda
dicegat
para
preman
dan
dipukuli.
Ilham
yang
sedang
mengantar
Natan,
membawakan
tas
besar
siap
menginap
di
karantina
juga
dicegat
oleh
para
preman.
Ilham
berhasil
berlari.
Natan
tidak.
Ia
dipukuli
habis-‐habisan.
Ray
sedang
membersihkan
lantai
dua
ketika
Ilham
berlari
masuk.
Ray
langsung
melesat
keluar
mendengar
penjelasan
Ilham
yang
ketakutan
setengah
mati.
Di
pintu
ia
berpapasan
dengan
Oude
dan
Ouda
yang
saling
memapah
tubuh
mereka
yang
babak
belur.
Ray
tidak
percaya
apa
yang
ia
lihat.
Ia
lalu
melanjutkan
berlari,
disusul
Ilham.
Mereka
sampai
di
tempat
Natan
dikeroyok.
Natan
tergeletak
tak
bergerak
bersimbah
darah.
***
Ray
duduk
di
samping
tubuh
Natan
yang
masih
tak
sadarkan
diri,
di
kamar
rumah
sakit.
Oude
dan
Ouda
duduk
di
sudut
kamar,
dengan
luka-‐luka
yang
telah
diobati.
Ilham
melangkah
masuk
diiringi
Bang
Ape.
Bang
Ape
mendekati
Ray
dan
Natan.
6
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
“Malam
ini
harusnya
ia
tampil
di
tivi
untuk
pertama
kali...”
bisik
Bang
Ape
prihatin.
Ia
tidak
sadar
bahwa
bisikannya
itu
menyebabkan
Ray
tiba-‐tiba
berdiri
dan
berlari
keluar.
Bang
Ape
memanggil
Ray.
Ray
menulikan
telinga
dan
terus
berlari
keluar
rumah
sakit.
Ray
tahu
kemana
ia
harus
menuju.
Ke
sebuah
warung.
Di
warung
itu
duduk
belasan
preman.
Melaporkan
hasil
pekerjaan
mereka
kepada
seseorang
yang
tampaknya
paling
disegani.
Di
samping
pria
itu
menunduk
remaja
tanggung
yang
pernah
dipukuli
Ray
setelah
menemukan
Ilham
dan
lukisannya
yang
sobek.
Mereka
tampak
bangga
dengan
hasil
mereka
hari
itu.
Kebanggaan
sesaat.
Karena
kemudian
Ray
muncul,
dan
berbekal
botol
di
tangannya,
Ray
mencoba
menghabisi
mereka
semua.
Perkelahian
tak
dielakkan.
Lebih
besar.
Lebih
keji.
Dan
Ray
melakukannya
dengan
berurai
air
mata.
Untuk
lukisan
Ilham.
Untuk
mimpi
Natan
jadi
penyanyi.
Untuk
si
kembar.
Untuk
kebahagiaannya
di
rumah
singgah.
Ray
mengamuk.
Gelap
mata.
Satu
demi
satu
jatuh
tersungkur,
namun
Ray
cuma
sendirian...
Ia
akhirnya
kena
hajar
juga
oleh
mereka
yang
tersisa.
Ray
jatuh
ke
tanah.
Hancur.
Bang
Ape
dan
polisi
kemudian
muncul...
semua
segera
bubar.
Ada
yang
berhasil
lolos,
ada
yang
sudah
tak
berdaya
terkena
sabetan
botol
Ray,
dan
...
ada
Ray
yang
tergeletak
di
tanah...
***
Pagi
yang
muram.
Ray
membereskan
tas
dan
pakaiannya.
Tubuhnya
masih
penuh
memar.
Ia
melangkah
ke
pintu
rumah
singgah.
Oude
dan
Ouda
memeluk
Ray.
Ilham
menangis
meminta
Ray
jangan
pergi.
Ray
hanya
berkata
singkat,
“Salam
untuk
Natan,
semoga
ia
cepat
keluar
dari
rumah
sakit.”
Bang
Ape
menunggu
di
pintu.
Ray
mendekatinya.
“Kamu
tidak
harus
pergi.”
“Saya
harus
pergi.”
“Apa
yang
ada
di
pikiranmu,
Ray?”
Ray
terdiam.
“Apakah
hidup
ini
adil,
Bang?”
Ray
lalu
melangkah
menjauhi
rumah
singgah.
Rumahnya
selama
tiga
tahun
terakhir.
Ia
tidak
menoleh
sama
sekali.
***
Di
dalam
bangku
panjang
KRL
yang
membawanya
ke
pinggiran
ibukota,
Ray
duduk
mendekap
tasnya,
menatap
kosong
ke
depan.
Ray
Sang
Pasien
duduk
di
seberangnya.
Tuan
Berwajah
Teduh
duduk
di
samping
Ray
Sang
Pasien.
“Apakah
hidup
ini
adil.
Itu
pertanyaan
keduamu,
bukan
kepada
Bang
Ape...
tapi
kepada
Tuhan.”
Ray
Sang
Pasien
tak
menjawab.
Sebuah
suara
yang
tidak
bagus-‐bagus
amat
diiringi
suara
gitar
muncul
dari
ujung
gerbong.
Ray
Sang
Pasien
menoleh.
Ray...
usianya
sudah
20
tahun...
melangkah
mengamen
di
dalam
KRL.
Kursi
tempat
Ray
sebelumnya
duduk
sudah
terisi
penumpang
lain,
yang
kemudian
menolak
ketika
Ray
menyodorkan
kantong
meminta
uang.
***
7
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Ray
pulang
menenteng
gitarnya
memasuki
kamar
petaknya
yang
sempit.
Ia
biarkan
pintu
terbuka
lebar-‐lebar,
meletakkan
gitarnya,
lalu
membanting
tubuhnya
ke
tikar.
Ray
rebah
dalam
hening.
Ia
memutar
kepalanya
menatap
ke
pintu
yang
masih
terbuka.
Ray
perlahan
bangun
dan
melangkah
ke
pintu.
Ia
menatap
ke
langit.
Rembulan
sedang
purnama.
Ray
lalu
melangkah
menjauhi
kamarnya,
mendekati
sebuah
tower
air
untuk
kemudian
memanjatnya.
Ia
bergerak
dengan
lincah
hingga
sampai
di
paling
atas,
lalu
duduk
di
samping
gentong
air
raksasa
itu.
Ray
merogoh
kantongnya,
mengeluarkan
potongan
koran
yang
kini
terbungkus
plastik
kecil.
Kebakaran
yang
meluluh
lantakkan
perumahan
dan
pasar.
Ray
membaca
potongan
koran
itu.
Ia
lalu
menatap
rembulan.
Awan
mulai
bergerak
menutupi
rembulan
tadi.
Terdengar
bunyi
gemuruh.
Satu
demi
satu
tetes
air
jatuh
ke
wajah
Ray.
Ray
memasukkan
potongan
korannya
kembali
ke
saku
celana.
Ia
lalu
meluncur
turun
dengan
gesit.
Hujan
mulai
menderas.
Begitu
sampai
di
bawah,
seseorang
yang
mengenakan
payung
setengah
rusak
sudah
menunggu,
menatap
Ray
dengan
takjub.
“Gila!
Jagoan
sekali
kau!”
Ray
menatap
orang
itu.
***
Nama
lelaki
berusia
40-‐an
tahun
itu
adalah
Plee.
Dari
teras
rumah
kontrakannya,
kita
bisa
melihat
tower
air
yang
tadi
dinaiki
Ray.
Dan
di
teras
rumah
itulah,
Ray
sekarang
duduk,
setengah
basah,
sementara
hujan
sudah
mereda.
Plee
melangkah
keluar
membawa
dua
cangkir
kopi.
Ray
mengucapkan
terimakasih
dan
bertanya
sekali
lagi...
“Ngngng...
siapa
bang
tadi
namanya?”
“Plee.”
Ray
mengangguk
dan
mulai
menyeruput
kopinya.
Di
puncak
tower
air,
duduk
Ray
Sang
Pasien
dan
Tuan
Berwajah
Teduh,
melempar
tatap
ke
arah
teras
rumah
Plee
di
mana
Ray
dan
Plee
tampak
mulai
bercakap-‐cakap.
“Plee
sudah
beberapa
kali
melihatmu
memanjat
tower
ini
sampai
kemudian
ia
memutuskan
menghampiri
kau
malam
ini.
”
kata
si
Tuan
berwajah
Teduh.
“Ia
bilang
ia
baru
pulang
kerja
dan
kebetulan
lewat.”
“Tidak
Ray...
dia
dari
rumah
dan
sudah
sejam
memperhatikan
kamu.”
Ray
Sang
Pasien
menatap
lurus
ke
arah
teras.
Di
teras
itu
Plee
sedang
menatap
Ray
dan
berkata.
“Lo
ngamen?
Apa
lo
gak
tertarik
kerja
yang
lain?”
***
Siang
itu,
selesai
membawakan
satu
lagu
di
atas
KRL,
Ray
mengedarkan
kantong
uangnya.
Ia
sampai
di
kursi
paling
ujung.
Ray
kaget
melihat
Plee
duduk
di
situ
dan
menunjukkan
cengirannya.
“Suara
lo
jelek.
Lo
emang
harus
ganti
profesi.”
***
8
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Ray
dan
Plee
sekarang
berada
di
lantai
dua
rumah
kontrakan
Plee
yang
remang.
Plee
membuka
sebuah
gambar
besar
di
atas
meja.
Gambar
denah
sebuah
bangunan.
Ia
menawarkan
sebuah
kesempatan
besar
kepada
Ray.
Menjadi
partnernya.
Mencuri
berlian
seribu
karat.
Persiapan
pun
mulai
mereka
lakukan.
Menghafal
denah
bangunan,
mempertajam
strategi,
berlatih
fisik
dengan
berlari,
membeli
mobil
tua
untuk
kendaraan
mereka
dan
pengucapan
janji
janji:
Yang
satu
tidak
boleh
meninggalkan
yang
lain.
Jika
akhirnya
satu
tertangkap,
maka
yang
tertangkap
harus
mengakui
melakukan
perbuatannya
sendirian.
Tidak
ada
yang
saling
mengkhianati.
Hingga
mereka
tiba
di
malam
itu.
Hari
H.
Pencurian
terbesar
abad
ini
akan
segera
terjadi,
di
malam
lebaran.
Ketika
takbir
bergema
di
setiap
sudut
ibukota,
Ray
dan
Plee
masuk
menyelinap
ke
dalam
gedung.
Hujan
deras
mendadak
turun.
Petugas
Jaga
meloloskan
mobil
mereka
karena
Plee
menunjukkan
kartu
penghuni
apartemen
yang
menjadi
satu
kesatuan
dengan
gedung.
Mereka
menaiki
lift
hingga
lantai
30.
Lantai
31
sampai
40
sendiri
disewa
oleh
bank
internasional.
Bank
yang
menyimpan
berlian
1000
karat
di
safety
deposit
mereka
di
lantai
40.
Mereka
lalu
menuju
jendela,
membukanya
dan
Ray
melompat
naik
ke
gondola
pembersih.
Lengkap
dengan
ransel
di
pundak
dan
Uzi
di
pinggang.
Ray
mulai
memanjat
ke
lantai
40
melalui
tali-‐tali
besi
gondola.
Hujan
menerpa
wajah
dan
tubuhnya.
Begitu
sampai
di
40,
ia
menyalakan
mesin
penggerak
gondola.
Plee
melompat
ke
atas
gondola
dan
gondola
segera
bergerak
ke
atas.
Ke
depan
jendela
lantai
40
di
mana
Ray
menunggu.
Mereka
bertemu
di
depan
jendela.
Plee
memotong
kaca
kristal
itu
demi
ia
bisa
masuk.
Ray
sendiri
menunggu
di
gondola.
Sebelum
melangkah
ke
dalam,
Plee
berkata,
sampai
ketemu
15
menit
lagi.
Plee
lalu
menghilang
ke
dalam,
merangkak
di
lantai
dalam
gelap.
Ray
duduk
di
gondola.
Basah
kuyup.
Perasaannya
campur
aduk.
Lima
belas
menit
terlama
dalam
hidup
seorang
Ray
itu
mendekati
habis.
Ray
melirik
jam
di
tangannya.
Saat
sedang
menatap
jam
itulah,
sirene
keamanan
berdering
kencang.
Ray
segera
berdiri,
bingung
lalu
segera
mengenakan
google
dan
melompat
ke
dalam.
Lantai
40
dipenuhi
kabut.
Ray
berlari
melewati
lorong,
menuju
ke
sebuah
pintu
besar.
Pintu
itu
terkunci.
Asap
semakin
tebal.
Ray
menarik
Uzinya
dan
memberondong
pintu
itu.
Pintu
terbuka.
Ruangan
serba
kaca
itu
juga
dipenuhi
asap.
Dan
sosok
Plee
sedang
merangkak,
nyaris
kehabisan
nafas.
Ray
segera
menghampiri
Plee,
memapahnya.
Ia
lalu
menggendong
Plee
yang
mulai
bisa
bernafas
lebih
lega
ketika
mereka
semakin
dekat
ke
jendela.
“Meluncur
Bang.
Sekarang!”
Dan
Ray
mendorong
Plee
ke
arah
tali
besi
gondola.
Plee
berpegangan
erat
lalu
meluncur
terus
ke
bawah.
Dari
arah
dalam
muncul
lima
orang
petugas.
Mereka
berteriak
dan...
memberondong
jendela
dengan
peluru.
Ray
berteriak
ketika
pahanya
terkena.
Namun
ia
tak
punya
waktu.
Ia
berbalik,
memberondongkan
Uzinya.
Dua
petugas
jatuh
ke
lantai.
Ray
melompat
dan
meluncur
turun
secepat
yang
ia
mampu.
***
Mobil
sedan
tua
itu
membelah
jalanan
Jakarta
dengan
kencang.
Sisa-‐sisa
hujan
bercampur
dengan
sisa-‐sisa
keramaian
malam
takbiran.
Plee
yang
mengemudi,
sementara
Ray
duduk
di
sampingnya,
menekan
pahanya
yang
terus
berdarah.
Wajah
Ray
pucat
pasi.
9
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
10
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
“Jika
lukisan
Ilham
berhasil
ia
bawa
ke
penjual
siang
itu,
ia
akan
ditertawakan.
Lukisannya
itu
jelek
sekali
Ray.
Ia
akan
kehilangan
rasa
percaya
dirinya.
Ia
akan
berhenti
melukis.
Maka
sebelum
ia
sampai
ke
sana,
telah
ditentukan
bahwa
ia
dicegat
oleh
anak-‐anak
itu.
Selepas
kau
pergi,
Ilham
butuh
waktu
lagi
untuk
kembali
melukis.
Namun
waktu
dari-‐Nya
selalu
tepat.
Ia
berhasil
jadi
pelukis
sesuai
waktu
yang
sudah
Dia
tuliskan.
Kau
bahkan
tak
sadar
sudah
membeli
lukisan
Ilham
yang
bernilai
ratusan
juta
dan
kau
pajang
di
ruang
kantormu
di
Jakarta.
Lukisan
rembulan
itu.”
“Natan
lumpuh
dan
bahkan
pita
suaranya
hancur.
Tau
apa
yang
ia
lakukan?
Ia
banting
stir
dan
jadi
pencipta
lagu.
Melesat
ke
jajaran
pencipta
lagu
papan
atas.
Ia
mendapatkan
impiannya
dengan
jalan
yang
berbeda
dari
yang
ia
mau,
dari
yang
kamu
mau,
Ray.
Dari
apa
yang
manusia
mau.”
“Dan
Plee...
ia
dihukum
mati
enam
tahun
kemudian
karena
sudah
membunuh
dua
petugas.
Padahal
kau
yang
membunuhnya.
Tapi
ia
tidak
membencimu.
Ia
mati
dengan
perasaan
lega
luar
biasa
karena
merasa
sudah
membayar
perbuatannya...
bukan
pencurian
itu...
tapi
perbuatan
jahat
dua
puluh
tahun
sebelumnya,
saat
ia
cuma
penjahat
kelas
teri
yang
dibayar
untuk
membakar
perumahan
dan
pasar
itu.
Kejadian
yang
membuatmu
yatim
piatu.
Kejadian
yang
ia
baru
ingat
kembali
saat
membaca
potongan
koran
di
saku
celanamu.
Plee
cerdas,
Ray...
ia
dengan
cepat
merangkai
hubungan
antara
potongan
koran
itu
dengan
dirimu
dan
dengan...
dirinya
sendiri.”
“Plee
ingin
segera
berlari
meninggalkan
lokasi
kebakaran,
ketika
ia
mendengar
suara
tangis
bayi.
Plee
menemukan
bayi
itu
dipegang
oleh
ibunya
yang
sudah
setengah
terbakar.
Ibunya
memohon
agar
bayinya
diselamatkan.
Plee
meraih
bayi
itu,
membawanya
ke
sungai
dan
menghanyutkannya
ke
aliran
sungai.“
“Apakah
hidup
ini
adil,
Ray?”
Ray
menoleh
menatap
ke
wajah
teduh
di
sampingnya.
Ray
tak
beraksi
apa-‐apa
kali
ini,
selain
kembali
menangis.
***
KENAPA
TUHAN
TIDAK
BOSAN
MELIHAT
AKU
JATUH?
Stasiun
kereta
di
kota
mungil
tepi
pantai.
Di
salah
satu
warung
yang
berjejer
di
seberang
stasiun,
duduk
Ray
yang
sedang
makan
dengan
wajah
datar
melihat
ke
arah
televisi.
Berita
tentang
eksekusi
mati
Plee
tepat
tengah
malam
tadi.
Ray
mengalihkan
tatapannya.
Ia
melihat
ke
arah
makanannya.
Mendadak
ia
tidak
bisa
menghabiskannya.
Terdengar
tawa
menggema
dari
meja
sudut.
Beberapa
pekerja
bangunan
sedang
makan
sambil
bersenda
gurau
di
sana.
Mereka
lalu
memanggil
pelayan
untuk
membayar,
lalu
melangkah
meninggalkan
tempat
itu.
Ray
melakukan
pembayaran
dengan
cepat,
mencangklong
tas
besarnya,
dan
melangkah
keluar
mengikuti
mereka.
Mereka
tiba
di
depan
sebuah
bangunan
yang
belum
jadi.
Ray
menyusul,
berdiri
memperhatikan
mereka
semua
segera
bekerja
kembali,
di
bawah
pengawasan
seorang
mandor.
Ray
melangkah
mendekati
mandor
itu
dan
menanyakan
apa
masih
membutuhkan
kuli
bangunan.
Mandor
itu
menatap
lurus
ke
arah
pemuda
yang
saat
itu
telah
berusia
26
tahun.
***
11
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Kota
mungil
itu
sedang
giat
membangun.
Bangunan-‐bangunan
baru
didirikan.
Termasuk
salah
satunya
sebuah
bangunan
berlantai
delapan
belas
yang
berbeda
satu
blok
dari
rumah
sakit.
Dan
di
situlah
Ray
bekerja.
Dengan
giat.
Dengan
sungguh-‐sungguh.
Bersama
puluhan
pekerja
lainnya
ia
juga
tinggal
di
situ,
di
dalam
bedeng-‐bedeng
yang
dibangun
di
belakang
gedung.
Ray
tampak
menikmati
hidupnya.
Atau
lebih
tepatnya
berusaha
menikmatinya.
Melupakan
satu
persatu
apa
yang
terjadi
di
hari
kemarin.
Malam
itu,
di
lantai
18,
Ray
duduk
di
atas
besi
yang
terjulur
dari
tepi
bangunan.
Bulan
sedang
sempurna.
Di
tangannya
ada
potongan
koran
itu.
Ray
menghela
nafas.
Ia
lalu
memasukkan
kembali
potongan
koran
itu
dan
meraih
binocular-‐nya.
Ia
arahkan
binocular-‐nya
ke
rembulan.
Lalu
ke
arah
bangunan-‐bangunan
lain.
Pantai
di
kejauhan.
Pelabuhan.
Kota.
Rumah
sakit.
Teman
Ray
yang
bernama
Jo
tau-‐tau
muncul
di
belakangnya,
menyapanya
dengan
sebutan
Mas
Ray.
Jo
tidak
berani
duduk
di
besi.
Ia
duduk
di
pinggir
bangunan
saja.
Ray
menyerahkan
binocular-‐nya
dan
Jo
mulai
melihat-‐lihat
melalui
binocular
itu.
Jo
mulai
mengarang
tentang
apa
yang
ia
lihat.
Ray
hanya
tertawa.
Hingga
Jo
mengatakan
bahwa
ada
perempuan
cantik
sedang
melangkah
keluar
dari
rumah
sakit.
Jo
segera
menurunkan
binocularnya
dan
menyerahkan
ke
Ray,
menyuruh
Ray
ikut
melihat.
Ray
menolak.
Perempuan
cantik
di
halaman
rumah
sakit.
Jangan-‐jangan
hantu.
Jo
tertawa
dan
menyuruh
Ray
melihat
sebentar
saja.
Ray
akhirnya
menurut.
Ia
mencari-‐cari
dengan
binocularnya.
Tangannya
berhenti
bergerak.
Wajahnya
terpaku.
Di
sana,
di
halaman
rumah
sakit,
memang
sedang
berdiri
seorang
perempuan.
Sendiri.
Mendongak
menatap
rembulan.
Jo
menyadarkan
Ray.
“Cantik
kan
mas?”
Ray
mengangguk
tanpa
melepas
binocular
dari
wajahnya.
***
“Mandor
Junior?”
Ray
bertanya
dengan
tatapan
tak
percaya
kepada
Kepala
Mandor.
Kepala
Mandor
mengangguk
mantap.
Salah
satu
mandor
junior
harus
pulang
kampung
untuk
selamanya
dan
Ray
dinilai
cukup
pantas
untuk
menggantikan
posisinya.
Ray
seorang
pembelajar
yang
cepat.
Ia
dengan
cepat
mempelajari
seluk
beluk
bangunan,
hitung-‐hitungan
geometri
sampai
ekonominya.
Ia
juga
disukai
pekerja-‐pekerja
lain.
Jadi
apa
susahnya
jadi
mandor
junior.
Masing-‐masing
mandor
junior
di
proyek
itu
memimpin
24
pekerja.
Cuma
24
pekerja...
tidak
banyak
kok...
kata
kepala
mandor.
Ray
menerima
tawaran
itu.
Kepala
Mandor
segera
berteriak
mengumumkan
keputusan
baru
itu.
Malamnya
Ray
kembali
naik
ke
lantai
18.
Wajahnya
sumringah.
Ia
kembali
duduk
di
besi
yang
menjulur
ke
angkasa.
Ia
arahkan
binocularnya...
langsung
ke
depan
rumah
sakit.
Kosong.
Tak
ada
siapa-‐siapa
di
situ.
“Lagi
nyari
cewek
yang
kemarin,
mas
mandor?”
tegur
Jo
yang
muncul
tiba-‐tiba.
Ray
tersenyum
melempar
tatap
ke
Jo.
“Sudah
tidak
ada...”
kata
Ray
sedikit
kecewa.
12
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
***
Ini
adalah
malam
yang
berbeda,
di
area
pusat
hiburan
malam
di
kota
mungil
itu.
Ray
duduk
di
salah
satu
restoran
bersama
sederetan
bos,
mengevaluasi
perkembangan
proyek.
Sesungguhnya
mereka
sudah
meeting
sejak
siang
di
kantor
pusat,
tak
jauh
dari
situ,
namun
karena
meeting
belum
selesai
dan
mereka
harus
makan
malam,
maka
salah
satu
bos
mengajak
menyelesaikan
pembicaraan
sambil
makan
malam
di
restauran.
Mereka
tiba
di
ujung
pembicaraan,
ketika
mata
Ray
terpaku
melihat
siapa
yang
melangkah
melewati
jendela
restauran.
Perempuan
di
depan
rumah
sakit
yang
menatap
rembulan.
Ray
antara
yakin
dan
tidak
yakin.
Ia
tidak
bisa
beranjak
ke
mana-‐mana
karena
meeting
belum
selesai.
Sepuluh
menit
kemudian,
Ray
meninggalkan
restauran
itu.
Beberapa
bos
masih
tinggal
di
dalam
sana.
Ray
menatap
sekitarnya
yang
ramai.
Ray
lalu
melangkah
menjauhi
pusat
keramaian.
Ia
tiba
di
bagian
jalanan
yang
lebih
sepi.
Ia
mendengar
suara
perempuan
berteriak.
Ray
bergegas
ke
sumber
suara.
Perempuan
penonton
rembulan
sedang
merebut
tasnya
kembali
dari
tangan
preman-‐preman
remaja.
Ray
berteriak
sambil
berlari
ke
arah
mereka.
Tubuh
Ray
yang
tegap
tentu
saja
membuat
para
remaja
itu
lari
tunggang
langgang.
Tas
itu
jatuh
ke
tanah.
Si
perempuan
meraihnya.
Ia
masih
gemetar
ketakutan.
Ray
berusaha
mengatakan
sesuatu
namun
tak
ada
suara
yang
keluar.
Perempuan
itu
membawa
tasnya
berlari
meninggalkan
Ray
yang
terpaku.
***
Siang
itu,
ketika
seluruh
pekerja
istirahat
makan
siang,
Ray
melangkahkan
kakinya
menuju
rumah
sakit.
Ia
berdiri
menatap
lurus
ke
arah
bangunan
rumah
sakit.
Ia
sendiri
bingung
untuk
apa
ia
ke
sana.
Ray
lalu
memutar
tubuhnya
hendak
melangkah
pulang,
ketika
dari
ujung
jalan
melangkah
perempuan
itu.
Tepat
menuju
ke
arahnya!
Ray
dengan
bodohnya
malah
sembunyi
di
balik
pohon.
Perempuan
penonton
rembulan
melangkah
melewati
pohon
tempat
Ray
bersembunyi,
mendekati
tukang
balon
dan
memborong
balon
balon
itu,
lalu
membawanya
ke
dalam
rumah
sakit.
Ray
keluar
dari
persembunyiannya
dan
bergegas
menyusul.
Sang
perempuan
memasuki
bangsal
anak-‐anak.
Anak-‐anak
bersorak
memanggil
namanya...
“Kak
Fitriiiiiii”.
Ia
lalu
membagikan
balon-‐balonnya.
Semua
anak
tampak
bahagia.
Ray
berdiri
di
pintu
bangsal.
Nama
gadis
itu
Fitri.
***
Jo
tertawa
mendengarkan
cerita
Ray.
Cuma
tau
namanya
dari
anak-‐anak
itu?
Tidak
berani
tanya
sendiri?
Satu
jam
cuma
berdiri
ngumpet
di
pintu
terus
pulang?
Tidak
berani
ajak
kenalan?
Wajah
Ray
bersemu
merah.
Besok
ia
akan
coba
lagi.
Dan
keesokan
siangnya,
Ray
kembali
mendatangi
bangsal
anak-‐anak
di
rumah
sakit.
Fitri
sudah
di
sana,
bercanda
dengan
anak-‐anak.
Ray
menonton
dari
balik
pintu.
Ia
perlahan
melangkah
mundur,
berpegangan
pada
jendela,
jendela
yang
kacanya
tampak
baru
saja
pecah.
Ray
mengaduh.
Semua
menoleh
ke
arah
pintu
termasuk
Fitri.
Ray
berdiri
di
sana
dengan
tangan
berdarah.
13
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Fitri
lalu
membalut
tangan
Ray
dikelilingi
anak-‐anak.
Ray
kini
bisa
melihat
wajah
Fitri
yang
begitu
dekat.
Pipinya
yang
halus.
Gigi
kelincinya
yang
lucu
tampak
ketika
menanyakan
kenapa
Ray
bisa
seceroboh
tadi,
tidak
melihat
ada
pecahan
kaca.
“Terimakasih,”
kata
Ray
pelan,
setelah
tangannya
utuh
terbalut.
“Aku
juga
berterimakasih,
untuk
malam
itu...
“
balas
Fitri
sama
pelannya.
***
Fitri
datang
setiap
hari
ke
bangsal
anak-‐anak
sebagai
volunteer.
Hari-‐hari
tertentu
ia
bahkan
bisa
sampai
malam
ada
di
rumah
sakit,
ketika
ada
anak
yang
kritis
atau
bahkan
menjemput
maut.
Itulah
mengapa
malam
itu
Ray
melihat
Fitri
melalui
binocularnya,
berdiri
menatap
rembulan
dengan
wajah
sendu.
Cerita
singkat
di
atas
diceritakan
Fitri
saat
Ray
mengantarkan
Fitri
kembali
ke
rumahnya
dengan
berjalan
kaki.
Rumah
kontrakan
Fitri
tergolong
besar
untuk
ukuran
tinggal
sendirian.
Ray
belum
berani
masuk.
Ia
hanya
mengantar
sampai
depan
pagar.
Dengan
takut
Ray
bertanya
apakah
ia
bisa
datang
ke
situ
lagi.
Fitri
terdiam
sejenak.
“Setiap
rabu
malam,
kamu
bisa
mampir
ke
sini.”
Fitri
lalu
masuk
ke
dalam
rumah.
Ray
melangkah
kembali
ke
proyek
dengan
membawa
sepenggal
cerita
tentang
perempuan
bergigi
kelinci
itu.
***
Rabu
malam
yang
dijanjikan.
Selesai
bekerja,
Ray
berdandan
serapi
mungkin.
Jo
meledeknya
terus
menerus.
Ray
tak
peduli.
Ia
lalu
melangkahkan
kakinya
ke
rumah
Fitri.
Fitri
menerimanya.
Fitri
sedang
membuat
sesuatu
di
dapur.
Ray
pun
menemani
Fitri
menyelesaikan
sesuatu
itu.
Mereka
tidak
banyak
bercakap.
Ray
menonton
Fitri
membuat
puding
pisang.
Ray
mencicipi
puding
itu.
Enaknya
keterlaluan.
***
Hari-‐hari
berlalu
dengan
cepat.
Bangunan
itu
semakin
berkembang
walau
masih
jauh
dari
utuh.
Rabu
malam
demi
rabu
malam.
Pertemuan
demi
pertemuan.
Puding
pisang
demi
puding
pisang.
Hingga
malam
itu,
Ray
memberanikan
diri
mengajak
Fitri
ke
gedung
hasil
kerjanya.
Mereka
naik
ke
lantai
delapan
belas
dimana
Ray
sudah
menyiapkan
dua
bangku
untuk
mereka
duduk
menonton
kota
mungil
mereka
dari
jendela
yang
belum
terpasang.
Dinding
dinding
masih
terbuka.
“Kamu
tahu
kan
kota
kita
sedang
ulang
tahun.
Katanya
jam
sembilan
teng
akan
ada
pertunjukan
kembang
api.
Sebentar
lagi...”
Fitri
hanya
tersenyum.
“Err...
kamu
tahu...
aku
senang
bersamamu...”
Fitri
kini
menoleh
ke
Ray.
Mereka
bertatapan.
Kembang
api
meluncur
di
angkasa.
Bunyinya
memekakkan
telinga.
Satu
kembang
api,
diiringi
kembang
api
kembang
api
berikutnya.
Mereka
mengalihkan
tatapan
dari
mata
masing-‐masing
ke
arah
kembang
api
itu.
Hanya
lima
menit.
Pesta
pun
usai.
Fitri
pamit
14
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
pulang
dan
menolak
Ray
mengantarkan.
Ray
terdiam.
Mendadak
wajahnya
muram.
Ia
melirik
bangku
kosong
di
sampingnya.
Syal
fitri
tertinggal
di
sana.
***
Siang
itu,
pekerjaan
semakin
banyak
yang
harus
dituntaskan.
Di
antara
kesibukan
masing-‐masing,
Jo
mempertanyakan
kenapa
harus
menunggu
Rabu
minggu
depan
untuk
sekedar
mengembalikan
syal?
Ray
berpikir.
Benar
juga
kata
Jo.
Masalahnya
apa
ia
harus
mengantarkan
ke
rumah
sakit
siang
nanti
atau
malam
ini?
Siang
nanti
Mas
Ray
ada
meeting
di
kantor
pusat.
Jo
mengingatkan
Ray.
Walhasil
baru
malam
Ray
melangkahkan
kaki
ke
rumah
Fitri.
Ia
mengetuk
pintu
rumah.
Lama
menunggu
reaksi.
Hingga
Fitri
membuka
pintu.
Fitri
mengenakan
baju
tidur.
Rambutnya
tak
serapih
biasa.
Fitri
kaget
melihat
kehadiran
Ray.
Ray
mengulurkan
syal
Fitri.
Dari
dalam
terdengar
suara
lelaki...
“Siapa
yang
datang,
sayang?”
Fitri
segera
berlari
ke
dalam.
Seorang
lelaki
muncul
di
pintu,
menatap
Ray.
“Siapa
nih
yang
salah
jadwal...
saya
atau
anda?”
Suara
gemuruh
terdengar
dari
langit.
***
Ray
berlari
menembus
gerimis
yang
makin
lama
makin
menderas
menjadi
hujan.
Ia
sampai
di
proyek
dan
langsung
lari
ke
lantai
delapan.
Tanpa
berhenti.
Ia
sampai
di
lantai
18,
berlari
ke
tepi
bangunan
dan
berteriak
sekencang-‐kencangnya.
Ray
lalu
membanting
tubuhnya
ke
lantai
dengan
hati
yang
hancur
sehancur-‐hancurnya.
Hujan
terus
turun.
Ray
masih
meringkuk
di
lantai.
Sebuah
suara
muncul
di
ujung
tangga.
“Aku...
bukan
perempuan
baik-‐baik.
Aku...
menjual
tubuhku
sendiri
untuk
bisa
bertahan
hidup...”
Ray
menoleh.
Fitri
berdiri
di
sana,
basah
kuyup
dan
menangis
tersuguk-‐suguk.
Ray
perlahan
bangkit
dan
mendekati
si
gigi
kelinci.
“Aku...
pernah
mencuri
dan...
membunuh...”
kata
Ray.
Mereka
bertatapan
sejenak.
Ray
lalu
meraih
Fitri
ke
dalam
dekapannya.
***
Pernikahan
Ray
dan
Fitri
berlangsung
di
gedung
itu.
Gedung
yang
baru
saja
selesai.
Pernikahan
yang
dihadiri
ratusan
pekerja,
deretan
mandor,
deretan
bos,
dan...
Pemilik
Gedung.
Bos
yang
sesungguhnya.
Namanya
Koh
Cheu.
Ia
hadir
bersama
istri
dan
cucu
perempuannya
yang
berusia
8
tahun
bernama
Vin.
Kehadiran
konglomerat
nomer
satu
di
kota
itu
disambut
hangat
oleh
Ray
dan
Fitri.
Hari
itu
Ray
adalah
lelaki
berusia
29
tahun
paling
bahagia
sedunia.
***
Rumah
mungil
pinggir
pantai.
Fitri
sedang
membuat
pesanan-‐pesanan
puding
pisang
di
dapur.
Ray
muncul
dan
memeluk
istrinya
dari
belakang,
meminta
Fitri
menebak
siapa
yang
barusan
menelepon.
Fitri
tidak
tahu.
Ray
memutar
tubuh
istrinya,
menghadap
15
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
kepadanya.
Koh
Cheu...
menawarkan
Ray
untuk
mengepalai
proyek
bandara.
Fitri
mengucap
syukur
dan
memeluk
suaminya.
Ray
membayangkan
ia
akan
bisa
memberikan
penghidupan
yang
lebih
sejahtera,
rumah
yang
lebih
besar,
mobil,
perhiasan,
baju,
apapun.
Fitri
menatap
suaminya.
“Aku
tidak
membutuhkan
itu,
ceroboh.
Bagiku
kau
ikhlas
dengan
semua
yang
kulakukan
untukmu,
ridha
atas
perlakuanku
kepadamu...
itu
sudah
cukup.”
Ray
tersenyum.
Mereka
berdekapan
kembali
dengan
erat.
“Setidaknya
ijinkan
aku
membukakan
toko
puding
pisang
untukmu.”
Fitri
tertawa.
“Dan...
kelak
membangun
sebuah
gedung
tertinggi...
untukmu,”
lanjut
Ray,
lebih
pelan,
namun
lebih
tegas.
***
Ray
bekerja
di
konstruksi
raksasa.
Fitri
membuka
toko
mungil
puding
pisangnya.
Ray
menghadiri
pertemuan
dengan
Koh
Cheu
dan
jajarannya.
Fitri
dan
Ray
duduk
di
teras
belakang,
menonton
laut
terbentang
di
hadapan
mereka.
Waktu
berlalu
dalam
sekedip
mata.
***
Ini
adalah
acara
lomba
busana
oriental
yang
diselenggarakan
di
mall
milik
Koh
Cheu.
Vin,
cucu
Koh
Cheu
yang
sudah
berusia
11
tahun
ikut
serta,
bersama
dengan
anak-‐anak
berbagai
usia.
Ray
dan
Fitri
ikut
menonton,
satu
meja
dengan
Koh
Cheu
dan
istrinya.
Fitri
menatap
lurus
ke
panggung,
ke
arah
anak-‐anak
itu.
Perlahan
ia
menggenggam
tangan
suaminya.
Ray
menoleh.
Fitri
berbisik
meminta
maaf
belum
bisa
memberikan
Ray
anak
dalam
tiga
tahun
pernikahan
mereka.
Ray
tersenyum,
menggenggam
balik
tangan
istrinya
dengan
erat.
Ia
baik-‐baik
saja,
cintanya
kepada
si
gigi
kelinci
tidak
berubah.
Masih
sama
bahkan
tambah
besar
dari
hari
ke
harinya.
Mereka
saling
tersenyum.
***
Malam
itu,
Ray
tiba
di
rumah
menjelang
tengah
malam.
Ia
disambut
Fitri
yang
belum
tidur.
Fitri
memeluk
erat
Ray
dan
menyampaikan
kabar
berita.
Ia
hamil.
Ray
bersorak.
Mereka
berpelukan
sampai
meneteskan
air
mata.
Ray
lalu
meminta
Fitri
mengurangi
kegiatannya
di
toko
kue.
Ia
juga
meminta
Fitri
untuk
tidak
selalu
menunggunya
pulang
kerja.
Fitri
berkata
ia
akan
baik-‐baik
saja.
Ia
bahagia
bisa
selalu
meyambut
suaminya
pulang
kerja
biar
pun
harus
terjaga
sampai
larut.
Ray
kembali
memeluk
istrinya.
Ia
berjanji
akan
melimpahi
istri
dan
anaknya
dengan
kenyamanan
yang
berlimpah.
Fitri
kembali
mengulang
perkataannya...
“Aku
tidak
membutuhkan
itu,
ceroboh.
Bagiku
kau
ikhlas
dengan
semua
yang
kulakukan
untukmu,
ridha
atas
perlakuanku
kepadamu...
itu
sudah
cukup.”
***
Hari
itu
hari
Minggu.
Ray
dan
Fitri
memutuskan
berjalan
menyusuri
pantai.
Perut
Fitri
sudah
membuncit.
Ray
menanyakan
apakah
Fitri
sudah
punya
nama
untuk
anak
16
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
perempuan
mereka?
Fitri
mengiyakan
namun
tak
mau
memberitahukannya
kepada
Ray.
Ray
memeluk
istrinya
dengan
gemas.
Tertawa.
Bahagia.
Hari
demi
hari
berlalu.
Kandungan
Fitri
memasuki
usia
8
bulan.
Ray
pulang
lebih
cepat
dari
biasa.
Mereka
menyantap
makan
malam
berdua.
Ray
memaksa
meminta
Fitri
memberitahu
nama
anak
mereka.
Fitri
tertawa.
Tidak
mau.
Itu
kejutan.
Ray
menatap
istrinya,
meletakkan
sendoknya
dan
berdiri
menghambur
menggelitik
Fitri.
Fitri
tertawa
kegelian.
Tiba-‐tiba
tawa
itu
berhenti.
Ray
menatap
istrinya
yang
mendadak
pucat.
“Sayang...
kamu
kenapa?”
Fitri
meringis
memegang
perutnya.
Ray
menatap
ke
perut
istrinya.
Dan
di
sana,
di
paha
dan
kaki
Fitri,
darah
segar
mengalir...
***
Mobil
Ray
melesat
memasuki
halaman
rumah
sakit
dan
berhenti
sembarangan
di
depan
instalasi
UGD.
Ray
melompat
turun
dan
berteriak
meminta
bantuan.
Ia
membuka
pintu
penumpang
dan
menurunkan
Fitri.
Para
petugas
berlari
mendekat
mendorong
brankar.
Ray
menunggu
di
lorong
rumah
sakit.
Dokter
melangkah
keluar.
Fitri
harus
dioperasi.
Kondisi
bayi
sendiri
belum
bisa
dipastikan.
Dokter
memberi
waktu
lima
menit
untuk
Ray
berbicara
kepada
istrinya
sebelum
dioperasi.
Ray
mendekati
tempat
tidur
Fitri.
Fitri
menangis.
Ia
takut.
Ray
mengatakan
tidak
ada
yang
perlu
ditakutkan.
Bayi
mereka
akan
selamat.
Fitri
menghapus
air
matanya.
“Apa
aku
cantik?”
Ray
tersenyum
dan
mengiyakan.
“Aku
ingin
kau
selalu
merasa
senang
bersamaku.
Merasa
ikhlas
bersamaku...
Ceroboh,
apa
kau
ridha
kepadaku?”
Ray
mengangguk
dan
memeluk
Fitri.
Dokter
melangkah
masuk.
Lima
menitnya
sudah
habis.
***
Azan
subuh
berkumandang
saat
dokter
melangkah
keluar
mendekati
Ray
yang
menunggu
di
koridor.
Bayi
dan
ibunya
tidak
bisa
diselamatkan.
Ray
berteriak,
jatuh
ke
lantai
koridor
yang
dingin.
***
Pemakaman
Fitri
dan
si
bayi
dihadiri
oleh
banyak
orang.
Ray
tertunduk
lemah.
Kosong.
Hingga
satu
persatu
tamu
itu
pulang.
Tinggal
Ray,
berjongkok
di
antara
dua
nisan.
Nisan
Fitri
dan
nisan
bayi
yang
tidak
diberi
nama.
Ray
mulai
terisak.
Tangannya
mencengkeram
tanah
di
dekatnya.
Di
seberang
Ray,
berjongkok
Lelaki
Berwajah
Teduh,
menatap
lurus
ke
arah
Ray
yang
menangis.
Ia
lalu
menoleh
ke
Ray
Sang
Pasien
yang
berdiri
tak
jauh
dari
situ.
“Kau
ingat
apa
yang
kau
teriakkan
dalam
hati
Ray?
Di
sini.
Di
tempat
ini.
Hari
ini?”
Ray
Sang
Pasien
mengangguk.
17
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
“Kenapa
Tuhan
tega
sekali.
Kenapa
Dia
mengambil
istri
dan
bayiku
sekaligus.
Kenapa
Tuhan
tidak
bosan
melihat
aku
jatuh
tersungkur...”
Airmata
Ray
Sang
Pasien
mengalir.
Ray
mendekati
dirinya
sendiri
yang
berusia
33
tahun.
Ray
Sang
Pasien
ikut
duduk
dan
menangis
di
samping
Ray
masa
lalunya.
Tuan
Berwajah
Teduh
mulai
berkata-‐kata...
“Istrimu
sejak
kecil
yatim
piatu
seperti
kau.
Hidupnya
menderita.
Sepanjang
hidup
ia
juga
punya
lima
pertanyaan.
Tiga
pertanyaan
terakhirnya
terjawab
setelah
menikah
denganmu.
Karena
engkau
maka
ia
menemukan
jawaban-‐jawaban
itu.
Percayalah
Ray...
penghujung
hidup
istrimu
adalah
penghujung
yang
baik.
Seribu
malaikat
bertasbih
turun
menjemputnya.”
Tuan
Berwajah
Teduh
itu
berhenti
sejenak
sebelum
melanjutkan.
“Kau
harus
tahu
Ray...
cara
terbaik
untuk
memahami
kehilangan
adalah
melihat
dari
sisi
yang
pergi,
bukan
dari
sisi
yang
ditinggalkan,
supaya
manusia
berhenti
mengutuk
Tuhan.
Sesederhana
sekaligus
serumit
itu
jawaban
atas
pertanyaanmu
yang
ketiga.”
Ray
terus
menangis.
***
KENAPA
SEMUANYA
TETAP
TERASA
KOSONG?
Ibukota.
Sebuah
taksi
menembus
keramaian.
Ray,
34
tahun,
duduk
di
bangku
belakang.
Wajahnya
flat
menatap
keramaian
jalan
yang
ia
lewati.
Ia
tersadar
ketika
supir
memberitahu
mereka
sudah
sampai
di
tujuan.
Ray
melangkah
turun.
Ia
menatap
sekitarnya.
Sebuah
proyek
pembangunan
sedang
dilakukan.
Ia
mendekati
salah
satu
pekerja
dan
bertanya.
Mau
dibangun
perkantoran,
kata
si
pekerja.
Semua
rumah
sudah
diratakan...
termasuk
si
rumah
singgah...
Ray
melangkah
kembali
masuk
ke
dalam
taksi.
Ia
sempat
melirik
plang
nama
perusahaan
pemilik
proyek
perkantoran
itu.
Taksi
berhenti
di
stasiun
KRL.
Ray
turun.
Ia
menaiki
KRL
menuju
pinggiran
ibukota.
Duduk
merenung
menonton
pengamen
yang
bernyanyi
dengan
suara
sumbang.
Ray
tiba
di
tower
air
itu.
Ia
mendongak
menatap
puncak.
Sebuah
suara
muncul.
Seorang
ibu-‐ibu.
“Hey...
bukannya
kamu
pengamen
yang
dulu
ngontrak
di
kamar
petak
saya?”
Ray
menoleh.
Ia
berusaha
tersenyum
sambil
mengangguk.
Ibu
itu
tau-‐tau
bersorak
lega,
lalu
meminta
Ray
menunggu
di
situ.
Ray
bingung,
namun
ia
lakukan
juga
permintaan
si
ibu.
Ibu
itu
muncul
lagi
kemudian,
membawa
sepucuk
surat
yang
sudah
lecek
dan
terbuka.
“Maaf
ya
ibu
buka,
habis
penasaran...”
Ibu
itu
terkekeh
sendiri.
Ray
meraih
surat
itu.
Ditujukan
kepadanya...
dari
Plee.
Ray,
di
mana
tempat
bermula,
di
situ
tempat
berakhir.
Di
situlah
disimpan
seribu
rembulan.
Ubahlah
seribu
rembulan
menjadi
energi
yang
tak
terkalahkan.
18
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Ray
menatap
si
ibu
yang
sedang
menatap
lurus
ke
arahnya.
“Terimakasih
bu.”
“Kamu
masih
ngamen?”
***
Ray
menunggu
malam
untuk
kemudian
naik
ke
tower
air.
Ia
tiba
di
puncak,
lalu
naik
lagi
ke
atas
gentong
air
raksasa,
menggeser
tutupnya
dan
terjun
ke
situ.
Dalamnya
kira-‐kira
tiga
meter.
Cahaya
bulan
untungnya
menembus
kejernihan
airnya...
dan
Ray
melihat
benda
itu.
Benda
yang
berkilauan.
Berlian
seribu
karat.
***
Hari
yang
baru.
Hari
yang
cerah.
Ray
melangkah
memasuki
gedung
besar
perusahaan
yang
namanya
telah
ia
lihat
di
bekas
lahan
rumah
singgah.
Ray
menemui
jajaran
direksinya.
Ia
ingin
mengambil
alih
proyek
pembangunan
perkantoran
itu.
Mendirikan
apartemen.
Perusahaan
itu
meminta
harga
yang
cukup
tinggi.
Dan
Ray...
menyanggupinya.
***
Jo
melangkah
gugup
melewati
lorong
kantor
itu.
Belum
ramai.
Di
beberapa
bagian
malah
masih
kosong.
Ia
sampai
di
sebuah
pintu.
Jo
mengetuknya.
Terdengar
suara
Ray
dari
dalam
menyuruhnya
masuk.
Jo
masuk
dan
Ray
duduk
di
sana,
di
ruang
kerjanya.
Masih
kosong
namun
jelas
ini
akan
jadi
ruang
kerja
yang
mewah
dengan
jendela
besar
menunjukkan
pemandangan
ibukota.
Ray
tersenyum.
“Jo...
kamu
mau
jadi
kepala
mandor?”
Mata
Jo
terbelalak.
“Kupikir...
saat
Mas
Ray
menjual
rumah
dan
kedai
puding
pisang,
lalu
pindah
ke
ibukota
ini,
Mas
Ray
akan
meninggalkan
dunia
konstruksi...
“
“Aku
bukan
meninggalkan.
Aku
memperlebar
bidangku.
Sekarang
aku
juga
menjadi
pemilik
atas
beberapa
properti.”
***
Dua
tahun
sesudahnya,
Ray
meresmikan
gedung
apartemen
itu.
Seluruh
unitnya
sudah
terjual
habis
jauh
sebelum
topping.
Saat
itu,
ia
juga
sedang
membangun
Pusat
Pembelanjaan
Tujuh
Lantai,
Gedung
Perkantoran
Belasan
Lantai,
dan
Pemukiman
Elit...
Wajahnya
yang
dingin
mulai
menghiasi
berbagai
majalah
bisnis
dan
properti.
Pemain
baru
berusia
37
tahun
yang
langsung
melesat
ke
jajaran
pemain
properti
papan
atas...
***
Ray
duduk
berhadapan
dengan
seorang
lelaki
berusia
70
tahun
bernama
Liem.
Liem
yang
menganggap
keinginan
Ray
untuk
membangun
gedung
tertinggi
di
ibukota
adalah
mustahil.
Terlalu
muluk.
Liem
adalah
taipan
pemilik
bank
swasta
terbesar
di
ibukota.
19
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
“Proposalmu
luar
biasa,
tetapi
hanya
orang
bodoh
yang
mau
mendanainya,”
tegas
Mister
Liem.
Ray
berusaha
meyakinkan
Mister
Liem,
tentu
saja
dengan
caranya
yang
tajam,
bukan
memohon
apalagi
merengek.
Mister
Liem
minta
waktu
dua
bulan
untuk
menjawab
proposal
Ray
tersebut.
Ray
menatap
seisi
ruangan
dan
bertanya
ketinggian
lantai
kantor
Mister
Liem
di
mana
sekarang
mereka
duduk.
Mister
Liem
menjawab
sekitar
200
meter.
Ray
melangkah
ke
jendela.
“Jika
setahun
setelah
Mister
Liem
menandatangani
kesepakatan
pinjaman,
proyek
ini
tidak
memenuhi
harapan
sesuai
proposal,
maka
setahun
kemudian
itu,
di
jam
yang
sama
dengan
sekarang,
di
menit
dan
detik
yang
sama,
aku
akan
loncat
dari
jendela
ini.
Itu
sumpahku.”
Mister
Liem
tergugu.
Hal
berikutnya
yang
terjadi
adalah
beberapa
jam
kemudian,
malam
hari,
Jo
bergegas
masuk
ke
ruangan
kerja
Ray.
Proyek
pembangunan
gedung
tertinggi
di
ibukota
dinyatakan
mulai.
Ray
meminta
orang-‐orang
terbaik
yang
mengerjakannya.
Mengerjakan
gedung
tertinggi.
Membangun
janjinya.
Kepada
si
gigi
kelinci.
***
Setahun
berlalu.
Gedung
tertinggi
itu
sudah
setengah
jadi.
Bulan
sedang
bulat
sempurna.
Ray
duduk
di
pinggir
lantai,
lantai
tertinggi...
Ia
mengeluarkan
potongan
koran
itu.
Kebakaran
yang
memusnahkan
deretan
perumahan
dan
pasar.
Bayi
yang
selamat.
Ia
menatap
rembulan.
Memanggil
pelan
si
gigi
kelinci.
“Aku
belum
jadi
menyusulmu
dengan
melompat
dari
jendela
kantor
Mister
Liem.
Ia
sangat
puas
dengan
perkembangan
proyek
ini.
Proyek
kita.
Gedung
kita.”
Ray
menarik
nafas.
Ia
kembali
menatap
potongan
koran
di
tangannya,
lalu
memasukkannya
kembali
ke
saku.
Ia
kembali
menatap
rembulan.
“Sayang,
bisa
kau
tolong
tanyakan,
setelah
semua
ini,
kenapa
aku
tetap
merasa
kosong
dan
hampa?”
Rembulan
membisu
di
angkasa.
***
Ray
mengemudikan
mobilnya
sendiri
memasuki
kota
mungil
pinggir
pantai.
Di
kursi
sampingnya
tergeletak
sebuah
undangan
gold
anniversary
Koh
Cheu.
Ray
melambatkan
mobilnya
memasuki
kota
kenangan
itu.
Ia
lalu
menuju
ke
pemakaman.
Ray
melangkah
turun
dari
mobil
menuju
ke
kuburan
Fitri
dan
anaknya.
Langkahnya
terhenti
melihat
seorang
gadis
sedang
meletakkan
bunga
ke
kuburan.
Kuburan
Fitri
dan
sang
bayi
tampak
rapi
terawat.
Ray
mendekat.
Gadis
itu
menoleh.
Ia
adalah
Vin,
cucu
Koh
Cheu,
usianya
sudah
20-‐an.
Cantik.
Bersinar.
Vin
berdiri,
menyapa
Ray
dengan
Bang
Ray.
Ray
menyalami
Vin.
Vin
mengingatkan
lagi
siapa
dia.
Ray
kini
paham.
Vin
lalu
melangkah
mundur,
membiarkan
Ray
berjongkok
di
makam
istrinya.
20
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
21
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
22
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Kalimat
Ray
tak
selesai
karena
Koh
Cheu
memukulkan
tongkatnya
lagi
ke
lantai.
Kali
ini
jauh
lebih
keras.
Koh
Cheu
berteriak.
“Saat
kau
masih
merangkak,
belajar
berjalan,
aku
sudah
membakar
ratusan
rumah
untuk
membangun
imperium
bisnisku!!!”
Dan...
Ray
terdiam,
menatap
lurus
ke
arah
Koh
Cheu.
***
Ray
Sang
Pasien
berdiri
di
jendela
ruang
kantornya
itu.
Matanya
terpejam.
Tuan
Berwajah
Teduh
berdiri
di
sampingnya.
“Ketika
Koh
Cheu
mengucapkan
kalimatnya
sore
itu
kepadamu,
kau
menolak
mati-‐
matian
untuk
menghubungkan
antara
perkataan
Koh
Cheu
dengan
masa
lalumu.
Kau
enggan
memastikannya,
bahkan
sampai
Koh
Cheu
meninggal,
kau
tetap
tak
mau
memastikannya.”
Ray
Sang
Pasien
membuka
matanya,
menatap
pemandangan
ibukota
malam
hari
di
luar
jendela.
“Koh
Cheu
orang
baik,”
balas
Sang
Pasien
pelan.
“Manusia
baik
belum
tentu
punya
masa
lalu
yang
baik.
Masa
itu...
Koh
Cheu
tak
juga
berhasil
meyakinkan
pemilik
lahan
untuk
menjual
tanahnya
demi
membangun
pusat
perbelanjaan
Koh
Cheu.
Ia
akhirnya
membayar
Plee
untuk...”
“Stop.
Tolong.
Aku
sudah
tahu
kelanjutannya,”
pinta
Sang
Pasien
dengan
nada
memohon.
Tuan
Berwajah
Teduh
itu
terdiam.
“Kau
menerima
tawaran
bantuan
Koh
Cheu.
Ia
memberikan
semua
kekayaannya
kepadamu.
Ia
melakukannya
demi
menebus
masa
lalunya
meskipun
ia
tidak
pernah
tahu
kau
bagian
dari
korban
perbuatannya
di
masa
lalu
itu.
Kau
bangun
kembali
bisnismu..
Di
ladang
minyakmu
memang
tak
ada
minyak,
namun
kemudian
kau
temukan
emas.
Dalam
sekejap
kau
kembali
mengeruk
kekayaan.
Semua
berkat
uang
penebusan
kesalahan
Koh
Cheu.
Dan
ia
tidak
pernah
mau
kau
membayarkan
uang
itu
kembali.”
Ray
Sang
Pasien
kembali
memejamkan
mata.
Ia
menarik
nafasnya.
Berat.
“Dan
aku
tetap
merasa
kosong.”
“Karena
kau
terjebak
pada
keinginan-‐keinginan
dunia,
Ray.
Kau
sangat
mencintai
dunia
dan
harta
bendanya.
Manusia
yang
terlalu
mencintai
dunia,
tidak
akan
pernah
menemukan
jawaban
dari
dunia.
Manusia
yang
terlalu
mencintai
dunia,
tidak
akan
pernah
merasa
puas.
Seperti
kau,
Ray.
Kesibukanmu,
pekerjaanmu,
hartamu,
tak
akan
pernah
mengganti
kehadiran
istrimu.
Seharusnya
kau
belajar
dari
istrimu.
Ia
sudah
merasa
cukup
ketika
kau
ikhlas
dengan
semua
yang
ia
lakukan
untukmu.
Ketika
kau
ridha
atas
perlakuannya
padamu.”
Airmata
Sang
Pasien
mengalir.
Ia
menunduk
semakin
dalam.
***
23
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
24
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
“Sejak
kau
jatuh
di
salju
itu,
kau
tak
pernah
benar-‐benar
merasa
sehat
seratus
persen.
Lihat...
itu
kau...
tiga
tahun
yang
lalu.
Tiga
tahun
sesudah
kau
jatuh
pertama
kali.”
Ray
di
jendela
memegang
dadanya.
Mengerang.
“Pertanyaan
kelimamu,
Ray...
“
“Kenapa
aku
harus
mengalami
sakit
ini...
kenapa
Tuhan
tak
langsung
mengambil
nyawaku...”
balas
Sang
Pasien.
Ray
di
jendela
jatuh
merosot
ke
lantai.
***
Ray
Sang
Pasien
membuka
matanya.
Ia
ada
di
tempat
tidur
ruang
rawat
rumah
sakit
VVIP.
Usianya
60
tahun.
Tuan
berwajah
teduh
berdiri
di
sampingnya.
“Kenapa
kau
harus
mengalami
sakit
berkepanjangan
ini,
Ray?”
“Supaya
aku
bisa
bersyukur
atas
semua
yang
pernah
terjadi
kepadaku.
Kebahagiaan
di
rumah
singgah,
persahabatan
dengan
Plee,
pernikahan
dengan
gigi
kelinci,
kelihaianku
berbisnis,
rasa
sayang
vin
kepadaku...”
“Dan..
bersyukur
bahwa
kau
juga
sudah
melewati
sakit
demi
sakit...panti
asuhan,
pukulan
rotan
itu,
perkelahian
demi
perkelahian,
kepergian
dari
rumah
singgah,
mengamen,
kehilangan
Plee,
kehilangan
anak
dan
istrimu...”
Air
mata
Ray
mengalir.
“Satu
tempat
lagi
yang
harus
kau
datangi...”
Ray
menatap
si
lelaki
berwajah
teduh.
***
Ini
adalah
panti
asuhan
itu.
Sudah
lebih
modern
dan
berwarna.
Hujan
turun.
Takbir
bergema
di
penjuru
kota
mungil
itu
bersamaan
dengan
suara
gemuruh
di
langit.
Di
halaman
panti,
di
bawah
pohon,
duduk
dalam
hujan,
seorang
gadis
berusia
8
tahun.
Ray
berdiri
gemetar
di
halaman
panti
terkutuk
itu.
“Kenapa
kita
ke
sini???”
Ray
meraung.
Tuan
Berwajah
Teduh
menarik
tangan
Ray
yang
hendak
berlari
meninggalkan
halaman.
Ia
menyuruh
Ray
melihat
ke
arah
gadis
berusia
8
tahun.
“Lihat
Ray!
Namanya
Rinai.
Ia
sedang
bertanya
ke
hujan
kenapa
ia
lahir
yatim
piatu!!!
Kau
tahu
kenapa???
Karena
delapan
tahun
lalu,
kau
sedang
mengemudikan
mobilmu
dan
tersadar
kalau
jalan
yang
kau
ambil
akan
melewati
panti
ini.
Kau
injak
remmu.
Sebuah
mobil
berisi
sepasang
suami
istri
di
belakangmu
menabrak
pohon
akibat
perbuatanmu.
Istrinya
sedang
hamil.
Suami
meninggal
di
tempat.
Sang
istri
dibawa
ke
rumah
sakit
dan
meninggal
dalam
perjalanan.
Bayinya
dipaksa
keluar
dan
selamat.
Lihat!!!
Itu
hasil
perbuatanmu!!
Anak
itu
yatim
piatu
karena
kau.”
Ray
memberontak,
menangis,
meraung
seperti
anak
kecil.
Sedetik
kemudian
ia
jatuh
tersungkur
ke
tanah
halaman
panti.
***
25
REMBULAN
TENGGELAM
DI
WAJAHMU
story
treatment
Para
perawat
dan
dokter
menghambur
masuk
ke
ruang
VVIP
itu,
berusaha
melakukan
penyelamatan
terhadap
Sang
Pasien
yang
tiba-‐tiba
jantungnya
berhenti.
Tuan
Berwajah
Teduh
mendekat
dan
berbisik
ke
Ray.
“Nama
anak
itu
Rinai.
Persis
seperti
nama
yang
dipersiapkan
istrimu
untuk
anak
perempuan
kalian.
Kau
akan
sembuh
setelah
ini.
Sayangnya
waktumu
akan
cuma
beberapa
minggu.
Kau
tahu
apa
yang
harus
kau
lakukan.”
***
Rinai
sedang
meringkuk
di
kasurnya
ketika
perempuan
penjaga
panti
berwajah
ramah,
melangkah
masuk
dan
mengusap
punggungnya.
Rinai
memutar
tubuhnya.
Perempuan
itu
tersenyum.
“Ada
yang
mau
mengadopsimu.
Dari
ibukota.”
***
Bantaran
sungai,
60
tahun
yang
lalu.
Orang-‐orang
ramai
berkerumun,
menemukan
bayi
yang
terbungkus
kain
sedang
menangis
kencang.
Ujung
kain
tampak
terbakar.
Semua
langsung
menghubungkannya
dengan
kebakaran
besar
yang
terjadi
semalam
tak
jauh
dari
situ.
Mereka
bingung
harus
membawa
si
bayi
kemana.
Seorang
lelaki
biasa,
mengenakan
topi,
menyeruak.
“Ya
sudah,
sini
aku
bawa
dia
ke
panti
asuhan...”
Lelaki
itu
meraih
si
bayi
yang
menangis.
Bayi
itu
perlahan
berhenti
menangis.
Lelaki
itu
membuka
topinya...
menunjukkan
wajah
teduhnya
yang
tersenyum.
***
SELESAI
26