Anda di halaman 1dari 6

Teori Komunikasi Harold D.

Lasswell
A. Pengertian Komunikasi Menurut Harold D. Lasswell.
Menurut Harold Lasswell Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang
menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan
akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what
effect?).

B. 5 Unsur komunikasi menerut Harold D. Lasswell

1. Who? (siapa/sumber).
2. Says What? (pesan).
3. In Which Channel? (saluran/media).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima).
5. With What Effect? (dampak/efek).
C. Model Komunikasi menurut Harold D. Lasswell
D. Penerapan
Dalam teori Harold D. Lasswell lebih menekankan dalam penerapan penelitian komunikasi massa, hal
ini terlihat dari ke 5 unsur teori ini, terkandung dan membutuhkan media/ saluran sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan kepada komunikan, hal ini menunjukan terpenuhinya syarat
sebagaimana komunikasi massa.

TEORI HAROLD LASWELL
 

Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal ilmu komunikasi di Amerika adalah Harold Lasswell.
Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu
komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to
whom, to which channel and with what effect”. Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai
suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek
yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua.
Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in
the World War” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari
konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi symbol yang diambil
dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.
Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa
Latin “to sow” yang secara etymology berarti: “menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide” (to
disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya kata ini berubah dan
mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga
mencuci otak
TEORI

Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of cultural
outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi massa yang ada di Amerika
Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang
berfokus pada hasil-hasil kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu.
Untuk mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi komunikasi
massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell.

Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan pengaruh media
terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan fungsionalis yang memfokuskan
pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh
komunikasi massa.

Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling awal dalam
kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948
yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu
model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang
baru belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai :
Siapa (who)
Bicara apa (says what)
Pada saluran mana (in which channel)
Kepada siapa (to whom)
Dengan pengaruh apa (with what effect)
Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen mendasar dari
komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam
Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan
ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu
komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas.

Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang
dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan
kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar
kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa
memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi
masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa
dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell
dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28-29). Dalam
perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana
komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan
dikontrol oleh para produsen (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).

Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam kajian teori
komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak digunakan sebagai kerangka analisis
dalam kajian komunikasi massa. Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat
bagian-bagian yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat
menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi
yang telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa yang
telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara fungsi komunikasi
massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam pembahasan berikut. Kita
mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi informasi dan pengaruh.

Difusi Informasi dan Pengaruh


Riset yang melahirkan teori difusi dan pengaruh dilakukan pada tahun 1940 oleh Paul Lazarsfeld
terhadap masyarakat kota New York. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld menunjukan
bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh komunikasi massa dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu
oleh komunikasi antar personal. Lazarsfeld menamainya sebagai two-step flow hipotesis. Teori ini
masih mempunyai pengaruh yang sangat besar mengenai studi komunikasi massa, terutama
terhadap studi mengenai khalayak.
Pada studi awalnya Lazarsfeld menemukan bahwa informasi dan pengaruh dari media massa
disebarluaskan oleh para penentu opini kepada khalayak luas, setelah mereka menerima informasi
dari media, sehingga isi pesan media tidak serta merta tersebar dan apalagi menjadi opini publik
di dalam khalayak luas.

Teori two-step flow terangkum dalam karya Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld “Personal Influence”.
Mereka berdua menyatakan bahwa individu tertentu yang disebut sebagai penentu opini (opinion
leader) menerima informasi dari media dan menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini
adalah dalam semua kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit
dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan merupakan pemberian
namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa individu dalam keadaan tertentu.
Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke waktu dari isu ke isu.

Penentu opini dalam pandangan mereka dapat terdiri dari dua bentuk yaitu penentu opini yang
hanya memiliki pengaruh pada satu topik saja, atau monomorhism, dan mereka yang berpengaruh
pada bermacam topik atau polymorhism. Monomorphism menjadi lebih dominan ketika sistem
komunikasi yang berlaku sifatnya menjadi lebih modern. Seorang kepala desa tentu memiliki
pengaruh terhadap beragam topik, sedangkan seorang sarjana pertanian akan memiliki pengarh
terhadap isu yang berkaitan dengan pertanian, seperti penyakit tanaman, hama tanaman, cara
pemupukan yang benar dan sebagainya.

Riset lanjutan yang dikerjakan oleh Lazarsfeld telah memperlihatkan bahwa penyebaran ide adalah
bukan merupakan proses dua langkah yang sederhana. Suatu model multi-langkah (multistep
flow) sekarang lebih banyak diterima secara umum. Model ini serupa dengan model hipotesis dua-
langkah (two step flow), tapi memberi lebih banyak kemungkinan daripada hipotesis dua langkah.
Penelitian yang telah dilakukan telah memperlihatkan bahwa jumlah yang terbesar dari penyaluran
antara media dan penerima terakhir adalah suatu variabel. Dalam adopsi inovasi ini, misalnya,
individu tertentu akan mendengar tentangnya langsung dari sumber media, sedangkan lainnya
mungkin akan berkurang banyak tahapan.

Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers
menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai penyebaran dengan proses perubahan
sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi (atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi.
Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal
melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara
spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam
waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama.

Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat
tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari penelitian difusi adalah
untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu
inovasi akan mempunyai konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak,
langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).

Opini Publik dan Gelombang Kebisuan (Public Opinion and the Spiral of Silence)
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meletakan jabatan di penghujung kekuasaan Presiden
Megawati, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai peristiwa tersebut. Banyak media
massa yang juga mengekspos perseteruan Susilo Bambang Yudhoyono dan Taufik Kiemas, suami
presiden. Media menggambarkan Susilo Bambang Yodhoyono sebagai orang teraniaya, dan
timbulah opini publik yang menyudutkan Megawati. Opini ini semakin meluas karena media massa
mem-blow up secara besar-besaran. Suara pendukung Megawati yang membela kebijakannya
semakin lama semakin tenggelam karena porsi yang diberikan media massa kepada mereka juga
semakin mengecil. Dari realitas di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa memiliki
banyak hubungan dengan pembentukan opini publik.
Wacana mengenai opini publik telah menjadi pertimbangan yang besar dalam pengambilan
keputusan politik yang diambil oleh para elit politik. Teori yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-
Newman mengenai gelombang kebisuan merupakan pengembangan dari teori mengenai opini
publik dengan melanjutkan analisis yang mampu menunjukan bagaimana komunikasi antar
personal dan media bekerja bersama-sama dalam membangun opini publik. Asumsi dasar yang
dikemukakan oleh Noelle-Newman adalah bahwa orang-orang pada umumnya secara alamiah
memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan
mengikuti opini mayoritas atau konsensus. Sumber konsensus utama adalah media massa, dan
akibatnya para jurnalis yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk melakukan penetapan
mengenai apa yang dipandang sebagai “iklim opini” yang berlaku pada saat tertentu dalam isu
tertentu atau yang lebih luas.

Noelle-Newman sebenarnya adalah peneliti politik Jerman. Ia mengadakan observasi dalam


pemilihan umum yang memperlihatkan adanya beberapa pandangan nampaknya lebih berjalan
baik daripada pandangan yang lainnya. Kadang-kadang sebagian publik lebih memilih untuk diam
saja atau membisu mengenai opini yang ada dalam pikiran mereka daripada
memperbincangkannya. Jika opini umum dari media massa semakin tersebar dan meluas di
masyarakat, maka semakin senyap suara perseorangan yang berlawanan dengan pendapat umum
yang lebih dominan. Noelle-Newmann kemudian menyebut proses ini sebagai gelombang
kebisuan. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan kondisi di Jerman di tahun 1960 sampai
dengan 1970-an, di mana Partai Demokrasi Sosial berkuasa pada saat itu. Kekuasaan partai ini
tidak lepas dari peran media massa yang cenderung kekiri-kirian di masa itu, sejalan dengan
ideologi Partai Demokrasi Sosial. Peran media massa yang seperti ini mampu menciptakan
gelombang kebisuan di dalam khalayak yang tidak menyukai Partai Demokrasi Sosial. Yang tersisa
hanyalah suara publik yang mendukung kebijakan Partai Sosial Demokrat (McQuail, 1996 : 252).

Cultivation Analysis
Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi massa
dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah
pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama
dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari
kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari
kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran
predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan
sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi.
Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan
dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan
kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis
umum.
Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat
berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam
kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media
massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan
pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya
(McQuail, 1996 : 254).

Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai efek komunikasi
massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada usaha untuk dilakukan untuk
meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi.
Riset yang dilakuakn ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin
meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan
kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di
tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program
televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).

Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama adalah fase Bobo
Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan
Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya
yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi
juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman
kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok
pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon Bobo Doll sambil berteriak garang,
“Hantam! Sikat hidungnya!”. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang
sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film
televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak
diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak
diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit sembari diamati melalui kaca yang tembus
pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti
kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari jumlah
kelompok tersebut.

Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih
realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari
film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron,
yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua
kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan
kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan
kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang
dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih
banyak dan lebih lama menekana tombol merah daripada kelompok kedua.

Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati
pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek
yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana
kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok
kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka
diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan
(Rakhmat, 1999 : 243 – 245).

Agenda Setting
Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai potensi untuk
membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama yang memformulasi ide ini
adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann
dikenal untuk penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan
pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan,
melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai pseudoenvironment
(Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).
Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman
mereka. Menurut mereka:
Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang peran yang
sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka menjalani tugas sehari-hari
dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh media massa ini –kemampuan untuk memberi
pengaruh perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label
sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang
paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan
mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil dalam
menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam
memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).
Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari isu yang akan
dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda
media dalam beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan,
atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam
beberapa cara dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda
politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda media
mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda politik. Kejadian di
sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga
kebutuhan pokok semakin melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai
memberitakan kejadian ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
saat itu juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.
Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat mempunyai kekuatan
untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih belum jelas apakah agenda publik
sendiri tidak mempengaruhi agenda media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah
satu dari hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah).
Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik agenda
media dan agenda publik.
Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah derajat seberapa
media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi,
publik mempengaruhi media. Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di
semua waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki
pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut
sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat
seperti yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan
mendasar yang menarik untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda
media?
Analisis Definisi Komunikasi Menurut Harold Lasswell
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa?
dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which
channel? to whom? with what effect?). (Lasswell 1960).
Analisis 5 unsur menurut Lasswell (1960):
1. Who? (siapa/sumber).
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk
berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi,bisa seorang
individu,kelompok,organisasi,maupun suatu negara sebagai komunikator.
2. Says What? (pesan).
Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima(komunikan),dari
sumber(komunikator)atau isi informasi.Merupakan seperangkat symbol verbal/non verbal yang
mewakili perasaan,nilai,gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu
makna,symbol untuk menyampaikan makna,dan bentuk/organisasi pesan.
3. In Which Channel? (saluran/media).
Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator(sumber) kepada komunikan(penerima)
baik secara langsung(tatap muka),maupun tidak langsung(melalui media cetak/elektronik dll).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima).
Orang/kelompok/organisasi/suatu negara yang menerima pesan dari sumber.Disebut
tujuan(destination)/pendengar(listener)/khalayak(audience)/komunikan/penafsir/penyandi
balik(decoder).
5. With What Effect? (dampak/efek).
Dampak/efek yang terjadi pada komunikan(penerima) setelah menerima pesan dari
sumber,seperti perubahan sikap,bertambahnya pengetahuan, dll.
Contoh:
Komunikasi antara guru dengan muridnya.
Guru sebagai komunikator harus memiliki pesan yang jelas yang akan disampaikan kepada murid
atau komunikan.Setelah itu guru juga harus menentukan saluran untuk berkomunikasi baik secara
langsung(tatap muka) atau tidak langsung(media).Setelah itu guru harus menyesuaikan
topic/diri/tema yang sesuai dengan umur si komunikan,juga harus menentukan tujuan
komunikasi/maksud dari pesan agar terjadi dampak/effect pada diri komunikan sesuai dengan
yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai