Anda di halaman 1dari 9

KUMPULAN TANYA JAWAB PIT IPD XIX MALANG 2020

SESI 2 - 21 AGUSTUS 2020


“PERAN VAKSINASI PADA DEWASA DALAM MENGHADAPI TATANAN BARU”

PEMATERI : Dr. dr. Gatot Soegiarto, Sp.PD, K-AI, FINASIM

1. Doni Ardian Putranto 02:59 PM


Q : Antibodi, baik itu tinggi rendahnya titer atau lamanya dalam plasma sangat berpengaruh
dalam imunitas tubuh. Manakah yang lebih baik, antibodi karena infeksi langsung virus atau
karena vaksinasi?
A : Antibodi, baik itu tinggi rendahnya titer atau lamanya dalam plasma sangat berpengaruh
dalam imunitas tubuh. Betul sekali.
Manakah yang lebih baik, antibodi karena infeksi langsung virus atau karena vaksinasi? Infeksi
langsung tentu akan menimbulkan kekebalan yang lebih natural dan lengkap karena sistem
imun mengenali virus secara utuh dan kita tahu bahwa satu virus memiliki sejumlah epitope
(antigenic determinant) yang masing-masing dikenali oleh sistem imun dan menimbulkan
kekebalan spesifik (antibodi dan sel T sitotoksik, sel T helper) terhadap berbagai epitope
tersebut. Jika suatu saat virus yang sama menyerang lagi, maka sistem kekebalan kita sudah
punya berbagai senjata dengan berbagai macam target epitope untuk mengeliminasi virus
tersebut dan mencegah reinfeksi.
Vaksinasi adalah upaya artifisial untuk merangsang timbulnya kekebalan tanpa harus menjadi
sakit (atau mengalami infeksi natural). Karena itu berbagai macam strategi diteliti dan
dikembangkan agar dapat diperoleh kekebalan tubuh yang sebisa mungkin mendekati infeksi
langsung (natural). Dalam kaitan itu dikenal terminologi Imunogenicity dan Tolerability (atau
Safety). Dalam gambar di bawah jelas bahwa jenis vaksin yang memberikan tingkat rangsangan
imunologis terkuat (memberikan efficacy terbaik) adalah tipe vaksin replicating, terutama jenis
live attenuated.

Namun, vaksin jenis ini adalah vaksin yang juga paling mengandung bahaya karena virus hanya
dilemahkan dan masih mampu bereplikasi dalam tubuh resipien, sehingga pada resipien yang
daya tahan tubuhnya lemah (immunocompromized, immunodeficiency) vaksin jenis ini
dikhawatirkan dapat menimbulkan infeksi, bukan proteksi, karena itu dikontraindikasikan.
Di sisi lain, menggunakan vaksin jenis non-replicating adalah cara yang lebih aman, namun dari
segi Immunogenicity (atau efficacy) akan terjadi penurunan. Untuk mengatasi hal itu para
peneliti berusaha menambahkan adjuvant agar diperoleh tingkat immunogenicity nya dapat
ditingkatkan tetapi vaksin tetap aman dan dapat ditolerir (gambar bawah).

2. Atina Nabilah 03:00 PM


Q : Baru-baru ini ada rencana penyuntikan vaksin sinovac ke dokter dan perawat dari program
pemerintah. apakah vaksin tersebut aman untuk digunakan? dan apa sebenarnya dasar
pemilihan pelaksanaan vaksin sinovac kepada petugas kesehatan ?
A : Apakah vaksin Sinovac tersebut aman untuk digunakan ? Sebelum menjawab pertanyaan ini
perlu saya informasikan bahwa vaksin produk Sinovac tersebut adalah vaksin jenis inactivated
virus (non-replicating), jadi dari sisi imunogenisitas masih dibawah jenis live-attenuated virus.
Mengingat virus SARS-CoV-2 ini sangat berbahaya dan mampu menyebar dengan cepat dengan
tingkat mortalitas yang cukup tinggi pada individu-individu yang memiliki komorbid, maka
pemilihan jenis ini sangat bisa diterima. Untuk meningkatkan tingkat imunogenisitasnya
digunakan alum sebagai bahan adjuvant . Vaksin yang diujicobakan di Bandung tersebut adalah
uji klinis fase III, artinya vaksin tersebut sudah lolos dari tahap kajian keamanan. Kajian tingkat
keamanan suatu produk obat atau farmasi (termasuk vaksin) diuji pada uji klinis tahap I (lihat
Gambar bawah). Jadi vaksin tersebut sudah melewati fase penelitian atau uji pre-klinik, lalu uji
klinis fase I (uji keamanan dan rentang dosis aman), dan uji klinis fase II (uji efektivitas pada
sejumlah individu terbatas dan memastikan keamanan). Uji klinis fase III dilakukan untuk
mengkonfirmasi efektivitas vaksin pada jumlah individu yang lebih banyak.
Apa sebenarnya dasar pemilihan pelaksanaan vaksin Sinovac kepada petugas kesehatan ?
Petugas kesehatan adalah pihak yang tidak bisa dan tidak boleh melarikan diri dari tugas mulia
merawat pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan berbagai tingkat keparahan dan tingkat
penularan (virulensi). Namun sudah menjadi dogma yang digarisbawahi pula oleh WHO bahwa
dalam menolong korban, maka keselamatan penolong harus dipastikan terlebih dahulu agar
tidak malah ikut menjadi korban. Maka seperti halnya anjuran vaksinasi influenza tahunan,
petugas kesehatan dianjurkan untuk menjadi pihak pertama yang divaksin, agar dapat
membantu menolong merawat dan mengobati pasien tanpa harus mengalami risiko terinfeksi
dengan segala akibatnya. Virus SARS-CoV-2 terbukti lebih ganas daripada virus influenza. Di
Indonesia sampai saat terakhir sudah ada 94 orang dokter (umum maupun spesialis) yang
meninggal dunia akibat terinfeksi SARS-CoV-2, belum terhitung pula jumlah paramedik yang
meninggal. Sebagian besar tertular dari pasien yang mereka tangani atau tertular dari sesama
sejawat yang sakit tanpa menimbulkan gejala yang nyata atau ringan. Maka, sejalan dengan
rekomendasi WHO dan agar petugas kesehatan dapat dengan leluasa menangani pasien COVID-
19 karena mereka sudah punya kekebalan, vaksin ini seyogyanya diprioritaskan pada petugas
kesehatan dulu, selain juga untuk anggota masyarakat luas yang memiliki kerentanan lebih
untuk terinfeksi virus, misalnya yang memiliki komorbid tertentu.
3. Galuh rahmayani 03:03 PM
Q : Untuk kasus Covid19, beberapa pasien yang reinfeksi malah justru kondisinya malah
perburukan bahkan meninggal, sedangkan saya pahami, sudah ada vaksin untuk Covid19,
apakah ini bisa diyakini untuk tidak terjadi perburukan nantinya? bagaimana mekanismenya?
A : Masih menjadi kajian serius apakah kasus yang membaik dan sudah tanpa gejala, lalu
kembali memburuk itu karena reinfeksi ataukah karena reaktivasi. Sebagian besar ahli
cenderung menyebutnya sebagai reaktivasi. Percobaan pada kera (non-human primates)
membuktikan bahwa kasus reinfeksi itu kemungkinannya kecil [Reinfection could not occur in
SARS-CoV-2 infected rhesus macaques (Linlin Bao, et al., 2020)]. Walaupun demikian masih
banyak yang tidak serta-merta menyingkirkan sama sekali kemungkinan reinfeksi. Bukankah
setelah infeksi natural dan sembuh maka dalam tubuh terbentuk kekebalan berupa antibodi?
Jawabnya ya. Tetapi fakta lain menunjukkan bahwa titer antibodi pada pasien-pasien COVID-19
yang sembuh ternyata banyak yang rendah dan tidak bertahan lama (sekitar 60 hari atau 2-3
bulan) [Longitudinal evaluation and decline of antibody responses in SARS-CoV-2 infection
(Jeffrey Seow, 2020); Disappearance of antibodies to SARS-CoV-2 in COVID-19 patient after
recovery (Anding Liu, 2020)]. Lalu kemungkinan adanya mutasi virus SARS-CoV-2, terutama pada
molekul spike protein (RBD, receptor binding domain) atau epitope dominan lainnya, akan
membuat antibodi primer mungkin tidak bersifat neutralizing untuk jenis strain atau varian virus
baru yang menyerang sehingga malah terjadi antibody-dependent enhancement (ADE)
memudahkan virus masuk ke dalam sel dengan segala akibatnya. Oleh karena itu vaksin yang
sedang dikembangkan untuk COVID-19 ini juga perlu diuji apakah (1) efektif, artinya bersifat
neutralizing sehingga bersifat protektif, menghalangi ikatan virus dengan reseptor spesifiknya
dan dengan demikian mencegah infeksi, dan (2) aman, artinya tidak menimbulkan hal-hal yang
malah akan memicu ADE dan membahaykan pasien. Semua itu perlu diuji dalam penelitian, dan
dalam penelitian tentu subyek diamati secara teliti dan sudah disiapkan langkah-langkah yang
diperlukan seandainya sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (adverse event, maupun
serious adverse event). Data hasil uji klinis fase I (memastikan keamanan vaksin) tentu juga
menjadi acuan para peneliti. Mekanisme ADE dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
4. Stephen Harsono 03:07 PM
Q : Covid termasuk dalam RNA virus. Apakah pemberian vaksin covid nantinya diperlukan
booster atau vaksin ulang ?
A : Jawabnya ya. Booster atau ulangan akan bermanfaat merangsang lebih lanjut sel B memory
dan sel T memory untuk menghasilkan respons imun sekunder yang memiliki amplitudo (titer
antibodi) yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih cepat, dan dengan afinitas yang semakin kuat
terhadap antigen virus atau patogen yang menyerang. Klas antibodi yang terbentuk juga akan
bergeser dari IgM pada infeksi primer atau pada suntikan vaksin pertama, menjadi IgG pada
infeksi ulangan (dengan virus yang sama) atau suntikan vaksin booster. Lihat gambar berikut

5. Gestana andru 03:12 PM


Q : Apakah sudah ada bukti ilmiah bahwa antibodi IgM dan IgG terhadap virus SARS CoV2 ini
bersifat protektif, dan protektif juga untuk varian subtipe atau mutasi SARS CoV2 yang lain?
A : Apakah sudah ada bukti ilmiah bahwa antibodi IgM dan IgG terhadap virus SARS CoV2 ini
bersifat protektif ? Jawabnya ya. Terbukti dari para pasien yang sembuh dari infeksi COVID-19
dan tidak mengalami infeksi ulang atau reaktivasi. Bukti lain adalah adanya plasma
reconvalescence (mengandung antibodi anti SARS-CoV-2 yang menyerang pasien yang
kemudian sembuh) yang jika diberikan lebih dini dapat membantu mencegah sakitnya resipien
ke tahap yang lebih berat.
Apakah juga akan protektif untuk varian subtipe atau mutasi SARS CoV2 yang lain ? Jawabnya
mungkin ya dan mungkin tidak. Mungkin ya jika mutasi yang terjadi pada virusnya tidak
mengenai epitope dominan seperti spike protein atau receptor binding domain (RBD). Mungkin
tidak jika terjadi mutasi ditempat-tempat tersebut yang membuat antibodi yang sudah
terbentuk dari infeksi sebelumnya malah memudahkan virus masuk ke dalam sel melalui
mekanisme antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang telah diuraikan di atas,
dengan segala akibatnya.
6. Oktofina Katerina Mose 03:15 PM
Q : Apakah ada hubungan/keuntungan melakukan vaksinasi influensa selama pandemi covid-19?
A : Ada beberapa pertimbangan. Virus influenza menyerang sepanjang tahun (di Indonesia dan
negara-negara tropis lainnya) atau secara musiman tiap tahun terutama di musim gugur (di
negara-negara sub tropis dengan 4 musim). Dengan demikian selalu ada ancaman infeksi virus
influenza. Orang yang terinfeksi virus influenza biasanya akan mengalami gejala common cold
(selesma) sedang sampai berat yang juga mengakibatkan terjadinya asthenia saat sakit serta
post-virus infection syndrome pada masa pemulihannya. Kondisi itu membuat seseorang relatif
lebih rentan terinfeksi virus atau bakteri patogen lainnya (dalam bentuk superinfeksi atau infeksi
sekunder). Dengan demikian upaya untuk melindungi diri dari infeksi virus influenza (dan juga
dari bakteri pneumococcus penyebab pneumonia), salah satunya melalui vaksinasi, adalah
strategi yang masuk akal. Selain itu, gejala-gejala flu-like syndrome yang timbul akibat infeksi
virus influenza (dan virus-virus respiratorik lainnya) dapat disalah-artikan atau dicurigai sebagai
manifestasi klinis COVID-19 yang tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk memeriksakan
diri (rapid test, swab hidung dan tenggorokan, serta pemeriksaan screening lainnya yang
mungkin diperlukan untuk mendeteksi dini atau menyngkirkan kemungkinan COVID-19), harus
terpaksa ke rumah sakit yang juga meningkatkan risiko terpapar dan terinfeksi COVID-19 di
masa pandemi ini. Dipandang dari sudut itu tentu vaksinasi influenza tahunan memberikan
keuntungan.
Namun demikian, tidak bisa dklaim bahwa vaksinasi terhadap virus influenza (yang bersifat
spesifik terhadap strain virus influenza dalam komponen vaksin, baik trivalent atau quadrivalent)
nantinya juga akan memberikan proteksi (berupa specific neutralizing antibody) terhadap virus
SARS-CoV-2.
7. Komalawati Komalawati 03:24 PM
Q : Apakah seseorang yang sudah di vaksinasi, orang tersebut tidak akan terinfeksi dengan
covid-19 lagi?
A : Jawabannya mungkin ya dan tidak, sesuai atau senada dengan jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaan sebelumnya di atas (nomor 3 dan nomor 5).
8. Antiek Primardianti 03:25 PM
Q : Bagaimana pertimbangan vaksinasi untuk individu dengan gangguan imunitas?
A : Apa yang anda maksudkan dengan individu dengan gangguan imunitas ? Penyakit
imunodefisiensi ? Atau penyakit autoimun ? Atau penyakit alergi ? Untuk pasien dengan kondisi
imunodefisiensi jenis vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine) merupakan
kontra-indikasi. Untuk pasien dengan alergi, yang perlu diperhatikan adalah riwayat reaksi alergi
berat terhadap telur ayam (karena beberapa jenis vaksin proses pembuatannya melalui fase
yang menggunakan telur ayam). Jika riwayat reaksi alergi sebelumnya adalah syok anafilaktik
maka pemberian vaksin yang mengandung komponen alergen terkait dikontraindikasikan. Jika
riwayat reaksi alerginya berupa gatal atau biduran yang tidak membahayakan, maka vaksinasi
tetap boleh dilakukan tetapi harus dibawah supervisi spesialis ahli alergi yang siap dengan
tidakan darurat jika diperlukan. Untuk penyakit autoimun sebenarnya tidak ada kontraindikasi
absolut, namun jika diperlukan vaksinasi pada pasien autoimun sebaiknya ditunggu ketika
kondisi penyakitnya dalam keadaan remisi (terkendali) dan sebaiknya ketika dosis
imunosuppresantnya paling rendah (karena dosis imunosuppresant yang tinggi juga akan
menurunkan efektifitas vaksin). Walaupun sangat jarang, pernah dilaporkan adanya beberapa
penyakit autoimun yang dipicu oleh vaksinasi (misalnya vaksinasi influenza atau meningitis
dengan kejadian Guillain-Barre syndrome, atau vaksin HBV dengan SLE atau RA). Hal tersebut
diduga karena dalam tubuh resipien sebenarnya sudah ada autoantibodi yang tidak aktif tetapi
menjadi aktif setelah mendapatkan antigen mikroba atau molekul adjuvantnya yang terkandung
dalam vaksin melalui mekanisme molecular mimicry dan bystander activation (lihat gambar di
bawah). Kita mungkin bisa mengidentifikasi orang-orang dengan autoantibodi tersebut dengan
ANA test (metode IFA) namun hasil positif palsu juga mungkin akan merepotkan interpretasi,
karena itu pemeriksaan ini juga tidak direkomendasikan sebagai screening pada calon resipien
vaksin atau pasien lain yang tidak ada kecurigaan klnis mengidap penyakit autoimun.

9. Maimun Zulhaidah Arthamin 03:32 PM


Q : Mohon penjelasan dokter yang dimaksud dengan vaksin recombinant viral vectors itu
berasal dari vektor apa?
A : Seperti telah disebutkan di atas, bahwa untuk meningkatkan tolerabilitas (safety) dari suatu
vaksin maka digunakan platform vaksinasi jenis non-replicating, salah satunya dengan
menggunakan subunit protein virus yang diharapkan dapat memicu kekebalan terhadap
virusnya secara utuh. Cara ini dapat dicapai tanpa harus memasukkan protein virusnya, tetapi
dengan teknologi modern dapat dilakukan cukup dengan merangsang agar sel tubuh kita dapat
memproduksi protein virus tersebut dengan menggunakan perantara, misalnya vektor
rekombinan adenovirus untuk tranfer genetiknya. Vektor adenovirus banyak dipilih karena (1)
lebih aman, walaupun adenovirus termasuk yang bereplikasi tetapi tidak menghasilkan virus
yang infeksius, hanya menghasil protein virus yang dikehendaki (2) hampir semua protein
adenovirus memiliki imunogenisitas yang tinggi,(3) karena dapat memicu pembentukan antigen
protein virus secara endogen, maka respons imun yang dibangkitkan lengkap meliputi respons
imun humoral maupun seluler. Prosedurnya dapat dilihat ecara sederhana pada Gambar di
bawah ini. ChAdOx1 nCoV-19 vaccine adalah vaksin yang menggunakan rekombinan adenovirus
Chimpanzee (dibuat agar tidak lagi bersifat infeksius) lalu secara genetik dimodifikasi agar
mampu mengekspresikan gene yang mengkode spike protein SARS-CoV-2. Ketika vaksin ini
disuntikkan ke resipien, maka tubuh resipien akan bereaksi dengan menghasilkan spike protein
SARS-CoV-2 yang pada gilirannya akan memicu terbentuknya respons imun (humoral maupun
seluler) terhadap spike protein tersebut.

Beberapa keuntungan menggunakan adenovirus sebagai vektor pembuatan vaksin (misalnya


pada vaksin influenza) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

10. Imelda Imelda 03:36 PM


Q : Apa manfaat vitamin E untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19 ?
A : Nutrisi yang lengkap dan seimbang tentu membawa manfaat positif untuk kekebalan tubuh,
termasuk kekebalan terhadap infeksi virus secara non spesifik. Berdasarkan kajian beberapa
literatur yang sudah dipublikasikan, vitamin A dan vitamin D berpotensi memberi manfaat.
Namun belum ada satupun bukti ilmiah yang mendukung bahwa konsumsi vitamin dapat
mencegah infeksi COVID-19, termasuk khususnya pemberian vitamin E. Memang kekurangan
vitamin E dikatakan dapat mengganggu imunitas huoral maupun seluler, tetapi suplementasi
vitamin E yang berlebihan justru mungkin malah meningkatkan risiko infeksi, termasuk
pneumonia [Vitamin E supplementation and pneumonia risk in males who initiated smoking at
an early age (H. Hemila et al., 2008)].

Anda mungkin juga menyukai