Anda di halaman 1dari 4

KUMPULAN TANYA JAWAB PIT IPD XIX MALANG 2020

21 AGUSTUS 2020
SESI : PERAN VAKSINASI PADA DEWASA DALAM MENGHADAPI TATANAN BARU

PEMATERI : Dr. dr. C. Singgih Wahono, Sp.PD-KR

1. I Ketut Suardana 02:55 PM


Q : Pada infeksi COVID kedua atau reinfeksi, apakah manifestasi klinis akan lebih ringan atau
lebih berat? apakah fungsi memori pada imun kita dapat mengenali sars cov-2 lebih mudah ?
A : Terimakasih dr. Ketut atas pertanyaannya. Pada reinfeksi, secara teori yang sudah kita
ketahui Bersama dan berlaku untuk semua infeksi, dalam kondisi normal, akan terjadi respons
imun adaptif yang lebih cepat, lebih kuat dan kadar lebih tinggi disbanding infeksi yang pertama.
Jadi seharusnya manifestasi klinis pada reinfeksi, akan lebih ringan. Benar, hal ini karena adanya
memori pada sel adaptif. Fenomena ini sama dengan fenomena vaksinasi. Untuk COVID-19,
sampai sekarang laporan reinfeksi masih belum jelas, jadi kita masih menunggu laporan-laporan
ilmiah mendatang. Terimakasih.
Referensi: Abul K Abbas. Basic Immunology. 6th ed. 2019.

2. Segal Abdul Aziz 02:56 PM


Q : Apakah cytokine storm itu terjadi pada sistem immune yang impaired atau justru yang
adekuat? Bukankah cytokine-cytokine itu diproduksi oleh sel-sel immune?
A : Terimakasih dr. Segal atas pertanyaannya. Pada infeksi SARS-CoV-2 dalam jumlah virus yang
sedikit dan atau imunitas kita baik, maka pada umumnya respons imun kita baik innate maupun
adaptif, humoral maupun selular, mampu untuk mengeliminasi virus, sehingga pasien tidak
bergejala, atau bermanifestasi ringan lalu sembuh. Pada infeksi SARS-CoV-2 dalam jumlah tinggi,
serta imunitas pasien kurang atau ada komorbiditas, ada genetik tertentu (sedang diteliti), maka
virus dapat menghindari respons imun pasien, sehingga semakin banyak, dan akan mnstimulasi
terjadinya cytokine storm dan manifestasi klinis yang berat.
Referensi: Azkur, et al. Allergy, Volume: 75, Issue: 7, Pages: 1564-1581, First published: 12 May 2020, DOI:
(10.1111/all.14364)

3. Andreas Wilson Setiawan 02:58 PM


Q : Apabila pada infeksi SARS COV pada stadium sedang, kita berikan terapi obat inhibitor IL6
(contoh actemra) atau diberikan injeksi immunoglobulin akan mempunyai efek lebih bagus
dibandingkan bila diberikan pada infeksi SARS COV berat ? atau obat-obat tersebut hanya boleh
digunakan pada fase yang berat saja ?
A : Terimakasih dr. Andreas pertanyaannya. Sampai sekarang belum ada RCT untuk pemberian
Tocilizumab (TCZ) untuk COVID-19 ini, namun saya akan mencoba menjawab dari sumber yang
telah ada. Apabila anti IL-6 kita berikan pada pasien yang stadium sedang, dikhawatirkan
pemberian tersebut akan memperberat keadaan, apalagi bila ada infeksi sekunder bakterial,
misalnya pneumonia bakterial, atau infeksi yang lainnya. Hal ini karena IL-6 sangat diperlukan
untuk meningkatkan respons imun melawan infeksi. Terbukti dari beberapa laporan bahwa
terdapat peningkatan angka infeksi bacterial setelah pemberian TCZ pada pasien COVID-19.
Pada saat infeksi sedang, belum terjadi badai sitokin, maka pemberian inhibitor tersebut akan
menghambat fungsi IL-6 yang jumlahnya belum terlalu meningkat. Namun, efektivitas TCZ pada
COVID-19 memang masih perlu penelitian uji klinis dengan metode yang baik.
Reff: Cortegiani, et al. 2020. Rationale and evidence on the use of tocilizumab ini COVID-19: a resystematic review.
Pulmonology. https://doi.org/10.1016/j.pulmoe.202007.003

4. Stephen Harsono 03:07 PM


Q : Harapan dari negara adalah herd immunity. untuk mencapai herd immunity diperlukan
masyarakat yang memiliki ketahanan covid. apakah untuk mencapai herd immunity diperlukan
masyarakat terpapar covid?
A : Terimakasih dr. Stephen atas pertanyaanya. Herd immunity tercapai umumnya bila 80%-85%
populasi mempunyai kekebalan terhadap suatu penyakit infeksi. Untuk campak bahkan perlu
90-95%. Para ahli memperkirakan untuk COVID-19 diperlukan setidaknya minimal 67%. Untuk
mendapatkan herd immmnity ini tidak diperlukan paparan COVID-19 terhadap masayarakat
(sangat tidak etis), namun diperlukan vaksinasi masal, dengan minimal 67% populasi
mendapatkan vaksinasi yang efektif.
Reff: Frederiksen, et al. Front. Immunol., 21 July 2020 | https://doi.org/10.3389/fimmu.2020.01817

5. Ida Dwi Rahmawati 03:22 PM


Q : Bagaimana respon imun terhadap terapi konvalesen, apakah sama dengan respon imun
terhadap vaksin?
A : Terimakasih dr Ida atas pertanyaannya. Vaksinasi merupakan imunisasi aktif, dimana pada
individu sehat diberikan antigen atau mikroba yang dilemahkan, sehingga tubuh individu
tersebut membentuk respons imun sendiri terhadap mikroba tersebut, baik humoral maupun
seluler. Terapi plasma konvalesen (TPK) merupakan suatu bentuk imunisasi pasif, dimana
plasma dari pasien yang sudah sembuh dari suatu penyakit infeksi (misalnya COVID-19) yang
mengandung antibodi terhadap SARS-CoV-2, diberikan kepada pasien lain yang sedang
menderita COVID-19. Pemberian TPK ini diharapkan akan terjadi eliminasi virus oleh antibodi
dari donor tersebut.

6. Dwi Noviyanti 03:25 PM


Q : Apakah imunitas dipengaruhi dengan kondisi psikis juga?
A : Terimakasih dr. Dwi atas pertanyaannya. Sejak tahun 1980, telah berkembang suatu
ketertarikan dan banyak publikasi tentang keterkaitan psikis, perilaku dengan imunitas, yang
disebut sebagai psikoneuroimunologi, yang berkembang juga menjadi
psikoneuroendokrinoimunologi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stress dalam waktu
lama akan menurunkan imunitas.
Reff: Zachariae. Scand J Psy.2009. (50)6. https://doi.org/10.1111/j.1467-9540.2009.00779.x

7. Risna Sagitasari 03:26 PM


Q : Apakah jika kadar IgM masih tinggi bisa menandakan masa konvalesen belum terjadi karena
pada pedoman covid terbaru tidak dilakukan evaluasi dengan pcr lagi setelah menjalani masa
isolasi pada pasien asimptomatik atau simptomatik ringan?
A : Terimakasih dr. Rina atas pertanyaannya. Kadar IgM yang masih tinggi tidak dapat
menunjukkan bahwa masa konvalesen belum terjadi, karena kadar IgM masih cukup tinggi
setelah 1 bulan, dimana mungkin RT-PCR sudah negatif. Mungkin bisa dilihat pada gambar di
bawah ini:

Reff: Lee, et al. Front. Immunol., 24 April 2020 | https://doi.org/10.3389/fimmu.2020.00879

8. Maimun Zulhaidah Arthamin 03:26 PM


Q : Saya pernah membaca di hasil riset pada jurnal bahwa pada SARS-CoV-2 bisa terjadi IgM
muncul bersamaan bahkan setelah kemunculan IgG. Mohon penjelasan ?
A : Terimakasih dr. Maimun atas pertanyaannya. Hal ini memang dilaporkan pada penelitian
oleh: Long dkk, 2020, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

Terdapat 3 kelompok pasien: (1) Serokonversi IgG mendahului IgM (2) Serokonversi IgG dan
IgM bersamaan (3) Serokonversi IgM mendahului IgG.
Penjelasan tentang fenomena ini (pada kelompok 1 dan 2) belum jelas. Hsueh, dkk., 2004 pada
penelitiannya tentang respons antibodi pada infeksi SARS-CoV melaporkan terjadinya fenomena
ini juga. Secara teori hal ini tidak akan terjadi pada infeksi pertama, namun dapat terjadi pada
infeksi kedua dengan jenis virus yang sama, dimana hal ini mungkin sulit terjadi karena COVID-
19 masih baru saja ditemukan pada Desember 2019. Penjelasan yang lain adalah hal ini dapat
terjadi mungkin karena sensitivitas pemeriksaan IgG yang relatif kurang dibandingkan untuk
IgM.
Reff:
1. Long, et al. 2020. medRxiv preprint doi: https://doi.org/10.1101/2020.03.18.20038018.

2. Hsueh, et al. Clin Microbiol Infect. 2004; 10(12): 1062–1066. doi: 10.1111/j.1469-0691.2004.01009.x

9. Dini Kurnia Sarassati 03:30 PM


Q : Bagaimana efektifitas obat anti leukotrien seperti montelukast. Apakah membantu
mengurangi sitokin storm?
A : Terimakasih dr. Dini atas pertanyaannya. Sampai sekarang belum ada penelitian tentang
peran anti leukotriene pada cytokine storm. Secara patogenesa, sangat memungkinkan hal ini
dilakukan, karena sel mast juga merupakan sumber sitokin-sitokin yang dapat berperan pada
cytokine storm, sehingga mast cell stabilizer termasuk montelukast, berpotensi untuk
digunakan. Namun perlu diingat bahwa penghasil sitokin pada sitokin storm tidak hanya sel
mast, namun juga makrofag, sel T, edotel, dan lain-lain.
Reff: Raymond, et al. 2020. CEBM.net. Available at: https://www.cebm.net/covid-19/mast-cell-stabilisers-
leukotriene-antagonists-and-antihistamines-a-rapid-review-of-effectiveness-in-covid-19/

10. Imelda Imelda 03:36 PM


Q : Apa manfaat vitamin E untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19 ?
A : Terimakasih dr. Imelda atas pertanyaannya. Vitamin E mempunyai efek imunomodulator
terhadap sel-sel imun (makrofag, sel dendritic, sel T, sel NK, dll), meskipun relatif kecil. Ada
beberapa penelitian yang menunjukkan pemberian vitamin E menurunkan angka kejadian
pneumonia dan common cold pada individu perokok dan usia >60 tahun namun ada beberapa
penelitian yang menyatakan tidak ada efek vitamin E terhadap infeksi. Jadi masih kontroversi.
Untuk pengobatan atau pencegahan terhadap COVID-19, sampai sekarang belum ada
penelitiannya.
Reff: Lee & Han. 2018. Nutrien(10)11:1614. doi: 10.3390/nu10111614

Anda mungkin juga menyukai