Anda di halaman 1dari 20

Analisis Penerapan Pajak Terhadap Lembaga Pinjam Meminjam Uang

Berdasarkan Prinsip Syariah Berbasis Teknologi Informasi

Bagas Hersri Yuwono Dan Hari Prasetiyo

Program Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia

E-mail: Hersribagas@gmail.com

Abstrak

Terdapat adanya aspek pembeda antara FinTech Syariah dengan Konvensional, yaitu pada aspek sistem keuntungan
yang ditrapkan pada masing-masing Lembaga FinTech. Sistem yang digunakan pada FinTech Syariah adalah sistem
keuntungan bagi hasil, sedangkan pada FinTech konvensional menerapkan sistem keuntungan bunga. Skripsi ini
membahas tentang sistem keuntungan bagi hasil antara para pihak yang melakukan perikatan yang diterapkan didalam
Lembaga Pinjam Meminjam Berdasarkan Prinsip Syariah Berbasis Teknologi Informasi. Selain itu skripsi ini
membahas mengenai penerapan dan pemungutan pajak pada kegiatan sistem keuntungan bagi hasil yang diterapkan
pada Lembaga FinTech syariah. Maka penulis mempunyai sebuah pokok masalah yang dijadikan dasar masalah dalam
penelitian dan juga penulisan skripsi ini yaitu: (1) Bagaimana penerapan Bagi Hasil pada kegiatan usaha syariah
berbasis Teknologi Informasi? (2) Bagimanakah penerapan Pajak Penghasilan terhadap keuntungan atas Bagi Hasil
Pada Mekanisme Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi? sehingga metode penelitian yang penulis
gunakan berbentuk Yuridis Normatif. Dengan demikian, bagi hasil yang diterapkan pada FinTech Syariah dengan
kesepakatan pihak pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman yang didasarkan pada presentase keuntungan yang
telah disepakati oleh kedua pihak. Penerapan perpajakan bagi hasil dengan mengacu pada ketentuan pada Pasal 4 ayat
(2) UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Kata Kunci: Financial Technology; Keuntungan Bagi Hasil; Pajak Penghasilan; Peer-to-peer landing.

Analysis of the Application of Tax Against Peer to Peer Lending Based on Sharia Principles
Based on Information Technology

Abstract

There is an aspect that differentiates Sharia and conventional FinTech, which is the profit system
implemented in each FinTech Institution. The system implemented in Sharia FinTech is revenue
sharing, whereas conventional FinTech implements the interest-based profit system. This thesis
will discuss the revenue sharing system between parties involved in an agreement with the Lending
and Borrowing Money Institutions Based on Information Technology-based Sharia Principles.
Moreover, this thesis discusses the implementation and collection of tax on revenue-sharing
system activities in a Sharia FinTech. Based on this, the problems that can be formulated are: (1)
How is the application of Revenue Sharing system in information technology-based sharia
business activities?; (2) How is the collection of Income Tax on profits for revenue on the
mechanism of peer-to-peer lending money based on information technology? Through normative

Universitas Indonesia
legal studies, this thesis found that the profit sharing is applied to Sharia FinTech with an
agreement between the lenders and the loan recipients based on the percentage of profits agreed
by both parties. Application of profit-sharing tax is regulated by the provisions in Article 4 (2) of
the Income Tax Law No. 36 of 2008.

Keyword: Income taxes; peer-to-peer lending; Financial Technology.

Pendahuluan
Dengan melihat kondisi perekonomian di Indonesia, banyak bermunculan usaha-usaha
yang saat ini yang dapat berperan dan memiliki posisi penting dalam membantu perkembangan
serta pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Usaha-usaha tersebut juga memiliki sistemnya
masing-masing sesuai dengan bidang apa usaha tersebut berjalan, jenis bidang usaha yang
dimaksud adalah usaha dengan sistem konvensional dan juga dengan sistem syariah. Dalam hal
industri perbankan syariah, telah mengalami perkembangan yang pesat semakin memiliki landasan
hukum yang memadai yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.1 Dengan lahirnya UU yang mengatur mengenai perbankan syariah tersebut,
dapat dijadikan sebuah dorongan dan juga dasar untuk industri berbasis syariah, sehingga dapat
bersaing dengan industri konvensional.

Dilain sisi, jika melihat efek dari globalisasi dan mengalami perkembangan yang sangat
pesat terutama dalam hal teknologi informasi maka telah memasuki revolusi industri 4.0 yang
mana adanya dampak dari revolusi industri 4.0 adalah lahirnya lembaga pemberi pinjaman pada
layanan meminjam uang dengan sistem Financial Technology. Namun, jenis usaha konvensional
adalah jenis usaha yang pertama untuk menggunakan sistem Financial Technology dalam aspek
layanan meminjam uang. Namun kelahiran dari Financial Technology tersebut berawal dari
revolusi indutsri 3.0 yang ditandai dengan mulai maraknya perkembangan bisnis berbasiskan
elektronik dengan sepenuhnya menggunakan data jaringan atau online system2. Agar jenis usaha
syariah tidak kalah bersaing dengan jenis usaha konvensional, maka jenis usaha syariah mulai
memasuki dan menerapkan sistem Financial Technology untuk mengikuti dan menanggapi

1
Hasan, “Analisis Industri Perbankan Syariah Di Indonesia,” Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan Vol.
1( Juli 2011),hlm. 20.
2
Yunus, Widjaja., Setya, Almatius., “Industri 4.0 dan Dampaknya Terhadap Financial Technology Serta
Kesiapan Tenaga Kerja Di indonesia”, Ikraith Ekonomika, Vol. 2, Juli 2019, hlm. 5.

Universitas Indonesia
fenomena revolusi industri 4.0. Baik dari jenis usaha konvensional dan jenis usaha syariah dengan
sistem Financial Technology memakai atau menjalankan sistem berbasis digital dan juga internet,
namun yang membedakan jenis usaha konvensional dengan jenis usaha syariah, yaitu jenis usaha
syariah tetap berlandaskan pada sistem Hukum Islam, Sehingga lembaga-lembaga peminjam uang
dengan sistem Financial Technology Syariah pada usaha syariah tetap tetap sesuai dengan Hukum
Islam.

Model atau sistem bisnis dari lembaga yang menerapkan pendanaan melalui Financial
Technology Syariah tersebut, yaitu merupakan lembaga yang berbentuk peer-to-peer lending yang
dengan menggunakan sistem aplikasi yang dapat diakses dengan internet, juga merupakan
lembaga yang memberikan pinjaman pribadi tanpa riba serta tanpa jaminan syariah sesuai dengan
aturan Hukum Islam, sehingga menmggunakan sistem keuntungan bagi hasil. Lembaga tersebut
mempunyai konsep mempertemukan antara pihak yang membutuhkan modal dengan orang yang
mempunyai modal, maksud atau konteks mempertemukan antara keduanya adalah tetap tidak
bertemu secara bertatap muka melainkan mempertemukan secara online yaitu melalui aplikasi
yang dibuat oleh lembaga tersebut. Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018
Tentang Layanan Pembiayaan Teknologi Informasi berdasarkan prinsip syariah yang berisikan
dan mengatur mengenai jenis dan cara pembiayaan untuk pelaku usaha yang melalui jaringan
internet dengan pembayaran melalui penyelenggaraan jasa pembayaran.

Sebagai salah satu contoh, mekanisme dalam Financial Technology Syariah pada Lembaga
Alami Sharia yaitu, menerapkan sistem Non-direct funding yaitu pelaku Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). wajib menjadi bagian atau anggota terlebih dahulu dari mitra keuangan
syariah mikro yang terdaftar di Lembaga Alami Sharia yang berfungsi menjadi lembaga kurasi
kelayakan usaha UMKM yang akan didanai bersama oleh para pendana melalui skema
pendanaan3. Sedangkan dengan model atau sistem yang diterapkan pada layanan pinjam
meminjam uang melalui Financial Technology Konvensional, tidak berbeda jauh dengan
Financial Technology Syariah yaitu yang menerapkan jasa minjam meminjam uang tanpa harus
bertatap muka secara langsung.

Rio, ”7 Pinjaman syariah online terbaik 2019 (Terdaftar OJK) “ https://duwitmu.com/pinjaman-online/,


3

diakses 17 September 2019)

Universitas Indonesia
Perbedaan kedua jenis usaha konvensional dengan syariah pada sistem atau model layanan
meminjam uang yang dijalankannya sangat terlihat, yaitu pada lembaga jenis usaha konvensional
menargetkan pada suatu keuntungan dengan menerapkan sistem bunga, sedangkan jenis usaha
syariah sangat menghindarkan bunga, karena menurut jenis usaha syariah menganggap sistem
bunga merupakan riba dan suatu hal yang tidak halal. Dengan demikian pada jenis usaha syariah
menerapkan sistem keuntungan yang berbeda, yaitu pembagian keuntungan dari hasil pendanaan
produktif dengan sistem bagi hasil antara pendana atau pemodal dengan yang diberikan modal
atau pembagian keuntungan bagi hasil. Dengan prinsip sistem bagi hasil yang digunakan atau
diterapkan oleh usaha syariah, membuat usaha dengan Teknologi Informasi berbasis syariah
mendapat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Teknologi Informasi berbasis
konvensional.

Namun terdapat adanya suatu polemik dalam penerapan dan juga pemungutan Pajak
Penghasilan, yang juga menjadi dasar terbentuknya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Kegiatan Usaha Syariah, permasalahan tersebut pada khususnya
adanya pembeda penerapan pajak antara kegiatan usaha konvensional dengan Syariah pada
industri yang sama. Berdasarkan Pasal 3 PP No. 25 tahun 2009 bahwa, peraturan pemerintah
tersebut bersifat mutandis yang artinya bahwa penerapan peraturan mengenai Pajak Penghasilan
(PPh) mengatur secara umum.4 Dalam hal ini mengacu pada Undang-undang perpajakan secara
umum mengenai Pajak Penghasilan, yaitu UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan juga
berlaku untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, sehingga penerapan dan penarikan
pajak pada layanan meminjam uang dengan Financial Technology berdasarkan prinsip Syariah
yang menggunakan system keuntungan bagi hasil mengacu pada UU No. 36 tahun 2008 tentang
Pajak Pengashilan, tepatnya yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan.

4
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. PP No, 25
tahun 2009, Ps. 1 angka 2.

Universitas Indonesia
Perumusan Masalah

Dengan Latar Belakang tersebut, maka penulis mempunyai pokok masalah yang menjadi
dasar permasalahan untuk melakukan penelitian dan juga penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana penerapan Bagi Hasil pada kegiatan usaha syariah berbasis Teknologi Informasi
dilakukan?
2. Bagaimanakah pemungutan pajak penghasilan terhadap keuntungan atas Bagi Hasil pada
mekanisme pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dapat dilakukan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka pembahasan lebih lanjut mengenai
permasalahan dalam topik yang diangkat penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:

A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini, untuk memberikan sebuah penjelasan atas penerapan
Pajak Penghasilan (PPh) yang diberlakukan terhadap jenis usaha yang berdasarkan prinsip syariah
berbasis Teknologi Informasi

B. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

a. Menganalisis pembagian keutungan dengan sistem bagi hasil yang diberlakukan terhadap industri
atau lembaga peminjaman uang yang berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah
b. Menganalisis penerapan Pajak Penghasilan (PPh) yang diberlakukan terhadap industri atau
Lembaga Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah

Tinjauan Teoritis

Model Bisnis Dengan Berbasis Tekologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah


Berdasarkan Fatwa MUI DSN MUI No.117 Tahun 2018 Tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan prinsip Syariah merupakan instrumen atau dasar
hukum yang menaungi sistem atau jenis usaha syariah dengan basis Financial Technology, model
layanan pembiayaan yang dapat dilakukan berdasarkan Fatwa MUI tersebut, yaitu pembiayaan
anjak piutang yaitu dalam bentuk jasa pengurusan penagihan piutang berdasarkan bukti tagihan.
Lalu pembiayaan pengadaan barang pesanan pihak ketiga yaitu pembiayaan yang diberikan

Universitas Indonesia
kepada pelaku usaha yang telah memperoleh pesanan atau surat perintah kerja pengadaan barang
dari pihak ketiga. Terdapat adanya akad yang mengikat antar para pihak, yaitu:5

a. Qardh, merupakan sebuah akad dari sebuah perjanjian atau perikatan dari sebuah pinjaman
berupa “talangan”, bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai
dengan waktu dan cara yang disepakati. Dalam akad ini, tidak boleh adanya pegambilan suatu
keuntungan dan juga mengembalikan sesuai jumlah yang ditalangi.
b. Wakalah, akad ini merupakan sebuah pelimpahan kekuasaan atau akad yang hanya diwakili oleh
kuasanya dalam akad ini juga diertai dengan imbalan atau “Ujrah” atau Fee.

Penerapan Pajak Bagi Hasil Pada Pajak Penghasilan (PPh)


Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Merupakan
pengaturan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan kepada badan dan orang pribadi berdasarkan
jumlah penghasilan yang diterima selama satu tahun. Biaya yang dikenai pajak tersebut adalah
meliputi biaya untuk kegiatan usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, iuran dana
pensiun, penyusutan atau pengeluaran dan kerugian atas penjualan. Dalam hal ini konsep atau
model bisnis dalam FinTech berbasis syariah menerapkan keuntungan dari pembagian keuntungan
bagi hasil, dimana hal tersebut diatur didalam Pasal 4 ayat (2) UU no. 36 tahun 2008 tentang Pajak
Pengasilan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bahwa
yang menjadi objek pajak adalah sebuah penghasilan, yang merupakan setiap tambahan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Dalam hal ini yang merupakan wajib pajak adalah pihak
yang memberikan sebuah pinjaman atau melakukan pembiayaan.6

5
Wawancara dengan Bapak Abdul Karim Munthe, staff pengajar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, tanggal 15 November 2019.
6
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, UU No.36 Tahun 2008, LN No. 133 Tahun 2008, TLN No.4893, Ps. 4 ayat (2)

Universitas Indonesia
Pajak Penghasilan Atas Kegiatan Usaha Syariah
Berdasarkan Pasal 1 angka (2) PP No. 25 tahun 2009, yang merupakan usaha berbasis
Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah
berdasarkan prinsip Syariah yang meliputi perbankan Syariah, asuransi Syariah, penggadaian
Syariah, dan jasa keuangan Syariah. Bahwa dalam PP No. 25 tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Kegiatan Usaha Syariah bahwa penarikan Pajak Penghasilan atas Kegiatan Usaha
Syariah mengacu pada ketentuan umum penarikan pajak atas bunga yang sudah diatur dalam UU
no. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Pasal 3 PP No. 25 tahun 2009
pemberlakuan Pajak Bagi Hasil atas kegiatan usaha Syariah berlaku Mutandis, yang artinya bahwa
ketentuan perpajakan yang berlaku umujm berlaku pula untuk kegiatan usaha Syariah.

Aspek Perbandingan FinTech Konvensional dengan Syariah


Pada prinsipnya FinTech Syariah memiliki operasional yang sama dengan FinTech
konvensional. Namun berbeda dengan FinTech konvensional, pada FinTech Syariah memberikan
dan menyediakan sebuah layanan pemberian atau peminjaman dana bebas bunga kepada
nasabahnya. Dalam sistem operasional FinTech Syariah, pembayaran dan penarikan bunga
dilarang dalam semua bentuk transaksi, sehingga FinTech Syariah tidak mengenal sistem bunga.
Dengan demikian untuk menggantik sistem keuntungan bunga, dalam FinTech Syariah
menggunakan sistem keuntungan bagi hasil dalam bentuk imbalan telah melakukan sebuah jasa
pembiayaan dengan akad yang ditentukan. Kemudian yang membedakan antara FinTech Syariah
dengan Konvensional, yaitu pada objek pembiayaannya.
Pada objek pembiayaan dalam FinTech Syariah yaitu berupa investasi dalam penyaluran
dana dari pihak yang mempunyai dana kepada pihak membutuhkan dana, kemudian Lembaga
pembiayaan FinTech Syariah sangatlah selektif kepada pihak yang mengajukan suatu pembiayaan,
yaitu hanya boleh mengajukan pembiayaan untuk produk yang halal. Perusahaan yang kerjasama
dengan Lembaga FinTech Syariah, haruslah perusahaan yang memproduksi jasa atau barang yang
halal. Lembaga FinTech Syariah tidak akan membiayai proyek yang terkandung produk yang
diharamkan dalam Agama Islam. Proyek yang dibiayai oleh FinTech Syariah tentunya merupakan
proyek yang jelas mengandung beberapa hal pokok antara lain:
a. Proyek yang dibiayai merupakan proyek yang halal
b. Proyek yang bermanfaat bagi masyarakat

Universitas Indonesia
c. Proyek yang dibiayai merupakan proyek yang menguntungkan bagi pihak Lembaga
penyelenggara maupun mitra usahanya.
Sedangkan dalam FinTech konvensional tidak mempertimbangkan jenis investasinya, akan
tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang menguntungkan, meskipun menurut
Syariah Agama Islam tergolong produk yang haram. Seperti, halnya ketika perusahaan minuman
keras dalam pengajuan dana pembiayaan maka FinTech konvensional dapat melakukan
pembiayaan dalam halnya melakukan membantuk mencarikan pihak yang akan melakukan
pembiayaan kepada perusahaan tersebut selama perusahaan tersebut akan menghasilkan
keuntungan. Namun sebaliknya, dalam FinTech Syariah tidak akan melakukan pembiayaan dan
tidak akan mencarikan pihak yang bisa melakukan pembiayaan kepada perusahaan tersebut
meskipun akan menghasilkan suatu keuntungan.

Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
terhadap hukum positif dan norma tertulis. Penggunaan metode penelitian ini untuk menjawab
permasalahan-permasalahan dalam penelitian berdasarkan hukum positif yang bersangkutan
dengan permasalahan yang akan dibahas. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif dengan pendekatan kepustakaan. Artinya, penulis akan mengacu kepada norma hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.7 Norma yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam UUD
1945, Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Undang-undang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, serta instrumen hukum lainnya seperti DSN MUI No.
117/DSN-MUI/II/2018 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu yang bertujuan menggambarkan
secara tepat keadaan, penerapan hukum serta penarikan pajak terhadap jenis usaha yang
menggunakan konsep dari Financial Technology berdasarkann prinsip syariah. Guna menunjang
penelitian, jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu data dari bahan pustaka. Data
sekunder ini berasal dari sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber hukum

7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.

Universitas Indonesia
tersier. Sumber hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat sehubungan dengan
objek penelitian.8 Sumber hukum primer yang dipergunakan adalah Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang yang berkaitan dengan
Mahkamah Konstitusi, Kekuasaan Kehakiman dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sumber hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan
hukum primer.9 Dalam hal ini, untuk mendapatkan bahan hukum sekunder melalui penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan studi dokumen terhadap referensi-referensi
yang relevan dengan objek penelitian yang didapatkan dari peraturan perundang-undangan, buku,
Jurnal/karya tulis ilmiah, berita dan artikel. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berkaitan dengan penelitian ini diataranya adalah surat kabar, dan internet. Penulis juga
menggunakan data kualitatif, yang artinya penulis melakukan pengambilan data secara langsung
berbentuk wawancara terhadap objek penelitian penulis, yaitu yang dalam hal ini melakukan
wawancara kepada salah satu Lembaga FinTech Syariah yang ada di Indonesia, adalah Alami
Sharia.

Hasil Penelitian

Sistem Keuntungan Bagi Hasil


Suatu sistem yang meliputi pembagian hasil usaha antara pemodal dan pengelola dana dari
pembagian hasil usaha, seperti contohnya antara bank syariah dengan penyimpanan dana serta
antara bank syariah dengan nasabah penerima dana. Sistem bagi hasil tersebut dalam Hukum Islam
merupakan sistem perjanjian atau ikatan bersama dalam melakukan kegiatan usaha, sistem bagi
hasil diperjanjikan pada saat pembuatan kesepakatan dari perjanjian tersebut. Maksud dari bagi
hasil, yaitu adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak
atau lebih. Sistem bagi hasil yang diterapkan didalam FinTech berdasarkan prinsip syariah tidak
berbeda dengan perbankan syariah yaitu yang menentukan bagi hasilnya pada awal terjadinya
kontrak atau akad, besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai

8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 52.
9
Ibid, hlm.52.

Universitas Indonesia
kesepakatan antara kedua pihak, yang juga dilakukan atas dasar kerelaan tanpa adanya unsur
paksaan10

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan terdiri dari dua sistem, yaitu:11

1. Profit Sharing
a. Merupakan sistem dengan bagi keuntungan atau pembagian laba yang didasarkan
pada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan. Dalam praktiknya, yang diterapkan
pada Perbankan syariah yang juga diimplementasikan pada FinTech syariah adalah
profit and loss sharing, yang merupakan sebagai pembagian antara untung dan rugi
dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
b. Dalam sistem ini, didasarkan pada sebuah perjanjian kerjasama antara pemodal
dengan pengelola modal dalam menjalankan suatu kegiatan usaha
2. Reveneu Sharing
a. Dalam perbankan berarti proses bagi pendapatan yang dilakukan sebelum
memperhitungkan biaya-biaya operasional yang diperhitungkan yang ditanggung
oleh bank. Biasanya pendapatan yang didistribusikan hanya sebuah pendapatan atas
investasi dana dan tidak termasuk fee atau jasa-jsa yang diberikan oleh bank.
b. Dalam mekanisme ini, adanya unsur peralihan sistem bag hasil dari profit and loss
sharing menjadi reveneu sharing, yaitu perubahan dari penanggungan risiko
menjadi tidak menanggung risiko, walaupun tidak diketahui besar jumlah
keuntungan yang akan diperoleh, berbeda dengan bunga yang telah jelas presentase
keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya dana yang diinvestasikan.
Dalam praktiknya suatu sistem, pasti adanya suatu kelebihan maupun kekurangan yang
dihasilkan dari penerapan suatu sistem atau konsep. Kelebihan dari sistem profit and loss sharing
jika dibandingkan dengan sistem konvensional adalah:12

10
Wati, Rahmi. “Hukum Perikatan Islam” (Universitas Negeri Lampung, Lampung,2018), hlm. 48.
11
Ibid, hlm. 57.
12
Ibid.

Universitas Indonesia
1. Merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan
pembiayaan jangka pendek
2. Menghasilkan suatu tingkat investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang
memadai terhadap dana yang dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan
kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan
ketidaktentuan hasil produksinya.
Kelemahan dari penerapan kedua sistem tersebut menyebabkan berbagai masalah yang
berkaitan dengan penggunaan profit and loss sharing dalam operasional investasi dana bank yang
memiliki peranannya lemah dalam aktivitas investasi bank islam.

Penerapan Keuntungan Bagi Hasil dalam PT. Alami Sharia


Berikut adalah skema pendanaan dalam PT. Alami Sharia:

Skema 1.1

Skema tersebut dinamakan Pembiayaan Invoice Financing, A adalah sebuah kontraktor


dan B merupakan perusahaan (client) yang mempunyai suatu project, pada saat si B ingin
membayar A terkait project yang dikerjakannya maka ada suatu tenor atau waktunya maka
beneficiary (A) mengajukan Invoice ke Alami lalu Alami Sharia mencarikan funder atau orang
yang ingin membiayai tagihan dari A ke B. Setelah mendapatkan funder maka pembayaran dari B
ke A dibayarkan dulu oleh funder melalui Alami karena pembayaran dari B ke A adanya tenor
atau waktu pengembalian. Pada saat jatuh tempo sesuai dengan perjanjian waktu atau tenor, maka
pembayaran dari B ke A adalah pengembalian bagi Alami dan diberikan secara aman ke funder
atau lenders yang menjadi pembiayayanya

Adanya akad Wakalah Bil Ujroh, dari A ke funder atau lenders dengan cara A Mengajukan
Invoice ke Alami dan alami mencarikan funders untuk mendanai (Factoring) si A, Dikatakan

Universitas Indonesia
Wakalah Bil Ujroh karena adanya suatu pemindahan hak tagih atau Invoice dari A ke funder dan
juga adanya ujroh atau fee dari jasa pembiayaan yang dilakukan funder. Pada saat pemindahan hak
tagih ke funders (hak tagih yang dimaksud dari A ke B) sekaligus juga adanya pemindahan
dokumen ke funder, adanya pemberian kuasa dari A ke funder atau lender untuk menagih kepada
B, dan pendapatan funder dari jasa pembiayaan. Namun pada kenyataannya, tidak terjadi
penagihan secara langsung dari funders ke Payor, dengan demikian adanya pemberian kuasa lagi
dari funder Ke Alami dalam kontrak perjanjiannya untuk Alami menagih ke Payor.

Qardh, funder saat membiayai beneficiary harus dikembalikan dalam nilai yang sama dari
A sebagai beneficiary, keuntungan yang didapat oleh funder yaitu pada saat jasa pembiayaan yang
ditentukan pada saat perjanjian pendanaan. Pihak yang berhak menagih ke A yaitu adalah Alami
melalui kuasa dari funder kepada Alami, ketika penentuan pembagian keuntungan ditentukan oleh
A dan funder dan keuntungan presentase tersebut tidak dipotong oleh Alami lagi. Alami mendapat
keuntungan atas biaya telah menyelenggarakan jasa atas sistem elektronik dari 2-5% dari nilai
pembiayaan dan pada saat pencairan dana dari funder untuk A sebagai Beneficiary, tergantung dari
apartaid bisnis. Wakalah dengan Qardh pada dokumen yang berbeda, wakalah pada saat
pengalihan hak dari A ke funder. Ketika A megembalikan pinjaman ke funder harus ke Alami
dulu, keuntungan yang didapat oleh alami dinamakan marketplace fee yaitu sebagai Alami sudah
memberikan tempat atau wadah pembiayaan tersebut dan adanya biaya atas jasa penyelenggaraan
dan penyediaan platfrom, karena alami sudah melakukan analisa, mitigasi, menyarikan funder,
serta menyediakan sistem. Jadi Alami mendapatkan keuntungan 2-5 % dar pencairan danai funder
untuk beneficiary yaitu pencairan pertama kali yang dilakukan melalui akad wakalah bil ujroh.

Selain itu, dengan sistem atau model bisnis bagi hasil yang dijalankan oleh FinTech syariah
telah mengacu kepada Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang pada tahun 1991 sebagai bank umum
satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi
bank syariah di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU
No, 7 Tahun 1992 tentang perbankan.13 Namun, dalam Undang-undang tersebut tidak memberikan
suatu landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih tidak
secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya namun hanya

13
Ridwan, Muchlis, Analisis SWOT Financial Technology Pembiayaan Perbankan Syariah Di Indonesia
(Voll.III , No.2., 2018), hlm.2.

Universitas Indonesia
menggunakan istilah bank dengan sistem bagi hasil saja. Diamandemennya UU No. 7 Tahun 1992
yang kemudian melahirkan UU No. 10 Tahun 1998 yang secara eksplisit menetapkan bahwa bank
dapat beroprasi berdasarkan prinsip syariah.14

Penarikan Pajak Bagi Hasil Mengacu pada UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan
Pada Peraturan DSN MUI No. 177 2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi
Infomasi Berdasarkan Prinsip Syariah, tidak mengatur mengenai penarikan pajak atas lembaga
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, maka regulasi mengenai pajak mengacu pada Pasal 31D
UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan PP No. 25 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, yang berisikan adanya perbedaan aspek dalam jenis
usaha Syariah, perlakuan pajak penghasilan yang mencakup keuntungan dan biaya serta
pemotongan dan juga pemungutan pajak.15

Transaksi bagi hasil pada umumnya harus didasarkan pada MOU atau perjanjian yang
secara resmi ditanda tangani oleh kedua belah pihak, perjanjian atau kontrak tersebut melandasi
semua tanggung jawab dan hak masing-masing pihak yang bertanda tangan. Transaksi keuntungan
bagi hasil atas kegiatan usaha syariah, namun didalam diatur tegas dalam PP No. 25 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan Atas Kegiatan Usaha Syariah bahwa penarikan Pajak Penghasilan atas
kegiatan usaha syariah mengacu pada ketentuan umum penarikan atas bunga yang sudah diatur
dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Kemudian mengacu pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan (PPh) mengenai pengenaan pajak atas keuntungan bagi hasil. Pihak ketiga
dikenakan penerapan Pajak Penghasilan, karena adanya suatu keuntungan dari suatu pengalihan
harta kepada seseorang, dalam penerapannya pihak ketiga merupakan sebagai wajib pajak sebab
merupakan pihak yang melakukan yang mendapatkan imbalan atas pekerjaan atau jasa yang

14
Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah
Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), hlm.2.
15
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, UU No.36 Tahun 2008, LN No. 133 Tahun 2008, TLN No.4893, Ps. 31D

Universitas Indonesia
diterima atau diperoleh, jasa tersebut didasarkan atas suatu pengalihan dana, dan dikarenakan
dalam penerapanya FinTech syariah menggunakan sistem bagi hasil. Atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh nasabah penyimpanan atau nasabah investor dari sebuah Lembaga FinTech
Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan
lainnya atas dana yang dipercayakan atau ditempatkan dikenai PPh sesuai ketentuan pengenaan
PPh atas bunga, atas penghasilan berupa bunga deposito dan atau dana dari sebuah investasi
dipotong PPh yang bersifat final sebesar 20% dari jumlah bruto.16

Pengenaan Pajak pada FinTech Alami Sharia


Jika melihat skema 1.1 yaitu skema pendanaan pada PT. Alami Sharia, maka Penarikan
pajak syariah, yaitu kemungkinan terjadinya konsep bunga dari bagi hasil, bunga dalam lembaga
pinjam meminjam berdasarkan prinsip syariah yaitu dari keuntungan serta komisi atau (pendapatan
lain-lain) dan aktivitas pembiayaan yang dilakukan, ketika adanya bagi hasil maka diberlakukan
pajak bagi hasil. Pada akad Qardh tidak diberlakukannya pajak apa-apa karena pinjaman sukarela
dari Lenders sebagai peminjam ke beneficiary sebagai penerima pinjaman.

Berbeda ketika pada penerapan akad Wakalah Bil Ujroh yang mempunyai konsepnya
financing, pajak atas pembagian bagi hasil maka pada saat jatuh tempo untuk membayar kepada
funder, maka lenders akan membayarkan pajaknya atas pembayaran atau pengembalian dana dari
benefciary dan tidak dipotong oleh FinTech karena bukan merupakan wajib pajak, prinsip
pajaknya sama seperti bank syariah yaitu bagi hasil dilakukan pemotongan atas bagi hasil.

Jika merujuk pada skema 1.1 yaitu pendanaan pada PT. Alami Sharia, dan jika dapat
diilustrasikan bahwa (A) sebagai payor atau client yang mempunyai suatu hubungan atau
perjanjian kerja dengan (B) sebagai Beneficiary sebagai kontraktor sekaligus sebagai penerima
pembiayaan dan dalam hubungan kerja dengan payor, beneficiary merupakan UKM yang
menjalankan proyek dari pihak (A) sebagai payor. Dalam ilustrasi tersebut, (B) menerbitkan
invoice atau suatu hak tagih kepada payor. Dalam perjanjian antara (A) dengan (B) yaitu (B)
mempunyai hak tagih kepada (A) sebesar Rp. 300.000.000,00 dengan tenor atau jangka waktu
selama 3 bulan yang akan dibayarkan oleh (A) sebagai payor.

16
Direktorat Pajak, Jenderal. 2019. PPh Pasal 4 ayat (2). https://www.pajak.go.id2, Diakses 9 Januari 2020.

Universitas Indonesia
Namun karena adanya jangka waktu tersebut, dan pihak Beneficiary yaitu dalam hal ini
adalah (B) yang mempunyai hak tagih kepada (A) mempunyai keperluan untuk menjalankan
proyek lain maka membutuhkan uang tersebut secara segera, maka (B) meminta tolong kepada
PT. Alami Sharia untuk dicarikan funder (C) yaitu sebagai orang yang akan membiayai
beneficiary, setelah Alami mendapatkan funder (C) untuk membiayai (B) sebagai beneficiary
maka Alami mempertemukan kedua pihak yaitu funder (C) yaitu calon pihak yang akan
memberikan pembiayaan dengan (B) sebagai beneficiary sebagai pihak yang akan mendapatkan
atau menerima pembiayaan, kedua pihak tidak dipertemukan secara langsung oleh Alami
melainkan akan dipertemukan melalui Platform.

Pada hal ini, adanya pemindahan invoice atau hak tagih dari B kepada A dengan jumlah
Rp.300.000.000,00 yang dipindahakan kepada (C), pemindahan tersebut menggunakan akad
Wakalah Bil Ujroh, menggunakan akad tersebut karena adanya pemberian kuasa yang dalam hal
ini adalah mengalihkan hak tagih dari B kepada C dan ujroh atau fee. Potensi pendapatan yang
diterima oleh funder dari jasa pembiayaan yang dilakukan kepada pihak (B) atau Beneficiary. Jasa
pembiayaan yang merupakan sebuah pendapatan atau keuntungan bagi funder yang nilainya
disepakati dengan sistem keuntungan bagi hasil yang disepakati antara para pihak, jasa
pembiayaan tersebut merupakan keuntungan komisi yang didapat oleh funder yang nilai komisi
dari jasa pembiayaan kepada B sebagai Beneficiary telah disepakati, sehingga penarikan pajak atas
komisi tersebut penerapannya sama dengan penarikan atas bunga pada perbankan.

Jika merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
merupakan ketentuan terkait tarif pemotongan atas sistem bagi hasil. Penerapan tarif pajak bagi
hasil didasarkan pada kategori bunga dari deposit yang dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat
final. Ketentuan penerapan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.36 tahun 2008 suatu peraturan yang tidak
berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam satu
tahun Pajak termasuk bunga deposito tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. 17 Sehingga
funder atau pihak yang memberikan pembiayaan atau mendepositkan uangnya, yang uangnya
tersebut akan digunakan oleh pihak penerima pinjaman untuk melakukan suatu kegiatan usaha,

17
Direktorat Pajak, Jenderal. 2019. PPh Pasal 4 ayat (2). https://www.pajak.go.id2, diakses 9 Januari 2020.

Universitas Indonesia
dan sebagai pihak yang akan dikenai atas pajak penghasilan (PPh). Berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
tarif pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito, yaitu:18

a. Dikenakan Pajak Final sebesar 20% dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap
b. Dikenakan Pajak Final sebesar 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak Luar
Negeri.
Maka jika merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh pajak atas bagi hasil yang
harus dibayarkan oleh funder sebagai pemberi pinjaman kepada beneferciary sebagai penerima
pinjaman tergantung dari jumlah keuntungan yang diperoleh oleh penerima pinjaman, dan
didasarkan dari perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak. Pengembalian dana dari peminjam
kepada pemberi pinjaman harus melalui PT. Alami Sharia selaku penyedia layanan pembiayaan
tersebut, saat pengembalian disampaikan oleh PT. Alami Sharia ke pemberi pinjaman sekaligus
memberikan tarif pajak yang harus dibayarkan oleh funder selaku pemberi pinjaman, karena PT.
Alami Sharia adalah subjek pajak. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara langsung penulis ke
PT. Alami Sharia, PT. Alami Sharia tidak dikenai pajak karena bukan merupakan sebagai wajib
pajak melainkan hanya penyedia jasa layanan pembiayaan saja. Berdasarkan uraian tersebut, maka
penghitungan pajak dengan kemungkinan kesepakatan antara pihak beneficiary (B) dan funder (C)
untuk funder sebagai pemberi pinjaman yang juga sekaligus sebagai wajib pajak adalah:

Jumlah Pembiayaan

1. Dari Funder ke Beneficiary Rp 300.000.000,00 (Menggunakan akad Qardh)


Dengan penggunaan akad Qardh maka pengembalian kepada funder dengan
jumlah yang sama yang dipinjamkan kepada beneficiary. Keuntungan yang didapat oleh
funder yaitu sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak melalui sistem pendapatan bagi
hasil, maka penghitungan kemungkinan keuntungan yang didapat oleh Funder adalah:

Berdasarkan Fatwa MUI 112 Cara menentukan Ujroh atau Fee boleh ditentukan dalam
bentuk nominal atau juga presentase, list best pricing dan tingkat resikonya serta juga
tergantung dari rating funder, dan juga tergantung rating yang dimiliki oleh suatu

18
Direktorat Pajak, Jenderal. 2019. PPh Pasal 4 ayat (2). https://www.pajak.go.id2, diakses 9 Januari 2020..

Universitas Indonesia
perusahaan seperti halnya pada penilaian rating bintang 5 yang memiliki nilai ujrohnya
12%-14%. Jika merujuk pada skema 1.1 dan funder merupakan perusahaan dengan rating
bintang 5, maka presentase ujroh atau fee dalam hal ini yang dijadikan sebagai dasar sistem
keuntungan bagi hasil ada pada diangka 12% untuk funder karena pada perusahan atau
industri yang mempunyai portofolio yang baik, sehingga menandakan bahwa tingkat risiko
nya rendah.

Jumlah Penghasilan

1. Keuntungan Beneficiary Rp 1.000.000.000,00


2. Ujroh atau Fee untuk Funde Rp 1.000.000.000,00 x 12%
Total ujroh Rp 120.000.000,00

Jumlah Penghasilan Kena Pajak

1. Total penghasilan Rp 120.000.000,00


2. Pajak atas bagi hasil Rp 120.000.000,00 x 20%
Tarif Untuk Pajak Rp 24.000.000,00

Dari ilustrasi tersebut, merupakan sebuah perikatan dengan pendanaan produktif dengan
menggunakan akad wakalah Bil Ujroh dapat disimpulkan bahwa jumlah pendapatan C sebagai
Funder atau pemberi pinjaman yang melakukan pembiayaan pada lembaga pinjam meminjam
uang berdasarkan prinsip syariah adalah:

1. Total Penghasilan Kena Pajak Rp 120.000.000,00 -


Rp 24.000.000,00

Rp 96 000.000,00

Ilustrasi diatas tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan pendanaan produktif
lainnya seperti modal kerja yang dapat melalui akad mudharabah, dan juga dikenai pajak atas bagi
hasil seperti halnya yang diterapkan pada perbankan syariah. Pada perbankan syariah adanya
tabungan mudharabah yang diberlakukannya sistem bagi hasil, sehingga pada setiap bulannya
sudah dipotong pajak bagi hasil setiap bulannya.

Universitas Indonesia
Penutup

Simpulan

1. Sistem bagi hasil dalam Hukum Islam merupakan sistem perjanjian atau ikatan
bersama dalam melakukan kegiatan usaha, atau dengan nama lain nisbah yang
artinya adalah pembagian keuntungan dengan sistem bagi hasil, Bagi hasil yang
diterapkan pada FinTech Syariah yaitu antara pemodal dengan pihak yang sebagai
peminjam atau orang yang membutuhkan dana, dan sistem bagi hasil tersebut
didasarkan pada presentase keuntungan yang telah disepakati pada waktu akad oleh
kedua pihak, bukan dari jumlah hasil akhir yang didapatkan oleh peminjam dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Bagi hasil juga bergantung pada keuntungan
proyek yang dijalankan, bila usaha merugi maka kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua pihak. Pada PT. Alami Sharia sebagai Lembaga Pinjam
Meminjam berbasis Teknologi Informasi berdasarkan prinsip syariah mempunyai
konsep dengan sistem keuntungan bagi hasil, yang mengacu pada POJK No. 77
tahun 2016 dan juga DSN MUI No. 177 tahun 2018.
2. Dalam hal regulasi yang menaungi aspek perpajakan yaitu adalah Pajak
Penghasilan, mengacu pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 dan
PP No. 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Kegiatan Usaha Syariah
mengenai jalannya FinTech syariah, yaitu adalah POJK No. 77 Tahun 2016, yang
merupakan sebagai sebuah payung hukum dari penyelenggaraan FinTech syariah.
Untuk ketentuan syariah, FinTech syariah mengacu pada DSN MUI No. 117 Tahun
2018 tentang Layanan Pembiayaan Teknologi Informasi berdasarkan prinsip
syariah, yang berisikan dan mengatur mengenai jenis dan cara pembiayaan untuk
pelaku usaha dengan pembayaran melalui penyelenggaraan jasa pembayaran.
Dengan mekanisme bagi hasil tersebut, maka, tarif pajak tersebut mengikuti dari
keuntungan yang didapat oleh pemodal dari peminjam, keuntungan atas usaha bagi
hasil. Jika mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh, tarif pajak yang harus
dibayarkan dengan presentase 20% dari keuntungan bagi hasil antara pihak funder
sebagai pemberi pinjaman dengan beneficiary sebagai pihak pengelola pinjaman.

Universitas Indonesia
Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis terkait isu pada skripsi ini adalah terkait dengan
kontribusi penyelenggara dalam setiap transaksi yang diselenggarakan, terutama dalam hal
perpajakan yaitu bidang Pajak Penghasilan. Menurut penulis dengan melihat peran dari
penyelenggara dalam setiap perjanjian dan juga perikatan, penyelenggara memiliki akses
informasi terhadap jumlah pendapatan investasi yang diterima pemberi pinjaman dari setiap
penyaluran pinjaman, dengan melihat kondisi tersebut seharusnya dapat dijadikan suatu upaya
untuk meningkatkan pendapat perpajakan.

Universitas Indonesia
Daftar Refrensi

Buku:

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian
Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.

Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan
Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), hlm.2.

Artikel:

Hasan, Analisis Industri Perbankan Syariah Di Indonesia, Jurnal Dinamika Ekonomi


Pembangunan, Vol. 1, Nomor 1, Juli 2011.

Yunus, Widjaja., Setya, Almatius., “Industri 4.0 dan Dampaknya Terhadap Financial Technology
Serta Kesiapan Tenaga Kerja Di indonesia”, Ikraith Ekonomika, Vol. 2, Juli 2019.

Wati, Rahmi. “Hukum Perikatan Islam” (Lampung, UNILA: 2018)

Muchlis, Ridwan. Analisis SWOT Financial Technology Pembiayaan Perbankan Syariah Di


Indonesia (Voll.III , No.2., 2018)

Internet:

Rio. “Pinjaman syariah online terbaik 2019 (Terdaftar OJK)” (https://duwitmu.com/. Diakses Pada
17 September 2019)

Direktorat Pajak, Jenderal. 2019. PPh Pasal 4 ayat (2). https://www.pajak.go.id2, Diakses Pada 9
Januari 2020.

Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, No. 25 Tahun
2009.

Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, UU No.36 Tahun 2008, LN No. 133 Tahun 2008.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai