Anda di halaman 1dari 6

TAZ.04-SOP.01/F.

02

Institut Agama Islam Tazkia


Final Examination
First Semester 2022/2023
SUBJECT / CODE : Islamic Economic Philosophy
LECTURER : Dr. Yulizar D Sanrego, M.Ec
DAY / DATE : Friday / 20 January 2023
TIME DURATION :-
ROOM : Online
NAME STUDENT : Raudhatun Nisa

1. Buatlah Essay tentang Isu Ekonomi Syariah!

Bagaimana Fintech Syariah Indonesia Hari Esok ?

Pasca pandemi Covid-19 masyarakat dipaksa untuk beradaptasi dengan kondisi baru yang
membuat kehidupan bergantung pada teknologi digital. Ketergantungan teknologi digital adalah
pendorong era new normal dan sebagai alat pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah. Hal ini
tidak dapat dihindari dan bahkan perlu ada inovasi yang memberikan manfaat dan keunikan
tersendiri dalam ekosistem dan keuangan syariah. Pemanfaatan teknologi digital ini mendorong
inovasi dan terobosan lain yang dapat mendukung ekosistem ekonomi syariah secara luas
termasuk industri halal.

Perkembangan teknologi yang masif mengakibatkan berbagai layanan keuangan turut


berkembang pesat. Karena inilah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Bank Indonesia ikut
melakukan pengawasan terhadap fasilitas transaksi keuangan secara online, atau yang kemudian
kita sebut dengan Fintech (Financial Technology) ketat dilakukan. Menurut Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Fintech Lending atau bisa disebut juga Peer-to-Peer Lending adalah layanan
pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi
pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.

Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fakta tersebut
memunculkan adanya potensi yang besar bagi layanan keuangan digital atau financial
technology (fintech) syariah di Indonesia. Kemunculan Fintech syariah di Indonesia merupakan
respon terhadap perkembangan perusahaan Fintech konvensional yang menggunakan instrumen
bunga dalam operasionalnya (Muhammad & Lanaula, 2019). Kenyamanan yang ditawarkan
fintech berbasis syariah tidak lepas dari karakteristik bisnis syariah yang bersandar kepada
pondasi ekonomi syariah yaitu ketuhanan (ilahiah), keadilan (al-adl), kenabian (an nubuwah),
pemerintahan (al khalifah), dan keuntungan atau hasil (al-ma’ad) (Berlian, 2022).

Secara umum dari segi fungsi, perbedaan fintech syariah dengan fintech konvensional
tidak ada bedanya. Sebab, kedua jenis tersebut sama-sama ingin memberikan layanan dalam
bidang keuangan. Perbedaan dari keduanya hanyalah akad pembiayaan yang mengikuti aturan-
aturan dari syariat islam. Ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech syariah, yaitu tidak
boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian) dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan).
Rujukan dasar juga telah dibuat oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan keberadaan
financial technology syariah ini. Dasarnya adalah MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang
mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di
Indonesia tersebut.

Namun, perkembangan fintech syariah masih menghadapi berbagai tantangan. Dalam


penelitian Hiyanti et al., (2019) , setidaknya terdapat 5 peluang dan tantangan fintech syariah di
Indonesia, pertama, OJK telah memberikan kesempatan bagi pelaku Fintech syariah untuk
mendaftar resmi di OJK, namun perizinan dan modal minimum pendirian menyebabkan fintech
syariah yang terdaftar di OJK masih sedikit dibandingkan dengan fintech konvensional. Kedua,
Fintech syariah menyediakan kemudahan teknologi untuk kegiatan investasi dan donasi, namun
minimnya pengetahuan masyarakat desa untuk mengoperasikan Fintech Syariah. Ketiga, kasus
dan fenomena fintech konvensional yang terjadi di masyarakat menjadikan masyarakat
memberikan anggapan bahwa tidak terdapat perbedaan antara Fintech Syariah dan Fintech
Konvensional. Keempat, keadaan dimana mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam,
namun sedikit yang memahami akad-akad transaksi yang berlandaskan prinsip syariah. Kelima,
pesatnya perkembangan teknologi yang masuk ke Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa
keberadaan fintech syariah dapat dengan cepat tenggelam dan digantikan oleh inovasi teknologi
lain di masa depan berkaitan dengan transaksi keuangan.

Menurut saya berbagai tantangan tersebut akan menciptakan stigma kepercayaan


masyarakat Indonesia jika fintech syariah menjawab berbagai tantangan tersebut. Misal untuk
peluang dan tantangan pertama, OJK telah memberikan kesempatan bagi pelaku Fintech syariah
untuk mendaftar resmi di OJK, namun di sisi lain perizinan dan modal minimum pendirian
Fintech Syariah, menyebabkan fintech syariah yang terdaftar di OJK masih sedikit dibandingkan
dengan fintech konvensional. Saat ini tercatat dalam OJK per 6 Oktober 2021, terdapat 8 pelaku
fintech syariah dari 106 yang terdaftar dan memiliki izin di OJK. Hal ini menunjukkan masih
menjadi tantangan terbesar bagi pelaku fintech syariah dalam mengumpulkan modal minimum
pendirian fintech syariah yang resmi. Meskipun bagi startup syarat minimum permodalan cukup
berat, menurut Pembina Asosisasi Fintech Syariah, Murniati Mukhlisin mengungkapkan hal
tersebut memang sangat diperlukan untuk menilai apakah perusahaan tersebut reliable atau
bertanggung jawab mengembalikan dana masyarakat yang disalurkan sehingga masyarakat
menjadi percaya terhadap fintech syariah.

Kedua, tantangan pelaku fintech syariah selajutnya adalah minimnya pengetahuan


masyarakat desa yang mayoritas pelaku UMKM untuk mengoperasikan Fintech Syariah padahal
fintech syariah telah menyediakan kemudahan teknologi untuk kegiatan investasi dan donasi. Hal
ini diperkuat oleh pernyataan ketua AFSI (Asosiasi Fintech Syariah Indonesia) yang
mengungkapkan rendahnya edukasi kepada masyarakat, masih banyak masyarakat yang belum
memahami industri fintech. Kemudian peluang dan tantangan ketiga, kasus dan fenomena
fintech konvensional yang terjadi di masyarakat menjadikan masyarakat memberikan anggapan
bahwa tidak terdapat perbedaan antara Fintech Syariah dan Fintech Konvensional. Banyaknya
kasus fintech konvensional seperti cara penagihan yang kasar sampai kepada kasus bunuh diri
karena ketidakmampuan membayar pinjaman online via fintech konvensional memberikan
stigma negatif terhadap masyarakat. Hal ini juga dikuatkan dengan kenyataan minimnya literasi,
edukasi, dan komunikasi prinsip-prinsip islam dalam kehidupan sehari-hari belum optimal untuk
masyarakat Indonesia. Menjadi tugas pelaku fintech syariah dan pemerintah untuk menegaskan
perbedaan fintech syariah dan fintech konvensional.

Keempat yaitu keadaan dimana mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam,
namun yang memahami akad-akad transaksi yang berlandaskan prinsip syariah masih sedikit, hal
ini menjadi tantangan bagi para pelaku fintech syariah maupun pemerintah untuk
menyebarluaskan ilmu dalam transaksi syariah yang penting untuk diketahui sebagai landasan
akad pada implementasi fintech syariah di Indonesia. Kelima, yakni dengan pesatnya
perkembangan teknologi yang masuk ke Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa
keberadaan fintech syariah dapat dengan cepat tenggelam dan digantikan oleh inovasi teknologi
lain di masa depan berkaitan dengan transaksi keuagan. Saat ini penggunaan transaksi digital
fintech syariah baru mencapai hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, maka para
pelaku fintech syariah harus selalu menghadirkan keunggulan dan inovasi terbaru di Indonesia
agar kehadiran fintech syariah tidak mudah digantikan oleh perkembangan teknologi lain di masa
depan.

Tugas dari berbagai tantangan tersebut bukan untuk para pelaku pelaku syariah dan
peemerintah atau Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saja, namun kita sebagai warga
negara juga wajib mengawasi program-program investasi digital yang ditawarkan. Di Indonesia
sendiri fintech sudah banyak yang merintis, namun hanya beberapa yang sudah tercatat di OJK.
Fakta bahwa masih banyak fintech yang belum disahkan oleh OJK merupakan salah satu
tantangan untuk keberhasilan bisnis fintech kedepannya. Maka dari itu, sangat perlu ditingkatkan
kerjasama dari berbagai pihak untuk mendukung edukasi dan sosialisasi fintech syariah di
Indonesia. Hal ini juga ditegaskan oleh Jamil Abbas, deputy chief executive for social
development AFSI menyatakan dalam forum research outlook 2023, perlu adanya perhatian
khusus untuk tahun yang mendatang dan kerjasama dari berbagai lembaga keuangan untuk
fintech syariah di Indonesia.

Kerjasama atau integrasi antara fintech syariah dengan lembaga keuangan syariah akan
menimbulkan potensi yang baik bagi lembaga keuangan syariah lainnya, misal lembaga zakat.
Bersumber dari (katadata.co.id), mengutip akun instagram resmi @jokowi, menuturkan “Potensi
pertumbuhan dan penyaluran zakat di negara kita masih sangat besar. Saya berharap, zakat akan
terintegrasi secara digital dengan sistem yang lebih baik.” Kata Presiden Jokowi. Prinsip
integrasi tersebut sejatinya dapat direalisakan dengan potensi hadirnya fintech di dalam negeri.
Selain itu peran fintech syariah menjadi sangat strategis bagi perkembangan Ziswaf, sebab
pada platform ini memungkinkan  untuk mempertemukan golongan yang memiliki kemampuan
finansial dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial yang baik. Dalam
implementasinya fintech syariah memiliki potensi untuk menerapkan konsep social
crowdfunding dari segi pengelolaan dan pengalokasian Ziswaf (Pratama, 2020).

Kemudian bagaimana peluang dan tantangan fintech syariah pada tahun 2023, yang
dikabarkan pada tahun ini akan mengalami resesi ekonomi global? Safitri (2022) menyatakan
ancaman dari resesi global akan mengalami penurunan ekonomi global, biaya dana tinggi dan
akan sulit mencari pendanaan dan bisa menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK). Sehingga prediksi tantangan 2023 meliputi, governance & risk mangament, keandalan
system & credit scoring, pengembangan produk/model bisnis, hadirnya UU perlindungan data
pribadi dan ekplorasi ekosistem serta kemananan siber. Solusi yang dapat ditawarkan untuk
resesi ekonomi 2023 ialah penguatan tata kelola (GG) dan manaejmen risiko perusahaan.
kemupenguatan lembaga profesi dan asosiasi berupa lembaga profesi penunjang bekerja
professional; independen, sesuai dengan kode etik, penguatan OJK, pembenahan internal , fungsi
OJK sebagai pengawasan (suptech) dan meningkakan kapasitas SDM. Serta untuk mengatasi
resesi pada fintech, sekertaris fintech yakin dengan busnisss plan yg kuat dan baik, pelaku
industry fintech pendanaan terus bertumbuh. Pada akhirnya saya setuju dengan pendapat Jamil
Abbas, deputy chief executive for social development AFSI, perlu adanya perhatian khusus untuk
tahun yang mendatang dan kerjasama dari berbagai lembaga keuangan untuk fintech syariah di
Indonesia.

_______________________

Daftar Pustaka

Berlian, R. (2022). Perkembangan Fintech Syariah di Indonesia. Accounting.Uii.Ac.Id.


https://accounting.uii.ac.id/perkembangan-fintech-syariah-di-indonesia/

Hiyanti, H., Nugroho, L., Sukamadilaga, C., & Fitrijanti, T. (2019). Peluang dan Tantangan
Fintech (Financial Technology) Syariah di Indonesia | Hiyanti | Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 5(03), 326–333.
https://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/578/406

Muhammad, R., & Lanaula, R. (2019). Challenges of Islamic Supervisory in The Islamic
Financial Technology Industry. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 10(2), 311–338.
https://doi.org/10.21580/economica.2019.10.2.3400

Pratama, A. (2020). Konsep Social Crowdfunding Transformasi Hijrah Ziswaf Berbasis Fintech
Syariah. Bemfeunj.Com. https://bemfeunj.com/konsep-social-crowdfunding-transformasi-
hijrah-ziswaf-berbasis-fintech-syariah/
Safitri, K. (2022). Tantangan Fintech Lending pada 2023. Kompas.Com.
https://money.kompas.com/read/2022/12/22/110500126/tantangan-fintech-lending-pada-
2023?page=all

Anda mungkin juga menyukai