Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEALWASHLIYAHAN

“Organ Bagian Al-Washliyah ( HIMMAH )”

DI SUSUN OLEH :

ASRIDA RAMADHANI 191434120

NURULIA HANJANI 191434089

DOSEN PENGAMPU : AL – KAUSAR SARAGIH, S.PdI., MPdI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA

T.A. 2020 / 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul
“Organ Bagian Al-Washliyah (HIMMAH)” dengan baik dan tepat waktu.
            Sholawat serta salam kami tujukan kepada baginda Rasulullah SAW yang
telah menuntun umatnya kearah keselamatan hidup serta membawa petunjuk bagi
semua umat muslim.
            Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak, Atas
dukungan yang telah diberikan pada kami, dengan terselesaikannya makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih. Semoga dengan tersusunnya makalah ini diharapkan
dapat berguna bagi kita semua dalam kegiatan  belajar maupun pembelajaran.
Tak ada gading yang tak retak, kami selaku penulis mohon maaf apabila
ada kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Kami mengharapkan kritik dan
saran untuk memperbaiki makalah yang kami buat agar dapat bermanfaat dan
menambah ilmu pengetahuan bagi kami. Amin

Medan, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................3
1.3 Tujuan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
2.1 Kondisi Objektif Al Washliyah Saat Ini.........................................4
2.2 HIMMAH Sebagai Laboratorium Kader........................................6
2.3 Prospek Pengembangan Al Washliyah Melalui HIMMAH............9
BAB III PENUTUP.........................................................................................13
3.1 Kesimpulan.....................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
  “Eksistensi HIMMAH dalam Pengembangan Al Washliyah”, merupakan
judul yang cukup menarik menurut penulis sebab hal  yang cukup penting disoroti
untuk pengembangan Al Washliyah pada masa mendatang adalah korelasi antara
Al Washliyah dengan organ bagiannya yang berbasis kader, dalam hal ini tentu
saja HIMMAH merupakan salah satu di dalamnya karena memang hanya ada dua
organisasi kader yang dimiliki Al Washliyah, yaitu IPA dan HIMMAH.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa eksistensi HIMMAH
dipandang potensial dalam pengembangan Al Washliyah pada masa-masa
mendatang?. Jawaabannya tentu saja karena HIMMAH merupakan organisasi
yang menghimpun mahasiswa yang notabenenya merupakan masyarakat
intekeltual dan terididik, mereka dinilai lebih memiliki kapasitas membangun dan
mengembangkan organisasi ke arah yang lebih baik dengan langkah-langkah yang
terukur. Selain itu, alasan lain yang terpenting dan juga perlu ditekankan, bahwa
HIMMAH lebih dari sekedar organisasi berbasis mahasiswa, tapi ia juga
merupakan organisasi kader yang tentu saja lebih memiliki komitmen dan
militansi dibanding organisasi non kader lainnya.
Jika dilihat kondisi Al Washliyah sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang dahulu pernah mengalami masa-masa gemilang, harus diakui bahwa
beberapa waktu belakangan ini mulai mengalami kemerosotan, tidak hanya di
Indonesia, bahkan di Sumatera Utara sebagai tempat kelahirannya. Kondisi ini
setidaknya dapat ditunjukkan dengan sejumlah indikator, antara lain: Pertama,
minimnya peran Al Washliyah dalam pemberdayaan masyarakat dalam berbagai
aspek, terutama pada tiga ruang gerak, yaitu: pendidikan, keagamaan, dan sosial.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Al Washliyah banyak menampilkan
berbagai kegiatannya pada tiga ruang gerak tersebut, tapi kegiatannya hanya
terbatas pada kegiatan seremonial tanpa indikator kemajuan yang terukur.
Kedua, lemahnya manajerial dan sistem administrasi organisasi. Berbicara
tentang organisasi tentu tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang
manajemen dan administrasi. Memang, yang seringkali muncul dan ditemukan di

1
lingkungan Al Washliyah adalah sistem pengelolaan manajemen organisasi dan
administrasi yang kurang baik sehingga hal ini dapat mengakibatkan hilangnya
identitas organisasi itu sendiri dalam memaintance pergerakannya dan dapat
berakibat pada lahirnya pergerakaan partikular yang dimuati kepentingan tertentu.
Kemungkinan terburuk yang dihadapi adalah, apabila organisasi dihadapkan pada
sejumlah problem maka akan melemah dan pada akhirnya jatuh sehingga sangat
sulit untuk bisa bangun kembali.
Ketiga, lemahnya manajerial dan sistem administrasi organisasi dengan
sendirinya mengakibatkan sulit mengidentifikasi jamaah Al Washliyah secara
kuantitas karena tidak terinventarisir dengan baik. Dengan kata lain, meskipun
animo yang seringkali berkembang di tengah masyarakat Sumatera Utara pada
umumnya tentang kultur Al Washliyah yang cukup mengakar pada masyarakat,
tetap saja akan sulit menyebutkan berapa besar jumlah warga Al Washliyah
karena memang tidak pernah dilakukan pendataan yang serius terhadap hal itu.
Tentu saja masih banyak persoalan lain yang bisa disoroti sebagai indikator yang
menunjukkan bahwa Al Washliyah sedang dihadapkan pada ‘ancaman
kehancuran’, namun penulis menilai tiga indikator di atas yang harus diatas
terlebih dahulu untuk mengembalikan kejayaan Al Washliyah sebagaimana
pernah diraih pada masa-masa terdahulu. Memang, terkesan agak berlebihan jika
dianggap Al Washliyah membutuhkan perhatian yang lebih intens dari para
kadernya, tapi ini merupakan fakta yang tidak bisa ditolak karena dalam
kenyataannya Al Washliyah tengah berada pada posisi yang cukup rawan. Dengan
kondisi tersebut Al Washliyah tentu membutuhkan ide dan gagasan kader-
kadernya untuk kembali bangun dari keterpurukan.
Tulisan ini ingin diarahkan pada eksistensi HIMMAH sebagai ‘anak
klandung’ Al Washliyah yang juga merupakan laboratorium kader untuk
mencetak generasi penerus Al Washliyah. Pada makalah ini akan dipaparkan
secara singkat tentang perjalanan, pergerakan, dan perkembangan Al Washliyah
sebagai induk organisasi untuk kemudian menghubungkannya dengan HIMMAH
sebagai salah satu organ otonomnya guna pengembangan Al Washliyah pada
masa-masa mendatang.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana Kondisi Objektif Al Washliyah Saat Ini ?
2. Bagaiaman HIMMAH Sebagai Laboratorium Kader ?
3. Apa Prospek Pengembangan Al Washliyah Melalui HIMMAH ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari disusun nya makalah ini, diantaranya yaitu :
1. Untuk Mengetahui Kondisi Objektif Al Washliyah Saat Ini.
2. Memahami HIMMAH Sebagai Laboratorium Kader ?
3. Untuk Mengetahui Prospek Pengembangan Al Washliyah Melalui
HIMMAH.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Objektif Al Washliyah Saat Ini


Al Washliyah berdiri pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan 9
Rajab 1349 H, di Medan (Sumatera Utara) oleh para pelajar dan guru Maktab
Islam Tapanuli. Sejak November 2011, Al Washliyah telah mencapai usia 81
tahun, usia yang semestinya cukup mapan untuk mengukir prestasi gemilang
dalam berbagai konsentrasi visi dan misi dari pergerakannya. Kondisinya jauh
berbeda dengan masa-masa awal organisasi ini berdiri, ketika Al-Washliyah
berada di tangan para sabiq al awwalun (pendiri) di mana mereka mampu
melakukan berbagai terobosan perbaikan khususnya dalam kehidupan masyarakat
Sumatera Utara dari aspek agama, sosial hingga pendidikan.
Al Washliyah pada masa-masa awal perkembangannya dapat digolongkan
sebagai organisasi yang cukup  mapan dalam memberikan perhatian dan
kontribusi dalam berbagai hal. Jika dilihat sejarah awal Al Washliyah yang
didirikan pada penghujung tahun 1930 dengan latar belakang perkembangan
sosial Sumatera Timur yang sangat dinamis, program kerja Al Washliyah mampu
menerobos berbagai bidang, antara lain: tabligh, pendidikan, kultur tulis dan
penerbitan, fatwa-fatwa keagamaan dan serikat tolong menolong. Dari sini
kemudian dibentuk beberapa majelis yang membidangi masing-masing program.
Pada mulanya, majelis-majelis yang disebutkan di atas merupakan komponen
organisasi yang berjalan dalam satu komando untuk seluruh kegiatan yang
dikoordinir oleh masing-masing ketua majelis. Namun demikian, seiring
perkembangan zaman dan meningkatnya pengetahuan manajerial organisasi, Al
Washliyah kemudian mengadakan reorganisasi sehingga dari masing-masing
majelis ada yang dibentuk sebagai organisasi tersendiri sebagai organ otonom, dan
ada juga yang menjadi bagian dari devisi dalam struktur kepemimpinan Al
Washliyah.
Adapun reorganisasi yang dilakukan di tubuh Al Washliyah hingga
Muktaram terkahir pada tahun 2003, yang berkaitan dengan devisi organisasi
dibagi ke dalam tujuh bidang, yaitu: (1) majelis pendidikan dan kebudayaan; (2)

4
majelis dakwah; (3) majelis amal sosial; (4) majelis kader dan pengembangan
sumber daya manusia; (5) majelis pembinaan dan pengembangan ekonomi; (6)
majelis penelitian dan pengembangan; (7) majelis badan hukum dan hak azasi
manusia. Sementara itu, pada tataran organ otonom, Al Washliyah memiliki tujuh
organ bagian, yaitu: (1) Ikatan Putera-puteri Al Washliyah (IPA); (2) Himpunan
Mahasiswa Al Washliyah (HIMMAH); (3) Gerakan Pemuda Al Washliyah
(GPA); (4) Angkatan Puteri Al Washliyah (APA); (5) Muslimat Al Washliyah;
(6) Ikatan Guru Al Washliyah (IGA); dan, (7) Ikatan Sarjana Al Washliyah
(Isara).
Pentingya keberadaan Al Washliyah di Sumatera Utara berhasil
menciptakan kondisi yang syarat dengan kebutuhan Islam pada organisasi ini.
Bisa dilihat, perbicangan Islam di Sumatera sering tidak terlepas dari keberadaan
Al-Washliyah yang konsen pada isu sosial, agama dan pendidikan. Dengan
kondisi ini Al Washliyah kemudian mendapat posisi yang khusus sebagai acuan
keagamaan bagi kalangan tertentu karena memang dibangun sebagai wadah untuk
menampung aspirasi dan keresahan rakyat yang saat itu mengalami perpecahan.
Selain itu,  Al Washliyah juga memiliki peranan penting dalam penyiaran Islam di
tanah Batak. Tentu saja sejarah tersebut haru menjadi tema yang ditonjolkan
karena tanah Batak, khususnya Toba, merupakan titik awal penyebaran agama
Kristen di Sumatera Timur yang cukup berhasil sejak abad ke-19.
Kegemilangan yang pernah diraih Al Washliyah pada masa-masa
terdahulu dalam faktanya tidak mampu dipertahankan sampai hari ini. Para
pengurus Al Washliyah boleh berbangga hati dengan anggapan bahwa keadaan
tersebut masih tetap terlihat dan melekat di hati masyarakat Sumatera Utara, tapi
yang sebenarnya terjadi adalah keadaan tersebut tidak lebih dari sekedar
‘nostalgia sejarah’, sebuah kondisi yang hanya bisa dikenang dalam keadaan Al
Washliyah yang terlanjur masuk ke dalam gerbong stagnasi. Seorang penulis
lepas persoalan Al Washliyah bahkan pernah menyebutkan: tujuan pendirian Al
Washliyah untuk melaksanakan tuntunan Islam dalam meraih kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat nampaknya telah mengalami pergeseran yang cukup drastis dari
kehidupan dunia kepada kehampaan hidup. Kondisi Al Washliyah benar-benar
sangat memprihatinkan. Beberapa agenda dasar Al Washliyah seperti tabligh,

5
tazkir, pengajian, menyatuni fakir miskin, dan memelihara serta mendidik anak
yatim juga telah melemah dalam artian aktifitas lebih cenderung dilakukan kepada
orientasi lain bersifat profan, hanya mendatangkan keuntungan pribadi dengan
meninggalkan keutuhan dan integritas umat yang merupakan bangunan fundamen
dalam menata masyarakat yang adil dan beradab dalam bingkai kepatuhan kepada
Tuhan sebagai bentuk masyarakat madani yang tercerahkan pemikirannya.
Jika ditinjau lebih jauh, ada anggapan bahwa keterpurukan Al Washliyah
lebih cenderung diakibatkan oleh lemahnya sumber daya manusia (SDM) di
lingkungan Al Washliyah itu sendiri. Selain itu, minimnya perhatian para alumni
dan kader yang telah menyebar di berbagai tempat semakin memperburuk
keadaan. Dalam keadaan demikian, tentu saja HIMMAH sebagai organisasi kader
berbasis mahasiswa di lingkungan Al Washliyah harus mengambil peranan untuk
membangun kembali kejayaan Al Washliyah pada masa-masa mendatang.

2.2 HIMMAH Sebagai Laboratorium Kader


Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah (HIMMAH) merupakan organisasi
bagian yang lahir dan tumbuh dari induk organisasi Al-Jami’iyatul Washliyah
(Al-Washliyah). HIMMAH didirikan pada tanggal 30 November 1959 dengan
beberapa dasar sejarah, yaitu: pertama, adanya ide (gagasan) pembangunan
Universitas Al-Washliyah (UNIVA) pada tahun 1955 oleh Pengurus Besar Al-
Jam’iyatul Washliyah. Kedua, adanya keputusan dari Kongres Gerakan Pemuda
Al-Washliyah (GPA) ke VI/VII. Adapun kongres ini diselenggarakan pada 10
hingga 14 Maret 1956 di Jakarta. Salah satu keputusannya adalah membangun
Himpunan Mahasiswa Al-Washliyah disingkat dengan HIMMAH. Ketiga,
berdirinya UNIVA pada 18 Mei 1958.
HIMMAH sebagai organisasi bagian Al Washliyah kini telah tumbuh dan
berkembang mencapai usia setengah abad lamanya. Sejak November 2011, usia
HIMMAH genap 52 tahun, lagi-lagi usia yang tidak muda bagi sebuah organisasi
untuk mengembangkan sayapnya. HIMMAH sebagai organisasi intelektual
berbasis mahasiswa telah mengukir sejarah dengan terlibat langsung pada
perjuangan pergerakan nasional di Indonesia. Sebagaimana banyak disebutkan
sejumlah ahli, mahasiswa merupakan agen perubahan dalam sebuah masyarakat,

6
maka berdasarkan ungkapan ini, HIMMAH di Indonesia juga memiliki peran
penting dalam rangka menciptakan perubahan masyarakat melalui dakwah ke arah
yang lebih baik.
HIMMAH sebagai organisasi berbasis kampus, dalam perjalanannya juga
turut mengambil peranan aktif dalam kencah perkembangan nasional. Hal ini
sebagaimana disebutkan Muhammad TWH, bahwa HIMMAH (1962-1966)
bersama organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya pernah mendukung
pembentukan Badan Pendukung Soekarno (BPS). Pristiwa ini terjadi pada tahun
1964. Disebutkan pula sebelum meletusnya G 30 S/ PKI pada tahun 1965, 
HIMMAH telah menjadi tim pemantau bersama TNI di setiap malam hari untuk
melihat kemungkinan gerakan PKI di sekitar Kota Medan. Pada masa itu,
beberapa kader HIMMAH yang terlibat dalam tim tersebut adalah Ahmad
Mukhtar dan Ponirin Komisariat UNIVA, dan Arman Bey Siregar dari HIMMAH
Sumatera Utara. Pada periode ini HIMMAH juga bergabung dengan Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berdiri pada 10 Oktober 1965 di Jakarta,
dan dibentuk di Sumatera Utara pada November 1965.
Berdasarkan sejumlah sumber, dapat dipetakan sebuah tahapan sejarah
bahwa era 1960-an hingga 1980-an dapat dianggap sebagai potret gemilang
HIMMAH di daerah Sumatera Utara. Pergerakan yang lebih ditonjolkan ketika itu
adalah pergerakan dakwah, meski demikian HIMMAH teteap mendulang
popularitas di tengah masyarakat luas. Popularitas tersebut diraih karena keaktifan
HIMMAH dalam bidang misi dakwah ke perkampungan-perkampungan minoritas
Muslim dan kalangan masyarakat belum beragama. Keberhasilan dakwah yang
diraih kader HIMMAH ketika itu telah merebut simpati banyak pihak. Sebagai
apresiasi nyata pada era ini, banyak kader HIMMAH yang mendapatkan beasiswa
untuk belajar ke luar Negeri, seperti, Mesir, Saudi Arabia dan Libia.Tapi,
HIMMAH yang telah mengawali titik gemilang pada penghujung 1960-an dan
mencapai puncaknya pada dekade 1970-an—1980-an, hanya mampu
mempertahankan masa kejayaannya hingga era 1990-an.
Tahapan berikutnya adalah masa keterpurukan HIMMAH yang dapat
diruntut sejak tahun 2000-an, terutama pada tahun 2003 pasca Muktamar VII di
Jakarta dilaksanakan. Sebagai organisasi berskala nasional maju mundurnya

7
HIMMAH ternyata hanya bisa diukur melalui eksistensinya di Sumatera Utara.
Program kaderisasi hanya ditemukan di wilayah Sumatera Utara. Kondisi ini
mengakibatkan kader di lingkungan HIMMAH hanya tumbuh dan berkembang di
Sumatera Utara. Walau demikian, bagi Al Washliyah tetap saja HIMMAH
merupakan laboratorium kader yang harus dipertahankan dan dipelihara
eksistensinya.
Keberadaan HIMMAH jelas memberikan perbedaan warna yang kontras
antara anggota Al Washliyah yang berbasis kader dan non kader. Anggota Al
Washliyah yang berbasis kader tentu memiliki jiwa militansi, sosial, dan loyalitas
yang lebih tinggi terhadap organisasinya jika dibandingkan dengan anggota Al
Washliyah yang tidak mengalami proses kader. Kader yang dimaksud di sini
adalah individu mapun kelompok yang bergabung ke dalam Al Washliyah melalui
prosesi kaderisasi. Memang, kader secara otomatis akan menjadi warga Al
Washliyah, tidak sebaliknya, bahwa warga Al Washliyah akan secara otomatis
merupakan seorang kader.
Demikianlah sebuah gambaran yang bisa dilihat dalam kaitannya dengan
posisi HIMMAH sebagai laboratorium kader di lingkungan Al Washliyah, seperti
itu pula seharusnya Al Washliyah dikembangkan. Dengan menciptakan
keanggotaan Al Washliyah berbasis kader, diharapkan dapat menghantarkan Al
Washliyah kepada cita-cita Al Washliyah yang sejati. Akan tetapi, kenyataan yang
ditemukan di lapangan justru sangat mengecewakan jika bukan berbeda dari
kondisi yang diharapkan. Bila dilihat secara objektif, cukup banyak kelemahan-
kelemahan internal yang ditemukan pada diri sebagian kader. Kondisi ini
misalnya ditunjukkan dengan minimnya patriotisme sebagian besar para kader
terhadap Al Washliyah, mayoritas kader Al Washliyah belum mampu
mengembangkan militansi terhadap organisasinya. Minimnya militansi kader
terlihat dari kurangnya inisiatif dalam upaya berbuat yang terbaik untuk
organisasi.
Selain itu, jika dilihat dari aspek moral, ditemukan segelintir kader  yang
kurang memelihara ukhuwah Islamiyah sebagai identitas yang semestinya melekat
pada kader HIMMAH sebagaimana tercermin melalui jargon ‘senyum, sapa dan
silaturahmi. Dalam aspek moral, agaknya akhlakul karimah juga belum terbina

8
dengan baik pada diri kader HIMMAH, sedangkan dalam aspek politik dapat
dikatakan bahwa sebagian kader belum mampu menunjukkan kedewasaan diri.
Fakta lain juga menunjukan bahwa kader masih banya yang terjebak dengan pola
penguasaan kepemimpinan organisasi untuk mencari keuntungan pribadi dan
materialistis. Jika keadaan seperti ini terus menerus dibiarkan maka HIMMAH
dan Al Washliyah tentunya mulai memasuki ‘gerbang kehancuran’.
 
2.3 Prospek Pengembangan Al Washliyah Melalui HIMMAH
Melihat kondisi yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan lain yang
harus dimunculkan adalah: bagaimana membangun prospek pengembangan Al
Washliyah melalui HIMMAH dalam kondisi dunia kader yang sudah semakin
pragmatis?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus kembali diingat latar
belakang dibentuknya HIMMAH sebagai salah satu organ otonom Al Washliyah.
Keputusan mendirikan organisasi HIMMAH merupakan bentuk dari kesadaran
akan kebutuhan Al Washliyah terhadap generasi penerus berbasis intelektual yang
diharapkan memiliki pemikiran-pemikiran cerdas. HIMMAH didisain khusus
untuk beroperasi di kalangan mahasiswa atas kepentingan objektif dalam
memperluas basis rekrutmen dan pengkaderan. Dengan asumsi ini, dapat
dipahami bahwa menjadikan HIMMAH sebagai salah satu motor penggerak
pengembangan Al Washliyah merupakan prospek yang cukup menjanjikan.
Masalah yang kemudian muncul adalah fenomena pragmatisme dunia
pergerakan mahasiswa yang juga mulai masuk menggerogoti HIMMAH
merupakan hambatan yang dianggap cukup serius. Jika dilihat dalam konteks
sejarah, pada periode awal kemerdekaan Negara Indonesia, mahasiswa memiliki
signifikansi sosio-historis yang penting dan unik. Dalam konteks organisasi
keagamaan semacam Al Washliyah, pentingnya mahasiswa dapat dilihat dari
berbagai sudut. Pertama, mahasiswa pada era 1950-an adalah merupakan
kelompok sosial yang sangat penting. Mahasiswa relevan terhadap perkembangan
Indonesia kala itu dalam berbagai konteks. Mahasiwa dipilih sebagai pelaku
karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Mahasiswa
didefinisikan sebagai segmen pemuda yang tercerahkan karena memiliki
kemampuan intelektual yang tinggi. Di sini mahasiswa tidak dibicarakan sebagai

9
orang yang faham teknologi, atau faham ilmu-ilmu sosial, namun mahasiswa
diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir sehingga
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karenanya
keberadaan HIMMAH merupakan peluang bagi proses intelektualisasi  Al
Washliyah.
Kedua, mahasiswa jelas mewakili generasi muda yang sedang dalam
proses pencarian dinamis terhadap masa depannya. Sebagai bagian dari pemuda,
mahasiswa juga memiliki karakter positif lainnya, antara lain idealis dan energik.
Idealis berarti (seharusnya) mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan
pribadi, juga belum terbebani oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya
mahasiswa masih bebas menempatkan diri pada posisi yang dia anggap terbaik,
tanpa adanya resistansi yang terlalu besar. Mahasiswa seharusnya berada diposisi
netral yang tanpa ada embel-embel yang lain. Tetap berperan dengan idealisme
dan independennya. Tanpa memihak kecuali kepada kebenaran. Dengan
demikian, maka HIMMAH dapat diposisikan sebagai wadah untuk melahirkan
generasi penerus Al Washliyah. Dapat juga dikatakan bahwa HIMMAH
merupakan masa depan bagi Al Washliyah.
Ketiga, dalam kenyataannya generasi muda mahasiswa yang menjadi
warga HIMMAH merupakan piranti terpenting untuk mengetahui perkembangan
kontemporer, khususnya di kalangan generasi muda yang tentu sulit untuk
dipindai secara akurat oleh Al Washliyah. Sehingga HIMMAH dapat menjadi unit
taktis dan mobil Al Washliyah dari masa ke masa.
Jika melihat fungsi mahasiswa sebagai agent of change, direct of change,
iron stock, dan moral force, HIMMAH sesungguhnya memiliki potensi yang
besar terhadap perubahan dan kemajuan bagi Al Washliyah. Selain tanggung
jawab mereka terhadap akademis, mereka juga merupakan motor untuk
memperluas cakupan kerja dan pengaruh Al Washliyah ke seluruh lapisan
masyarakat. Sebab mahasiswa sebagai kaum intelektual merupakan satu-satunya
pihak yang masih dipercaya rakyat guna menyampaikan aspirasi mereka kepada
para penguasa.
Namun demikian, harus diakui bahwa HIMMAH pada kenyataannya tidak
mampu mewarnai pola pikir masyarakat secara umum dan mahasiswa secara

10
khusus. Hal ini dapat dibuktikan dari minimnya pengetahuan masyarakat akan
keberadaan HIMMAH. Banyak faktor yang menjadi penyebab utama HIMMAH
berada dalam kondisi yang terbilang cukup memprihatinkan seperti saat ini.
Beberapa faktor yang dapat disebutkan adalah, pertama, kurangnya koordinasi
yang baik antara unsur struktural di lingkungan HIMMAH, mulai dari tingkat
pimpinan pusat, pimpinan wilayah, dan pimpinan cabang hingga pimpinan
komisariat. Hal ini disebabkan masing-masing unsur pimpinan memiliki
kepentingan tersendiri yang tidak jarang mengarah pada nilai-nilai pragmatis.
Fenomena yang dapat dilihat dari masalah ini adalah ketika terjadinya muktamar
atau konferensi cabang dan musyawarah wilayah, masing-masing kandidat dan
unsur pimpinan HIMMAH sibuk mengadakan konsolidasi. Padahal, konsolidasi
dan koordinasi seperti ini hanya bersifat temporer dan bertujuan jangka pendek.
Fenomena yang lainnya dapat adalah idealisme yang dimunculkan oleh pimpinan
terbawah kadang kurang disahuti oleh unsur struktural di atasnya. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kesenjangan bahkan diskomunikasi antara struktur
HIMMAH di bawahnya.
Kedua, ketidakjelasan peraturan organisasi (PO) sehingga sering terjadi
perbedaan penafsiran di lapangan terhadap mekanisme kerja. Hal seperti ini tentu
saja terbilang sangat kronis sebab Peraturan Organisasi (PO) merupakan wibawa
dan marwah organisasi. Selanjutnya yang menjadi kelemahan HIMMAH adalah
terjadinya stagnasi pemikiran intelektual di kalangan HIMMAH. Hal ini dapat
dilihat dari kurangnya semangat ilmiah khususnya di kalangan struktural
HIMMAH untuk membuka kajian-kajian keilmiahan di kalangan mahasiswa.
Ketiga, HIMMAH saat ini juga mengalami kondisi yang memprihatinkan dengan
semakin menyurutnya hubungan antara alumni dan unsur struktural organisasi.
Pada hakikatnya alumni memiliki peran yang sangat penting bagi para kader
HIMMAH yang masih aktif. Sebab, selain  untuk meminta bantuan dana, para
kader HIMMAH juga membutuhkan motivasi dan pemikiran dari para alumni
untuk menata masa depan.
Keempat, tidak komitnya pimpinan HIMMAH dalam menjalankan
pengkaderan secara ideal. Kelemahan berikutnya adalah bahwa HIMMAH kurang
disosialisasikan di kampus-kampus terutama di  perguruan tinggi umum.

11
Kurangnya perhatian pimpinan cabang menjadi penyebab utama keadaan yang
satu ini. Terlalu banyak kelemahan pada HIMMAH sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa Al Washliyah kehilangan harapan atas tujuan awal pendirian
HIMMAH sebagai motor untuk memperluas cakupan kerja Al Washliyah dan
memperluas pengaruh Al Washliyah ke seluruh lapisan masyarakat.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Paparan singkat dari tulisan yang dikemukakan di atas, meskipun terbilang
masih sangat sederhana dan jauh dari yang diharapkan, namun dinilai mampu
mencover kondisi objektif HIMMAH dalam hubungannya dengan Al Washliyah
pada saat ini. Jika disadari bahwa HIMMAH telah kehilangan potensinya dalam
memberikan sumbang saran bagi pengembangan Al Washliyah pada masa
mendatang, maka pekerjaan yang semestinya dilakukan adalah merumuskan
platform organisasi yang lebih baik dengan bercermin pada kejayaan HIMMAH
masa lalu.
Sebagai organisasi kader berbasis mahasiswa, HIMMAH pada prinsipnya
merupakan prospek yang cukup matang bagi pengembangan Al Washliyah pada
masa mendatang. Paling tidak, ada dua modal yang bisa dipetik oleh Al
Washliyah untuk pengembangannya pada masa mendatang, yaitu: pertama,
HIMMAH sebagai organisasi yang konsen merekrut anggota dari kalangan
mahasiswa. Dalam hal ini, tentu saja HIMMAH dipandang mampu memberikan
solusi cerdas bagi pengembangan Al Washliyah berbasis keilmuan.
Kedua, HIMMAH sebagai organ bagian Al Washliyah berbasis kader.
Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi sebuah organisasi seperti
Al Washliyah. Tanpa adanya kaderisasi, organisasi tidak akan dapat meneruskan
eksistensinya. Dengan kata lain, ‘urat nadi’ sebuah organisasi sejatinya terletak
pada keberadaan kaderisasi, sehingga hampir seluruh organisasi pada umumnya
memiliki devisi kaderisasi. Kaderisasi merupakan alat atau cara yang digunakan
untuk menanamkan pemahaman dan doktrin kepada calon anggota agar mereka
dapat mengenal organisasi lebih mendalam sehingga memahami karakteristik,
kultur, potensi, arah dan tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebuah
keharusan bagi Al Washliyah untuk memberikan kontribusi yang besar bagi
HIMMAH, sehingga kontribusi tersebut dengan sendirinya akan membawa hasil
bagi pengembangan Al Washliyah pada masa mendatang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Untuk penjelasan tentang sejarah Al Washliyah lebih jauh, dapat dibaca dalam PB
Al Washliyah, Al Djam’idjatul Washliyah ¼ Abad (Medan: PB Al Djam’idjatul
Washliyah, 1956).

Lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Al Washliyah hasil


Muktamar Tahun 2003.

Untuk penjelasan lebih jauh tentang Kristenisasi Tanah Batak, baca S Aritonang,
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005)

Lihat Ziaulhaq, Al Washliyah dalam Gerbong Stagnasi (Online),


http://himmahsumut. or.id/2011/08/al-washliyah-dalam-gerbong-stagnasi/,
diakses pada 15 Desember 2011.

Ismed Batubara, “Historis Awal HIMMAH dan Dinamikanya”, dalam Ja’far dan
Ahmad Mushlih (editor), Potret HIMMAH: Menyibak Sejarah, Gerakan dan
Identitas (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2007), h. 71-2.

Ismed Batubara, “Historis…”, h. 74-5

Lihat Eko Marhaendy, HIMMAH: Komunitas yang Dilupakan Sejarah (Online),


http://himmahsumut.or.id/2011/07/himmah-komunitas-yang-dilupakan-sejarah/,
diakses pada 15 Desember 2011

Untuk bahan bacaan lebih lanjut, lihat catatan-catan Arief Budiman tentang
pergerakan mahasiswa dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006).

14

Anda mungkin juga menyukai