Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TUGAS KEPERAWATAN BENCANA

“Upaya Tanggap Darurat 72 Jam Pasca Bencana Erupsi Gunung Api”

Disusun Oleh :

Hopipah Indah N (1710711053)


Norma Amalia (1710711057)
Yahya Syukria (1710711060)
Lilis Mulyani (1710711073)
Sanaya Azizah P (1710711079)
Tiara Fadjriyaty (1710711081)
Mutiara Tobing (1710711085)
Zahrotul Mutingah (1710711088)
Fijri Reski N (1710711093)
Tari Gustika (1710711094)
Chaerani (1710711096)
Tsania Ramadhanty (1710711097)

Dosen Pengampu : Ns. Ronny Basirun Simatupang, M.Si (Han)

Program Studi S1 Keperawatan

Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan

Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jakarta

2020
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang senantiasa


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga Tugas berupa makalah ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu. Dalam pembuatan makalah ini,penulisi bertujuan untuk
melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Bencana.
            Dalam pembuatan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terimakasih kepada teman-
teman yang telah berperan serta dalam pembuatan makalah ini.
            Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
materi yang penulis sajikan maupun dari segi penulisannya. Untuk itu segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
            Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi
para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 17 Oktober 2020
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap kerusakan dan sumbernya
A. TRC
Pada saat terjadi bencana, Kepala BNPB membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC)
terdiri dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas melaksanakan
kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana pada saat tanggap darurat meliputi
penilaian kebutuhan (Needs Assessment), penilaian kerusakan dan kerugian (Damage
and Loses Assessment) serta memberikan dukungan pendampingan (membantu
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota) dalam
penanganan darurat bencana (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
2008). Dalam memberikan dukungan pendampingan BPBD Provinsi atau
Kabupaten/Kota, tim TRC befungsi untuk:
1. Mengaktivasi Posko SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/SATLAK PB/BPBD
Kabupaten/Kota.
2. Memperlancar koordinasi dengan seluruh sektor yang terlibat dalam
penanganan bencana.
3. Menyampaikan saran yang tepat dalam untuk upaya penanganan bencana.
4. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara periodik kepada Kepala BNPB
dengan tembusan atasan langsung anggota Tim dari sektor terkait dan
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota :
 Laporan awal setelah tiba di lokasi bencana.
 Laporan berkala/perkembangan (harian dan insidentil/ khusus).
 Laporan lengkap/akhir penugasan (Indriasari et al., 2015).
B. Anggota TRC
Tim Reaksi Cepat terdiri dari para ahli dalam berbagai bidang dan
kemampuan teknis yang beragam. Mereka akan memberikan perspektif yang lebih
luas dalam mengumpulkan dan menganalisis informasi. Berbagai bidang yang
dimaksud terdiri dari anggota nerneda organisasi maupun departemen yang berbeda
namun memiliki tujuan yang sama serta pembagian tugas kaji cepat yang jelas.
C. Proses Rapid Assessment
Tim Kaji Cepat ini juga bertanggung jawab untuk melakukan rapid assessment atau
serangkaian kegiatan pengkajian yang dilakukan pada saat tanggap bencana yang
meliputi pengumpulan data, pengolahan dan analisis data serta penyajian informasi.
TRC dalam melaksanakan pengkajian cepat dilakukan tahapan sebagai berikut :
1. Administrasi Informasi yang sudah tersedia sebelumnya
Informasi dapat berasal dari Pusdalops Nasional dan daerah. Informasi yang
harus didapatkan antara lain lokasi bencana dan sejauh mana wilayah terdampak
erupsi gunung meletus.
2. Pengorganisasian pengkajian cepat
Sebelum dimulainya, tim TRC menyiapkan segala sesuatu yang perlu
dipersiapkan sebelum terjun ke lokasi bencana secara langsung. Persiapan yang
diorganisir meliputi :
a. Alat-alat yang akan digunakan, baik untuk evakuasi, sistem komunikasi
selama di lokasi bencana, maupun tempat sementara untuk penampungan
korban
b. Metode pengumpulan informasi akan berupa wawancara, observasi maupun
dengan cara lainnya.
c. Subjek Informasi Kunci, seperti LSM setempat, atau juru kunci gunung
tersebut, maupun warga sekitar lokasi
d. Tempat-tempat yang akan dikunjungi wajib untuk di data agar lebih
terorganisir
e. Pembagian tanggung jawab anggota tim untuk mengumpulkan data
seefektif dan seefisien mungkin
f. Sumber daya yang tersedia untuk pengkajian termasuk logistik
g. Ketepatan waktu dan kesempatan informasi
h. Bentuk dan proses analisis informasi apa yang akan digunakan setelah data
terkumpul
i. Mekanisme komunikasi dan penyebaran hasil
3. Pemilihan sumber-sumber informasi
Sumber informasi terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer terdiri dari otoritas setempat, perwakilan masyarakat dan anggota
masyarakat, institusi dan organisasi setempat atau LSM, pada erupsi gunung
berapi dapat pula ditanyakan pada anggota masyarakat yang dipercaya sebagai
juru kunci gunung tersebut. Sumber sekunder terdiri dari database, dokumen
dan formulir dari institusi dan organisasi, dan pers.
4. Pengumpulan informasi/data
Pengumpulan informasi dapat dilakukan dengan wawancara dengan otoritas
setempat atau LSM setempat, observasi lapangan, wawancara dengan subyek
informasi kunci, pertemuan- pertemuan, dan tinjauan terhadap dokumen. Setiap
lapisan masyarakat harus dipandang sama sebagai informasi/data. Tidak
memandang gender maupun kesempurnaan tubuh. Observasi sendiri juga
dilakukan pemantauan aktifitas vulkanik. Pemantauan dilakukan selama 24 jam
dengan berbagai metode, yaitu sebagai berikut:
a. Visual, yaitu dengan memperhatikan tinggi asap, arah angina, curah
hujan, dll.
b. Seismik, yaitu pemantauan dengan menggunakan alat pencatat gempa
(sesimograf) yang dipasang secara permanen. Cara kerja metode ini
adalah sinyal gempa yang diperoleh dari lokasi akan ditransmisikan
menuju pos pengamatan, kemudian direkam dengan recorder
seismograf.
c. Deformasi, metode ini dapat dilakukan secara periodic dengan Leveling,
EDM, GPS dan secara kontinyu dengan Tiltmeter, Water tube
tiltmeter,danGPS.
d. Pengukuran temperatur
e. Geokimia, metode ini menganalisis air, gas dan sublimat. Jika dalam
pemantauan terdapat peningkatan aktivitas gunung api dapat dilakukan
tindakan tanggap darurat oleh Direktorat Vulkanologi dengan
membentuk tim tanggap darurat serta melakukan pemeriksaan secara
terpadu (Purnama, 2017).
5. Pemrosesan dan validasi informasi
Validasi dilakukan dengan membandingkan informasi yang dimiliki dengan
informasi dari institusi atau organisasi lain yang juga memiliki informasi
tentang kejadian bencana. Tujuannya untuk mengurangi kesenjangan atau
ketidakakuratan informasi.
6. Analisis informasi dan pembuatan laporan
Analisis harus terintegrasi dengan mempertimbangkan tipe dan besarnya
bencana, zona yang terkena dampak, populasi yang terkena dampak, tingkat
kerusakan/kematian/kerugian, respon sosial dan institusional, kebutuhan,
bantuan, keseimbangan penggunaan layanan, tawaran dan kebutuhan bantuan
kemanusiaan. Selain itu, diperlukan juga informasi bentuk tingkat kegiatan
gunung api setiap perubahan. Tingkat kegiatan gunung api disampaikan kepada
masyarakat melalui pemprov, pemkab/kota disekitar gunung api,
membangkitkan antisipasi terhadap pandangan dan reaksi dari masyarakat yang
diberi “informasi”.
7. Pelaporan atau aliran informasi
Aliran informasi yang kuat dan sebuah sistem informasi dari berbagai tingkat,
misalnya lokal, propinsi, dan nasional sangatlah penting. Informasi yang penting
untuk menindaklanjuti kejadian bencana harus berkelanjutan dan dinamis pada
hari-hari sesudah bencana. Kegiatan sosialisasi dilakukan dengan memberikan
informasi terkait data yang diperoleh kepada Pemda serta masyarakat untuk
meningkatkan kewaspadaan status gunung berapi serta melaporkan keadaan di
lapangan kepada pihak setempat yang berwenang untuk segera ditindaklanjuti.
Informasi yang diberikan pada masyarakat juga disampaikan dengan
mekanisme:
a. Diharapkan masyarakat mendapatkan informasi tahap demi tahap sedini
mungkin tentang kemungkinan bencana letusan yang akan terjadi. –
b. Berdasarkan informasi tersebut Pemprov, Pemkab/kota bisa
mempersiapkan aksi penanggulangan menghadapi kemungkinan
terjadinya bencana letusan gunung api
c. Teknologi informasi yang canggih membuat peran media cetak dan atau
elektronik sangat membantu dalam penyebarluasan informasi tingkat
kegiatan gunung api tersebut.
8. Proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan merupakan proses kolektif dan individual dari institusi,
departemen, dan lembaga yang terlibat dalam pengkajian. Tiap lembaga
memiliki mekanisme pengambilan keputusan tersendiri dan kebijakan respon
tersendiri, namun jika memungkinkan, keputusan antar lembaga sebaiknya
terkoordinasi dan terintegrasi.
D. Sektor Pengkajian TRC
Sektor-sektor yang perlu dikaji oleh TRC antara lain:
(PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SUMBER DAYA AIR DAN KONSTRUKSI,
2017)

2. Penentuan status keadaan bencana gunung merapi


A. mengacu pada aktivitas Gunung Merapi sejak 2016, maka penilaian bahaya erupsi Gunung
Merapi dapat ditentukan dengan memperhatikan tipe letusan dengan kondisi sebagai berikut:
1) Ekplosif : jenis ancaman yang ditimbulkan adalah hujan abu dan kerikil perkiraan luasan
ancaman hujan abu mencapai puluhan kilometer dan lontaran batu dan kerikil sejauh < 3
kilometer;
2) Efusif : pembentukan kubah lava, jenis ancaman yang ditimbulkan hujan abu, kerikil,
awan panas guguran dan surge. Awan panas akan meluncur sampai jarak 6 – 12 kilometer
dari puncak;
3) Efusif/eksplosif :jenis ancaman yang ditimbulkan adalah hujan abu, kerikil, awan panas
guguran danawan panas letusan. Ancaman yang ditimbukan adalah luncuran awan panas
hingga mencapai 17 kilometer dari puncak
B. MITIGASI BENCANA GUNUNG BERAPI
Upaya memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat letusan gunung
berapi, tindakan yang perlu dilakukan :
1. Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan alat pencatat
gempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke kantor Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di Bandung dengan menggunakan
radio komunikasi SSB. Petugas pos pengamatan Gunung berapi menyampaikan laporan
bulanan ke pemda setempat.
2. Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan oleh DVMBG ketika terjadi peningkatan
aktivitas gunung berapi, antara lain mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim Tanggap
Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan secara terpadu.
3. Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat menjelaskan jenis dan sifat
bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian,
dan pos penanggulangan bencana.
4. Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika, dan Geokimia.
Hasil penyelidikan ditampilkan dalam bentuk buku, peta dan dokumen lainya.
5. Sosialisasi, petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat
terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi. Bentuk sosialisasi dapat berupa pengiriman
informasi kepada Pemda dan penyuluhan langsung kepada masyarakat (Trirahayu, 2019).

3. Evakuasi dan Penyelamatan Korban Bencana Erupsi Gunung Api


1. Situasi SAR
a. Malam hari
Situasi 72 jam paska erupsi kondisi wilayah akan sangat gelap ditambah
dengan terputusnya jaringan listrik / PLN,maka akan sangat menyulitkan tim SAR
dalam pencarian korban bencana apabila tidak ada dukungan senter dan sarana
lain sebagai penunjang dalam pencarian korban.
b. Siang Hari
Situasi paska erupsi kondisi abu masih sangatlah panas dan berdebu maka
sangatlah diharapkan sarana penunjang yang lain sebagai pendukung kerja tim
SAR.

2. Tujuan
Kegiatan Pencarian dan penyelamatan (SAR) dengan tujuan untuk:
a. Meminimalisir jumlah korban jiwa
b. Penyelamatan tanggap darurat
c. Upaya pencarian korban jiwa yang hilang
d. Adanya pembagian area atau wilayah operasi dan penanggung jawab
e. Adanya struktur operasi SAR evakuasi yang terorganisir dan bersifat komando.
f. Adanya data jumlah korban yang jelas dan terdokumentasi
g. Adanya SDM yang terlatih
h. Adanya persepsi yang sama dan koordinasi yang solid antar instansi

3. Sasaran SAR
a. Pertolongan segera bagi yang masih hidup
b. Mencegah agar tidak berkembangnya jatuh korban
c. Evakuasi mayat/korban menggunakan 25 truk dan sepeda motor
d. Mendokumentasikan setiap temuan dari setiap operasi

4. Keterlibatan Jumlah Personil saat Pencarian Korban


Petugas evakuasi dapat disesuaikan dengan keadaan dan sumber daya manusia yang
mampu bertugas. Namun,pada contoh perencanaan tanggap darurat bencana erupsi
Gunung Ibu di Maluku Utara adalah berjumlah 549 orang, yang terdiri dari:
a. TNI
1) Kodim 1501 / Tte : 1 SST
2) Yonif 732/B : 1SSK
b. Polri : 1 SSK
c. Satpol : 1 SSK
d. SAR/Relawan : 75 orang
e. SAR PGRI : 10 orang
f. SAR Tagana : 75 orang
g. Linmas Inti : 25 orang
h. Orari : 19 orang
i. PMI : 15 orang

5. Proyeksi Kebutuhan SAR


a. Masker
b. BBM
c. Pesawat HT
d. Tandu
e. Senter
f. Kantong Mayat
g. Sepatu Boot
h. Kendaraan Roda 2
i. Kendaraan roda 4

6. Kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM) bidang Kesehatan


a. Dokter Umum 4 orang
b. Perawat 6 orang
c. Bidan 4 orang
d. Apoteker 2 orang
e. Gizi 2 orang
f. Sanitarian 2 orang

7. Kegiatan dari Tim Kesehatan


a. Melakukan rapat kordinasi dengan Timteknis terkait (TRC,Tim RHA), sektoral
terkait lainnya.
b. Membentuk tim melakukan investigasi pada lokasi pengungsian untuk
menentukan kebutuhan dan perencanaan penanganan kesehatan.
c. Membentuk posko pelayanan kesehatan.
d. Mobilisasi kebutuhan logistik / obat-obatan.
e. Mengorganisir kebutuhan tenaga dan mobilisasi tenaga untuk masing-masing pos
kesehatan yang telah dibentuk.
f. Pencatatan pelaporan dan diteruskan pada sektor terkait.
4. PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR PASCA BENCANA GUNUNG
MELETUS

Korban bencana perlu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk dapat bertahan dalam kondisi
tersebut dan bangkit kembali menjalani kehidupannya. Kebutuhan tersebut menurut BNPB
(2014), meliputi:

1. Penampungan Sementara
Adalah tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi, baik berupa tempat
penampungan massal maupun keluarga, atau individual.
Penampungan sementara diberikan dalam bentuk tenda-tenda, barak, atau gedung fasilitas
umum atau sosial, seperti tempat ibadah, gedung olah raga, balai desa, dan sebagainya,
yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal sementara.
Standar Minimal Bantuan :
a. Berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang.
b. Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan.
c. Memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas umum.
d. Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok usia

Pada bencana gunung meletus, setelah dilakukan penyelamatan maka kebutuhan fisik
harus segera dipenuhi, salah satu kebutuhan fisik adalah kebutuhan akan tempat tinggal
sementara karena rumah-rumah korban telah hangus terbakar oleh lahar panas.
Pemenuhan tempat tinggal sementara ini harus disesuaikan dengan jumlah korban atau
pengungsi. Karena jika tidak sesuai dengan jumlah pengungsi dapat berakibat timbulnya
penyakit dan stress baru bagi para korban bencana (Rusmiyati & Hikmawati, 2012).

2. Pangan
Adalah bantuan bahan makanan dan lainnya di luar bantuan pangan yang diberikan
kepada korban bencana demi kelangsungan hidup disesuaikan dengan makanan pokok
setempat.
a. Bantuan makanan
Bantuan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau masakan yang disediakan
dapur umum. Bantuan pangan diberikan dalam bentuk khusus untuk kelompok rentan.
Standar Minimal Bantuan :
 Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau bahan makanan
pokok lainnya dan bahan lauk pauk.
 Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji sebanyak 2 kali
makan dalam sehari.
 Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo kalori (kcal).
b. Bantuan Air Minum
Diberikan dalam bentuk air yang dapat diminum langsung atau air yang memenuhi
persyaratan kesehatan untuk dapat diminum.
Standar Minimal Bantuan :
 Bantuan air minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang per hari.
 Rasa air minum dapat diterima dan kualitasnya cukup memadai untuk diminum
tanpa menyebabkan resiko kesehatan.

Kebutuhan fisik lain yaitu kebutuhan pangan juga harus dipenuhi dalam penanganan
bencana termasuk bencana gunung meletus. Pemenuhan kebutuhan pangan ini dilakukan
dengan mendirikan dapur umum di tempat pengungsian. Dapur umum saat bencana
gunung meletus ini dapat didirikan oleh relawan, korps mariner, korps angkatan darat,
tagana maupun masyarakat (Rusmiyati & Hikmawati, 2012).

3. Air Bersih dan Sanitasi.


Air bersih adalah air yang kualitasnya memadai untuk diminum serta digunakan bagi
kebersihan pribadi dan rumah tangga tanpa menyebabkan risiko kesehatan. Sedangkan
Sanitasi adalah kebersihan dan kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan saluran air
(drainase), pengelolaan limbah cair dan padat, pengendalian vektor (sumber penyebar
penyakit), dan pembuangan tinja.
a. Air Bersih
Diberikan dalam bentuk air yang kualitasnya memadai untuk kebersihan pribadi
maupun rumah tangga tanpa menyebabkan risiko kesehatan. Bantuan air bersih
diberikan dalam bentuk sumber air beserta peralatannya.
Standar Minimal Bantuan :
 Bantuan air bersih diberikan sejumlah 7 liter pada tiga hari pertama, selanjutnya
15 liter per orang per hari.
 Jarak terjauh tempat penampungan sementara dengan jamban keluarga adalah 50
meter.
 Jarak terjauh sumber air dari tempat penampungan sementara dengan titik air
terdekat adalah 500 meter.
b. Sanitasi
Diberikan dalam bentuk pelayanan kebersihan dan kesehatan lingkungan yang
berkaitan dengan saluran air (drainase), pengelolaan limbah cair dan limbah padat,
pengendalian vektor, serta pembuangan tinja.
Standar Minimal Bantuan :
 Sebuah tempat sampah berukuran 100 liter untuk 10 keluarga, atau barang lain
dengan jumlah yang setara.
 Penyemprotan vektor dilakukan sesuai kebutuhan.
 Satu jamban keluarga digunakan maksimal untuk 20 orang.
 Jarak jamban keluarga dan penampung kotoran sekurangnya 30 meter dari sumber
air bawah tanah.
 Dasar penampung kotoran sedekat-dekatnya 1,5 meter di atas air tanah.
Pembuangan limbah cair dari jamban keluarga tidak merembes ke sumber air
manapun, baik sumur maupun mata air lainnya, sungai, dan sebagainya.
 Satu tempat yang dipergunakan untuk mencuci pakaian dan peralatan rumah
tangga, paling banyak dipakai untuk 100 orang

Kebutuhan akan air bersih juga termasuk kebutuhan fisik bagi korban bencana.
Bencana gunung meletus menyebabkan ketersediaan air bersih menjadi sulit akibat lahar
panas yang menghanguskan seluruh kawasan, oleh karena itu bantuan air bersih juga
harus dipenuhi (Chulaifah, 2013). Dalam mencukupi kebutuhan air bersih dan MCK pada
saat bencana gunung meletus, berdasarkan penelitian Rusmiyati & Hikmawati (2012),
dapat dilakukan oleh pemerintah dengan dinas pekerjaan umum untuk menyediakan toilet
umum yang bisa berpindah dan menyediakan air bersih ke lokasi pengungsian.

4. Sandang
Adalah keperluan individu berupa pakaian dan perlengkapan pribadi.
Bantuan Sandang terdiri dari :
a. Perlengkapan Pribadi
Perlengkapan pribadi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting untuk
melindungi diri dari iklim, memelihara kesehatan serta mampu menjaga privasi dan
martabat.
Standar Minimal Bantuan :
 Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai jenis
kelamin, serta peralatan tidur yang memadai sesuai standar kesehatan dan
martabat manusia.
 Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua perangkat lengkap pakaian
dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim.
 Perempuan dan anak-anak gadis setidaknya memiliki dua perangkat lengkap
pakaian dalam dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim.
 Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah lengkap dengan ukuran
yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang sekolah yang diikuti.
 Anak sekolah memiliki satu pasang sepatu/alas kaki yang digunakan untuk
sekolah.
 Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinannya
 Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.
 Bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki selimut dengan ukuran
100 X 70cm
 Setiap orang yang terkena bencana harus memiliki alas tidur yang memadai, dan
terjaga kesehatannya.
 Setiap kelompok rentan : bayi, balita, anak-anak, ibu hamil/menyusui,
penyandang cacat, orang sakit, dan orang lanjut usia, memiliki pakaian sesuai
kebutuhan masing-masing.
 Setiap kelompok rentan, memiliki alat bantu sesuai kebutuhan, misalnya : tongkat
untuk lansia dan penyandang cacat.
b. Kebersihan Pribadi
Tiap rumah tangga memperoleh kemudahan mendapatkan bantuan sabun mandi dan
barang-barang lainnya untuk menjaga kebersihan, kesehatan, serta martabat manusia.
Standar Minimal Bantuan :
 Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan.
 Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan
 Setiap perempuan dan anak gadis yang sudah menstruasi memiliki bahan
pembalut.
 Setiap bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun memiliki 12 popok cuci sesuai
kebiasaan di tempat yang bersangkutan.
 Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai kebutuhan.

Pada saat terjadinya bencana gunung meletus, dalam suasana yang kalut korban tidak
akan sempat untuk membawa harta bendanya. Pada korban yang rumahnya tidak terbakar
mungkin dapat kembali ke rumahnya untuk mengambil pakaian dan keperluan lainnya,
namun bagi korban yang rumahnya terbakar, maka kebutuhan sandang ini juga harus
dipenuhi dalam 72 jam setelah bencana, yang meliputi perlengkapan pribadi seperti
pakaian, dan peralatan kebersihan (Rusmiyati & Hikmawati, 2012).

5. Pelayanan Kesehatan
Adalah pelayanan pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan bagi korban
bencana, baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan penyakit. Korban bencana,
baik secara individu maupun berkelompok, terutama untuk kelompok rentan, dapat
memperoleh bantuan pelayanan kesehatan. Bantuan pelayanan kesehatan diberikan dalam
bentuk :
Pelayanan kesehatan umum meliputi :
a. Pelayanan kesehatan dasar
b. Pelayanan kesehatan klinis.

Standar Minimal Bantuan :


 Pelayanan kesehatan didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan kesehatan primer
yang relevan.
 Semua korban bencana memperoleh informasi tentang pelayanan kesehatan
 Pelayanan kesehatan diberikan dalam sistem kesehatan pada tingkat yang tepat :
tingkat keluarga, tingkat puskesmas, Rumah Sakit, dan Rumah Sakit rujukan.
 Pelayanan dan intervensi kesehatan menggunakan teknologi yang tepat dan diterima
secara sosial budaya.
 Jumlah, tingkat, dan lokasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban bencana.
 Tiap klinik kesehatan memiliki staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai untuk
melayani kebutuhan korban bencana. Staf klinik maksimal melayani 50 pasien per
hari.
 Korban bencana memperoleh pelayanan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan.
 Korban bencana yang meninggal diperlakukan dan dikuburkan dengan cara yang
bermartabat sesuai dengan keyakinan, budaya, dan praktek kesehatan.
Selain kebutuhan pangan, air minum dan tempat tinggal, pelayanan kesehatan juga
perlu dipenuhi. Pada bencana gunung meletus menurut penelitian Rusmiyati &
Hikmawati (2012), pelayanan kesehatan dapat diberikan oleh dinas kesehatan dengan
melibatkan relawan seperti dari perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran
untuk melakukan pemeriksaan rutin bagi pengungsi terutama lansia dan anak-anak.

6. Perlindungan kelompok rentan


Kelompok rentan menurut Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan
yang layak. Kelompok rentan berhak mendapatkan perlakuan khusus untuk dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari terlebih pada masa tanggap darurat. Menurut UU No.39 Tahun 1999
Pasal 5 Ayat (3) tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih. Kelompok rentan membutuhkan perlakuan dan perlindungan khusus supaya bisa
bertahan menghadapi
situasi pasca-bencana.(Effendi, Darwis, & Apsari, 2020) Kondisi pengungsian yang penuh
sesak tanpa tenda dan fasilitas memadai, ditambah rasa trauma dan cuaca buruk, membuat
korban terutama perempuan dan anak-anak mulai terkena penyakit. (Liputan6.com,12
Agustus 2018). Kelompok rentan pada masa tanggap darurat bencana gunung meletus antara
lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, wanita hamil, individu dengan gangguan pernapasan
dan penyandang cacat.

a. Anak
Pada saat bencana Gunung meletus, anak merupakan kelompok rentan karena
umumnya kondisi baik secara fisik dan mental masih lemah. Pada masa tanggap darurat
bencana gunung meletus cenderung akan memberikan dampak baik secara fisik maupun
psikologis kepada sang anak. Kondisi pasca bencana yang belum dapat dimengerti oleh
anak akan membuat anak menjadi bingung ditambah dengan perubahan lingkungan yang
mendadak seperti di pengungsian yang padat, sesak ditambah sanitasi yang buruk dapat
berdampak pada fisik dan psikis anak sehingga tak jarang anak akan menderita demam,
diare dan ispa. Upaya perlindungan anak pada masa tanggap darurat dapat dilakukan
dengan memenuhi hak anak seperti memenuhi hak untuk mendapatkan perlindungan
keluarga dan pengasuh alternatif karena pada masa tanggap darurat, kondisi lingkungan
tidak terkontrol sehingga dapat menempatkan anak dalam kemungkinan tindakan
ekploitasi, penculikan, kekerasan dan perdagangan sehingga peran orang tua dan pengasuh
untuk selalu mendampingi dan berempati dapat menjadi kekuatan bagi anak dalam
menghadapi masa-masa kritis akibat bencana. Hak lainnya yaitu hak untuk mendapatkan
mendapatkan layanan kesehatan, penghidupan yang layak serta pendidikan dan waktu
luang karena masa kanak-kanak sangat membutuhkan ruang untuk bermain karena
bermain juga termasuk kebutuhan dasar anak. Pemberian imunisasi pada anak juga
diperlukan pada masa tanggap darurat untuk melndungi anak dari berbagai penyakit
kedepannya. (Absor, 2011)

b. Penyandang cacat
Kaum difabel memiliki kemampuan yang berbeda karena adanya keterbatasan fisik
yang dimiliki seperti keterbatasan karena mata tidak bisa melihat, telinga tidak bisa
mendengar, kaki tidak bisa berjalan dan lainnya.(Hoesin, 2003) Karena keterbatasan inilah
yang membuat mereka memerlukan perlakuan khusus pada masa tanggap darurat bencana
gunung meletus seperti menyegerakan kebutuhan dasar yang diperlukan. Kondisi
lingkungan pasca bencana yang berbahaya mengharuskan adanya orang baik dari pihak
keluarga maupun relawan yang selalu mendampingi kaum difabel dalam memenuhi
kebutuhannya pada masa tanggap darurat agar tidak terjadi cedera atau hal yang
membahayakan diri sendiri dan orang lain.
c. Lansia
Seseorang yang berusia diatas 65 tahun mulai mengalami keterbatasan fisik dan
penurunan fungsi organ sehingga tak jarang hal ini mempengaruhi indera-indera dan
respon mereka terhadap situasi kebencanaan seperti gunung meletus. Karena keterbatasan
inilah lansia termasuk kedalam kelompok rentan. Lansia butuh diberikan perlindungan
khusus agar tidak mendapatkan masalah lain yang ditimbulkan pasca bencana terlebih
biasanya lansia sangat mudah terserang penyakit karena sistem tubuhnya yang sudah
melemah dan lokasi pengungsian sesak dan juga sanitasi yang buruk bisa menjadi sumber
penyakit bagi lansia.
d. Ibu hamil dan menyusui
Kebutuhan distribusi makanan sangat penting untuk ibu hamil dan menyusui dalam
pemenuhan kebutuhan asupan makanan yang kaya vitamin dan mineral. Ketika seorang
ibu mengalami kekurangan gizi hal ini berdampak buruk pada tingkat keselamatan anak
yang dikandungnya, selain itu pada masa menyusui kandungan gizi yang cukup dalam
makanan ibu akan berdampak pada produksi ASI yang dihasilkan serta ibu hamil juga tida
boleh mengalami stress yang parah karena dapat mempengaruhi kondisi janin yang
dikandungnya sehingga dibutuhkan perlindungan untuk memberikan situasi dan kondisi
yang nyaman serta juga dapat diberikan konseling kepada ibu hamil dan menyusui untuk
menghindari agar mereka tidak mengalami depresi.(Tri Ananda, Santoso, & Zaenuddin,
2019) Pelayanan persalinan dan nifas juga dibutuhkan untuk mewaspadai kondisi darurat
yang mungkin bisa terjadi.(Departement Kesehatan RI, 2007)
e. Individu dengan gangguan sistem pernapasan
Pada masa tanggap darurat bencana gunung meletus, akan terdapat banyak abu
vulkanik yang bertebaran di udara yang dapat mengganggu sistem pernapasan. Individu
dengan gangguan pernapasan seperti asma, pneumonia maupun PPOK, kondisi ini dapat
memperparah penyakit individu sehingga dibutuhkan perlindungan khusus seperti
menjauhkan individu dari daerah bencana. Lokasi pengungsian terletak di wilayah yang
kadar udaranya rendah atau terbebas dari abu vulkanik serta diperlukan pemeriksaan
kesehatan dan obat-obatan untuk menghidari kekambuhan penyakit. Korban juga bisa
dibawa ke rumah sakir sekitar untuk menghindari adanya komplikasi lebih lanjut.

7. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

Pemulihan (Recovery) adalah rangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi


masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang
terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar
kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali (Suriadi et al., 2008).
Sebagian kebutuhan pemulihan baik fisik maupun kemanusiaan, setelah dinilai skala
prioritasnya, dapat dijadikan acuan untuk kegiatan pemulihan awal. Kegiatan pemulihan
awal ini, pada prinsipnya, merupakan kegiatan penanganan pasca bencana transisi yang
dilaksanakan setelah berakhirnya kegiatan tanggap darurat sebelum dimulainya kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk
membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik
dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu
perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
Kegiatan pemulihan awal difokuskan pada pemulihan terhadap fungsi dan layanan dasar
masyarakat serta pemulihan pada sarana dan prasarana vital. Tahap pemulihan meliputi
tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi beberapa
sektor tatanan masyarakat sebagai berikut (Putri Cep Alam, Herbasuki Nurcahyanto,
2016) :
1. Perbaikan lingkungan daerah bencana ialah dimaksud perbaikan kegiatan fisik,
seperti perbaikan lingkungan fisik untuk kawasan permukiman, kawasan industri,
kawasan usaha dan kawasan gedung.
Komponen Elemen Indikator
1. Kawasan Komponen lingkungan udara,  Terciptanya
permukiman lingkungan perairan, lingkungan udara
lingkungan vegetasi/tanaman, yang nyaman/tidak
dan lingkungan sosial tercemar
 Terciptanya
lingkungan perairan
yang bersih dan sehat
 Terciptanya
lingkungan yang
nyaman dengan
tanaman yang
menyejukkan
 Terciptanya
lingkungan
permukiman/ sosial
yang baik.
2. Kawasan Komponen udara, air,  Terciptanya
industri tanaman dan area parkir serta lingkungan udara
open space/taman yang nyaman/tidak
tercemar
 Terciptanya
lingkungan perairan
yang bersih dan sehat
 Terciptanya
lingkungan yang
nyaman dengan
tanaman yang
menyejukkan.
3. Kawasan Komponen udara, air, dan  Terciptanya
Usaha kawasan hijau/ taman lingkungan udara
yang nyaman/tidak
tercemar
 Terciptanya
lingkungan perairan
yang bersih dan sehat
 Terciptanya
lingkungan yang
nyaman dengan
tanaman yang
menyejukkan.
4. Kawasan Komponen udara, air,  Terciptanya
bangunan tanaman/taman lingkungan udara
gedung yang nyaman/tidak
tercemar
 Terciptanya
lingkungan perairan
yang bersih dan sehat
 Terciptanya
lingkungan yang
nyaman dengan
tanaman yang
menyejukkan.

2. Perbaikan prasarana dan sarana umum


 Prasarana umum atau jaringan infrastruktur fisik disini mencakup : 1)
jaringan jalan/perhubungan; 2) jaringan air bersih dan jamban; 3) jaringan
listrik; 4) jaringan komunikasi; 5) jaringan sanitasi dan limbah; dan 6)
jaringan irigasi/ pertanian.
 Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum disini mencakup: 1) fasilitas
kesehatan; 2) fasilitas perekonomian; 3) fasilitas pendidikan; 4) fasilitas
perkantoran pemerintah; dan 5) fasilitas peribadatan.
Komponen Elemen Indikator
1. Jalan/perhubungan jalan, jembatan,  berfungsinya
terminal pelabuhan kembali
air, pelabuhan udara pergerakan orang
dan barang
 bebas dari
‘keterpencilan
2. Air bersih Sumber-sumber air,  tersedianya
jaringan distribusi, kembali suplai air
hidran-hidran umum bersih
 penyelamatan
sumber air dari
pencemaran/
kerusakan
3. Listrik/energi sumber pembangkit  koneksi jaringan
listrik, jaringan listrik
distribusi, tabung  terlayaninya
tabung gas sumber energi
4. Komunikasi Jaringan telepon, lancarnya kembali
HT, hubungan/ komunikasi
antar warga dan dengan
pihak luar
5. Sanitasi dan Jaringan air kotor,  bebas dari
limbah limbah sampah gangguan limbah
padat, fasilitas  kebersihan
pemakaman lingkungan
6. Irigasi Sumber air, jaringan  kelancaran
distribusi pasokan air
 tidak terganggunya
aktifitas pertanian
1. Kesehatan Pusat Pelayanan Berfungsinya kembali
kesehatan darurat fasilitas kesehatan yang
ada (puskesmas,
puskesmas pembantu,
klinik)
2. Perekonomian Pasar; Toko/warung Berfungsinya kembali
kebutuhan seharihari fasilitas perekonomian
yang ada, pasar, toko,
warung dll.
3. Pendidikan SD; SMP; SMA; Berfungsinya kembali
SMK; PT; Lembaga fasilitas pendidikan yang
pendidikan lain ada
4. Perkantor RT/RW; Berfungsinya kembali
Kelurahan/Desa; fasilitas perkantoran
Kecamatan, pemerintah yang ada
Kota/Kabupaten,
dan Provinsi
5. Peribadatan Musholla, Masjid, Berfungsinya kembali
Gereja, Vihara, fasilitas peribadatan yang
Klenteng dll. ada

3. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat


 Diberikan rumah individual: rumah tinggal tunggal untuk rumah tangga
tunggal
 Rumah bersama: rumah tinggal tunggal untuk rumah tangga majemuk,
rumah gandeng/deret/panjang, rumah susun, apartemen/condominium,
rumah sewa. Tidak termasuk rumah masyarakat adalah rumah dinas,
rumah tinggal sementara/akomodasi (homestay, asrama, tempat kost,
wisma tamu/guesthouse, villa dan bungalow [second home]), rumah
gedongan (mansion).
 Pembuatan panduan dan prinsip mekanisme subsidi rumah.
 Fasilitasi pengorganisasian seperti pembersihan rumah dan lingkungan
berbasis masyarakat.
 Fasilitasi pengelolaan hunian sementara yang dibangun secara berthap
menjadi hunian tetap dengan sarana dan prasarana seperti, kamar tidur,
MCK dan air bersih secukupnya.
Menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana
yang rumah/lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat
sedang akibat bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap
tinggal di tempat semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik
bangunan sebagaimana Pedoman Teknis dan/atau kerusakan pada halaman
dan/atau kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu penyelenggaraan
fungsi huniannya. Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh diarahkan
untuk rekonstruksi.
4. Pemulihan sosial psikologis, yang dimaksud pemulihan sosial psikologis adalah
pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana agar dapat
berfungsi kembali secara normal.
 mendatangkan para psikolog untuk melakukan layanan trauma healing.
 Bantuan konseling dan konsultasi keluarga adalah pemberian pertolongan
kepada individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan dan beban
psikologis secara terstruktur.
 mendatangkan ahli rohani atau keagamaan dan seniman untuk memberikan
terapi sesuai keahlian masing-masing untuk memulihkan trauma
psikologis yang dihadapi para korban bencana erupsi gunung merapi.
5. Pelayanan kesehatan, yaitu
 Penyediaan layanan kesehatan umum.
 Pelayanan kesehatan pada tempat bencana terjadi sudah tersedia dengan
baik
 Dinas kesehatan dan medis sudah tersedia dengan baik juga dan siap untuk
melayani korban bencana yang memiliki beberapa masalah kesehatan.
6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik, yang dimaksud dengan kegiatan rekonsiliasi dan
resolusi adalah merukunkan atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang terlibat
dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik.
7. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya
 Sektor sosial meliputi:
o Penyediaan layanan kesehatan umum.
o Penyediaan higiene kits.
o Penyediaan makanan tambahan untuk balita.
o Pemulihan kegiatan keagamaan dan revitalisasi organisasi
keagamaan
o merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar
lainnya untuk para pengungsi
 Sektor ekonomi
o Bantuan biaya dan peralatan sekolah untuk siswa SD, SMP dan
SMA yang terdampak.
o Revitalisasi kelompok tani, kebun dan ternak.
o Program diversifikasi/alternatif usaha pertanian.
o Penyediaan bibit tanaman cepat panen.
o Bantuan modal usaha untuk pedagang dan industri kecil menengah.
o Segera dilakukan pembuatan pasar darurat
 Sektor budaya
o Revitalisasi seni budaya yang berguna untuk mendorong
pemulihan
8. Pemulihan keamanan dan ketertiban
 Revitalisasi sistem keamanan desa
9. Pemulihan fungsi pemerintahan, seperti bantuan dari pemerintah dengan
mengirimkan tim tim medis, SAR, polri dan TNI, bantuan dari pengusaha seperti
pemberian dana untuk membantu untuk kehidupan korban bencana, BNPB,
BPBD, sekolah seperti bantuan sosial meliputi pakaian, makanan, dan lain
sebaganya.
10. Pemulihan fungsi pelayanan publik
Pemulihan rekonstruksi terkait pembangunan dilakukan lebih baik daripada
pemulihan rehabilitasi. Seperti membangun tempat ibadah seperti majid dan gereja,
pembangunan gedung sekola, kantor desa, puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan,
serta infrakstruktur lain untuk keperluan masyarakat sekitar. Dimulai kembali kegiatan sosial
seperti, kegiatan keagamaan (pengajian dan keagamaan), kesenian, PKK, kegiatan belajar
mengajar disekolah dan pelayanan publik (Chulaifah, 2013).
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana
2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha
dan masyarakat
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
7. Peningkatan fungsi pelayanan public
8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana, salah satunya adalah bencana
erupsi gunung api, sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat
dan terencana. Manajemen bencana di mulai dari tahap pra-bencana, tahap tanggap darurat,
dan tahap pasca-bencana. Pertolongan pertama dalam upaya tanggap darurat 72 jam pasca
bencana erupsi gunung api sangat diperlukan untuk meminimalkan kerugian dan korban jiwa.

B.            SARAN
Upaya tanggap darurat 72 jam pasca bencana erupsi gunung api tidak hanya menjadi beban
pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari
masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam
upaya penanggulangan bencana gunung api yang terjadi di indonesia

X
Daftar Pustaka

Absor, M. (2011). Penanganan Anak Dalam Masa Tanggap Darurat Bencana Alam: Tinjauan
Konvensi Hak Anak Dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Jurnal Dakwah UIN
Sunan Kalijaga, 12(1), 17–32. https://doi.org/10.14421/jdBNPB. (2014). Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 1407, 1–24.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2014/bn1407-2014.pdf
Chulaifah. (2013). Analisis Kebutuhan Korban Bencana Alam Gunung Meletus dan Upaya
Penanggulangannya. Jurnal PKS, 12(4), 379–388.
Departement Kesehatan RI. (2007). PEDOMAN TEKNIS PENANGGULANGAN KRISIS
KESEHATAN AKIBAT BENCANA. Departemen Kesehatan.
Effendi, L., Darwis, R. S., & Apsari, N. C. (2020). Potret Mantan Penderita Skizofrenia
Ditinjau Dari Strength Perspective. Share : Social Work Journal, 10(1), 51.
https://doi.org/10.24198/share.v10i1.26896
Hoesin, I. (2003). Perlindungan terhadap kelompok rentan (wanita, anak, minoritas, suku
terasing, dll) dalam perspektif hak asasi manusia. Seminar Pembangunan Hukum
Nasional Ke VIII Tahun 2003, 14–18.
Indriasari, T. D., Anindito, K., & Julianto, E. (2015). Analisis dan Perancangan Sistem
Pengumpulan Data Bencana Alam. Jurnal Buana Informatika, 6(1), 73–82.
Purnama, S. G. (2017). Modul manajemen bencana.
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SUMBER DAYA AIR DAN KONSTRUKSI.
(2017). MODUL MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA PELATIHAN
PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR (No. 2).
Rusmiyati, C., & Hikmawati, E. (2012). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban
Bencana Merapi (Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi Disaster Victims).
17(02), 97–110
Tri Ananda, M. N., Santoso, M. B., & Zaenuddin, M. (2019). Perlindungan Perempuan
Korban Bencana. Share : Social Work Journal, 9(1), 109.
https://doi.org/10.24198/share.v9i1.22750
Trirahayu, T. (2019). Manajemen Bencana Erupsi Gunung Merapi Oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman. Skripsi, 1, 1–476.
https://www.blitarkab.go.id/prosedur-darurat/prosedur-evakuasi-keadaan-darurat/prosedur-
evakuasi-keadaan-darurat-letusan-gunung-berapi/

Putri Cep Alam, Herbasuki Nurcahyanto, S. S. (2016). Upaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Kemalang Kabupaten
Klaten Provinsi Jawa Tengah Universitas Diponegoro. Journal Of Public Policy And
Management Review, 2(3), 1–13. Retrieved from
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/3043/2903
Suriadi, A. B., Arsyad, M., Riadi, B., Infromasi, M., Ilmu, P., Kegeografian, P., … Aceh, P.
(2008). Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana. Bnpb, 13(2), 57–63.
Retrieved from https://www.gitews.org/tsunami-
kit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_kepala_BNPB/Perka BNPB 4-
2008_Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.pdf

Anda mungkin juga menyukai