Anda di halaman 1dari 41

ANATOMI SALURAN PENCERNAAN ATAS

MAKROSKOPIS

Gambar 1. Saluran Gastrointestinal (Moore, 2014)

Saluran gastrointestinal merupakan struktur tubular yang memanjang dari mulut sampai ke anus,
dengan panjang sekitar 30 kaki. Saluran gastrointestinal dibentuk oleh dua jenis organ:
(Sembulingam, 2012)

1. Organ Pencernaan Primer: merupakan organ dimana pencernaan sebenarnya terjadi,


termasuk:
a. Mulut
b. Faring
c. Esofagus
d. Lambung
e. Usus kecil
f. Usus besar
2. Organ Pencernaan Aksesoris: merupakan organ yang membantu organ pencernaan primer
dalam proses pencernaan, termasuk:
a. Gigi
b. Lidah
c. Kelenjar ludah
d. Pankreas bagian eksokrin
e. Hati
f. Kantung empedu

1
Gambar 2. Viscera Abdominalis (Moore, 2014)

Pembagian saluran GI (gastrointestinal) menjadi bagian atas dan bawah masih menjadi
perdebatan. Berdasarkan embriologis, saluran GI seharusnya dibagi menjadi bagian atas (mulut
sampai papilla major di duodenum), bagian tengah (papilla duodenum sampai colon mid-
transversus), dan bagian bawah (colon mid-transversus sampai anus). (Kapoor, 2016)

Meskipun demikian, saluran GI secara konvensional dibagi menjadi bagian atas (mulut sampai
ileum) dan bagian bawah (sekum sampai anus). Dari sudut pandang perdarahan GI, garis
demarkasi antara saluran GI atas dan bawah adalah duodenojejunal junction (DJ) (Ligamentu,
Treitz). (Kapoor, 2016)

2
MULUT

Gambar 3. Cavitas Oris (Martini, 2012)

Gambar 4. Cavitas Oris (Paulsen, 2011)

Bukaan mulut (Rima oris) menggambarkan pintu masuk saluran pencernaan dan rongga mulut.
Kemudian dibagi menjadi vestibulum oris dan cavitas oris propria. Batas dari vestibulum oris
adalah bibir dan pipi pada bagian luar dan processus alveolar dan gigi pada bagian dalam.
(Paulsen, 2011)

Batas posterior palatum molle menyokong uvula yang menggantung dan dua pasang otot arcus
pharyngeus. (Martini, 2012)

3
1. Arcus palatoglossus memanjang antara palatum molle dan basis lidah. Tiap arcus
mengandung membran mukosa dan M. palatoglossus yang mendasari dan jaringan terkait.
2. Arcus palatopharyngeus memanjang antara palatum molle sampai tepi faring.

Gambar 5. Arcus Dentalis Maxillaris dan Submandibularis (Paulsen, 2011)

4
Gambar 6. Gigi Permanen (Martini, 2012)

FARING

Gambar 7. Faring (Paulsen, 2011)

5
Gambar 8. Bagian Faring dan Persarafannya (Paulsen, 2011)

ESOFAGUS

Esofagus merupakan tabung muscular berongga yang membawa makanan dan cairan ke
lambung. Terletak posterior trachea dan sedikit ke kiri garis tengah, melewati dinding dorsal
mediastinum pada cavitas thoracica dan memasuki cavitas peritoneal melewati bukaan
diafragma, hiatus esophageal, sebelum memasuki lambung. Esofagus memiliki panjang sekitar
25 cm dan lebar diameter 2 cm. Dimulai pada tingkat kartilago cricoid anterior vertebra
cervicalis 6 dan berakhir pada anterior vertebra thoracalis 7. (Martini, 2012)

Esofagus menerima darah dari A. oesophageae dan bercabang dari (1) Truncus thyrocervicalis
dan A. carotis externa leher, (2) A. bronchialis dan A. oesophageae mediastinum, dan (3) A.
phrenicus inferior dan A. gastricus sinistra abdomen. (Martini, 2012)

Darah vena dari kapiler esophagus mengumpulkan darah dari V. oesophageae, V. thyroid
inferior, V. azygos dan V. gastricus. Esofagus dipersarafi oleh N. vagus dan truncus simfatikus
melalui plexus oesophagus. (Martini, 2012)

6
Gambar 9. Esofagus (Saladin, 2016)

LAMBUNG

Gambar 10. Lambung (Gaster) Eksternal dan Internal (Martini, 2012)

7
Lambung memiliki tiga bagian:

1. Pars cardiaca: pintu masuk lambung.


2. Corpus gastricum: bagian utama dengan fundus gastricus superior.
3. Pars pylorica: pintu keluar lambung yang berlanjut menjadi Antrum pyloricum dan Canalis
pyloricus, yang kemudian dikelilingi oleh M. sphincter pyloricus.

Lambung memiliki dinding anterior dan posterior (Paries anterior dan paries posterior).
Curvatura minor mengarah ke sisi kanan, Curvatura major ke sisi kiri. Sudut pada curvatura
minor (Incisura angularis) menandakan awal dari Pars pylorica, Curvatura major juga dimulai
dengan sebuah lekukan (Incisura cardialis). (Paulsen, 2011)

Gambar 11. Skema Bagian-Bagian Lambung (Paulsen, 2011)

8
Gambar 12. Lapisan Otot Lambung (Paulsen, 2011)

Gambar 13. Lambung dan Duodenum Potongan Ventral (Paulsen, 2011)

9
Gambar 14. Proyeksi Lambung (Paulsen, 2011)

Orificia cardiaca terproyeksi pada tingkatan vertebra thoracalis 10, dan secara ventral dibawah
processus xiphoideus sternum. Letak bagian caudal lambung relatif antara vertebra lumbaris 2-3.
Pylorus terletak di antara jarak garis khayal fossa jugularis dan symphysis pubica, terproyeksi
pada vertebra lumbaris 1. (Paulsen, 2011)

10
Gambar 15. Organ-Organ yang Berdekatan dengan Lambung (Ventral-Dorsal) (Paulsen, 2011)

11
Gambar 16. Perdarahan Arteri Lambung (Paulsen, 2011)

Tabel 1. Arteri dan Vena pada Lambung (Paulsen, 2011)


Arteri Vena
Curvatura Minor A. gastrica sinistra (cabang V. gastrica sinistra
dari Truncus coeliacus) V. gastrica dextra
A. gastrica dextra (turunan
dari A. hepatica propria)
Curvatura Major A. gastroomentalis sinistra V. gastroomentalis sinistra
(turunan dari A. splenica) (menuju V. splenica)
A. gastroomentalis dextra V. gastroomentalis dextra
(turunan dari A. (menuju V. mesenterica
gastroduodenalis dari A. superior)
hepatica communis)
Fundus Aa. gastricae breves (turunan Vv. gastricae breves (menuju
dari A. splenica) V. splenica)
Paries Posterior A. gastrica posterior (turunan V. gastrica posterior
dari A. splenica)
*Truncus coeliacus terdiri dari A. gastrica sinistra, A. hepatica communis, dan A. splenica

12
Gambar 17. Regio Abdomen (Martini, 2012)

PERDARAHAN

13
Gambar 18. Perdarahan Arteri dan Drainase Vena Sistem Pencernaan (Moore, 2014)

Suplai arteri sistem pencernaan bagian abdomen berasal dari aorta abdominalis. Tiga cabang
utama aorta yang menyuplai yaitu A. truncus coeliacus dan A. mesenterica superior et inferior.
Vena portae hepatis dibentuk dari gabungan V. mesenterica superior dan V. splenica. Ini
merupakan kanal sistem vena portal, yang mengumpulkan darah dari sistem pencernaan bagian
abdomen, pankreas, limpa, dan sebagian besar kantung empedu, dan membawanya ke hati.
(Moore, 2014)

PERSARAFAN

Saluran pencernaan mempunyai dua jenis suplai saraf: (Sembulingam, 2012)

1. Suplai Saraf Intrinsik

Saraf intrinsic saluran pencernaan membentuk sistem saraf enterik yang mengendalikan
semua sekresi dan pergerakan saluran pencernaan. Sistem saraf enterik terdapat pada dinding
saluran pencernaan dari esophagus sampai anus. Serat saraf sistem ini saling berhubungan
dan membentuk dua jaringan besar:

a. Plexus Auerbach
Plexus Auerbach juga dikenal sebagai plexus N. myenterica yang terdapat antara lapisan
muskularis sirkular dalam dan lapisan muskularis longitudinal luar. Fungsi utama plexus
ini adalah untuk meregulasi pergerakan saluran pencernaan, beberapa dapat mempercepat
pergerakan dengan mensekresikan zat neurotransmitter eksitasi seperti asetilkolin,
serotonin dan substansi P, dan beberapa lainnya menghambat pergerakan pencernaan

14
dengan mensekresikan neurotransmitter inhibitor seperti vasoactive intestinal
polypeptide (VIP), neurotensin, dan encephalin.

Gambar 19. Plexus Auerbach dan Plexus Meissner (Sembulingam, 2012)

b. Plexus Meissner
Plexus Meissner disebut juga plexus N. submucosa yang berada di antara lapisan
muskular dan lapisan submucosal saluran cerna. Fungsi plexus Meissner adalah
meregulasi fungsi sekresi saluran cerna. Serabut saraf ini menyebabkan konstriksi
pembuluh darah saluran cerna.

2. Suplai Saraf Ekstrinsik

Saraf ekstrinsik yang mengendalikan sistem saraf enterik berasal dari sistem saraf otonom
yang terdiri dari saraf simpatis dan parasimpatis yang menginervasi saluran cerna.

a. Serabut Saraf Simpatis


Serabut saraf simpatis preganglionic saluran cerna berasal dari tanduk lateral chorda
spinae antara segmen thoracica 5 dan segmen lumbaris 2. Dari sini, serabut meninggalkan
chorda spinae, melewati ganglia rantai simpatis tanpa mempunyai sinaps apapun dan
kemudian berakhir pada ganglia celiaca dan ganglia mesenterica. Serabut postganglionic
dari ganglia ini didistribusikan melalui saluran cerna. Fungsi serat simpatis yaitu
menghambat penggerakan dan mengurangi sekresi saluran cerna dengan mensekresikan
neurotransmitter noradrenalin. Ini juga menyebabkan konstriksi sfingter.

b. Serabut Saraf Parasimpatis


Serabut saraf parasimpatis melewati beberapa N. cranialis dan N. sacralis. Serabut saraf
parasimpatis preganglionik dan postganglionik ke mulut dan kelenjar ludah melewati N.
facialis dan N. glossopharyngeal.

15
Serabut saraf parasimpatis preganglionic ke esofagus, lambung, usus kecil dan usus besar
atas melewati N. vagus. Serabut saraf preganglionik usus besar bawah berasal dari
segmen sacralis 2-4 chorda spinae dan melewati N. pelvica dan bersinapsis dengan sel
saraf postganglionik pada plexus myenterica dan plexus submucosa. Fungsi serabut ini
adalah mempercepat pergerakan dan meningkatkan sekresi saluran cerna,
neurotransmitter yang disekresikan adalah asetilkolin (Ach).

Gambar 20. Persarafan Saluran Gastrointestinal (Sembulingam, 2012)

MIKROSKOPIS
Lapisan utama saluran pencernaan antara lain: (Martini, 2012)

1. Lapisan Mukosa

Lapisan dalam (mukosa) saluran pencernaan mengandung lapisan jaringan ikat longgar yang
dilapisi oleh epitelium yang dibasahi oleh kelenjar sekresi. Epitel mukosa dapat berlapis atau
selapis, tergantung pada letak dan tekanan yang terlibat. Misalnya, rongga mulut dan
esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tanpa keratinin yang dapat menahan renggangan
dan abrasi, sementara lambung, usus halus, dan hampir seluruh usus besar mempunyai epitel
selapis toraks terspesialisasi untuk sekresi dan absorpsi.

Lapisan dasar jaringan areolar, disebut lamina propria, yang mengandung pembuluh darah,
saraf sensorik, pembuluh limfe, serabut otot polos, dan jaringan limfoid yang tersebar. Pada
kebanyakan daerah saluran cerna bagian luar mukosa, terdapat otot polos sempit dan serabut

16
elastis yang disebut muskularis mukosa. Serat otot polos muskularis mukosa tersusun dalam
dua lapisan konsentris tipis, lapisan dalam (lapisan sirkular) dan lapisan luar (lapisan
longitudinal).

2. Lapisan Submukosa

Lapisan submukosa adalah lapisan jaringan ikat padat, ireguler yang mengelilingi muskularis
mukosa. Pembuluh darah besar dan limfatik ditemukan pada lapisan ini, dan pada beberapa
daerah submukosa juga mengandung kelenjar eksokrin yang mensekresikan buffer dan enzim
ke dalam lumen. Di sepanjang margin luarnya, submukosa mengandung jaringan serabut
saraf dan sel-sel neuron yang tersebar. Plexus Meissner ini menginervasi mukosa, yang
mengandung neuron sensorik, ganglia parasimpatis, dan serabut postganglionik simpatis.

3. Lapisan Muskularis Eksterna

Muskularis eksterna, yang mengelilingi submukosa, merupakan daerah yang didominasi


oleh serabut otot polos. Serabut ini tersusun dalam lapisan sirkular (dalam) dan lapisan
longitudinal (luar). Lapisan otot polos ini memainkan peran penting dalam proses mekanis
dan dalam penggerak bahan sepanjang saluran cerna. Pergerakan ini dikoordinasi oleh
neuron plexus myenterica (plexus Auerbach). Stimulasi parasimpatis meningkatkan tonus
otot dan mengstimulasi kontraksi, sementara stimulasi simpatis menghambat aktivitas
muscular dan relaksasi.

4. Lapisan Serosa

Lapisan muskularis eksterna dilapisi oleh membran serosa yang dikenal sebagai serosa.
Muskularis eksterna dibungkus oleh jaringan serabut kolagen padat yang menempel dengan
kuat pada saluran cerna ke struktur yang berdekatan. Selubung berserat ini disebut
adventitia.

17
Gambar 21. Struktur Lapisan Saluran Cerna (Martini, 2012)

MULUT

Gambar 22. Histologi Bibir (Mescher, 2013)

Ket: OM = oral mukosa, S = kulit, F = folikel rambut, V = zona vermilion, M = M. orbicularis


oris, G = kelenjar ludah minor

18
Gambar 23. Papila Lidah dan Taste Buds (Mescher, 2013)

Papil lingual merupakan elevasi membran mukosa yang memiliki berbagai macam bentuk dan
fungsi. Terdapat empat jenis:

1. Papillae Filiformis, merupakan papil terbanyak, mempunyai bentuk kerucut memanjang,


dan sangat berkeratinin, yang memberikan penampilan permukaan abu-abu keputihan.
Fungsinya memfasilitasi pergerakan makanan selama mengunyah.

Gambar 24. Papillae Filiformis (Cui, 2011)

19
2. Papillae Fungiformis, merupakan papil yang jauh lebih sedikit, keratinin tipis, dan diselingi
antara papillae filiformis. Bentuk mirip jamur dengan perdarahan dan persarafan yang baik.

Gambar 25. Papillae Fungiformis (Cui, 2011)

3. Papillae Foliata, terdiri dari beberapa sisi sejajar di setiap sisi lidah, terletak anterior sulcus
terminalis, tetapi belum sempurna pada manusia.

Gambar 26. Papillae Foliata (Cui, 2011)

4. Papilla Circumvallatae, merupakan papillae terbesar, dengan diameter 1-3 mm. Terdapat 8-
12 papillae vallatae yang tersusun normal pada bagian depan sulcus terminalis. Terdapat
kelenjar saliva (von Ebner) terdapat pada celah sekitar papilla yang menyediakan aliran
cairan di atas taste buds yang terletak pada tepi papillae.

20
Gambar 27. Papillae Circumvallatae (Cui, 2011)

Gambar 28. Tabel Perbandingan Papil Lidah (Cui, 2011)

Gambar 29. Struktur Gigi Manusia (Mescher, 2013)

21
ESOFAGUS

Esofagus merupakan tabung panjang yang menghubungkan orofaring dengan lambung. Lapisan
mukosa tersusun oleh epitel (epitel gepeng berlapis), lamina propria dan muskularis mukosa
(lapisan tunggal otot polos longitudinal). Lapisan submucosa mengandung kelenjar mukosa
yang disebut kelenjar esophageal, yang mensekresikan mucus dan membantu melumasi
makanan saat menelan. Lapisan muskularis eksterna terdiri dari dua lapis otot sirkular dan otot
longitudinal. Dinding esofagus umumnya dilapisi oleh adventitia, tetapi bagian bawah esofagus
dilapisi oleh serosa. (Cui, 2011)

Gambar 30. Histologi Esofagus (Cui, 2011)

Esofagus dapat dibagi menjadi tiga region, esofagus atas, tengah dan bawah. (Cui, 2011)

Gambar 31. Esofagus Atas (Cui, 2011)

22
Gambar 32. Esofagus Tengah (Cui, 2011)

Gambar 33. Esofagus Bawah (Cui, 2011)

LAMBUNG

Gambar 34. Regio Cardiaca Lambung (Cui, 2011)

23
Gambar 35. Regio Fundus Lambung (Cui, 2011)

Gambar 36. Sel Kelenjar Lambung (Mescher, 2013)

24
Gambar 37. Rangkuman Perbedaan Fitur Saluran Cerna Berdasarkan Regio (Mescher, 2013)

FISIOLOGI SALURAN PENCERNAAN


Pencernaan didefinisikan sebagai proses dimana makanan dipecah menjadi zat kimia sederhana
yang bisa diserap dan digunakan sebagai nutrisi oleh tubuh (Sembulingam, 2012). Secara umum
fungsi sistem pencernaan antara lain: (Martini, 2012)

1. Menelan: proses menelan terjadi ketika makanan dan cairan masuk saluran pencernaan
melalui mulut.
2. Proses Mekanis: sebagian besar padatan yang tertelan harus menjalani proses mekanis
sebelum ditelan. Peremasan dengan lidah dan merobek-menghancurkan dengan gigi adalah
contoh pengolahan mekanis yang terjadi sebelum ditelan.
3. Pencernaan: pencernaan merupakan pemecahan kimia dan enzimatis gula, lemak, dan
protein yang kompleks menjadi molekul erista kecil yang dapat diserap oleh epitel
pencernaan.
4. Sekresi: pencernaan biasanya melibatkan aksi asam, enzim dan buffer yang diproduksi oleh
sekresi aktif. Beberapa sekresi ini diproduksi oleh lapisan saluran pencernaan, tetapi
beberapa disediakan oleh organ aksesoris, seperti eristal.

25
5. Absorbsi: erista merupakan pergerakan molekul erista, elektrolit, vitamin, dan air melewati
epitel pencernaan dan menuju cairan interstitial saluran pencernaan.
6. Ekskresi: produk buangan yang disekresikan menuju saluran pencernaan, terutama oleh
kelenjar aksesoris.
7. Pemadatan: pemadatan merupakan dehidrasi progresif dari bahan yang tidak dapat dicerna
dan limbah erista sebelum dikeluarkan dari tubuh. Bahan yang telah memadat disebut feces,
defekasi merupakan proses pembuangan feces dari tubuh.

PROSES MENELAN
Menelan merupakan proses kompleks yang inisiasinya dikontrol secara peristaltik, namun
berlanjut secara involunter ketika telah diinisiasi dan dapat dibagi menjadi fase bukal, faringeal,
dan esophageal.

Gambar 38. Mekanisme Menelan (Hall, 2016)

1. Fase Bukal

Fase bukal dimulai dengan kompresi bolus melawan palatum durum. Retraksi lidah
selanjutnya memaksa bolus ke dalam faring dan membantu pengangkatan palatum molle oleh
otot palatal, sehingga mengisolasi nasofaring. Fase bukal bekerja secara sangat eristalt.
Bagaimanapun, ketika bolus memasuki orofaring, refleks involunter terinisiasi, dan bolus
digerakkan menuju lambung.

26
Gambar 39. Fase Bukal (Martini, 2012)

2. Fase Faringeal

Fase faringeal dimulai saat bolus bersentuhan dengan lengkung palatum (palatal arches),
dinding posterior faringeal, atau keduanya. Pengangkatan laring (oleh M. palatopharyngeus
dan M. stylopharyngeus) dan lipatan epiglottis mengarahkan bolus melewati glottis yang
tertutup. Kurang dalam satu detik, M. constrictor pharynges telah menggerakkan bolus ke
dalam esophagus. Selama bolus berjalan melewati faring dan menuju esophagus, pusat
pernafasan diinhibisi dan pernafasan berhenti.

Gambar 40. Fase Faringeal (Martini, 2012)

3. Fase Esophageal

Fase esophageal dimulai dengan pembukaan sfingter esophagus bagian atas. Seletah
melewati sfingter, bolus didorong sepanjang esophagus melalui gelombang eristaltic.

27
Gambar 41. Fase Esophageal (Martini, 2012)

28
Gambar 42. Gelombang Peristaltik (Martini, 2012)

???

???

???

29
BIOKIMIA ASAM LAMBUNG

Gambar 43. Anatomi Lambung Fungsional (Reinus, 2014)

30
Gambar 44. Komposisi Getah Lambung (Sembulingam, 2012)

SINDROM DISPEPSIA
DEFINISI
Sindrom Dispepsia menurut Kriteria Rome III adalah sindrom yang mencakup satu atau lebih
dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar
di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala
sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. (Abdullah, 2012)

Dispepsia fungsional menurut Kriteria Rome IV adalah kondisi medis yang secara signifikan
berdampak terhadap aktivitas pasien yang biasa dan ditandai oleh satu atau lebih dari gejala
berikut: perut penuh setelah makan (postprandial), kenyang lebih awal, nyeri perut, dan perut
terasa terbakar yang tidak dapat dijelaskan setelah evaluasi klinik rutin. (Stanghellini, 2016)

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. Rasa
tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa
kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia fungsional,
keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan
gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. (Simadibrata, 2014)

31
KLASIFIKASI

ETIOLOGI
Tabel 2. Penyebab Dispepsia (Djojoningrat, 2015)
Esofagogastroduodenal Tukak peptik, gastritis, tumor, dsb
Obat-obatan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik dsb
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, tumor, disfungsi
sphincter Odii dsb
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,
penyakit jantung koroner, dsb
Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome

PATOFISIOLOGI
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas
gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis.
Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan
riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya. (Simadibrata, 2014)

PERANAN GANGGUAN MOTILITAS GASTRODUODENAL

Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam menerima
makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan
pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme
utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan,
yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh. (Simadibrata, 2014)

PERANAN HIPERSENSITIVITAS VISERAL

Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama


peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi
dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau
memperberat gejala dispepsia. (Simadibrata, 2014)

PERANAN FAKTOR PSIKOSOSIAL

Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia
fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia.

32
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia
fungsional. (Simadibrata, 2014)

PERANAN ASAM LAMBUNG

Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional. Hal ini didasari
pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional.
(Simadibrata, 2014)

PERANAN INFEKSI HP (HELICOBACTER PYLORI)

Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan
infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-
gejala dispepsia fungsional. (Simadibrata, 2014)

MAKANAN MENGINDUKSI GEJALA PADA SEBAGIAN BESAR INDIVIDU

Konsumsi makanan memainkan peran penting dalam genesis gejala FD (Functional Dyspepsia),
walaupun mekanisme tetap harus dijelaskan. Pada studi sebelumnya, makanan padat standar
diberikan pada 218 pasien dengan FD, dan gejala muncul 15 menit setelah makan. Makanan
tinggi lemak memperlambat pengosongan lambung dan dapat mengarah ke dispepsia, sementara
makan sedang-cepat dan tidak teratur juga dikaitkan dengan dispepsia. (Talley, 2016)

MANIFESTASI KLINIS

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


ANAMNESIS

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional Menurut Kriteria Rome III (Goldman, 2016)
1. Satu atau beberapa hal berikut:
a. Perut begah setelah makan
b. Cepat kenyang
c. Nyeri perut
d. Perasaan terbakar pada daerah perut
dan
2. Tidak ada bukti penyakit structural yang menjelaskan gejala
*Kriteria harus dipenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum
diagnosis

Tabel 4. Kriteria Diagnosis untuk Subkelompok Pasien dengan Dispepsia Fungsional Menurut
Kriteria Rome III
POSTPRANDIAL DISTRESS SYNDROME EPIGASTRIC PAIN SYNDROME

33
Satu atau beberapa hal berikut: Satu atau beberapa hal berikut:
1. Begah setelah makan, terjadi setelah makan 1. Nyeri atau rasa terbakar lokal pada
porsi biasa, setidaknya beberapa kali tiap epigastrium dengan berat sedang
minggu. setidaknya satu kali tiap minggu.
2. Cepat kenyang yang mencegah 2. Nyeri intermiten (berselang).
penghabisan makanan regular, setidaknya 3. Nyeri tidak umum atau lokal pada daerah
beberapa kali tiap minggu. dada atau abdomen lain.
4. Nyeri tidak hilang oleh defekasi atau buang
angin (flatus).
5. Nyeri tidak memenuhi kriteria kelainan
kandung kemih atau sfingter Oddi.
Kriteria pendukung Kriteria pendukung
1. Kembung abdomen atas atau mual setelah 1. Rasa sakit bisa berupa kualitas terbakar
makan atau bersendawa berlebihan dapat tetapi tanpa komponen retrosternal.
terlihat. 2. Nyeri umumnya berkurang dengan makan
2. Sindrom nyeri epigastrik mungkin ada tetapi muncul kembali saat berpuasa.
*Kriteria harus dipenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala 6 bulan sebelum diagnosis

PEMERIKSAAN FISIK

34
Gambar 45. Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Berdasarkan Letaknya (Goldman, 2016)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dispepsia luas. Temuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
penggunaan yang bijaksana studi diagnostik dapat membedakan berbagai penyebab organik dari
dyspepsia. (Greenberger, 2016)

1. GERD dan Penyakit Refluks Nonerosif


2. Peptic Ulcer Disease
3. Keganasan Gastrointestinal Atas
4. Iskemi Usus Kronik
5. Penyakit Pankreatikobiliari
6. Kelainan Motilitas
7. Kelainan Sistemik
8. Infeksi
9. Pertimbangan Lain

35
Gambar 46. Pendekatan Pasien Dispepsia (Goldman, 2016)

Tabel 5. Alarm Features untuk Pasien Dispepsia (Shaukat, 2015)


Usia ≥ 50 tahun
Riwayat keluarga dengan malignansi saluran GI atas pada derajat satu
Penurunan berat badan tidak disengaja
Perdarahan GI atau Anemia defisiensi besi
Disfagia
Odinofagia
Muntah persisten
Gambaran abnormal yang menyarankan penyakit organik

36
Pasien dispepsia yang lebih muda dari usia 50 tahun dan tanpa alarm features umumnya
dievaluasi dengan 1 dari 3 metode: (Shaukat, 2015)

1. Pemeriksaan non-invasif untuk Helicobacter pylori, dengan pengobatan selanjutnya jika


positif,
2. Percobaan empiris supresi asam, atau
3. Endoskopi awal.

TATALAKSANA

Gambar 47. Algoritma Pengobatan Dispepsia Fungsional (Alexandru, 2013)

37
Gambar 48. Regimen Eradikasi Helicobacter pylori (Greenberger, 2016)

KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, gangguan pencernaan (dispepsia) ringan dan hanya terjadi sesekali.
Bagaimanapun, gangguan berat pencernaan dapat menyebabkan komplikasi: (www.hse.ie)

1. Striktur Esofagus

Dispepsia sering disebabkan oleh refluks asam, yang terjadi ketika asam lambung bocor naik
kembali ke esofagus dan mengiritasi lapisan mukosanya. Jika iritasi ini berlangsung lama,
dapat menyebabkan esofagus menjadi luka dan menjadi sempit dan konstriksi (dikenal
dengan striktur esofagus). Gejala yang timbul antara lain kesulitan menelan (disfagia),
makanan tersangkut di tenggorokan, dan nyeri dada.

2. Stenosis Pyloric

Seperti striktur esofagus, stenosis pyloric disebabkan oleh iritasi jangka panjang lapisan
sistem pencernaan dari asam lambung. Stenosis pyloric terjadi ketika saluran antara lambung
dan usu kecil (pylorus) menjadi luka dan sempit. Ini menyebabkan muntah dan mencegah
makanan yang dimakan dicerna dengan baik.

38
3. Peritonisis

Dispepsia kronik dapat memecah dan menginfeksi lapisan saluran pencernaan (peritoneum).
Ini dikenal dengan peritonitis. Peritonitis biasanya terjadi jika ada robekan atau kerusakan
lainnya pada peritoneum, yang dapat disebabkan oleh paparan berulang terhadap asam
lambung.

PENCEGAHAN
Cara terbaik untuk mencegah dyspepsia adalah hanya mengkonsumsi makanan yang lembut dan
mudah dicerna. Hal ini akan mengurangi jumlah kerja yang dibutuhkan saluran cerna dalam
mencerna makanan. Bahkan, minum cukup air selama makan juga akan memfasilitasi
pencernaan yang lebih baik. Bagaimanapun, saran ini mungkin tidak bekerja sepanjang waktu.
Dengan demikian, metode pencegahan berikut harus diikuti: (www.simple-remedies.com)

1. Tidur dengan kepala setidaknya 6 inci lebih tinggi dari dada Anda, dapat dilakukan dengan
menambah bantal di bawah kepala.
2. Menahan diri dari berbaring setelah makan.
3. Menghindari latihan atau aktivitas berat setelah makan. Lebih baik latihan paling sedikit 1
jam sebelum makan.
4. Kurangi konsumsi alcohol karena alcohol dapat mengiritasi lapisan lambung.
5. Untuk menghindari tekanan pada lambung, hindari pemakaian pakaian ketat yang membatasi
aktivitas lambung.
6. Kurangi makanan yang mengandung tinggi asam seperti buah jeruk.
7. Belajar beradaptasi yang berarti mengatasi stress dengan benar.

PROGNOSIS
Dipepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat,
mempunyai prognosis yang baik. (Djojoningrat, 2015)

39
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. & Gunawan, J. (2012). Dispepsia. CDK-197/ Vol. 39 No. 9, th. 2012

Alexandru, T., et al. (2013). Functional Dyspepsia Today. MAEDICA – a Journal of Clinical
Medicine 2013; 8(1): 68-74

Cui, D., et al. (2011). Atlas of Histology with Functional & Clinical Correlations.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

Djojoningrat, D. (2015). Dispepsia Fungsional. Dalam: Setiati, S., et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Goldman, L., et al. (2016). Goldman-Cecil Medicine 25th Edition Vol. 1. Philadelphia:
Elsevier Sauders

Greenberger, N. J. (2016). Current Diagnosis & Treatment: Gastroenterology, Hepatology


& Endoscopy 3rd Edition. New York: McGraw-Hill Education

Hall, J. E. (2016). Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology 13rd Editon.
Philadelphia: Elsevier

Kapoor, V. K. (2016). Upper GI Tract Anatomy. (emedicine.medscape.com) Diakses tanggal 7


April 2017

Martini, F., Timmons, M. J., Tallitsch, R. B. (2012). Human Anatomy 7th Edition. New Jersey,
USA: Pearson Education

Moore, K. L., et al. (2014). Moore Clinically Oriented Anatomy 7th Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins

Paulsen, F. (2011). Sobotta Atlas of Human Anatomy: Internal Organ 15 th Edition. Munich:
Elsevier Urban & Fischer

Reinus, J. F. & Simon, D. (2014). Gastrointestinal Anatomy and Physiology The Essentials.
United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd.

Saladin, K. S. (2016). Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function 8 th Edition.
New York: McGraw-Hill Education

Sembulingam, K. (2012). Essentials of Medical Physiology 6th Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers

Shaukat, A., et al. (2015). The Role of Endoscopy in Dyspepsia. American Society for
Gastrointestinal Endoscopy Volume 82, No. 2 : 2015

40
Simadibrata, M., et al. (2014). Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan Kelompok
Studi Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI)

Stanghellini, V., et al. (2016). Gastroduodenal Disorders. Gastroenterology 2016;150:1380–


1392

Talley, N. J. (2016). Functional Dyspepsia: New Insights Into Pathogenesis and Therapy.
Korean J Intern Med 2016;31:444-456. doi.org/10.3904/kjim.2016.091

41

Anda mungkin juga menyukai