PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Kata “Corona” berasal dari bahasa Latin yang artinya “crown” atau
mahkota. Bentuk mahkota ini ditandai oleh adanya “Protein S” yang berupa
sepatu, sehingga dinamakan “spike protein”, yang tersebar disekeliling
permukaan virus. “Protein S” inilah yang berperan penting dalam proses infeksi
virus terhadap manusia. Coronavirus adalah virus RNA yang besar dan
berselubung.
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama: demam,
batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak (PDPI,
2020).
Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular sudah
teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan
perkembangan penyakit)
c. Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.
d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19 (PDPI,2020).
a. Hematology Analyzer
Pemeriksan hematologi dengan menggunakan alat hematology analyzer yang
dilakukan, selain lebih cepat juga ada beberapa paremeter tambahan untuk
membantu mendukung diagnosis COVID–19, seperti HFLC (High Fluorescent
Lymphocyte Count), hitung Limfosit Absolute / ALC, Netrofil Limfosit Rasio
(NLR).
b. Rapid Tes Antibody
Tes ini digunakan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap COVID-
19. Antibody ini akan timbul pada hari ke 7 pasca infeksi / gejala, sehingga perlu
strategi dalam penggunaan rapid tes antibody. IgM biasanya muncul pada hari ke
7, meningkat sampai hari ke 28 dan mulai menurun pada hari ke 42. Sedangkan
IgG muncul di hari ke 10, meningkat sampai hari ke 49. Kadar IgG dan IgM
lebih tinggi pada pasien dengan klinis berat dibandingkan dengan klinis ringan.
Rapid tes antibody tidak membutuhkan peralatan yang khusus. Selain itu hasil
juga dapat dibaca dalam waktu 15-20 menit. Hasil non reaktif (negatif) pada
pemeriksaan rapid tes antibody ada beberapa kemungkinan jika belum terpapar
COVID-19 yaitu belum sakit atau belum memiliki kekebalan (antibody),
sehingga perlu menjaga diri, diulang lagi 7-10 hari. Hasil reaktif (positif) pada
pemeriksaan rapid antibody COVID-19, kemungkinan sudah terpapar COVID-
19, untuk membuktikan benar-benar ada COVID-19, harus dikonfirmasi PCR.
Hasil invalid tidak nampak garis pada zona control (C), meskipun dapat / tidak
diikuti dengan penampakan garis pada zona test (T). Dengan segala keterbatasan
pada pemeriksaan metode rapid, sehingga perlu memperhatikan beberapa
keterbatasan pada pemeriksaan rapid tes baik antigen maupun antibody. Negatif
palsu yaitu keadaan sebenarnya sakit tetapi hasil pemeriksaan negatif, dimana
saat dilakukan pemeriksaan belum terbentuk antibody, atau kadarnya masih
rendah (window periode) dan juga pada keadaan tubuh tidak cukup membuat
antibody ( keadaan immunocompromised, misalnya penderita dalam pengobatan
kanker, penderita penyakit autoimun, AIDS, penyakit kronis, transplantasi organ,
dan orang usia lanjut) atau ada pengaruh obat-obatan atau zat tertentu, serta saat
antigen sudah menghilang. Positif palsu yaitu keadaan bukan merupakan
penyakit COVID-19, tetapi hasil pemeriksaannya positif dimana
terdeteksi antibody, tapi sebenarnya penyebabnya bukan COVID-19 (ada virus
lain yang menimbulkan antibody yang mirip) sehingga bisa menyebabkan reaksi
silang, misalkan dengan virus dengue (demam berdarah), atau infeksi Virus
Corona yang lain (Hadi, 2020).
Gambar 2.4. Fungsi dan produk mediator inflamasi neutrofil (Wright H., 2010).
Fungsi utama limfosit adalah untuk meregulasi sistem imun. Apabila sel-
sel asing (antigen eksogen, antigen endogen yang mengalami alterasi, sel- sel
maligna, dan sebagainya) ditelan, didegradasi, atau dieliminasi sepenuhnya oleh
fagosit, maka tidak ada sistem imun yang akan dibangkitkan. Sedangkan, apabila
respon tersebut tidak terjadi, fragmen antigen ditransportasikan menuju sinus
subkapsuler limfonodi. Pada bagian medula, antigen terfiksasi pada bagian
eksterior, dan kemudian terbawa menuju ke lisozim makrofag. Selain itu antigen
juga dibawa oleh sel dendritik untuk dipresentasikan kepada limfosit B. Sel
dendritik dapat melepaskan sitokin yang memfasilitasi diferensiasi limfosit B
menjadi sel yang dapat memproduksi antibodi. Ketika terjadi diferensiasi ini,
terjadi proliferasi yang intens selama 48 jam. Makrofag akan melepaskan IL-1, 11
sedangkan limfosit T meningkatkan produksi dan aktivasi antigen specific CD8+
T cells. Kerja faktor diferensiasi limfosit sitotoksik akan mengembangkan kloning
dari limfosit B untuk antigen spesifik dan limfosit T sitotoksik. Dalam kerjanya,
limfosit sitotoksik membutuhkan aktivasi awal dan antigen MHC kelas I. Limfosit
T mengeluarkan beberapa soluble factors yang mengaktivasi sel limfosit
sitotoksik. Sebagai umpan balik, sel supresor meredam respon imun spesifik dan
menghambat kerja limfosit T yang sudah teraktivasi (Cotran R., 2005).
Gambar 2.5. Aktivasi sel B intraseluler (Cotran R., 2005).
Limfosit T dapat dibedakan berdasar tipe reseptor antigen, yaitu sel T yang
memiliki TCR δ/γ, dan sel T yang memiliki TCR α/β, yang dibagi berdasarkan
koreseptor CD4+ atau CD8+ . Sel T δ/γ ditemukan di epitel mukosa, darah, serta
pada bagian tubuh lain, dan memiliki fungsi stimulasi terhadap imunitas bawaan
dan mukosa. Sel T δ/γ ini akan memproduksi IFN-γ dan mengaktivasi sel
dendritik dan makrofag. Jenis sel ini hanya berjumlah 5% dari seluruh limfosit
yang tersirkulasi, namun dapat meningkat hingga 20-60% pada infeksi patogen
tertentu. Sel T α /β diekspresikan pada sebagian besar sel T dan berperan dalam
respon imun yang diaktivasi antigen. Sel T α /β terbagi menjadi beberapa kelas
oleh ekspresi molekul CD4+ dan CD8+ menjadi T helper, T sitotoksik, T
regulatorik, dan sel NKT.1 Sel T Helper merupakan sel T yang mengekspresikan
CD4+. Sel ini berinteraksi dengan peptida yang dipresentasikan oleh molekul
MHC kelas II yang diekspresikan di permukaan APC (sel dendritik, makrofag,
dan sel B).Lebih lanjut sel T CD4+ kemudian berdiferensiasi menjadi sel TH0,
TH1, TH2, TH17.Diferensiasi ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya sitokin
proinflamasi terutama IL-2.Sel TH0 memproduksi sitokin yang dapat
mengekspansi respon imunitas selular.Sel TH1 memproduksi IFN- γ dan IL-2
untuk mengaktivasi sel dendritik dan makrofag yang dapat meningkatkan respon
imun terhadap bakteri intraselular, serta meningkatkan produksi subtipe tertentu
dari IgG.Sel TH2 memiliki fungsi untuk meningkatkan respon antibodi.
Sedangkan TH17 akan mensekresi IL-17 untuk mengaktifkan neutrofil serta
meningkatkan respon inflamasi dan antifungal (Abbas A., 2015).
Sistem imun adaptif, yaitu sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan berespon
terhadap antigen dari mikroba yang terfagositosis yang terekspresi sebagai peptida
yang terikat pada MHC kelas II dan kelas I. Selanjutnya IL-12 yang diproduksi
makrofag dan sel dendritik akan mendorong diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel
efektor TH1. Kemudian sel T akan mngekspresikan CD40 dan mensekresikan
IFN-γ, yang keduanya akan mengaktifkan makrofag untuk memproduksi
substansi mikrobisidal, termasuk ROS, NO dan enzim lizosimal. Lebih lanjut
terjadi produksi isotype antibodi (IgG2 pada tikus) yang akan mengopsonisasi
bakteri dan mengaktivasi sistem komplen. Respon ini juga distimulasi oleh IFN-
γ . Respon imun yang dimediasi oleh sel T CD8+ akan teraktivasi apabila bakteri
yang berada pada fagosom dapat menghindari ingesti oleh fagosom dan berada di
sitoplasma sel yang terinfeksi. Respon mikrobisidal tidak dapat mengeliminasi
bakteri yang berada di sitosol, sehingga perlu adanya aktivasi limfosit T
sitotoksik. Sehingga dapat disimpulkan dalam mekanisme pertahanan terhadap
bakteri intraseluler sel T CD4+ dan sel T CD8+ harus saling bekerja sama
(Murray P. R., 2013).
Sepsis dapat menimbulkan deplesi yang besar pada limfosit B juga pada
CD4 limfosit T dalam organ limfoid sekunder, sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melawan infeksi.Hubungan antara kondisi klinis yang
mengalami komplikasi atau prognosis yang buruk pada pasien sepsis dengan
penurunan konsentrasi CD4 T - limfosit dan limfosit T yang telah diaktifkan di
darah perifer pada sebagian besar pasien trauma atau pasien paska pembedahan
dengan sepsis sekunder.
Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa
dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung
limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi,
serta persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus
COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-
8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga
didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor,
dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T
helper dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat (Qin C., 2020).
Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan
penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan CD8 tersebut berada
dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi HLA-
DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam
konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5%
positif granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan
konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi.39 ARDS merupakan penyebab
utama kematian pada pasien COVID-19. Penyebab terjadinya ARDS pada
infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang
tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-
α, IFN-γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ)
serta kemokin dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan
CXCL10) (Li X., et al 2020).Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-
γ- inducible protein 10, monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage
inflammatory protein 1 alpha juga didapatkan peningkatan. Respons imun yang
berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga terjadi
disabilitas fungsional (Zumla A., 2020).
2.4 KerangkaTeori
Diagnosa
COVID-19
Keterangan :
= Yang diteliti
Limfosit (RNL)
2.6. Hipotesis
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan jenis
penelitian observasional analitik yaitu dengan melakukan pengamatan
langsung pada objek yang diteliti dan mencari hubungan antar variabel.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, dimana
variabel terikat dan variabel bebas diambil dalam waktu yang bersamaan.
3.4 DefinisiOperasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
1 Rasio Merupakan salah Data Pencatatan 1. Meningkat Nominal
Neutrofil satu indikator dari laboratoriu hasil dari 2. Menurun
Limfosit adanya respon m dan data
inflamasi rekam medis laboratoriu
sistematis yang m dan
secara luas rekam
digunakan sebagai medis
penentu prognosis
dari pasien
dengan
pneumonia oleh
karena virus.
2 Pasien Pasien yang Data Pencatatan 1. Positif Nominal
Covid-19 dibuktikan laboratoriu hasil dari 2. Negatif
pemeriksaan RT- m dan data
PCR: dengan rekam medis laboratoriu
gejala m dan
(simptomatik) rekam
atau konfirmasi medis
tanpa gejala
(asimptomatik)..
1. Orang yang melakukan tes PCR di RSUD Patut Patuh Patju Gerung.
2. Orang yang melakukan pemeriksaan hematologi NRL di RSUD
Patut Patuh Patju Gerung.
Kriteria eksklusi
1. Data dan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak terbaca.
2. Memiliki komorbid.
Kaji Etik
Sampel diperoleh
Drop Out
Analisis Data
Kesimpulan
1. Analisis univariat
Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik
variabel yang diteliti baik untuk variabel bebas maupun variabel
terikat dengan menggunakan perangkat lunak SPSS for windows 26th
Edition.
2. Analisis bivariat
Keterangan :
DAFTAR PUSTAKA