Anda di halaman 1dari 19

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

PROGRAM STUDI KONSERVASI GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Modul IPTEK
29 Juni 2020

PATOMEKANISME COVID-19

Disusun Oleh :

Muthmainnah Majaya / J025191001

Dosen Pengampu:

Dr. drg. Juni Jekti Nugroho,Sp.KG (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

Diawal tahun 2020, dunia digemparkan dengan merebaknya virus baru yaitu
coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Coronavirus disease 2019
(COVID-19). Diketahui, asal mula virus ini berasal dari Wuhan, Tiongkok. Ditemukan pada
akhir Desember tahun 2019. Data WHO, 15 Februari 2020 terdapat 29 negara yang telah
terjangkit virus satu ini. Sedangkan menurut data 25 Juni 2020 sudah ada 216 negara sampai
saat ini sudah terjangkit Covid-19 ini.1,2

Penyebaran COVID-19 terjadi cepat dan meluas karena dapat menular melalui kontak
dari manusia ke manusia. Hingga saat ini, berita seputar COVID-19 masih menjadi perhatian
utama semua negara untuk waspada dan tetap siaga menghadapi COVID-19 yang belum
ditemukan obat dan vaksinnya.1

Virus corona disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksi saluran


pernapasan yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-
CoV-2), atau yang sering disebut virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yang tinggi
dan merupakan patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan binatang dengan
presentasi klinis yang sangat beragam, mulai dari asimptomatik, gejala ringan sampai berat,
bahkan sampai kematian.3

Penyakit ini dilaporkan memiliki tingkat mortalitas 4% di Asia Tenggara. Beberapa


faktor risiko dapat memperberat keluaran pasien, seperti usia >50 tahun, pasien
imunokompromais, hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit paru, dan
penyakit jantung.3

COVID-19 dapat dicurigai pada pasien yang memiliki gejala saluran pernapasan,
seperti demam >38⁰ C, batuk, pilek, sakit tenggorokan yang disertai dengan riwayat bepergian
ke daerah dengan transmisi lokal atau riwayat kontak dengan kasus probabel atau kasus
konfirmasi COVID-19. Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien COVID-19 tidak spesifik,
tetapi limfopenia, peningkatan laktat dehidrogenase, dan peningkatan aminotransferase,
umumnya sering ditemukan.3

Kejadian luar biasa oleh Coronavirus bukanlah merupakan kejadian yang pertama
kali. Tahun 2002 severe acute respiratory syndrome (SARS) disebakan oleh SARS-
coronavirus (SARS-CoV) dan penyakit Middle East respiratory syndrome (MERS) tahun 2012
disebabkan oleh MERS-Coronavirus (MERS-CoV) dengan total akumulatif kasus sekitar
10.000 (1000-an kasus MERS dan 8000-an kasus SARS). Mortalitas akibat SARS sekitar 10%
sedangkan MERS lebih tinggi yaitu sekitar 40%.1

Ditetapkannya kasus COVID-19 sebagai pandemi dunia akhirnya memberikan efek


luar biasa di berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor kesehatan. Dunia kedokteran gigi
juga ikut terdampak karena penyebaran melalui droplet dan saliva. Sehingga sebagai dokter
gigi dirasa perlu untuk ikut berperan dalam penanganan kasus ini, mengingat banyaknya kasus
emergensi dalam kedokteran gigi yang perlu ditangani tetapi tetap dalam kewaspadaan
terhadap COVID-19 ini.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Coronavirus

Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae
dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat
empat genus yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma
coronavirus.1

Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering pleimorfik dengan
diameter sekitar 50-200 nm. Semua virus ordo Nidovirales memiliki kapsul, tidak bersegmen,
dan virus positif RNA serta memiliki genom RNA sangat panjang. Morfologi virus corona
mempunyai proyeksi permukaan (spikes) glikoprotein yang menunjukkan gambaran seperti
menggunakan mahkota dengan polaritas positif 27-32 kb. Struktur protein utama SARS-CoV-
2 adalah protein nukleokapsid (N), protein matriks (M), glikoprotein spike (S),
protein envelope (E) selubung, dan protein aksesoris lainnya. Protein S berlokasi di permukaan
virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen utama virus dan
merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan
masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang).1,3

Gambar 1. Struktur coronavirus


Gambar 2. Gambaran mikroskopik SARS-CoV-2 menggunakan transmission electrone
microscopy

Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat diinaktifkan oleh
desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56℃ selama 30 menit, eter,
alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik, formalin, oxidizing agent dan kloroform.
Klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan virus. 1

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada umumnya. Sekuens
SARSCoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang diisolasi pada kelelawar, sehingga
muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan
menginfeksi manusia. Mamalia dan burung diduga sebagai reservoir perantara.

Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara. Strain


coronavirus pada trenggiling adalah yang mirip genomnya dengan coronavirus kelelawar
(90,5%) dan SARS-CoV-2 (91%). Genom SARS-CoV-2 sendiri memiliki homologi 89%
terhadap coronavirus kelelawar ZXC21 dan 82% terhadap SARS-CoV.3, 4
Gambar 3. Ilustrasi transmisi coronavirus1

Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki


struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-binding yang hampir identik dengan
SARS-CoV. Pada SARS-CoV, protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap angiotensin-
converting-enzyme 2 (ACE2). Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung kemungkinan
virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor ACE2. Studi tersebut juga
menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti
Aminopeptidase N (APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).4

2.2. Patofisiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)3, 4,5

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak jauh
berbeda dengan sarscov yang sudah lebih banyak diketahui. Pada manusia, SARS-CoV-2
terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan
berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang
terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada
SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan
mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul
di permukaan sel. 4

Patofisiologi COVID-19 diawali dengan interaksi protein spike virus dengan sel
manusia. Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi dan memfasilitasi ekspresi gen
yang mambantu adaptasi severe acute respiratory syndrome virus corona 2 pada inang.
Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen, atau delesi, akan menyebabkan perubahan genom
yang menyebabkan outbreak di kemudian hari.3

Severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) menggunakan


reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2), yang ditemukan pada traktus respiratori
bawah manusia dan enterosit usus kecil sebagai reseptor masuk. Glikoprotein spike (S) virus
melekat pada reseptor ACE2 pada pernukaan sel manusia. Subunit S1 memiliki fungsi sebagai
pengatur receptor binding domain (RBD). Sedangkan subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi
membran antara sel virus dan sel inang.3

Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan dikeluarkan dalam sitoplasma sel inang.
RNA virus akan mentranslasikan poliprotein pp1a dan pp1ab dan membentuk kompleks
replikasi-transkripsi (RTC). Selanjutnya, RTC akan mereplikasi dan menyintesis subgenomik
RNA yang mengodekan pembentukan protein struktural dan tambahan. 3

Gabungan retikulum endoplasma, badan golgi, genomik RNA, protein nukleokapsid,


dan glikoprotein envelope akan membentuk badan partikel virus. Virion kemudian akan berfusi
ke membran plasma dan dikeluarkan dari sel-sel yang terinfeksi melalui eksositosis. Virus-
virus yang dikeluarkan kemudian akan menginfeksi sel ginjal, hati, intestinal, dan limfosit T,
dan traktus respiratori bawah, yang kemudian menyebakan gejala pada pasien. 3

Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus tidak bisa hidup
tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah menemukan sel host sesuai tropismenya.
Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada
dipermukaan virus. Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu
tropisnya.

Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim
ACE-2 (Angiotensin converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan
nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa,
hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan
sel otot polos.

Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus.
Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan
dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus. Berikut
gambar siklus hidup virus (gambar 4).

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel
epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas
bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut
meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus
sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari.

Gambar 4. Siklus hidup coronavirus (SARS)1

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel,
genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua
poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi.
Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum
endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA
dan protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan
membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru.4

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan dalam


masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya SARS-CoV ke dalam
sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan plasma membran dari sel. Pada proses
ini, protein S2’ berperan penting dalam proses pembelahan proteolitik yang memediasi
terjadinya proses fusi membran. Selain fusi membran, terdapat juga clathrindependent dan
clathrin-independent endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel
pejamu.4

Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek sitopatik virus
dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi. Disregulasi
sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2.
Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi
lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan. 4

2.3. Respon imun pada Covid-19

Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum sepenuhnya dapat
dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang ditemukan pada SARS-CoV dan
MERS-CoV. Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke antigen
presentation cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul major
histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut berkontribusi.
Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas humoral dan selular tubuh yang
dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik terhadap virus. Pada respons imun humoral
terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir
minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang
telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+
memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun secara bertahap tanpa
adanya antigen.

Virus memiliki mekanisme untuk menghindari respons imun pejamu. SARS-CoV dapat
menginduksi produksi vesikel membran ganda yang tidak memiliki pattern recognition
receptors (PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh
pejamu. Jalur IFN-I juga diinhibisi oleh SARS-CoV dan MERS-CoV. Presentasi antigen juga
terhambat pada infeksi akibat MERS-CoV.

Gambar 5. Skema replikasi dan patogenesis virus.4

2.3.1. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Ringan

Respons imun yang terjadi pada pasien dengan manifestasi COVID-19 yang tidak berat
tergambar dari sebuah laporan kasus di Australia. Pada pasien tersebut didapatkan peningkatan
sel T CD38+HLA-DR+ (sel T teraktivasi), terutama sel T CD8 pada hari ke 7-9. Selain itu
didapatkan peningkatan antibody secreting cells (ASCs) dan sel T helper folikuler di darah
pada hari ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala. Peningkatan IgM/IgG SARS-CoV-2 secara
progresif juga ditemukan dari hari ke-7 hingga hari ke-20. Perubahan imunologi tersebut
bertahan hingga 7 hari setelah gejala beresolusi. Ditemukan pula penurunan monosit
CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel natural killer (NK) HLA-DR+CD3-CD56+
yang teraktivasi dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1; CCL2) juga ditemukan
menurun, namun kadarnya sama dengan kontrol sehat. Pada pasien dengan manifestasi
COVID-19 yang tidak berat ini tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin
proinflamasi, meskipun pada saat bergejala.

2.3.2. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis Berat

Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan berat bisa dilihat
dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut mendapatkan hitung limfosit yang lebih
rendah, leukosit dan rasio neutrofil-limfosit yang lebih tinggi, serta persentase monosit,
eosinofil, dan basofil yang lebih rendah pada kasus COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi
yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin, ferritin dan
C-reactive protein juga didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T
supresor, dan T regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T helper
dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat. Laporan kasus lain pada pasien COVID-
19 dengan ARDS juga menunjukkan penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan
CD8 tersebut berada dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi fraksi
HLA-DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula sitotoksik dalam
konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif granulisin, dan 30,5% positif
granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan pula peningkatan konsentrasi Th17 CCR6+ yang
proinflamasi.

ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-19. Penyebab


terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin, yaitu respons inflamasi
sistemik yang tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-
α, IFN-γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ) serta kemokin
dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan CXCL10) seperti terlihat
pada gambar 5. Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-γinducible protein 10,
monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage inflammatory protein 1 alpha juga
didapatkan peningkatan. Respons imun yang berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan
paru dan fibrosis sehingga terjadi disabilitas fungsional.

2.3.3. Sistem imun pada penderita dengan faktor risiko

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,
jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.
Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi
perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada
peningkatan ekspresi reseptor ACE2.

Diaz JH menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor


blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European
Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk
menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga
pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi
agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit
hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-
19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Studi Guan, dkk. Menemukan bahwa dari
261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan kanker
dan 23 pasien dengan hepatitis B.

Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko
mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini belum
ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2. Hubungan infeksi SARS-CoV-
2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan. Belum ada studi yang
menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2.
Namun, studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, dkk.menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki manifestasi
klinis yang lebih parah.

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19
dan riwayat perjalanan ke area terjangkit.Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak
dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah
satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga
medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%.

2.4. Sistem imun dan deteksi Covid-19 yang berkaitan dengan dunia kedokteran gigi

Tes diagnostik SARS-CoV-2 yang cepat dan akurat sangat penting untuk
mengendalikan pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung. Standar emas saat ini untuk
diagnosis COVID-19 adalah deteksi RT-PCR real-time dari SARS-CoV-2 dari swab
nasofaring. Sensitivitas rendah, risiko pajanan terhadap petugas layanan kesehatan, dan
kekurangan swab dan peralatan perlindungan pribadi secara global, bagaimanapun,
mengharuskan validasi pendekatan diagnostik baru. Saliva adalah kandidat yang menjanjikan
untuk diagnosa SARS-CoV-2 karena (1) pengumpulan minimal invasif dan dapat dikelola
sendiri dan (2) Saliva telah menunjukkan sensitivitas yang sebanding dengan swab nasofaring
dalam mendeteksi patogen pernapasan lainnya, termasuk endemik virus korona manusia. ,
dalam studi sebelumnya. Untuk memvalidasi penggunaan saliva untuk deteksi SARS-CoV-2,
kami menguji sampel nasofaring dan saliva dari pasien COVID-19 yang dikonfirmasi dan
sampel yang dikumpulkan sendiri dari petugas kesehatan di bangsal COVID-19. Ketika kami
membandingkan deteksi SARS-CoV-2 dari sampel saliva nasofaring yang disesuaikan dengan
pasien, kami menemukan bahwa saliva menghasilkan sensitivitas dan konsistensi deteksi yang
lebih besar selama infeksi. Selain itu, kami melaporkan lebih sedikit variabilitas dalam
pengambilan sampel sendiri dari saliva. Secara keseluruhan, temuan kami menunjukkan bahwa
air liur adalah alternatif yang layak dan lebih sensitif untuk swab nasofaring dan dapat
memungkinkan pengumpulan sampel yang dikelola sendiri di rumah untuk pengujian SARS-
CoV-2 skala besar yang akurat.6

Menurut laporan terbaru tentang penyakit coronavirus 2019 (COVID-19), penulis telah
menarik perhatian pada risiko gigi, di mana pasien tanpa gejala telah disebutkan berkali-kali
(Meng et al. 2020). Sebelumnya, para peneliti telah menunjukkan peran mukosa oral pada
infeksi COVID-19 (Xu, Zhong, et al. 2020). Kami ingin menarik perhatian ke kelenjar ludah
dalam proses epidemi infeksi asimptomatik.7

ACE2 adalah reseptor penting untuk COVID-19 (Xu, Chen, et al. 2020). Dalam
penelitian sebelumnya tentang sindrom pernafasan akut yang parah - coronavirus (SARS-
CoV), sel-sel epitel kelenjar ludah dengan ekspresi ACE2 yang tinggi terinfeksi (Liu et
al.2011). Kami menganalisis ekspresi ACE2 di organ manusia di portal GTEx
(https://www.gtexportal.org/home/gene/ACE2#geneExpression). Ekspresi ACE2 di kelenjar
ludah minor lebih tinggi daripada di paru-paru (media paru-paru PTM [transkrip per kilobase
exonmodel per Juta yang terbaca berbunyi] = 1,010, media kelenjar ludah minor PTM = 2,013),
yang menunjukkan kelenjar ludah bisa menjadi target potensial untuk COVID-19. Selain itu,
SARS-CoV RNA dapat dideteksi dalam saliva sebelum lesi paru muncul (Wang et al.2004).
Ini mungkin menjelaskan adanya infeksi asimptomatik. Untuk SARS-CoV, kelenjar ludah bisa
menjadi sumber utama virus dalam air liur (Liu et al.2011). Tingkat positif COVID-19 dalam
air liur pasien dapat mencapai 91,7%, dan sampel air liur juga dapat mengolah virus hidup (To
et al. 2020). Hal ini menunjukkan bahwa COVID-19 yang ditularkan oleh infeksi asimptomatik
dapat berasal dari air liur yang terinfeksi.7
Oleh karena itu, penyebab infeksi asimptomatik mungkin berasal dari kelenjar ludah.
Kita tidak boleh mengabaikan potensi infektivitas saliva saja.

Telah dilaporkan bahwa ACE2 adalah reseptor sel host utama dari 2019-nCoV dan
memainkan peran penting dalam masuknya virus ke dalam sel untuk menyebabkan infeksi
akhir. Untuk menyelidiki rute potensial infeksi 2019-nCov pada mukosa rongga mulut, profil
RNA-seq massal dari dua database publik termasuk The Cancer Genome Atlas (TCGA) dan
Anotasi Fungsional dari Mammalian Genome Cap Analisis Ekspresi Gen (FANTOM5 CAGE)
dataset dikumpulkan. Data pengisian RNA-seq dari 13 jenis organ dengan jaringan normal
para-karsinoma dari TCGA dan 14 jenis organ dengan jaringan normal dari FANTOM5 CAGE
dianalisis untuk mengeksplorasi dan memvalidasi ekspresi ACE2 pada mukosa rongga mulut.
Selanjutnya, transkriptom sel tunggal dari data independen yang dihasilkan in-house digunakan
untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi komposisi sel yang mengekspresikan ACE2 dan
proporsi dalam rongga mulut. Hasilnya menunjukkan bahwa ACE2 diekspresikan pada
mukosa rongga mulut. Menariknya, reseptor ini sangat diperkaya dalam sel epitel lidah.
Sebelumnya, temuan-temuan tersebut telah menjelaskan mekanisme dasar bahwa rongga mulut
berpotensi berisiko tinggi untuk kerentanan infeksius 2019-nCoV dan memberikan sepotong
bukti untuk strategi pencegahan di masa depan dalam praktik klinis gigi serta kehidupan sehari-
hari.8

Koronavirus terkait-sindrom pernafasan akut yang parah (SARS-CoV) diperkirakan


ditularkan terutama melalui penyebaran droplet, tetapi sedikit yang diketahui tentang
kandungan SARS-CoV dalam tetesan oral. Kami memeriksa spesimen oral, termasuk
pencucian tenggorokan dan air liur, dan menemukan sejumlah besar RNA SARS-CoV di kedua
pencucian tenggorokan (9,58 x 102 hingga 5,93 x 106) / saliva dan air liur (7,08 x 103 hingga
6,38 x 108 salinan / mL) dari semua spesimen dari 17 pasien kasus SARS kemungkinan
berturut-turut, mendukung kemungkinan penularan melalui tetesan oral. Studi
imunofluoresensi menunjukkan replikasi SARSCoV dalam sel yang berasal dari pencucian
tenggorokan, menunjukkan kemungkinan mengembangkan uji deteksi antigen yang nyaman.
Temuan ini, dengan tingkat deteksi tinggi rata-rata 4 hari setelah onset penyakit dan sebelum
perkembangan lesi paru-paru pada empat pasien, menunjukkan bahwa cuci tenggorokan dan
air liur harus dimasukkan dalam pedoman pengumpulan sampel untuk diagnosis SARS. 9
Swab nasofaring dan orofaring adalah mode spesimen yang dianjurkan untuk pengujian
diagnosa (https://www.who.int/publications-detail/ laboratorium-testing-for-2019-novel-
coronavirus-in-sus-pected-human-cases- 20200117). Namun, pengumpulan jenis spesimen ini
dapat menyebabkan batuk dan karenanya meningkatkan risiko penularan kepada petugas
kesehatan. Selain itu, pengumpulan spesimen menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan
perdarahan pada pasien trombositopenik (Chan et al. 2020). Spunum adalah spesimen saluran
pernapasan bawah noninvasif, tetapi hanya 28% dari subyek yang terinfeksi dapat
menghasilkan dahak untuk evaluasi diagnostik (Huang et al. 2020). Dalam konteks ini, peran
saliva sebagai spesimen non-invasif untuk diagnosis dini dan pemantauan SARS-CoV-2
terlihat menjanjikan. Afinitas SARS-CoV-2 ke reseptor angiotensin-converting enzyme-2
manusia yang ada dalam kelenjar saliva dapat menghasilkan deteksi SARS-CoV-2 dalam
saliva. Virus dapat memasuki air liur dari saluran pernapasan atas dan bawah serta dari cairan
crevikular gingiva (Sabino-Silva et al. 2020). Sebuah studi baru-baru ini mendeteksi virus
hidup dalam saliva dari 91,7% pasien yang terinfeksi (To et al. 2020). Air liur dari tenggorokan
dalam berguna untuk diagnosis dini karena dikaitkan dengan tingkat positif yang tinggi.
Penggunaan air liur akan menguntungkan karena ini akan mengurangi ketidaknyamanan pasien
dan penularan ke petugas kesehatan selama pengambilan sampel berulang. Badan Pengawas
Obat dan Makanan Amerika Serikat memberikan izin darurat yang dikeluarkan pada 13 April
2020 untuk perangkat pengumpulan air liur (https://www.fda.gov/media/136875/ unduh).
Perangkat kemudian dipindahkan ke laboratorium untuk pengujian yang disarankan, yang
mungkin memakan waktu.10
Sejauh ini, beberapa artikel dan surat telah diterbitkan dalam jurnal gigi terkemuka
mengenai implikasi COVID-19 dalam perawatan gigi klinis. Semuanya fokus pada skrining
pasien, gambaran klinis, manajemen pasien, dan pencegahan kontaminasi lintas negara.
Sebagian besar artikel merekomendasikan menunda perawatan gigi elektif dan berkonsentrasi
pada perawatan darurat untuk beberapa waktu (Ather et al. 2020, Meng et al. 2020). Yu et al.
(2020) mempelajari karakteristik dari keadaan darurat gigi selama epidemi COVID-19 di
Wuhan, Cina. Mereka menemukan bahwa hanya kasus darurat gigi yang dirujuk ke rumah sakit
selama konsultasi kesehatan online. Para penulis juga menyimpulkan bahwa mayoritas (50,6%)
dari darurat gigi berasal dari endodontik di daerah yang terkena COVID-19. Keadaan darurat
endodontik ini termasuk pulpitis simtomatik yang ireversibel, periodontitis apikal simptomatik,
abses apikal akut, dan cedera akibat trauma. Endodontis berada di garis depan untuk mengatasi
krisis semacam itu dan untuk mencegah pasien yang tertekan dari menghadiri ruang gawat
darurat rumah sakit selama pandemi ini. Mereka lebih berisiko daripada petugas kesehatan
lainnya karena sebagian besar pekerjaan mereka melibatkan generasi aerosol. Sebagian besar
kasus mungkin merupakan pembawa asimptomatik dan harus diuji sebelumnya. Pendekatan
standar saat ini untuk skrining COVID-19 membutuhkan uji reaksi rantai transkripsiase rase-
balik (rRT-PCR) real-time (https://www.who.int/publi kation-detail / laboratorium-pengujian-
untuk-2019) -novel-coron avirus-dalam-duga-manusia-kasus-20200117). Pendekatan ini
bergantung pada fasilitas mahal, staf terlatih, dan seringkali memakan waktu. Untuk alasan ini,
diperlukan alat diagnostik alternatif, cepat, perawatan di tempat (POC) dan sensitif COVID-19
yang dapat digunakan secara rutin oleh ahli endodontik yang menggunakan air liur sebagai
spesimen sebelum memulai prosedur darurat.10

1. Tes amplifikasi-mediated isothermal (LAMP):

Teknik amplifikasi isotermal dilakukan pada suhu tertentu dan tidak memerlukan
peralatan laboratorium yang terdediasi dibandingkan dengan PCR. Tes reverse transcription
LAMP (RT-LAMP) untuk SARS-CoV-2 telah diusulkan dan dikembangkan oleh beberapa
laboratorium (Lamb et al. 2020, Yan et al. 2020). Analisis juga dapat digunakan pada sampel
air liur. Ini melibatkan DNA polimerase dan empat hingga enam primer untuk mengikat genom
target. Setelah penambahan sampel, DNA yang diamplifikasi diidentifikasi oleh kekeruhan,
warna atau fluoresensi. Pengujian terjadi dalam waktu kurang dari satu jam. Tingkat deteksi
dapat mencapai 75 salinan per mikroliter. Kekurangannya adalah kesulitan dalam
mengoptimalkan primer dan kondisi reaksi (Udugama et al. 2020).
2. Pengujian antibodi: Keberadaan imunoglobulin sekretori spesifik SARS-CoV-
spesifik dalam saliva model tikus yang diimunisasi telah dilaporkan sebelumnya (Lu et al.
2010). Sabino-Silva et al. (2020) mengusulkan diagnosis saliva COVID-19 menggunakan
antibodi spesifik terhadap virus SARS-CoV-2. Keterbatasan tes ini termasuk kemungkinan
reaktivitas silang antibodi SARS-CoV-2 dengan yang diproduksi terhadap virus corona
lainnya. Lebih lanjut, tes ini diindikasikan untuk pengawasan dan bukan untuk diagnosis dini.

3. Perangkat Microfluidic RT-PCR (Lab-on-a-chip): Perangkat Microfluidic terdiri dari


chip berukuran kecil dengan saluran berukuran mikrometer. Sampel cairan dicampur dan
dipisahkan dalam chip menggunakan gaya elektrokinetik, kapiler, vakum atau lainnya. Chip
ini memiliki microheater, microchannel, dan microelectrodes. Semua langkah, seperti lisis sel,
ekstraksi DNA dan amplifikasi PCR, dapat diintegrasikan pada microchip tunggal (Zhu et al.
2020). Keuntungan dari perangkat ini termasuk volume spesimen kecil, deteksi cepat dan
penggabungan tes standar emas (PCR) untuk SARS-CoV-2 dalam bentuk miniatur portabel
(Udugama et al. 2020).10

Semua metode, seperti yang disebutkan di atas, perlu penelitian lebih lanjut untuk
sensitivitas dan validitasnya untuk digunakan dengan spesimen saliva. Jika disetujui, ini
mungkin memberikan kesempatan untuk mengaktifkan deteksi virus saliva di fasilitas
endodontik tanpa persyaratan untuk infrastruktur diagnostik yang kompleks. Chair side test
akan membantu mengurangi masa tunggu dan memungkinkan intervensi segera. Selain itu,
pasien uji negatif dapat dirawat secara rutin setelah pembatasan darurat selesai. Penggunaan
tes ini oleh ahli endodontik diusulkan sebagai metode pengujian POC. Meskipun ruang lingkup
profesi tetap menjadi kendala, upaya bersama yang belum pernah terjadi sebelumnya
diperlukan untuk menanggapi krisis kesehatan publik global ini bernama COVID-19.10
BAB 3

KESIMPULAN

COVID-19 adalah penyakit baru yang telah menjadi pandemi. Penyakit ini harus
diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat mortalitas yang tidak dapat
diabaikan, dan belum adanya terapi definitif. Masih banyak knowledge gap dalam bidang ini
sehingga diperlukan studi-studi lebih lanjut.

Dalam bidang endodontik untuk penanganan kasus kedaruratan endodontik, diperlukan


perawatan segera dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dalam masa pandemi
COVID-19 ini. Rapid test dengan menggunakan saliva dianggap sebagai alternatif, dengan
melakukan chair side test. Penggunaan tes ini oleh ahli endodontik diusulkan sebagai metode
pengujian POC. Meskipun ruang lingkup profesi tetap menjadi kendala, upaya bersama yang
belum pernah terjadi sebelumnya diperlukan untuk menanggapi krisis kesehatan publik global
ini bernama COVID-19.
DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan E, Isbaniah F, Susanto AD , Aditama TY, Soedarsono, Sartono TR, dkk.


Pneumonia covid-19 diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.2020.
2. Available at : https://Covid19.go.id. Accessed at. 20 Juni 2020.
3. Available at: https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/coronavirus-
disease-2019-covid-19. Accessed at. 20 Juni 2020
4. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan, dkk.
Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. | Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia | Vol. 7, No. 1 | Maret 2020|
5. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and diagnosis
of COVID-19. Journal of Pharmaceutical Analysis 10 (2020) 102-108
6. Wyllie AL, Fournier J, Massana AC, Campbell M, Tokuyama M, Vijayakumar P, et
all. Saliva is more sensitive for SARS-CoV-2 detection in COVID-19 patients than
nasopharyngeal swabs. Available at: https://doi.org/10.1101/2020.04.16.20067835. 22
April 2020.
7. Xu J, Li Y, Gan F, Du Y, Yao Y. Salivary Glands: Potential Reservoirs for COVID-
19 Asymptomatic Infection. Journal of Dental Research. Available at :
https://doi.org/10.1177/0022034520918518.
8. Xu H, Zhong L, Deng J, Peng J, Dan H, Zeng X. High expression of ACE2 receptor
of 2019-nCoV on the epithelial cells of oral mucosa. International Journal of Oral
Science (2020) 12:8.
9. Wang WK, Chen SY, Liu IJ, Chen YC, Chen HL, Yang CF, Chen PJ,et al. Detection
of SARS-associated coronavirus in throat wash and saliva in early diagnosis. 2004.
Emerg Infect Dis. 10(7):1213–19.
10. Sharma S, Kumar V, Chawla A, Logani A. Rapid detection of SARS-CoV-2 in saliva:
can an endodontist take the lead in point-of-care COVID-19 testing? IEJ.2020

Anda mungkin juga menyukai