Anda di halaman 1dari 12

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Selama delapan bulan pertama pandemi, sangat sedikit yang dapat dilakukan dokter
untuk orang-orang yang dites positif COVID-19 namun tidak memerlukan rawat inap.
Jika gejala seseorang menjadi parah, dokter kemudian dapat mengelola dan mengobati
komplikasi yang dihasilkan melalui terapi oksigen dan metode lain. Namun, skenario
yang ideal adalah mencegah gejala parah berkembang sejak awal.
Dengan terapi antibodi monoklonal, sekarang dokter memiliki cara untuk
membantu mencegah gejala parah berkembang pada orang-orang yang berisiko tinggi.
Baru-baru ini, FDA memperluas aplikasi potensial terapi antibodi monoklonal untuk
penggunaan pencegahan pada mereka yang berisiko karena paparan virus yang
dikonfirmasi. Otorisasi didasarkan pada hasil uji klinis besar yang menemukan antibodi
mencegah gejala dalam kontak rumah tangga dari orang-orang yang baru saja dites
positif. Terapi ini bisa sangat efektif, tetapi ini bukan pengganti vaksinasi. Masyarakat
masih perlu meningkatkan dan mendapatkan vaksinasi untuk memutus rantai penularan
virus.
Terapi antibodi monoklonal (mAb), juga disebut terapi infus antibodi monoklonal,
adalah cara untuk mengobati COVID-19. Tujuan dari terapi ini adalah untuk membantu
mencegah rawat inap, mengurangi viral load dan mengurangi keparahan gejala. Jenis
terapi ini bergantung pada antibodi monoklonal yang digunakan. Antibodi monoklonal
mirip dengan antibodi yang dibuat secara alami oleh tubuh seseorang sebagai respons
terhadap infeksi. Namun, antibodi monoklonal diproduksi secara massal di laboratorium
dan dirancang untuk mengenali komponen spesifik virus, contohnya protein spike.
Dengan menargetkan protein spike, antibodi spesifik ini akan mengganggu kemampuan
virus untuk menempel dan masuk ke sel manusia.
2

BAB 2

ISI

2.1 Karakteristik SARS-CoV-2

SARS-CoV-2 adalah adalah virus RNA beruntai tunggal, positif-sense, dan


berselubung. Virus ini masuk kedalam genus β-coronavirus (Beta-CoV) yang termasuk
ke dalam famili Coronaviridae. SARS-CoV-2 adalah coronavirus ketujuh yang diketahui
menginfeksi manusia, pada awalnya virus ini diberi nama 2019-Novel Coronavirus
(2019-nCoV) oleh World Health Organization (WHO). Virion SARS-CoV-2 bulat dan
berdiameter 60-140 nm. Membran virus mengandung spike (S) glikoprotein yang
membuat virus ini memiliki karakteristik korona atau penampilan seperti mahkota.
Protein struktural lainnya termasuk protein membran (M) dan protein envelope (E), yang
membuat struktur seperti cincin, dan protein nukleokapsid (N), yang berperan dalam
keberhasilan masuknya sel inang. Genom SARS-CoV-2 mengkode protease dan RNA-
dependent RNA polymerase (RdRp). Ujung 5' genom mengandung ORF1ab, yang
merupakan gen terbesar. Ujung 3' mengandung empat protein struktural, S, E, M, N, dan
delapan protein aksesori

SARS-CoV-2 merupakan virus yang menginfeksi melalui inang sementara yaitu


hewan seperti kelelawar maupun manusia. Virus tersebut dapat masuk ke tubuh inang
melalui reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) dan koreseptornya yaitu
TMPRSS2 yang berada di sel epitelial paru-paru, ginjal dan saluran pencernaan.
3

Gambar 1. Struktur virus SARS-CoV-2. A) Virion SARS-CoV-2, B) struktur genom

SARS-CoV-2 dapat memasuki sel inang melalui endosom dan fusi membran
plasma. Protein spike SARS-CoV-2 menempel pada membran sel inang dengan mengikat
ACE2. Untuk masuk ke sel inang, SARS-CoV-2 membutuhkan protease serin sel inang,
TMPRSS2, untuk mengaktifkan protein spike dan membelah reseptor ACE2 yang
akhirnya memfasilitasi penempelan SARS-CoV-2 ke membran sel sel inang dan memulai
fusi membran virus dan plasma. Setelah masuk, RNA virus akan dilepaskan ke dalam sel
inang dan poliprotein virus diterjemahkan menggunakan ribosom sel inang. Selama
translasi, poliprotein (PP) PP1a dan PP1ab terbentuk yang akhirnya dipecah oleh protease
virus, papain-like protease (PLPRO) dan 3C-like protease (3CLPRO) untuk membuat Protein
Non-Struktural (NSP) fungsional. RNA genomik virus corona mengkodekan dua jenis
protein, NSP penting untuk sintesis RNA virus dan protein struktural yang diperlukan
untuk perakitan virion.

Gambar 2. Siklus hidup SARS-CoV-2

Setelah translasi protein struktural dan NSP, Replicase–Transcriptase Complex


(RTC) dibentuk oleh RdRp, helicase dan subunit lain seperti NSP7 dan NSP8.
4

Selanjutnya, kompleks mentranskripsi template genom virus dari gen sense-negatif,


termasuk genom progeni dan RNA subgenomik sebagai produk antara, diikuti oleh
transkripsi mRNA sense-positif yang dimediasi oleh RdRp.

Setelah transkripsi, protein subgenomik diterjemahkan untuk membentuk protein


struktural seperti protein M, S, dan E dan dibungkus ke dalam retikulum endoplasma dan
kemudian diangkut ke Retikulum Endoplasma–Golgi Intermediate Compartment
(ERGIC). Selanjutnya, genom virus yang direplikasi sebelumnya dapat langsung
bergabung dengan protein N untuk membentuk nukleokapsid yang diisolasi ke dalam
ERGIC. Akhirnya, nukleokapsid bersama dengan beberapa protein struktural lainnya
membentuk partikel virion dan dilepaskan keluar dari sel dengan membentuk budding.

2.2 Struktur protein spike SARS-CoV-2

jj

2.3 COVID-19

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah dinyatakan sebagai pandemi global


oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). COVID-19 merupakan penyakit yang
disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
Penyakit ini telah berdampak buruk pada kesehatan global dan ekonomi. Virus ini
terutama mempengaruhi sistem pernapasan dan menyebar dari orang ke orang melalui
5

partikel pernapasan dari batuk dan bersin. Mayoritas penularan terjadi dari kontak dengan
pembawa (carrier) asimtomatik atau simtomatik. Perjalanan awal pandemi ditandai
dengan penyebaran virus yang cepat dan menciptakan urgensi untuk mengurangi
penyakit virus ini dengan terapi eksperimental dan penggunaan drug repurposing.
Pemerintah Republik Indonesia hingga 18 Oktober 2021 telah melaporkan 4.235.384
orang terkonfirmasi positif COVID-19 dengan 142.999 kematian (CFR 3,1%). Case
Fatality Rate di Indonesia lebih tinggi dari global sebesar 2,4%.

Individu dari segala usia berisiko terkena infeksi virus SARS-CoV-2. Individu
berusia 60 tahun dengan komorbiditas medis seperti obesitas, penyakit kardiovaskular,
penyakit ginjal kronis, diabetes, penyakit paru-paru, kanker memiliki tingkat risiko
keparahan yang lebih tinggi. Persentase pasien COVID-19 yang memerlukan rawat inap
enam kali lebih tinggi pada mereka yang memiliki komorbid dibandingkan orang yang
tidak memiliki penyakit bawaan (45,4% vs. 7,6%)

Upaya penelitian global sangat intens dan kemajuan signifikan telah menghasilkan
pengembangan terapi dan vaksin baru dengan kecepatan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Saat ini, berbagai pilihan terapi yang mencakup obat antivirus, antibodi
monoklonal, dan agen imunomodulator sudah dipakai dalam terapi COVID-19. Namun,
potensi terapeutik dan penggunaan klinis obat ini terbatas dan secara spesifik digunakan
berdasarkan tingkat keparahan dari penyakit.

2.4 Fungsi protein spike SARS-CoV-2

2.5 Respon imun spesifik terhadap antigen Spike SARS-CoV-2

Patogenesis penyakit COVID-19 terjadi dalam dua fase yang berbeda, tahap awal yang ditandai
dengan replikasi virus SARS-CoV-2 yang mendalam diikuti oleh fase akhir yang ditandai dengan
keadaan hiperinflamasi yang diinduksi oleh pelepasan sitokin seperti faktor nekrosis tumor-α(TNF),
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Interleukin-(IL-1), IL-6, interferon
(IFN)-γ dan aktivasi sistem koagulasi yang menghasilkan keadaan protrombotik. Terapi antivirus dan
perawatan berbasis antibodi cenderung lebih efektif jika digunakan selama fase awal penyakit, dan
terapi imunomodulasi baik sebagai monoterapi atau terapi kombinasi dengan terapi berbasis antivirus
dan antibodi mungkin lebih efektif bila digunakan pada tahap selanjutnya untuk memerangi keadaan
hiperinflamasi yang dimediasi sitokin yang menyebabkan penyakit parah

berdasarkan analisis Stokes et al. kasus terkonfirmasi yang dilaporkan ke CDC selama 22 Januari–30
6

Mei 2020.

Pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi kematian COVID-19 dan mengatasi masalah
kekurangan tenaga medis dengan menghentikan perkembangan replikasi virus, sehingga mencegah
perkembangan ke tahap hiperinflamasi COVID-19 yang menyebabkan perparahan penyakit pada
pasien berisiko tinggi yang tidak di rawat di rumah sakit. Awalnya, fokus pengobatan mengarah pada
pasien rawat inap dengan penyakit COVID-19. Namun, fokus klinis selama pandemi telah meluas ke
arah memerangi penyakit sejak dini dengan mengurangi viral load pada pasien yang baru terpapar
sehingga berupaya menghentikan perkembangan penyakit.

Antibodi monoklonal yang menargetkan protein spike SARS-CoV-2 telah memberikan hasil in vitro
yang positif. Hasil ini dianggap sebagai pendekatan yang menjanjikan dalam mengobati pasien
COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit dengan gejala ringan hingga gejala sedang yang berisiko
tinggi terkena mengalami keparahan.

Antibodi monoklonal (mAbs) adalah protein sistem kekebalan yang dihasilkan oleh sel limfosit (klone
sel plasma) yang terpilih dan memiliki sifat sangat spesifik. Antibodi monoklonal pertama kali
dikembangkan oleh Köhler dan Milstein pada tahun 1975 menggunakan teknologi hibridoma. Sejak
itu, kemajuan signifikan telah dibuat di dunia rekayasa molekuler yang memungkinkan pembentukan
antibodi monoklonal sebagai terapi yang ditargetkan dalam berbagai kondisi neoplastik, autoimun,
imunosupresi pasca transplantasi, dan penyakit menular.

Ketika digunakan sebagai terapi antivirus, antibodi netralisasi memainkan peran penting dalam
mencapai kekebalan antivirus pasif dan juga berperan dalam pencegahan banyak penyakit virus.
Selama bertahun-tahun, imunisasi pasif terhadap banyak penyakit virus dicapai dengan pemberian
serum poliklonal yang diperoleh dari donor manusia atau hewan. Namun, persiapan antibodi
poliklonal semakin digantikan oleh antibodi monoklonal, hal ini karena antibodi monoklonal
menunjukkan profil keamanan yang menguntungkan dan spesifisitas target bila digunakan dalam
penyakit virus yang berbeda.

palivizumab adalah antibodi monoklonal antivirus pertama yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) AS untuk direkomendasikan bagi bayi yang beresiko tinggi terkena Respiratory
Syncytial Virus (RSV). Selama bertahun-tahun, perkembangan signifikan dalam rekayasa antibodi,
peningkatan pemahaman tentang virus serta efek langsung dan tidak langsung antibodi monoklonal
pada infeksi virus telah menghasilkan pengembangan banyak antibodi monoklonal baru.

Seperti obat antivirus lainnya, antibodi monoklonal bila digunakan sebagai agen antivirus, juga rentan
untuk mengembangkan resistensi terhadap antibodi monoklonal tertentu. Hal ini sebagai akibat dari
perubahan genom virus yang dapat mengubah potensi patogen virus yang mengakibatkan munculnya
mutan virus baru sehingga menyebabkan virus yang resisten terhadap antibodi monoklonal tertentu.

Untuk mengatasi hal ini, kombinasi antibodi monoklonal yang biasa disebut sebagai koktail antibodi,
7

telah diusulkan dengan harapan bila menggabungkan dua antibodi monoklonal spesifik yang saling
melengkapi dapat memiliki peluang lebih besar bila virus bermutasi dengan menargetkan beberapa
epitop virus. Diperkirakan ada 70 antibodi monoklonal yang saat ini dalam pengembangan atau uji
klinis untuk mengobati COVID-19. FDA telah memberikan empat EUA untuk penggunaan klinis
sebagai kombinasi antibodi koktail.

Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal Terhadap SARS-CoV-2

Patofisiologi COVID-19 digambarkan dengan masuknya SARS-CoV-2 ke dalam sel inang dengan
mengikat spike SARS-CoV-2 atau protein S (S1) ke angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)
reseptor yang diekspresikan secara melimpah pada epitel pernapasan, seperti sel epitel alveolus tipe II.
Hal ini dimediasi oleh receptor-binding domain (RBD) pada protein spike diikuti oleh priming protein
spike (S2) oleh host transmembran serin protease 2 (TMPRSS2) yang memfasilitasi masuknya sel dan
kemudian replikasi virus. Antibodi monoklonal mencegah perlekatan virus dengan mengikat epitop
yang tidak tumpang tindih pada protein spike RBD SARS-CoV-2 yang memiliki afinitas tinggi,
sehingga menghalangi pengikatan virus ke reseptor ACE2 manusia.

Pengaruh Antibodi Monoklonal Terhadap SARS-CoV-2 dengan Ringkasan Uji Klinis

REGN-COV2 (Casirivimab dan Imdevimab) adalah koktail antibodi yang mengandung dua antibodi
IgG1 yang tidak bersaing yang menargetkan spike RBD SARS-CoV-2 dan telah terbukti menetralkan
viral load secara in vivo, mencegah gejala sisa patologis yang diinduksi virus ketika diberikan secara
profilaksis atau terapeutik pada primata non-manusia.

Hasil analisis sementara dari uji coba double-blind yang melibatkan 275 pasien COVID-19 yang tidak
dirawat di rumah sakit yang diacak untuk menerima plasebo, 2,4 g REGN-COV2 (casirivimab 1.200
mg dan imdevimab 1.200 mg) atau 8 g REGN-COV2 COV2 (casirivimab 2.400 mg dan imdevimab
2.400 mg) menunjukkan bahwa koktail antibodi REGN-COV2 mengurangi viral load dengan efek
yang lebih besar pada pasien yang belum pernah terpapar atau yang memiliki viral load tinggi pada
awal mula gejala. Analisis sementara ini juga menetapkan profil keamanan antibodi koktail ini, mirip
dengan kelompok plasebo. Data awal dari uji coba Fase 3 REGN-COV (casirivimab/imdevimab)
mengungkapkan 70% pengurangan rawat inap atau kematian pada pasien COVID-19 yang tidak
dirawat di rumah sakit. Data in vitro tersedia mengenai efek REGN-COV2 pada dua varian baru
SARS-CoV-2 yang menjadi perhatian (varian B.1.1.7; B.1.351)

Bamlanivimab (LY-CoV555 atau LY3819253) adalah antibodi monoklonal penetral kuat yang berasal
dari plasma konvalesen yang diperoleh dari pasien COVID-19. REGN-COV2 juga menargetkan RBD
protein lonjakan SARS-CoV-2 atau protein S dan telah terbukti ampuh menetralkan SARS-CoV-2 dan
mengurangi replikasi virus pada primata non-manusia. Hasil dari uji coba fase 2 (BLAZE-1) yang
melibatkan pasien rawat jalan dengan diagnosis COVID-19 ringan hingga sedang baru-baru ini yang
8

diacak untuk menerima 1 dari 3 dosis (700 mg, 2800 mg, atau 7000 mg) bamlanivimab atau plasebo
melaporkan bahwa pasien yang menerima monoterapi bamlanivimab tidak mengalami penurunan viral
load yang signifikan dibandingkan dengan plasebo.

Namun, dalam kelompok ini, bamlanivimab mengurangi risiko rawat inap COVID-19 atau kunjungan
gawat darurat (ED) pada hari ke-29 sebesar 70%. Analisis sementara ini juga menetapkan profil
keamanan bamlanivimab, mirip dengan kelompok plasebo pada ketiga dosis [95]. Sebuah studi
pracetak (tidak peer-review) melaporkan bahwa bamlanivimab masih mengikat Y501-RBD dari
SARS-CoV-2 (B.1.1.7, 20I/501Y.V1) in vitro, seefisien N501-RBD sebelumnya dari regangan
aslinya.

Protein spike memiliki dua subunit fungsional yaitu S1, yang mengandung receptor-
binding domain (RBD) yang memediasi pengikatan ke permukaan sel inang reseptor
angiotensin-converting enzyme-2 (ACE-2), dan S2, yang merupakan bagian integral dari
fusi berikutnya antara virus dan membran sel inang

Sub-unit S1 dari protein S mengandung domain pengikatan reseptor yang mengikat domain peptidase
dari enzim pengubah angiotensin 2 (ACE 2). Dalam SARS-CoV-2, sub-unit S2 sangat terpelihara dan
dianggap sebagai target antivirus yang potensial

2.6 Pembuatan antibodi monoclonal


Potensi, perbedaan dan pendekatan dalam menggunakan teknik hibridoma adalah:

2.7 Penggunaan antibody monoclonal


Perawatan antibodi monoklonal tersedia untuk individu yang beresiko tinggi
mengembangkan COVID-19 menjadi parah dengan menyertakan hasil tes positif
COVID-19 serta belum pernah dirawat di rumah sakit. Usia yang diperbolehkan dua
belas tahun atau lebih. Dalam beberapa kasus, paparan langsung bukanlah kriteria yang
diproritaskan. Namun, jika seseorang positif COVID-19 dan berisiko tinggi menularkan
paparannya kepada individu lain yang bersiko tinggi di dalam institusi yang sama seperti
di panti jompo atau penjara, maka diperbolehkan menerima monoklonal antibodi.
Individu yang beresiko tinggi diantaranya berusia 65 tahun atau lebih tua,
kegemukan (indeks massa tubuh di atas 25), kehamilan, penyakit ginjal kronis, diabetes
(Tipe 1 dan Tipe 2), sistem kekebalan tubuh lemah, saat ini menerima pengobatan
9

imunosupresif, penyakit jantung atau hipertensi, penyakit paru-paru kronis dan gangguan
perkembangan saraf.
Agar terapi antibodi monoklonal menjadi paling efektif, perlu dilakukan sedini
mungkin pada perjalanan penyakit. Sehingga lebih cepat lebih baik, bahkan disarankan
sebelum merasa terjadi perburukan penyakit.
Terapi antibodi monoklonal diberikan melalui infus intravena (IV). Infus ini
membutuhkan sekitar satu jam untuk diberikan, diikuti dengan satu jam observasi dan
pemantauan.
Salah satu kemungkinan efek samping terapi antibodi monoklonal adalah reaksi
alergi seperti Demam dan/atau kedinginan, mual, sakit kepala, sesak napas, tekanan darah
rendah atau nyeri otot. Reaksi ini biasanya hanya terjadi selama infus atau segera
setelahnya. Namun, karena reaksi infus juga bisa tertunda, segera hubungi dokter jika
terjadi salah satu dari tanda-tanda reaksi alergi tersebut.
Setelah menerima terapi antibodi monoklonal, disarankan agar tetap menunggu 90
hari sebelum menerima vaksin COVID-19. Jika seseorang sudah menerima vaksin dosis
pertama sebelum terapi antibodi monoklonal, pedoman CDC saat ini menyarankan
menunggu 90 hari sebelum menerima dosis kedua.

BAB III

PENUTUP

Virus Dengue (DENV) adalah penyebab utama patogen virus yang ditularkan
melalui nyamuk. Setiap tahun diperkirakan 400 juta orang terinfeksi yang menyebabkan
25.000 kematian di seluruh dunia. Melihat gejala yang ditimbulkan oleh virus dengue dan
kurangnya vaksin yang dapat diterapkan secara luas, kebutuhan senyawa antivirus yang
efektif untuk mengobati infeksi DENV menjadi urgensi saat ini.pemilihan antivirus harus
didasarkan bukti secara in vitro dan in vivo yang jelas dan ilmiah.
Biasanya penemuan obat baru melibatkan identifikasi target, mengembangkan
pengujian untuk menila aktivitas terhadap target, seleksi yang ketat terhadap senyawa
yang berpotensi menjadi kandidat dan secara kimiaw memodifikasi kanddat yang berhasil
10

untuk mengoptimalkan aktivitas, farmakokinetik dan toksikologi baik secara in vitro


maupun pada hewan coba. Uji klinis juga menambah rangkaian pengembangan obat baru.
Untuk itu terdapat pula kandidat obat yang berasal dari repurposed agent yang bisa
diusulkan sebagai kandidat obat anti-DENV seperti Chloroquin, Prednisolone,
Balapiravir, Ribavirin, Celgosivir, Lovastatin, Ivermectin dan Ketotifen.

Selain Balapiravir sebagai penghambat target virus, sejumlah host inhibitor yang
11

menekan replikasi DENV dan atau memodulasi respon imun sel host telah diuji dalam
klinis.
Tiga pendekatan telah dilakukan untuk penemuan obat praklinis yaitu melalui
penghambahan protein virus termasuk protein dengan aktivitas enzimatik (misalnya NS3
protease dan NS5 polymerase), protein tanpa aktivitas enzimatik (misalnya NS4B) dan
protein yang dibutuhnya untuk masuknya virus dan perakitan virion (misalnya capsid dan
envelop).
Penghambatan protein inang yang dperlukan untuk replikasi virus (misalnya
aglukosidase seluler) dan inhibitor yang menghalangi jalur patologis penyebab dengue
(misalnya prednisolon). Sebuah tinjauan baru-baru ini meringkas status terkini.
Kendala untuk masing-masing pendekatan diatas telah ditemui. Untuk penghambat
target virus, mengidentifikasi senyawa yang aktif untuuk keempat serotipe DENV
merupakan sebuah tantangan. Hal ini disebabkan karena variasi sequence asam amino
dari keempat serotipe DENV sebesar 30-35%. Untuk menghambat target sel inang,
mengidentifikasi senyawa yang secara selektif dapat menghambat replikasi virus tanpa
mengganggu fungsi normal protein inang merupakan sebuah tantangan. Untuk
menargetkan jalur patologis penyebab penyakit, tantangannya berupa sedikitnya
pengetahuan pada tingkat molekuler dari jalur tersebut sehingga faktor spesifik host dapat
discreeng untuk penghambatan famakologis
12

DAFTAR PUSTAKA

Gitman, M. R., Shaban, M. V., Paniz-Mondolfi, A. E., & Sordillo, E. M. (2021). Laboratory
Diagnosis of SARS-CoV-2 Pneumonia. Diagnostics (Basel, Switzerland), 11(7), 1270.
https://doi.org/10.3390/diagnostics11071270

Safiabadi Tali, S.H.; LeBlanc, J.J.; Sadiq, Z.; Oyewunmi, O.D.; Camargo, C.; Nikpour,
B.; Armanfard, N.; Sagan, S.M.; JahanshahiAnbuhi, S. Tools and Techniques for Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2)/COVID-19 Detection. Clin.
Microbiol. Rev. 2021, 34, e00228-20.

Prasansuklab, A., Theerasri, A., Rangsinth, P., Sillapachaiyaporn, C., Chuchawankul,


S., & Tencomnao, T. (2021). Anti-COVID-19 drug candidates: A review on
potential biological activities of natural products in the management of new
coronavirus infection. Journal of traditional and complementary medicine, 11(2),
144–157. https://doi.org/10.1016/j.jtcme.2020.12.001

Anda mungkin juga menyukai