Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori Coronavirus Disease

2.1.1 Defenisi Coronavirus Disease

Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit


pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi
saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti
Middle East Respiratoru Syndrome (MERS) dan Severe Acute Syndrome (SARS).
Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19. Virus
baru dan penyakit yang disebabkannya ini tidak dikenal sebelum mulainya wabah di
Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019. COVID-19 ini sekarang menjadi sebuah
pandemic yang terjadi di banyak negara di seluruh dunia (WHO, 2020)

Infeksi COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus corona ayang
merupakan Virus Single Stranded RNA yang berasal dari kelompok Coronaviridae.
Virus yang termasuk dalam kelompok ini adalah Middle East Respiratory Syndrome
(MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Virus ini
dapat ditularkan lewat droplet, yakni partikel air yang berukuran sangat kecil dan
biasanya keluar saat batuk atau bersin (Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2021).

Corona Virus Disease 2019 adalah infeksi saluran pernapasan yang


disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-
2). SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus
yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) (Burhan, 2020).
Coronavirus Disease adalah penyakit jenis baru yang disebabkan oleh virus
yang di namakan dengan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS
CoV-2). Sumber utama terinfeksi COVID-19 adalah pasien yang terinfeksi baik yang
bergejala maupun yang tidak menimbulkan gejala. Pasien yang terinfeksi COVID- 19
dapat menimbulkan adanya gejala ringan seperti flu sampai adanya infeksi paru paru
seperti pneumonia (Atmojo, 2020).

Coronavirus merupakan virus RNA dengan berukuran 120-160 nm yang


memiliki kapsul dan tidak adanya segmen. Virus ini merupakan genus
betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa coronavirus masuk
dalam subgenus yang sama dengan sarbecovirus yaitu coronavirus yang pada tahun
2002-2004 penyebab wabah Severe Acute Respiratory Ilness (SARS). International
Committee on Taxonomy of Viruses memberikan nama SARS-CoV-2 (Wulandari
2020).

2.1.2 Patofisiologi Coronavirus Disease

Patofisiologi Corona Virus Disease 2019 diawali dengan interaksi protein


spike virus dengan sel manusia. Setelah memasuki sel, encoding genome akan
terjadi dan memfasilitasi ekspresi gen yang membantu adaptasi severe acute
respiratory syndrome virus corona 2 pada inang. Rekombinasi, pertukaran gen,
insersi gen, atau delesi, akan menyebabkan perubahan genom yang menyebabkan
outbreak di kemudian hari. Severe Acute Respiratory Syndrome Virus Corona 2
(SARS-CoV-2) menggunakan reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2)
yang ditemukan pada traktus respiratorius bawah manusia dan enterosit usus kecil
sebagai reseptor masuk. Glikoprotein spike (S) virus melekat pada reseptor ACE2
pada permukaan sel manusia. Subunit S1 memiliki fungsi sebagai pengatur receptor
binding domain (RBD). Sedangkan subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi membran
antara sel virus dan sel inang. Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan
dikeluarkan dalam sitoplasma sel inang. RNA virus akan mentranslasikan
poliprotein pp1a dan pp1ab dan membentuk kompleks replikasi-transkripsi
(RTC). Selanjutnya, RTC akan mereplikasi dan menyintesis subgenomik RNA
yang mengkodekan pembentukan protein struktural dan tambahan (Kumar and Al
Khodor, 2020).

Gabungan retikulum endoplasma, badan golgi, genomik RNA, protein


nukleokapsid, dan glikoprotein envelope akan membentuk badan partikel virus.
Virion kemudian akan berfusi ke membran plasma dan dikeluarkan dari sel-sel
yang terinfeksi melalui eksositosis. Virus-virus yang dikeluarkan kemudian akan
menginfeksi mukosa traktus respiratorius bawah, memicu serangkaian respons
imun dan menginduksi sitokin, menyebabkan perubahan komponen imun seperti
leukosit darah tepi dan limfosit. Biomarker paling berpotensi menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada paru adalah IL-6 yang kemudian menyebabkan
gejala pada pasien antara lain sputum yang berlebihan 33,4% pada Covid ringan,
37,8% pada Covid berat, dan batuk 67,8% (Sukmana and Yuniarti, 2020).

Virus dapat melewati membrana mukosa yaitu mukosa nasal dan laring.
Setelah melewati, selanjutnya masuk ke paru paru melalui traktus respiratorius.
Kemudian, virus menyerang organ target yang mengekspresikan Angiotensin
Converting Enzyme 2 (ACE2) seperti paru paru, jantung, sistem renal dan traktus
gastrointestinal. Protein S memfasilitasi virus untuk masuk ke dalam sel target. Virus
yang masuk bergantung pada virus yang berikatan dengan ACE2 yaitu reseptor
membrane ekstraseluler diekspresikan pada sel epitel dan bergantung padapriming
protein S (Fitriani, 2020).

Penempelan serta masuknya virus ke sel host diperantarai oleh protein S.


protein S berikatan dengan reseptor enzim ACE2 pada plasma membran sel tubuh
manusia. Saat didalam sel, virus menduplikasi materi genetik dan protein yang
dibutuhkan selanjutnya membentuk virion baru di permukaan sel Kemudian virus ini
mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel dan ditraslansikan
membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk bisa bereplikasi. Setelah itu,
genom virus akan mulai bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru
terbentuk masuk ke dalam golgi sel. Terjadi pembentukkan nukleokapsid tersusun
dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam
reticulum endoplasma dan golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung
partikel virus akan bergabung dengan membrane plasma untuk melepaskan
komponen virus yang baru. Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit berkisar
antara 3-7 hari (Yuliana, 2020).

Virus yang masuk ke dalam sel selanjutnya antigen virus akan di


presentasikan ke Antigen Presentation cell (APC). Presentasi sel ke APC kemudian
merespon sistem imun humoral dan seluler dimediasi oleh sel T dan sel B. IgM dan
IgG terbentuk dari sistem imun humoral. Pasien positif COVID-19 disertai gejala
klinis ringan menunjukkan respon imun dengan adanya peningkatan sel T terutama
CD8 pada hari ke 7-9 dan ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells
(ASCs). Di hari ke 7 hingga hari ke 20 adanya peningkatan IgM/IgG secara progresif.
Pada pasien positif COVID-19 dengan gejala klinis berat menunjukkan hitung
limfosit rendah dan monosit, basophil dan eosinophil lebih rendah (Levani, 2021).

2.1.3 Etiologi Coronavirus Disease

Penyebab dari COVID-19 adalah infeksi SARS-CoV-2. Coronavirus termasuk


dalam ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae, berkapsul, tidak bersegmen,
berbentuk seperti bulat atau elips, memiliki genom RNA yang sangat Panjang dan
merupakan virus positif RNA. Terdapat tujuh tipe yang menginfeksi manusia, yaitu
lima Betacoronavirus yaitu OC43, HKUI, Middle East Respiratory Syndrome-
Related Coronavirus (MERS-CoV), Severe Acute Respiratory Syndrome- Related
Coronavirus (SARS-CoV) dan SARS-CoV-2 serta dua Alphacoronavirus (229E dan
NL63) (Baharudin, 2020).

Coronavirus mengandung kata corona dikarenakan strukturnya yang mirip


seperti corona matahari. Pada laporan ilmiah virus corona digambarkan berbentuk
mahkota. Bentuk ini kombinasi envelope dan protein spike. Berdasarkan hasil analisis
filogenetik virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menjadi penyebab wabah SARS pada tahun 2002 yaitu Sarbecovirus. Posisi
taksonomi dari SARS- CoV-2 bervariasi dan belum ada kesepakatan posisi taksonomi
yang tepat. Berdasarkan, analisis pada struktur virus terdapat empat bagian utama:
envelope, spike, core, dan ssRNA+. Terdapat 4 struktur protein utama yang terdiri
dari protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S
(spike), protein E (selubung) (Burhan, 2020).

2.1.4 Faktor Risiko Coronavirus Disease

Faktor risiko COVID-19 antara lain ialah riwayat kontak, usia, jenis kelamin,
perokok aktif, keadaan imunosupresif, dan komorbid.

1. Faktor riwayat kontak menjadi faktor risiko utama dalam penularan COVID-
19. Riwayat kontak yang dapat terjadi melalui kontak langsung dengan pasien
terinfeksi. Virus masuk melalui droplet dan masuk melewati mukosa nasal
atau laring sehingga virus menginfeksi organ yang ada di dalam tubuh.
2. WHO menyebutkan bahwa usia lebih dari 65 tahun merupakan risiko tinggi
terinfeksi COVID-19. Sistem kekebalan tubuh cenderung melemah dengan
bertambahnya usia, membuat lanjut usia lebih sulit untuk
melawan infeksi.
3. Faktor jenis kelamin yang menjadi faktor risiko COVID-19 adalah laki laki.
Laki laki berisiko tinggi di bandingkan perempuan karena ekspresi reseptor
ACE2 yang tinggi di testis sehingga virus mudah masuk dan menginfeksi
pada laki laki (Handayani, 2020).
4. Faktor perokok aktif dapat meningkatkan ekspresi reseptor ACE2. Masuknya
virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2.
Sehingga orang perokok aktif menjadi mudah untuk terinfeksi virus (Tanjung,
2020).
5. Faktor keadaan imunosupresif merupakan keadaan yang disebabkan karena
efek dari kemoterapi. Keadaan imunosupresif mengakibatkan melemahnya
sistem kekebalan tubuh sehingga menurunnya kemampuan untuk melawan
virus.
6. Faktor komorbid adalah adanya penyakit bawaan yang diderita pasien
terinfeksi COVID-19. Komorbid yang menjadi faktor risiko COVID-19
adalah:
a) Diabetes melitus
Adanya diabetes melitus pada pasien COVID-19 didasarkan pada
mekanisme peradangan sistemik kronis, peningkatan aktivitas
koagulasi, gangguan respon imun dan potensi kerusakan langsung
pancreas oleh SARS-CoV-2 yang menyerang tubuh.
b) Hipertensi
Reseptor ACE2 ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan hipertensi.
Dikarenakan reseptor ACE2 merupakan sel host SARS-CoV-2
menyebabkan hipertensi meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien COVID-19.
c) Kelainan Jantung
Jantung jika mengalami masalah akan bekerja lebih keras untuk
mendapatkan darah dan menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh.
d) Asma
Asma adalah adanya masalah pernapasan sehingga pada penderita
asma dapat memicu SARS-CoV-2 yang menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan.
e) Tuberkulosis Paru
Paru-paru adalah organ utama yang menjadi sasaran COVID-19.
Adanya kerusakan pada paru paru menyebabkan seseorang yang
menderita tuberkulosis paru menjadi lebih rentan terhadap COVID-19.

2.1.5 Manifestasi Klinis Coronavirus Disease


Gejala yang dirasakan pada orang terinfeksi biasanya ringan maupun berat
dan muncul secara bertahap. Pada beberapa orang yang terinfeksi tidak menimbulkan
adanya gejala apapun dan tetap dalam keadaan sehat. Keluhan utama pada gejala
COVID-19 yang paling sering dirasakan pasien terinfeksi adalah demam, rasa Lelah,
batuk. Pada beberapa orang juga mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat,
nyeri kepala, sakit tenggorokan, diare hilang penciuman serta adanya ruam kulit.
Berdasarkan data dari negara yang terjangkit pandemi COVID-19, yang mengalami
penyakit ringan kira kira 40%, yang mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia
sebesar 40%, 5% dalam kasus kondisi kritis, 15% mengalami penyakit parah (Lan L,
2020).
Status klinis pasien COVID-19, dibagi menjadi 3 kriteria yaitu:
1. Kasus suspek
a) Pada 14 hari terakhir dan orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) sebelum adanya gejala dengan adanya riwayat perjalanan
atau tinggal di daerah yang terjangkit.
b) Pada 14 hari terakhir dan orang dengan salah satu gejala gejala ISPA.
2. Kasus probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19.
3. Kasus terkonfirmasi
Pasien yang dinyatakan positif COVID-19 secara laboratorium.

2.1.2 Tanda dan gejala Coronavirus Disease

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai


dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat,
ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau
sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam
keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui.
Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang
asimptomatik telah dilaporkan.

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran


napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau
tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau
sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa
kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan
pneumonia berat ditandai dengan demam, frekuensi pernapasan >30x/menit,
distres pernapasan berat, atau saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada
pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Sebagian besar pasien yang
terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala- gejala pada sistem pernapasan seperti
demam, batuk, bersin, dan sesak napas.

Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering,
dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk disertai dahak, sesak
napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah,
kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih
dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C,
sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C (Susilo, 2020).

2.1.4 Pemeriksaan penunjang Coronavirus Disease

Beberapa pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan bagi pasien yang


dicurigai mengalami penyakit COVID-19 menurut buku Pedoman Tatalaksana
COVID-19
(2020):

a. Pemeriksaan Radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks


Pada pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral,
konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan
groundglass. Pada stage awal, terlihat bayangan multiple plak kecil dengan
perubahan intertisial yang jelas menunjukkan di perifer paru dan kemudian
berkembang menjadi bayangan multipleground-glass dan infiltrate di kedua
paru. Pada kasus berat, dapat ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-
lung” dan efusi pleura.
b. Pemeriksaan Spesimen Saluran Napas Atas dan Bawah
1. Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring danorofaring)
2. Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspiratendotrakeal)
3. Untuk pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia),
pengambilan spesimen gunakan APD yang tepat.
4. Ketika mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral
(Dacronsteril atau rayon bukan kapas) dan media transport virus.
Jangan sampel dari tonsil atau hidung.
5. Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-19 terutama pneumonia
atau sakit berat, sampel tunggal saluran napas atas tidak cukup untuk
eksklusi diagnosis dan tambahan saluran napas atas dan bawah
direkomendasikan.
6. Klinis dapat hanya mengambil sampel saluran napas bawah jika
langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi.
7. Jangan menginduksi sputum karena meningkatkan risiko transmisi
aerosol. Kedua sampel (saluran napas atas dan bawah) dapat
diperiksakan jenis patogen lain.
8. Bila tidak terdapat RT-PCR dilakukan pemeriksaan serologi.
9. Pada kasus terkonfirmasi infeksi COVID-19, ulangi pengambilan
sampel dari saluran napas atas dan bawah untuk petunjuk klirens dari
virus.
10. Frekuensi pemeriksaan 2- 4 hari sampai 2 kali hasil negative dari
kedua sampel serta secara klinis perbaikan, setidaknya 24 jam.
11. Jika sampel diperlukan untuk keperluan pencegahan infeksi dan
transmisi, specimen dapat diambil sesering mungkin yaitu harian.
c. Pemeriksaan Kimia Darah
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, analisa gas
darah, fungsi hepar (pada beberapa pasien, enzim liver dan ototmeningkat),
fungsi ginjal, gula darah sewaktu, elektrolit, faal hemostasis (PT/APTT, d
Dimer), pada kasus berat, Ddimer meningkat, Prokalsitonin (bila dicurigai
bakterialis), laktat (untuk menunjang kecurigaan sepsis), biakan
mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas(sputum, bilasan
bronkus, cairan pleura) dan darah, kultur darah untuk bakteri dilakukan,
idealnya sebelum terapiantibiotik. Namun, jangan menunda terapi antibiotik
dengan menunggu hasil kultur darah), pemeriksaan feses dan urin (untuk
investasigasi kemungkinan penularan).

2.2 Tinjauan Teori Bayi Prematur

2.2.1 Defenisi Bayi Prematur

Menurut World Health Organization definisi kelahiran bayi prematur


(preterm) adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu gestasi. Bila kelahiran kurang
dari 32 minggu dikategorikan sebagai very preterm, dan kurang dari 28 minggu
disebut extremely preterm. Bayi dikategorikan sebagai bayi berberat badan lahir
rendah atau BBLR (low birth weight) bila berat < 2500 gram, very low bila < 1500
gram, dan extremely low < 1000 gram (Trijani, 2019).

Kelahiran bayi prematur didefinisikan sebagai bayi yang lahir hidup sebelum
usia gestasi 37 minggu, sedangkan bayi yang lahir dengan usia 28 minggu disebut
extremely preterm, bayi yang lahir dengan usia 28 sampai 32 minggu disebut very
preterm dan bayi lahir usia 32 sampai 37 minggu disebut moderate to late preterm.
Secara fisiologis bayi prematur sering mengalami ketidakstabilan kardiorespirasi
yang dapat menyebabkan terjadinya periodik apnea, bradikardia dan desaturasi
oksigen (Susanthy,2019).

Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup sebelum usia kehamilan 37
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. The American Academy of
Pediatric, memberi batasan usia bayi yaitu 38 minggu untuk mengatakan bayi
prematur. Bayi prematur adalah bayi yang lahir di bawah usia 37 minggu atau berat
badan bayi yang kurang dari 2.500 gram ( Kusumawardani, 2021).
2.2.2 Klasifikasi Bayi Prematur

Menurut Rukiyah & Yulianti (2012), bayi dengan kelahiran prematur


dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Bayi Prematur Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Bayi prematur sesuai masa
kehamilan (SMK) adalah bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 37
minggu dan berat badannya sesuai dengan usia kehamilan. Derajat
prematuritas dapat digolongkan menjadi 3 kelompok antara lain adalah
sebagai berikut:
a) Bayi sangat prematur (extremely premature) : 24-30 minggu
b) Bayi prematur sedang (moderately premature) : 31-36 minggu
c) Borderline premature : 37-38 minggu
Bayi ini mempunyai sifat prematur dan matur. Beratnya seperti bayi
matur akan tetapi sering timbul masalah seperti yang dialami bayi
prematur misalnya gangguan pernapasan, hiperbilirubinemia dan daya
isap yang lemah.
2. Bayi Prematur Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)
Bayi Prematur Kecil Untuk Masa Kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir
dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi
tersebut. Banyak istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa bayi
KMK ini dapat menderita gangguan pertumbuhan di dalam uterus
(intrauterine retardation = IUGR) seperti pseudopremature, small for dates,
dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronis fetal distress, IUGR dan
small for gestational age (SGA). Setiap bayi baru lahir (prematur, matur dan
post matur) mungkin saja mempunyai berat yang tidak sesuai dengan masa
gestasinya. Gambaran kliniknya tergantung dari pada lamanya, intensitas dan
timbulnya gangguan pertumbuhan yang mempengaruhi bayi tersebut.
IUGR dapat dibedakan menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a) Proportinate IUGR : janin menderita distres yang lama, gangguan
pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan
sebelum bayi lahir. Sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala
dalam proporsi yang seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih di
bawah masa gestasi yang sebenarnya.
b) Disproportinate IUGR : terjadi akibat distres sub akut. Gangguan
terjadi beberapa minggu atau beberapa hari sebelum janin lahir. Pada
keadaan ini panjang dan lingkaran kepala normal, akan tetapi berat
tidak sesuai dengan masa gestasi. Tanda-tandanya adalah sedikitnya
jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering, keriput dan mudah
diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.

Prawirohardjo (2017) menyebutkan bahwa berdasarkan timbulnya


problematik pada derajat prematuritas digolongkan dalam tiga kelompok :

1. Bayi yang sangat prematur (extremely premature) : 24-30 minggu.


Bayi dengan masa gestasi 24-27 minggu masih sangat sukar hidup
terutama di negara yang belum atau sedang berkembang. Prawirohardjo
(2017) menjealskan, masa gestasi 24-27 minggu ini disebut permulaan
trimester 3, dimana terdapat perkembangan otak yang cepat. Sistem saraf
mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka, namun
kelangsungan hidup pada periode ini sangat sulit bila lahir. Bayi dengan masa
gestasi 28-30 minggu (50-70%) masih dapat hidup dengan perawatan yang
sangat intensif. Berat bayi ±1000-1500 gram.
2. Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately premature) :31-36
minggu.
Berat badan bayi pada masa gestasi ini ±1500-2500 gram. Pada golongan ini
kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik dari golongan pertama dan gejala
sisa yang dihadapinya dikemudian hari lebih ringan.
3. Borderline premature : masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini mempunyai sifat-
sifat prematur dan matur. Biasanya berat bayi seperti bayi matur (2500-3400
gram) dan dikelola seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problematik
seperti yang dialami bayi prematur, misalnya sindroma gangguan pernafasan,
hiperbilirubin, daya isap yang lemah, sehingga bayi ini harus diawasi dengan
seksama.

2.2.3 Etiologi Bayi Prematur

Menurut Rukiyah & Yulianti (2019), bayi dengan kelahiran prematur


dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:

1. Faktor ibu
Faktor ibu merupakan hal dominan dalam mempengaruhi kejadian prematur,
faktor-faktor tersebut di antaranya adalah:
a) Toksemia gravidarum (preeklampsia dan eklampsia).
b) Riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum,
malnutrisi dan anemia sel sabit.
c) Kelainan bentuk uterus (misal: uterus bikurnis, inkompeten serviks).
d) Tumor (misal: mioma uteri, eistoma).
e) Ibu yang menderita penyakit seperti penyakit akut dengan gejala
panas tinggi (misal: thypus abdominalis, dan malaria) dan penyakit
kronis (misal: TBC, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal).
f) Trauma pada masa kehamilan, antara lain jatuh.
g) Kebiasaan ibu (ketergantungan obat narkotik, rokok dan alkohol).
h) Usia ibu pada waktu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun.
i) Bekerja yang terlalu berat.
j) Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat.
2. Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian prematur
antara lain kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini, cacat
bawaan, kelainan kromosom, infeksi (misal: rubella, sifilis, toksoplasmosis),
insufensi plasenta, inkompatibilitas darah ibu dari janin
(faktor rhesus, golongan darah A, B dan O), infeksi dalam rahim.
3. Faktor Lain
Selain faktor ibu dan janin ada faktor lain yaitu faktor plasenta,
seperti plasenta previa dan solusio plasenta, faktor lingkungan, radiasi
atau zat-zat beracun, keadaan sosial ekonomi yang rendah, kebiasaan,
pekerjaan yang melelahkan dan merokok.

Menurut Proverawati & Sulistyorini (2018), berdasarkan klasifikasinya


penyebab kelahiran bayi prematur dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Bayi prematur tipe SMK disebabkan oleh:
1) Berat badan ibu yang rendah, ibu hamil yang masih remaja, kehamilan
kembar.
2) Pernah melahirkan bayi prematur sebelumnya.
3) Cervical incompetence (mulut rahim yang lemah hingga tak mampu
menahan berat bayi dalam rahim).
4) Perdarahan sebelum atau saat persalinan (antepartum hemorrhage).
5) Ibu hamil yang sedang sakit.
2. Bayi prematur tipe KMK disebabkan oleh:
1) Ibu hamil yang kekurangan nutrisi.
2) Ibu memiliki riwayat hipertensi, pre eklampsia dan anemia.
3) Kehamilan kembar.
4) Malaria kronik dan penyakit kronik lainnya.
5) Ibu hamil merokok.

2.2.4 Tanda dan Gejala Bayi Prematur

Menurut Rukiyah & Yulianti (2018), ada beberapa tanda dan gejala yang
dapat muncul pada bayi prematur antara lain adalah sebagai berikut:

1. Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu.


2. Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram.
3. Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm.
4. Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm.
5. Lingkar dada sama dengan atau kurang dari 30 cm.
6. Rambut lanugo masih banyak.
7. Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang.
8. Tulang rawan daun telinga belum sempuna pertumbuhannya.
9. Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
10. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia
mayora dan klitoris menonjol (pada bayi perempuan). Testis belum
turun ke dalam skrotum, pigmentasi dan rugue pada skrotum kurang (pada
bayi laki-laki).
11. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakannya lemah.
12. Fungsi saraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah.
13. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan
jaringan lemak masih kurang.
14. Vernix caseosa tidak ada atau sedikit bila ada.

Menurut Proverawati & Sulistyorini (2017), bayi prematur menunjukkan


belum sempurnanya fungsi organ tubuh dengan keadaan lemah, yaitu sebagai berikut:
Tanda-tanda bayi prematur sesuai masa kehamilan (SMK):
1. Kulit tipis dan mengkilap.
2. Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum terbentuk dengan
sempurna.
3. Lanugo (rambut halus atau lembut) masih banyak ditemukan terutama
pada daerah punggung.
4. Jaringan payudara belum terlihat, puting masih berupa titik.
5. Pada bayi perempuan, labia mayora belum menutupi labia minora.
6. Pada bayi laki-laki, skrotum belum banyak lipatan dan testis kadang
belum turun.
7. Garis telapak tangan kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk.
8. Kadang disertai dengan pernapasan yang tidak teratur.
9. Aktivitas dan tangisan lemah.
10. Reflek menghisap dan menelan tidak efektif atau lemah.
Tanda-tanda bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK):
1. Umur bayi bisa cukup, kurang atau lebih bulan, tetapi beratnya kurang
dari 2500 gram.
2. Gerakannya cukup aktif dan tangisannya cukup kuat.
3. Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis.
4. Pada bayi laki-laki testis mungkin sudah turun.
5. Bila kurang bulan maka jaringan payudara dan puting kecil.

2.2.5 Patofisiologi Bayi Prematur

Penyebab terjadinya kelahiran prematur belum diketahui secara jelas. Data


statistik menunjukkan bahwa bayi lahir prematur terjadi pada ibu yangmemiliki sosial
ekonomi rendah. Kejadian ini kurangnya perawatan pada ibu hamil karena tidak
melakukan antenatal care selama kehamilan. Asupan nutrisi yang tidak adekuat
selama kehamilan, infeksi pada uterus, dan komplikasi obstetrik yang lain merupakan
pencetus kelahiran bayi prematur. Ibu hamil dengan usia yang masih muda,
mempunyai kebiasaan merokok dan mengkomsumsi alhohol juga dapat menyebabkan
terjadinya bayi prematur.

Faktor tersebut juga dapat mengakibatkan terganggunya fungsi plasenta


menurun dan memaksa bayi untuk keluar sebelum waktunya. Karena bayi lahir
sebelum masa gestasi yang cukup maka organ tubuh bayi belum matur sehingga bayi
lahir prematur memerlukan perawatan yang sangat khusus untuk memungkinkan bayi
beradaptasi dengan lingkungan luar (Tanto, 2017).

Bayi prematur juga relatif kurang mampu untuk bertahan hidup karena
struktur anatomi dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum bekerja
seperti bayi yang lebih tua. Kekurangan tersebut berpengaruh terhadap kesanggupan
bayi untuk mengatur dan mempertahankan suhu badannya dalam batas normal. Bayi
berisiko tinggi lain juga mengalami kesulitan yang sama karena hambatan atau
gangguan pada fungsi anatomi, fisiologi, dan biokimia berhubungan dengan adanya
kelainan atau penyakit yang diderita.

Bayi prematur atau imatur tidak dapat mempertahankan suhu tubuh dalam
batas normal karena pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur, kurangnya
cadangan glikogen dan lemak coklat sebagai sumber kalori. Tidak ada atau
kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relatif lebih luas akan
menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi
kurang atau tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh melalui
aktivitas. Selain itu kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang (Tanto, 2017).

2.2.6 Komplikasi Bayi Prematur

Menurut Maryati (2015) bayi prematur dapat terjadi berbagai komplikasi


sebagai berikut:

1. Hipotermi
Dalam kandungan bayi berada dalam suhu lingkungan yang normal dan stabil
yaitu 36 sampai dengan 37 . Segera setelah bayi lahir bayi dihadapkan pada
suhu lingkungan yang lebih rendah. Perbedaan suhu memberi pengaruh pada
kehilangan panas pada tubuh bayi.
2. Sindrom gangguan pernapasan
Kesukaran pernapasan pada bayi prematur dapat disebabkanbelum
sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan paru yang merupakan
suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli paru pertumbuhan
surfaktan paru mencapai maksimun pada minggu ke-35 kehamilan. Defisiensi
surfaktan menyebabkan kemampuan untuk mempertahankan stabilitasnya,
alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasisehingga untuk pernapasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar yang
disertai usaha inspirasi yang kuat.
3. Hipoglekemia
Penyelidikan kadar gula darah pada 12 jam pertama menunjukkan bahwa
hipoglekemia dapat terjadi sebanyak 50% pada bayi matur. Glukosa
merupakan sumber utama energi selama masa janin. Bayi aterm dapat
mempertahankan kadar gula darah 50-60 mg/dL selama 72 jam pertama,
sedangkan bayi berat badan lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL hal ini
disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi.
4. Perdarahan intracranial
Pada bayi prematur pembuluh darah masih sangat rapuh hingga mudah pecah.
Perdarahan intracranial dapat terjadi karena trauma lahir, disseminated
intravascular coagulopathy atau trombositopenia idopatik. Matriks germinal
epidiminal yang kaya pembuluh darah

Anda mungkin juga menyukai