Anda di halaman 1dari 2

Pergerakan air laut secara garis besar sering dijelaskan dalam tiga pembahasan yakni arus,

pasang surut dan gelombang. Gelombang tsunami merupakan salah satu dari pembahasan
gelombang. Masyarakat Indonesia mungkin sudah tidak asing lagi dengan gelombang ini, karena
sejarah juga mencatat ada beberapa peristiwa gelombang tsunami yang terjadi di Indonesia, seperti
saat meletusnya Gunung Krakatau (1883) dan juga di Aceh (2004). Letak geografis Indonesia yang
merupakan letak pertemuan tiga lempeng, yaitu Australia, Eurasia, dan Pasifik membuat Indonesia
memiliki potensi yang lebih besar untuk terjadinya tsunami. Sehingga, informasi tentang gelombang
tsunami menjadi sangat penting untuk membantu pemahaman terkait tsunami.

Gelombang Tsunami merupakan salah satu contoh dari gelombang panjang yang dapat
menjalar ke segala arah dari sumber asalnya. Gelombang tersebut menjalar sebagai gelombang
perairan dangkal (Geist, 1997). Gelombang ini terjadi karena adanya letusan gunung berapi
(volcanoes), gempa bumi tektonik atau longsor bawah laut (submarine landslide). Tsunami
merupakan gelombang yang sangat besar dan tinggi gelombangnya dapat mencapai lebih dari 10
meter. Penyebab yang paling sering dan berbahaya untuk aktivitas tsunami adalah gempa bumi yang
terjadi di dalam laut. Gempa bumi terjadi karena dua sumber yaitu eksogen dan endogen. Eksogen
merupakan sumber energi pembangkit gempa bumi dari luar bumi, seperti jatuhnya meteor.
Sedangkan endogen adalah sumber pembangkit gempa bumi dari dalam bumi, seperti gempa
tektonik atau vulkanik.

Gempa bumi yang terjadi di laut juga tidak semuanya menyebabkan tsunami. Ada beberapa
kondisi yang menjadi syarat terjadinya tsunami, diantaranya adalah adanya pergerakan lempeng
bumi sehingga saling bertemu, kemiringan sudut antar lempeng yang bertemu dan kedalaman
gempa yang tidak lebih dari 80 km (Kodoatie & Syarif, 2010). Tipe patahan yang dapat
membangkitkan tsunami ada 3, diantaranya strike-slipe dalam posisi vertikal, dip-slip dalam posisi
vertikal, dan thrus-dip dalam posisi menukik.

Fenomena gelombang tsunami tentu saja meninggalkan dampak bagi lingkungan. Baik
terhadap lingkungan laut itu sendiri, maupun lingkungan atmosfer. Dampak tsunami terhadap
lingkungan laut dapat berpengaruh kepada lingkungan pesisir, yang termasuk pula perubahan
kondisi oseanografi selama penjalarannya ke pesisir. Sedangkan dampak tsunami terhadap
lingkungan atmosfer melibatkan interaksi laut dan udara.

Kondisi penjalaran gelombang tsunami akan meninggalkan deposisi dan erosi di dekat garis
pantai, sehingga meninggalkan sedimentasi, seperti kejadian tsunami di Flores (1992), Papua Nugini
(1998), dan Laut Andaman, Thailand (2004). Selain itu, sifat-sifat massa air seperti suhu dan salinitas
juga akan terpengaruh. Pada daerah pantai, perubahan signifikan suhu menjadi dingin dan kenaikan
salinitas pada permukaan akibat tsunami terjadi pada kedalaman 0-70 m, sehingga membuat arus
pantai menjadi kuat.

Sedangkan tsunami yang dapat menghempaskan senyawa DMS (Dimethyl Sulphide) ke


atmosfer yang disertai dengan tingginya gelombang, akan berpengaruh terhadap lingkungan
atmosfer, terutama terhadap variabilitas hujan. Semakin banyak senyawa DMS yang terhempas ke
atmosfer, maka akan semakin banyak terkumpulnya awan-awan penghasil hujan.

Anda mungkin juga menyukai