Anda di halaman 1dari 57

 

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Budaya Politik

a. Pengertian Budaya Politik

Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu

politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan

ilmu politik di Amerika Serikat. Sebagaimana diungkapkan oleh

banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika

Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang

dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang

menamakannya dengan Behavioralism. Behavioral revolution yang

terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin

menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang

percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala

sosial termasuk ilmu politik, seperti halnya ilmu-ilmu alam mampu

memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam. Paham ini sangat

kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert

Spencer, Auguste Comte, juga Emile Durkheim (Afan Gaffar, 2006:

97) .

Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di

Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di

19
20 
 

Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago

School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam

ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963;

Almond, 1990 dalam Afan Gaffar, 2006: 97).

Salah satu dampak yang sangat mencolok dari behavioral

revolutuion ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat

grand maupun pada tingkat menengah (middle level theory).

Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti

misalnya sistem analysis, interest aggregation, interest articulation,

political socialization, politic culture, conversion, rule making, rule

dan aplication (Afan Gaffar, 2006: 98).

Budaya politik merupakan pola perilaku individu dan

orientasinya dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan

administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan

norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat

setiap harinya (Rusadi Kantaprawira, 2006: 25). Budaya politik juga

dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat

yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat

seluruhnya.

Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh David Easton,

yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, hal ini

mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan diantara

 
21 
 

kalangan teoritisi dalam ilmu politik yang sangat berperan dalam

mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan

Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang

kemudian melahirkan buku yang sangat berpengaruh pada 1960-an

dan 1970-an, yaitu The Civic Culture. Civic Culture inilah yang

menurut Almond dan Verba merupakan basis bagi budaya politik

yang membentuk demokrasi (Afan Gaffar, 2006: 99).

Almond (1965:20), menunjukkan bahwa “tiap sistem politik

mewujudkan dirinya didalam pola orientasi-orientasi dan tindakan-

tindakan politik tertentu”. Dalam pengertian yang hampir sama,

Lucian W. Pye (1965:24) mendefinisikan budaya politik sebagai “the

ordered subjective realism of politic, yaitu tertib dunia subjektif

politik”. Definisi budaya politik menurut Verba (1965:31) merupakan

yang paling jelas. Bahwa “budaya politik”, demikian katanya,

“menunjuk pada sistem kepercayaan-kepercayaan tentang pola-pola

interaksi politik dan institusi-institusi politik (dalam A. Rahman H.I,

2007: 268).

Almond dan Verba menunjuk bukan pada apa yang diyakini

orang tentang kejadian-kejadian tersebut dan kepercayaan-

kepercayaan yang dimaksud dapat mengenai beraneka jenis, berupa

kepercayaan-kepercayaan empirik mengenai situasi kehidupan politik,

dapat berupa keyakinan-keyakinan mengenai tujuan-tujuan atau nilai-

nilai yang harus dihayati di dalam kehidupan politik dan semuanya itu

 
22 
 

dapat memiliki perwujudan atau dimensi emosional yang sangat

penting. Almond dan Verba (1984: 14) mendefinisikan budaya politik

sebagai:

“Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap


sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut”.

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting

dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor

subjektif. Budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-

pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap

politik, dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik

mengutamakan dimensi psikologis dari suatu sistem politik, yaitu

sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki

oleh individu-individu, dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat,

serta harapan-harapannya (Miriam Budiardjo, 2008: 58-59).

Kegiatan politik warga negara, tidak hanya ditentukan oleh

tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh harapan-

harapan politik yang dimilikinya dan oleh pandangannya mengenai

situasi politik. Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat

dipengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan dari sistem, oleh

agama yang terdapat dalam masyarakat itu, kesukuan, status sosial,

konsep mengenai kekuasaan dan kepemimpinan.

Dengan kata lain, budaya politik suatu bangsa dapat

didefinisikan sebagai pola distribusi orientasi-orientasi yang dimiliki

 
23 
 

oleh anggota masyarakat terhadap objek-objek politik atau bagaimana

distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara

masyarakat itu. Lebih jauh dinyatakan, bahwa warga negara

senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan

lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan

tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Menurut Rusadi

Kantaprawira (2006: 25), budaya politik tidak lain adalah pola tingkah

laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang

dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

Pengertian budaya politik diatas, nampaknya membawa kita

pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi

politik, yaitu sistem dan individu. Konsep orientasi mengikuti

pengertian Talcott Parsons dan Verba yang mendefinisikan orientasi

sebagai aspek-aspek dari objek dan hubungan-hubungan yang

diinternalisasikan di dalam dunia subjektif individu. Dengan orientasi

yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang

sistem politiknya, kita menganggap masyarakat akan cenderung

bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian,

pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya

sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu,

yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan

 
24 
 

tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual (Alfian dan

Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 21)

Budaya Politik menjadi penting untuk dipelajari dan dipahami

karena ada dua sistem. Pertama, sikap warga negara terhadap

orientasi politik yang menentukan pelaksanaan sistem politik. Sikap

dan orientasi politik sangat mempengaruhi bermacam-macam

tuntutan, hal yang diminta, cara tuntutan itu di utarakan, respon dan

dukungan terhadap golonganm elit politik, respons dan dukungan

terhadap rezim yang berkuasa. Kedua, dengan mengerti sifat dan

hubungan antara kebudayaan politik dan pelaksanaan sistemnya, kita

akan lebih dapat menghargai cara-cara yang lebih membawa

perubahan sehingga sistem politik lebih demokratis dan stabil (A.

Rahman H.I, 2007: 269). Budaya politik selalu inhern pada setiap

masyarakat yang terdiri dari sejumlah individu yang hidup dalam

sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern.

b. Orientasi dalam Budaya Politik

Dalam pendekatan perilaku politik, terdapat interaksi antara

manusia satu dengan lainnya yang akan selalu terkait dengan

pengetahuan, sikap, dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan

orientasi sehingga timbul budaya politik. Orientasi politik itulah yang

kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul

tersebut akhirnya mempengaruhi budaya politik seseorang.

 
25 
 

Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi

individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba

(1984: 16) mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu:

1) Orientasi kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat

pengetahuan dan pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan

individu terhadap jalannya sistem politik dan atributnya, seperti

tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil,

atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem

politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala

negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lagu

kebangsaan negara.

2) Orientasi afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga

negara terhadap sistem politik dan peranannya yang dapat

membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu.

3) Orientas evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga

tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan

kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan

perasaan.

Perlu disadari bahwa dalam realitas kehidupan, ketiga

komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-

kurangnya saling mempengaruhi. Semisal seorang warga negara

dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus

mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin.

 
26 
 

Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai, atau dibentuk

oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut

tentang sesuatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau

mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Boleh jadi,

pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan

seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan (Alfian dan

Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 22).

Pada hakekatnya kebudayaan politik suatu masyarakat terdiri

dari sistem kepercayaan yang sifatnya empiris, simbol-simbol yang

ekspresif, dan sejumlah nilai yang membatasi tindakan-tindakan

politik, maka kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan

orientasi subjektif bagi politik. Karena kebudayaan politik merupakan

salah satu aspek dari kehidupan politik, maka jika kita ingin

mendapatkan gambaran dan ciri politik suatu kelompok masyarakat

secara bulat dan utuh, maka kitapun dituntut melakukan penelaahan

terhadap sisinya yang lain (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991:

23).

Berkaitan dengan sistem politik, kebudayaan politik masyarakat

dipengaruhi oleh sejarah perkembangan sistem, di samping itu

kebudayaan politik lebih mengutamakan dimensi psikologis suatu

sistem, seperti sikap, sistem kepercayaan, atau simbol-simbol yang

dimiliki dan diterapkan oleh individu-individu dalam suatu

masyarakat sekaligus harapan-harapannya. Variabel yang ada bisa

 
27 
 

berawal dari suasana psikologis seseorang, argumentasi umum dalam

jajaran psikologi sosial, dan terminal terakhir bertumpu pada status

sosial-ekonomi yang dimiliki oleh seseorang atau sekolompok orang

sebagai determinan pembentukan orientasi, sikap, dan tingkah laku

politik (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 24).

Alfian (1986: 244-245), menganggap bahwa lahirnya

kebudayaan politik sebagai pantulan langsung dari keseluruhan sistem

sosial-budaya masyarakat dalam arti luas. Hal ini terjadi melalui

proses sosialisasi politik agar masyarakat mengenal, memahami, dan

menghayati nilai-nilai politik tertentu yang dipengaruhi oleh sikap dan

tingkah laku politik mereka sehari-hari. Adapun nilai-nilai politik

yang terbentuk dalam diri seseorang biasanya berkaitan erat dengan

atau bagian dari nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu,

seperti nilai-nilai sosial budaya dan agama. Alfian, nampaknya

menempatkan faktor lingkungan budaya sebagai salah satu faktor

penentu orientasi politik seseorang disamping sejumlah faktor lainnya.

Mar’at (1984: 25-26), menetapkan bahwa sikap adalah suatu

kecenderungan dalam berperilaku yang merupakan produk dari proses

sosialisasi yang banyak ditentukan oleh faktor budaya. Proses

pembentukan sikap politik yang pada gilirannya berupa perilaku

politik yang diperoleh melalui sosialisasi politik, tak pernah hadir di

kehampaan budaya. Budaya politik adalah pola perilaku seseorang

atau sekelompok orang yang dipengaruhi faktor eksternal seperti

 
28 
 

situasi lingkungan atau faktor internal seperti; kebutuhan, SINA

(Sitem Nilai dan Asumsi) dan SKSM (Sistem Koordinasi Senso

Motorik) yang orientasinya berkisar pada situasi kehidupan politik

yang sedang berlaku, bagaimana tujuan-tujuan yang didambakan oleh

sistem politik itu sendiri, serta harapan-harapan politik apa yang

dimilikinya, biasanya akan bercampur baur dengan prestasi di bidang

peradaban.

Beberapa definisi sikap yaitu, berorientasi kepada respon: sikap

adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau

memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung

(Unfavourable) pada suatu objek politik. Berorientasi kepada kesiapan

respon: sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu

objek politik dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu

stimulus yang menghendaki adanya respon dan suatu pola perilaku,

tendensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi

sosial politik yang telah terkondisikan. Berorientasi kepada skema

triadik: sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif dan

afektif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan

berperilaku terhadap suatu objek politik di lingkungan sekitarnya.

Secara sederhana sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari

bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap beberapa hal (Mar’at,

1984: 8-9).

 
29 
 

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

sikap: adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang

dianggap penting, media massa, institusi/lembaga pendidikan dan

agama, dan faktor emosional. Eagly & Chaiken (1993)

mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi

terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam proses-proses

kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang

disimpulkan dari berbagai pengamatan terhadap objek diekspresikan

dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi), maupun perilaku

(dalam Kras S. J., 1995: 74-75).

Menurut ahli psikologi sosial, yang memandang bahwa belajar

sebagai suatu proses yang berakhir dengan terjadinya perubahan pola

tingkah laku seseorang. Menurut para ahli itu bahwa nilai-nilai dan

kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat, termasuk didalamnya

nilai-nilai politik, senantiasa mengalami proses transformasi,

pemahaman dan internalisasi ke dalam individu melalui tiga

mekanisme utama, yakni asosiasi, peneguhan dan imitasi, dimana

tingkah laku para aktor politik penting ditiru, sebagai bagian dari

perilaku masyarakat (Arifin Rahman, 2002: 36).

Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrinnya dan aspek

generikanya. Pertama, menekan pada isi atau materi budaya politik

yang dapat dijumpai pada studi tentang doktrin; seperti sosialisme,

demokrasi atau nasionalisme, dan islam. Kedua, aspek generika;

 
30 
 

menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik.

Umpamanya, apakah budaya politiknya militan, utopis, terbuka atau

tertutup. Pada aspek generikanya dari budaya politik, dapat dilihat dari

hakekat, bentuk dan peranannya. Hakekat atau ciri-ciri pokok dari

budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai adalah

prinsip-prinsip dasar yang melandasi doktrin atau suatu pandangan

hidup. Nilai-nilai yang dimaksud ini berhubungan dengan masalah

tujuan, seperti nilai-nilai pragmatis atau utopis (Arifin Rahman, 2002:

37-38).

Almond dan Powell mencatat, bahwa aspek lain yang

menentukan orientasi politik seseorang, adalah hal-hal yang berkaitan

dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility). Perasaan

ini dalam realitas sosial berwujud dalam kerjasama dan konflik yang

merupakan dua bentuk kualitas politik. Rasa percaya mendorong

kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bekerjasama dengan

kelompok lain. Sebaliknya rasa permusuhan akan mendorong

seseorang atau suatu kelompok pada konflik politik (Alfian dan

Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 22-23). Dengan demikian, kerjasama

dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan masyarakat, tetapi juga

merupakan ciri budaya politik.

Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang

dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat

tersebut. Hal ini terjadi, karena kehidupan masyarakat dipenuhi oleh

 
31 
 

interaksi antar-orientasi dan antar-nilai. Interaksi yang demikian

memungkinkan timbulnya kontak antar budaya, dan menjadi pemicu

dalam menjalin proses integrasi dan pengembangan budaya politik

masyarakat.

c. Tipe-Tipe Budaya Politik

Berdasarkan orientasi-oientasi warga negara terhadap kehidupan

politiknya atau budaya politiknya, Almond dan Verba membaginya

dalam tiga tipe budaya politik, yakni budaya politik parokial, budaya

politik kaula atau subjek dan budaya politik partisipan. Yang penting

dari klasifikasi tersebut adalah kepada objek politik apa, aktor politik

individual yang berorientasi, bagaimana mereka mengorientasikan

diri, dan apakah objek-objek politik tersebut terlibat secara mendalam

dalam pembuatan kebijaksanaan yang bersifat ke atas atau dalam arus

pelaksanaan kebijaksanaan yang bersifat ke bawah (Almond dan

Verba, 1984: 18). Hasilnya adalah klasifikasi tiga tipe ideal budaya

politik, yaitu sebagai berikut:

1) Budaya politik parokial (parochial political culture)

Adalah spesialisasi peranan-peranan politik atau tingkat

partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor

kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Budaya

politik parokial juga ditandai oleh tidak berkembangnya harapan-

harapan akan perubahan yang akan datang dari sistem politik.

Budaya politik parokial yang kurang lebih bersifat murni

 
32 
 

merupakan fenomena umum yang biasa ditemukan didalam

masyarakat-masyarakat yang belum berkembang, dimana

spesialisasi politik sangat minimal.

Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem

politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi

masih sangat kecil dan sederhana, sehingga pelaku-pelaku politik

belumlah memiliki pengkhususan tugas. Tetapi peranan yang satu

dilakukan bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas

dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan

peranannya baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun

keagamaan/spiritual. Selain itu, dalam budaya politik parokial juga

menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang

komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik. Masyarakat

dengan budaya politik parokial tidak mengharapkan apapun dari

sistem politik (Almond dan Verba, 1984: 20).

Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang

paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak

merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara,

mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas.

Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik yang terdapat di

negaranya (Budi Winarno, 2008: 19). Mereka tidak memiliki

perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,

pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang

 
33 
 

membicarakan masalah-masalah politik. Budaya ini hidup dalam

masyarakat dimana orang-orangnya sama sekali tidak menyadari

atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Selain itu,

mereka juga tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

2) Budaya politik subjek/kaula (subject political culture)

Masyarakat yang berbudaya politik subjek/kaula, mereka

memang memiliki frekuensi orientasi-orientasi yang tinggi

terhadap sistem politiknya, namun perhatian dan intensitas orientasi

mereka terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam

aspek keluaran (output) masih sangat rendah. Subjek individual

menyadari akan otoritas pemerintah yang memiliki spesialisasi, ia

bahkan secara afektif mengorientasikan diri kepadanya, ia memiliki

kebanggan terhadapnya atau sebaliknya tidak menyukainya, dan ia

menilainya sebagai otoritas yang absah. Namun demikian,

posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi

yang pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menetukan apa-

apa terhadap perubahan politik (Almond dan Verba, 1984: 21).

Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak

berdaya untuk mempengaruhi atau mengubah sistem. Dengan

demikian secara umum mereka menerima segala keputusan dan

kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam

masyarakat. Bahkan rakyat memiliki keyakinan bahwa apapun

 
34 
 

keputusan/kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-

ubah, dikoreksi apalagi ditentang.

Budaya politik ini ditemukan dalam masyarakat yang orang-

orangnya secara pasif patuh terhadap pejabat-pejabat pemerintahan

dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik atau

memberikan suara dalam pemilihan. Dalam budaya ini tidak

dikembangkannya kapabilitas responsif, sehingga masyarakat

enggan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Budaya

politik subjek muncul jika orientasi afektif saja yang kuat (Budi

Winarno, 2008: 18). Demokrasi sulit untuk berkembang dalam

masyarakat dengan budaya politik subjek/kaula, karena masing-

masing warga negaranya tidak aktif. Selain itu, mereka juga

memiliki kompetensi politik yang rendah dan keberdayaan politik

yang rendah. Sehingga, sangat sukar untuk mengharapkan

partisipasi politik yang tinggi.

3) Budaya politik partisipan (participant political culture)

Adalah suatu budaya politik dimana warga masyarakatnya

sudah memiliki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan

kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses

politik, dan administratif. Dengan perkataan lain, perhatian dan

intensitas terhadap masukan maupun keluaran dari sistem politik

sangat itnggi. Dalam budaya politik partisipasi dirinya atau orang

lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, ia

 
35 
 

memiliki kesadaran terhadap hak dan tanggung jawabnya.

Masyarakat juga merealisasikan dan mempergunakan hak-hak

politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik

partisipan tidak begitu saja menerima keputusan politik (Almond

dan Verba, 1984: 22). Hal ini karena masyarakat telah sadar bahwa

betapapun kecilnya mereka dalam sistem politik, mereka tetap

memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu.

Budaya politik partisipan hidup dalam masyarakat yang

orang-orangnya melibatkan diri dalam kegiatan politik atau paling

tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memperoleh informasi

yang cukup banyak tentang kehidupan politik. Budaya poitik

partisipan muncul jika orientasi kognitif, afektif, dan evaluatif

dikembangkan secara maksimal dan seimbang (Budi Winarno,

2008: 18). Dengan budaya politik pastisipan, maka kerja sistem

politik demokrasi dapat dikembangkan karena pada budaya politik

ini warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam

masyarakat secara sukarela, karena adanya sikap saling percaya

(trust) antar warga negara. Oleh karena itu, dalam konteks politik,

tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara

politik.

Kombinasi antara tiga tipe budaya politik diatas dapat

membentuk tipe-tipe budaya politik campuran. Secara konseptual

 
36 
 

menurut Almond dan Verba (1984: 27-31), terdapat tiga tipe budaya

politik campuran, yaitu:

1. Budaya subjek-parokial:

Adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya

menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) pada masyarakat

kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan

kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan

struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Bentuk

budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola

budaya parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek

(pemerintahan yang sentralistis).

2. Budaya subjek-partisipan:

Merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek

(pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan

(demokratis). Cara-cara yang berlangsung dalam proses peralihan

dari budaya parokial menuju budaya subjek turut berpengaruh pada

proses ini. Dalam proses peralihan ini, pusat kekuasaan parokial

dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis.

3. Budaya parokial-partisipan:

Banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang

melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada

umumnya budaya politik yang dominan adalah budaya parokial.

 
37 
 

Sedangkan norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya

bersifat partisipan.

Klasifikasi budaya politik ke dalam tiga tipe ideal sebagaimana

diungkapkan oleh Almond dan Verba, sama sekali tidak

mengasumsikan bahwa tipe yang satu meniadakan tipe yang lain.

Klasifikasi itu tidak harus disimpulkan bahwa orientasi yang satu akan

menggantikan orientasi yang lain (Almond dan Verba, 1984: 22).

Model-model budaya politik di atas kaitannya dengan studi

tentang budaya politik dirasakan penting karena dapat menunjukkan

karakteristik-karakteristik khas serta orientasi-orientasi warga negara

terhadap sistem dan proses politik. Karena budaya politik masyarakat

merupakan aspek yang sangat signifikan dalam sistem politik suatu

bangsa. Perhatian terhadap budaya politik setidaknya dilandasi oleh

dua hal. Pertama, sistem politik yang di dalamnya terdapat partai

politik mempunyai keterkaitan yang kompleks antara budaya politik

dengan aspek-aspek lain dalam sistem politik, baik formal maupun

informal. Kedua, dilandasi oleh keyakinan bahwa budaya politik

masyarakat merupakan aspek yang sangat signifikan dalam sistem

politik. Dalam hal ini, terdapat hubungan yang dekat antara struktur

dan budaya politik. Selain itu, budaya politik merupakan cerminan

dari nilai, sikap, perilaku, dan orientasi individual terhadap politik

atau sistem politik. Menurut David Easton, budaya politik merujuk

pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum

 
38 
 

maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang mereka anggap

harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut (Budi Winarno,

2008: 15).

Budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku

individu atau masyarakat terhadap sistem politik. Orientasi politik

tersebut terdiri dari 2 tingkat yaitu: di tingkat masyarakat dan di

tingkat individu. Orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat

dipisahkan dari orientasi individu. Menurut Almond dan Verba (1984:

17), masyarakat mengidentifikasi dirinya terhadap simbol-simbol dari

lembaga-lembaga kenegaraan. Orientasi dari tingkah laku individu

tersebut terwujud dalam bentuk keterlibatan di bidang politik dalam

kehidupan bernegara. Misalnya, ikut memberikan suara atau

menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil rakyat dalam

Pemilukada. Sehingga pada suatu sistem politik, budaya politik sangat

dipengaruhi oleh agen (aktor) yang menjalankan sistem politik

tersebut. Karena pada kenyataan empirik aktorlah yang sangat

menentukan jalan atau tidaknya sistem politik. Sehingga, dalam

menjalankan tugasnya apa yang dilakukan oleh aktor-aktor politik

harus disesuaikan dengan budaya politik pada sistem politik yang

dianut. Budaya politik suatu bangsa akan mempengaruhi tingkah laku

warga dan pemimpinnya dalam sistem politik. Lebih jauh, budaya

politik mempengaruhi perilaku memilih masyarakat, dalam hal ini

perilaku individu-individu dalam peran politik mereka untuk memilih

 
39 
 

atau tidak memilih wakil rakyat dalam Pemilukada, perilaku

masyarakat terhadap isi tuntutan politik, dan respon mereka terhadap

hukum pada saat yang sama, kesempatan dan tekanan-tekanan yang

ditentukan oleh struktur politik yang ada pada masyarakat akan

menentukan budaya politiknya.

Ketika diadakan Pemilukada maka budaya politik yang ada pada

masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perilaku memilihnya.

Dalam hal ini, masyarakat akan bersikap rasional, bersikap pragmatis,

bersikap apatis (acuh tak acuh) ataukah mereka memang sudah

mempunyai kesadaran politik untuk memilih wakil rakyat yang ada

didaerahnya dalam Pemilukada. Kemudian, ketika berbicara budaya

politik dalam suatu negara, tentu terdapat faktor-faktor yang turut

mempengaruhi budaya politik yang berkembang pada suatu negara di

antaranya:

1. Karakter nasional, misalnya saja orang-orang Indonesia berbeda

dengan orang-orang Malaysia, Thailand, ataupun Filipina,

meskipun barangkali mereka adalah serumpun. Karena orang-orang

Indonesia memiliki karakter atau ciri-ciri tersendiri yang berbeda

dengan bangsa lain.

2. Orientasi terhadap kekuasaan.

3. Rekrutmen pemimpin, dalam hal ini adalah cara-cara yang

digunakan oleh para calon pemimpin yang tadinya hanya

 
40 
 

merupakan orang biasa untuk mendapatkan kekuasaan politik yang

merupakan aspek signifikan dalam budaya politik suatu bangsa.

4. Gaya politik, sikap individu terhadap proses politik dan

pandangannya mengenai hubungannya itu memberi perbedaan gaya

pada budaya politiknya (Budi Winaro, 2008: 16).

Sehingga, budaya politik yang dimiliki oleh masing-masing

negara tentu berbeda satu sama lain, seperti halnya budaya politik

yang terdapat di negara Indonesia juga berbeda dengan budaya politik

yang terdapat di negara lain. Hal ini, sangat dipengaruhi oleh sejarah

kebangsaan dan proses yang terus berlangsung dalam aktivitas

ekonomi, sosial, dan juga politik.

2. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Memilih

a. Pengertian Perilaku Memilih

Perilaku merupakan sifat alamiah manusia yang

membedakannya atas manusia lain, dan menjadi ciri khas individu

atas individu yang lain. Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan

sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga

pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat

dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan

keputusan politik yang pada dasarnya merupakan perilaku politik yang

berupa kegiatan-kegiatan yang memiliki hubungan dengan politik atau

disebut kegiatan politik. Oleh karena itu, perilaku politik dibagi

menjadi dua yakni  perilaku politik yang dilakukan oleh lembaga-

 
41 
 

lembaga pemerintah dan para pejabat pemerintah, serta perilaku

politik yang dilakukan oleh warga negara biasa (Ramlan Surbakti,

2010: 16). Kegiatan politik yang dilakukan lembaga-lembaga

pemerintah dan para pejabat pemerintah tersebut adalah

bertanggungjawab atas wewenang proses politik, sedangkan kegiatan

politik yang dilakukan oleh warga negara biasa adalah partisipasi

politik. Misalnya, warga negara memberikan suaranya atau

menggunakan hak pilihnya dalam Pemilukada dengan cara memilih

salah satu calon bupati dan wakil bupati yang diinginkannya.

Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses

menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan

keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif

maupun yang inklusif. Memilih merupakan aktifitas menentukan

keputusan secara langsung maupun tidak langsung (Eko Puspita Sari,

2011: 58).

Perilaku memilih merupakan realitas sosial politik yang tidak

terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal

perilaku memilih merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari

lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang

didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman

yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku

memilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi ada pula

sekelompok orang yang memilih kandidat politik karena dianggap

 
42 
 

representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok

lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi

dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai

ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga,

yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku memilih antara

lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian, pengaruh sistem sosial yang

ada di masyarakat, pengaruh media massa, dan aliran politik

(Firmanzah, 2008: 85).

Menurut Firmanzah (2008: 87) perilaku memilih merupakan

pemilih yang menggunakan hak pilihnya untuk menentukan dan

memilih salah satu calon dari kontestan politik yang ada pada

Pemilukada yaitu calon bupati dan wakil bupati. Dalam hal ini,

pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama

para kontestan untuk mereka pengaruhi dan mereka yakinkan agar

mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan

yang bersangkutan.

Dinyatakan sebagai pemilih dalam Pemilukada yaitu mereka

yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata

peserta pemilih (Pasal 69 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004). Pemilih

dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada

umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa

diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan

dalam institusi politik seperti partai politik yang nantinya dapat

 
43 
 

dijadikan sebagai sarana untuk ikut terlibat dalam kegiatan politik,

misalnya menjadi anggota atau menjadi kader dari partai politik

tertentu (Firmanzah, 2007: 87)

Perilaku memilih dapat ditujukan dalam pemberian suara

dengan cara menentukan siapa calon yang akan dipilih menjadi bupati

dan wakil bupati dalam Pemilukada secara langsung. Pemberian suara

dalam Pemilukada secara langsung diwujudkan dengan memberikan

suara pada salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati. Adapun

perilaku memilih menurut Ramlan Surbakti (2010: 185) adalah

akivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan

kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih di

dalam suatu pemilihan umum. Bila pemilih memutuskan untuk

memilih maka pemilih akan memilih dan mendukung kandidat

tertentu.

Keputusan untuk memberikan dukungan dan memberikan suara

tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup

tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya,

pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap

sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten

dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan. Perilaku memilih

juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau

kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang

saling berinteraksi. Sehingga, selama periode kampanye muncul

 
44 
 

kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa

kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada

kontestan yang memiliki ideologi yang sama dan menjauhkan diri dari

ideologi yang berseberangan dengan mereka (Firmanzah, 2008: 89-

90).

Menurut Muhammad Asfar (2006: 137) untuk menjelaskan

secara teoritis tentang voting behavior didasarkan pada dua model

atau pendekatan, yaitu model atau pendekatan sosiologi dan model

atau pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan Amerika Serikat,

model pertama disebut sebagai mazhab Columbia atau The Columbi

School of Electoral Behavior, sementara model kedua disebut sebagai

mazhab Michigan atau The Michigan Survey Research Centre.

Mazhab pertama lebih menekankan pada peranan faktor-faktor

sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, sedangkan

mazhab kedua lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam

menentukan perilaku politiknya. Jadi mazhab pertama dikenal sebagai

model atau pendekatan sosiologis, sementara mazhab yang kedua

dikenal sebagai model atau pendekatan psikologis.

Disamping kedua model atau pendekatan diatas, Muhammad

Asfar (2006: 144), juga mengajukan suatu model lanjutan atas kritik

terhadap kedua model atau pendekatan tersebut dalam memahami

perilaku memilih yaitu, pendekatan politik rasional atau djuga disebut

pendekatan rational choice.

 
45 
 

a. Pendekatan Perilaku Memilih

Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa pendekatan teoritis

tentang perilaku memilih, yaitu sebagai berikut:

1) Pendekatan Sosiologis (Mahzab Columbia)

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan sosiologis.

Pendekatan ini merupakan pendekatan perilaku memilih yang berasal

dari Eropa, kemudian dikembangkan oleh ilmuwan sosial yang

berlatar belakang pendidikan Eropa. Pendekatan ini disebut dengan

Mahzab Columbia. Sedangkan Flanagan menyebutnya sebagai model

sosiologi politik Eropa. Ketika David Denver menggunakan

pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat

Inggris, ia menyebutnya dengan sosial determinism approach

(Muhammad Asfar, 2006: 137).

Pendekatan ini lebih menekankan faktor-faktor sosiologis dalam

membentuk perilaku memilih seseorang. Pendekatan ini pada

dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan

pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang

cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang.

Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, organisasi, dan

sebagainya serta karakteristik sosiologis seperti agama, suku, umur,

wilayah, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan faktor penting

untuk menjelaskan pilihan politik seseorang. Pendeknya, perilaku

memilih dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang

 
46 
 

terhadap suatu kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh

kelompok atau organisasinya (Muhammad Asfar, 2006: 138).

Menurut Lazarsfeld (dalam Riswanda & Affan Gafar, 1993: 15)

menjelaskan perilaku politik sosiologis merupakan:

“A person thinks, politically as he is sosially. Sosial


characteristics determine political reference.”
Teori yang menggunakan pendekatan ini adalah contagion

theory atau teori penularan. Menurut teori ini, pilihan politik

seseorang dan partisipanship (semangat berpartisipasi seseorang

dalam kehidupan politik) dapat menular kepada orang lain melalui

kontak sosial seperti penyakit infeksi. Dengan kata lain, perilaku

politik seseorang disebabkan apa yang dibicarakan bersama yang

akhirnya menjadi pilihan bersama.

Jadi, menurut pandangan-pandangan dalam pendekatan

sosiologis ini, faktor eksternal yang berupa karakteristik sosial dan

pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh sangat

dominan dalam membentuk kondisi sosiologis yang membentuk

perilaku memilih dari luar melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam

proses sosialisasi yang dialami individu seumur hidupnya. Ada

beberapa kritik dalam pendekatan sosiologis ini yaitu kenyataan

bahwa perilaku memilih tidak hanya suatu tindakan kolektif tetapi

merupakan tindakan individual. Dapat saja seseorang dijejali dengan

berbagai norma sosial yang berlaku, tetapi tidak ada jaminan bahwa

ketika akan memberikan suara, individu tersebut tidak akan

 
47 
 

menyimpang dari norma dan nilai yang dimilikinya. Selalu ada

kemungkinan individu tersebut menyimpang dari keyakinan

kelompoknya ketika dia akan melakukan tindakan politik.

2) Pendekatan Psikologis (Mahzab Michigan)

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan psikologis.

Pendekatan ini dikembangkan sebagai respons atas pendekatan

sosiologis. Pendekatan psikologis dikembangkan di University of

Michigan di Amerika Serikat, sehingga kemudian pendekatan perilaku

memilih ini dikenal dengan sebutan Mahzab Michigan (Michigan

School). Pelopor pendekatan ini adalah August Campbell (Muhammad

Asfar, 2006: 141).

Kemunculan pendekatan ini merupakan reaksi atas

ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan

sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur, seperti

bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial,

tingkat pendidikan, agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya.

Apalagi pendekatan ini hanya sebatas menggambarkan dukungan

suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik tertentu. Tidak

sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih

atau mendukung suatu partai tertentu sementara yang lain tidak

(Muhammad Asfar, 2006: 141).

Menurut pendekatan ini, salah satu kekuatan politik adalah

produk dari sikap dan disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih

 
48 
 

mendasarkan faktor psikologis dalam diri seseorang. Faktor psikologis

ini, menurut Riswanda Imawan (1993: 12‐13) dideteksi dengan dua

konsep:

a) Political involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin

terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum.

b) Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau

tidak suka seseorang terhadap satu partai politik atau

kelompok elit tertentu).

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan

mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan

sikap untuk menjelaskan perilaku memilih. Menurut pendekatan ini,

sosialisasilah yang sebenarnya menentukan perilaku memilih maupun

perilaku politik seseorang, bukan karakter sosiologis. Selain itu,

pendekatan ini juga menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai

refleksi kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup

menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang,

khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik

(Muhammad Asfar, 2006: 141).

Menurut Greenstein terdapat tiga alasan mengapa sikap sebagai

variabel sentral untuk menjelaskan perilaku memilih. Pertama, sikap

merupakan fungsi kepentingan. Artinya penilaian terhadap suatu objek

diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang

tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang

 
49 
 

bersikap tertentu sesuai dengan kepentingan orang itu untuk sama atau

tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok

panutannya. Ketiga, sikap merupakan eksternalisasi dan pertahanan

diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi

konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme

pertahanan dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, rasionalisasi, dan

identifikasi (dalam Muhammad Asfar, 2006: 141-142). Oleh karena

itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek utama yaitu,

ikatan emosional pada partai politik atau kandidat, orientasi terhadap

isu-isu, dan orientasi pada kandidat.

3) Pendekatan Rasional

Selain dua pendekatan tersebut, perilaku memilih dapat didekati

dengan pendekatan rasional. Pendekatan ini berkembang atas kritik

kepada kedua pendekatan dalam perilaku memilih baik pendekatan

sosiologis dan pendekatan psikologis yang menempatkan pemilih

pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih seakan-akan menjadi

pion yang mudah ditebak langkahnya. Dengan demikian, penjelasan-

penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen, seperti

karakteristik sosiologis dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah

sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang juga

menyangkut peristiwa-peristiwa yang mendasar.

Penggunaan pendekatan pilihan rasional dalam perilaku memilih

oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi.

 
50 
 

Masyarakat dapat bertindak rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-

kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Maka

dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih bertindak

rasional yaitu memilih kandidat atau partai politik yang dianggap

mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan

kerugian sekecil-kecilnya (Cholisin, 2012: 153).

Dengan begitu, para pemilih diasumsikan mempunyai

kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang ditujukan kepada para

kandidat dalam Pemilukada. Penilaian rasional terhadap isu politik

yang ditujukan kepada para kandidat Pemilukada dapat berupa

jabatan, informasi, pribadi yang popular karena prestasi di bidangnya

masing-masing seperti seni, olahraga, film, organisasi politik, dan

semacamnya.

Dalam khasanah perilaku memilih, pilihan pemilih berdasarkan

pertimbangan isu dan kandidat juga dikenal dengan teori spasial. Teori

ini mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling

mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan

aspirasi mereka. Dalam terminologi Hucfellt Carmines menjelaskan

bahwa perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan rasional dan kepentingan diri sendiri yang disebut

sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition)

(Muhammad Asfar, 2006: 148).

 
51 
 

Sedangkan menurut Ramlan Surbakti (2010: 186-188), perilaku

memilih masyarakat dibedakan menjadi lima pendekatan, antara lain

adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Struktural

Pada pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai

produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial,

sistem partai, sistem pemlihan umum, permasalahan dan program

yang ditonjolkan oleh setiap partai. Pada struktur sosial menjadi

sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau

perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan

kota dan desa, serta bahasa, dan nasionalisme. Perbedaan jumlah

partai, basis sosial sistem partai dan program-program yang

ditonjolkan oleh partai politik suatu negara dengan negara lain adalah

karena perbedaan struktur sosialnya tersebut.

2) Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan

memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan

seseorang dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung

dipengaruhi oleh latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti

jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas

sosial, pendapatan, dan agama.

 
52 
 

3) Pendekatan Ekologis

Pada pendekatan ekologis ini hanya relevan apabila dalam suatu

daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih

berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan

kabupaten. Seperti di Amerika Serikat terdapat distrik, precinct, dan

ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe penganut agama tertentu,

buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu,

dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga

perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat

dijadikan penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum.

Pendekatan ekologis penting sekali untuk digunakan karena

karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi

berbeda dengan karakteristik data kabupaten, atau karakteristik data

kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan.

4) Pendekatan Psikologis Sosial

Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk

menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum kepala

daerah secara langsung berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk

pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan

emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang

secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai

yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.

 
53 
 

5) Pendekatan Pilihan Rasional

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai

produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya

“ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi

hasil yang diharapkan, tetapi juga berbeda alternatif berupa pilihan

yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang

hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau

pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi

digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat

yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih

atau tidak ikut memilih.

Dari beberapa teori pendekatan perilaku memilih menurut

beberapa tokoh diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pada dasarnya

ada tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan sosiologis, (2) pendekatan

psikologis, dan (3) pendekatan rasional.

Pendekatan sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal

yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan seseorang, seperti

(i) status sosial ekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan,

pendapatan, dan kelas sosial), (ii) agama, (iii) etnik, bahkan (iv)

wilayah tempat tinggal/domisili (kota, desa, pesisir, atau pedalaman).

Pendekatan wilayah tempat tinggal sering dikombinasikan dengan

pendekatan psikologis atau emosional. Contohnya di daerah tertentu

ada calon anggota legislatif yang mencalonkan diri sebagai calon

 
54 
 

anggota DPD, sosok caleg tersebut dikenal baik oleh masyarakat

disekitar tempat tinggalnya. Kemungkinan besar perilaku memilih

masyarakat di daerah tersebut menggunakan kombinasi pendekatan

sosiologis dan psikologis, karena pemilih mengenal secara langsung

caleg tersebut dan menghiraukan pertimbangan-pertimbangan tertentu

yang akan muncul belakangan setelah pemilihan berlangsung.

Sedangkan pendekatan psikologis sangat bergantung dengan

sosialisasi politik di lingkungan pemilih tersebut. Sosialisasi politik

yang berkembang di lingkungan pemilih tersebut menyebabkan

kecenderungan emosional pemilih untuk lebih mengarah kepada satu

pilihan politik tertentu. Dalam hal ini juga termasuk politik pencitraan

seperti kampanye dalam arti luas. Dalam konteks pilihan pendekatan

rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan

memilih partai politik dan calon bupati serta wakil bupati yang ikut

dalam Pemilukada, ia cenderung tidak akan menjatuhkan pilihan pada

partai partai politik dan calon bupari serta wakil bupati dalam

Pemilukada tersebut.

b. Tipe-Tipe Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan

pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini

merupakan konfigurasi pemilih atau tipe-tipe pemilih (Firmanzah,

2008: 120-125).

 
55 
 

1) Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational

voter), dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-

problemsolving’ dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi.

Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik

atau calon kontestan dalam program kerjanya. Ciri khas pemilih jenis

ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu

partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti “paham, asal-usul,

nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang

dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan”. Hal yang

terpenting bagi para pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang

telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada

paham dan nilai yang dimiliki oleh suatu partai atau paham dan nilai

yang dimiliki oleh seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah

partai politik atau calon kontestan ingin menarik perhatian pemilih

dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan

permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya,

hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional,

dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari

sebuah partai atau seorang kontestan ke partai politik atau kontestan

lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan

permasalahan nasional.

 
56 
 

2) Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya

orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam

menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi

mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan

ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau

seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‘rational vote’

untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini

bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini

menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada

partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka

akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan.

Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan

program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru

kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang

melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini akan

selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan

kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika

terdapat perbedaan antara nilai ideologi dengan ‘platform’ partai: (1)

memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru

yang memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama.

Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah

kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa

 
57 
 

kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik,

mereka cenderung menyuarakannya melalui mekanisme eksternal

partai, umpamanya melalui media massa seperti televisi, radio, dan

sebagainya. Frustasi merupakan posisi yang sulit bagi pemilih jenis

ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai atau

seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter mereka,

tapi di sisi lain mereka merasakan adanya ketidaksesuaian dengan

kebijakan yang akan dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan

melihat-lihat dahulu (wait and see) sebelum munculnya ide

kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru. Pembuatan

partai baru biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak

puas atas kebijakan suatu partai. Mereka memiliki kemampuan untuk

menggalang massa, ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai

tandingan dengan nilai ideologi yang biasanya tidak berbeda jauh

dengan partai sebelumnya.

3) Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi

dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang

kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan

keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan

sosial-budayanya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran

untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi,

kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan

 
58 
 

pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua.

Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian

pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang

kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah

tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam

memegang nilai serta paham yang dianut.

4) Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi

dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak

menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk

terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat

kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali.

Mereka juga kurang memperdulikan ‘platform’ dan kebijakan sebuah

partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara,

biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka

berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan

pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan yang

mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional

dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

3. Pemilihan Umum Kepala Daerah

a. Pengertian Pemilihan Umum Kepala Daerah

Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD

1945 sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa

 
59 
 

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya

oleh MPR”. Namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen

sehingga pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada

ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya

berada ditangan MPR tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala

daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara

langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah sehingga

pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak

rakyat dan kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan

sarana demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam

menentukan wakil-wakilnya di daerah, Pemilukada juga merupakan

sarana untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti

halnya negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang

mengalami perubahan signifikan pasca runtuhnya orde baru.

Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan

bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam

kegiatan politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran

pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu

kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan

 
60 
 

kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar

masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil

kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan umum kepala

daerah secara langsung juga merupakan salah satu bentuk

penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan

kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup

agar rakyat bebas memilih pemimpinnya.

Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan

wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada

Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

Dengan adanya Pemilukada secara langsung merupakan salah

satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip

O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is

local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan

tumbuh berkembang, dengan mapan, dan dewasa apabila pada tingkat

lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu.

Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang

lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta

kesantunan politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009:

 
61 
 

17). Ini artinya kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara

ideal dan aktual) diawali dengan Pemilukada secara langsung,

asumsinya; sebagai upaya membangun pondasi demokrasi di

Indonesia (penguatan demokrasi di ranah lokal).

b. Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah

Salah satu ciri pemilihan umum kepala daerah yang

dilaksanakan secara langsung dan demokratis dapat dilihat pada asas-

asas dari pelaksanaan pemilihan tersebut. Menurut Joko J. Prihatmoko

(2005: 207) mengatakan bahwa definisi asas pemilihan umum kepala

daerah adalah sebagai berikut:

“Asas pemilihan kepala daerah adalah pangkal tolak


pikiran untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah”.
Dari pendapat tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa asas

pemilihan umum kepala daerah merupakan prinsip-prinsip atau

pedoman yang harus digunakan dalam proses penyelenggaraan

pemilihan tersebut, asas berarti jalan atau sarana agar pemilihan

umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dapat

terlaksana secara demokratis.

Asas yang digunakan dalam pelaksanaan pemilihan kepala

daerah secara langsung adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil. Rumusan asas-asas pemilihan umum Kepala daerah secara

langsung tertuang pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang menegaskan bahwa:

 
62 
 

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam


satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil”.
Hal ini juga telah ditegaskan kembali dalam Pasal 4 ayat (3)

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Berikut ini penjelasan

dari asas-asas dalam Pemilukada, yaitu:

1) Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan

suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,

tanpa perantara dari pihak lain.

2) Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan

sesuai dengan ketentuan perundangan untuk berhak mengikuti

Pemilukada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna

menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga

negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan,

jenis kelamin kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3) Bebas

Setiap warga negara yang berhak memilih secara bebas dalam

menentukan pilihanyan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun.

Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara menjamin

keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani

dan kepentingannya.

 
63 
 

4) Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.

Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat

diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan.

5) Jujur

Dalam penyelenggaraan Pemilukada, setiap penyelenggara

Pemilukada, aparat pemerintah, calon/peserta Pemilukada,

pengawas Pemilukada, pemantau Pemilukada, pemilih serta semua

pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan

peraturan perundang -undangan.

6) Adil

Dalam penyelenggaraan Pemilukada setiap pemilih dan

calon/peserta Pemilukada mendapatkan perlakuan yang sama serta

bebas dari kecurangan pihak manapun (Joko J. Prihatmoko, 2005:

20-21).

Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum

kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis

dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis.

Sehingga jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal

tersebut merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 
64 
 

Adapun aspek-aspek dasar pemilihan umum kepala daerah yang

demokratis itu adalah (Eman Hermawan, 2001: 82-83):

1. Adanya pengakuan terhadap hak pilih universal, semua warga

negara yang memenuhi syarat tanpa pengecualian yang bersifat

politik dan ideologis diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam

Pemilukada.

2. Adanya keleluasaan dalam menampung pluralitas aspirasi, dalam

arti bahwa masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi

politik yang leluasa.

3. Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon rakyat.

Mekanisme yang diharapkan adalah bottom up (berdasarkan

inisiatif dan aspirasi dari bawah) bukan top down (diturunkan oleh

elite partai dan penguasa). Perekrutan calon-calon wakil rakyat

oleh parpol diharapkan makin mendekatkan calon legislatif dengan

rakyat dan wakilnya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh

partai, maka makin demokratis hasil Pemilukada, demikian juga

sebaliknya rakyat mengetahui dengan kualifikasi seperti apa calon

legislatif tersebut ditentukan.

4. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan

menentukan pilihan, kebebasan untuk menentukan preferensi

politik bagi para pemilih adalah sebuah faktor penting dalam

menakar kualitas sebuah Pemilukada.

 
65 
 

5. Terdapat komite atau panitia pemilihan yang independen. Sebuah

Pemilukada yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak

memihak yaitu komite yang tidak berpotensi untuk merekayasa

hasil akhir dari Pemilukada.

6. Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara

sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja mesti diberikan mulai dari

penggalangan massa, rekrutmen dan penyeleksian calon anggota

hingga ketahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya.

7. Netralisasi birokrasi Pemilukada yang demokratis membutuhkan

birokrasi yang netral, tidak memihak dan tidak menjadi perpanjang

tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam

Pemilukada.

c. Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah

Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala

daerah secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang

sejak tahun 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya

dengan pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yang

dilakukan oleh DPRD sering menjerumuskan politik lokal dalam

kubangan politik uang diantara partai politik, parlemen dan calon

kepala daerah. Implikasinya secara langsung adalah menciptakan

lingkaran oligarkisme elit politik di daerah yang setali tiga uang

dengan senjangannya kedekatan kepentingan publik dengan elit.

Diadakannya Pemilukada secara langsung kemudian dianggap sebagai

 
66 
 

salah satu solusi untuk mengeliminasi masalah tersebut, dengan cara

memberikan hak pilih secara langsung kepada rakyat, setidaknya

beberapa aspek kompetisi politik, meningkatnya legitimasi politik

kepala daerah, serta meningkatnya akuntabilitas politik (Donni Edwin

dkk, 2005: 93).

d. Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pemilukada

1) Kelebihan

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut

berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala

daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan

petugas lapangan, pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan

umum kepala daerah secara langsung yang demokratik, dengan

memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk

berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan umum kepala daerah

secara langsung harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang

melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses

pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan

penghitungan suara.

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya

menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan

memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi

yang kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat amanah

langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat

 
67 
 

terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas

perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan umum kepala

daerah secara langsung dapat dihindari. Pada gilirannya pemiihan

umum kepala daerah secara langsung akan menghasilkan

pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien, karena

legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang

oleh legislatif.

Dengan adanya Pemilukada secara langsung, setidaknya akan

menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005:

131-133), yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses


maupun hasil pemiihan kepala daerah secara tidak
langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otonomi
Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala daerah
menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala
kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu.
Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam
dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan
pemerintahan, maupun lingkungan kemasyarakatan (civil
society).
2. Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang
arogansi lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang
selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-
satunya institusi pemegang mandat rakyat yang
representatif. Dewan pemilihan kepala daerah akan
memposisikan kepala daerah juga sebagai pemegang
langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah
(eksekutif).
3. Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala
pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan
justifikasi yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil
pemilihan kepala daerah memiliki akuntabilitas publik
langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya,
bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepala
dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan begitu, manuver

 
68 
 

politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk


segala perilaku bad politics-nya.
4. Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala
daerah yang lebih bermutu, karena pemilihan langsung
berpeluang mendorong majunya calon dan menangnya
calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata
masyarakat daerah, memuatkan derajat legitimasi dan
posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari
sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
5. Pemilihan kepala daerah secara langsung berpotensi
menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih
stabil, produktif, dan efektif. Tidak gampang digoyang
oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan
berlebihan atau intervensi pemerintahan pusat, tidak
mudah dilanda krisis kepercayaan publik yang berpeluang
dapat melayani masyarakat secara lebih baik.

2) Kelemahan

Dalam pelaksanaan Pemilukada tentu terdapat kelemahannya.

Kelemahan tersebut ditemukan dalam pelaksanaanya dilapangan.

Dalam Pemilukada, banyak sekali ditemukan penyelewengan-

penyelewengan atau kecurangan. Kecurangan-kecurangan yang

sering dilakukan oleh para bakal calon dalam Pemilukada adalah

seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188):

1. Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja


menyertai dalam setiap pelaksanaan Pemilukada. Dengan
memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka
dapat diperalat. Money politik dilakukan supaya rakyat
memilih calon yang sudah memberinya uang. Pada
kenyataannya dengan uang memang dapat membeli
segalanya. Selain itu, dengan masih rendahnya tingkat
pendidikan seseorang maka orang itu dapat diperalat dan
diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat
rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah
harus mempunyai uang yang banyak.
2. Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya.
Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan
intimidasi terhadap warga masyarakat agar mencoblos

 
69 
 

salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan


pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering
terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan
seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering
juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat
itu melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Kunjungan
ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu.
Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu.
Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam
acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye
belum dimulai.
4. Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul
karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada
masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat
masih kurang berminat terhadap pentingnya informasi.
Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar
mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini
dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat
merusak integritas daerah tersebut.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai “Budaya Politik Dan Perilaku Memilih

Masyarakat Desa Suwatu Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara

Langsung Di Kabupaten Pati Tahun 2012” belum dilakukan sebelumnya.

Namun penelitian yang relevan dengan penelitian tersebut sudah pernah

dilakukan sebelumnya yaitu:

1) Penelitian yang dilakukan oleh Septi Meliana pada tahun 2011, dalam

skripsi yang berjudul Budaya Politik dan Partisipasi Politik (Suatu

studi: Budaya Politik dan Partisipasi Politik Masyarakat Di Dalam

Pemilu Legislatif 2009 Di Desa Aek Tuhul Kecamatan Batunadua

Padang Sidimpuan). Penelitian ini menjelaskan tentang budaya politik

dan partisipasi politik. Penelitian ini dilakukan di Desa Aek Tuhul

 
70 
 

Kecamatan Batunadua Padangsidimpuan. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menggambarkan secara umum tingkat pertisipasi politik

masyarakat di dalam pemilu legislatif 2009. Budaya politik adalah

kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau

kekuasaan politik dalam masyarakat. Berdasarkan analisis bahwa

adanya hubungan antara budaya politik dengan partisipasi politik

Masyarakat pada Pemilu Legislatif 2009. Penelitian ini hanya di

lakukan kepada yang sudah berumur 17 tahun ke atas atau sudah

menikah. Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) teori yaitu : teori tentang

budaya politik, teori tentang partisipasi politik dan teori tentang

pemilihan umum/sistem pemilu. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan

data, yakni penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan

menggunakan angket. Hasil penelitian menujukan bahwa budaya politik

masyarakat Desa Aek Tuhuk adalah budaya politik kaula yang

masyarakat mempunyai minat perhatian, dan kesadaran terhadap sistem

sebagai sistem keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran

masyarakat sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik

boleh dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif

dan lemah. Sikap masyarakat pada umumnya menerima saja sistem itu

bersifat patuh.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Eko Puspita Sari pada tahun 2011,

dalam skripsi yang berjudul Pengaruh Pelembagaan Partai Golkar

 
71 
 

Yogyakarta Terhadap Pola Perilaku Memilih Dalam Pemilu Legislatif

2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1). bagaimanakah

pelembagaan DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta 2).

Bagaimanakah pola perilaku memilih masyarakat Kota Yogyakarta

sebagai pemilih partai Golkar pada pemilu legislatif 2009 3).

Bagaimanakah implementasi pendidikan politik yang dilakukan DPD

tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta. Lokasi penelitian di DPD

Tingkat II Partai Golkar Kota Yogyakarta dan masyarakat kota

Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif

dengan jenis studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik

penentuan subjek penelitian purposive sampling. Teknik pengumpulan

data yang digunakan wawancara dan dokumentasi serta angket. Teknik

keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi data. Analisis data

yang digunakan analisis deskriptif induktif, dengan tahapan reduksi

data, unitisasi dan kategorisasi, pemaparan data, kesimpulan dan

verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan: 1). Pelembagaan Partai

Golkar Kota Yogyakarta (mencakup derajat kesisteman hasil

persilangan aspek internal dengan struktural, derajat identitas nilai hasil

persilangan aspek internal dengan kultural, derajat otonomi hasil

persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan derajat pengetahuan

atau citra publik persilangan aspek eksternal dengan kultural). Dari

indikator tersebut keputusan politik Partai Golkar Kota Yogyakarta

lebih ditentukan faktor eksternal. Dengan demikian pelembagaan Partai

 
72 
 

Golkar Kota Yogyakarta kecenderungan lemah. 2). Pola perilaku

memilih diukur melalui tiga pendekatan yaitu psikologis, sosiologis,

dan rasional. Dari ketiga pendekatan tersebut pola perilaku memilih

masyarakat Kota Yogyakarta pada pemilu legislatif 2009 bervariasi.

Variasi tersebut antara lain perilaku memilih sosiologis, psikologis, dan

rasional. Namun, pola perilaku memilih tersebut cenderung mengarah

pada perilaku memilih rasional. Pola perilaku memilih masyarakat Kota

Yogyakarta belum benar-benar menggunakan pendekatan rasional,

tetapi cenderung mengarah pada pemilih rasional daripada pemilih

sosiologis dan psikologis. 3). Pendidikan politik yang dilakukan oleh

Partai Golkar belum mencakup tiga komponen pendidikan politik

antara lain adalah civic knowledge, civic skill, dan civic dispotitions

yang diberikan kurang lengkap. Pendidikan politik yang dilakukan

Partai Golkar Kota Yogyakarta lebih pada kampanye pemilu. Dimana

dalam pelaksanaan pendidikan politiknya diarahkan pada partisipasi

aktif sebagai usaha dalam mencari dukungan suara dalam Pemilu

legislatif 2009.

C. Kerangka Berpikir

Pada penelitian ini menggunakan kerangka berpikir sebagai pedoman

dalam menentukan arah penelitian. Hal ini bertujuan untuk menghindari

terjadinya perluasan bidang garapan yang akan mengakibatkan penelitian

menjadi tidak fokus. Sebagai alur kerangka berpikir pada penelitian ini akan

dijelaskan sebagai berikut:

 
73 
 

Di era desentralisasi seperti sekarang ini, yang ditandai dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah dimana adanya otonomi daerah yang

memberikan kesempatan kepada setiap daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten

untuk melaksanakan pemilihan umum kepala daerah secara langsung.

Sehingga, dengan adanya Pemilukada masyarakat dapat memilih wakilnya

secara langsung. Adanya Pemilukada merupakan perwujudan dari hak-hak

asasi warga negara yaitu hak untuk berserikat, hak untuk berkumpul, serta

hak untuk mengeluarkan pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan.

Ketika masyarakat memilih wakil rakyat yang diinginkannya, hal tersebut

merupakan cerminan dari budaya politik masyarakat yang berperan dalam

membentuk perilaku memilih masyarakat.

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan

ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi,

pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan

partai-partai politik, perilaku aparat negara dan perilaku masyarakat yang

berupa partisipasi politik masyarakat dalam kegiatan politik, serta gejolak

masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah (Ronaldh Chilcote, 2004:

11). Sedangkan perilaku memilih merupakan pemilih yang menggunakan hak

pilihnya untuk menentukan dan memilih salah satu calon dari kontestan

politik yaitu calon bupati dan wakil bupati (Firmanzah, 2007: 87).

Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari perilaku

memilih masyarakat. Karena antara budaya politik dan perilaku memilih

 
74 
 

merupakan dua hal yang saling terkait. Perilaku memilih merupakan sikap

masyarakat untuk memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih

menjadi bupati dan wakil bupati dalam Pemilukada secara langsung.

Sehingga, budaya politik yang ada pada masyarakat juga mempengaruhi

perilaku memilihnya. Dalam hal ini, masyarakat akan bersikap rasional,

bersikap pragmatis, bersikap acuh tak acuh ataukah masyarakat memang

sudah mempunyai kesadaran politik berupa budaya politik yang partisipan

dalam menggunakan hak pilihnya ataukah ada faktor-faktor lain yang

mempengaruhinya. Karena adanya perilaku memilih masyarakat dalam

Pemilukada merupakan salah satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam

kehidupan politik (partisipan).

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah tentu diberi

kesempatan untuk melaksankan Pemilukada tidak terkecuali Kabupaten Pati

Propinsi Jawa Tengah. Pemilukada tersebut dilaksankan pada tanggal 16 juni

2012. Pada Pemilukada tersebut, keterlibatan masyarakat Kabupaten Pati

khususnya masyarakat Desa Suwatu memang tinggi padahal dilihat dari

tingkat pendidikannya, tingkat pengetahuan politiknya dan tingkat

kesejahteraannya, masyarakat Desa Suwatu dapat dikatakan cukup rendah.

Oleh karena itu, kiranya penting untuk mengetahui bagaimana budaya politik

dan perilaku memilih masyarakat Desa Suwatu serta faktor-faktor yang

mempengaruhi budaya politik dan perilaku memilihnya.

 
75 
 

Untuk lebih jelasnya, alur pikir peneliti dapat digambarkan dengan

skema berikut di bawah ini:

Budaya Politik Masyarakat


• Parokial
• Subjek
• Partisipan

Perilaku Memilih Masyarakat


• Pendekatan Sosiologis
• Pendekatan Psikologis
• Pendekatan Pilihan Rasional

Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Budaya Politik dan Perilaku
Memilih Masyarakat

Budaya Politik dan Perilaku Memilih


Masyarakat Desa Suwatu
 

   

Anda mungkin juga menyukai