Anda di halaman 1dari 3

Pertanyaan untuk Dokter Anna :

1. Apa yang dimaksud dengan TB Paru ?


2. Bagaimana penularan Tb Paru ?
3. Apa gejala klinis TB ?
4. Bagaimana prosedur untuk mendiagnosa pasien TB paru?
5. Bagaimana pengobatan Tb ?
6. Apa akibatnya bila Penderita minum obat tidak teratur?
7. Apakah Tb bisa di sembuhkan ? Kapan penderita dinyatakan sembuh?
8. Apa persamaan dan perbedaan pasien TB dengan Covid – 19 ?

Pertanyaan untuk Pengelola Program Tb Paru (Reza) :


1. Bagaimana alur pelayanan TB Paru di Puskesmas Jebus ?
2. Berapa jumlah kasus Tb tahun 2021 s.d bulan Maret 2021. Apakah ada
peningkatan dari tahun sebelumnya ?
3. Bagaimana pelaksanaan penemuan kasus TB paru yang dilakukan di puskesmas?
4. Apakah penemuan kasus TB sudah mencapai target dan berapa targetnya?
5. Siapa saja tenaga kesehatan yang terlibat dalam program penanggulangan TB
paru dan apa tugas masing-masing tenaga kesehatan tersebut?
6. Terkait dengan pelaksanaan program pengendalian TB paru, apa saja hambatan
yang sering ditemui?
7. Strategi apa yang dilakukan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut?
8. Apa pesan kepada seluruh masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Jebus dalam penanggulangan Tb Paru ?
Fokus pencegahan dan pengendalian TBC adalah penemuan kasus dan pengobatan.
Tolong temukan penderita TBC, diobati sebaik-baiknya. Sampai sembuh, betul-betul
harus sampai sembuh agar terhindar dari resistensi”, tutur Menteri Kesehatan RI.

JAKARTA - Tuberculosis (TBC) atau yang sering dikenal dengan TB merupakan penyakit


paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterius tuberculosis. TBC menjadi sangat
dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang sangat tinggi. Direktur Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
Republik Indonesia, dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes mengungkapkan bahwa Indonesia
menjadi negara ketiga terbesar dengan kasus TBC di dunia setelah India dan China.
"Kita (Indonesia) ranking tiga di dunia. Ada India, China, kemudian Indonesia," ungkap
Wiendra dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Selasa (7/7).
Menurut data Kemenkes, estimasi kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 jiwa dan
yang telah ditemukan sekitar 69 persen atau sekitar 540.000 jiwa. Angka kematian
penyakit TBC juga cukup tinggi, yaitu ada 13 orang per jam yang meninggal karena TBC.
Kasus yang belum ditemukan juga memiliki potensi penularan yang sangat tinggi, sama
seperti COVID-19. Walaupun sama-sama berbahaya dan menular melalui droplet serta
saluran pernapasan, Wiendra menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara TBC
dengan COVID-19, mulai dari gejala hingga cara penanganannya.
"Penularannya (TBC dan COVID-19) sama-sama droplet. Namun perbedaannya adalah
pada diagnosisnya. Kalau COVID-19 dari virus, sedangkan TBC dari kuman atau bakteri,"
ujarnya.
Selanjutnya pada gejala, Wiendra menjelaskan gejala TBC antara lain onset atau
serangan kronik lebih dari 14 hari dengan gejala demam kurang dari 38 derajat celcius
disertai batuk berdahak, bercak darah, sesak napas memberat bertahap, berat badan
turun dan berkeringat di malam hari. Sedangkan gejala COVID-19 antara lain dengan
gejala onset akut kurang dari 14 hari disertai demam lebih dari 38 derajat celcius dengan
batuk kering, sesak napas muncul segera setelah onset, nyero sendi, pilek, nyeri kepala,
gangguan penciuman atau pengecapan. 
Proses diagnosis TBC dan COVID-19 juga memiliki kesamaan dengan menggunakan
metode Tes Cepat Molekuler (TCM) dan Polymerase Chain Reaction (PCR), namun
perbedaannya ada pada pengambilan sampelnya. Untuk diagnosis COVID-19 harus
melalui swab, sedangkan TBC cukup dengan dahak saja.
Selain itu, perbedaan besar antara COVID-19 dengan TBC adalah COVID-19 belum ada
obat yang dapat menyembuhkan, sedangan TBC sudah ditemukan obatnya dan dapat
diakses secara gratis.
"COVID-19 belum punya obat, sedangkan TBC sudah ada obatnya, dengan catatan harus
dikonsumsi dengan baik dan patuh," pungkasnya.
Walaupun memiliki obat dalam membantu penyembuhan, masih banyak masyarakat yang
menyepelekan penyakit TBC karena dianggap merupakan penyakit lama sehingga kurang
memperhatikan kedisiplinan pada proses penyembuhan melalui konsumi obat yang telah
tersedia, sehingga para penderita TB menjadi resisten atau obatnya sudah tidak mempan
lagi dengan penyakit TBC tersebut.
"Ketika sudah mengkonsumsi, lalu stop, lalu nanti minum lagi. Jadi sembuhnya tidak
betul-betul sembuh sempurna. Padahal obat TB harus dikonsumsi dalam waktu yang
cukup panjang yaitu enam bulan. Namun pada bulan pertama dan kedua merasa sudah
sembuh, padahal belum sembuh. Hal ini yang menjadi resisten dan masalah yang masih
menjadi tantangan kita," jelasnya.
Wiendra juga menambahkan bahwa orang yang menderita TBC bukan menjadi penyakit
bawaan yang mudah terjangkit COVID-19. 
"Menurut data, hanya 19 orang penderita TBC yang terkena COVID-19. Pada data yang
tersedia, justru penyakit tidak menular atau PTM menjadi penyakit bawaan yang mudah
terjangkit COVID-19. Walaupun TBC ada dalam 10 besar penyakit bawaan yang rawan
terkena COVID-19, namun TBC bukan nomor satu," tambahnya.
Pengendalian penyakit TBC selama pandemi COVID-19 turut mengalami beberapa
hambatan, terlebih karena kekhawatiran pasien TBC serta pihak rumah sakit dalam
melakukan pemeriksaan.
"Pasiennya (pasien TBC) tidak bisa ke layanan kesehatan karena takut, kemudian fasilitas
kesehatan juga sekarang takut memeriksa pasien TBC, terlebih pada COVID-19. Namun
dengan sebagian besar rumah sakit rujukan COVID-19 yang memiliki pemeriksaan
laboratorium dengan TCM, cukup membantu terhadap pelayanan pasien TBC," jelas
Wiendra. 
Selanjutnya, Wiendra mengimbau kepada masyarakat penderita TBC untuk tetap selalu
berobat ke pelayanan kesehatan yang ada dan mengkonsumsi obat hingga sembuh total
sehingga penularannya tidak semakin meningkat.
"Pelayanan TBC tidak bisa berhenti, kalau butuh ke layanan protokol kesehatan tetap
dijalani. Jangan putus obat dan pastikan bahwa obat itu didapatkan oleh pasien," tegas
Wiendra.
Langkah pencegahan COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan meningkatkan
kesadaran masyarakat Indonesia bahwa kesehatan dan kebersihan adalah hal yang
penting. Hal ini turut menjadi peluang untuk mencegah penularan penyakit TBC dengan
melakukan hal yang sama, seperti cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak.
"Mengubah kebiasaan pastinya sulit, tidak semudah membalik telapak tangan, tapi
adanya COVID-19, kita memiliki peluang untuk menumbuhkan kebiasaan dengan disiplin
dan patuh untuk menjalankan protokol kesehatan seperti cuci tangan, pakai masker dan
jaga jarak, sehingga tidak hanya berguna untuk mencegah COVID-19, tapi juga berguna
untuk mencegah penularan TBC," terangnya.
Pelayanan untuk Penderita TBC Tidak Boleh Berhenti di Tengah Pandemi
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pembina Stop TB Partnership Indonesia Ir.
Arifin Panigoro menjelaskan bahwa tantangan penyakit TBC yang telah didapati Indonesia
sejak lama dan sekarang ditambah dengan adanya pandemi COVID-19, membuat semua
pihak harus bekerja sama dengan keras untuk mengatasi potensi penularannya. Terlebih
penyakit TBC juga tidak boleh digampangkan karena jumlah penderitanya tidak sedikit.
"Sebelum ada COVID-19, penyakit TBC ini sudah serius di Indonesia. Masalah TBC ini
besar tetapi atensi dari siapapun, dari pemerintah dan masyarakat dianggap ini penyakit
lama yang sudah selesai," ungkap Arifin melalui dialog ruang digital (7/7).
Menurut Arifin, permasalahan utama setelah adanya COVID-19 adalah pemerintah kini
berpusat kepada pengendalian COVID-19. Padahal, tanpa adanya COVID-19, temuan
kasus TBC sudah terbatas. Ditambah dengan adanya pandemi COVID-19, pengendalian
TBC menjadi terbengkalai di semua tahapannya.
"Logis, karena kita semua ini fokus perhatian kita terambil oleh COVID-19, meskipun
semua merasa TBC itu serius tapi priority saat ini adalah COVID-19," tambah Arifin.
Arifin juga menegaskan bahwa partisipasi masayrakat sangat diperlukan dalam menekan
potensi penularan COVID-19 maupun TBC itu sendiri serta semua pihak haru sbekerja
lebih keras dalam penanganan COVID-19 yang masih berlangsung saat ini namun ada
pekerjaan yang belum selesai terkait penanganan TBC.
"Untuk penyakit yang cakupannya luas seperti saat ini, pastisipasi masyarakat sangat
diperlukan. Kita harus bersama-sama. Partisipasi semua pihak sangat penting. Kita harus
siap untuk bekerja ekstra keras untuk menangani penanganan pandemi COVID-19 tanpa
melupakan potensi bahaya TBC yang juga masih terjadi di Indonesia," tegas Arifin.
Sejalan dengan Arifin, Wiendra juga kembali menegaskan bahwa pelayanan TBC tidak
bisa berhenti dan protokol kesehatan harus tetap dipatuhi, sehingga pelayanan TBC tetap
berjalan dengan baik sekaligus pencegahan COVID-19 juga dapat dilakukan. Pelayanan
bagi pasien TBC juga dapat dilakukan secara daring melalui sistem Go-Drug sehingga
tidak perlu keluar rumah untuk mendapatkan obat TBC.
"Semua pelayanan bagi pasien TBC tidak bisa berhenti, kalau pun harus ke layanan
kesehatan maka protokol kesehatan tetap dijalankan dan dipatuhi. Bagi pasien TBC juga
jangan putus obat. Para pasien TBC dapat mengakses obat dengan melalui Go-Drug atau
mitra lainnya yang menyediakan obat TBC," tutupnya.

Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional

Anda mungkin juga menyukai