Anda di halaman 1dari 8

1. Apakah anak yang pendek selalu stunting?

2. Apakah stunting tergolong penyakit?


3. Mengapa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK) seorang anak disebut
sebagai periode emas dalam upaya pencegahan stunting?
4. Apakah yang menjadi faktor resiko/penyebab stunting sebagai indikasi masalah
gizi kronis?
5. Apakah stunting hanya terjadi pada keluarga yang kurang mampu secara
ekonomi ?
6. Apa dampak dari masalah gizi kronis selain stunting?
7. Apakah stunting dapat dicegah atau dikoreksi?
8. Berapa jumlah daerah prioritas penurunan stunting?
9. Bagaimanakah intervensi dalam penanganan stunting?
10. Mengapa pelaksanaan Aksi Konvergensi mengikuti siklus tahunan di daerah?
11. Apa saja Aksi Konvergensi itu?
12. Apa Aksi Konvergensi Percepatan Penurunan Stunting?
13. Mengapa intervensi gizi pencegahan dan penurunan stunting harus dilakukan
secara konvergen?
14. Apa yang dimaksud dengan konvergensi?
15. Berapa angka prevalensi stunting di Indonesia?
16. Apa target indikator utama dalam intervensi penurunan stunting terintegrasi
atau konvergen?
17. Apakah 5 (lima) Pilar pencegahan stunting?

Masalah stunting bagi balita di Indonesia tergolong kronis.


Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek.
Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di
bawah normal serta produktivitas rendah. Tingginya prevalensi stunting dalam jangka
panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia.
Prevalensi stunting Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016
mencapai 27,5 persen. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap
kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional
masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang
prevalensinya melebihi angka nasional.
Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan,
yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi,
minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi
penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga membuat tubuh harus secara
ekstra melawan sumber penyakit sehingga menghambat penyerapan gizi.
Stunting dapat dicegah, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu hamil,
pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kemudian dilanjutkan dengan MPASI. Orang
tua juga diharapkan membawa balitanya secara rutin ke Posyandu, memenuhi kebutuhan
air bersih, meningkatkan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.

Stunting menjadi masalah sangat penting dan serius. Stunting adalah kondisi dimana anak
gagal tumbuh secara fisik dan kecerdasannya atau sel - sel otak tidak berkembang normal.
Anak akan lambat berfikir, lambat bergerak, secara fisik tumbuh pendek dari anak
kebanyakan, bahkan kesulitan koordinasi tubuh.

Stunting dimulai dari saat janin terbentuk di rahim hingga usia 2 tahun. Asupan gizi yang
buruk, rendahnya asupan vitamin dan mineral, kurangnya sumber protein hewani juga
tidak beragamnya menu makanan yang dikonsumsi.

Faktor di atas berpadu padan dengan aspek kurangnya akses terhadap makanan yang
bergizi, akses informasi. pola asuh yang kurang baik seperti bayi tidak diberi ASI eksklusif,
sang ibu berada dalam kondisi kurang nutrisi ketika hamil dan memiliki riwayat kurang
gizi dimasa remajanya, gangguan mental pada ibu, termasuk ketika dalam masa kehamilan
dan menyusui.

Ahli gizi dari Universitas Airlangga, Prof Merryana Adriani menjelaskan bahwa selain
faktor di atas, kondisi lingkungan yang tercemar seperti sanitasi yang buruk berkontribusi
tingginya angka stunting tersebut.

Hubungan Dengan Pernikahan Dini


Kasus stunting di Bondowoso boleh jadi mewakili sebagian besar dari kota yang termasuk
miskin dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani dan buruh
tingi. Pernikahan dini terjadi karena faktor sosial dimana orang tua sudah memandang
cukup pendidikan anaknya dan mengharapkan mereka berkeluarga meskipun baru lulus
sekolah dasar. Ada pula anggapan bahwa jika anak belum menikah di usia 15 tahun, berarti
anaknya tidak laku.

Angka pernikahan dini di bawah umur 18 tahun di Indonesia mencapai 23 persen dari
jumlah pernikahan yang ada. Indonesia berada di peringkat 7 pernikahan dini terbanyak di
dunia. Dibandingkan dengan prosentase pernikahan dini di Indonesia, jumlah pernikahan
dini di Kabupaten Bondowoso, menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana (PPKB), mencapai kisaran 42 %.

Jadi, dihubungkan dengan jumlah penderita stunting di Bondowoso akan ada korelasi
antara pernikahan dini, dimana sang Ibu masih dalam fase pertumbuhan, dengan
munculnya stunting pada balita. Selain, faktor sanitasi, informasi dan akses nutrisi yang
turut berkontribusi pada gizi buruk bagi bayi dan ibu.

\
Pertanyaan untuk Dokter ?

1. Apa itu stunting? Apakah anak yang pendek selalu stunting ?


2. Mengapa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK) seorang anak disebut sebagai periode
emas dalam upaya pencegahan stunting?
3. Apakah yang menjadi faktor resiko/penyebab stunting sebagai indikasi masalah gizi kronis?
4. Apakah stunting hanya terjadi pada keluarga yang kurang mampu secara ekonomi ?
5. Apa dampak dari masalah gizi kronis selain stunting?
6. Apakah stunting dapat dicegah atau dikoreksi?
7. Bagaimanakah intervensi dalam penanganan stunting?

Pertanyaan Untuk Gizi

1. Sejak kapan mulai ada balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jebus?
2. Berapa jumlah balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jebus?
3. Adakah trend peningkatan/penurunan kasus stunting ?
4. Apakah sudah ada inovasi yang dibuat untuk penurunan angka stunting?
Bila jawaban sudah ada. Pertanyaan lanjutan apa nama inovasinya ? GT2 S24
5. Dimana peranan puskesmas dalam inovasi GT2 S24 untuk penurunan stunting di wilayah kerja
Puskesmas Jebus?
6. Apa saja intervensi stunting yang sudah dilakukan Puskesmas ?
7. Seberapa signifikan perubahan yang terjadi setelah dilakukan intervensi dalam penanganan stunting?

Pertanyaan Untuk Kespro Catin

1. Bagaimana gambaran pelayanan kespro catin di Puskesmas Jebus ?


2. Ada berapa jumlah pasangan yang mendapatkan pelayanan kesprocatin di Puskesmas Jebus pada
tahun 2020 ?
3. Apakah sudah dilakukan analisis hubungan pernikahan dini dengan stunting ?
Salam Sehat Untuk Kita Semua

Buat speradiiik, emak – emak dan caloon emak juga seluruh sahabat online Puskesmas Jebus dimanapun
berada

Yooo ikut gabung bersama puskesmas Jebus dalam live talk show via Facebook tentang “Ada Apa dengan
Stunting ??? pada hari Rabu, 11 November 2020 Pukul 13.00 WIB s.d Selesai

Kenapa itu menjadi PENTING dan harus mendapatkan perhatian dari kita semua ?

Nanti akan dikupas dengan detail oleh narasumber dari Puskesmas Jebus,

Jadiiii

Kami tunggu

Like

Comment

And Share – nya

Oke..

Terima Kasih
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek.
Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat
kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah. Tingginya
prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi
bagi Indonesia.

Prevalensi stunting Indonesia berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG)


2016 mencapai 27,5 persen. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat
dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara
nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi
yang prevalensinya melebihi angka nasional.

Penyebab dari stunting adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari pertama


kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. Selain itu, buruknya
fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan kurangnya kebersihan lingkungan
juga menjadi penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga membuat
tubuh harus secara ekstra melawan sumber penyakit sehingga menghambat
penyerapan gizi.

Stunting dapat dicegah, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu
hamil, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kemudian dilanjutkan dengan
MPASI. Orang tua juga diharapkan membawa balitanya secara rutin ke Posyandu,
memenuhi kebutuhan air bersih, meningkatkan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan.

Pencegahan stunting sangat penting dilakukan melalui dua intervensi yakni


intervensi gizi spefisik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spefisik merupakan
intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK)
dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting.

Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor


kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat
dalam waktu relatif pendek. Sedangkan intervensi gizi sensitif adalah kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi
stunting.

Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak
khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 hari pertama kehidupan. Upaya
percepatan pencegahan stunting akan lebih efektif bila intervensi gizi spesifik dan
sensitif dilakukan secara konvergen.
Kejadian kehamilan dan persalinan pada masa remaja merupakan masalah yang
serius. Kehamilan pada remaja merupakan kehamilan yang berisiko. Kehamilan
pada usia tersebut lebih berisiko mengalami kematian pada ibu dan anak yang
dilahirkan kemungkinan untuk bertahan hidupnya rendah

Pernikahan dini menurut WHO adalah pernikahan sebelum usia 18 tahun, yang
berlaku baik bagi anak laki-laki maupun perempuan, tetapi kenyatannya lebih
umum terjadi pada anak perempuan

Berdasarkan data dari UNICEF, jumlah perempuan yang telah melakukan


pernikahan di bawah usia 18 tahun di seluruh dunia mencapai 22 juta jiwa dan
diperkirakan 280 juta lainnya berisiko menjadi pengantin sebelum mencapai 18
tahun.

Indonesia pada tahun 2010, termasuk negara dengan persentase pernikahan dini
tinggi dunia (ranking 37) dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Kejadian pernikahan dini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah


norma budaya dan sosial yang berlaku di masyarakat, status ekonomi, dan tingkat
pendidikan. Norma budaya dan sosial, termasuk yang berkaitan dengan
kepercayaan, mempengaruhi umur perempuan untuk menikah.

Budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia seperti anggapan


negatif terhadap perawan tua jika tidak menikah kurang dari usia 17 tahun atau
kebiasaan masyarakat yang menikah di usia sekitar 14-16 tahun menjadi faktor
yang mendorong tingginya jumlah perkawinan muda.

Status ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian pernikahan dini, terutama di


daerah pedesaan. Keluarga miskin memilih menikahkan anaknya pada usia dini
untuk meningkatkan stabilitas ekonomi.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi pernikahan dini adalah tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat susah memperoleh
pekerjaan layak sehingga orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya
daripada menambah beban hidup keluarga.

Pernikahan dini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan ibu dan balita. Salah
satu dampaknya adalah terganggunya organ reproduksi pada ibu dan apabila
terjadi kehamilan, merupakan kehamilan yang berisiko.1 Selain itu dapat juga
berakibat pada anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari ibu yang menikah
dini memiliki kesempatan hidup yang rendah dan lebih besar memiliki masalah gizi
pada anaknya seperti pendek, kurus, dan gizi buruk.

Hal tersebut kemungkinan bisa terjadi karena ibu balita yang umurnya kurang dari
18 tahun biasanya memiliki pola asuh terhadap anaknya kurang baik, pola asuh
yang kurang baik tersebut dapat berdampak pada status gizi anaknya. Pada
penelitian yang dilakukan Afifah menunjukkan bahwa persentase anak pendek
meningkat pada ibu yang menikah pada usia dini. Semakin muda usia pernikahan
ibu, maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat

Anda mungkin juga menyukai