Stunting menjadi masalah sangat penting dan serius. Stunting adalah kondisi dimana anak
gagal tumbuh secara fisik dan kecerdasannya atau sel - sel otak tidak berkembang normal.
Anak akan lambat berfikir, lambat bergerak, secara fisik tumbuh pendek dari anak
kebanyakan, bahkan kesulitan koordinasi tubuh.
Stunting dimulai dari saat janin terbentuk di rahim hingga usia 2 tahun. Asupan gizi yang
buruk, rendahnya asupan vitamin dan mineral, kurangnya sumber protein hewani juga
tidak beragamnya menu makanan yang dikonsumsi.
Faktor di atas berpadu padan dengan aspek kurangnya akses terhadap makanan yang
bergizi, akses informasi. pola asuh yang kurang baik seperti bayi tidak diberi ASI eksklusif,
sang ibu berada dalam kondisi kurang nutrisi ketika hamil dan memiliki riwayat kurang
gizi dimasa remajanya, gangguan mental pada ibu, termasuk ketika dalam masa kehamilan
dan menyusui.
Ahli gizi dari Universitas Airlangga, Prof Merryana Adriani menjelaskan bahwa selain
faktor di atas, kondisi lingkungan yang tercemar seperti sanitasi yang buruk berkontribusi
tingginya angka stunting tersebut.
Angka pernikahan dini di bawah umur 18 tahun di Indonesia mencapai 23 persen dari
jumlah pernikahan yang ada. Indonesia berada di peringkat 7 pernikahan dini terbanyak di
dunia. Dibandingkan dengan prosentase pernikahan dini di Indonesia, jumlah pernikahan
dini di Kabupaten Bondowoso, menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana (PPKB), mencapai kisaran 42 %.
Jadi, dihubungkan dengan jumlah penderita stunting di Bondowoso akan ada korelasi
antara pernikahan dini, dimana sang Ibu masih dalam fase pertumbuhan, dengan
munculnya stunting pada balita. Selain, faktor sanitasi, informasi dan akses nutrisi yang
turut berkontribusi pada gizi buruk bagi bayi dan ibu.
\
Pertanyaan untuk Dokter ?
1. Sejak kapan mulai ada balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jebus?
2. Berapa jumlah balita stunting di wilayah kerja Puskesmas Jebus?
3. Adakah trend peningkatan/penurunan kasus stunting ?
4. Apakah sudah ada inovasi yang dibuat untuk penurunan angka stunting?
Bila jawaban sudah ada. Pertanyaan lanjutan apa nama inovasinya ? GT2 S24
5. Dimana peranan puskesmas dalam inovasi GT2 S24 untuk penurunan stunting di wilayah kerja
Puskesmas Jebus?
6. Apa saja intervensi stunting yang sudah dilakukan Puskesmas ?
7. Seberapa signifikan perubahan yang terjadi setelah dilakukan intervensi dalam penanganan stunting?
Buat speradiiik, emak – emak dan caloon emak juga seluruh sahabat online Puskesmas Jebus dimanapun
berada
Yooo ikut gabung bersama puskesmas Jebus dalam live talk show via Facebook tentang “Ada Apa dengan
Stunting ??? pada hari Rabu, 11 November 2020 Pukul 13.00 WIB s.d Selesai
Kenapa itu menjadi PENTING dan harus mendapatkan perhatian dari kita semua ?
Nanti akan dikupas dengan detail oleh narasumber dari Puskesmas Jebus,
Jadiiii
Kami tunggu
Like
Comment
Oke..
Terima Kasih
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek.
Penderita stunting umumnya rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat
kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah. Tingginya
prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi
bagi Indonesia.
Stunting dapat dicegah, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu
hamil, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kemudian dilanjutkan dengan
MPASI. Orang tua juga diharapkan membawa balitanya secara rutin ke Posyandu,
memenuhi kebutuhan air bersih, meningkatkan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan.
Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak
khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 hari pertama kehidupan. Upaya
percepatan pencegahan stunting akan lebih efektif bila intervensi gizi spesifik dan
sensitif dilakukan secara konvergen.
Kejadian kehamilan dan persalinan pada masa remaja merupakan masalah yang
serius. Kehamilan pada remaja merupakan kehamilan yang berisiko. Kehamilan
pada usia tersebut lebih berisiko mengalami kematian pada ibu dan anak yang
dilahirkan kemungkinan untuk bertahan hidupnya rendah
Pernikahan dini menurut WHO adalah pernikahan sebelum usia 18 tahun, yang
berlaku baik bagi anak laki-laki maupun perempuan, tetapi kenyatannya lebih
umum terjadi pada anak perempuan
Indonesia pada tahun 2010, termasuk negara dengan persentase pernikahan dini
tinggi dunia (ranking 37) dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi pernikahan dini adalah tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat susah memperoleh
pekerjaan layak sehingga orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya
daripada menambah beban hidup keluarga.
Pernikahan dini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan ibu dan balita. Salah
satu dampaknya adalah terganggunya organ reproduksi pada ibu dan apabila
terjadi kehamilan, merupakan kehamilan yang berisiko.1 Selain itu dapat juga
berakibat pada anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari ibu yang menikah
dini memiliki kesempatan hidup yang rendah dan lebih besar memiliki masalah gizi
pada anaknya seperti pendek, kurus, dan gizi buruk.
Hal tersebut kemungkinan bisa terjadi karena ibu balita yang umurnya kurang dari
18 tahun biasanya memiliki pola asuh terhadap anaknya kurang baik, pola asuh
yang kurang baik tersebut dapat berdampak pada status gizi anaknya. Pada
penelitian yang dilakukan Afifah menunjukkan bahwa persentase anak pendek
meningkat pada ibu yang menikah pada usia dini. Semakin muda usia pernikahan
ibu, maka proporsi balita dengan status gizi pendek semakin meningkat