Anda di halaman 1dari 5

MENCEGAH STUNTING DI MASA PANDEMI

Oleh : Octovina Soumokil

Gbr. Cegah Stunting (https://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting)

Pandemi Covid-19 sudah dua tahun melanda Indonesia dan memberikan pengaruh negatif pada
berbagai aspek, salah satunya pada kesehatan anak di Indonesia.

Saat ini Indonesia selain menghadapi masalah pandemi Covid-19 juga masih menghadapi
tantangan permasalahan gizi buruk, khususnya stunting yang dikhawatirkan akan jadi lebih buruk
lagi akibat pandemi Covid-19 ini.

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga
anak lebih pendek untuk usianya. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U).
Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua
tahun.
Di Indonesia, sekitar 37 persen atau hampir 9 juta anak balita mengalami stunting (Riset Kesehatan
Dasar, 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima
terbesar. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, angka stunting secara
nasional mengalami penurunan sebesar 1,6 persen per tahun dari 27,7 persen tahun 2019 menjadi
24,4 persen pada tahun 2021. Angka ini juga masih di atas batas yang disyaratkan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20 persen. Kementerian Kesehatan dalam siaran persnya
mengungkapkan, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukkan 1 dari 4 anak
Indonesia mengalami stunting dan 1 dari 10 anak mengalami gizi kurang.

Bayi dibawah usia dua tahun yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak
maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.

Masalah stunting harus diatasi dengan baik agar generasi masa depan Indonesia bisa menjadi
generasi yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas. Presiden RI Joko Widodo pun telah
mencanangkan target optimis percepatan penurunan stunting pada tahun 2024 menjadi 14 persen.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan


Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
Agus Suprapto mengatakan bahwa untuk mencapai angka 14 persen sesuai target yang
dicanangkan Presiden memerlukan upaya keras dengan fokus dan sasaran yang jelas. Oleh karena
itu, Presiden telah memerintahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) sebagai penanggung jawab percepatan penurunan stunting.

"Jadi untuk mencapai 14 persen ini bukan masalah kesehatan saja tapi masalah kependudukan.
Termasuk nanti juga diatur bagaimana calon pengantin siap untuk melahirkan keluarga yang sehat
dan tidak ada keturunannya yang stunting," terang Agus.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk
yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Beberapa faktor yang menjadi penyebab anak
mengalami stunting adalah : Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu
melahirkan; Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini
yang berkualitas; Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal; Kurangnya akses ke air
bersih dan sanitasi.

Pandemi COVID-19 membuat adanya kemungkinan jumlah anak stunting di Indonesia bertambah.
Sehingga diprediksi target penurunan stunting hingga 14 persen sulit tercapai, mengingat kegiatan
Posyandu terhambat dan tidak bisa berjalan normal dan tenaga kesehatan di Puskesmas juga tidak
luput dari dampak COVID-19.

Posyandu, sebagai penyedia layanan kesehatan masyarakat yang lebih kecil di bawah pengawasan
Puskesmas, merupakan tulang punggung sistem pelayanan kesehatan primer di Indonesia untuk
ibu hamil, ibu, dan anak. Posyandu adalah titik akses pertama, dan dalam banyak kasus, satu-
satunya titik akses ke layanan kesehatan bagi sebagian besar desa di Indonesia.

Riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) menemukan kontinuitas


layanan kesehatan dasar terganggu selama pandemi COVID-19, termasuk upaya kesehatan
masyarakat di Puskesmas (Musadad, 2020). Sekitar 73 persen Puskesmas tetap membuka layanan
dengan jam yang sama seperti sebelum pandemi, tetapi kunjungan pasien berkurang. Hampir 84
persen Puskesmas melaporkan penurunan jumlah kunjungan pasien.

COVID-19 sangat menghambat pelayanan Posyandu. Hampir separuh Puskesmas menghentikan


layanan Posyandu dan sekitar 37 persen mengurangi kegiatan Posyandu di daerah pengawasannya.
Implikasinya sangat mengerikan dalam hal layanan utama seperti imunisasi, pemantauan
pertumbuhan, suplementasi zat gizi mikro, dan perawatan antenatal yang sebagian besar diberikan
melalui Posyandu.
Penutupan posyandu diharapkan bisa disiasati dengan penerapan hidup bersih dan sehat dari
masing-masing keluarga. Ibu diharapkan tetap memberikan ASI pada bayi, makanan sesuai
pedoman gizi seimbang pada anak, cuci tangan dan PHBS, hingga melakukan aktivitas fisik.
Selain itu, masyarakat diimbau untuk segera menghubungi kader atau fasilitas layanan kesehatan
apabila anak mengalami penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, maupun gangguan
kesehatan lainnya.

Peran keluarga khususnya ibu sangat penting dalam mengatasi masalah stunting atau kekerdilan
di masa pandemi Covid-19 ini. Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli
Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mengatakan keluarga memiliki peran sentral
dalam mengatasi masalah kekerdilan.

Masdalina mengatakan ada proses yang panjang untuk mengatasi permasalahan kekerdilan.
"Dimulai dari remaja putri yang tidak anemia, ibu hamil yang sehat, bayi yang tumbuh
kembangnya diperhatikan, terutama dalam 1.000 hari pertama kelahiran," jelasnya. "Karena itu,
bangsa yang cerdas dan sehat dihasilkan dari peran keluarga yang baik dan peran ibu yang optimal
dalam tumbuh kembang anak. Selain keluarga inti, dukungan keluarga besar juga memegang
peranan penting dalam pengentasan stunting."

Strategi khusus pencegahan stunting selama masa pandemi, kuncinya adalah pada pemberian gizi
yang baik, pemantauan tumbuh kembang rutin untuk deteksi dini, serta sistem rujukan berjenjang.

Pada masa pandemi Covid-19 ini, pelayanan gizi lebih diprioritaskan kepada kelompok balita dan
ibu hamil serta menyusui yang berisiko. Pelayanan gizi tersebut antara lain meliputi: Promosi dan
dukungan menyusui; Kampanye gizi seimbang dan perilaku hidup bersih dan sehat; Edukasi dan
konseling pada masa Covid-19 dengan memanfaatkan media elektrinik, media cetak dan media
sosial, untuk menyampaikan pesan kesehatan dan gizi; Prioritaskan layanan pada balita gizi kurang
dan gizi buruk difasilitas pelayanan kesehatan atau melalui kunjungan rumah; Pemberian makanan
tambahan bagi balita gizi kurang dan Ibu hamil KEK; serta Pemberian suplementasi gizi dan
mengawasi pemberian susu formula.
Tubuh dengan tingkat kesehatan pada kondisi terbaik dapat menciptakan daya tahan kuat dan
mampu mencegah penyakit. Tak hanya itu, gizi yang baik dan seimbang juga sangat penting bagi
seorang anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pentingnya memperoleh gizi
yang cukup bagi seorang anak adalah untuk menghindari terjadinya stunting.

*****

Anda mungkin juga menyukai