Kelistrikan Indonesia
Oleh: Kevin Marojahan Banjar Nahor (G2elab, Université Grenoble Alpes, Penerima
beasiswa BPI LPDP)
Abstrak
Pendahuluan
Energi listrik telah lama dimanfaatkan di Indonesia, tercatat semenjak zaman kolonial
Belanda. Saat awal PLN mulai didirikan, total daya pembangkitan saat itu hanyalah sebesar
157,5 MW. Dilaporkan sampai dengan September 2014, kapasitas total seluruh pembangkit di
Indonesia telah mencapai 43.457 MW, yaitu sekitar 276 kali lipat dibandingkan saat Indonesia
baru saja merdeka. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
modernisasi, timbul kenaikan kebutuhan energi listrik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
listrik telah berkembang menjadi salah satu kebutuhan utama bagi rakyat Indonesia.
Dalam 25 tahun terakhir, smart grid dan microgrid telah muncul sebagai primadona tema
penelitian di bidang kelistrikan. Micro grid sering dianggap sebagai bagian penting dari smart
grid. Inovasi ini sejalan dengan konsep kemandirian listrik daerah, dan memungkinkan naiknya
rasio elektrifikasi, ketersediaan, dan keandalan sistem kelistrikan. Makalah ini akan membahas
beberapa isu kelistrikan dan bagaimana smart microgrid dapat menjawab tantangan tersebut.
Teori
Secara umum, sistem kelistrikan konvensional saat ini terdiri dari tiga bagian, yaitu
Ada beberapa keuntungan mendasar dari sistem tenaga listrik seperti gambar di atas,
antara lain yaitu kita dapat membangun pembangkit besar, yang relatif lebih murah dan efisien,
jauh dari beban sehingga polusi akibat pembangkit bersifat terpusat dan tidak dirasakan langsung
oleh konsumen. Namun di sisi lain sebagai konsekuensinya, kita harus membangun jaringan
transmisi dan distribusi yang cukup mahal. Jaringan listrik konvensional ini umumnya terhubung
dengan sistem AC, dan sebagai konsekuensinya seluruh generator pada jaringan harus berputar
secara serempak, dan gangguan pada satu titik dapat berimbas pada gangguan pada titik lain,
akibatnya kejadian padam listrik total (blackout) mungkin terjadi jika sistem tidak diproteksi
dengan baik.
Sebelum membahas lebih jauh, istilah smart yang sering digunakan akan lebih dahulu
dibahas maknanya. Istilah smart seringkali digunakan dalam diskusi di dunia keinsinyuran
sekarang, walaupun tidak ada definisi yang dapat dijadikan referensi oleh semua pihak. Namun
secara umum istilah smart di bidang kelistrikan digunakan untuk menjelaskan suatu teknologi
baru yang sifatnya menggabungkan teknologi informasi dan komunikasi dengan teknologi
kelistrikan konvensional. Istilah smart juga kerap kali digunakan untuk menjelaskan suatu
teknologi konvensional yang telah diperkuat dengan kecerdasan buatan.
Smarter Microgrid seringkali dianggap sebagai bagian penting dari smart grid, karena
konsep ini dapat memberikan perbaikan terhadap sistem tenaga, khususnya pada sisi keandalan,
keberlanjutan (sustainability), dan aspek ekonomi.
Dari sisi keandalan, sistem ini dapat beroperasi secara otonom. Artinya, jika sistem
eksternal mengalami gangguan, microgrid dapat melepas sambungan interkoneksi dan kemudian
beroperasi secara terisolasi dan otonom. Hal ini berarti kemungkinan terjadinya black out dapat
diminimalisasi. Keandalan dan efektivitas salah satu sistem microgrid sudah teruji pada saat
kejadian tsunami dan gempa bumi tahun 2011 di Jepang.
Dari sisi ekonomi, keberadaan microgrid berarti kita dapat menunda membangun
pembangkit skala besar baru maupun sistem transmisi baru sehingga mengurangi investasi.
Ditambah lagi, keberadaan pembangkit yang berada di dekat beban berindikasi pada turunnya
rugi-rugi dan membuka kemungkinan pemanfaatan sisa panas pada pembangkit termal. Sisa
panas ini dapat dimanfaatkan sebagai sistem pemanas ataupun pendingin dan dapat
meningkatkan efisiensi pembangkit termal, dengan efisiensi total dapat mencapai 80%.
Ada beberapa poin penting yang dapat diperoleh dari dokumen RUPTL dan statistik
PLN, beberapa di antaranya adalah [2] [3]:
Pada tahun 2014, setidaknya 16 provinsi di Indonesia memiliki rasio elektrifikasi di
bawah 70%. Di antaranya adalah Jambi (39,59%), Papua Barat (19,19%), NTT (51,81%),
dan Sulbar (52,96%). Target elektrifikasi seluruh Indonesia pada tahun 2024 adalah
99,4%, dan 100% desa di Indonesia terlistriki.
Pada tahun 2014, 7,13% kapasitas terpasang pembangkit di Indonesia adalah PLTD, dan
15,08% energi listrik dibangkitkan dengan minyak. Penggunaan minyak direncakan terus
dikurangi, dan akhirnya pada tahun 2024, ditargetkan kurang dari 1,5% energi listrik
dibangkitkan dengan minyak.
Pada tahun 2014, susut energi (rugi-rugi energi) pada jaringan listrik Indonesia adalah
9,89%. Sedangkan rata-rata dunia pada tahun 2012 adalah 8,10% (data worldbank).
Pada tahun 2014, secara rata-rata masyarakat merasakan 5,45 jam dan 5,58 kali
pemadaman listrik. Warga negara-negara maju seperti Prancis dan Inggris secara rata-rata
merasakan kurang dari 2 jam dan kurang dari sekali pemadaman dalam setahun. [4]
Sampai dengan 2019, 58% dari total kapasitas pembangkit diharapkan dibangun oleh
swasta.
Adanya rencana untuk melistriki desa terpencil dan pengembangan sistem kecil tersebar.
Jika diperhatikan, data di atas menunjukkan fakta menarik dan target yang ambisius.
Perlu usaha keras untuk mewujudkannya, dan smart microgrid merupakan salah satu konsep
yang perlu dimanfaatkan dalam menggapai target tersebut. Mengapa demikian? Hal tersebut
akan dipaparkan di bawah ini.
Kedua, smart microgrid memperbaiki keandalan sistem tenaga listrik. Gangguan listrik di
sistem tenaga listrik konvensional seperti yang kita kenal sangat rentan terhadap gangguan yang
menjalar. Misalnya, jika ada SUTET yang tersambar petir, mungkin saja akan banyak pelanggan
yang mengalami pemadaman. Namun dalam konsep smart microgrid, karena pembangkit
tersedia di dekat pusat beban, maka sistem smart microgrid menjadi kebal terhadap gangguan di
sistem eksternal. Konsep ini juga berarti kemandirian energi pada setiap microgrid.
Ketiga, smart microgrid dapat mengurangi susut jaringan dan meningkatkan efisiensi
total pembangkit. Karena pembangkit berada di dekat beban, berarti susut yang terjadi pada
jaringan transmisi dan distribusi menjadi lebih kecil. Ditambah lagi, hal ini berarti energi termal
yang tidak dapat digunakan untuk membangkitkan listrik dapat digunakan untuk sistem
pengaturan temperatur, baik pemanasan maupun pendinginan, yang mampu meningkatkan
efisiensi pembangkit termal secara signifikan.
Keempat, smart microgrid cenderung terhindar dari penolakan warga sekitar. Sindrom
yang paling umum muncul dalam pembangunan proyek fasilitas umum adalah sindrom not in my
back yard (NIMBY). Hal ini akibat manfaat dari fasilitas publik tersebut tidak dirasakan langsung
oleh warga sekitar. Sindrom ini pula yang sering menjadi alasan mengapa proyek pembangkit
tenaga listrik maupun proyek sistem transmisi (SUTET) tertunda. Dalam konsep microgrid,
pembangkit maupun sistem distribusi akan berada di dekat warga, yang merupakan pusat beban
sehingga mereka merasakan langsung manfaatnya.
Kelima, smart microgrid sejalan dengan rencana untuk melistriki daerah terpencil dan
pengembangan sistem kecil tersebar sehingga membantu peningkatan rasio elektrifikasi.
Indonesia memiliki wilayah yang unik secara geografis. Hal ini berarti sangat sulit menyatukan
seluruh nusantara dengan satu sistem besar, akibat adanya lautan yang memisahkan daratan satu
sama lain. Ditambah lagi, sebaran penduduk juga tidak merata sehingga pembangunan sistem
interkoneksi, terutama di daerah timur, menjadi tidak ekonomis. Pulau-pulau dan daerah-daerah
terpencil tersebut dapat dilistriki dengan mengaplikasikan konsep smart microgrid.
Penelitian tentang microgrid memang masih sangat berkembang, karena konsep ini masih
relatif baru sehingga masih banyak yang tidak diketahui di dalamnya. Penelitian saya sendiri
terkait dengan metode evaluasi kestabilan microgrid. Karena integrasi energi terbarukan yang
umumnya bersifat intermiten dan dihubungkan ke sistem dengan cara yang nonkonvensional,
maka diperlukan cara untuk menjamin bahwa sebuah sistem microgrid akan stabil dan kokoh
terhadap gangguan ataupun terhadap perubahan mendadak. Jika penelitian saya berhasil,
buahnya adalah pengetahuan mengenai kestabilan microgrid dan cara memperkokohnya. Hal ini
tentunya akan membantu perkembangan microgrid, dan secara tidak langsung, turut andil dalam
membangun satu metode yang sangat menjanjikan terkait dengan perbaikan kelistrikan
Indonesia.
Kesimpulan
Referensi