Anda di halaman 1dari 9

TRAUMA PADA BAYI BARU LAHIR

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan
yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat tindakan, cara
persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita sebut sebagai cedera
atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis.
Kebanyakan cedera lahir ini akan menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan
adekuat.
a. Kelainan yang terjadi pada kelahiran cunam/vakum biasanya disebabkan oleh tarikan atau
tahanan dinding jalan lahir terhadap kepala bayi.
1. Kelainan Perifer
1) Molding
2) Kaput suksedanum
3) Sefalhematum
4) Perdarahan subaponeurosis
5) Kerusakan saraf perifer
6) Trauma pada kulit
7) Perdarahan subkojungtiva
Perdarahan retina
2. Kelainan Sentral
1) Iritasi sentral
2) Perdarahan/gangguan sirkulasi otak
3. Keluhan dengan seksio sesarea
4. Kelainan presentasi bokong
5. Kelahiran presentasi muka
6. Kelahiran letak lintang
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mempelajari dan melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi lahir dengan
trauma lahir.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mahasiswa mengetahui dan memahami trauma kelahiran pada bayi baru lahir khususnya
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian baik secara subyektif maupun obyektif pada
bayi baru lahir dengan trauma lahir
3. Mahasiswa mampu membuat analisa data dan mengidentifikasi perlunya segera untuk
melakukan kolaborasi maupun rujukan ke instalasi yang lebih tinggi
4. Mahasiswa mampu menyusun rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan
trauma kelahiran khususnya.
5. Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir sesuai dengan
rencana yang telah diuraikan.
6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi dan hasil asuhan kebidanan yang telah diberikan.

1.3 Metodologi Penulisan


Metodologi penulisan merupakan cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan atau
pemecahan suatu masalah yang pada dasarnya menggunakan metode ilmiah, dalam
penyusunan makalah ini kami menggunakan metode studi pustaka melalui referensi-referensi
yang ada di perpustakaan kampus maupun rumah sakit.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Menguraikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teori
Menguraikan konsep dasar bayi baru lahir dengan trauma lahir meliputi definisi, etiologi,
gambara klinis, prognosis, penanganan pasien dan penyulit yang diderita pasien.
BAB III : Tinjauan Kasus
Berisi tentang pengkajian data subyektif dan obyektif, analisa data, assesment/diagnosa,
planning, implementasi, serta evaluasi.
BAB IV : Penutup
Berisi tentang kesimpulan dari tinjauan teori dan tinjauan kasus, serta saran dan untuk
makalah asuhan kebidanan pada bayi baru lahir.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Trauma atau Cedera Kelahiran


Trauma lahir merupakan perlakuan pada bayi baru lahir yang terjadi dalam proses persalinan
atau kelahiran (IKA, Jilid I).
Luka yang terjadi pada saat melahirkan amniosentesis, transfusi, intrauterin, akibat
pengambilan darah vena kulit kepala fetus, dan luka yang terjadi pada waktu melakukan
resusitasi aktif tidak termasuk dalam pengertian. Perlakukan kelahiran atau trauma lahir.
Pengertian perlakuaan kelahiran sendiri dapat berarti luas, yaitu sebagai trauma mekanis atau
sering disebut trauma lahir dan trauma hipoksik yang disebut sebagai Asfiksia. Trauma lahir
mungkin masih dapat dihindari atau dicegah, tetapi ada kalanya keadaan ini sukar untuk
dicegah lagi sekalipun telah ditangani oleh seorang ahli yang terlatih.
Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan
menurun. Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya
pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan bayi.
Cara kelahiran bayi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir. Angka
kejadian trauma lahir yang mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7 per seribu
kelahiran hidup. Berapa faktor risiko yang dapat menaikkan angka kejadian trauma lahir
antara lain adalah makrosomia, malprensentasi, presentasi ganda, disproporsi sefala pelvik,
kelahiran dengan tindakan persalinan lama, persalinan presipitatus, bayi kurang bulan,
distosia bahu, dan akhirnya faktor manusia penolong persalinan. Lokasi atau tempat trauma
lahir sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut atau phantom yang dilakukan
penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian cara lahir tertentu umumnya
mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula. Secara klinis trauma lahir dapat
bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau bersifat laten yang dapat meninggalkan gejala
sisa.
Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang
bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara hipoksik
selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per intraventrikuler dalam otak.

2.1.1 Perlakuan Pada Susunan Syaraf


2.1.1.1 Paralis Pleksus Brakialis
Brachial Palsy ada 2 jenis, yakni :
a. Paralisis Erb-Duchene
Kerusakan cabang-cabang C5 – C6 dari pleksus biokialis menyebabkan kelemahan dan
kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan keluar serta hilangnya refleks
biseps dan moro. Lengan berada dalam posisi abduksi, putaran ke dalam, lengan bawah
dalam pranasi, dan telapak tangan ke dorsal. Pada trauma lahir Erb, perlu diperhatikan
kemungkinan terbukannya pula serabut saraf frenikus yang menginervasi otot diafragma.
Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan pada pangkal
saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu untuk memberi kesempatan
penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau latihan.
Secara klinis di samping gejala kelumpuhan Erb akan terlihat pula adanya sindrom gangguan
nafas.
Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan
serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan komplikasi lain seperti kontraksi otot.
Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan imobilisasi pada posisi tertentu selama 1 – 2
minggu yang kemudian diikuti program latihan. Pada trauma ini imobilisasi dilakukan
dengan cara fiksasi lengan yang sakit dalam posisi yang berlawanan dengan posisi
karakteristik kelumpuhan Erg. Lengan yang sakit difiksasi dalam posisi abduksi 900 disertai
eksorotasi pada sendi bahu, fleksi 900.
b. Paralisis Klumpke
Kerusakan cabang-cabang C8 – Ih1 pleksus brakialis menyebabkan kelemahan lengan otot-
otot fleksus pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal.
Penyebabnya adalah tarikan yang kuat daerah leher pada kelahiran bayi menyebabkan
kerusakan pada pleksus brakialis. Sering dijumpai pada letak sungsang atau pada letak kepala
bila terjadi distosia bahu.
Secara klinis terlihat refleks pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah,
sedangkan refleksi biseps dan radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut terkena, maka
akan terlihat simdrom HORNER yang ditandai antara lain oleh adanya gejala prosis, miosis,
enoftalmus, dan hilangnya keringat di daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir
tersebut.
Penatalaksanaan trauma lahir klumpke berupa imbolisasi dengan memasang bidang pada
telapak tangan dan sendiri tangan yang sakit pada posisi netrak yang selanjutnya diusahakan
program latihan.
c. Paralisis Nervus Frenikus
Trauma lahir saraf frenikus terjadi akibat kerusakan serabut saraf C3, 4, 5 yang merupakan
salah satu gugusan saraf dalam pleksus brakialis. Serabut saraf frenikus berfungsi
menginervasi otot diafragma, sehingga pada gangguan radiologik, yang menunjukkan adanya
elevasi diafragma yang sakit serta pergeseran mediastinum dan jantung ke arah yang
berlawanan. Pada pemeriksaan fluoroskopi, disamping terlihat diafragma yang sakit lebih
tinggi dari yang sehat, terlihat pula gerakan paradoksimal atau seesawmovements pada kedua
hemidiafragma. Gambaran yang akan tampak adalah waktu inspirasi diafragma yang sehat
bergerak ke bawah, sedang diafragma yang sakit bergerak ke atas, gambaran sebaliknya
tampak pada waktu ekspirasi. Pada pemeriksaan fluoroskopi terlihat mediastinum bergeser ke
posisi normal pada waktu inspirasi.
Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum bayi. Bayi diletakkan miring ke
bagian yang sakit, disamping diberikan terapi O2. Pemberian cairan Intra Vena pada hari-hari
pertama dapat dipertimbangkan bila keadaan bayi kurang baik atau dikhawatirkan terjadinya
asidosis. Jika keadaan umum telah membaik, pemberian minum per oral dapat
dipertimbangkan. Pada kasus demikian perlu pengawasan cermat kemungkinan pneumonia
hipostatik akibat gangguan fungsi diafragma pada bagian yang sakit. Pemberian antibiotik
sangat dianjurkan bila gangguan pernafasan terlihat berat atau kelumpuhan saraf frenikus
bersifat bilateral, maka dapat dipertimbangkan penggunaan ventilator. Penggunaan pacu
elektrik diafragma dapat digunakan dianjurkan bila sarana memungkinkan serta kontraksi
otot diafragma cukup baik. Tindakan bedah dapat dilakukan bila saat nafas sangat berat atau
sesak nafas bertambah berat walaupun telah dilakukan pengobatan konservatif yang
memadai. Walupun bayi tidak menunjukkan gejala sesak berat tetapi pada pemeriksaan
radiologi, 3 – 4 bulan kemudian fungsi hemidiafragma yang sakit tidak menunjukkan
kemajuan yang berarti, maka perlu dipikirkan terhadap kemungkinan tindakan bedah.
d. Kerusakan Medulla Spinalis
Gejala tergantung bagian mana dari medulla spinalis yang rusak, dijumpai gangguan
pernafasan, kelumpuhan kedua tungkai dan retensiourin. Hal ini dapat terjadi letak sungsang,
presentasi muka dan dahi, atau pada distosia persalinan, disebabkan tarikan, hiperfleksi, atau
hiperekstensi yang berlebihan. Penanganan dengan berkonsutasi pada bagian Neurologi.
e. Paralisis Pita Suara
Terjadi kerusakan pada cabang lain n. vagus menyebabkan gangguan suara (afonia), stridor
inspirasi, atau sindroma gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan tarikan, hiperfleksi atau
hiperekstensi yang berlebihan di daerah leher sewaktu persalinan. Kelainan ini dapat
menghilang sendiri setelah 4 – 6 minggu tetapi pada yang berat memerlukan penanganan
khusus seperti trakeostomi.
2.1.2 Fraktur (Patah Tulang)
a. Fraktur Tulang Tengkorak
Jarang terjadi karena tulang tengkorak bayi masih cukup lentur dan adanya daya molase pada
sutura tulang tengkorak. Trauma ini biasanya ditemukan pada kesukaran melahirkan kepala
bayi yang mengakibatkan terjadinya tekanan yang keras pada kepala bayi oleh tulang pervis
ibu. Kemungkinan lain terjadinya trauma ini adalah pada kelahiran cunam yang disebabkan
oleh jepitan keras umumnya berupa fraktur linier atau fraktur depresi, fraktur basis kranu
jarang terjadi.
Pada fraktur linier, secara klinis biasanya disertai adanya hematoma sefal didaerah tersebut.
Umumnya tingkah laku bayi terlihat normal saja kecuali bila fraktur linier ini disertai
perdarahan ke arah subdural atau subarachnoid. Diagnosa fraktur atau fisura linier tanpa
komplikasi tidak memerlukan tindakan khusus, tetapi pemeriksaan ulang radiologik perlu
memerlukan 4 – 6 minggu kemudian untuk meyakinkan telah terjadinya penutupan fraktur
linier tersebut, di samping untuk mengetahui secara dini kemungkinan terjadinya kista
leptomeningeal di bawah tempat fraktur. Prognosis fraktur linier baik, biasanya akan sembuh
sedini dalam beberapa minggu. Bila terjadi komplikasi seperti kista. Pengobatan oleh bidang
bedah syaraf harus dilakukan sedini mungkin.
Fraktur depresi secara klini jelas terlihat teraba adanya lekukan pada atap tulang tengkorak
bayi. Trauma lahir ini lebih sering ditemukan pada kelahiran dengan cunam. Fraktur depresi
yang kecil tanpa komplikasi atau tanpa gejala neurologik biasanya akan sembuh sendiri tanpa
tindakan, tetapi memerlukan observasi yang terliti. Pada lekukan yang tidak terlalu lebar
tanpa gejala neurologik, beberapa cara sederhana dapat dilakukan untuk mengangkat lekukan
tersebut, seperti teknik penekanan pinggir fraktur atau dengan pemakaian pompa susu ibu
sebagai alat vakum pada lekukan tersebut. Pada fraktur depresi yang besar, apalagi jika
disertai adanya trauma intrakranial dan gejala kelainan neurologik, perlu dilakukan intervensi
bedah syaraf untuk mengangkat lekukan tulang guna mencegah kerusakan korteks serebri
akibat penekanan lekukan tulang. Prognosis fraktur depresi umumnya baik bila tindakan
pengobatan yang perlu dapat segera dilaksanakan.
b. Fraktur Tulang Klavikula
Fraktur tulang klavikula merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering ditemukan
dibandingkan dengan trauma tulang lainnya. Trauma ini ditemukan pada kelahiran letak
kepala yang mengalami kesukaran pada waktu melahirkan bahu, atau sering pula ditemukan
pada waktu melahirkan bahu atau sering juga terjadi pada lahir letak sungsang dengan tangan
menjungkit ke atas.
Jenis fraktur pada trauma lahir ini umumnya jenis fraktur freenstick, walaupun kadang-
kadang dapat juga terjadi suatu fraktur total, fraktur ini ditemukan 1 – 2 minggu kemudian
setelah teraba adanya pembentukan kalus.
1. Gejala Klinis
Yang perlu diperhatikan terhadap kemungkinan adanya trauma lahir klavikula jenis
greenstick adalah :
1) Gerakan tangan kanan-kiri tidak sama
2) Refleks moro asimotris
3) Bayi menangis pada perabaan tulang klavikula
4) Gerakan pasif tangan yang sakit disertai riwayat persalinan yang sukar.
2. Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula
1) Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat pembentukan kalus.
2) Lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi pergelangan siku
900.
3) Umumnya dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus
telah terjadi.
c. Fraktur Tulang Humerus
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan
menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab
terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula
ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus
oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total.

1. Gejala Klinis
1) Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
2) Refleks moro asimetris
3) Terabanya deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
4) Terjadinya tangisan bayi pada gerakan pasif
Letak fraktur umumnya di daerah diafisi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologik.
2. Pengobatan trauma lahir fraktur tulang humerus
1) Imobilisasi selama 2 – 4 minggu dengan fiksasi bidai
2) Daya penyembuhan fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan
dengan deformitas, umumnya akan baik.
3) Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur
tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal
d. Fraktur Tulang Femur
Umumnya fraktur pada kelahiran sungsang dengan kesukaran melahirkan kaki. Letak fraktur
dapat terjadi di daerah epifisis, batang tulang leher tulang femur.
1. Gejala Klinis
1) Diketahui beberapa hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki yang berkurang
dan asimetris.
2) Adanya gerakan asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi pada tulang femur.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.
2. Pengobatan fraktur tulang femur
1) Imobilisasi tungkai bawah dengan jalan fiksasi yang diikuti oleh program latihan
2) Dirujuk ke bagian bedah tulang
2.1.3 Perlakuan Jaringan Lunak Bayi Baru Lahir
1. Kaput Suksedaneum
Kaput suksedaneum merupakan benjolan yang difus dikepala terletak pada prosentasi kepala
pada waktu bayi lahir.
Kelainan ini timbul akibat tekanan yang keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir
hingga terjadi pembendungan sirkulasi-kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke
jaringan ekstra vasa.
Gambaran klinisnya, benjolan kaput berisi cairan serum dan sering bercampur sedkit darah.
Secara klinis benjolan ditemukan di daerah presentasi lahir, pada perabaan teraba benjolan
lunak, berbatas tidak tegas, tidak berfluktuasi tetapi bersifat edema tekan.
Kaput suksedaneum dapat terlihat segera setelah bayi lahir dan akan hilang sendiri dalam
waktu dua sampai tiga hari umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.
2. Sefalohematoma
Sefalohematoma merupakan suatu perdarahan subperiostal tulang tengkorak berbatas tegas
pada tulang yang bersangkutan dan tidak melewati sutura.
Sefalohematoma timbul pada persalinan dengan tindakan seperti tarikan vakum atau cunam,
bahkan dapat pula terjadi pada kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan
kepala bayi. Akibatnya timbul timbunan darah di daerah subperiost yang dari luar terlihat
sebagian benjolan.
Secara klinis benjolan Sefalohematoma benbentuk benjolan difus, berbatas tegas, tidak
melampaui sutura karena periost tulang berakhir di sutura. Pada perabaan teraba adanya
fluktuasi karena merupakan suatu timbunan darah yang letaknya dirongga subperiost yang
terjadi ini sifatnya perlahan-lahan benjolan timbul biasanya baru tampak jelas beberapa jam
setelah bayi lahir (umur 6 – 8 jam) dan dapat membesar sampai hari kedua atau ketiga.
Sefalohematoma biasanya tampak di daerah tulang perietal, kadang-kadang ditemukan
ditulang frontal. Benjolan hematoma sefal dapat bersifat soliter atau multipel.
Sefalohematoma pada umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Biasanya mengalami
resolusi sendiri dalam 2 – 8 minggu tergantung dari besar kecilnya benjolan. Sefalohematoma
jarang menimbulkan perdarahan masif yang memerlukan transfusi, kecuali pada bayi yang
mempunyai gangguan pembekuan. Pemeriksaan radiologik pada hematoma sefal hanya
dilakukan jika ditemukan adanya gejala susunan saraf pusat atau pada hematoma sefal yang
terlalu besar disertai dengan adanya riwayat kelahiran kepala yang sukar dengan atau tanpa
tarikan cunam yang sulit ataupun kurang sempurna.
3. Perdarahan Subafoneurosis
Perdarahan subafoneurosis merupakan perdarahan masif dalam jaringan lunak di bawah
lapisan aponeurosis epikranial. Trauma lahir ini sering disebut pula sebagai “hematoma sefal
subaponeurosis”.
Perdarahan ini disebabkan karena pecahnya pembuluh vena emisaria. Perdarahan timbul
secara perlahan dan mengisi ruang jaringan yang luas, sehingga benjolan trauma lahir ini
biasanya baru terlihat setelah 24 jam sampai hari kedua pasca lahir. Pada perdarahan yang
cepat dan luas, benjolan dapat teraba 12 jam setelah bayi lahir. Pada umumnya bayi lahir
dengan letak kepala yang tidak normal atau kelahiran dengan tindakan misalnya tarikan
vakum berat.
Pada benjolan yang luas perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan sistem pembekuan.
Bayi perlu mendapat vitamin K. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan yang
luas. Dalam keadaan ini mungkin dapat timbul renjatan akibat perdarahan. Pengobatan dalam
keadaan ini berupa pemberian transfusi darah. Komplikasi lain adalah kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia akibat resorpsi timbunan darah.
4. Trauma Muskulus Sternokleido-Mastoideus
Adalah suatu hematoma (tumor yang dijumpai pada otot sternokleidomastoideus). Trauma ini
sering disebut pula sebagai “tortikolis” otot leher.
Diduga trauma terjadi akibat robeknya sarung otot sternokleido-mastoideus. Perobekan ini
menimbulkan hematoma, yang bila dibiarkan akan diikuti pembentukan jaringan fibrin dan
akhirnya akan menjadi jaringan sisa. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa dasar
kelainan ini telah dijumpai sejak kehidupan intrauterin sebagai gangguan pertumbuhan otot
tersebut atau pengaruh posisi fetus intrauterin.
Secara klinis, umumnya benjolan baru terlihat 10 – 14 hari setelah kelahiran bayi. Benjolan
terletak kira-kira dipertengahan otot sternokleido-mastoideus. Pada perabaan teraba benjolan
berkonsistensi keras dengan garis tengah 1 – 2 cm, berbatas tegas, sukar digerakkan dan tidak
menunjukkan adanya radang. Benjolan akan membesar dalam waktu 2 – 4 minggu kemudian.
Akibatnya posisi kepala bayi akan terlihat miring ke arah bagian yang sakit, sedangkan dagu
menengadah dan berputar ke arah yang berlawanan dari bagian yang sakit.
Pengobatannya dilakukan sedini mungkin dengan latihan fisioterapi. Tujuan latihan ini
adalah untuk meregangkan kembali otot yang sakit agar tidak terlanjur memendek. Dengan
pengobatan konservatif yang dilakukan dini dan teratur, benjolan akan hilang dalam 2 – 3
bulan.
5. Perdarahan Subkunjungtiva
Adalah salah satu trauma lahir dibola mata yang dapat dilihat dari luar adalah perdarahan
subkunjungtiva.
Hal ini terjadi akibat dari persalinan kala II lama atau akibat dari lilitan talipusat yang erat di
daerah leher.
Perdarahan ini ditandai dengan bercak merah di daerah konjungtiva, bulbi. Perdarahan dapat
dijumpai pada kelahiran spontan letak kepala, walupun akan lebih sering terlihat pada
kelahiran letak muka, atau letak dahi.
Pengobatan khusus umumnya tidak diperlukan. Bercak merah didaerah sklera ini umumnya
akan hilang sendiri dalam waktu 1 – 2 minggu. Pada waktu proses penyembuhan, bercak
tersebut akan mengalami absorpsi dan akan berubah warna menjadi jingga dan kuning. Bila
perdarahan sub konjungtiva cukup besar dan dalam riwayat kelahiran bayi ditemukan
kesukaran dalam mengeluarkan kepala, maka perlu dipikirkan pula kemungkinan adanya
perdarahan yang lebih dalam di bola mata.
6. Nekrosis Jaringan Lemak Subkutis
Trauma lahir ini akan lebih banyak ditemukan pada bayi besar yang mengalami kesukaran
pada waktu kelahirannya serta banyak mengalami manipulasi. Trauma ini dapat terlihat pula
pada daerah yang mengalami tekanan keras dijaringan kulit dan subkutis, misalnya oleh daun
cunam.
Adanya iskemia lokal yang disertai hipoksia atau keadaan hipotensi akan mempermudah
kemungkinan terjadinya jenis trauma lahir tersebut.
Gejala klinis ditandai dengan adanya benjolan yang mengeras dijaringan kulit dan subkutis,
berbatas tegas dengan permukaan kulit yang berwarna kemerahan. Benjolan pada minggu
pertama, tetapi dapat pula sampai minggu ke enam. Lokasi benjolan sering ditemukan
ditempat beralaskan keras seperti didaerah pipi, punggung leher, pantat, atau ekstremitas atas
dan bawah.
Trauma lahir ini tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya akan hilang sendiri
dalam enam sampai delapan minggu.
7. Eritema, Petekie dan Ekumosis
Eritemia sering terlihat pada bayi yang mengalami disproporsi sefola-peink. Trauma ini
terlihat di daerah presentasi kelahiran. Di daerah tersebut kulit berwarna merah. Trauma jenis
ini dapat ditemukan pula pada kelahiran dengan cunam, terlihat kulit berwarna merah di
daerah yang mengalami jepitan daun cunam.
Petekie terlihat sebagai bercak merah kecil-kecil dipermukaan kulit. Kejadian ini disebabkan
adanya gangguan aliran darah perifer akibat suatu bendungan. Pada kejadian ini, disamping
petekie sering terlihat pula seluruh muka bayi menjadi biru yang memberi kesan seolah-olah
bayi mengalami sianosis yang disebut sebagai “Sianosis traumatik”.
Ekimosis merupakan trauma lahir berbentuk perdarahan yang lebih luas dibawah permukaan
kulit. Kejadian ini dapat ditemukan di daerah didaerah labia mayora, pantat atau skrotum
pada lahir sungsang letak kaki atau pada lahir bayi dengan kaki atau tangan menumbang,
maka jenis trauma lahir hematoma ini sering dijumpai didaerah ekstremitas yang
menumbang.
Pada hematoma dan ekimosis yang cukup luas perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya
penurunan kadar hemoglobin, khususnya pada bayi kurang bulan atau pada bayi akibat
absorpsi sel darah merah di daerah trauma lahir tersebut.

Gambar 1

Beberapa jenis kaput suksedameum sesuai


presentasi dan posisi kepala
Gambar 2

Sefolohematoma ganda (perdarahan subperiostal)

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologis. Jakarta : EGC.
Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta EGC.
Markum, A.H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai