Anda di halaman 1dari 3

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki letak geomorfologis yang sangat menarik. Berada di
bagian selatan Pulau Jawa, propinsi ini berada pada transisi dua mandala geologi, yaitu Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Hingga saat ini peta geomorfologi untuk Propinsi D.I. Yogyakarta baru dibuat oleh
McDonald & Partners (1984). Tetapi, informasi yang diberikan peta tersebut masih bersifat umum tanpa
memberikan gambaran proses geologi secara lengkap, terkait dengan skalanya yang kecil.

Geologi Provinsi D.I.Yogyakarta

Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung Merapi
yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya dibatasi
oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian
selatannya dibatasi oleh Samudera India. Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan
Yogyakarta dan Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat. Patahan tersebut dikenal
dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur.

Pemetaan Geomorfologi Sistem ITC

Geomorfologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mencakup banyak aspek terkait dengan bentuklahan
(landforms) dan perkembangannya. Terdapat empat aspek penting dalam kajian geomorfologi analitis
(Van Zuidam, 1983), yaitu

- (i) morfologi atau tampilan relief, mencakup:


(a) morfografi atau aspek deskriptif geomorfologi suatu wilayah, dan
(b) morfometri atau aspek kuantitatif suatu wilayah;
- (ii) morfogenesa atau asalmula dan perkembangan proses yang membentuk suatu bentuklahan,
meliputi:
(a) morfostruktur pasif atau jenis batuan,
(b) morfostruktur aktif atau jenis struktur geologi akibat tektonik dan volkanisme, dan
(c) morfodinamik atau proses-proses eksogenik yang bekerja di permukaan bumi;
- (iii) morfokronologi atau penentuan urutan proses terbentuknya berbagai bentuklahan; dan
- (iv) morfoaransemen atau hubungan spasial berbagai bentuklahan dan prosesnya.

Peta geomorfologi sistem ITC menggunakan beberapa tingkatan dalam menyajikan informasi
bentuklahan, yaitu:

- (i) lapis pertama berupa morfogenesa dan disajikan dalam simbol warna wilayah;
- (ii) lapis kedua berupa litologi dan ditampilkan dalam warna mono terang;
- (iii) lapis ketiga berupa morfologi yang ditampilkan dengan simbol alfabet dalam warna mono
terang;
- (iv) lapis keempat berupa morfokronologi yang ditampilkan dengan simbol alfabet warna hitam;
dan
- (v) lapis terakhir bila diinginkan untuk memuat aspek morfodinamik

Peta geomorfologi disajikan dalam skala tertentu, dimana skala yang terpilih ditentukan oleh dan
mempengaruhi pada jenis pekerjaan lapangan yang dilakukan. Secara umum, ada dua kelompok peta
berdasarkan skalanya, yaitu:

- (i) peta skala besar dan medium, terdiri dari dua kelas, yakni:
(a) peta skala detail 1:10.000 – 1:25.000 yang harus dicek secara penuh di lapangan dan tidak
ada atau sangat sedikit generalisasi, dan
(b) peta skala semi-detail 1:25.000 – 1:250.000 yang dilakukan dengan cek lapangan secara
umum dan ekstrapolasi dan generalisasi diperkenankan.;
- (ii) peta skala kecil, juga terbagi dua kelas, yakni:
(a) peta skala kecil normal 1:250.000 – 1:5.000.000 yang hanya dilakukan cek lapangan secara
kasual dan dilakukan dengan generalisasi dan ekstrapolasi yang sangat besar, dan
(b) peta rekonaisans skala > 1:500.000 yang dikompilasi dari peta-peta skala besar dan medium
serta sangat digeneralisasi.

Metode Penelitian

Pemetaan geomorfologi sistem ITC dilakukan dengan menggunakan Peta Rupabumi Indonesia skala
1:25.000 (Bakosurtanal, 1999) sebagai peta dasar, Peta Geologi Lembar Yogyakarta skala 1:100.000
(Rahardjo dkk., 1995) dan Peta Geologi Lembar Surakarta skala 1:100.000 (Surono dkk., 1992) sebagai
referensi geologi regional, serta citra satelit radar SRTM Jawa Tengah sebagai panduan interpretasi.

Peta Geomorfologi D.I. Yogyakarta

Hasil pemetaan pada skala 1:50.000 dan mengacu pada aspek morfogenesa, dijumpai lima bentangalam
genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik, struktural,
karst, fluvial, dan eolian.

A. Bentang alam volkanik, hadir cukup dominan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat
dipahami karena aktivitas volkanisme telah bekerja semenjak Tersier hingga saat ini. Pada akhir
Paleogen, volkanisme telah menghasilkan andesit tua Formasi Bemmelen di Pegunungan Kulon
Progo dan Formasi Kebobutak di Pegunungan Selatan.
B. Bentang alam structural, dapat dikenali dalam 10 unit berbeda, mendominasi bagian utara
Pegunungan Selatan, bagian barat Pegunungan Kulon Progo, serta Perbukitan Sentolo.
Pelamparan yang luas dan kompleksitas bentukan mengindikasikan pengaruh tektonik yang
dominan terhadap Provinsi D.I. Yogyakarta.
C. Bentang alam kars, berkembang secara eksklusif di bagian selatan Pegunungan Selatan,
menempati kawasan yang dikenal sebagai Gunung Sewu. Dibatasi di bagian barat oleh
bentangalam struktural yang memisahkannya dengan Dataran Rendah Yogyakarta, dan bagian
utara oleh Depresi Wonosari serta Pegunungan Panggung.
D. Bentang alam fluvial, berkembang secara terpisah-pisah diantara bentangalam-bentangalam
lainnya, sehingga secara umum dapat dikatakan sebagai suatu cekungan antar pegunungan
struktural yang aktif saat ini sebagai tempat deposisi sedimen yang berasal dari tinggian di
sekitarnya. Penyusun utama bentangalam ini adalah pasir lempungan dan pasir kerikilan, di
beberapa tempat dijumpai sebagai endapan rawa.
E. Bentang alam eolian hanya berkembang di bagian baratdaya daerah kajian sebagai unit gumuk
pasir, menempati sepanjang pesisir selatan Dataran Rendah Yogyakarta hingga ke arah barat
menerus mencapai perbatasan provinsi. Tersusun oleh sedimen pasir yang dibawa oleh aliran
tiga sungai utama Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 5 yang mengalir ke
Samudera Hindia, yaitu sungai Opak, Progo, dan Serang, serta diendapkan kembali oleh proses
gelombang serta dibentuk oleh proses angin membentuk morfologi gumuk-gumuk pasir.

Kesimpulan

Dalam kajian ini, pemetaan geomorfologi metode ITC dapat memberi arahan yang cepat dan cukup
akurat dalam membuat keluaran peta skala tinjau. Meskipun tidak menggunakan foto udara
sebagaimana yang dianjurkan, peta topografi standar skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 yang
dipergunakan dalam kajian ini dapat dimanfaatkan secara efektif dalam mengidentifikasi dan
mendelineasi unit-unit morfogenesa serta tingkatan morfologinya. Hubungan antar unit morfologi
dalam konteks geologi regional juga dapat dilakukan dengan cepat berdasarkan pada pola pelamparan
masing-masing unit. Pada penelitian ini, dijumpai lima bentangalam genetik utama yang berkembang di
Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik, struktural, karst, fluvial, dan eolian.

Anda mungkin juga menyukai