Anda di halaman 1dari 5

Pembaruan Fikih dan Refleksi Puasa

ِ ‫ َم ْن يَ ْه ِد ِه هللاُ فَاَل ُم‬،‫ت أَ ْع َمالِنَا‬


‫ض َّل لَهُ َو َم ْن‬ ِ ‫ َو نَعُوْ ُذ بِ ِه ِم ْن ُشرُوْ ِر أَ ْنفُ ِسنَا َو ِم ْن َسيِّئَا‬،ُ‫ نَحْ َم ُدهُ َو نَ ْستَ ِع ْينُهُ َو نَ ْستَ ْغفِ ُره‬،ِ ‫إِ َّن ْال َح ْم َدهلِل‬
‫آل‬ َ َ
ِ ‫ص ِّل َعلى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلى‬ َ ‫ اللهُ َّم‬،ُ‫ أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هللاُ َو اَ ْشهَ ُد أَ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬،ُ‫ي لَه‬
َّ َ َ ‫يُضْ لِلْ فَاَل هَا ِد‬
‫ أَ َّمابَ ْع ُد‬،‫ َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد و َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما َكثِ ْيرًا‬.

َ ِ‫ان ال َّر ِج ْي ِميَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬


‫ب‬ ِ َ‫ أَ ُعوْ ُذبِاهلل ِمنَ ال َّش ْيط‬، َ‫ اِتَّقُوْ هللاَ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ ن‬،َ‫ اِتَّقُوْ هللا‬، َ‫فَيَا أَيُّهَا ْال ُم ْسلِ ُموْ ن‬
‫ق هللاُ ْال َع ِظ ْي ُم‬ َ ، َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
َ ‫ص َد‬ َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ ِّ ‫َعلَ ْي ُك ُم ال‬

Belum pernah, Allah Swt. itu memanggil mengajak dialog dengan orang
kafir dengan bahasa, “ya ayyuha alladzina kafaru”. Dengan kata lain,
Allah hanya mengajak dialog kepada orang yang beriman dengan bahasa
“ya ayyuha alladzina amanu”. Karena orang beriman itu cerdas.
Disamping cerdas, dia berpikir. Berpikir universal, sadar, futuristik. Tidak
berpikir ‘sesaat’ yang dia lihat, tapi berpikir kedepan. Segala aspek,
termasuk fenomena itu bisa dibaca oleh orang beriman.

Hanya sekali Allah memanggil, “ya ayyuha alladzina kafaru” tapi bukan


dalam konteks diajak dialog melainkan konteks mencemooh. Saat mereka
(orang kafir) di akhirat pada saat di neraka;

‫يَآ أَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا اَل تَ ْعتَ ِذرُوْ ا ْاليَوْ َم‬

“Tidak perlu banyak alasan (kalian)…”

Kontek ayat ini, konteks memaki.

Kali ini kita bicara tentang Ramadan, shiyamu Ramadhan. Menunjukkan


bahwa perlu ada kesiapan keimanan yang matang dan disyariatkan
(puasa) saat di Madinah ketika orang-orang sudah mapan keimanannya
setelah di-gembleng 12/13 tahun. Baru ada syariat Ramadan.

Untuk itu, diperlukan sebuah mental yang kuat dan keimanan yang
mapan, baru bisa diberi beban syariat puasa Ramadan. Tidak sama
dengan syariat shalat. Syariat shalat itu tidak sekedar dibebankan kepada
yang mukallaf, yang beriman, yang dewasa. Melainkan sudah ditata sejak
kecil. Sejak belum baligh, umur 7 tahun diperintah shalat. Umur 10
tahun, membangkang, diberi pelajaran. Ada sanksi fisik yang bersifat
edukasi. Ketika baligh, (shalat) menjadi tanggung jawab sendiri.
Kenapa tidak ada perintah puasa untuk anak kecil. Kenapa ada perintah
shalat untuk anak kecil.

Perintah shalat bagi anak kecil itu menyehatkan, dan sama sekali tidak
mereduksi, tidak menganggu kesehatan. Anak menjadi senang, bergerak-
gerak, berkumpul dengan teman-temannya, terkadang berlari-lari.
Gerakan (shalat) itu mendisiplinkan.

Tidak ada perintah, menyuruh anak berpuasa. Mohon maaf. Kiranya perlu
pemikiran kitab-kitab fikih yang diajarkan di pondok pesantren ‘apakah
semuanya pasti sesuai dengan konteks kekinian?’. Salah satunya ada
kitab yang dibaca di pesantren, itu membuat analog. Anak kalau sudah
umur 7 tahun disuruh untuk berpuasa dan kalau sudah umur 10 tahun
boleh dipukul (kalau membangkang). Padahal pendapat ini tidak ada,
pada qoul sahabat. (Pendapat itu) dianalogikan pada hadis perintah
shalat.

Mohon maaf. Siapa pun yang mengerti kondisi fisik anak. Bahwa anak
berlapar-lapar lebih dari 12 jam itu tidak baik. Tidak baik. Dehidrasi dan
lain-lain. Seharusnya dalam usia kecil itu diberi gizi secara bagus.
memerintahkan puasa anak kecil itu menyalahi konsep-konsep
kesehatan, karena itu nabi tidak pernah memerintahkan. Kadang-kadang
kita sendiri yang terlalu emosi. Ingin mendidik anaknya terlalu dini tapi
lupa ada yang tereduksi dari pendidikan itu. Kadang anaknya dijanjikan
kalau puasa penuh akan mendapat hadiah nanti. Tidak baik, sampai
anaknya kurus.

Itu yang belum mukallaf. Tanyakan pada ahli gizi, itu mengganggu


kesehatan anak. Sama sekali tidak sama dengan perintah shalat, yang
memang menyehatkan. Jadi dalam teori qiyas, men-qiyas-kan dalil
perintah shalat pada anak-anak diterapkan pada perintah puasa, itu qiyas
ma’a al-fariq. Qiyas yang ‘illat-nya berbeda.  Menurut teori ushul
fiqh, cara berpikir seperti itu batil atau gugur.

Yang betul adalah, biarlah anak kecil tidak perlu diperintah. Kalau mau
puasa bedug (setengah hari) itu masih mending. Walaupun fikih syariat
puasa bedug itu tidak ada.

Untuk itu, dialog-dialog antara fikih klasik dengan konteks kekinian perlu
dicerdasi. Oleh penerus-penerus kader ulama yang diproduk dari pondok
pesantren maupun dunia akademik. Yang sering saya sampaikan sejak
dulu, ‘kok masih ada ya, fatwa menyempurnakan puasa dengan cara
tidak gosok gigi setelah zawal atau zuhur’. Saya tahu di fathul qorib, ada.
Dalilnya itu-itu saja.
ِ ‫يح ْال ِمس‬ ْ
 ‫ْك‬ ِ ‫لَ ُخلُوفُ فَ ِم الصَّائِ ِم أَطيَبُ ِع ْن َد هللاِ ِم ْن ِر‬

Bau badeg mulut orang yang puasa itu lebih harum bagi Allah (bukan
bagi manusia) dibanding parfum misik.

Logika fathul qarib itu, dari hadis ini yang dipandang itu apanya. Badeg-


nya atau harumnya? Jika dasar pemikiran yang dipandang adalah bau
busuknya, maka logikanya menjadi begini: “itu bau busuk saja dipandang
lebih harum dibanding parfum minyak misik, apalagi kalau
semakin badeg menjadi badeg kuadrat, maka semakin dianggap”. Jadi
karena dasar pemikiran kitab itu adalah badeg-nya lalu difikihkan.
Perubahan dari bersih ke bau busuk itu setelah zuhur, maka jatuhlah fikih
yang tergesa-gesa bagi kami. Gosok gigi setelah zuhur itu makruh. Lihat
saja di fathul qorib.

Pemikiran kedua, yang dipandang itu athyabu. Athyabu itu harumnya.


Karena dasar pemikirannya itu athyabu, maka logikanya dibalik. “Begitu
penghormatan Allah kepada orang yang puasa, bau mulutnya yang busuk
saja sudah dianggap oleh Allah lebih harum dibanding parfum misik.
Apalagi kalau bisa harum, malah dianggap lebih harum, harum, dan
harum, menurut Allah.” Dengan pemikiran yang dibalik, memandang al-
ashalah itu athyab-nya bukan bau busuknya, maka tidak perlu hukum
makruh. Malah sunnah hukum gosok gigi terus-menerus, karena itu
menyenangkan Tuhan. Itulah yang dipilih oleh imamuna an-
Nawawi. Kalau mengaji itu diteruskan (sampai rampung).

‫اختَا َر النَّ َو ِويُّ َع َد َم ْال َك َراهَ ِة‬


ْ ‫َو‬

Tidak perlu makruh-makruhan. Istidlal model apa itu, istidlal ibadah kok


malah membuat tidak bersih seperti itu. Memalukan umat Islam dikancah
dunia internasional. Di dalam dunia keilmuan, pendapat kedua ini
didukung oleh nash al-Quran bahwa Allah itu menyukai orang yang
bersih.

َ‫إِ َّن هللاَ يُ ِحبُّ التَّوَّابِ ْينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬

Yang bersih. Saya memilih pendapat yang kedua.

Tiga. Tentang orang yang uzur puasa. Khusus bagi orang yang hamil dan
ibu yang menyusui, mereka sehat tapi karena ada beban hamil atau
menyusui maka dianggap uzur. Tidak sama dengan uzur yang terus-
menerus seperti orang yang sudah tua. Kalau orang sudah tua tidak
mampu puasa dan tidak mungkin kembali muda lagi, itu dengan
membayar fidyah. Tidak qada’ puasa tapi fidyah. Dalilnya sama;
ٌ‫َو َعلَى الَّ ِذينَ ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَة‬

Siapa alladzina yuthiqunahu. Ada tiga pandangan spesial ibu hamil dan


ibu menyusui. Pertama, Imamuna as-Syafi’i rahmatullah ‘alaihi ini
membebankan kepada ibu menyusui atau yang hamil dalam situasi yang
memungkinkan dan pertimbangannya hanya karena anak, maka
wajib qada’ plus fidyah. Bayangkan, sudah qada’ plus fidyah.
Kedua, Imamuna Abi Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit rahmatullah
‘alaihi tidak ada fidyah, yang ada hanya qada’ saja. Ketiga, ini tidak
populer di fikih pondok pesantren yaitu pendapat sahabat Ibnu Abbas.
Seorang sahabat yang didoakan oleh Nabi khusus menjadi terpandai dan
terpakar dalam bidang tafsir allahumma faqqihhu fi ad-din wa ‘allimhu fi
takwilihi. Beliau (Ibnu Abbas) berpendapat, bagi orang menyusui atau ibu
hamil tidak perlu qada’ melainkan hanya bayar fidyah saja.

Cobalah tiga pendapat ini kita dialogkan dengan konteks, dengan realita.
Seorang ibu, istri anda, karena hamil atau menyusui satu bulan tidak
puasa. Mengganti puasa satu bulan itu berat. Saya melihat sendiri, ibu-
ibu di kampung-kampung itu keberatan qada’ satu bulan.

Tetapi para kyai dan para ustad umumnya tidak ada yang memakai
pendapat Ibnu Abbas. Saya yang memakai, karena:

ٍ ‫َما َج َع َل هللاُ فِ ْي ال ِّد ْي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

Agama itu tidak sumpek. Buatlah kemudahan-kemudahan. Asal tidak


ngawur saja, ini ada dasar dalilnya. Karena itu, kawan-kawan yang
akademik maupun santri, jangan menjadi kyai-kyai atau ustad-ustad
yang kejam di dalam memberi hukum. ‘Untuk meningkatkan kualitas
ibadah tidak apa-apa, tapi jangan memberatkan’. Nanti kita dimarahi oleh
Rasulullah, yassiru permudahlah. Itu terkait dengan fiqh as-Shiyam.

Sekarang, kita melirik ke faedah puasa yaitu peningkatan takwa.


Ramadan itu memberi berkah, ada perang Badar menjadi menang.
Terjadi pada bulan Ramadan karena para sahabat dalam keadaan bersih
dan khusyuk hanya kepada Allah. Maka turunlah bantuan dari langit yang
sangat tidak terduga dan memporak-porandakan semua kafir yang
jumlahnya tiga kali lebih.

Sebaliknya perang Uhud yang jatuh pada bulan Syawal dimana para
sahabat sedang sering berpesta, kenyang, nyaman, dan berenak-enakan.
Dalam hidup hedonistik dan menuruti kemauan-kemauan. Sahabat
banyak yang gemuk-gemuk, adalah tanda kecintaan terhadap syahwat
keinginan dunia itu lebih. Tetapi bukan berarti menjadi haram.
Ketika perang Uhud bagaimana, kalah. Karena di dalam pandangannya itu
ada yang disebut dengan profit-oriented. Ada pandangan duniawiyah
yang masuk disitu. Allah tidak mau menurunkan bantuan dan malaikat
pun hanya nongkrong saja. Karena dasa pemikirannya berbeda dengan
perang Badar kemarin yang terjadi pada bulan Ramadan.

Terlalu jauh. Memikir di zaman Nabi. Coba lihat, kemerdekaan Indonesia


ini pada bulan apa. Diumumkan juga pada bulan Ramadan. Itu yang
terkait dengan dunia kenegaraan. Sekarang kita masukkan ke dunia kita,
apakah betul bulan Ramadan ini itu ada benih-benih –yang dalam bahasa
orang Sufi disebut– nafkhah. Nafkhah itu kesadaran mendadak, Deg.

Jadi seseorang itu pasti mempunyai kesadaran mendadak. Tidak


disangka-sangka tiba-tiba sadar. Padahal sebelumnya itu nakal
keterlaluan. Banyak, orang yang mendapat nafkhah seperti ini. Yang
termodern adalah Vince Focarelli. Dia adalah ketua geng motor di Sydney
Australia. Nakal tidak karuan, narkoba dan seterusnya. Suatu ketika
anaknya mati. Deg, mendadak. Pada saat siraman-siraman rohani di
bulan Ramadan, dia sadar apa yang kita cari. Lalu dia melirik ke Islam
dan masuk Islam.

Dia usaha membuka restoran dan berkembang besar. Sekian dari


penghasilan tersebut digunakan untuk biaya dakwah untuk menebus
kesalahan-kesalahan yang menyakiti masyarakat, dan beberapa
disumbangkan kepada fakir miskin. Mudah-mudahan kita dalam Ramadan
ini bisa memetik nafkhah kepada diri kita yang dulu malas shalat tahajud
setelah puasa menjadi aktif tahajud. Yang dulu bakhil menjadi dermawan.
Yang dulu malas menjadi aktif. Yang dulu suka berbicara jelek menjadi
berbicara baik. Yang dulu suka emosi, kita masih banyak melihat
pemimpin-pemimpin kita yang punya jabatan agak tinggi dan merasa
dituakan tidak mau dikritik dan suka emosi, itu berarti belum
mendapat nafkhah. Harapan kita, mudah-mudahan kita bisa
mendapatkan nafkhah dalam pelatihan Ramadan ini.

Anda mungkin juga menyukai