Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No.

1 (2020): 267-283
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

RULE OF LAW, NEOLIBERALISME DAN PROYEK REFORMASI HUKUM


WORLD BANK: PERSPEKTIF CRITICAL LEGAL STUDIES

Syahriza Alkohir Anggoro *

* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya


Korespondensi: rizarathustra@yahoo.co.id
Naskah dikirim: 2 Agustus 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 1 Nopember 2019

Abstract
The emergence of World Bank legal reform projects in promoting the rule of law has
been successful to encourage third world countries to reform their legal aspects to
help formulate market friendly policy. This article tries to question the concept of rule
of law that is materialized in many World Bank legal reform projects by using critical
legal perspective to analysis legal scholarship on the role of law in the context of
development. It trying to present an alternative explanation of World Bank’s rule of
law which we are hypothetizing as a neoliberal concept. World Bank’s rule of law are
nothing more than a formalistic and limitative concept which is constituted by abstract
and universal rules such as protection of private property, contract enforcements and
operational efficiency which is a legal framework to easify capitalism. This article
conclude that World Bank’s rule of law are bereft of emancipatory values and only
serves as a tool for neoliberal penetration to third world countries.

Keywords: rule of law, legal reform, World Bank, neoliberalism.

Abstrak
Meningkatnya peran World Bank dalam promosi rule of law telah mengarahkan
banyak negara dalam menjalankan agenda reformasi hukum yang dimaksudkan
membentuk kebijakan yang ramah pasar. Artikel ini menggunakan pendekatan hukum
kritis untuk mempertanyakan konsep rule of law yang diartikulasikan dalam berbagai
proyek reformasi hukum World Bank dengan menelusurinya melalui wacana
pemikiran hukum yang terkait peran hukum dalam konteks pembangunan. Artikel ini
bertujuan untuk menawarkan penjelasan alternatif dalam memahami konsep rule of
law World Bank sebagai sebuah konsep yang dirumuskan berdasarkan gagasan
neoliberal. Artikel ini menemukan bahwa konsep rule of law World Bank tidak lebih
dari sebuah konsep yang bersifat limitatif dan formalistik terdiri dari aturan abstrak
dan universal yang melindungi hak properti, penegakan kontrak dan berorientasi pada
efisiensi dimana hukum diasumsikan sebagai produk netral dan bebas nilai yang
menyembunyikan kepentingan kapitalisme. Artikel ini menyimpulkan alih-alih
merefleksikan hukum yang emansipatoris, konsep rule of law World Bank pada
dasarnya merupakan kerangka kerja yang dipaksakan ke negara-negara dunia ketiga
untuk membentuk rezim hukum yang sesuai dengan teori dan praktik neoliberalisme.

Kata Kunci: rule of law, reformasi hukum, World Bank, neoliberalisme

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no1.2502
268 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

I. PENDAHULUAN

Antusiasme World bank terhadap rule of law telah tumbuh sehubungan dengan
meningkatnya proyek reformasi hukum di negara-negara berkembang dan pasca
komunis pada awal tahun 1990an yang dimaksudkan untuk membentuk produk
legislasi bagi liberalisasi investasi dan perdagangan bebas.1 Di negara-negara Eropa
Timur misalnya, bersama USAID, World Bank mengkampanyekan pentingnya rule of
law dalam mengelola negara menuju kapitalisme pasar.2 Pengalaman Amerika Latin
dalam menjalankan Structural Adjustment Program IMF juga melatarbelakangi
reformasi hukum di Indonesia pasca krisis 19973 yang ditujukan untuk ‘menemukan
kembali hukum dan institusi yang relevan dalam membangun kepercayaan investor
asing.’4 Baru-baru ini, publikasi World Bank menyatakan dengan nada optimis bahwa
‘rule of law yang pada intinya mensyaratkan bahwa Pemerintah dan warga negara
terikat oleh hukum—adalah dasar dari good governance—yang diperlukan untuk
mewujudkan potensi sosial dan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.’5
Berbagai proyek reformasi hukum World Bank dengan jelas telah mengarahkan
banyak negara untuk mengambil kebijakan pro pasar dan menjadi pertanda dari
konsensus teoritis yang sangat luas dalam memahami rule of law sebagai prasyarat
utama bagi pertumbuhan ekonomi.
Menggunakan perspektif hukum kritis, artikel ini mempertanyakan konsep rule
of law sebagaimana yang diartikulasikan oleh World Bank dengan menelusurinya
dalam pemikiran tentang peran hukum dalam konteks pembangunan. Artikel ini
berpendapat bahwa World Bank memperkenalkan konsep rule of law yang bersifat
limitatif dan formalistik yang dirancang berdasarkan preferensi neoliberal atas
pembatasan intervensi negara terhadap pasar. Neoliberalisme sendiri dapat
didefinisikan sebagai gagasan teoritis dan praktik yang berusaha menjelaskan bahwa
kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui pasar bebas.6 Gagasan ini selalu dimediasi
oleh hukum karena ia mensyaratkan kepastian atas iklim investasi yang kondusif bagi
transaksi ekonomi yang bebas di antara individu yang diakui sebagai subjek hukum
dalam pasar. 7 Menurut Roberto Unger, bentuk konkret neoliberalisme terkodifikasi

1
Gabriel Garcia, The Rise of the Global South, the IMF and the Future of Law and
Development, Third World Quarterly Vol. 36, 2016 (December 2016), p. 3; lihat juga Alvaros Santos,
The World Bank’s Uses of the “Rule of Law” Promise in Economic Development, in David Trubek dan
Alvaros Santos (eds.), The New Law and Economic Development a Critical Appraisal, (New York:
Cambridge University Press, 2006)
2
Mengenai reformasi hukum di negara-negara pasca komunis lihat Ioannis Glinavos,
Neoliberalism and the Law in Post Communist Transtition, (Oxon: Routledge, 2010)
3
Beberapa agenda reformasi hukum yang diarahkan oleh IMF dapat dilihat dalam Letter of
Intent yang ditandatangani antara tahun 1997 sampai 2003 yang memerintahkan pembentukan peradilan
niaga, reformasi tata kelola minyak dan gas bumi, privatisasi perusahaan negara, pengadopsian undang-
undang terkait kompetisi, deregulasi dan lain sebagainya. Mengenai agenda reformasi hukum di
Indonesia baca karya Herlambang Perdana Wiratraman, Good Governance and Legal Reform in
Indonesia, Thesis Mahidol University, 2006 dan Hikmahanto Juwana, Reform of Economic Laws and
Its Effects on the Post-Crisis Indonesian Economy, The Developing Economies, XLIII-I, 2005, pp. 72 -
90
4
Tim Lindsey, Legal Infrastructure and Governance Reform in Post-Crisis Asia the Case of
Indonesia, in Tim Lindsey (ed.), Law Reform in Developing and Transititonal States, (New York:
Routledge, 2007), p. 3
5
World Bank, World Development Report: Law and Governance (World Bank: Washington DC,
2017), p. 83
6
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, diterjemahkan oleh Eko Prasetyo,
Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (Yogyakarta: Resist Book, 2009), hal. 14
7
David Singh Grewal dan Jedediah Purdy, Introduction: Law and Neoliberalism, Law and
Contemporery Problems Vol 77: 1 No 4, 2014, p. 9
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 269

melalui paket kebijakan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh penasehat


ekonomi Amerika Serikat John Williamson; mencakup pembebasan hambatan
perdagangan dan arus investasi, deregulasi, privatisasi, pencabutan subsidi dan
transplantasi hukum komersial barat.8 Kebijakan ini telah disebarluaskan secara massif
dalam beberapa tahun terakhir, yang ironisnya, memicu kritik dan perlawanan dari
gerakan hukum di seluruh dunia atas peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan
global yang ditimbulkan oleh kebijakan neoliberal.9
Diskusi pada bagian awal akan dibuka dengan menelusuri pergeseran proyek
reformasi hukum dari gerakan Hukum dan Pembangunan (Law and Development)
yang berkembang awal 1960an ke era neoliberalisme pada awal tahun 1990an yang
menginformasikan latar belakang minat World Bank terhadap rule of law. Berfokus
pada aspek-aspek substansial dari konsep rule of law World Bank, bagian selanjutnya
akan membahas proyek reformasi hukum dan kaitannya dengan wacana governance
(ketatapemerintahan). Bagian berikutnya akan menunjukkan bahwa fitur-fitur utama
rule of law World Bank tidak dirancang berdasarkan pemikiran hukum yang
monolitik, melainkan dirumuskan dari beberapa epistemologi hukum yang beragam
bersumber dari tradisi pemikiran hukum liberal. Bagian terakhir artikel ini
berkontribusi terhadap pemahaman hukum kritis dengan menunjukkan bahwa konsep
rule of law World Bank merupakan instrumen hukum yang merasionalisasi teori dan
praktik neoliberalisme yang bersifat eksploitatif bagi masyarakat dunia ketiga.

II. PEMBAHASAN

2.1. Dari Gerakan Hukum dan Pembangunan ke Neoliberalisme


Perdebatan tentang peran hukum dalam pembangunan dapat ditelusuri akar
pemikirannya dalam tradisi pemikiran gerakan Hukum dan Pembangunan yang
muncul di Amerika Serikat pada pertengahan 1960an. Di sponsori secara bilateral oleh
USAID dan Ford Foundation, gerakan ini mengusung gagasan hukum sebagai alat
perubahan sosial, yang menurut perancangnya, dapat dilakukan dengan
mentransplantasikan sistem hukum liberal Amerika Serikat ke negara-negara dunia
ketiga.10 Mereka ‘sangat dipengaruhi oleh teori modernisasi yang menekankan model
deterministik dimana negara miskin akan memasuki tahap pertumbuhan signifikan
menuju negara industri kapitalis.’ 11 Mereka memandang peran negara diperlukan
sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi, menetapkan seperangkat hukum yang
efektif bagi industrialisasi subtitusi impor, perluasan kesempatan kerja dan manajemen
ekonomi yang proporsional antara sektor negara dan swasta.12 Gerakan ini memulai

8
Roberto Mangabeira Unger, Democracy Realized the Progressive Alternative, (London: Verso,
1998) p. 53
9
Lihat Boaventura de Sousa Santos dan Cesar A. Rodriguez-Garavito (eds.), Law and
Globalization from Below Towards a Cosmopolitan Legality, (New York: Cambridge University Press,
2005). Dalam kasus ketimpangan ekonomi di Indonesia misalnya, Jeffrey Winters mencatat Material
Index Power Indonesia meningkat sejak 1998 sampai tahun 2013 mencapai 630.000. Ini
menggambarkan 40 orang terkaya di Indonesia memiliki pendapatan mencapai 10% PDB yang
menjadikan Indonesia pada posisi keempat sebagai negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan
paling tinggi di dunia. Mengenai hal ini lihat Jeffrey Winters, Oligarchy and Democracy in Indonesia,
Southeast Asia Program Cornell University No 96, 2013
10
John Ohnesorge, Developing Development Theory: Law and Development Orthodoxies and
the Northeast Asian Experience’, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law
Vol. 28 No 2, 2007, p. 235
11
Tor Krever, The Legal Turn in Late Development Theory: The Rule of Law and the World
Bank’s Development Model, in Harvard International Law Journal Vol 52 No 1, 2011, p. 295
12
Lihat David Trubek, The Political Economy of Rule of Law: the Challenge of the New
Developmental State, in Hague Journal on the Rule of Law Vol 1 No 1, 2009
270 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

kegiatannya di sekitar reformasi pendidikan hukum dengan tujuan mengubah sistem


hukum yang tertutup, informal dan kaku menjadi lebih fleksibel terhadap tujuan
ekonomi dan pilihan kebijakan publik. ‘Pelatihan profesional hukum tampaknya
menjadi inti dari permasalahan pembangunan ekonomi, mengingat profesi hukum
adalah ujung tombak dalam merancang dan mengimplementasikan hukum formal.’13
Reformasi pendidikan hukum pada gilirannya akan menghasilkan teknokrat yang
tercerahkan yang mempelopori perubahan di masyarakat.14
Gerakan ini dinyatakan kehilangan pengaruhnya pada tahun 1970an.
Kebangkrutan gerakan Hukum dan Pembangunan—sebagaimana digambarkan oleh
Trubek dan Galanter—disebabkan oleh ‘paradigma legalisme liberal yang membuat
para pendukung utamanya gagal memahami perbedaan kondisi sosial politik dan
ekonomi dimana proyek reformasi hukum di transplantasikan.’ 15 Alih-alih
menghasilkan manfaat bagi masyarakat, menurut para pengkritikya, transplantasi
hukum barat merupakan bentuk imperialisme hukum (legal imperialism) yang
memperkuat ketidaksetaraan akses sumber daya dan memungkinkan hukum sebagai
alat dominasi elit terhadap masyarakat. Mereka gagal memahami bahwa ‘kesadaran
hukum masyarakat dan negara-negara berkembang tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan yang lebih luas yang mencakup sejarah, tradisi dan kultur masyarakat,
termasuk sistem politik dan ekonomi yang menyangkut distribusi kekuasaan dan
kekayaan.’ 16 Selain itu, tidak ada bukti empiris yang dapat diterima untuk
membenarkan keterhubungan antara variabel reformasi pendidikan hukum dan
pembangunan ekonomi karena kenyataannya kaum teknokrat dunia ketiga cenderung
mengkooptasi proses reformasi hukum untuk melayani kepentingan pribadi atau elit.17
Meskipun demikian, gagasan utama gerakan ini kembali muncul pada akhir
1980an bersamaan dengan lahirnya kebijakan Konsensus Washington di barat yang
melihat negara sebagai kekuatan negatif bagi mekanisme pasar.'18 Pandangan ini juga
diperkuat oleh krisis keuangan yang massif di negara-negara berkembang yang—
dalam kacamata World Bank—disebabkan oleh aturan dan penegakan hukum yang
bersifat korup dan interensionis yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Dalam
konteks inilah World Bank mulai mengkampanyekan rule of law di negara-negara
berkembang dan pasca komunis yang dilihat sebagai sarana untuk mempromosikan
suatu tatanan hukum dan kelembagaan ramah pasar yang diperlukan untuk
menciptakan iklim investasi yang menarik bagi investor.19
13
Chantal Thomas, Re-reading Weber in Law and Development a Critical Intelectual History of
Good Governance Reform, Cornell Law School Research Paper No 08-034, p. 88,
http://ssrn.com/abstract=131378, diakses 3 Februari 2019
14
David Trubek dan Alvaros Santos, Introduction: the Third Moment in Law and Development
Theory and the Emergence of a New Critical Practice, in David Trubek dan Alvaros Santos (eds.),
op,cit, p. 2
15
David Trubek dan Marc Galanter, Scholars in Self-Estrangement: Some Reflections on the
Crisis in Law and Development Studies in the United States, in Wisconsin Law Review 1974, 1974, p.
1076. Legalisme liberal berakar dari tradisi filsafat liberalisme klasik John Locke dan J.J. Rousseau
yang dikembangkan dalam masa pencerahan Eropa dan umumnya dikaitkan dengan prioritas normatif
atas kebebasan individu dan keyakinan bahwa negara akan mengamankan kebebasan melalui
kesepakatan kontraktual yang mengatur hubungan antara negara dan rakyat. Mengenai legalisme liberal
lihat Judith Shklar, Legalism an Essay on Law, Morals and Politics, (Cambridge: Harvard University
Press, 1964)
16
Brian Tamanaha, The Primacy of Society and the Failures of Law and Development, in
Cornell International Law Journal Vol 44, 2011, p. 214
17
ibid, p. 211
18
Julio Faundez, Legal Technical Assistance, in Julio Faundez (ed.), Good Government and Law
Legal and Institutional Reform in Developing Countries, (New York: St Martin Press, 1997), pp. 6 - 8
19
Kerry Rittich, The Future of Law and Development: Second Generation Reforms and the
Incorporation of the Social, in David Trubek dan Alvaros Santos, op.cit, p. 208
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 271

2.2. Reformasi Hukum: Good Governance dan Kerangka Hukum untuk


Pembangunan
Sebagai agen pembangunan internasional, keterlibatan aktif World Bank dalam
promosi rule of law sangat berbeda dengan mandat yang telah ditetapkan dalam
piagam 1944 dimana World Bank bertindak sebagai lembaga pemberi pinjaman
proyek yang tidak dapat mencampuri urusan domestik suatu negara. Tetapi
pengalaman sampai akhir 1980an menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan dan
hukum seringkali menjadi hambatan bagi keberhasilan bantuan yang mendorong
rekonseptualisasi peran World Bank terhadap peningkatan kualitas hukum dan
kelembagaan di negara debitor. 20 Karenanya, World Bank mulai menggeser
perhatiannya terhadap persyaratan baru yang dibebankan melalui pinjaman keuangan
dengan memaksakan sejumlah paket reformasi hukum yang diarahkan untuk
meningkatkan kualitas hukum dan kelembagaan di negara debitor. World Bank
mengklaim bahwa persyaratan ini murni bersifat ekonomi dan harus dipahami sebagai
solusi teknokratis untuk menyesuaian kerangka hukum di negara-negara berkembang
dan pasca komunis terhadap tuntutan pasar bebas.
Dalam merancang proyek reformasi hukum, World Bank menggunakan strategi
reformasi hukum ramah pasar (market friendly legal reform) dengan mengadopsi
konsep governance yang di definisikan sebagai penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang didasarkan atas prinsip efisiensi pasar. 21 Melalui laporan yang
didasarkan pada sistem hukum di negara-negara Subsahara Afrika Utara, Ibrahim
Shihata (penasehat hukum untuk World Bank) memperkenalkan konsep good
governance sebagai obat mujarab atas apa yang ia sebut bad governance. 22
Menurutnya, bad governance ditandai dengan intervensi negara terhadap pasar,
terkooptasinya institusi peradilan dan lemahnya pengawasan dan peran masyarakat
sipil yang pada gilirannya menciptakan perburuan rente, pelambatan pertumbuhan
ekonomi dan masalah hukum lain yang kronis. Bagi World Bank, ‘lemahnya rule of
law dan good governance secara signifikan menghambat pertumbuhan ekonomi yang
mengakibatkan peningkatan kemiskinan di masyarakat.’ 23 Pembacaan semacam ini
juga digunakan oleh IMF, ADB dan USAID ketika mendiagnosis krisis di negara-
negara berkembang yang ditandai dengan meluasnya korupsi, perilaku predatoris
pejabat negara dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kegagalan pasar.24
Bad governance dengan demikian mesti diatasi dengan mengembalikan peran
negara kepada prinsip-prinsip rule of law yang di definisikan World Bank sebagai
sistem yang terdiri dari aturan-aturan yang abstrak dan universal yang benar-benar
diterapkan oleh lembaga yang memastikan penerapan tersebut. 25 World Bank juga
merekomendasikan sejumlah kebijakan makro ekonomi neoliberal meliputi liberalisasi
impor, deregulasi kontrol harga barang dan jasa, pemberlakuan fleksibilitas tenaga
kerja (labour flexibility) yang diklaim sebagai manifestasi good governance. Tujuan
utama diperkenalkannya good governance adalah untuk memperkuat sistem, institusi
hukum dan peraturan di bidang-bidang utama yang menopang berfungsinya pasar
dengan ’menetapkan aturan hukum yang mempromosikan iklim investasi yang ramah

20
Lawrence Tshuma, The Political Economy of The World Bank’s Legal Framework For
Economic Development, in Social and Legal Studies Vol 8 No 2, 1999, p. 79
21
World Bank, Governance and Development, (Washington DC: The World Bank, 1992), p. 1
22
Lihat World Bank, Sub-Sahara Africa: From Crisis to Sustainable Growth (Washington DC:
The World Bank, 1989)
23
World Bank, Initiatives in Legal and Judicial Reform (Washington DC: The World Bank,
2004), p. 2
24
Herlambang Perdana Wiratraman, op.cit, p. 53
25
Lawrence Tshuma, op.cit, pp. 82 - 89
272 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

bagi pasar.’ 26 Ini ditandai dengan pembuatan kebijakan yang terbuka, tercerahkan,
dapat diprediksi dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil yang kuat.'27

2.3. Rule of Law sebagai Landasan Ekonomi Pasar


Strategi reformasi hukum ramah pasar mendasarkan diri pada rule of law sebagai
konsep hukum yang menekankan peran negara yang terbatas dalam perekonomian.
Pandangan ini bertumpu pada pemikiran hukum klasik Friedrich Hayek yang
memposisikan kebebasan individu sebagai raison d’etre hukum. Hayek percaya bahwa
rule of law pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari
kesewenang-wenangan Pemerintah. Bagi Hayek, rule of law berarti bahwa Pemerintah
di dalam semua tindakannya di ikat oleh norma hukum fundamental yang sudah
ditetapkan dan diumumkan sebelumnya—yakni perangkat aturan hukum dasariah
yang memungkinkan di lakukannya prediksi (dalam tingkat kepastian yang memadai)
bagaimana penguasa akan menggunakan kekuasaan koersifnya di dalam keadaan-
keadaan tertentu, dan direncakannya urusan-urusan individu seseorang bersadarkan
pengetahuan itu. 28 Joseph Raz juga mendukung interpretasi Hayek dengan
menambahkan bahwa rule of law mengandaikan adanya hukum yang prospektif, jelas
dan terbuka, relatif stabil dari kepentingan politik, dibentuk dengan panduan prinsip-
prinsip hukum universal, prosedural dan menentang tindakan diskresioner eksekutif.29
Hayek percaya bahwa rule of law menundukkan kekuasaan politik terhadap aturan
dasar yang berorientasi melindungi kebebasan yang diperlukan untuk mengoperasikan
pasar sebagai manifestasi tindakan manusia yang mementingkan diri sendiri (self-
interest).30
Proposisi Hayek inilah yang mendasari defisini rule of law World Bank yang
mengasumsikan hukum sebagai produk netral dan bebas nilai yang semata-mata
dibentuk berdasarkan proposisi-promosis normatif yang memfasilitasi pertukaran
pasar. Meskipun pada saat yang sama mengakui pentingnya aspek substansial rule of
law seperti keadilan, kebebasan politik dan demokrasi31, World Bank lebih menyukai
rule of law dalam pengertian formal yang memungkinkannya untuk menetapkan
kriteria tersendiri terhadap hukum yang mendukung pertumbuhan ekonomi. World
Bank menetapkan lima unsur formal yang diterapkan secara universal dalam proyek
reformasi hukum, antara lain: (a) adanya seperangkat aturan yang telah diketahui
sebelumnya; (b) adanya kepastian bahwa aturan tersebut benar-benar berlaku; (c)
adanya mekanisme yang memastikan bahwa aturan tersebut dilaksanakan secara tepat
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan; (d) adanya mekanisme penyelesaian
konflik penerapan aturan yang dapat diselesaikan melalui keputusan yang mengikat
yang dihasilkan dari lembaga peradilan atau arbitrase yang independen; dan (e) adanya
prosedur yang dikenal untuk mengubah aturan ketika aturan tersebut tidak melayani

26
World Bank, Initiatives in Legal …, op.cit, hal. 42
27
World Bank, Governance the World Bank’s Experience, (World Bank: Washington DC,
1994), p. vii
28
Friedrich Hayek, The Road to Serfdom, diterjemahkan oleh Ioannes Rakmat, Ancaman
Kolektivisme (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 93 - 94
29
Joseph Raz, The Authority of Law Essays on Law and Morality (New York: Oxford University
Press, 1979), p. 214 - 218
30
Ioannis Glinavos, Neoliberal Law: Unintended Consequences of Market-Friendly Law
Reforms, Third World Quarterly Vol 29 No 6, 2008, p. 1089
31
World Bank, Governance and Development, op.cit, p. 30
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 273

tujuan utamanya.’ 32 Ssistem hukum harus menciptakan insentif dan lingkungan


ekonomi dimana resiko bisnis dapat dinilai dan biaya transaksi dapat diturunkan.33
Kriteria semacam ini telah digunakan dalam berbagai proyek reformasi hukum
World Bank untuk mengukur komitmen politik negara-negara berkembang terhadap
penegakan rule of law. Menurut Richard Posner, kegagalan pembangunan di negara
berkembang dan pasca komunis Eropa Timur untuk menyediakan kerangka rule of law
yang mendasar bagi sistem ekonomi kapitalis mungkin merupakan faktor utama yang
membuat mengapa mereka tetap miskin. 34 Reformasi hukum merupakan bagian
penting dalam proses modernisasi di negara berkembang, kata Posner, ’tetapi fokus
reformasi semacam itu harus terpusat pada pembentukan jaminan kepemilikan pribadi
yang memadai dan mendukung efisiensi pasar.’35 Singkatnya, penegakan rule of law
dalam kacamata World Bank merupakan acuan dasar bagi investor untuk mengukur
seberapa jauh suatu negara telah membangun iklim investasi dan arus perdagangan
yang kondusif bagi investasi, khususnya investasi asing.36 Posisi World Bank sebagai
agen pembangunan yang dominan memberikan keuntungan bagi World Bank sendiri
dalam menentukan pilihan atas basis teoritis bagi konsep rule of law yang sejalan
dengan praktik diskursif neoliberalisme. Sebagaimana yang akan di uraikan pada
bagian berikutnya, konsep rule of law World Bank menginkorporasikan tiga
epistemologi hukum: pertama, mengacu pada aspek hukum privat yang melindungi
hak kepemilikan dan penegakan kontrak; kedua, mengacu pada tradisi rasionalisme
Weberian dan yang ketiga mengacu pada konsep efisiensi hukum dari mazhab
economic analysis of law.

2.3.1. Hak Kepemilikan dan Penegakan Kontrak


Salah satu aspek penting yang menunjang proyek reformasi hukum World Bank
ialah kerangka hukum privat yang mengamankan hak kepemilikan pribadi dan
penegakan kontrak yang telah dikembangkan dalam salah satu program reformasi
hukum Private Sector Development.37 Rule of law dalam konteks ini berkaitan dengan
hukum privat, terutama karena pergeseran fungsi hukum yang dituntun oleh
rasionalitas kapitalisme mendorong pengembangan teoritis tentang pengaturan privat
yang diakibatkan oleh minimnya peran negara. Titik berangkat pemahaman neoliberal
terhadap hukum privat tidak lepas dari paradigma neoliberal yang melihat masyarakat
tidak sebagai kelas sosial atau kumpulan komunitas yang terlibat dalam konflik
kepentingan, tetapi sebagai kumpulan individu yang teratomisasi dan saling bersaing
satu sama lain. 38 Karenanya, prioritas yang diberikan World Bank kepada
pengembangan hukum privat merupakan tanggapan wajar dan logis terhadap
kebutuhan pasar atas pengaturan yang berbeda dari hukum publik. Rekonfigurasi

32
World Bank, Initiatives in Law, op.cit, hal. 3
33
World Bank, Development in Practice Governance the World Bank Experience (Washington
DC: The World Bank, 1994), p. 23
34
Richard Posner, Creating a Legal Framework for Economic Development, The World Bank
Research Observer Vol 3 No 1, 1998, p. 1
35
Ibid, 9
36
Salah satu upaya World Bank untuk mengukur tingkat iklim investasi dapat ditemukan dalam
Index Rule of Law yang dipublikasikan dalam dokumen Doing Business dan Worldwide Governance
Indicator. Dokumen ini memuat ukuran-ukuran kuantitatif dari sistem hukum dan kelembagaan di 212
negara yang tersusun menurut katalog numerik. Mengenai hal ini analisis hukum kritis dalam Tor
Krever, Quantifying Law: Legal Indicatior Projects and the Reproduction of Neoliberal Common Sense,
Third World Quarterly Vol 34 No 1, 2013
37
World Bank, Development in Practice …, op.cit, p. 26
38
Honor Brabazon, Introduction: Understanding Neoliberal Legality, in Honor Brabazon (ed.),
Neoliberal Legality Understanding the Role of Law in the Neoliberal Project (Oxon: Routledge, 2017),
p. 5
274 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

hukum tidak bertujuan untuk melindungi kepentingan publik yang sebagai representasi
kolektivitas sosial, melainkan untuk memfasilitasi dan melindungi kepentingan
individu dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi pasar.
Dalam kerangka hukum privat neoliberal, tugas hukum ialah mengkonversi
komoditas sebagai hak, dan memastikan bahwa ia bisa dipertukarkan secara bebas
melalui suatu hubungan kontraktual antar subjek hukum. Kontrak dan hak
kepemilikan pribadi dipandang sebagai ekspresi atas tindakan mementingkan diri
sendiri dan merupakan bagian yang dilindungi oleh rule of law yang ditegakkan oleh
aturan abstrak dan universal.39 Dalam penegakannya, rezim hukum privat menekankan
peran yudikatif dalam mengatasi sengketa dalam kegiatan bisnis, membatasi tindakan
diskresioner eksekutif yang mengancam mekanisme pasar, dan menciptakan panduan
umum bagi pelaku ekonomi dalam melakukan hubungan kontraktual yang optimal.
Pengadilan harus berkontribusi untuk menawarkan iklim investasi yang stabil dengan
menegakkan aturan permainan yang dapat diprediksi sambil mengamankan kondisi
dasar yang diperlukan agar pasar dapat beroperasi. 40 Negara yang di idealkan
melindungi hak-hak individu terhadap kepemilikan properti dan penegakan kontrak
secara spontan akan memberikan pengaruh signifikan pada penguatan independensi
peradilan dalam membuat putusan yang meminimalkan resiko kerugian pasar.
Ekonomi pasar juga membutuhkan sistem kompetisi bebas yang sangat
bergantung pada prinsip kesetaraan di depan hukum dimana subjek hukum baik
individu atau badan hukum di asumsikan otonom dan setara, saling bersaing satu sama
lain dalam mengejar kepentingan pribadi. Menurut Rachel Turner argumen untuk
mempromosikan sistem kompetisi mendasarkan diri pada proposisi ekonomi neoklasik
yang melihat kompetisi sebagai sarana terbaik dalam mengkoordinasikan usaha
manusia. 41 Friedrich Hayek menyatakan bahwa kerangka hukum bagi kompetisi
sangat penting dalam menciptakan keteraturan dan mencegah monopoli dan
konsentrasi sumber daya di beberapa pihak. Neoliberalisme melihat bahwa sistem
kompetisi lebih unggul bukan hanya karena kompetisi—dalam banyak situasi
merupakan metode yang paling efisien yang telah dikenal—tetapi juga bahwa ia
merupakan satu-satunya metode dimana aktivitas individu dapat disesuaikan tanpa
intervensi penguasa yang koersif dan sewenang-wenang.42

2.3.2. Rasionalitas Hukum: Prediktabilitas dan Kalkulabilitas


Asumsi teoritis dalam proyek reformasi hukum World Bank menemukan
relevansinya dalam studi Max Weber tentang afinitas hukum barat dan kapitalisme
modern. Kapitalisme mensyaratkan sekularisasi hukum (pemisahan hukum) dari
proses sosial dan politik yang menjadikan hukum sebagai sebagai produk rasionalitas
yang bersifat prosedural, netral dan logis. 43 Kapitalisme membutuhkan kerangka

39
Rachel Turner, Neoliberal Ideology History, Concepts and Policies (Edinburg: Edinburg
University Press, 2008) p. 204
40
Rodriguez Garavito, Toward a Sociology of the Global Rule of Law Field: Neoliberalism,
Neoconstitutionalism, and the Contest over Judicial Reform in Latin America, in Yves Dezalay and
Bryant Garth (eds.), Lawyers and the Rule of Law Globalization in an Era of Globalization (Oxon:
Routledge, 2011),
41
Rachel Turner, op.cit, p. 122
42
Fredrich Hayek, op.cit, hal. 44
43
Konsep tindakan rasional Weber berasal dari asumsi ekonomi klasik Adam Smith tentang
pilihan rasional (rational choice) yang mengasumsikan bahwa individu bebas menentukan keputusan
ekonomi atas pilihan yang ada, mengkur kemampuan, kebutuhan dan kondisi sosial yang dihadapi
langsung. Ini menempatkan individu dan atribut kepemilikan pribadi yang paralel dengan kebutuhan
politik modern yang sering dikaitkan dengan kemunculan negara liberal konstitusional pasca revolusi
politik Perancis. Weber menggambarkan semangat usaha seorang kapitalis sebagai ekspresi pemenuhan
kebutuhan pribadi yang bersifat instrumental yang berarti bahwa para pelaku ekonomi membuat pilihan
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 275

hukum yang memungkinkan resiko dan peluang bisnis dengan ukuran yang dapat
diprediksi dan dikalkulasi atau dihitung. Tanpa prakondisi ini, ‘transaksi ekonomi
akan menimbulkan biaya yang tidak pasti dimana pasar tidak mengalami pertumbuhan
dan perekonomian dengan sendirinya akan goyah.’44
Ada konsensus dalam literatur rule of law baru-baru ini atas pengaruh perspektif
Weberian dalam proyek reformasi hukum World Bank yang memandu banyak negara
di Asia, Eropa Timur dan Amerika Latin untuk merangkul konsep rasionalitas hukum
sebagai pendekatan penyusunan peraturan yang terkait dengan iklim investasi.
Kebutuhan pasar terhadap hukum yang rasional bukan hanya berfungsi untuk
meningkatkan kinerja hukum secara keseluruhan, tetapi juga untuk meningkatkan
kredibilitas Pemerintah dalam menyikapi tuntutan pasar yang mengarah pada
peningkatan investasi yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi. 45 Dalam perspektif
rasionalitas Weberian inilah satu-satunya tugas negara dalam pembangunan ekonomi
ialah bertindak sebagai fasilitator yang mengantisipasi keputusan pasar dan memberi
kepastian hukum kepada sektor swasta agar dapat membuat keputusan investasi yang
paling menguntungkan bagi dirinya.

2.3.3. Efisiensi Hukum


Eksposisi terhadap hukum sebagai instrumen untuk mencapai efisiensi pasar
dapat ditemukan dalam tradisi aliran hukum economic analysis of law yang
dikembangkan oleh Ronald Coase dan Richard Posner.46 Dalam esainya the Problem
of Social Cost sebagaimana dikutip Ian Ward, Ronald Coase menyatakan bahwa dalam
persaingan ideal biaya transaksi bisa dikurangi sampai tidak ada sama sekali tanpa
mengurangi nilai barang yang dipertukarkan. 47 Kompetisi memungkinkan tekanan
untuk mengurangi biaya sedikit mungkin karena harga barang ditentukan oleh hukum
alamiah penawaran dan permintaan. Sebaliknya, ‘tidak adanya kompetisi, termasuk
hak kepemilikan properti, kontrak dan aturan hukum yang didefinisikan dan
ditegakkan secara konsisten, akan mengarah pada biaya pertukaran yang tinggi.’ 48
Tugas hukum, kata Coase, adalah memastikan sistem pasar yang mendekati kondisi
ideal bagi persaingan sempurna dimana sumber daya secara alokatif efisien.49 Sebagai
manifestasi pemaksimalan utilitas, kapasitas hukum untuk memastikan bahwa aset
pada akhirnya akan dimiliki oleh mereka yang paling menghargainya akan
menghasilkan output produksi yang mencapai efisiensi maksimum.50
Teorema ini menjadi bagian penting dalam pemikiran ekonomi kelembagaan
(New Institutional Economics) yang sebagian besar ikut mempengaruhi proyek
reformasi hukum World Bank. Douglass North misalnya, berpendapat bahwa proyek
reformasi hukum pada dasarnya bertumpu pada fondasi ekonomi kelembagaan karena
ia berusaha merancang bagaimana hukum diarahkan untuk membentuk insentif yang

dan perhitungan tentang cara yang paling efisien untuk mencapai tujuannya. Lihat Tor Krever, The Rule
of Law and the Rise of Capitalism, in Christopher May dan Adam Winchester, Handbook on the Rule of
Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2018)
44
Curtis Milhaupt dan Kathrina PIstor, Law and Capitalism What Corporate Crises Reveal
About Legal Systems and Economic Development Around the World (Chicago: the University of
Chicago Press, 2008) p. 17
45
John Ohnesorge, op.cit, p. 249
46
Mengenai pemikiran analisis ekonomi hukum lihat Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi
terhadap Hukum Teori dan Implikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum (Surabaya: CV Putra
Media Nusantara, 2009)
47
Ian Ward, Pengantar Teori Hukum Kritis (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2014) hal. 225
48
ibid, hal. 29
49
Tor Krever, Law, Development and Policial Closure under Neoliberalism, in Honor Brabazon
(ed.), op.cit, p. 29
50
Ioannis Glinavos, Neoliberalism and the Law …, op.cit, hal. 22
276 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

merangsang motivasi dan perilaku yang berkorelasi positif terhadap kegiatan


ekonomi. 51 Alih-alih memandang negara sebagai institusi arbiter yang mewakili
kehendak umum masyarakat, ia menyarankan untuk melihat negara sebagai institusi
yang mewadahi perjuangan birokrat, pejabat dan politisi untuk mengejar kepentingan
diri sendiri.52 World Bank menekankan pandangannya terhadap masalah kelembagaan
dan efisiensi terutama karena sistem hukum di negara berkembang dan pasca komunis
tidak mendukung prediktabilitas dan kalkulabilitas bisnis yang pada gilirannya
memperburuk minat investasi di negara tersebut. Biaya transaksi, hak kepemilikan
yang terjamin, kontrak yang dapat ditegakkan dan peraturan yang efisien secara
ekonomi harus menjadi satu-satunya kriteria untuk mengevaluasi produk hukum.53

2.4. Rule of Law sebagai Kuda Troya Neoliberal


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, klaim rule of law sebagai prasyarat
utama bagi pertumbuhan ekonomi muncul bersamaan dengan perluasan paket
kebijakan Konsensus Washington merefleksikan fungsi instrumentalisme hukum
dalam membatasi intervensi negara terhadap pasar. Ini didukung oleh berbagai studi
pembangunan yang direproduksi oleh World Bank (dan termasuk lembaga
internasional lain seperti USAID dan IMF) yang menjelaskan hubungan kausal antara
rule of law dan tingkat pertumbuhan ekonomi, pengaruh faktor kelembagaan dalam
implementasi kebijakan dan evaluasi berbagai proyek reformasi hukum dalam
kaitannya dengan transisi kapitalisme pasar, yang intinya menginformasikan
keyakinan ideologis terhadap pasar sebagai satu-satunya sarana untuk memperoleh
kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.54
Terlepas dari pertanyaan apakah proyek semacam ini telah berhasil mencapai
tujuannya, konsep rule of law sendiri, bagaimanapun, tetap menjadi salah satu konsep
yang diperdebatkan dalam studi hukum kontemporer. Poin yang sangat penting
tentang promosi rule of law adalah bahwa meskipun ada penerimaan umum dalam
literatur hukum kontemporer seputar signifikansinya bagi pertumbuhan ekonomi, tidak
ada kesepakatan mendasar mengenai cara untuk mewujudkannya.55 Meskipun World
Bank dan negara-negara kliennya berbagi pandangan yang sama terhadap posisi
pentingnya rule of law dalam kehidupan komunitas global, masing-masing pihak
kerap berbeda pandangan dalam memahami apa itu rule of law. Ini tidak mengejutkan,
mengingat dalam salah satu karya luar biasa tentang rule of law, Brian Tamanaha telah
menunjukkan secara cermat bahwa tidak ada kesepakatan yang mendasar tentang
definisi, tujuan dan cakupan rule of law yang diterima oleh semua pihak, karena alasan
yang digunakan untuk mengartikulasikannya mungkin bisa sangat berbeda, tergantung
pada motif dan konteks spesifiknya.56
Dalam konteks inilah studi hukum kritis menawarkan alternatif untuk melihat
rule of law bukan sebagai prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi, melainkan
sebagai sebuah instrumen yang dihasilkan dari perkembangan historis kapitalisme
yang membentuk kondisi penguasaan dan eksploitasi kelas dominan. Studi hukum
kritis menekankan hukum bukan sebagai entitas otonom yang bekerja berdasarkan
51
Lawrence Tshuma, op.cit, p. 88
52
David Kennedy, the Rule of Law Political Choices and Development Commonsense, David
Trubek dan Alvaros Santos, op.cit, hal. 133
53
Tor Krever, Law Development and, op.cit, hal. 32
54
Ioannis Glinavos, Neoliberal Law: Unintended …, op.cit, p. 1090
55
Ioannis Glinavos, Rule of law Promotion and Development a Search Meaning, di unduh dari
https://www.researchgate.net/publication/228128242_Rule_of_Law_Promotion_and_
Development_A_Search_for_Meaning diakses 24 Februari 2018
56
Brian Tamanaha, On Rule of Law History Politics Theory (Cambridge: Cambridge University
Press, 2004) pp. 2 - 3
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 277

proposisi-proposisi normatif, melainkan sebagai entitas yang dihasilkan dari proses


kontestasi kepentingan hegemonik yang bekerja dalam realitas sosial. Konsep rule of
law harus dipahami sebagai—meminjam istilah studi hukum kritis—“teknologi
kekuasaan” yang mengasumsikan hukum sebagai instrumen praktis yang rasional,
bebas dari pengaruh politik dan tidak memihak di antara kelompok masyarakat yang
ditransmisikan sebagai kebenaran lewat persetujuan bersama. 57 Sebagai produk dari
kontestasi kepentingan ekonomi politik, rule of law merupakan ideologi dan strategi
retorik yang melegitimasi praktik profesional hukum yang terkait dengan kepentingan
politik borjuasi.58 Rule of law membatasi kekuasaan negara yang memungkinkan pasar
untuk menggunakan pilihan bebasnya. Penggunaan rule of law, bagaimanapun, tidak
lepas dari kepentingan pemilik modal internasional atas kebutuhan teoritis dimana
hukum dapat diterima sebagai produk netral dan bebas nilai yang menyembunyikan
kepentingan ekonomi politik akumulasi kapital.
Rule of law dalam konteks neoliberalisme mencerminkan perluasan dari versi
klasiknya untuk membatasi peran negara terhadap ekonomi pasar kapitalis dan
melindungi kebebasan investasi. Tujuan kebebasan investasi dan pembatasan
intervensi negara sebenarnya juga didukung oleh fakta historis bahwa rule of law sejak
awal pencerahan Eropa muncul sebagai tanggapan atas kekuasaan sewenang-wenang
despotisme monarki.59 Pada kenyataannya rule of law bukanlah suatu konsep hukum
yang netral dan bebas nilai karena ia mewakili cara pandang tertentu terkait peran
hukum dalam pembangunan. Promosi rule of law World Bank justru lebih
memprioritaskan pertumbuhan ekonomi melalui perlindungan hak properti dan
penegakan kontrak, daripada perlindungan hak-hak sosial ekonomi masyarakat atas
penguasaan sumber daya yang pada gilirannya mendepolitisasi cara pandang negara
terhadap hukum sebagai masalah teknokratis belaka. Ini menimbulkan paradoks
dimana negara harus membatasi dirinya sendiri untuk ikut campur dalam
mendistribusikan kemakmuran karena ia merupakan tanggung jawab individu yang
dapat dipenuhi melalui tangan tak terlihat dalam mekanisme pasar.
Implikasi konsep rule of law World Bank yang mempromosikan hukum ramah
pasar pada dasarnya melegalkan dan melegitimasi imperialisme ekonomi dan telah
menyembunyikan kekuasaan yang sebenarnya di masyarakat. 60 Suatu negara
neoliberal yang memiliki kekuatan polisionil dan monopoli atas alat kekerasan bisa
menjamin terciptanya kerangka hukum institusional yang dimaksud dalam
neoliberalisme yang juga ditunjang dengan keberadaan tatanan konstitusi berwatak
borjuis. 61 Kebebasan ekonomi yang hendak dibangun oleh gagasan neoliberalisme
tidak lebih dari kebebasan yang merefleksikan kepentingan korporasi multinasional
yang eksploitatif. 62 Para komentator misalnya, mengkritik reformasi hukum yang
cenderung berfokus pada indikator ekonomi semata dan mengabaikan perbaikan
kualitas pembangunan manusia. Penelitian baru-baru ini menunjukkan ada hubungan
kuat antara proyek reformasi hukum yang memaksakan kebijakan Konsensus
Washington dan masalah kemiskinan. Studi Tor Krever menunjukkan bahwa
neoliberalisme berdampak negatif terhadap maraknya kriminalitas sebagai reaksi atas

57
Istilah “technology of power” umumnya dikaitkan dengan tradisi pemikiran postmodernisme
Michael Foucault yang digunakan beberapa literatur studi hukum kritis. Mengenai hal ini lihat Costas
Douzinas et. al., Politics, Postmodernity and Critical Legal Studies (London: Routledge, 1994)
58
Lihat, Yves Dezalay and Bryant Garth (eds.), op.cit
59
William Twinning, General Jurisprudence Understanding Law From a Global Perspective
(New York: Cambridge University Press, 2009) pp. 332 - 333
60
Herlambang Perdana Wiratraman, op.cit, pp. 90 - 91
61
David Harvey Imperialisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer
(Yogyakarta: Resistbook, 2010), hal. 100
62
David Harvey, Neoliberalisme dan …, op.cit, hal. 14
278 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

kebijakan Pemerintah yang menyebabkan ketidakmampuan lapisan sosial masyarakat


miskin untuk mengalokasikan sumber daya dalam pasar. 63 Studi Herlambang
Wiratraman mengenai proyek reformasi hukum disektor perburuhan yang
memperkenalkan konsep fleksibilitas pasar kerja menyebabkan hilangnya jaminan
sosial pekerja dan menciptakan situasi yang tidak memungkinkan lobi-lobi
kesejahteraan serikat pekerja. 64 Sejumlah literatur kritis lebih lanjut menunjukkan
bahwa kebijakan neoliberalisme bertentangan dengan demokrasi karena ia
membahayakan kontrol dan pengawasan masyarakat atas kebijakan dan produk
legislasi yang mengatur masalah distribusi kekayaan.65
Konsep rule of law World Bank juga sangat bergantung pada paradigma
formalisme hukum yang mengasumsikan bahwa pelaku pasar sebagai subjek hukum
dalam posisi setara yang memungkinkannya melakukan hubungan transaksional yang
tampak adil dan seimbang. Ini bersifat manipuatif karena ia mengabaikan
ketidaksetaraan material dan hubungan yang eksploitatif dalam dunia nyata antar
subjek hukum. Konsep kebebasan berkontrak dan hak kepemilikan dalam dalam
kaitannya dengan kesetaraan hukum ’mengaburkan kekuatan kapitalis dan pekerja
yang tidak setara yang diakibatkan oleh proses produksi dan eksploitasi’, dimana
buruh dan tenaganya di pisahkan oleh hukum sebagai komoditas yang dapat
dipertukarkan secara bebas. 66 Kecenderungan untuk mengasumsikan kesetaraan
diantara pelaku pasar, menurut Honor Brabazon, mengarah pada penolakan atas
undang-undang yang dirancang untuk mengintervensi mekanisme pasar seperti belanja
sosial, partisipasi dan redistribusi kekayaan yang mencegah kegagalan pasar. 67 Setiap
tindakan mengkoreksi pasar akan ditentang sebagai manifestasi dari tindakan
sewenang-wenang negara terhadap proses-proses pertukaran yang bertentangan
dengan rule of law. Brian Tamanaha juga menyatakan bahwa meskipun revolusi
liberal mungkin telah membuat terobosan substantif terhadap ketidaksetaraan yang
didasarkan pada hirarki dan status sosial masyarakat di masa lampau, ketidaksetaraan
baru yang didasarkan pada tingkat kekayaan dan penguasaan sumber daya telah
muncul sebagai konsekuensi tak terelakkan dari sistem hukum dan ekonomi yang
mendasarkan diri pada hak kepemilikan kapitalisme.68 Baginya, semakin besar tingkat
kekayaan seseorang, maka akan menyebabkan semakin besar pula kemampuannya
untuk mendominasi yang pada gilirannya akan menghasilkan lebih banyak lagi
kekayaan. Konsepsi kesetaraan hukum bagi pasar dalam gagasan neoliberalisme
dengan demikian cacat sejak awal karena ia melepaskan kondisi objektif yang
menentukan kemampuan alokasi sumber daya seseorang dalam pasar. Karenanya,
kesetaraan formal yang ditekankan oleh konsep rule of law World Bank tidak
menghasilkan kesempatan yang sama bagi setiap orang karena masyarakat ditandai
oleh ketidaksetaraan material.

Selain itu, terlepas dari tujuan penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi
swasta, ada pengakuan luas bahwa kampanye good governance dalam proyek
reformasi hukum World Bank pada umumnya telah gagal mempromosikan hak sosial

63
Tor Krever, International Criminal Law: an Ideology Critique, Leiden Journal of International
Law Vol 26 No 3, 2013, p. 718
64
Lihat Herlambang Perdana Wiratraman, Disciplining Post Suharto-Labour Law Reform, dalam
Jafar Suryomenggolo (ed.), Worker Activism after Reformasi 1998 a New Phase for Indonesian Union?
(Hongkong: Asia Monitor Resource Centre, 2014), pp. 67 – 92
65
Lihat Ha Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali
Makna Pembangunan (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
66
Tor Krever, International Criminal Law …, op.cit, pp. 705
67
Honor Brabazon, op.cit, p. 7
68
Brian Tamanaha, On Rule of Law, op.cit, hal. 75
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 279

ekonomi dan pembangunan berkelanjutan yang menguntungkan sebagian besar


masyarakat negara-negara dunia ketiga. 69 Dalam praktiknya sejak 1990an,
pemberlakuan liberalisasi pasar oleh World Bank yang didukung oleh aliansi negara-
negara industri maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa dilakukan tanpa
mencari atau mendapatkan persetujuan dari masyarakat secara demokratis, ‘melainkan
muncul dari proses-proses negosiasi yang bersifat top-down dan rahasia antara kaum
teknokrat yang mewakili Pemerintah dan lembaga pemberi pinjaman.’ 70 Kebijakan
pencabutan belanja sosial yang diklaim sebagai manifestasi good governance
misalnya, disatu sisi meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya Pemerintah, tetapi
disisi lain memperburuk kualitas kesejahteraan karena masyarakat sangat bergantung
pada pelayanan publik yang disediakan negara. Kebijakan seperti penghapusan
hambatan tarif mengancam produk domestik, sementara penitikberatan hak kekayaan
intelektual dalam berbagai putaran negosiasi WTO menjadi jalan bagi privatisasi
komoditas strategis seperti pangan dan obat-obatan. 71 Inisiatif yang digulirkan oleh
negara-negara industri maju melalui WTO—baik melalui putaran multilateral
pengurangan tarif atau upaya bilateral yang tersebar—memaksa kepatuhan negara-
negara yang relatif lemah terhadap penghapusan hambatan regulasi nasional untuk
investasi asing.72
Karenanya promosi good governance di dunia ketiga pada dasarnya ’adalah
upaya untuk mendisiplinkan negara dunia ketiga pada seperangkat prinsip dan institusi
yang telah disempurnakan di peradaban barat, dimana negara dunia ketiga harus
mengadopsinya jika ingin membuat kemajuan dan mencapai stabilitas. 73 Meminjam
terminologi Gramscian, konsep ini merupakan sarana sentral yang digunakan sebagai
proses hegemonik atas reorgansisasi peran hukum dan negara-negara dunia ketiga
dalam konteks pembangunan dan globalisasi ekonomi. World Bank percaya bahwa
pereduksian peran negara secara signifikan berkorelasi positif terhadap peningkatan
efisiensi pengelolaan sumber daya dan pengembangan infrastruktur hukum ekonomi
yang kuat bagi institusi pasar. Dalam perspektif neoliberal, proyek semacam ini
memang mendukung efisiensi manajemen pengelolaan sumber daya, tetapi dalam
persepktif hukum kritis kebijakan yang disuntikkan oleh World Bank mengabaikan
kepentingan sosial ekonomi kaum marjinal karena reformasi hukum lebih difokuskan
untuk memfasilitasi akumulasi kapital secara “demokratis” atas perampasan dan
monopoli sumber daya.’ 74 Demokrasi hanya berfungsi sebagai sarana untuk
menghasilkan persetujuan kolektif diantara para pengambil kebijakan atas kebijakan
seperti liberalisasi pasar, privatisasi dan deregulasi dan tidak ditujukan sebagai sarana
perlindungan hak-hak masyarakat miskin. 75 Singkatnya, alih-alih mempromosikan
konsep rule of law yang memperkuat hak-hak sosial ekonomi masyarakat, wacana
good governance justru dirancang untuk menciptakan lingkungan hukum dan
kelembagaan yang dibutuhkan bagi mekanisme pasar.

69
Ioannis Glinavos, Neoliberal Law: Unintended …, p. 1091
70
Brian Tamanaha, The Dark Side of the Relationship Between the Rule of Law and Liberalism,
New York University Journal of Law & Liberty Vol 3 No 3, 2008, pp. 539 - 540
71
Lihat Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (Yogyakarta: Cindelaras,
2003)
72
David Kennedy, Law and Development Economics: Toward a New Alliance, in David
Kennedy dan Joseph E. Stiglitz, Law and Economics with Chinese Characteristics (Oxford: Oxford
University Press, 2013), hal. 43
73
Anthony Anghine, Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), p. 249
74
Herlambang Perdana Wiratraman, op.cit, p., 49
75
Ibid, p. 58
280 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

Kebijakan dan legislasi perundang-undangan ekonomi nasional—yang semula


berada dibawah kendali yurisdiksi nasional—kini harus dirumuskan berdasarkan
posisi tawar relatif dan kemampuan alokasi sumber daya negara terhadap proses-
proses neoliberal yang berada dibawah dominasi lembaga keuangan internasional
seperti World Bank dan IMF. Runtuhnya batas nasional, meluasnya aktivitas produksi,
peningkatan mobilitas keuangan dan perdagangan barang dan jasa yang menandai
prevalensi globalisasi ekonomi disatu sisi meningkatkan produktivitas perekonomian,
tetapi disisi lain ikut meningkatkan konsentrasi kekayaan ditangan korporasi
multinasional. 76 Ini menghasilkan transformasi yang mendasar dimana World Bank
semakin bertindak sebagai legislator global dengan legitimasi promosi rule of law.
‘World Bank, dengan pengikat perjanjian kontraktual yang mendorong reformasi
hukum domestik, telah memainkan peran utama dalam mengubah konsep rule of law
menjadi instrumen penjarahan yang melayani kepentingan negara-negara industri maju
atas penguasaan sumber daya di negara-negara dunia ketiga.’77 Tanpa promosi rule of
law, intervensi World Bank dalam memaksakan kebijakan neoliberal tidak dapat
dibenarkan untuk memastikan hegemoni dan kepatuhan negara-negara dunia ketiga
terhadap mekanisme yang telah ditentukan oleh kepentingan akumulasi kapital.

III. KESIMPULAN

Meningkatnya promosi rule of law melalui proyek reformasi hukum World Bank
telah memainkan peran penting dalam memperluas pengaruh kebijakan Konsensus
Washington yang memaksa negara-negara berkembang dan pasca komunis untuk
menerapkan seperangkat hukum yang mendukung iklim investasi yang kondusif.
Bertentangan dengan klaim World Bank yang memandang rule of law sebagai syarat
pertumbuhan ekonomi, artikel ini menyimpulkan bahwa konsep tersebut semestinya
dilihat sebagai kerangka kerja rasional yang melegitimasi pembatasan intervensi
negara terhadap pasar. Konsep rule of law World Bank bersifat limitatif dan
formalistik terdiri dari aturan abstrak dan universal yang melindungi hak properti,
penegakan kontrak dan berorientasi pada efisiensi dimana hukum diasumsikan sebagai
produk netral dan bebas nilai yang menyembunyikan kepentingan ekonomi politik
kapitalisme. Alih-alih merefleksikan hukum yang emansipatoris, konsep rule of law
yang dipromosikan World Bank justru memfasilitasi kebutuhan kapitalisme global
atas kerangka hukum yang memungkinkan mobilitas kapital dan perdagangan bebas
tanpa hambatan dari negara yang telah berkontribusi terhadap kemiskinan dan
ketimpangan global. Dengan demikian, promosi rule of law tak lebih sebagai upaya
sistematis kaum imperialis untuk membentuk rezim hukum yang sesuai dengan teori
dan praktik neoliberalisme

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alvaros Santos, The World Bank’s Uses of the “Rule of Law” Promise in Economic
Development, in David Trubek dan Alvaros Santos (eds.), The New Law and
Economic Development a Critical Appraisal, (New York: Cambridge
University Press, 2006)
Anthony Anghine, Imperialism, Sovereignty and the Making of International Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004)

76
Martin Khor, op.cit, hal. 13
77
Ugo Mattei dan Laura Nader, Plunder When the Rule of Law is Illegal (Massachusetts:
Blackwell Publishing, 2008) p. 48
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 281

Boaventura de Sousa Santos dan Cesar A. Rodriguez-Garavito (eds.), Law and


Globalization from Below Towards a Cosmopolitan Legality, (New York:
Cambridge University Press, 2005)

Brian Tamanaha, On Rule of Law History Politics Theory (Cambridge: Cambridge


University Press, 2004)
Costas Douzinas et. al., Politics, Postmodernity and Critical Legal Studies (London:
Routledge, 1994)
Curtis Milhaupt dan Kathrina PIstor, Law and Capitalism What Corporate Crises
Reveal About Legal Systems and Economic Development Around the World
(Chicago: the University of Chicago Press, 2008)
David Harvey, Imperialisme Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer
(Yogyakarta: Resistbook, 2010)
____________, A Brief History of Neoliberalism, diterjemahkan oleh Eko Prasetyo,
Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (Yogyakarta: Resist Book, 2009)
David Kennedy, Law and Development Economics: Toward a New Alliance, in David
Kennedy dan Joseph E. Stiglitz, Law and Economics with Chinese
Characteristics (Oxford: Oxford University Press, 2013)
Friedrich Hayek, The Road to Serfdom, diterjemahkan oleh Ioannes Rakmat, Ancaman
Kolektivisme (Jakarta: Freedom Institute, 2011)
Ha Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut
Kembali Makna Pembangunan (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Herlambang Perdana Wiratraman, Disciplining Post Suharto-Labour Law Reform,
dalam Jafar Suryomenggolo (ed.), Worker Activism after Reformasi 1998 a
New Phase for Indonesian Union? (Hongkong: Asia Monitor Resource Centre,
2014)
Honor Brabazon, Introduction: Understanding Neoliberal Legality, in Honor Brabazon
(ed.), Neoliberal Legality Understanding the Role of Law in the Neoliberal
Project (Oxon: Routledge, 2017)
Ian Ward, Pengantar Teori Hukum Kritis (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2014)
Ioannis Glinavos, Neoliberalism and the Law in Post Communist Transtition, (Oxon:
Routledge, 2010)
Joseph Raz, The Authority of Law Essays on Law and Morality (New York: Oxford
University Press, 1979)
Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Teori dan Implikasi
Penerapannya dalam Penegakan Hukum (Surabaya: CV Putra Media
Nusantara, 2009)
Judith Shklar, Legalism an Essay on Law, Morals and Politics, (Cambridge: Harvard
University Press, 1964)
Julio Faundez, Legal Technical Assistance, in Julio Faundez (ed.), Good Government
and Law Legal and Institutional Reform in Developing Countries, (New York:
St Martin Press, 1997)
Kerry Rittich, The Future of Law and Development: Second Generation Reforms and
the Incorporation of the Social, in David Trubek dan Alvaros Santos (eds.),
The New Law and Economic Development a Critical Appraisal, (New York:
Cambridge University Press, 2006)
Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (Yogyakarta:
Cindelaras, 2003)
Rachel Turner, Neoliberal Ideology History, Concepts and Policies (Edinburg:
Edinburg University Press, 2008)
282 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

Roberto Mangabeira Unger, Democracy Realized the Progressive Alternative,


(London: Verso, 1998)
Rodriguez Garavito, Toward a Sociology of the Global Rule of Law Field:
Neoliberalism, Neoconstitutionalism, and the Contest over Judicial Reform in
Latin America, in Yves Dezalay and Bryant Garth (eds.), Lawyers and the Rule
of Law Globalization in an Era of Globalization (Oxon: Routledge, 2011),
Tim Lindsey, Legal Infrastructure and Governance Reform in Post-Crisis Asia the
Case of Indonesia, in Tim Lindsey (ed.), Law Reform in Developing and
Transititonal States, (New York: Routledge, 2007)
Ugo Mattei dan Laura Nader, Plunder When the Rule of Law is Illegal (Massachusetts:
Blackwell Publishing, 2008)
William Twinning, General Jurisprudence Understanding Law From a Global
Perspective (New York: Cambridge University Press, 2009)

Jurnal
Brian Tamanaha, The Dark Side of the Relationship Between the Rule of Law and
Liberalism, New York University Journal of Law & Liberty Vol 3 No 3, 2008
______________, The Primacy of Society and the Failures of Law and Development,
in Cornell International Law Journal Vol 44, 2011
David Singh Grewal dan Jedediah Purdy, Introduction: Law and Neoliberalism, Law
and Contemporery Problems Vol 77: 1 No 4, 2014
David Trubek dan Marc Galanter, Scholars in Self-Estrangement: Some Reflections
on the Crisis in Law and Development Studies in the United States, in
Wisconsin Law Review 1974, 1974
____________, The Political Economy of Rule of Law: the Challenge of the New
Developmental State, in Hague Journal on the Rule of Law Vol 1 No 1, 2009
Gabriel Garcia, The Rise of the Global South, the IMF and the Future of Law and
Development, Third World Quarterly Vol. 36, 2016 (December 2016)
Hikmahanto Juwana, Reform of Economic Laws and Its Effects on the Post-Crisis
Indonesian Economy, The Developing Economies, XLIII-I, 2005
Ioannis Glinavos, Neoliberal Law: Unintended Consequences of Market-Friendly Law
Reforms, Third World Quarterly Vol 29 No 6, 2008
Jeffrey Winters, Oligarchy and Democracy in Indonesia, Southeast Asia Program
Cornell University No 96, 2013
John Ohnesorge, Developing Development Theory: Law and Development
Orthodoxies and the Northeast Asian Experience’, University of Pennsylvania
Journal of International Economic Law Vol. 28 No 2, 2007
Lawrence Tshuma, The Political Economy of The World Bank’s Legal Framework
For Economic Development, in Social and Legal Studies Vol 8 No 2, 1999
Richard Posner, Creating a Legal Framework for Economic Development, The World
Bank Research Observer Vol 3 No 1, 1998
Tor Krever, International Criminal Law: an Ideology Critique, Leiden Journal of
International Law Vol 26 No 3, 2013
_________, Quantifying Law: Legal Indicatior Projects and the Reproduction of
Neoliberal Common Sense, Third World Quarterly Vol 34 No 1, 2013
_________, The Legal Turn in Late Development Theory: The Rule of Law and the
World Bank’s Development Model, in Harvard International Law Journal Vol
52 No 1, 2011
_________, The Rule of Law and the Rise of Capitalism, in Christopher May dan
Adam Winchester, Handbook on the Rule of Law (Cheltenham: Edward Elgar
Publishing Limited, 2018)
Rule of Law, Syahriza Alkohir Anggoro 283

Dokumen World Bank


World Bank, Development in Practice Governance the World Bank Experience
(Washington DC: The World Bank, 1994)
World Bank, Governance and Development, (Washington DC: The World Bank,
1992)
World Bank, Governance the World Bank’s Experience, (World Bank: Washington
DC, 1994)
World Bank, Initiatives in Legal and Judicial Reform (Washington DC: The World
Bank, 2004)
World Bank, Sub-Sahara Africa: From Crisis to Sustainable Growth (Washington
DC: The World Bank, 1989)
World Bank, World Development Report: Law and Governance (World Bank:
Washington DC, 2017)

Tesis
Herlambang Perdana Wiratraman, Good Governance and Legal Reform in Indonesia,
Thesis Mahidol University, 2006

Internet
Ioannis Glinavos, Rule of law Promotion and Development a Search Meaning,
https://www.researchgate.net/publication/228128242_Rule_of_Law_Promotio
n_and_Development_A_Search_for_Meaning diakses 24 Mei 2019
Chantal Thomas, Re-reading Weber in Law and Development a Critical Intelectual
History of Good Governance Reform, Cornell Law School Research Paper No 08-034,
http://ssrn.com/abstract=131378, diakses 3 April 2019

Anda mungkin juga menyukai