Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM KONSTITUSI

“Amandemen Pasal 37 UUD 1945”

DISUSUN OLEH :

Ari Rachman Fadillah, S.Tr.KA

( 312.1823.037 )

PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS SEMARANG

2024
KATA PENGANTAR

Patut disyukuri bahwa Negara Republik Indonesia telah berhasil melakukan


Amandemen UUD 1945 walaupun melalui empat kali Amandemen.
Dengan adanya perubahan ini maka telah terjadi perubahan mendasar terhadap hukum
khususnya Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Melalui makalah ini penulis akan membahas mengenai sejauh mana pengaruh
amandemen ini terhadap pembangunan hukum di negara ini.
Penulis sadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu semua saran, tanggapan, bahkan
kritikan penulis ucapkan terima kasih.
Semarang,28 Januari 2024

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1998, suatu orde yang baru dimulai, yakni orde reformasi. Hal tersebut ditandai
oleh pergerakan mahasiswa Indonesia telah berhasil mendongkel kekuasaan presiden Republik
Indonesia pada saat itu yakni Soeharto yang mendirikan dan menguasai orde baru. Soeharto
seperti sama-sama kita ketahui telah berkuasa di Republik Indonesia selama kurang lebih 32
tahun. Dalam kurun waktu tersebut, Soeharto memerintah dengan cara-cara yang diktatoris.
Tak ada ruang bagi publik untuk menyatakan pendapat yang cukup, bahkan boleh dibilang
tidak ada sama sekali. Kalaupun ada yang tetap nekat, mal:a sudah bisa dipastikan terali besi
adalah ganjarannya.
Jatuhnya pemerintahan orde baru dan dimualinya orde reformasi telah memberikan angin
segar bagi demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang selama ini di Indonesia lumpuh, kembali
bergairah. Berbagai perubahan di berbagai sektor dilakukan dimulai dari perubahan ekonomi,
politik, sosial, budaya, dan juga hukum tidak ketinggalan.
Di bidang ekonomi dimulai dengan usaha perbaikan kondisi elconomi Indonesia, yang
pada saat itu memang sedang dalam kondisi krisis. Berbagai kebijakan pun diambil untuk
menstabilkan harga nilai tukar rupiah yang saat itu mencapai Rp 20.000. Kebijakan lainnya pun
diambil demi memulihkan kondisi makro ekonomi Indonesia yang pada ssat itu memang
compang-camping.
Di bidang politik, perubahan dilakukan dengan mencoba untuk menciptakan suatu system,
tatanan, serta iklim politik yang lebih sehat dan demokratis. Di bidang sosial budaya pun
demikian. Berbagai kebijakan diambil untuk perbaikan dan penanggulangan krisis moral yang
pada saat itu juga terjadi di lndonesia bersamaan dengan krisis-krisis lainnya yang melanda,
sebagai akibat dari krisis ekonomi.
Di bidang hukum pun demikian, berbagai perubahan dilakukan demi perbaikan dan
pembangunan hukum. Salah satu upaya yang dilakukan pada saat int adalah mengamandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut dilakukan karena disinyalir UUD 1945 memiliki
banyak kelemahan, sehingga rezim orde baru bisa menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak
secara diktatoris. Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan terhadap UUD 1945 untuk
penyernpurnaan dan meminimalisasi celah-celah untuk penyelewengan terjadi.
Amandemen UUD 1945 juga bertujuan untuk memberi payung hukum bagi reformasi dan
berbagai perubahan yang terjadi dan yang akan terjadi. Untuk merubah suatu system yang
memang benar-benar korup pada saaat itu diperlukan suatu payung hukum yang jelas, sehingga
perubahan dapat terealisasi. UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tata urutan
perundangan Republik Indonesiai saat itu harus dapat memayungi secara legal perubahan
yang terjadi.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji beberapa hal yakni mengenai apakah
amandemen UUD 1945 benar-benar merupakan suatu upaya pembangunan hukum, ataukah
suatu pelanggaran hukum. Juga akan dibahas berbagai implikasi yang muncul sebagai
konsekuensi atas amandemen UUD 1945.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut kamus bahasa Indonesia, pembangunan adalah proses, perbuatan, cara


membangun. Membangun sendiri diartikan sebagai mendirikan, mengadakan (gedung dan
sebagainya); membina; (bersifat) memperbaiki. (Kamusa. 1997 : 38). Jadi dapat disimpull<an,
pembangunan adalah proses, perbuatan, cara mendiril<an, mengadakan, membina,
memperbailci.

Pengertian pembangunan menurut para ahli :

1. Menurut Todaro, pembangunan adalah suatu proses multi dimensi yang mencakup
perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan lembaga-
lambaga nasional serta adanya akselerasi (percepatan) pertumbuhan ekonomi, pengurangan
kesenjangan dan pemberantasan lcemiskinan absolut.
2. Menurut Brant and White, pembangunan adalah suatu upaya besar-besaran melakukan
perubahan secara bersama dari suatu bangsa dan suatu keadaan yang lebih baik.
Menurut kamus bahasa Indonesia, hukum adalah peraturan yang dibuat dan disepakati
baik secara tertulis maupun tidak tertulis; peraturan, undang-undang yang mengikat perilaku
setiap masyarakat tertentu. (Kamisa, 1997 : 232)
Pengertian hukum menurut para ahli :

1. Menurut Amin, SH, hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang


terdiri dari norma dan sanksi-sanksi. (Kansil, 1989 : 38)
2. Menurut Imanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. (Kansil, 1989 : 36)
3. Menurut Leon Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,
aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. (Kansil, 1989 : 36 )
4. Menurut Laud, hukum adalah seperangkat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
manusia di dalam masyarakat. (Ragawino, 2003 : 1 7 )
5. Menurut Victor Hugo, hukum adalah kebenaran dan keadilan (Ragawino, 2003 : 19
)
Pembangunan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Paton (1951) pada hakikatnya
ialah pembinaan hukum dan pembaharuan hukum.
Pembangunan hukum mencakup apa yang diburu oleh hukum pada penghabisan dan
pengkukuhan unifikasi hukum. Pembinaan hukum ialah perawatan hukum yang telah ada, jadi
bukan menghancurkan, memanjakan, dan membiarkannya tumbuh sesukanya. (dikutip dari :
bphn.go.id)

Pembaharuan hukum ialah membentuk tatanan hukum yang baru kembali. Pembangunan
hukum tidak sekedar pembaharuan aturan-aturan hukum. (dikutip dari : bphn.go.id)
Undang-undang Dasar adalah peraturan Negara yang tertinggi dalam Negara, yang
memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber daripada peraturan
perundangan lainnya yang lcemudian dikeluarkan oleh negara itu. (Kansil, 1989 : 54-55)
Undang-Undang Dasar 1945 adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang
menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara
Republik Indonesia. (Kansil, 1989 : 55 )
BAB III
PEMBAHASAN

Amandemen UUD 1945 sebagai upaya Pembangunan Hukum

Seiring bergulirnya reformasi, bergulir pula berbagai perubahan yang terjadi di


berbagai sektor, termasuk di bidang hukum. Perubahan UUD 1945 pun dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Seiring dengan amandemen yang terjadi, muncul berbagai
pro dan kontra mengenai keabsahan amandemen UUD 1945 tersebut.
Ada beberapa pihak yang menyebut amandemen UUD 1945 sebagai bentuk
peiryimpangan. Mereka berpendapat bahwa UUD 1945 adalah peraturan yang paling
fundameutal dalam ketatanegaraan Indonesia, sehingga tidak boleh dirubah atau diamandemen.
Ada juga pihak-pihak yang berpendapat bahwa amandemen adalah hal dan langkah yang
wajar dalam upaya pembangunan hukum itu sendiri. Mereka berpandangan bahwa UUD 1945
bukanlah sesuatu yang luar biasa, sehingga janganlah dipandang sebagai "berhala". Oleh karena
itu amandemen yang dilakukan adalah sebagai sesuatu hal yang biasa pula sebagai upaya
untuk pembangunan hukum itu sendiri.
Pembangunan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Paton (1951) pada hakikatnya ialah
pembinaan hukum dan pembaharuan hukum. Pernbangunan hukum mencakup apa yang
diburu oleh hukum pada penghabisan dan pengkukuhan unifikasi hukum. Pembinaan hukum
ialah perawatan hukum yang telah ada, jadi bukan meughancurkan, memanjakan, dan
membiarkannya tumbuh sesukanya. (dikutip dari : bphn.go.id)
Jika kita melihat pada toeri tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa amandemen UUD
1945 merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum, dan pembaharuan hukum itu
sendiri merupakan salah satu bentuk dari pembangunan hukum.

Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia


yang bersifat nasional (The Indonesian Legal System). Dalam pembangunan, pembaharuan atau
pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan,
pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum
itulah yang akan menentukan sejauh mana sistern hukum Indonesia yang bersifat nasional
mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan
demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk
dan isi dari peraturan perundang-undangan, termasuk perubahan UUD 1945, jika memang
dianggap perlu.
Menurut teori etis, salah satu tujuan pokok hukum adalah memperbaharui sikap mental
dan cara berpikir masyarakat dari tradisional kearah modern. Jadi hukum harus mampu
mengarahkan dan merubah sikap, mental dan cara berfikir masyarakat kearah yang lebih baik.
Jika kita kontekstualisasikan kepada konteks amandmen UUD 1945, maka kita bisa anggap
cara berfikir masyaraKat yang tradisional dalam teori etis tersebut adalah cara-cara otoriter dan
sistem yang korup. Kita juga bisa anggap cara berfikir modern dalam teori etis tersebut
adalah cara berpikir dan pandangan yang demokratis dan terbuka. Oleh karena itu, jika kita
merujuk pada teori etis, (dalam konteks ini adalah UUD 1945) berkewajiban dan harus mampu
mengarahkan/ merubah pandangan/sikap masyarakat dari cara berpikir/pandang yang otoriter ke
cara berpikir/pandang yang demokratis.
Amandemen UUD 1945 adalah salah satu upaya untuk merubah pandangan/cara berpikir
masyarakat dari cara berpikir/pandang otoriter ke cara pandang/berpikir demokratis dengan
mengubah diri ke bentuk pasca amandemen yang dianggap akan menjadi landasan legal akan
perubahan tersebut. Oleh karena demilcian, maka pembangunan hukum yang dilakukan dalam
bentuk amandemen UUD 1945, tidak melanggar dan telah sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri.
Jika kita berpikir diluar konteks teori etis, amandemen UUD 1945 tetaplah sah.
Manusia bisa merubah hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Dan tujuan hukum
itu sendiri adalah tujuan dari manusia. Hukum adalah alat, hukum tak punya tujuan, yang punya
tujuan adalah manusia. Oleh karena itu manusia bebas merubah hukum sesuai dengan tujuan
manusia. Dalam konteks amandemen UUD 1945, amandemen yang dilakukan adalah sah,
karena hanya dengan amandemen tersebutlah tujuan bangsa Indonesia untuk melakukan
reformasi bisa tercapai.
Kita jangan terlalu berpandangan konservatif bahwa UUD 1945 tidak boleh
diamandemen. UUD 1945 adalah buatan manusia, sehingga tidak akan sempurna. Tidak ada
hukum yang sejati. Hukum yang sejati adalah rasio manusia yang sesuai dengan ketertiban alam
serta terdapat dalam alam seluruhnya. Rasio murni bersifat kekal sepanjang zaman, rasio murni
terdapat dalam jiwa manusia. (Cicero dalam Ragawino, 2003 : 161).
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut diatas, maka kita dapat mengambil
kcsimpulan bahwa amandemen UUD 1945 adalah sah, dan upaya tersebut adalah benar-
benar merupakan upaya pembangunan huktun. Hulcum buatan manusia tidak ada yang
sempurna, oleh karena itu sudah sewajarnyalah dilakukan evaluasi dan penyempurnaan akan
hukum tersebut, sehingga relevan dengan perl:embangan zaman.
Dalam perspektif hukum teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat
dilakukan melalui pola Belanda, yakni dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan,
dan pola Amerika Serikat (AS), yakni dalam bentuk anlandemen yang dilampirkan pada
konstitusi AS. Perubahan-perubahan dimaksudkan agar UUD merupakan UUD yang hidup (a
living constitution). Di Indonesia, wacana reformasi sistem ketatanegaraan, perubahan
terhadap UUD 1945 berangkat dari tuntutan akan pentingnya pemerintahan konstitusional
yang demokratis. Dalam hal ini, pemberlakuan Ketetapan MPR No. VIIUMPR/1998 tentang
Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MP1Z/1983 tentang Referandum merupakan
"pemberlakuan lcembali" Pasal 37 UUD 1945. Berdasarkan landasan itulah perubahan UUD
1945 dilakukan.
Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, tidak serta merta muncul. Namun
hal tersebut telah melalui berbagai tahap dan berbagai kajian, baik itu di lingkungan
akademis, maupun di lingkup MPR itu sendiri. Demi meminimalisasi penyimpangan-
penyimpangan yang bisa muncul dalam proses amandemen, panitia ad hoc tentang amandemen
UUD 1945 pun, menyepakati beberapa hal, yakni :
1. Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, tidak serta merta muncul. Namun hal
tersebut telah melalui berbagai tahap dan berbagai kajian, baik itu di lingkungan
akademis, maupun di lingkup MPR itu sendiri. Tidak mengubah Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Mernpertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan
dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara "adendum".
Dengan rambu-rambu yang telah dibuat tersebut, diharapkan amandemen UUD 1945, akan
benar-benar sesuai sasaran yang akan dituju. Berikut ini adalah beberapa dasar pernikiran
aniandernen UUD 1945 :
1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang berturnpu
pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-
institusi ketatanegaraan.
2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah
execulive heuvy kalau kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan
berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan
membentuk Undang-undang.
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu "luwes" dan "fleksibel" sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD
1945 (sebelum diamandemen).
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan
legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam
Undang-undang.
5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi
hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal
ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat
pada presiden.
b. Infrastruktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi
masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh
pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang
berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

Jika melihat beberapa latar belakang amandemen UUD 1945 yang telah dikemukakan
diatas, maka kits harus bias memahami dan yakin bahwa amandemen yang dilakukan
terhadap UUD 1945 adalah merupakan suatu upaya yang mengarah dan bertujuan untuk
perbaikan bangsa Indonesia. Amandemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan dalam 4
tahapan. Perubahan pertama terhadap UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada
bulan Oktober 1999. Perubahan pertama ini mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal
9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21
UUD 1945. Beberapa aspek penting dari perubahan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:

1. Penegasan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada


DPR (Pasal 5 ayat (1);

2. Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menjabat sebanyak-banyaknya dalam 2 (dua)
kali masa jabatan;

3. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 ayat (2));

4. Dalarn hal mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain, Presiden
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 13 ayat (2) dan (3));

5. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah


Agung (Pasal 14 ayat 91));

6. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2))

7. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 17 ayat (3));
8. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang (Pasa121).
Dalam batas-batas tertentu, perubahan pertama ini telah menggeser titik berat
pemerintahan dari pihak eksekutif ke pihak legislatif. Perubahan pertama teisebut kemudian
dilanjutkan dengan perubahan kedua dan ketiga. Hal ini nampak dengan penegasan Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1999 tentang "Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945"' yang memerintahkan agar Badan Pekerja MPR mempersiapkan
rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang "Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus
2000. Sebagaimana diamanatkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 sebagaimana
disebutkan dimuka, Perubahan Kedua UUD 1945 pada akhirnya dilakukan pada Sidang
Tahunan MPR pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 - 18 Agustus 2000. Dalam
perubahan kedua ini, MPR mengubah dan/atau menambah beberapa pasal, seperti Pasal 18,
Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal
25E, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat 93), Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C,
Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 281, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal
36A, Pasal 36B, dan Pasl 36C UUD 1945. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan
mengubah rumusan pasal-pasal yang bersangkutan dan atau dengan menambah beberapa ayat
dari pasal yang bersangkutan.
Perubahan ketiga UUD 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR kedua, yang
diselenggarakan pada tanggal 9 Nopember 2001. Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah
dan/atau menambah Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3) dan (4); Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2); Pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5); Pasal 7A, Pasal 7B ayat

(1), (2), (3), (4); Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4);

Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasa123A;

Pasal 23C; Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan 92); Pasal 23G ayat (1)

dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B

ayat (1), (2), (3) dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UUD 1945.

Di dalam perubahan ketiga ini antara lain diatur tentang hal-hal yang bersifat
mendasar, seperti adanya penegasan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD, juga penarikan ketentuan mengenai Indonesia sebagai negara
hukum dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Disamping itu
ditetapkan pula tentang kewenangan-kewenangan MPR, mekanisme putaran pertama sistem
pemilihan Presiden secara langsung, mekanisme impeachment Presiden, tentang Dewan
Perwakilan Daerah, tentang Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Perubahan keempat UUD 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR ketiga, yang
diselenggarakan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam perubahan ketiga iui, MPR
mengubah dan/atau menambah Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11
ayat (1); Pasal 16; Pasal 23I3; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Pasal 31 ayat (1),(2), (3), dan
(5); Aturan Peralihan Pasal I, 11 dan 111; Aturan Tambahan Pasal I dan 11 UUD 1945.

Amandemen terhadap batang tubuh UUD 1945 tersebut diharapkan akan mampu
membawa Indonesia ke dalam sistem politik dan sistem demokrasi yang lebih baik.
Amandemen bukan hanya merupakan pembangunan bagi hukum Indonesia, namun juga
diharapkan akan berdampak pada pembangunan di segala bidang.
Implikasi Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Amandemen Konstitusi, sejak amandemen I pada tahun 1999 hingga amandemen ke-
IV pada tahun 2002, telah mengamanatkan sejumlah perubahan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Perubahan tersebut berdampak pada pengembangan/pembangunan hukum tanpa
adanya Garis Besar Haluan Negara. Pembangunan hukum ini akan dipengaruhi oleh hasil dari
pemilihan presiden secara langsung sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6A amandemen ke
III UUD 1945. Berdasarkan amandemen Konstitusi, MPR tidak lagi menjadi lembaga
tertinggi dalam arti bahwa MPR tidak lagi menetapkan Rencana pembangunan Nasional yang
diatur dalam Garis Besar Haluan Negara. Konstruksi baru konstitusi tersebut berimplikasi
bahwa penyusunan program pembangunan hukum, yang selama ini ditetapkan secara garis
besar oleh MPR, akan beralih.
Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat
penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang telah
dilakulcan MPR pada tahun 1999 hingga 2002. Berikut ini adalah gambaran
ketatanegaraan(lembaga Negara) Republik Indonesia, sebelum dan setelah amandemen UUD
1945 dilakukan :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR)
Sebelum amandemen UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang diberi kekuasaan tak terbatas
(super power) karena "kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR" dan MPR adalah "penjelasan dari seluruh rakyat Indonesia" yang berwenang
menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden. Selain itu, susunan
keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang
diangkat. Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
 Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
 Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut- turut.
 Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
 Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
 Tidak memperpanjang masajabatan sebagai presiden.
 Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu
dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki
kursi di MPR.

Setelah amandemen UUD 1945, MPR merupakan Lembaga tinggi negara sejajar
kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK,
BPK. Kewenangannya untuk menetapkan GBHN dan kewenangannya mengangkat Presiden
(karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu) dihilangkan. Tetap berwenang untuk
menetapkan dan mengubah UUD. Susunan l:eanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung
melalui pemilu.

2. PRESIDEN

Sebelum amandemen UUD 1945 :

 Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR,


meskipun kedudukannya tidak "neben" akan tetapi "untergeordnet".
 Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of
power and responsiblity upon the president).
 Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (execulive power), juga
memegang kekuasaan legislative (legislutive power) dan kekuasaan yudikatif
Uudicative power).
 Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.

 Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai
presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

Pasca amandemen UUD 1945 :

 Membatasi beberapa kelcuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara


pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta
memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

 Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.

 Membatasi masa jabatan presiden maksimal menjadi dua periode saja.

 Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan


pertimbangan DPR.
 Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan
pertimbangan DPR.

 Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil


presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, juga
mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

3. Dewan Perwakilan Rakyat(DPR)

Sebelum Amandemen UUD 1945, DPR berwenang :


 Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
 Memberikan persetujuan atas PERPU.

 Memberikan persehijuan atas Anggaran.

 Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta


pertanggung,jawaban presiden.

Setelah amandemen UUD 1945 :

 Posisi dan kewenangannya diperkuat.

 Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden,


sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah
berhak mengajukan RUU.
 Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.

 Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan


hulgsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

4. Dewan Pertimbangan Agung(DPA)

UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir/menyinggung lembaga-lembaga negara lain


seperti DPA dengan memberikan kewenangan yang sangat minim. Bahkan lembaga ini
dihapuskan dari sistem ketatanegaraan Indonesia dalam UUD 1945 yang baru.

5. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD adalah lembaga yang terbentuk pasca amandemen UUD 1945. Dalam UUD1945
yang lama, tidak ada lembaga DPD dalarn sistem ketatanegaraan Indonesia. DPD adalah
lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam
badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan
yang diangkat sebagai anggota MPR Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan
Negara Republik lndonesia. Anggotanya dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah
melalui pemilu. DPD mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.

6. Badan Pemerilcsa Keuangan(BPK)

Dalam UUD 1945 yang lama, Lembaga ini tidak dibahas terlalu banyak. Dalam
UUD 1945 pasca amandemen, lembaga ini dibahas lebih detail. Menurut UUD 1945 pasca
amandemen, BPK Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara
(APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan
ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. BPK berkedudukan di ibu kota Negara dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi. Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. UUD 1945 yang baru juga mengintegrasikan peran BPKP sebagai instansi
pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK

7. MAHKAMAH AGUNG(MA)

Peran dan fungsi lembaga mahkamah agung hampir tidak berubah baik sebelum maupun
setelah arnandemen yakni bahwa MA adalah :

 Lembaga negara yang melakul:an kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang


menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24
ayat (1)].
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang- undangan
di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang- undang.
 Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan
lain-lain.
8. MAHKAMAH KONSTITUSI(MK)

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang baru terbentuk pasca amandemen UUD
1945. Mahkamah Konstitusi keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian
konstitusi (the guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan:
Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden
menurut UUD. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh
Mahkamah Agung, ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3
cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Pasal 37 UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen


Amandemen Pasal 37 UUD 1945 termasuk dalam agenda amandemen tahap ke-4 yang
dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR pada 1 hingga 11 Agustus 2002.
Sebelum diterapkan amandemen, Pasal 37 UUD 1945 terdiri dari 2 (dua) ayat. Setelah
amandemen, Pasal 37 UUD 1945 terdiri dari 5 (lima) ayat atau telah dilakukan penambahan
ayat.
Isi Pasal 37 UUD 1945 Sebelum Amandemen
BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 37
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir.
Isi Pasal 37 UUD 1945 Setelah Amandemen
BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan.
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Seiring bergulirnya reformasi, bergulir pula berbagai perubahan yang terjadi di


berbagai sektor, termasuk di bidang hukum. Perubahan UUD 1945 pun dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Seiring dengan amandemen yang terjadi, muncul berbagai
pro dan kontra mengenai keabsahan amandemen UUD 1945 tersebut.
Ada beberapa pihak yang menyebut amandemen UUD 1945 sebagai bentuk
peiryimpangan. Mereka berpendapat bahwa UUD 1945 adalah peraturan yang paling
fundameutal dalam ketatanegaraan Indonesia, sehingga tidak boleh dirubah atau diamandemen.
Ada juga pihak-pihak yang berpendapat bahwa amandemen adalah hal dan langkah yang
wajar dalam upaya pembangunan hukum itu sendiri. Mereka berpandangan bahwa UUD 1945
bukanlah sesuatu yang luar biasa, sehingga janganlah dipandang sebagai "berhala". Oleh karena
itu amandemen yang dilakukan adalah sebagai sesuatu hal yang biasa pula sebagai upaya
untuk pembangunan hukum itu sendiri.
Pembangunan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Paton (1951) pada hakikatnya ialah
pembinaan hukum dan pembaharuan hukum. Pernbangunan hukum mencakup apa yang
diburu oleh hukum pada penghabisan dan pengkukuhan unifikasi hukum. Pembinaan hukum
ialah perawatan hukum yang telah ada, jadi bukan meughancurkan, memanjakan, dan
membiarkannya tumbuh sesukanya. (dikutip dari : bphn.go.id)
Jika kita melihat pada toeri tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa amandemen UUD
1945 merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum, dan pembaharuan hukum itu
sendiri merupakan salah satu bentuk dari pembangunan hukum.

Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia


yang bersifat nasional (The Indonesian Legal System). Dalam pembangunan, pembaharuan atau
pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan,
pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum
itulah yang akan menentukan sejauh mana sistern hukum Indonesia yang bersifat nasional
mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan
demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk
dan isi dari peraturan perundang-undangan, termasuk perubahan UUD 1945, jika memang
dianggap perlu.
Menurut teori etis, salah satu tujuan pokok hukum adalah memperbaharui sikap mental
dan cara berpikir masyarakat dari tradisional kearah modern. Jadi hukum harus mampu
mengarahkan dan merubah sikap, mental dan cara berfikir masyarakat kearah yang lebih baik.
Jika kita kontekstualisasikan kepada konteks amandmen UUD 1945, maka kita bisa anggap
cara berfikir masyaraKat yang tradisional dalam teori etis tersebut adalah cara-cara otoriter dan
sistem yang korup. Kita juga bisa anggap cara berfikir modern dalam teori etis tersebut
adalah cara berpikir dan pandangan yang demokratis dan terbuka. Oleh karena itu, jika kita
merujuk pada teori etis, (dalam konteks ini adalah UUD 1945) berkewajiban dan harus mampu
mengarahkan/ merubah pandangan/sikap masyarakat dari cara berpikir/pandang yang otoriter ke
cara berpikir/pandang yang demokratis.
Amandemen UUD 1945 adalah salah satu upaya untuk merubah pandangan/cara berpikir
masyarakat dari cara berpikir/pandang otoriter ke cara pandang/berpikir demokratis dengan
mengubah diri ke bentuk pasca amandemen yang dianggap akan menjadi landasan legal akan
perubahan tersebut. Oleh karena demilcian, maka pembangunan hukum yang dilakukan dalam
bentuk amandemen UUD 1945, tidak melanggar dan telah sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri.
Jika kita berpikir diluar konteks teori etis, amandemen UUD 1945 tetaplah sah.
Manusia bisa merubah hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Dan tujuan hukum
itu sendiri adalah tujuan dari manusia. Hukum adalah alat, hukum tak punya tujuan, yang punya
tujuan adalah manusia. Oleh karena itu manusia bebas merubah hukum sesuai dengan tujuan
manusia. Dalam konteks amandemen UUD 1945, amandemen yang dilakukan adalah sah,
karena hanya dengan amandemen tersebutlah tujuan bangsa Indonesia untuk melakukan
reformasi bisa tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman. Arief. 1994. Teori Pembangunan Dunia ketiga. Jakarta : PT. Gramedia
Listaka Utama.
Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kartika.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka
Ragawino, Bewa. 2003. Pengantar Ilmu Hcrkunz f3andung : Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politilc Univesitas Padjadjaran.
jurnalhukum.blogspot.com

http://www. komisihukum.go. id/newsletter.

Anda mungkin juga menyukai