Anda di halaman 1dari 158

Copyright @ Airlangga University Press

Buku ini ditulis dengan tujuan mengenalkan Biologi


Reproduksi Pria. Bahasannya tentang embriologi organ
seks dan reproduksi pria yang meliputi penentuan seks,
penurunan testis ke skrotum. Selain itu juga membahas
masa prapubertas yang mencakup letak dan ukuran testis
serta kadar hormon prepubertas. Bahasan lain adalah
masa pubertas meliputi onset pubertas, perubahan
fisik selama pubertas, perkembangan ciri seks primer,
perubahan hormonal masa pubertas, klasifikasi tahap
pubertas, kecenderungan menurunnya onset pubertas.
Steroidogenesis meliputi hormon steroid mulai dari
biosintesis, peran faktor lain dalam steroidogenesis,
transpor testosteron di dalam darah, mekanisme masuknya
testosteron ke dalam sel target.

Spermatogenesis meliputi anatomi testis, regulasi


hormonal pada spermatogenesis, tahapan spermatogenesis
serta peran kelenjar aksesoris reproduksi pria. Fertilisasi
alamiah meliputi koitus, migrasi spermatozoa dari
seminal plasma menuju lendir serviks, kapasitasi pada
saluran reproduksi wanita dan perjalanan spermatozoa ke
oviduct, penetrasi kumulus ooforus, interaksi spermatozoa
dengan zona pelusida, fusi spermatozoa dengan membran
vitelina, peristiwa pasca fusi dan pembelahan zigot pasca
feritilisasi. Masa tua meliputi fertilisasi masa tua, kuantitas
dan kualitas spermatozoa masa tua, testis masa tua, profil
hormon pria masa tua, serta fungsi seksual masa tua.

ISBN 978-602-473-036-9

9 786024 730369
Copyright @ Airlangga University Press

Buku ini ditulis dengan tujuan mengenalkan Biologi


Reproduksi Pria. Bahasannya tentang embriologi organ
seks dan reproduksi pria yang meliputi penentuan seks,
penurunan testis ke skrotum. Selain itu juga membahas
masa prapubertas yang mencakup letak dan ukuran testis
serta kadar hormon prepubertas. Bahasan lain adalah
masa pubertas meliputi onset pubertas, perubahan
fisik selama pubertas, perkembangan ciri seks primer,
perubahan hormonal masa pubertas, klasifikasi tahap
pubertas, kecenderungan menurunnya onset pubertas.
Steroidogenesis meliputi hormon steroid mulai dari
biosintesis, peran faktor lain dalam steroidogenesis,
transpor testosteron di dalam darah, mekanisme masuknya
testosteron ke dalam sel target.

Spermatogenesis meliputi anatomi testis, regulasi


hormonal pada spermatogenesis, tahapan spermatogenesis
serta peran kelenjar aksesoris reproduksi pria. Fertilisasi
alamiah meliputi koitus, migrasi spermatozoa dari
seminal plasma menuju lendir serviks, kapasitasi pada
saluran reproduksi wanita dan perjalanan spermatozoa ke
oviduct, penetrasi kumulus ooforus, interaksi spermatozoa
dengan zona pelusida, fusi spermatozoa dengan membran
vitelina, peristiwa pasca fusi dan pembelahan zigot pasca
feritilisasi. Masa tua meliputi fertilisasi masa tua, kuantitas
dan kualitas spermatozoa masa tua, testis masa tua, profil
hormon pria masa tua, serta fungsi seksual masa tua.

ISBN 978-602-473-036-9

9 786024 730369
Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Agustinus, Reny I’tishom, M.P.B Dyah Pramesti

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Agustinus.
Biologi Reproduksi Pria/Agustinus, Reny I’tishom,
MPB Dyah Pramesti. -- Surabaya: Airlangga University
Press, 2018.
xviii, 135 hlm. ; 23 cm

ISBN 978-602-473-036-9

1. Reproduksi Pria. I. Judul.

612.61

Penerbit
Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115
AIRLANGGA UNIVERSITY PRESS Telp. (031) 5992246, 5992247
No. IKAPI: 001/JTI/95 Fax. (031) 5992248
No. APPTI: 001/KTA/APPTI/X/2012 E-mail: adm@aup.unair.ac.id
AUP 775.2/10.18 (0.01)
Layout: Akhmad Riyanto
Editor: Zadina Abadi
Cover: Erie Febrianto

Bekerjasama dengan
Pusat Inovasi Pembelajaran dan Sertifikasi (PIPS) UNAIR
Kampus C Unair, Gedung Kahuripan Lt. 2, Ruang 203, Mulyorejo Surabaya 60115
Telp. (031) 59204244 Fax. (031) 5920532 E-mail: adm@pips.unair.ac.id

Dicetak oleh:
Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga (AUP)
(RK 162/04.18/AUP-A1E)

Cetakan pertama — 2018

Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun.
Copyright @ Airlangga University Press

PRAKATA

Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulisan
buku “Biologi Reproduksi Pria” dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini
ditulis dengan tujuan untuk membantu pembaca yang ingin mengetahui
dan memahami tentang Biologi Reproduksi Pria. Buku ini bisa dipakai
sebagai referensi mahasiswa S1, S2, S3 dan Spesialis dalam bidang ilmu
yang terkait.
Buku ini membahas tentang embriologi organ seks dan reproduksi pria
yang meliputi penentuan seks dan penurunan testis ke skrotum. Selain itu,
buku ini juga membahas masa prapubertas yang mencakup letak dan ukuran
testis serta kadar hormon prepubertas. Bahasan lain adalah masa pubertas,
steroidogenesis, spermatogenesis, fertilisasi alamiah, dan masa tua.
Besar harapan kami, buku ini dapat memberikan pengetahuan mengenai
sistem reproduksi pria. Penulis juga menyadari buku ini masih belum
sempurna. Kritik, saran, dan koreksi dari pembaca sangat membantu Penulis
dalam memperbaiki tulisan dalam edisi berikutnya. Terima kasih.

Surabaya, 2018

Tim Penulis

v
Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

DAFTAR ISI

Prakata .............................................................................................................. v
Daftar Gambar ................................................................................................. ix
Daftar Tabel ...................................................................................................... xi
Daftar Singkatan, Istilah, dan Arti Lambang ............................................. xiii

BAB 1 EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN REPRODUKSI PRIA

Pendahuluan ...................................................................................... 1
Penentuan Seks .................................................................................. 1
Embriologi Testis ............................................................................... 2
Embriologi Organ Genital Interna Pada Pria ................................ 4
Embriologi Organ Genital Eksterna ............................................... 5
Penurunan Testis ke Skrotum ......................................................... 8
Referensi ............................................................................................. 9

BAB 2 MASA PRAPUBERTAS

Pendahuluan ...................................................................................... 11
Letak Testis ......................................................................................... 12
Ukuran Testis ..................................................................................... 13
Kadar hormon prepubertas ............................................................. 13
Referensi ............................................................................................. 15

BAB 3 MASA PUBERTAS

Pendahuluan ...................................................................................... 17
Onset Pubertas................................................................................... 17

vii
Copyright @ Airlangga University Press

Mekanisme Pemicu Pubertas .......................................................... 19


Perubahan Fisik Selama Pubertas................................................... 21
Perkembangan Ciri Seks Primer ..................................................... 23
Perubahan Ciri Seks Sekunder........................................................ 23
Perubahan Hormonal Masa Pubertas ............................................ 25
Perubahan Perilaku........................................................................... 27
Klasifikasi Tahap Pubertas ............................................................. 28
Kecenderungan menurunnya onset pubertas .............................. 30
Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pubertas ........................ 31
Referensi ............................................................................................. 43

BAB 4 STEROIDOGENESIS

Pendahuluan ...................................................................................... 47
Hormon steroid ................................................................................. 47
Androgen sebagai steroid seks pada pria ...................................... 48
Steroidogenesis testis ........................................................................ 48
Steroidogenesis adrenal .................................................................... 49
Biosintesis Testosteron ...................................................................... 50
Peran LH dalam sintesis Testosteron ............................................. 53
Peran faktor lain dalam steroidogenesis ........................................ 53
Transpor testosteron di dalam darah ............................................. 54
Mekanisme masuknya testosteron ke dalam sel target............... 56
Metabolisme testosteron................................................................... 57
Aromatisasi testosteron .................................................................... 57
Reduksi testosteron ........................................................................... 58
Jalur alternatif sintesis DHT ............................................................ 59
Metabolisme untuk ekskresi androgen ......................................... 60
Mekanisme kerja androgen ............................................................. 63
Reseptor Androgen .......................................................................... 63
Gen reseptor androgen ..................................................................... 65
Mekanisme kerja genomik androgen di dalam sel ...................... 66
Efek Nongenomik Androgen .......................................................... 67
Androgen insensitivity syndrome.................................................. 69
Daftar Pustaka ................................................................................... 69

viii BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 5 SPERMATOGENESIS

Pendahuluan ...................................................................................... 73
Spermatogenesis ................................................................................ 73
Anatomi testis .................................................................................... 74
Kompartemen Tubular ..................................................................... 74
Sel Peritubular .................................................................................. 75
Sel Sertoli ............................................................................................ 75
Sel Benih (Sel Germinal)................................................................... 76
Regulasi Hormonal pada Spermatogenesis .................................. 77
Tahapan Spermatogenesis................................................................ 80
Peran Epididimis ............................................................................... 82
Spermatozoa ....................................................................................... 84
Struktur spermatozoa ....................................................................... 85
Morfologi Sperma .............................................................................. 88
Peran kelenjar aksesoris reproduksi pria ...................................... 88
Referensi ............................................................................................. 92

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH

Pendahuluan ...................................................................................... 101


Koitus .................................................................................................. 101
Ereksi ................................................................................................... 102
Ejakulasi .............................................................................................. 107
Migrasi spermatozoa dari seminal plasma menuju lendir serviks 109
Kapasitasi pada saluran reproduksi wanita dan perjalanan
spermatozoa ke oviduct ..................................................................... 110
Penetrasi Kumulus Ooforus............................................................. 111
Interaksi Spermatozoa dengan zona pelusida .............................. 112
Fusi spermatozoa dengan membran vitelina ................................ 115
Peristiwa pasca fusi ........................................................................... 116
Pembelahan Zigot pasca feritilisasi ................................................ 119
Referensi ............................................................................................. 120

DAFTAR ISI ix
Copyright @ Airlangga University Press

BAB 7 MASA TUA

Pendahuluan ...................................................................................... 123


Fertilitas masa tua ............................................................................. 123
Testis masa tua ................................................................................... 126
Profil hormon pria masa tua ............................................................ 127
Fungsi seksual masa tua .................................................................. 130
Referensi ............................................................................................. 131

Biografi Penulis ............................................................................................... 137

x BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Proses penentuan seks terjadi sejak fertilisasi .................. 2


Gambar 1.2 Gonad bipotensial yang memiliki SRY akan menginduksi
SOX9 yang akan meningkatkan ekspresi FGF9 ................. 3
Gambar 1.3 Embriologi sistem saluran dan kelenjar genital pria dan
wanita ....................................................................................... 6
Gambar 1.4 Embriologi genitalia eksterna ............................................... 7
Gambar 1.5 Proses penurunan testis ke skrotum ................................... 8
Gambar 1.6 Proses penurunan testis......................................................... 9
Gambar 2.1 Pertumbuhan prostat, vesika seminalis dan testis
berdasarkan berat ................................................................... 11
Gambar 2.2 Kadar beberapa hormon pada pria prapubertas ................ 14
Gambar 3.1 Rangkaian peristiwa selama pubertas laki-laki ................. 18
Gambar 3.2 Umur onset pubertas pada beberapa negara dengan
marker klinis yang berbeda-beda ........................................ 19
Gambar 3.3 Kurva kecepatan tumbuh laki-laki dan perempuan ........ 22
Gambar 3.4 Hubungan perubahan frekuensi fundamental bicara
dan menyanyi dengan tahap perkembangan Tanner dan
Cooksey. G dan C merujuk pada Tanner dan Cooksey .... 24
Gambar 3.5 Hubungan antara frekuensi menyanyi fundamental dan
volume testis ........................................................................... 25
Gambar 3.6 Kadar FSH, LH, testosteron, inhibin B, dan volume
testis terhadap perkembangan pubertas pada 100 subjek
normal ....................................................................................... 26
Gambar 3.7 Kadar rata-rata hormon harian dari 12 anak laki-laki sehat
sepanjang pubertas ................................................................ 27
Gambar 3.8 Tahap perkembangan genital laki-laki menurut Tanner .... 29
Gambar 3.9 Diagram skematis dari perkembangan pubertas normal . 40
Gambar 4.1 Sistem cincin steroid .............................................................. 48
Gambar 4.2 Gambaran umum jalur steroidogenesis gonad dan adrenal 49

xi
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.3 Proses hadirnya kolesterol di dalam sel Leydig dan


pembentukan pregnenolon ................................................... 51
Gambar 4.4 Jalur ∆4 atau ∆5 merujuk pada penempatan ikatan rangkap
pada cincin steroid .................................................................. 52
Gambar 4.5 Mekanisme masuknya testosteron ke dalam sel................ 56
Gambar 4.6 Jalur umum dan jalur alternatif pembentukan DHT ........ 60
Gambar 4.7 Metabolisme DHT ................................................................... 61
Gambar 4.8 Domain fungsional AR: domain N-terminal domain, DNA
binding domain (DBD), Ligand binding domain .................... 65
Gambar 4.9 Mekanisme genomik dan non-genomik reseptor hormon
steroid ....................................................................................... 67
Gambar 5.1 Aksis hipotalamus hipofisis testis dan peranannya dalam
spermatogenesis garis putus-putus merah menandakan
umpan balik negatif................................................................ 79
Gambar 5.2 Skema tahapan spermatogenesis manusia ......................... 81
Gambar 5.3 Enam tahapan spermatogenesis manusia menurut .......... 82
Gambar 5.4 Gambaran sperma oleh Antoni van Leeuwenhoek ........... 85
Gambar 5.5 Struktur spermatozoa matur................................................. 86
Gambar 5.6 Komponen dari aksonema secara skematis ........................ 87
Gambar 5.7 Fraksi ejakulat yang mencerminkan urutan sekresi
kelenjar aksesoris seks pria ................................................... 90
Gambar 6.1 Anatomi Potongan Melintang Penis .................................... 102
Gambar 6.2 Anatomi Arteri, Vena, dan Saraf Penis ................................ 103
Gambar 6.3 Mekanisme ejakulasi .............................................................. 108
Gambar 6.4 Perjalanan spermatozoa pasca koitus .................................. 109
Gambar 6.5 Proses interaksi spermatozoa dan oosit dari kontak dengan
zona pelusida hingga singami .............................................. 113
Gambar 6.6 Reaksi akrosom ...................................................................... 114
Gambar 6.7 Proses fusi spermatozoa dengaan mebran vitelina .......... 116
Gambar 6.8 Perkembangan pasca fertilisasi dari terbentuknya
pronukleus (A), zigot dari stadium 2 sel (B), stadium 4 sel
(C), hingga morula (D dan E), serta blastokista (F)............ 119
Gambar 7.1 Hubungan volume semen, vitalitas, konsentrasi, dan
persentase diploid spermatozoa dengan usia..................... 125
Gambar 7.2 Jumlah sel benih (spermatogonia, spermatosit, dan
spermatozoa) dan sel Sertoli berdasarkan umur ............... 127
Gambar 7.3 Kadar gonadotropin pada pria sehat ................................... 128
Gambar 7.4 Model regresi kecenderungan umur dengan kadar
testosteron dari 50 subjek yang dipilih secara acak pada
Massachusetts Male Aging Study (a) cross sectional data awal,
(b) data longitudinal, (c) cross sectional data follow up ...... 129

xii BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Komposisi tubuh perempuan 18 tahun dan laki-laki


15 tahun dengan tinggi dan berat yang sama ................... 23
Tabel 3.2 Tahap Tanner pada laki-laki versi awal .............................. 29
Tabel 3.3 Tahap Tanner pada laki-laki ................................................. 30
Tabel 3.4 Klasifikasi pubertas prekoks ................................................. 37
Tabel 3.5 Penyebab umum pubertas terlambat .................................. 39
Tabel 4.1 Faktor-faktor yang memengaruhi konsentrasi SHBG ...... 55
Tabel 4.2 Aldo-Keto Reduktase manusia yang terlibat dalam
metabolisme hormon ............................................................. 61
Tabel 4.3 Kadar fraksi metabolit androgen glukuronidasi dan tak
terkonjugasi pada pria sehat dibagi berdasarkan etnis .... 62
Tabel 4.4 Beberapa reseptor inti dan ligannya .................................... 64
Tabel 4.5 Gen AR dan domain yang dibentuk..................................... 65
Tabel 5.1 Manifestasi klinis knock out reseptor androgen pada
beberapa sel ............................................................................. 78

xiii
Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

DAFTAR SINGKATAN, ISTILAH, DAN


ARTI LAMBANG

DAFTAR ARTI LAMBANG


& = dan
° = derajat suhu
% = persen
± = kurang/lebih
/ = per
≥ = lebih dari sama dengan
≤ = kurang dari sama dengan
cc = cubic centimeter
kg = kilogram
lb = pon
ml = mililiter
mg = milligram
: = perbandingan

DAFTAR SINGKATAN
TDF = testis determining region
SRY = sex determining region on the Y chromosome
AMH = anti mullerian hormone
FGF9 = fibroblast growth factor 9
INSL3 = insulin-like hormone 3
DHT = dihidrotestosteron
MIS = mullerian inhibiting substance
GnRH = gonadotropin-releasing hormone

xv
Copyright @ Airlangga University Press

GH = growth hormone
NHANES III = national health and nutrition examination survey III
ARC = arcuatus
AVPV = anteroventral periventricular
PVN = nucleus periventricular
MGV = minimum growth velocity
PHV = peak height velocity
DHEA = dehydroepiandrosterone
DHEAS = dehydroepiandrosterone sulphate
TDS = testicular dysgenesis syndrome
PPS = pubertas prekoks sentral
ACTH = adrenocorticotropic hormone
CDP = constitutional delay of puberty
TESE = testicular sperm extraction
IVF = in vitro fertilization
ICSI = intra cytoplasmic sperm injection
SK = sindrom kallmann
LH = luteinizing hormone
StAR = steroidogenic acute regulatory protein
VDAC1 = voltage-dependent anion channel 1
HSD =hydroxysteroid dehydrogenase
hCG = human chorionic gonadotropin
IGF-1 = insulin-like growth factor 1
TGF-α = transforming growth factor α
EGF = epidermal growth factor
SHBG = sex hormone binding globulin
ABP = androgen-binding protein
NADPH = nikotinamida adenin nukleotida fosfat
AKR = aldo-ketoreduktase
GTPase = guanosine triphosphatase
AIS = androgen insensitivity syndrome
MAIS = mild androgen insensitivity syndrome
SCARKO = sertoli cell androgen receptor knock out
ARKO = androgen receptor knockout
VIP = vasoactive intestinal polypeptide
NANC = non adrenergic non cholinergic

xvi BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

NOS = NO sintase
GPI = glycosylphosphatidylinositol
SOAF = sperm-associated oocyte activation factor

DAFTAR ISTILAH
XY = Perempuan
XX = Laki-laki

DAFTAR SINGKATAN, ISTILAH, DAN ARTI LAMBANG xvii


Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN


BAB 1 REPRODUKSI PRIA

PENDAHULUAN
Seorang pria dibentuk melalui beberapa proses yang mulanya ditentukan
pada saat fertilisasi. Kromosom seks hasil fertilisasi menentukan gonad yang
akan dibentuk (pada pria adalah testis). Selanjutnya, pembentukan sistem
saluran, kelenjar aksesoris, dan organ genital eksterna dipengaruhi oleh
fungsi gonad melalui kerja beragam hormon. Bab ini akan menguraikan
tentang beragam proses pembentukan organ genital pria.

PENENTUAN SEKS
Jenis kelamin manusia telah ditentukan sejak terjadinya fertilisasi.
Apabila spermatozoa yang memiliki 22 autosom dan satu kromosom seks X
(biasanya ditulis sebagai 23,X) membuahi oosit sekunder maka akan terbentuk
individu baru dengan kromosom 46,XX yang normalnya akan menjadi wanita.
Apabila spermatozoa yang membuahi mengandung 22 autosom dan satu
kromosom (biasanya ditulis sebagai 23,Y) maka individu baru yang terbentuk
adalah 46,XY yang akan menjadi seorang pria.
Sebuah bagian pada kromosom Y bertanggung jawab dalam
pembentukan pria. Bagian ini awalnya dikenal sebagai testis determining
region (TDF) yang kemudian dinamai sex determining region on the Y chromosome
(SRY) (Sinclair et al., 1990). Dengan demikian, ketiadaan SRY pada individu
46,XY menimbulkan fenotip wanita (46,XY female) dan keberadaan SRY pada
individu 46,XX dapat menimbulkan fenotip pria (46,XX male). Sebuah studi
membuktikan bahwa penambahan Sry pada tikus dapat menyebabkan tikus
XX berkembang menjadi jantan (Koopman et al., 1991).

1
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 1.1 Proses penentuan seks terjadi sejak fertilisasi

EMBRIOLOGI TESTIS
Gonad dibentuk dari tiga sumber, yaitu
a. mesotelium (epitel coelomic) yang melapisi dinding posterior abdomen,
b. mesenkim yang mendasari (berasal dari intermediate mesoderm),
c. ektoderm berupa sel germinal primordial.

Mesotelium berproliferasi dan mesenkim yang menyertainya


berkondensasi membentuk genital ridge, sebuah tonjolan jaringan medial
terhadap mesonefros. Epitel genital ridge membentuk proyeksi mirip jari ke
dalam mesenkim, yang disebut korda seks primer (Hegazy, 1999). Korda seks
primer melakukan penetrasi mesenkim sehingga gonad membentuk bagian
korteks dan medula. Pada minggu ketiga, sel germinal bermigrasi dari yolk
sac menuju genital ridge. Dari minggu keempat hingga kedelapan, sel germinal
ini akan bersatu dan membentuk calon gonad (Silverman, 2005).
Pada manusia, SRY diekspresikan dari masa embrionik hari ke-41,
memuncak singkat setelahnya dan tetap hadir dengan kadar yang rendah
di luar embriogenesis (Hanley et al., 2000). Untuk itu, embrio manusia belum
dapat dibedakan jenis kelaminnya hingga minggu keenam dan gonad yang
telah terbentuk sebelumnya masih bersifat bipotensial. Maksudnya, gonad
memiliki potensi menjadi testis maupun ovarium.
Pada akhir minggu keenam, SRY menginduksi peningkatan ekspresi
SOX9 (SOX9 merupakan target SRY baik secara langsung maupun
tidak langsung). Selain SRY, studi hewan membuktikan bahwa Sf1 juga
dibutuhkan untuk upregulation Sox9 (Sekido & Lovell-Badge, 2009). SF1

2 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

(NR5A1) diekspresikan pada gonad bipotensial sebelum onset SRY. SF1 dapat
melakukan ”upregulation” ekspresi SRY. Bersama dengan SOX9, SF1 mengatur
tingkat ekspresi anti mullerian hormone (AMH).
Inisiasi SRY kepada SOX9 dilanjutkan pada ekspresi fibroblast growth factor
9 (FGF9) yang terdapat pada prekursor sel Sertoli. FGF9 berfungsi menjaga
ekspresi SOX9 serta menahan ekspresi WNT4. FGF9 merupakan faktor
pertumbuhan yang terlibat dalam beragam proses perkembangan seperti
proliferasi sel, survival, migrasi, dan diferensiasi selama perkembangan
embrio. FGF9 pada bipotensial gonad berperan dalam perkembangan sel
Sertoli (Colvin et al., 2001). Sementara dengan ditahannya ekspresi WNT4
maka jalur perkembangan ovarium ditiadakan. Dengan demikian, gonad
bipotensial berkembang menjadi testis.

Gambar 1.2 Gonad bipotensial yang memiliki SRY akan menginduksi SOX9 yang
akan meningkatkan ekspresi FGF9. SOX9 dan FGF9 saling memberikan stimulasi
dan menyebabkan perkembangan sel Sertoli. Keduanya juga akan menekan
ekspresi WNT4 sehingga jalur pembentukan ovarium tidak terjadi. Dengan
demikian, gonad bipotensial akan berkembang menjadi testis.
(White & Sinclair, 2012)

Pada embrio 46,XY, untuk membentuk testis, medula berkembang


menjadi testis dan korteks akan mengalami regresi, sedangkan pada embrio
46,XX korteks berkembang dan medula yang akan mengalami regresi
sehingga terbentuk ovarium (Silverman, 2005). Underlying mesenkim akan
berproliferasi dan berkondensasi membentuk lapisan fibrous tebal yang

BAB 1 EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN REPRODUKSI PRIA 3


Copyright @ Airlangga University Press

disebut tunika albuginea. Tunika albuginea memisahkan korda seks dengan


epitel coelomic. Tunika albuginea juga membentuk septa fibrous, membagi testis
menjadi 200–300 kompartemen. Tiap kompartemen mengandung dua hingga
tiga korda seks.
Korda seks akan membentuk tubulus semineferus yang ujung bebasnya
saling berhubungan membentuk rete testis. Rete testis akan bergabung dengan
sisa tubulus mesonefros (duktuli eferentes). Sebagian sel yang terdapat pada
korda seks juga akan membentuk sel Sertoli, mesenkim yang berada di genital
ridge akan membentuk sel Leydig, sementara sel germinal primordial di dalam
tubulus seminiferus akan berkembang menjadi spermatogonia.

EMBRIOLOGI ORGAN GENITAL INTERNA PADA PRIA


Organ genital interna pria antara lain sistem saluran beserta kelenjar
aksesorisnya. Subpokok bahasan ini akan menjelaskan tentang pembentukan
sistem saluran dan kelenjar aksesoris pria. Pada minggu ketujuh, saluran
reproduksi masih bersifat bipotensial. Meskipun mesonefros mengalami
regresi, tubulus mesonefros tumbuh menuju gonadal ridge dan saling
berhubungan. Sistem saluran kedua adalah duktus paramesonefros (muller)
yang berasal dari invaginasi epitel coelomic pada bagian lateral gonadal ridge.
Sel Sertoli akan menghasilkan anti-mullerian hormone (AMH)/Mullerian
inhibiting substance (MIS) yang akan berperan pada regresi duktus Muller
secara ipsilateral. Akibat regresi ini, pada pria hanya terdapat sisa duktus
muller berupa apendiks testis dan utrikulus prostatikus.
Sel Leydig yang terletak di luar tubulus akan menghasilkan testosteron
dan insulin-like hormone 3 (INSL3). Testosteron yang terbentuk oleh sel Leydig
selama organogenesis “berkomunikasi” dengan dua cara, yaitu endokrin
(disekresikan ke aliran darah) dan eksokrin (menuju duktus Wolfii) (Hutson,
2012). Duktus wolfii mengalami pajanan testosteron konsentrasi tinggi untuk
menjaga persistensinya dan membentuk duktus eferen, duktus epididimis,
vas deferens, duktus ejakulatorius, dan vesikula seminalis.
Kadar testosteron di dalam darah terlalu kecil untuk bekerja secara
endokrin. Untuk itu, testosteron perlu direduksi oleh enzim 5-alfa reduktase
menjadi Dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron mampu mengikat
reseptor androgen 5–10 kali lebih kuat dibandingkan dengan testosteron

4 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

(Hutson, 2012). Sinus urogenital pada pria akibat pengaruh DHT akan
membentuk uretra, prostat, dan kelenjar bulbouretralis.
DHT tidak hanya dapat dihasilkan dari reduksi testosteron (jalur klasik/
front door), tetapi juga melalui substrat lainnya (jalur alternatif/back door).
AKR1C2 adalah gen yang mengkode produksi enzim yang berpartisipasi
dalam jalur alternatif pembentukan DHT ini. Flück et al. mengidentifikasi
mutasi AKR1C2 pada empat individu 46,XY dengan gangguan perkembangan
seks (DSD). Individu-individu yang terkena, mengalami penurunan
maskulinisasi tingkat sedang hingga berat saat lahir. Mutasi AKR1C2 pada
kedua alel mengonfirmasikan peran penting AKR1C2 dan menguatkan
hipotesis bahwa jalur klasik dan alternatif biosintesis androgen testis
dibutuhkan untuk pembentukan organ seks pria normal (Flück et al., 2011).

EMBRIOLOGI ORGAN GENITAL EKSTERNA


Organ genital eksterna tidak berdiferensiasi hingga minggu kedelapan.
Awalnya calon genitalia eksterna mengandung genital tubercle genital di tengah
dan dikelilingi oleh lipatan genital dalam serta luar (inner dan outer genital fold).
Di antara inner genital fold terdapat urethral plate dan sinus urogenital. DHT
merangsang pertumbuhan genital tubercle menjadi penis bersamaan dengan
pertumbuhan perineum membungkus sinus urogenital, sedangkan kanalisasi
urethral plate untuk membentuk uretra. Pada bagian anterior penis terdapat
garis sisa penyatuan yang disebut raphe penis. Fusi outer genital fold (disebut
juga labioscrotal swelling) membentuk skrotum. Di tempat penyatuan skrotum
terdapat garis persatuan yang dinamakan raphe scrotum.

BAB 1 EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN REPRODUKSI PRIA 5


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 1.3 Embriologi sistem saluran dan kelenjar genital pria dan wanita.
(Carlson, 2009)

6 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 1.4 Embriologi genitalia eksterna.


(Carlson, 2009)

BAB 1 EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN REPRODUKSI PRIA 7


Copyright @ Airlangga University Press

PENURUNAN TESTIS KE SKROTUM


Pada keadaan normal, testis terletak di dalam skrotum. Mekanisme
perpindahan testis dari abdomen ke dalam skrotum melalui dua fase, yaitu
fase trans-abdominal dan fase inguinoskrotal (Weinbauer et al., 2010).
Antara minggu ke-8 dan 15, INSL3 menstimulasi pertumbuhan
gubernakulum yang akan menahan testis di rongga pelvis saat abdomen
membesar. Pembesaran gubernakulum menahan testis di lokasi terbentuknya
anulus inguinalis profunda saat rongga abdomen bertumbuh. Karena proses
ini bersifat pasif, kejadian testis terletak di dalam abdomen sangatlah jarang.
Di saat yang bersamaan, testosteron menyebabkan regresi ligamentum
suspensorium kranial.
Pada minggu ke-25 hingga 35, testosteron menstimulasi gubernakulum
untuk tumbuh keluar dari dinding abdomen dibimbing oleh nervus
genitofemoralis yang mengeluarkan neurotransmiter dari ujung saraf
sensorisnya untuk gradien kemotaksis yang diikuti oleh gubernakulum.
Prosesus vaginalis dan otot kremaster tumbuh di dalam gubernakulum.
Setelah berada di dalam skrotum, gubernakulum akan menciut. Tekanan
intra-abdominal dan penciutan gubernakulum menyebabkan testis masuk
ke dalam skrotum. Proses ini lebih kompleks dibandingkan fase pertama
sehingga kegagalannya lebih sering.

Gambar 1.5 Proses penurunan testis ke skrotum


(diambil dari http://www.endotext.org/wp-content/uploads/male/19/figure1.jpg)

8 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 1.6 Proses penurunan testis (http://www.nature.com/nrendo/journal/v11/


n8/images/nrendo.2015.106-f1.jpg)

REFERENSI
Carlson, B. 2009. Human Embryology and Developmental Biology, 4th ed. Missouri:
Mosby.
Colvin, J.S., Green, R.P. & Schmahl, J. 2001. Male-to-female sex reversal in mice
lacking fibroblast growth factor 9. Cell, 104(6):875–889.
Flück, C.E., Meyer,B.M., Pandey,A.P., Kempná,P., Miller,W.L., Schonie,E.J., &
Biason,L.A 2011. Why boys will be boys: two pathways of fetal testicular
androgen biosynthesis are needed for male sexual differentiation. Am
J Hum Genet, August, 89(2):201–218.
Hanley, N.A., Hagan, D.M. & Clement-Jones, M. 2000. SRY SOX9, and DAX1
expression patterns during human sex determination and gonadal
development. Mech Dev, 91(1-2):403–407.
Hegazy, A.-m. A. 1999. Lectures of Human Embryology. Zagazig: s.n.
Hutson, J.M. 2012. Embryology of the Human Genital Tract. Dalam Disorders
of Sex Development: 11-21. Disunting oleh J. M. Hutson. Verlag Berlin
Heidelberg: Springer.

BAB 1 EMBRIOLOGI ORGAN SEKS DAN REPRODUKSI PRIA 9


Copyright @ Airlangga University Press

Koopman, P., Gubbay, J. & Vivian, N. 1991. Male development of chromosomally


female mice transgenic for Sry. Nature, 351(6322):117–121.
Sekido, R. & Lovell-Badge, R. 2009. Sex determination and SRY: down to a
wink and a nudge?. Trends Genet, 25(1):19–29.
Silverman, A.J. 2005. Gonadal development. Diakses dari: http://www.
columbia.edu/itc/hs/medical/humandev/2004/Chpt14-GonadalDev.pdf
Sinclair, A.H., Berta, P. & Palmer, M.S.l. 1990. A gene from the human
sex-determining region encodes a protein with homology to a conserved
DNA-binding motif. Nature, 346(6281):240–244.
Weinbauer, G.F., Luetjens, C.M., Simoni, M. & Nieschlag, E. 2010. Physiology
of Testicular Function. Dalam Andrology: Male Reproductive Health: 11-60.
Disunting oleh E. Nieschlag, H.M. Behre, & S. Nieschlag. Verlag Berlin
Heidelberg: Springer.
White, S. & Sinclair, A. 2012. The Molecular Basis of Gonadal Development
and Disorders of Sex Development. Dalam Disorders of Sex Development.
Disunting oleh John. M, Garry L. Warne, dan Sonia R. Grover. Berlin:
Springer.

10 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 2 MASA PRAPUBERTAS

PENDAHULUAN
Siklus hidup manusia dapat dibagi menjadi lima tahap: (1) intrauterin,
yaitu embrio dan janin, (2) masa bayi dan kanak-kanak, (3) pubertas dan
remaja, (4) awal dan dewasa menengah, dan (5) akhir dewasa dan usia tua.
Masa bayi dan kanak-kanak untuk selanjutnya diistilahkan sebagai masa
pra pubertas.
Tahapan ini ditandai dengan pertumbuhan fisik yang lambat tetapi
berlangsung terus-menerus. Sepanjang masa ini organ genital baik eksterna
maupun interna tetap imatur. Pertumbuhan organ genital seirama dengan
pertumbuhan fisik secara umum. Pertumbuhan dan perkembangan organ
genitalia yang lambat ini disebabkan oleh rendahnya hormon testosteron
pada masa ini.

Gambar 2.1 Pertumbuhan prostat, vesika seminalis dan testis berdasarkan berat


(Jones & Lopez, 2014)

11
Copyright @ Airlangga University Press

LETAK TESTIS
Pada saat kelahiran, testis belum berada di dalam skrotum pada sekitar
3-4% dari laki-laki (30% pada bayi baru lahir prematur). Pada usia satu tahun,
sekitar 0,8% dari laki-laki masih memiliki testis dalam rongga panggul dan
0,3%, testis gagal turun pada saat spermatogenesis seharusnya dimulai (sekitar
usia 10 tahun). Kegagalan penurunan testis unilateral sekitar lima kali lebih
sering bila dibandingkan kegagalan penurunan bilateral.
Proses spermatogenesis membutuhkan suhu 3,1°C (5,6°F) lebih rendah
dibandingkan di dalam rongga perut. Jika spermatogenesis dimulai sedangkan
testis tetap dalam rongga tubuh (kriptorkismus), kerusakan akibat suhu dapat
terjadi pada sel germinal testis, tetapi sel Sertoli dan sel Leydig dapat bertahan.
Dengan demikian, laki-laki ini infertil tetapi struktur seks sekundernya tetap
berkembang karena sekresi androgen dari sel Leydig tetap normal. Infertilitas
pada pria dengan kriptorkismus bilateral 3,5 kali lebih sering dibandingkan
kelompok kriptorkismus unilateral, dan 6 kali lebih sering bila dibandingkan
dengan populasi umum (Lee et al., 1996; Lee et al., 1997).
Kriptorkismus perlu diterapi secara dini di awal masa kanak-kanak
karena kecenderungannya untuk membentuk jaringan kanker dan
meningkatkan kemungkinan infertilitas. Pembedahan atau pengobatan
dengan gonadotropin atau gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dapat
dilakukan untuk menurunkan testis. Efektivitas terapi hormonal ini masih
menjadi kontroversi. Sebuah sistematic review menunjukkan bahwa terapi
hormonal memiliki efektivitas yang sedikit lebih baik daripada plasebo,
sementara orkidopeksi memiliki efektivitas yang baik. Penggunaan terapi
hormonal hanya disarankan pada beberapa kasus dengan lokasi awal testis
yang rendah (Penson et al., 2013).
Riwayat kriptorkismus berhubungan dengan penurunan fertilitas di masa
depan. Namun, orkidopeksi pada usia yang lebih dini dapat meningkatkan
fertilitas. Karena itu, saat ini terjadi kecenderungan untuk segera melakukan
orkidopeksi pada usia yang lebih muda (Hanerhoff & Welliver, 2014). European
Association of Urology menyarankan pembedahan harus diselesaikan pada
usia 12 bulan atau terakhir 18 bulan (Tekgül et al., 2013), sementara American
Urological Association menyarankan pembedahan dilakukan dalam satu
tahun pada bayi yang tidak mengalami penurunan testis spontan hingga usia
6 bulan (dikoreksi dengan usia kehamilan) (Kolon et al., 2014).

12 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

UKURAN TESTIS
Tubulus seminiferus di testis seorang laki-laki yang baru lahir lebih
banyak berisi spermatogonium dan sel Sertoli. Beberapa sel Leydig hadir
pada saat lahir, tetapi pada usia enam bulan sel-sel ini hampir tidak terlihat
di testis. Pada awal kehidupan postnatal, ukuran testis akan meningkat secara
perlahan tetapi terus-menerus. Spermatogonium hanya mengalami proliferasi
mitosis dan berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ini. Berbeda dengan
saat pubertas, terjadi peningkatan yang bermakna pada ukuran testis karena
semua bagian testis berkontribusi untuk meningkatkan ukuran testis. Akibat
rangsangan gonadotropin, sel Sertoli aktif bermitosis (Plant et al., 2005).
Pembelahan ini akan berhenti saat sel germinal mengalami meiosis. Tubulus
seminiferus yang awalnya solid mengalami kanalisasi, sel Sertoli intratubular
meningkatkan aktivitas dan ukuran testis. Volume sebuah testis pada anak
usia satu tahun sekitar 0,7 ml, delapan tahun sekitar 0,8 ml, dan pada saat
pubertas sekitar 3,0 ml. Sedangkan volume testis dewasa adalah sekitar 16,5
ml, berarti terjadi peningkatan volume sekitar 24 kali lipat.

KADAR HORMON PREPUBERTAS


Pulse generator GnRH berkembang dan mulai berfungsi pada trimester
pertama kehidupan janin. Kadar gonadotropin pada janin cukup tinggi,
kadang mencapai kadar dewasa dan puncaknya pada pertengahan kehamilan.
Hormon-hormon ini menginduksi produksi testosteron oleh testis yang
sedang berkembang sehingga terjadi diferensiasi seks dari saluran reproduksi,
genitalia eksterna, dan otak. Kemudian pada kehamilan, tingginya tingkat
steroid yang dihasilkan oleh plasenta serta gonad menghambat hipotalamus
dan hipofisis dengan umpan balik negatif, mengurangi GnRH janin dan
konsentrasi gonadotropin.
Saat lahir, hilangnya umpan balik negatif testosteron mengaktifkan
kembali hipotalamus dan hipofisis. Dalam beberapa menit dari kelahiran,
kadar LH meningkat pada bayi laki-laki dan tetap tinggi sampai sekitar usia
enam bulan. Dengan demikian, testosteron juga meningkat. Tingginya kadar
hormon gonadotropin dan steroid gonad dalam beberapa bulan pertama
setelah kelahiran kadang-kadang disebut sebagai “pubertas mini bayi”. Kadar
testosteron ini tampak meningkat selama dua sampai empat bulan awal

BAB 2 MASA PRAPUBERTAS 13


Copyright @ Airlangga University Press

kehidupan seorang bayi; testosteron postnatal ini mungkin diperlukan untuk


perkembangan normal dari penis dan skrotum. Bayi laki-laki menunjukkan
puncak testosteron plasma postnatal dengan konsentrasi 2–3 ng/ml hingga 3
bulan pasca kelahiran, tetapi menurun sekitar 0,5 ng/ml dalam 3–4 bulan.

Gambar 2.2 Kadar beberapa hormon pada pria prapubertas


Kategori umur: A (n = 6), 1–7 hari; B (n = 5), 1 minggu–2 bulan; C (n = 6), 3–4 bulan;
D (n = 5), 5–11 bulan; E (n = 5), 1–2 tahun; F (n = 5), 3–4 tahun; G(n = 5), 5 tahun
hingga onset pubertas.
Tanda bintangmenandakan kemaknaan statistik dibandingkan dengan kategori
usia sebelumnya *, p < 0,05; **, p < 0,01; ***, p < 0,001 (Chada et al., 2003).

14 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Sebagaimana testosteron, kadar inhibin B meningkat dengan


kadar puncak pada usia sekitar 3–4 bulan. Terdapat korelasi positif yang
bermakna antara kadar inhibin B, gonadotropin, dan testosteron selama
dua tahun kehidupan. Setelah peningkatan ini, kadar inhibin B menurun
secara bermakna dan tetap rendah hingga pubertas (Chada et al., 2003).
Selain memproduksi inhibin B, selama masa prapubertas sel Sertoli terus
memproduksi anti-Müllerian hormone (AMH) dan saat pubertas kadar AMH
akan menurun secara drastis.
Setelah kenaikan awal sekresi hormon reproduksi, kadar FSH dan LH
menurun dan tetap rendah selama masa kanak-kanak yang disebut juga
“juvenile pause”. Kadar hormon ini tidak cukup tinggi untuk memulai fungsi
gonad pada anak-anak.
Hormon lain menunjukkan peningkatan kadar darah saat prapubertas
laki-laki. Growth hormone (GH) disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior
dalam jumlah yang lebih besar mendekati pubertas dan bertanggung jawab
bersama dengan androgen untuk pertumbuhan tulang panjang dan jaringan
lainnya. GH juga memiliki efek besar pada sintesis protein dan peningkatan
kadar gula darah. Anak-anak dengan kekurangan GH menunjukkan
tertundanya kematangan seks serta perawakan pendek. Peningkatan sekresi
hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan metabolisme pada kedua
jenis kelamin. Hormon tiroid juga penting untuk pertumbuhan fisik (Jones
& Lopez, 2014; Johnson, 2013).

REFERENSI
Chada, M., R. Prusa, J., Bronsky, K., Kotaska, K., Sidlova, M., Pechova & Lisa,
L. 2003. Inhibin B, Follicle Stimulating Hormone, Luteinizing Hormone
and Testosterone during Childhood and Puberty in Males: Changes in
Serum Concentrations in Relation to Age and Stage of Puberty. Physiol.
Res, 52:45–51.
Hanerhoff, B. L. & Welliver, C. 2014. Does early orchidopexy improve fertility?
Translational Andrology and Urology, 3(4):370-376.
Johnson, M.H. 2013. Sexual maturation. Dalam Essential Reproduction. 7th: 51-
68. Disunting oleh M. H. Johnson. Cambridge: Blackwell Publishing.
Jones, R.E. & Lopez, K.H. 2014. Puberty. Dalam Human Reproductive Biology. 4th:
103-118. Disunting oleh R. E. Jones & K. H. Lopez. Colorado: Academic
Press.

BAB 2 MASA PRAPUBERTAS 15


Copyright @ Airlangga University Press

Kolon, T.F., Herndon, C.D., Baker, L.A., Baxter, C.G., Cheng, E.Y., Diaz, M.,
Lee, P., Seashore, C.J, Tasian, G.E. & Barthold, J.S. 2014. Evaluation and
treatment of cryptorchidism: AUA guideline. J Urol, 192:337–45.
Lee, P. A., O’Leary, L.A., Songer, N.J., Coughlin, M.T., Bellinger, M.F. & Laporte,
R.E. 1996. Paternity after unilateral cryptorchidism: a controlled study.
Pediatrics, 98: 676–9.
Lee, P. A., O’Leary, L.A., Songer, N.J., Coughlin, M.T., Bellinger, M.F. & Laporte,
R.E. 1997. Paternity after bilateral cryptorchidism: a controlled study.
Arch Pediatr Adolesc Med, 151:260–263.
Penson, D., Krishnaswami, S., Jules, A. & McPheeters, M. L. 2013. Effectiveness
of Hormonal and Surgical Therapies for Cryptorchidism: A Systematic
Review. PEDIATRICS, 131(June):e1897-e1907.
Plant, T.M., Ramaswamy, S., Simorangkir, D. & Marshall, G.R., 2005. Postnatal
and pubertal development of the rhesus monkey (Macaca mulatta) testis.
Ann NY Acad Sci, 1061:149–162.
Tekgül, S., Riedmiller, H. & Dogan, H.S. 2013. Guidelines on Paediatric Urology.
European Association of Urology. s.l.:s.n.

16 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 3 MASA PUBERTAS

PENDAHULUAN
Kata pubertas berasal dari “pubes” kata Latin yang berarti “rambut”.
Pubertas adalah keadaan transisi yang mencakup semua perubahan fisiologis,
morfologis, dan perilaku yang terjadi pada individu dari yang tidak subur
berkembang menjadi subur (dewasa). Secara morfologis, proses ini termasuk
perubahan internal dan eksternal ciri-ciri seks primer dan sekunder. Bila
pada perempuan menarche menjadi sebuah tanda yang jelas dari terjadinya
pubertas, sedangkan tanda tahap yang sama pada anak laki-laki adalah
ejakulasi pertama, yang sering terjadi nokturnal yang dikenal sebagai “mimpi
basah”.

ONSET PUBERTAS
Manusia mengalami pubertas jauh setelah kelahirannya. Sebagian besar
perempuan menjadi subur antara 12–14 tahun, pada spesies non-primata
pubertas terjadi jauh lebih awal, antara lain 6–7 bulan di domba betina, 12
bulan pada sapi, 7 bulan di babi, dan 30–35 hari pada tikus.
National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) di
Amerika melaporkan rata-rata usia 10,1 tahun bagi anak laki-laki kaukasian
memasuki G2 (Tinggaard et al., 2012). Pada anak laki-laki di Turki, G2 terjadi
pada usia rata-rata 11,76 + 1,28 tahun dan G5 pada usia 13,87 + 0,83 tahun
(Semiz et al., 2008). Sementara studi di Thailand menunjukkan G2 terjadi
pada usia rata-rata 11,3 + 1,3 tahun dan G5 terjadi pada usia 14,5 ± 0,9 tahun
(Kiatsopita, et al., 2015 ). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pubertas
laki-laki tidak dimulai pada usia kronologis ataupun memerlukan jangka
waktu yang sama untuk mencapai penyelesaiannya.

17
Copyright @ Airlangga University Press

Meskipun dimulai dan membutuhkan rentang waktu yang berbeda,


urutan perubahan pada pubertas tidak banyak bervariasi. Beberapa tahun
sebelum tanda-tanda yang jelas dari pematangan seksual, serangkaian
perubahan lain di sebagian besar organ dan struktur tubuh dimulai 2–4 tahun
sebelum terjadinya ejakulasi pertama. Perubahan ini tergantung dan diatur
oleh peningkatan kadar steroid seks dari gonad (gonadarche).

Gambar 3.1 Rangkaian peristiwa selama pubertas laki-laki (Tanner, 1962)

18 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 3.2 Umur onset pubertas pada beberapa negara dengan marker klinis
yang berbeda-beda. Rerata umur mencapai stadium 2 genital atau volume testis
minimal 4 ml (bola merah) dan rerata umur mencapai stadium 2 rambut pubis
(bola abu) pada anak laki-laki kaukasian. Ukuran bola menunjukkan jumlah
partisipan, misalnya Swedia (SWE) 166 anak dan Islandia (ISL) 2.751 anak. Hanya
studi cross-sectional dengan jumlah partisipan lebih dari 100 anak. *Volume testis
minimal 3 ml (Tingaard et al., 2012)

MEKANISME PEMICU PUBERTAS


Selama masa kanak-kanak pematangan seksual mengalami penekanan.
Lepasnya penekanan ini menyebakan terpicunya pubertas. Terdapat dua teori
mengenai proses penekanan dan pemicu timbulnya pubertas, yang pertama
melibatkan perubahan pada “gonadostat” otak dan yang kedua adalah “central
drive hypothesis”.
Pada teori gonadostat, androgen mengerahkan umpan balik negatif
pada produksi GnRH dari hipotalamus anak, mengakibatkan sangat
rendahnya kadar GnRH. Akibatnya FSH dan LH ikut menjadi rendah. Telah
dihipotesiskan bahwa hipotalamus anak adalah 6–15 kali lebih sensitif
terhadap umpan balik negatif steroid daripada orang dewasa. Oleh karena
itu, walaupun kadar androgen rendah pada anak-anak, tetapi kadar tersebut

BAB 3 MASA PUBERTAS 19


Copyright @ Airlangga University Press

cukup efektif menghambat sekresi GnRH dan gonadotropin. Pubertas


dimulai akibat sensitivitas hipotalamus terhadap umpan balik negatif steroid
berkurang. Artinya, set point untuk umpan balik negatif meningkat sehingga
diperlukan konsentrasi hormon steroid yang lebih tinggi dalam darah untuk
menurunkan sekresi gonadotropin dari kelenjar hipofisis anterior. Jadi,
meskipun terjadi peningkatan sirkulasi steroid karena meningkatnya sekresi
gonadotropin, kadar steroid ini tidak cukup tinggi untuk memblokir kenaikan
lebih lanjut sekresi gonadotropin. Namun, terdapat kelemahan pada teori ini,
anak yang lahir tanpa gonad (kurang steroid untuk umpan balik negatif)
ternyata tetap memiliki kadar gonadotropin yang sangat rendah selama masa
kanak-kanak dan sekresi GnRH tetap terjadi pada usia normal pubertas.
Bukti yang semakin berkembang menunjukkan bahwa perubahan kritis
yang memicu onset pubertas adalah lepasnya inhibisi pusat terhadap pulse
generator GnRH. Menurut hipotesis ini, pulse generator GnRH secara aktif
dihambat oleh daerah lain dari otak selama masa kanak-kanak. Penghambatan
ini dihilangkan pada masa pubertas, memungkinkan hipotalamus untuk
menghasilkan GnRH dalam pola dewasa. Selain hambatan, tidak adanya
stimulasi terhadap neuron GnRH juga bisa menjadi dasar dari belum
terjadinya pubertas. Teori ini dikenal sebagai “central drive hypothesis”. Teori
ini didukung oleh fakta lesi atau tumor dari daerah otak tertentu pada tikus
betina menyebabkan pubertas dini, yang menunjukkan bahwa daerah-daerah
otak tertentu biasanya menghambat sekresi GnRH sampai pubertas. Neuron
yang mensekresi GABA dan neuropeptide Y diduga berperan untuk menekan
sekresi GnRH selama masa kanak-kanak. Dengan demikian, perubahan
di otak dapat melepaskan penghambatan pulse generator GnRH pada awal
pubertas. Tapi apa yang mengontrol waktu pubertas masih merupakan
misteri. Aspek-aspek tertentu dari lingkungan dapat memengaruhi waktu
dimulainya pubertas.
Kisspeptin dan GPR54 merupakan bagian penting dari jalur
mengendalikan sekresi GnRH. GPR54 adalah reseptor Kisspeptin yang
merupakan produk dari KISS1R. Kasus tertunda atau tidak terjadinya pubertas
telah dikaitkan dengan lesi genetik yang menonaktifkan KISSPEPTIN 1
(KISS1) atau pada gen KISS1R (Seminara, 2003; De Roux, 2003). Selain itu,
mutasi baik KISS1 atau KISS1R yang mengaktifkan keduanya, telah ditemukan
pada anak-anak dengan pubertas prekoks (Silveira, 2010; Teles, 2008).

20 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Di dalam hipotalamus, terdapat dua populasi neuron penghasil


kisspeptin. Populasi yang lebih besar terletak di nukleus arcuatus (ARC),
mengekspresikan ERα, neurokinin B, dan dynorfin A. Neuron ini diistilahkan
dengan neuron KNDγ karena mengekspresikan kisspeptin, neurokinin, dan
dynorfin pada tikus dan domba. Populasi kedua tidak mengekspresikan
neurokinin dan dynorfin, ditemukan pada nukleus anteroventral
periventrikular (AVPV) dan meluas sepanjang ventrikel ketiga hingga ke
nukleus periventrikular (PVN). Kedua populasi neuron kisspeptin bersinapsis
ke neuron GnRH, tetapi neuron di ARC juga bersinapsis secara ekstensif di
dalam ARC (Burke et al., 2006).

PERUBAHAN FISIK SELAMA PUBERTAS


Pada masa remaja, terjadi percepatan pertumbuhan (growth spurt) yang
diikuti oleh perlambatan di sebagian besar dimensi tulang. Peristiwa ini
dapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) waktu kecepatan pertumbuhan minimum
(minimum growth velocity/MGV); (2) puncak kecepatan tinggi (peak
height velocity/PHV); dan (3) waktu kecepatan pertumbuhan menurun dan
berhentinya pertumbuhan pada fusi epifisis. Anak laki-laki mulai percepatan
pertumbuhan mereka sekitar 2 tahun lebih lambat dibandingkan rata-rata
anak perempuan. Karena itu, mereka lebih tinggi pada usia MGV dan saat
mencapai PHV mereka nanti. Pada G2 dan G3, kadar testosteron pagi antara
2,4–4,2 nmol/l berhubungan dengan 50% peningkatan kecepatan pertumbuhan
dari pertumbuhan prapubertas menuju PHV (Albin & Norjavaara, 2013).
Hampir setiap dimensi otot dan rangka terlibat dalam percepatan
pertumbuhan remaja laki-laki dan perempuan. Namun, terjadi perbedaan
perkembangan regional pada kedua jenis kelamin sehingga meningkatkan
dimorfisme seksual pada orang dewasa, misalnya di bahu (yang lebih
besar pada anak laki-laki) dan pinggul (lebih besar pada anak perempuan).
Fase pertumbuhan dinamis ini tergantung pada steroid seks dan hormon
pertumbuhan.
Sebagaimana pertumbuhan, perubahan yang cukup besar dalam
komposisi tubuh terjadi selama masa pubertas. Lean body mass dan lemak
tubuh prapubertas hampir identik pada kedua jenis kelamin, tetapi laki-laki
dewasa memiliki sekitar 1,5 kali lean body mass dibandingkan perempuan,
sementara perempuan memiliki dua kali lebih banyak lemak tubuh

BAB 3 MASA PUBERTAS 21


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 3.3 Kurva kecepatan tumbuh laki-laki dan perempuan (Tanner, 1962)

dibandingkan laki-laki. Selain itu, massa tulang laki-laki adalah 1,5 kali dari
perempuan. Perubahan massa tubuh ini dimulai sekitar usia 6 tahun pada
perempuan dan 9 tahun pada laki-laki dan menampilkan perubahan awal
komposisi tubuh saat pubertas. Kekuatan rata-rata laki-laki yang lebih besar
dibanding dengan perempuan mencerminkan jumlah sel-sel otot yang lebih
banyak karena efek anabolik androgen.

22 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Tabel 3.1 Komposisi tubuh perempuan 18 tahun dan laki-laki 15


tahun dengan tinggi dan berat yang sama
Variabel Perempuan Pria
Tinggi (cm) 165,0 165,0
Total cairan tubuh (l) 29,5 36,0
Lean body weight (kg) 41,0 50,0
Lemak (kg) 16,0 7,0
Lemak/berat tubuh (%) 28,0 12,0
Total cairan tubuh/berat (%) 51,8 63,0
(Jones & Lopez, 2014)

PERKEMBANGAN CIRI SEKS PRIMER


Testis tumbuh sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan perkembangan
masa prapubertas. Demikian pula skrotum dan penis laki-laki puber tumbuh
secara bermakna. Frekuensi ereksi spontan, yang terjadi pada bayi dan bahkan
pada janin laki-laki, meningkat selama masa pubertas. Ereksi ini dapat
dianggap mengganggu bagi individu atau orang tuanya. Frekuensi baik ereksi
spontan dan emisi nokturnal cenderung menurun setelah pubertas. Mimpi
basah dimulai pada laki-laki puber. Emisi ini cenderung terjadi pada saat
tidur atau tepat setelah bangun. Ejakulasi awal laki-laki puber (selama emisi
nokturnal, masturbasi, atau koitus) relatif masih bebas spermatozoa, tetapi
selalu ada kemungkinan terdapat beberapa spermatozoa subur di dalamnya.
Ejakulasi pertama ini tidak menandakan kesuburan karena ejakulat terdiri
dari sejumlah kecil seminal plasma dan spermatozoa. Peristiwa dramatis ini
adalah tanda bahwa testis telah “terbangun” dan sedang memulai memangku
aktivitas testis dewasa.

PERUBAHAN CIRI SEKS SEKUNDER


Terjadi perkembangan ciri sekunder pada masa pubertas, misalnya pubis,
pertumbuhan janggut, dan perubahan suara. Rambut pubis berkembang,
rambut juga muncul di ketiak, wajah, dada, dan ekstremitas. Kelenjar keringat
berkembang di ketiak dan dapat menghasilkan bau karena adanya bakteri
dalam sekresinya yang berminyak. Kelenjar sebasea menjadi aktif pada
kulit skrotum, wajah, punggung, dan dada; jerawat muncul pada beberapa

BAB 3 MASA PUBERTAS 23


Copyright @ Airlangga University Press

individu. Pada laki-laki puber, puting menjadi berpigmen dan areola gelap
dan melebar (Johnson, 2013).
Pita suara dalam laring dua kali lipat lebih panjang pada laki-laki
pubertas sehingga menurunkan nada suara. Dalam dunia musik, Cooksey
mendefinisikan enam pola perkembangan suara pada pubertas (C staging)
berdasarkan rentang nada menyanyi dan tessitura (rentang nada tengah yang
paling nyaman untuk bernyanyi) (Cooksey et al., 1984).

Gambar 3.4 Hubungan perubahan frekuensi fundamental bicara dan menyanyi dengan
tahap perkembangan Tanner dan Cooksey. G dan C merujuk pada Tanner dan Cooksey
(Harries et al., 1997)

Harries et al. (1997) menemukan perubahan karakteristik suara yang


mendadak di antara tahap Tanner G3 dan G4. Perubahan ini terjadi secara
gradual pada tahap C3 hingga C5 dengan menggunakan C staging. Mereka
menyimpulkan terdapat korelasi antara perubahan suara dan volume testis.

24 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 3.5 Hubungan antara frekuensi menyanyi fundamental dan volume testis


(Harries et al., 1997)

PERUBAHAN HORMONAL MASA PUBERTAS


Perubahan endokrin yang terdeteksi awal sehubungan dengan pubertas
adalah peningkatan progresif konsentrasi androgen adrenal di dalam plasma,
terutama dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat
(DHEAS). Kenaikan ini disebut adrenarche dan terjadi pada usia 8–15 tahun.
Kepentingan adrenarche pada pubertas tidak jelas. Kondisi ini tampaknya tidak
menjadi penting untuk kejadian pubertas, tapi mungkin menjadi penanda
berakhirnya periode pertumbuhan otak yang cepat.
Pubertas melibatkan peningkatan pelepasan GnRH, gonadotropin, dan
steroid seks dari hipotalamus, hipofisis, dan gonad. Peristiwa paling penting
dalam inisiasi pubertas adalah aktivasi hipotalamus untuk mensekresi GnRH,
melewati sistem portal ke hipofisis dan bekerja pada reseptor GnRH agar
hipofisis melepaskan gonadotropin yang kemudian merangsang gonad.
Selama tahap kanak-kanak sekresi gonadotropin dan kadarnya di
dalam darah sangat rendah. Pada periode G1 (akhir prapubertas) dan G2
(awal pubertas) terjadi peningkatan kadar FSH dan LH. Kadar FSH menjadi
landai pada G4 dan sedikit penurunan pada G5 (Andersson,et al., 1997;
Chada et al., 2003; Radicioni et al., 2005). Hal ini dapat terjadi karena selama
G1 dan G2, inhibin-B yang diproduksi oleh sel Sertoli dan memiliki peran

BAB 3 MASA PUBERTAS 25


Copyright @ Airlangga University Press

autokrin dan parakrin dalam pertambahan dan diferensiasi sel Sertoli,


Leydig, dan spermatogonia. Pada tahap selanjutnya, inhibin B diproduksi
oleh sel germinal bersama sel Sertoli dan bertindak secara endokrin sebagai
umpan balik terhadap FSH (Radicioni et al., 2005). Meskipun terdapat peran
sel germinal dan sel Leydig dalam produksi inhibin-B, tetapi kemaknaannya
masih kontroversial dan sel Sertoli harus tetap dianggap sebagai sumber
utama inhibin-B (Meachem et al., 2001).
LH menstimulasi sel Leydig untuk memproduksi testosteron sehingga
peningkatan kadar LH selama pubertas akan diikuti oleh peningkatan
kadar testosteron. Peningkatan ini terjadi pada setiap tahap pubertas hingga
dewasa.

Gambar 3.6 Kadar FSH, LH, testosteron, inhibin B, dan volume testis terhadap
perkembangan pubertas pada 100 subjek normal (Radicioni et al., 2005).

Perlu diingat bahwa terjadi variasi kadar hormon dalam satu hari.
Awalnya sekresi hormon gonadotropin terjadi pada malam hari saat tidur.
Pada akhir pubertas, denyut LH siang juga meningkat, tetapi kurang dari
denyut yang terjadi di malam hari, sampai akhirnya pola dewasa dengan
kadar basal yang lebih tinggi dicapai tanpa variasi denyut sepanjang hari.
Testosteron disekresikan dengan pola diurnal pada anak laki-laki baik
prapubertas maupun pubertas. Kadar terendah diperoleh pada sore hari dan
kadar tertinggi ditemukan pada pagi hari sekitar jam 6 pagi (Ankarberg-
Lindgren & Norjavaara, 2004). Kadar estradiol baru menunjukan pola diurnal

26 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

pada pertengahan pubertas dengan kadar puncak pada jam 6 pagi (Ankarberg-
Lindgren & Norjavaara, 2008).

Gambar 3.7 Kadar rata-rata hormon harian dari 12 anak laki-laki sehat sepanjang
pubertas. Pada penelitian ini tahap pubertas dibagi menjadi prapubertas 1 (volume
testis 1 atau 2 cc), prapubertas 2 (volume testis 3 cc), pubertas awal (volume testis
4–9 cc), Mid-pubertas (volume testis 10–15 cc), dan pubertas akhir volume testis > 16
cc) (Albertsson-wikland et al., 1997)

PERUBAHAN PERILAKU
Remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis, anatomi,
dan transformasi psikologis yang luar biasa selama proses pubertas. Tubuh
mereka berubah dengan cepat dan dengan demikian citra tubuh mereka
(bagaimana mereka memandang tubuh mereka terutama dalam hubungan
terhadap tubuh teman-temannya) juga berubah. Semua penyimpangan
tubuhnya dari apa yang mereka atau temannya anggap normal dapat
menyebabkan rendah diri. Seseorang yang mengalami pubertas lebih dini
atau terlambat dibandingkan teman-temannya dapat mengalami masalah
psikologis. Seorang laki-laki dapat khawatir dengan ukuran penis atau
fisiknya jika tidak dalam kriteria normal.
Selain itu, pertumbuhan otak turut terjadi pada masa ini. Peningkatan
substantia grisea di beberapa daerah otak, diikuti oleh kematian sel neuron.

BAB 3 MASA PUBERTAS 27


Copyright @ Airlangga University Press

Remodeling otak ini terutama jelas pada lobus frontal, yakni daerah otak
yang terlibat dalam mengatur emosi dan perencanaan atau tindakan
pengorganisasian serta menghambat perilaku impulsif.
Masa pubertas terjadi bersamaan dengan masa remaja, periode menuju
dewasa, ketika banyak pembelajaran sosial berlangsung. Panjang periode
ini ditentukan secara sosial maupun biologis. Selama masa remaja, mereka
harus belajar mencapai tingkat ekonomi dan emosional dewasa, dalam rangka
pemisahan dari keluarga (menjadi mandiri), mengembangkan tujuan kerja
yang realistis, dan “berdamai” dengan seksualitas yang muncul. Sehubungan
dengan seksualitas, mereka harus menerima fantasi seksual, ambivalensi
tentang hubungan seksual, yaitu kekhawatiran tentang kecukupan seksual,
kebingungan tentang cinta, dan kekhawatiran tentang penyakit menular
seksual. Selain itu, mereka harus mencapai penyesuaian tersebut dalam
masyarakat yang mengharapkan perilaku orang dewasa dari mereka tetapi
sering tidak memperlakukan mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian,
masa ini adalah pengesahan untuk pemahaman dan fleksibilitas manusia
yang kebanyakan remaja menjadi dewasa, yakni anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan.
Semua perubahan ini dapat membuat remaja mengalami masa
kekacauan perilaku. Sebagai contoh, remaja dapat terlibat dalam perilaku
lebih berisiko, berkonflik dengan orang tua mereka, dan lebih rentan pada
tekanan dari sesama. Beberapa masalah kesehatan mental seperti depresi,
konflik, perubahan suasana hati, dan niat bunuh diri meningkat. Sejauh mana
remaja menjadi dan tetap bermasalah bervariasi, tergantung dengan budaya
dan keadaan individu.

KLASIFIKASI TAHAP PUBERTAS


Perubahan selama masa pubertas berguna bagi dokter untuk dapat
mengkaji remaja dan menentukan tahapan pubertas yang dialami seseorang.
Untuk tujuan ini, beberapa karakteristik anatomi yang berubah dalam
berbagai tahapan telah diklasifikasikan ke dalam lima tahap sebagaimana
dikemukakan oleh Tanner. Perubahan ini mencakup pertumbuhan dan
perkembangan pubis dan genital (penis, skrotum, serta testis) pada laki-laki,
serta pubis dan payudara pada perempuan.

28 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Tabel 3.2 Tahap Tanner pada laki-laki versi awal


Genital
Tahap Pubis
Penis Skrotum (testis)
1 Kanak-kanak (tidak ada) Kanak-kanak Kanak-kanak

2 Hanya sedikit, panjang, - Skrotum dan testis


sedikit berpigmen, lurus membesar, tekstur
atau sedikit keriting tumbuh skrotum berubah,
hanya di pangkal penis nampak kemerahan
pada kulit putih
3 Lebih gelap, mulai Memanjang Lebih besar
mengeriting, mulai tumbuh
melewati simfisis pubis
4 Menyerupai tipe dewasa Membesar Semakin besar, kulit
(kasar dan kering), tetapi skrotum menjadi
dalam jumlah yang kurang. gelap
5 Distribusi dewasa; menyebar Dewasa Dewasa
ke permukaan medial paha.
(Marshall & Tanner, 1970)

Gambar 3.8 Tahap perkembangan genital laki-laki menurut Tanner


(Jones & Lopez, 2014)

Metode Tanner telah digunakan untuk tahap pubertas sejak 1969


(Marshall & Tanner, 1970). Namun, metode Tanner memiliki keterbatasan
karena metode ini bergantung pada pengamatan hanya sejumlah kecil dari
karakteristik seksual sekunder. Salah satunya adalah perkembangan payudara
pada perempuan. Pada obesitas, pengamatan payudara tanpa palpasi, mungkin
tidak akurat. Selain itu, tahap Tanner pada awalnya hanya berdasarkan
perkembangan anak kulit putih. Lebih baik untuk menyertakan ras dan etnis

BAB 3 MASA PUBERTAS 29


Copyright @ Airlangga University Press

lainnya dalam metode identifikasi pubertas. Dengan perkembangan ilmu


kedokteran, tahap Tanner kemudian mengalami beberapa modifikasi dalam
penilaiannya.

Tabel 3.3 Tahap Tanner pada laki-laki


Genital
Tahap Pubis
Penis Testis
T1: Prapubertas P1: Tidak ada G1: Prapubertas < 3 cc
akhir
T2: Pubertas awal P2: Hanya sedikit, G2: Sedikit 3 cc
panjang, sedikit membesar
berpigmen
T3: Mid pubertas P3: Lebih gelap, mulai G3: Penis semakin 4–9 cc
awal mengeriting memanjang
T4: Mid pubertas P4: Menyerupai tipe G4: Lebih besar; 10–15 cc
lanjutan dewasa (kasar luas glans
dan kering), tetapi meningkat
dalam jumlah
yang kurang.
T5: Pubertas akhir/ P5: Distribusi dewasa; G5: Dewasa > 15 cc
dewasa menyebar ke
permukaan medial
paha.
(diadaptasi dari berbagai sumber)

KECENDERUNGAN MENURUNNYA ONSET PUBERTAS


Usia menarche pada perempuan umumnya menunjukkan penurunan
yang stabil dengan laju sekitar tiga bulan per dekade selama 150 tahun
terakhir. Namun tingkat penurunan ini sekarang tampaknya melambat. Data
Eropa menunjukkan bahwa perempuan pada pertengahan abad kesembilan
belas memasuki menarche pada usia 16–17 tahun dibanding dengan saat ini
sekitar usia 13 tahun. Di Amerika Serikat, rata-rata usia menarche adalah 14,2
tahun pada tahun 1900, tetapi saat ini diperkirakan 12,7 tahun. Saat ini, pada
beberapa gadis, timbulnya perkembangan payudara terjadi sejak usia delapan
tahun; sebelumnya, perkembangan seksual pada usia ini dianggap pubertas

30 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

prekoks. Rata-rata usia perkembangan pubertas pada anak perempuan kulit


putih di Amerika Serikat dimulai sebelum usia 10 tahun dan pada anak
perempuan kulit hitam sebelum usia sembilan tahun. Fenomena ini sering
disebut sebagai “kecenderungan sekuler” onset pubertas.
Studi onset pubertas anak laki-laki jauh lebih sedikit daripada
perempuan. Oleh karena itu, kecenderungan sekuler onset pubertas anak
laki-laki kurang dipelajari dan belum dapat dipastikan. Di Belanda, dalam
sebuah penelitian tentang pematangan pubertas antara tahun 1965 dan 1997,
tidak ditemukan adanya kecenderungan sekuler setelah tahun 1980. Volume
testis 4 ml dicapai pada usia 11,5 tahun (Mul et al., 2001). Di Athena, tidak
ditemukan perubahan yang signifikan dalam usia pencapaian G2 antara
tahun 1996 dan 2007–2009, yaitu 11,4 dan 11,3 tahun (Papadimitriou et al.,
2011). Sementara pada tahun 2012, data dari jaringan Pediatric Research in
Office Setting menyatakan bahwa pertumbuhan testis dan perkembangan
rambut kemaluan adalah 6 bulan sampai 2 tahun lebih awal dari pada masa
sebelumnya (Herman-Giddens et al., 2012). Studi dari Kopenhagen, Denmark
menunjukkan penurunan onset pubertas sebesar 3 bulan antara periode tahun
1991–1993 dan 2006–2008, yaitu dari 11,92 menjadi 11,66 tahun (Sørensen et
al., 2010).

FAKTOR-FAKTOR LAIN YANG MEMENGARUHI PUBERTAS


Faktor lingkungan yang memengaruhi fisiologi anak juga dapat
memengaruhi waktu pematangan seks dan pubertas. Dari sekian banyak
faktor yang mungkin, nutrisi, panjang hari, stres, iklim, dan interaksi sosial
telah diteliti. Namun, sangat sulit untuk memisahkan efek satu faktor
lingkungan dari faktor-faktor lainnya. Sebagian besar pembahasan yang
disajikan pada bahasan berikut ini lebih banyak dari sumber perempuan
sebab sumber laki-laki belum terlalu banyak.

1. Makanan
Apa yang bertanggung jawab untuk penurunan usia pubertas? Beberapa
bukti menunjukkan bahwa peningkatan gizi dan kesehatan di masa kecil
merupakan salah satu faktor. Perempuan di negara-negara dengan gizi yang
lebih buruk cenderung memperlihatkan pubertas relatif tertunda. Bahkan,
kelaparan akut mencegah pubertas. Rendahnya nutrisi di daerah pedesaan

BAB 3 MASA PUBERTAS 31


Copyright @ Airlangga University Press

dibandingkan dengan daerah perkotaan, di kelas sosial yang lebih rendah,


dan dalam keluarga yang lebih besar dapat menjelaskan usia lanjut di pubertas
terlihat dalam kelompok ini.
Hal ini juga diketahui bahwa gadis-gadis remaja dengan anoreksia
nervosa, yakni gangguan asupan makanan yang sangat kurang, mencapai
pubertas pada usia yang relatif terlambat, seperti yang ditemukan pada atlet
perempuan yang ramping dan penari balet.
Bagaimana nutrisi memengaruhi mekanisme untuk mengatur awal
pematangan seksual? Salah satu dugaan adalah bahwa sejumlah lemak
diperlukan dalam tubuh perempuan sebelum menarche dapat terjadi. Diduga
bahwa perempuan harus berada pada berat badan kritis sekitar 45 kg (104
lb) dan 11 kg (24 lb) harus merupakan lemak (17%) sebelum pematangan
seks dapat dimulai. Meskipun terdapat banyak kontroversi tentang hipotesis
ini, tetapi jelas bahwa status gizi yang memadai diperlukan untuk inisiasi
pubertas sehingga memiliki terlalu sedikit lemak dapat menunda menarche.
Mungkin, melalui seleksi alam, perempuan terlibat dalam mekanisme untuk
memastikan bahwa mereka telah memiliki cukup energi yang tersimpan
untuk melahirkan dengan sukses.
Gadis gemuk cenderung mencapai pubertas pada usia lebih awal dari
gadis-gadis lain, dan epidemi obesitas telah dikutip sebagai kemungkinan
penyebab pubertas dini pada anak perempuan (tapi tidak di anak laki-
laki). Jika berat badan kritis atau massa lemak penting yang diperlukan
untuk memasuki pubertas, bagaimana alur sinyal metabolisme dari sistem
reproduksi untuk melanjutkan perkembangan pubertas?
Satu sinyal yang diusulkan adalah protein yang disebut leptin, yang
diproduksi oleh sel adiposa. Kadar leptin meningkat untuk menekan nafsu
makan melalui umpan balik negatif ke hipotalamus. Tikus yang kekurangan
gen untuk leptin makan dengan lahap dan mengalami obesitas. Tikus-tikus
ini juga infertil, tetapi jika leptin diberikan, kesuburan mereka dipulihkan.
Manusia yang kekurangan kemampuan untuk menghasilkan leptin
atau reseptornya dapat gagal untuk memasuki pubertas. Sebaliknya, anak-
anak kelebihan berat badan, yang memiliki kadar leptin lebih tinggi daripada
anak-anak dari berat rata-rata, cenderung memasuki pubertas lebih awal dari
rekan-rekan mereka yang ramping. Hal ini terutama berlaku untuk anak
perempuan yang kelebihan berat badan. Dengan demikian, kadar ambang

32 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

leptin mungkin diperlukan untuk inisiasi pubertas. Hal ini mungkin


membantu menjelaskan mengapa perempuan penderita gizi buruk seperti
penderita anoreksia nervosa, yang memiliki kadar leptin yang sangat rendah,
sering tertunda pubertasnya. Terdapat laporan kasus laki-laki dewasa (22
tahun) dengan mutasi LEP mengalami hipogonadisme dan tidak timbulnya
ciri seks sekunder (Strobel et al., 1998). Pada anak laki-laki dan perempuan,
tingkat sirkulasi leptin meningkat sebelum masa pubertas. Karena protein
pengikat leptin berkurang dalam darah selama akhir masa kanak-kanak,
bioavailabilitas leptin dapat meningkat secara dramatis. Reseptor leptin
ditemukan di hipotalamus dan hipofisis serta sel gonad, dan penelitian
menunjukkan bahwa leptin meningkatkan laju pulse GnRH. Pada orang
dewasa, kadar leptin lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-
laki, dan perbedaan ini tetap terjadi sampai usia tua.
Individu dengan kelebihan berat badan memiliki tingkat sirkulasi leptin
yang sangat tinggi, tetapi peningkatan ini tidak menghasilkan pengurangan
asupan kalori atau meningkatkan metabolisme. Ada kemungkinan bahwa
individu obesitas mengalami resistansi leptin.
Lebih banyak pekerjaan akan dibutuhkan untuk menemukan bagaimana
molekul ini memengaruhi interaksi antara berat badan, lemak tubuh, dan
status reproduksi. Meskipun leptin mungkin memiliki efek permisif pada
perkembangan pubertas, kadar leptin yang tinggi tidak cukup untuk memulai
pubertas prekoks. Faktor metabolik lain yang terkait dengan status gizi dan/
atau obesitas dapat memengaruhi waktu pubertas. Misalnya, resistansi
insulin dan peningkatan sekresi insulin adalah komponen fisiologis
normal pubertas. Pada anak perempuan yang kelebihan berat badan atau
obesitas, menyebabkan peningkatan sekresi insulin secara berlebihan, dan
peningkatan respons insulin dapat menyebabkan pubertas terjadi lebih
dini. Salah satu mekanismenya mungkin melalui kadar estrogen yang lebih
tinggi. Menanggapi peningkatan kadar insulin di sirkulasi, kelenjar adrenal
meningkatkan sintesis androgen. Androgen dikonversi ke estrogen oleh
aromatase, enzim yang diproduksi oleh jaringan adiposa. Dengan demikian,
anak perempuan gemuk menghasilkan lebih banyak estrogen daripada rekan-
rekan mereka yang ramping, dan kenaikan estrogen prapubertas ini dapat
merangsang pertumbuhan awal jaringan payudara.

BAB 3 MASA PUBERTAS 33


Copyright @ Airlangga University Press

2. Panjang Hari dan Musim


Kegelapan dapat meningkatkan sintesis dan sekresi kelenjar pineal,
misalnya melatonin dan zat-zat ini dapat menghambat fungsi reproduksi
pada hewan dengan siklus reproduksi musiman. Cahaya memiliki efek
sebaliknya. Dengan adanya lampu (pencahayaan buatan), manusia memiliki
peningkatan panjang hari buatan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini
diduga bertanggung jawab sebagian atas penurunan usia pubertas saat
ini. Pada anak-anak yang memiliki lesi kelenjar pineal yang menyebabkan
tidak berfungsinya kelenjar pineal akan mengalami pubertas prekoks.
Sebaliknya, sekitar sepertiga dari anak-anak dengan tumor pineal sekretori
memperlihatkan pubertas tertunda. Namun, anak-anak buta dengan persepsi
cahaya terbatas tetap mencapai pubertas pada usia lebih dini daripada anak-
anak dengan penglihatan normal, dan perempuan tanpa persepsi cahaya
mengalami menarche paling awal. Anak tuna rungu juga cenderung mencapai
pubertas dini; dengan demikian, kekurangan sensorik pada umumnya dapat
mempercepat kematangan seks.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa perempuan lebih cepat mencapai
menarche pada waktu tertentu dalam satu tahun; waktu ini bervariasi
antarwilayah geografis. Pengaruh panjang hari terhadap musiman pubertas
ini belum diketahui.

3. Stres
Pada hewan laboratorium, berbagai jenis stres lingkungan (emosional
atau fisik) dapat menunda kematangan seksual. Setiap jenis stressor jangka
panjang menghasilkan satu perangkat respons stres fisiologis yang oleh Hans
Selye disebut sebagai “sindrom adaptasi umum”.
Meskipun sindrom ini meliputi berbagai mekanisme respons, komponen
utamanya adalah pembesaran kelenjar adrenal dan meningkatnya sekresi
hormon steroid adrenal seperti kortisol. Beberapa percaya bahwa peningkatan
fungsi adrenal ini dapat menghambat sistem reproduksi. Ada beberapa
informasi bahwa stres (emosional atau fisik) dapat menunda pubertas pada
manusia.
Terdapat bukti bahwa stres selama masa bayi dan kanak-kanak dapat
mempercepat pubertas. Akhirnya, stres keluarga berperan pada cepatnya
pubertas pada anak perempuan. Gadis yang tumbuh tanpa adanya seorang

34 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

ayah biologis, terutama dengan hadirnya ayah tiri, cenderung masuk pubertas
dini.

4. Polutan Lingkungan
Beberapa bahan kimia yang digunakan dalam sintesis plastik dan dalam
proses industri lainnya bertindak sebagai estrogen lemah. Beberapa ahli
biologi berhipotesis bahwa paparan “xenoestrogens” yang semakin meluas ini
dapat mempercepat pubertas. Pada anak-anak dengan kelebihan berat badan,
estrogen lemah yang disintesis oleh jaringan adiposa dapat menyebabkan
peningkatan estrogen pada darah. Paparan estrogen ini pada anak perempuan
menimbulkan tanda-tanda pubertas yang belum jelas apakah pubertas
ini bersifat “nyata” atau “pseudo pubertas”. Jika estrogen lingkungan
mempercepat perkembangan seksual secara signifikan, seharusnya terjadi
epidemi ginekomastia pada anak laki-laki. Estrogen yang meningkat selama
masa kandungan pada anak laki-laki menyebabkan testicular dysgenesis
syndrome (TDS). Namun, polusi lingkungan (misalnya dioxin, polychlorinated
biphenyls atau PCBs) telah terlibat dalam menunda pubertas laki-laki. Banyak
studi yang diperlukan untuk mempelajari lebih lanjut efek dari kontaminan
lingkungan yang mengganggu pada perkembangan pubertas.

5. Iklim dan Ketinggian


Dahulu, dianggap bahwa anak-anak di daerah lebih hangat mencapai
pubertas pada usia lebih dini daripada di daerah dingin. Namun, perbandingan
statistik telah menunjukkan bahwa perbedaan ini karena faktor lain selain
suhu.
Ketinggian tampaknya memiliki efek pada onset pubertas. Memang,
untuk setiap kenaikan 100 m, pubertas tertunda sekitar tiga bulan. Mekanisme
bagaimana ketinggian menekan proses pematangan seksual tidak diketahui
dengan jelas dan mungkin terkait dengan gizi yang lebih buruk, hipoksia, dan
pengeluaran energi yang lebih besar pada ketinggian yang lebih tinggi.

6. Genetika
Faktor genetik berinteraksi dengan faktor lingkungan untuk menentukan
usia kematangan seksual. Bahkan, perbedaan usia menarche antarnegara

BAB 3 MASA PUBERTAS 35


Copyright @ Airlangga University Press

mungkin berkaitan dengan perbedaan genetik pada populasi serta perbedaan


dalam kesehatan dan gizi anak-anak. Diperkirakan bahwa 50–75% dari
keragaman dalam usia pubertas adalah karena perbedaan genetik. Misalnya,
usia saat menarche cenderung serupa di ibu dan anak perempuan. Selain itu,
pada perempuan kembar identik (genotipe identik), usia menarche biasanya
berbeda dengan selisih maksimal dua bulan. Faktor pembeda di sini adalah
perbedaan berat lahir atau paparan lingkungan sosial dan fisik yang sedikit
berbeda selama masa kanak-kanak. Sebaliknya, perbedaan antara usia
menarche pada anak perempuan kembar fraternal bisa sampai delapan bulan.
Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam mencapai pubertas sekitar satu
tahun lebih awal dari perempuan kulit putih, hal ini mungkin mencerminkan
perbedaan genetik.
Dalam studi NHANES III antara tahun 1988 dan 1994, usia rata-rata
saat permulaan pubertas anak laki-laki kulit hitam sekitar 9,2 tahun, anak
laki-laki kulit putih 10,0 tahun, dan anak laki-laki Amerika Meksiko 10,3
tahun (Sun et al., 2002). Namun, studi cross-sectional yang lebih baru (antara
tahun 2005 hingga 2010) di Amerika Serikat menunjukkan usia rata-rata
untuk pencapaian TV sebesar > 3 mL pada kulit putih adalah 9,95 tahun,
Afrika-Amerika 9,71 tahun, dan Hispanik 9,63 tahun. Sementara untuk >
4 mL masing-masing adalah 11,46, 11,75, dan 11,29 tahun. Data terakhir ini
tidak mendukung anggapan bahwa anak laki-laki Afrika-Amerika lebih awal
mengalami pubertas dibandingkan anak laki-laki Eropa-Amerika (Herman-
Giddens et al., 2012). Dengan demikian, peran genetik (ras) dalam menentukan
mulainya pubertas pria belum dapat dipastikan.

7. Kelainan Pubertas
Secara medis, pubertas yang terjadi abnormal lebih awal diistilahkan
dengan pubertas prekoks. Untuk anak laki-laki, pubertas prekoks masih
didefinisikan sebagai perkembangan seksual (Tanner 2) sebelum usia sembilan
tahun. Pubertas prekoks dilaporkan pada anak perempuan 10 kali lebih sering
dibandingkan anak laki-laki. Sedangkan, pubertas dianggap tertunda pada
laki-laki jika tidak ada pertumbuhan testis hingga usia 14 tahun atau jika
tidak ada lonjakan pertumbuhan tulang hingga usia 18 tahun.
Pubertas prekoks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sentral
(sejati) yang bersifat gonadotropin dependent/progresif dan perifer (pseudo

36 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

pubertas prekoks) yang bersifat gonadotropin independent. Aksis hipotalamus,


hipofisis, dan testis aktif memicu timbulnya pubertas pada tipe sentral,
sementara pada tipe perifer, aksis ini tidak aktif (Berberoğlu, 2009). Klasifikasi
etiologi pubertas prekoks ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 3.4 Klasifikasi pubertas prekoks


Sentral Perifer Campuran Varian normal
Idiopatik Gonadal: CAH: Adrenarche
• Familial • Mutasi aktif Pajanan prematur
• Nonfamilial reseptor LH steroid yang
• Sindrom berkepanjangan
McCune-Albright memicu maturasi
• Tumor sel Leydig dini hipotalamus
Kelainan saraf Adrenal: Sindrom
pusat: • Congenital McCune-Albright
• Tumor adrenal
• Abses hyperplasia
• Iatrogenik • Adenoma
(radiasi/ fungsional
kemoterapi) adrenal
Tumor yang
menghasilkan hCG:
Korioepitelioma,
koriokarsionoma,
hepatoma, teratoma

(Berberoğlu, 2009)

a. Pubertas prekoks sentral


Pada sebagian kasus, pubertas prekoks sentral (PPS) bersifat idiopatik.
Sebagian lainnya memiliki sebab yang telah diketahui seperti genetik
(mutasi aktif gen KISS1R dan KISS1, mutasi inaktif gen MKRN3, dan
abnormalitas kromosom), tumor saraf pusat (astrositoma, ependimoma,
glioma optik/hipotalamus, adenoma yang mensekresikan LH, pinealoma,
neurofibroma, kraniofaringioma), dan lain sebagainya (Brito et al., 2016).
Pengukuran kadar LH sebelum setelah stimulasi GnRH kerja singkat
digunakan untuk mendeteksi aktivasi aksis hipotalalmus-hipofisis-

BAB 3 MASA PUBERTAS 37


Copyright @ Airlangga University Press

gonad. Konsentrasi LH basal > 0,6 IU/L (metode immunofluorometrik) atau


> 0,3 IU/L (metode immunochemiluminescene dan electrochemiluminescence)
dianggap sebagai pubertas (Berberoğlu, 2009; Brito et al., 2016). Uji
stimulasi menggunakan GnRH short-acting (gonadorelin intravena, 100
μg) dapat direkomendasikan pada kondisi tertentu. LH basal 0,6 U / L,
diukur dengan IFMA, mampu mendiagnosis PPS pada 71,4% anak laki-
laki (Harrington et al., 2014). Pengukuran LH 30 sampai 120 menit setelah
aplikasi pertama analog kerja panjang GnRH bulanan dapat menjadi
alternatif untuk mengonfirmasikan diagnosis biokimia PPS.
Terapi pilihan untuk PPS adalah administrasi GnRH analog. GnRH analog
akan berkompetisi dengan GnRH untuk menempati reseptor GnRH
di hipofisis. Pada mulanya, analog GnRH menstimulasi sintesis dan
sekresi gonadotropin. Namun, dalam penggunaan kronis menyebabkan
down-regulation reseptor GnRH sehingga menekan produksi hormon
gonadotropin yang pada gilirannya akan menurunkan kadar testosteron
(Brito et al., 2016). Leuprorelin asetat dan triptorelin dengan dosis 75–100
μg/kg merupakan obat yang umum digunakan. Secara praktis, 3,75 mg
analog GnRH diberikan secara intramuskular atau subkutan setiap 4
minggu (Brito et al., 2016).

b. Hiperplasia adrenal kongenital


Salah satu bentuk pseudo pubertas yang umum adalah hiperplasia
adrenal kongenital (CAH). CAH merupakan kelainan familial
autosomal resesif dengan adanya gangguan pada jalur sintesis kortisol.
Sebagian besar kasus, yaitu sekitar 90%, disebabkan oleh defisiensi 21-
hydroxylase yang ditandai dengan produksi androgen berlebih yang
tingkat keparahannya bervariasi pada beberapa subtipe yang berbeda.
Hal ini menyebabkan meningkatnya sekresi adrenocorticotropic hormone
(ACTH), hiperplasia adrenal, overproduksi steroid adrenal yang tidak
memerlukan aktivitas enzim yang kurang tersebut, serta defisiensi
steroid yang terletak distal dari tahapan enzimatik yang terganggu.
Data dari sekitar 6,5 juta bayi baru lahir di seluruh dunia yang diskrining
untuk defisiensi 21-hydroxylase menunjukkan bahwa CAH klasik terjadi
pada 1:13.000 hingga 1:15.000 kelahiran hidup. CAH bentuk klasik yang
berat merupakan penyebab tersering genitalia ambigus pada fetus yang
secara genetik adalah perempuan. Manifestasinya secara klinis tampak

38 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

dari adanya virilisasi prenatal pada perempuan yang terkena kelainan


ini. Gangguan pubertas dan infertilitas pada pasien-pasien CAH telah
diketahui dengan baik, tetapi pubertas normal dan fertilitas dapat
dicapai dengan keberhasilan pengobatan.
Terapi eksperimental dengan deksametason pada awal gestasi berhasil
mengurangi virilisasi pada fetus perempuan yang terkena CAH klasik
secara signifikan. Terapi penggantian dengan glukokortikoid dan
mineralokortikoid postnatal dibutuhkan oleh hampir semua pasien seumur
hidup. Terapi CAH prenatal dengan deksametasone pada perempuan
hamil yang fetusnya mungkin mengalami CAH telah dideskripsikan
sejak 30 tahun yang lalu, tetapi terapi ini masih tetap bersifat kontroversial
karena 7 dari 8 fetus yang diterapi tidak mendapatkan manfaat dari
tersebut serta karena bukti-bukti menunjukkan bahwa terapi tersebut
memberikan efek yang tidak diharapkan pada fungsi metabolik maupun
fungsi kognitif atau behavioural.

8. Pubertas Terlambat
Pubertas dianggap terlambat apabila pubertas belum dimulai pada usia
14 tahun atau lebih. Terdapat beberapa penyebab umum pubertas terlambat
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Penyebab umum pubertas terlambat


Constitutional Hipergonadotropik Hipogonadotropik Hipogonadotropik
Delay of hipogonadisme hipogonadisme hipogonadisme
Puberty fungsional
Sindrom Turner Tumor SSP Penyakit sistemik
Gonadal dysgenesis Isolated Inflammatory bowel
hypogonadotrophic disease
hypogonadism
Kemoterapi/radiasi Sindrom Kallmann Celiac disease
Combined pituitary Anorexia nervosa/
hormone deficiency bulimia
Chemotherapy/radiation Hypothyroidism
therapy
Excessive exercise
(Dunkel & Quinton, 2014)

BAB 3 MASA PUBERTAS 39


Copyright @ Airlangga University Press

Constitutional delay of puberty (CDP)


CDP hingga saat ini merupakan penyebab terbanyak dari pubertas
terlambat (pubertas tarda). Pada laki-laki, prevalensinya mencapai 1:40. Durasi
dan urutan dari pubertas, begitu pubertas dimulai, biasanya normal pada anak
laki-laki dengan CDP. Perkembangan pubertas berakhir dengan kematangan
seksual yang lengkap dan kesuburan yang normal. Oleh karena itu, CDP
harus dilihat sebagai varian fungsional ekstrem dari onset perkembangan
pubertas normal. Meskipun CDP bukan suatu penyakit, keterlambatan
perkembangan pubertas bisa menjadi beban psikologis bagi remaja. CDP
terjadi sebagai kondisi yang diturunkan atau sporadis (Behre et al, 2010).

Gambar 3.9 Diagram skematis dari perkembangan pubertas normal. Garis putus-


putus menggambarkan batas atas onset usia pubertas yang normal. Perkembangan
pubertas yang terjadi setelahnya didefinisikan sebagai pubertas tarda (Behre et al,
2010).

Selain anamnesis, kurva pertumbuhan dan pemeriksaan fisik


menyeluruh, penentuan usia tulang dari pergelangan tangan dan tangan
kiri (termasuk epifisis ulnar dan radial) merupakan prosedur diagnostik
yang penting (Behre et al, 2010). CDP dapat didiagnosis hanya jika kondisi
yang mendasari telah dikesampingkan dan jika pubertas terlambat ini diikuti
dengan perkembangan pubertas yang spontan (Winter et al, 2016).
Permasalahan utama dalam diagnosis adalah dalam membedakan CDP
dengan isolated/idiopathic hypogonadotropic hypogonadism. Pada sebagian besar
pasien CDP, perkembangan pubertas spontan dimulai sebelum usia 20 tahun.

40 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Indikasi untuk terapi biasanya bukan karena keterlambatan pubertas itu


sendiri, tetapi tekanan psikologis yang disebabkan oleh kurangnya virilisasi
dan/atau postur pendek. Terapi pilihan untuk remaja tanpa tanda-tanda
pubertas adalah injeksi testosterone enanthate atau alternatifnya dengan hCG
atau pulsatile GnRH (Behre et al, 2010).

9. Sindrom Klinefelter
Angka kejadian sindrom Klinefelter sekitar 1 dari 500 laki-laki. Sindrom
ini merupakan penyebab paling sering dari hipergonadotropik hipogonadisme.
Gejala klinis sindrom Klinefelter tidak khas dan sering diabaikan. Beberapa
gejala yang tampak antara lain panjang lengan yang tidak proporsional
dengan panjang tubuh, testis berukuran kecil dan keras, tetapi virilisasi
sering normal. Gejala klinis lain yang mungkin timbul antara lain kelainan
jantung, gangguan perilaku dan kognitif, dan peningkatan risiko kejadian
kanker payudara. Sindrom Klinefelter didiagnosis dengan analisis kariotipe
menggunakan darah perifer. Bentuk kelainan kromosom yang paling sering
pada sindrom Klinefelter adalah 47,XXY. Sedangkan kromosom tipe mosaik
hanya ditemukan sekitar 15–20% pada sindrom Klinefelter.
Sindrom Klinefelter harus dipertimbangkan pada semua laki-laki
dengan azoospermia atau konsentrasi sperma yang sangat rendah dan disertai
ukuran testis kecil. Sperma pada pasien Klinefelter dapat ditemukan dengan
cara sperm retrieval dengan tingkat keberhasilan sekitar 48–66%. Beberapa
parameter klinis yang dapat memprediksi keberhasilan sperm retrieval antara
lain Klinefelter tipe mosaik (47,XXY/XY), pola rambut wajah yang normal,
dan tidak adanya ginekomastia. Sayangnya, ukuran testis, kadar FSH, dan
testosteron tidak menunjukkan adanya korelasi dengan kondisi spermatozoa.
Pendekatan dengan pemberian aromatase inhibitor atau human chorionic
gonadotropin diikuti dengan mikrodiseksi TESE (Testicular Sperm Extraction)
memberikan angka keberhasilan hingga 72% untuk menemukan spermatozoa
pada pasien Klinefelter. Perbaikan spermatozoa biasanya lebih baik pada tipe
mosaik dibandingkan tipe non mosaik. Namun, kadangkala tipe mosaik ini
tidak teridentifikasi pada beberapa laboratorium.
Pemeriksaan spermatozoa dilakukan setidaknya pada dua ejakulat
dengan melakukan sentrifugasi bila spermatozoa sulit ditemukan. Jika
spermatozoa ditemukan setelah dilakukan sentrifugasi, biasanya ada

BAB 3 MASA PUBERTAS 41


Copyright @ Airlangga University Press

kemungkinan spermatozoa ditemukan pada jaringan testis, sehingga tindakan


biopsi mungkin diperlukan. Dampak yang mungkin terjadi akibat biopsi
adalah defisiensi androgen karena kerusakan jaringan testis. Kemungkinan
semua pasien dengan sindrom Klinefelter harus dilakukan pemantauan status
androgen jangka panjang, terutama pada pasien dengan biopsi testis.
Tata laksana pasien dengan sindrom Klinefelter harus mencakup upaya
perbaikan spermatozoa untuk fertilitas dan terapi sulih androgen pada usia
tua. Spermatozoa yang ditemukan pada sperm retrieval dapat dipakai untuk
melakukan IVF (In Vitro Fertilization) dan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection).
Sebelum melakukan IVF (In Vitro Fertilization) dan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm
Injection), kedua pasangan harus diberikan informasi tentang kemungkinan
memiliki anak dengan sindrom Klinefelter. Konseling mungkin sulit karena
calon ayah kadangkala memiliki inteligensia yang rendah. Konseling harus
mencakup diagnosis praimplantasi dan amniosintesis.

10. Sindrom Kallmann


Sindrom Kallmann (SK) merupakan kelainan genetika yang
dihubungkan dengan adanya kondisi hipogonadotropik-hipogonadisme dan
anosmia. Walaupun bisa juga muncul dengan variasi abnormalitas lainnya,
misalnya gerakan bagian atas tubuh yang seperti cermin dan agenesis renal
pada X-linked SK, dan abnormalitas kraniofasial pada autosomal SK meliputi
gangguan bibir sumbing dan celah langit-langit mulut (Hu et al., 2003).
Kondisi hipogonadotropik-hipogonadisme seringkali terjadi akibat
gangguan produksi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan
penurunan kadar hormon LH dan FSH yang dihasilkan kelenjar pituitari.
Mikropenis ataupun kriptorkidisme juga sering ditemui sebagai manisfestasi
klinis awal SK, termasuk banyak pasien yang mengalami gangguan maupun
keterlambatan mengalami pubertas. Pemberian GnRH eksogenus secara
pulsatil dapat meningkatkan produksi LH dan FSH pada pasien dengan SK
dan mampu menginduksi pubertas dan kesuburan (Hu et al., 2003).

42 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

REFERENSI
Albertsson-wikland, K., Rosberg, S., Lannering, B., Dunkel, L., Selstam, G. &
Norjavaara, E. 1997. Twenty-Four-Hour Profiles of Luteinizing Hormone,
Follicle-Stimulating Hormone, Testosterone, and Estradiol Levels: A
Semilongitudinal Study throughout Puberty in Healthy Boys. Journal
of Clinical Endocrinology and Metabolism, 82(2):541–549.
Albin, A. K. & Norjavaara, E. 2013. Pubertal Growth and Serum Testosterone
and Estradiol Levels in Boys. Hormone Research in Paediatric,
80:100–110.
Andersson, A. M., Juul, A., Petersen, J.H., Muller, J., Groome, N.P. & Skakkebaek,
N.E. 1997. Serum Inhibin B in Healthy Pubertal and Adolescent Boys:
Relation to Age, Stage of Puberty, and Follicle Stimulating Hormone,
Luteinizing Hormone, Testosterone, and Estradiol Levels. Journal of
Clinical Endocrinology and Metabolism, 82(12):3976–3981.
Ankarberg, C. & Norjavaara, E. 2008. Twenty four hour secretion pattern of
serum estradiol in healthy prepubertal and pubertal boys as determined
by a validated ultra-sensitive extraction RIA. BMC Endocr Disord, 8:10.
Ankarberg-Lindgren, C. & Norjavaara, E. 2004. Changes of diurnal rhythm
and levels of total and free testosterone secretion from pre- to late
puberty in boys: testis size of 3 ml is a transition stage to puberty.
European Journal of Endocrinology, 151:747–757.
Berberoğlu, M. 2009. Precocious Puberty and Normal Variant Puberty:
Defi nition, etiology, diagnosis and current management. J Clin Res
Pediatr Endocrinol, June, 1(4):164–174.
Brito, V.N., Spinola-Castro, A.M., Kochi, C., Kopacek, C., Silva, P.C. & Guerra-
Junior, G. 2016. Central precocious puberty: revisiting the diagnosis
and therapeutic management. Arch. Endocrinol. Metab., April, 60(2):
163–172.
Burke, M.C., Letts, P.A., Krajewski, S.J. & Rance, N.E. 2006. Coexpression
of dynorphin and neurokinin B immunoreactivity in the rat
hypothalamus:Morphologic evidence of interrelated function within
the arcuate nucleus. J. Comp. Neuro, 498:712–726.
Chada, M., Prusa, J.R., Bronsky, K., Kotaska, K., Sidlova, M.K., Pechova. & Lisa,
L. 2003. Inhibin B, Follicle Stimulating Hormone, Luteinizing Hormone
and Testosterone during Childhood and Puberty in Males: Changes in

BAB 3 MASA PUBERTAS 43


Copyright @ Airlangga University Press

Serum Concentrations in Relation to Age and Stage of Puberty. Physiol.


Res, 52:45–51.
Cooksey, J.M., Becket, R.L. & Wiseman, R. 1984. longitudinal investigation of
selected vocal, physiologic and acoustic factors associated with voice maturation
in the junior high school male adolescent. New York: Buffalo Press, pp.
4–60.
De Roux, N. 2003. Hypogonadotropic hypogonadism due to loss of function
of the KiSS1-derived peptide receptor GPR54. Proc. Natl. Acad. Sci. U.
S. A., 100:10972–10976.
Dunkel, L. & Quinton, R. 2014. Induction of puberty. Transisition in
Endocrinology, 170(6):R229-239.
Harries, M. L., Walker, J.M., Williams, D.M., Hawkins, S. & Hughes, I.A. 1997.
Changes in the male voice at puberty. Archives of Disease in Childhood,
77:445–447.
Harrington, J., Palmert, M.R. & Hamilton, J. 2014. Use of local data to enhance
uptake of published recommendations: an example from the diagnostic
evaluation of precocious puberty. Arch Dis Child, 99(1):15–20.
Herman-Giddens, M.E., Steffes, J., Harris, D., Slora, E., Hussey, M., Dowshen,
S.A., Wasserman, R., Serwint, J.R., Smitherman, L. & Reiter, E.O. 2012.
Secondary sexual characteristics in boys: data from the Pediatric
Research in Offi ce Settings Network. Pediatrics, 130(5):e1058–1068..
Hu, Y., Tanriverdi, F., MacColl, G.S. & Bouloux, P.-M.G. 2003. Kallmann’s
Syndrome: Molecular Pathogenesis. The International Journal of
Biochemistry And Cell Biology, 35:1157–1162.
Johnson, M.H. 2013. Sexual maturation. Dalam Essential Reproduction: 51-68.
7th. Disunting oleh M. H. Johnson. Cambridge: Blackwell Publishing..
Jones, R. E. & Lopez, K. H., 2014. Puberty. Dalam Reproductive Biology Human:
103-118. Disunting oleh R. E. Jones & K. H. Lopez. Colorado: Academic
Press.
Kiatsopita, N., Panamontaa, O., Suesirisawatb, C. & Panamonta, M. 2015. The
age of onset of pubertal development in healthy Thai boys in Khon
Kaen, Thailand. Asian Biomedicine, 9(2):225–229.
Marshall, W.A. & Tanner, J.M. 1970. Variations in the pattern of pubertal
changes in boys. Archives of Disease in Childhood, 45:13–23.

44 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Meachem, S. J., Nieschlag, E. & Simoni, M. 2001. Inhibin B in male reproduction:


pathophysiology and clinical relevance. European Journal of Endocrinology,
145 (5):561–571.
Mul, D., Frediks, A.M., Buuren, V.S., Oostdijk, W., Veerlove-Vanhorick, S.P. &
Wit, J.M. 2001. Pubertal development in The Netherlands 1965–1997.
Pediatr Res, 50:479–86.
Papadimitriou, A., Douros, K. & Kleanthous, K. 2011. Pubertal maturation
of contemporary Greek boys: no evidence of a secular trend. J Adolesc
Health, 49:434–436.
Radicioni, A.F., Anzuini, A., Marco, D.E., Nofroni, I., Castracane, V.D. & Lenzi,
A. 2005. Changes in serum inhibin B during normal male puberty.
European Journal of Endocrinology, 152:403–409.
Seminara, S.B. 2003. The GPR54 gene as a regulator of puberty. N. Engl. J. Med,
349:1614–1627.
Semiz, S., Kurt, F., Kurt, D.T. & Sevinc, O. 2008. Pubertal Development of
Turkish Children. Journal of Pediatric Endocrinology and Metabolic,
10:951–961.
Silveira, L.G. 2010. Mutations of the KISS1 gene in disorders of puberty. J. Clin.
Endocrinol. Metab, 95:276–2280 .
Sørensen, K., Aksglaede, L., Petersen, J. H. & Juul, A. 2010. Recent changes in
pubertal timing in healthy Danish boys: associations with body mass
index. J Clin Endocrinol Metab, 95(1):263–270.
Strobel, A., Issad, T., Camoin, L., Ozata, M. & Strosberg, A.D. 1998. A leptin
missense mutation associated with hypogonadism and morbid obesity.
Nat. Genet, 18:213–215.
Sun, S.S., Schubert, C.M.,Chumlea, W.C., Roche, A.F., Kulin, H.E., Lee, P.A.,
Himes, J.H. & Ryan, A.S. 2002. National estimates of the timing of
sexual maturation and racial differences among US children. Pediatrics,
110(5):911–919.
Teles, M.G. 2008. A GPR54-activating mutation in a patient with central
precocious puberty. N. Engl. J. Med, 358:709–715 .
Tinggaard, J., Mieritz, M.G., Sorensen, K., Mouritsen, A., Hagen, C.P. Aksqlaede,
L., Wohlfahrt-Veje, C. & Juul, A. 2012. The Physiology and Timing of
Male Puberty. Current Opinion, 19:197–203.

BAB 3 MASA PUBERTAS 45


Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

BAB 4 STEROIDOGENESIS

PENDAHULUAN
Testis pria dewasa secara umum memiliki dua fungsi utama di dua
kompartemen yang berbeda, yaitu membentuk androgen dan membentuk sel
benih (gametogenesis) yang pada pria disebut spermatogenesis. Pembentukan
androgen ini sering diistilahkan sebagai steroidogenesis, sebuah istilah yang
sebenarnya jauh lebih luas maknanya. Meskipun terpisah, kedua fungsi ini
saling berkaitan.
Bab ini akan membahas fungsi testis pria dewasa yang pertama.
Fungsi yang kedua akan dibahas tersendiri pada bab berikutnya. Meskipun
testis merupakan organ penghasil androgen utama, peran adrenal dalam
steroidogenesis juga perlu dipahami. Pada kondisi tertentu, steroidogenesis
adrenal memberikan dampak pada perkembangan seks baik pada pria dan
wanita. Untuk itu pemahaman mengenai hormon steroid (yang tak hanya
steroid seks) akan dibahas terlebih dahulu.

HORMON STEROID
Steroid merupakan molekul organik lipofilik, memiliki 4 cincin inti
dan berfungsi untuk membawa pesan kimiawi tertentu (Henley et al., 2005).
Menurut fungsinya, terdapat tiga kelas utama steroid yaitu glukokortikoid,
mineralokortikoid, dan steroid seks. Semua steroid baik alami maupun sintesis
tersusun atas 4 cincin inti yang disebut siklo-pentano-perhidrofenantren.
Cincin ini terdiri dari cincin sikloheksan (cincin A, B, dan C) serta cincin
siklopentan (cincin D) (Kasal, 2010).

47
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.1 Sistem cincin steroid (https://en.wikipedia.org/wiki/Steroid )

ANDROGEN SEBAGAI STEROID SEKS PADA PRIA


Androgen merupakan steroid seks pada pria. Hormon ini berperan pada
berbagai fungsi organ reproduksi maupun non reproduksi. Androgen dapat
berupa testosteron, 5α-dihidrotestosteron (DHT), androsteron, androstenedion,
17-hidroksiprogesteron, progesteron, dan pregnenolon. Komponen utama
androgen adalah testosteron yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh testis
dan dalam jumlah lebih kecil oleh kelenjar adrenal. Peran androgen pada pria
tergantung pada berbagai faktor, seperti jumlah androgen yang diproduksi,
distribusi, metabolisme, dan interaksi dengan reseptor, serta ekskresinya.

STEROIDOGENESIS TESTIS
Sel Leydig merupakan penghasil utama testosteron. Sel yang terletak di
kompartemen interstitial testis ini memproduksi sekitar 95% testosteron yang
bersirkulasi pada pria. Pria dewasa memiliki sekitar 200 juta sel Leydig. Testis
memproduksi sekitar 6–7 mg testosteron setiap hari. Konsentrasi testosteron
di dalam testis 80 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di
darah tepi.
Sel Leydig mengonversikan kolesterol menjadi testosteron. Di dalam sel
ini, testosteron juga dapat diubah menjadi dihidrotestoteron atau estradiol.
Sel Leydig memproduksi estradiol tetapi dalam jumlah yang kecil, sekitar 20
% dari aromatisasi periferal (Rommerts, 2004).

48 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

STEROIDOGENESIS ADRENAL
Kelenjar adrenal (juga dikenal sebagai kelenjar suprarenal) merupakan
kelenjar endokrin yang memproduksi beragam hormon, termasuk testosteron.
Kelenjar ini terdiri dari bagian korteks dan medula. Kelenjar adrenal memiliki
tiga lapisan korteks, terdiri dari zona glomerulosa (luar), zona fasikulata
(tengah), dan zona retikularis (dalam).
Steroidogenesis adrenal memiliki makna steroidogenesis yang lebih luas
dibandingkan steroidogenesis testis. Proses ini memiliki “jalur bersama” yang
mirip dengan steroidogenesis testis maupun sel teka ovarium. Namun, pada
proses selanjutnya sebagian progesteron atas pengaruh renin-angiotensin
akan memasuki jalur pembentukan mineralokortikoid (aldosteron) di zona
glomerulosa. Adrenocorticotropic hormone (ACTH) menstimulasi 17-OH-
progesteron untuk memasuki jalur pembentukan glukokortikoid (kortisol
dan kortison). Sementara androgen adrenal akan di bentuk di zona retikularis
(Yazawa et al., 2015).

Gambar 4.2 Gambaran umum jalur steroidogenesis gonad dan adrenal


(diadaptasi dari Yazawa et al., 2015)

BAB 4 STEROIDOGENESIS 49
Copyright @ Airlangga University Press

BIOSINTESIS TESTOSTERON
Bahan dasar hormon steroid adalah kolesterol. Luteinizing hormone (LH),
mengendalikan steroidogenesis dan homeostatis kolesterol dalam sel Leydig
secara sentral. Kolesterol berada di dalam sel Leydig melalui dua cara, yaitu
secara endosistosis, dimediasi reseptor LDL atau disintesis de novo di dalam sel
Leydig dari acetyl-coenzyme A. Testosteron turut berperan dalam homeostasis
lipid di dalam sel Leydig dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat dalam
sintesis kolesterol de novo (Eacker et al., 2008).
Kolesterol baik yang masuk melalui reseptor LDL maupun sintesis de
novo akan disimpan ke dalam cytoplasmic lipid droplets dalam bentuk kolesterol
ester setelah diesterifikasi oleh acyl-CoA cholesterol transferase. Jumlah
lipid droplets berbanding terbalik dengan kecepatan sintesis androgen. Bila
sintesis androgen lambat, maka jumlah lipid droplet akan banyak, begitu pun
sebaliknya. Melalui aktivasi LH, kolesterol ester ini akan dihidrolisis oleh
kolesterol ester hidrolase untuk selanjutnya mengalami steroidogenesis.
Kolesterol memasuki mitokondria dengan bantuan Steroidogenic acute
regulatory protein (StAR). StAR terletak di membran dalam mitokondria dan
berperan dalam perpindahan kolesterol dari membran luar menuju membran
dalam mitokondria. Mekanisme yang pasti bagaimana StAR menstimulasi
influks kolesterol masih belum jelas, namun begitu StAR berhubungan
dengan kolesterol, terjadi perubahan konformasional yang membuka
kantung pengikat kolesterol (Cholesterol-binding pocket). Setelah fosforilasi,
StAR berinteraksi dengan voltage-dependent anion channel 1 (VDAC1) pada
membran luar.
Di dalam mitokondria, kolesterol diubah menjadi pregnenolon dengan
bantuan sebuah enzim yang terdapat di membran dalam mitokondria, P450
side-chain cleveage (P450ssc). Pregnenolon selanjutnya akan berdifusi melalui
membran mitokondria menuju retikulum endoplasma.

50 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.3 Proses hadirnya kolesterol di dalam sel Leydig dan pembentukan


pregnenolon (Luetjens et al., 2012).

Proses selanjutnya yang terjadi di retikulum endoplasma dapat melalui


jalur ∆4 atau ∆5. ∆4 atau ∆5 merujuk pada penempatan ikatan rangkap pada
steroid. Jalur ∆5 lebih dominan dibandingkan ∆4 pada manusia.

BAB 4 STEROIDOGENESIS 51
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.4 Jalur ∆4 atau ∆5 merujuk pada penempatan ikatan rangkap pada


cincin steroid (diadaptasi dari Lutjens et al., 2012)

Pada jalur ∆4, pregnenolon diubah menjadi progesteron oleh 3β-


Hydroxysteroid dehydrogenase (3β-HSD). Enzim CYP21A2 kemudian
mengonversikan progesteron menjadi 17α-hydroksiprogesteron. Enzim
yang sama melepaskan rantai samping sehingga terbentuk androstenedion.
Androstendion dikonversi menjadi testosteron melalui kerja enzim 17β
Hydroxysteroid dehydrogenase (17β-HSD).
Pada jalur ∆5, oleh P450c17, pregnenolon dikonversi menjadi produk
antara 17-hidroksipregnenolon. Selanjutnya, P450c17 mengonversikan produk
antara tersebut menjadi dehidroepiandrosteron (DHEA). DHEA kemudian
dikonversi menjadi androstenedion oleh kerja enzim 3β-HSD. Testosteron
kemudian terbentuk dari androstenedion sebagaimana terjadi pada jalur
∆4.
Mekanisme pengangkutan testosteron dari sel Leydig ke dalam
darah atau getah bening tidak sepenuhnya diketahui. Androgen mungkin
menyebar ke cairan interstitial dan kemudian masuk ke kapiler testis
atau memasuki kapiler secara langsung dari sel Leydig yang bersentuhan
langsung dengan mikrovaskuler testis secara difusi pasif. Konsentrasi
testosteron pada sirkulasi limfatik dan darah vena testis sangat mirip, tetapi
terdapat perbedaan kecepatan aliran pada kedua sistem tersebut. Karena itu,

52 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

transportasi testosteron di dalam sirkulasi darah terjadi utamanya melalui


vena spermatika.

PERAN LH DALAM SINTESIS TESTOSTERON


LH merupakan glikoprotein dimerik. LH berikatan dengan reseptor
khusus pada sel Leydig yang tergolong dalam keluarga G-coupled receptors.
Reseptor LH juga ditemukan di organ lain seperti prostat (Tao et al., 1997).
Kerja utama LH adalah menempel ke reseptornya pada sel Leydig dan
menginduksi sintesis serta pengeluaran testosteron. Selain itu LH berperan
dalam regulasi jumlah sel Leydig. Sementara peran LH pada organ lain belum
diketahui.
Perlu dicatat bahwa LH mungkin bukan satu-satunya faktor yang
menstimulasi produksi testosteron. Human chorionic gonadotropin (hCG)
dapat berikatan dengan reseptor LH dan menstimulasi sel Leydig untuk
memproduksi testosteron. Hal ini dibuktikan dengan testosteron yang mampu
diproduksi oleh testis janin karena pengaruh LH janin dan hCG ibu. Pada
mutasi rantai β LH, gonadotropin menjadi inaktif namun diferensiasi seksual
tetap normal karena testosteron tetap diproduksi atas rangsangan hCG
maternal (Themmen et al., 1998). HCG juga digunakan untuk meningkatkan
kadar testosteron endogen pada stimulasi spermatogenesis. Sebuah studi
pemberian LH eksogen menunjukkan bahwa produksi testosteron meningkat
sebelum LH mencapai sel Leydig melalui ruang interstitial (Setchell et al.,
2002; Setchell, 2004).

PERAN FAKTOR LAIN DALAM STEROIDOGENESIS


Growth factor (GF) tampaknya memiliki pengaruh terhadap fungsi sel
Leydig (Chandrashekar & Bartke 2007). Studi ini menyimpulkan bahwa fungsi
lokal inhibin dan aktivin dapat menjadi modulasi aktivitas steroidogenik.
Aktivin menghambat atau merangsang steroidogenesis sel Leydig. Secara
umum, insulin-like growth factor 1 (IGF-1) dan transforming growth factor α
(TGF-α) bertindak sebagai aktivator aktivitas sel Leydig, sementara TGF-β
bertindak sebagai inhibitor. Pada sel Leydig manusia, aktivitas steroidogenik
juga distimulasi oleh epidermal growth factor (EGF).

BAB 4 STEROIDOGENESIS 53
Copyright @ Airlangga University Press

Hormon tiroid mempercepat diferensiasi sel Leydig (Ariyaratne et al.,


2000) dan juga menstimulasi ekspresi StAR dan produksi steroid di dalam
sel yang telah berkembang secara sempurna (Manna et al., 1999).
Glukokortikoid menghambat enzim-enzim steroidogenik dan
menginduksi apoptosis sel Leydig tikus (Gao et al., 2002). FSH rekombinan
menstimulasi produksi testosteron pada pria (Levalle et al., 1998) dan pada
pasien dengan defisiensi FSH (Lofrano-Porto et al., 2008). Hal ini mendukung
ide interaksi antara sel Sertoli, sel Leydig, dan sel peritubular dalam
hubungannya dengan kerja androgen dan gonadotropin.

TRANSPOR TESTOSTERON DI DALAM DARAH


Sebagian testosteron terikat dengan molekul protein. Di dalam plasma,
testosteron utamanya terikat dengan albumin atau sex hormone binding globulin
(SHBG) yang diproduksi oleh hepatosit. Di dalam testis, testosteron terikat
oleh Androgen-binding protein (ABP), sebuah molekul mirip dengan SHBG yang
diproduksi oleh sel Sertoli. Pada testis manusia, hasil transkripsi gen SHBG
diekspresikan di dalam sel germinal dan mengkode isoform SHBG yang lebih
kecil 4–5 kDa dibandingkan SHBG plasma. Kapasitas pengikatannya juga
lebih rendah dibandingkan SHBG plasma (Selva et al., 2005). SHBG tidak hanya
berikatan dengan testosteron, tetapi juga dengan estradiol. Ikatan testosteron
terhadap SHBG tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan estradiol.
Pada pria normal, hanya 2–3% dari testosteron total yang bersirkulasi
secara bebas, sementara 44% berikatan dengan SHBG, 50% berikatan
dengan albumin, dan 3,5% berikatan dengan cortisol binding globulin.
Afinitas testosteron terhadap molekul albumin sekitar 100 kali lebih rendah
dibandingkan dengan SHBG. Namun, karena konsentrasi albumin lebih
tinggi dibandingkan dengan SHBG, kapasitas pengikatan kedua protein ini
secara total hampir sama. Testosteron bebas dan terikat albumin merupakan
“bioavailabe testosterone”.
Rasio testosteron terikat SHBG terhadap testosteron bebas sebanding
dengan konsentrasi SHBG. Karena penghitungan langsung kadar testosteron
bebas tidak praktis, telah dibuat beberapa rumus untuk memperkirakan
konsentrasi testosteron bebas dan bioavailable testosterone di dalam serum.
Rumus yang pernah dipublikasikan antara lain dari Sodergard, Vermeulen,

54 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Emadi-Konjin, Morris, dan Ly. Semua rumus ini perlu divalidasi ulang sesuai
dengan kondisi lokal sebelum digunakan (De Ronde et al., 2006).
Konsentrasi SHBG di serum dipengaruhi oleh berbagai faktor. Estrogen
menstimulasi dan androgen menghambat produksi SHBG. Dengan demikian,
wajar bila ditemukan bahwa kadar SHBG pria lebih rendah daripada kadar
SHBG pada wanita. Kadar SHBG pria sekitar sepertiga hingga setengah
konsentrasi pada wanita. Hormon tiroid merupakan stimulator kuat produksi
SHBG.
Dalam kondisi pria dengan aksis hipotalamus-hipofisis-testis yang
normal, peningkatan kadar SHBG akan diikuti dengan penurunan akut
kadar testosteron bebas dan secara bersamaan terjadi peningkatan sintesis
testosteron yang terjadi hingga diperoleh keseimbangan. Beberapa kondisi
yang memengaruhi produksi SHBG dirangkum dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Faktor-faktor yang memengaruhi konsentrasi SHBG


Stimulasi produksi SHBG Inhibisi produksi SHBG
Aplikasi estrogen Terapi androgen
Defisiensi testosteron Obesitas
Defisiensi hormon pertumbuhan Akromegali
Hepatitis Sindrom nefrotik
Sirosis Glukokortikoid
Penggunaan fenitoin Hiperinsulinemia
Hipertiroidisme Hipotiroidisme
(Simoni & Nieschlag, 2010)

Gen SHBG terletak di 17p12-p13 dan mengkodekan polipeptida yang


mengandung 402 residu asam amino. Polimorfisme gen SHBG dapat
menyebabkan perubahan konsentrasi SHBG individu. Mutasi pada lokus
rs6259 menghasilkan penambahan rantai gula yang kemudian menurunkan
kecepatan metabolisme pembersihan SHBG dan memperpanjang waktu paruh
SHBG. Mutasi ini menyebabkan kadar SHBG meningkat sehingga mengubah
aktivitas biologis androgen dan selanjutnya menyebabkan infertilitas pria
(Safarinejad et al., 2011; Cui et al., 2017).

BAB 4 STEROIDOGENESIS 55
Copyright @ Airlangga University Press

MEKANISME MASUKNYA TESTOSTERON KE DALAM SEL TARGET


Untuk bekerja, testosteron bebas perlu masuk ke dalam sel dan
menempel pada reseptor intraseluler. Mekanisme masuknya testosteron ke
dalam sel dapat melalui empat mekanisme, yaitu testosteron masuk secara
bebas, endositosis dimediasi oleh reseptor terhadap molekul lipofilik yang
mengandung steroid, endositosis dimediasi reseptor terhadap steroid, dan
pengambilan molekul yang dimediasi melewati membran.

Gambar 4.5 Mekanisme masuknya testosteron ke dalam sel (Luetjens et al., 2012)

56 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Terjadi disosiasi testosteron dan hormon steroid lainnya dari protein


pengikat di kapiler. Interaksi protein pengikat dengan glikokaliks endotelial
menyebabkan perubahan struktural dan menyebabkan perubahan afinitas
protein pengikat. Dengan demikian, testosteron menjadi bebas dan dapat
menyebar secara bebas ke dalam sel target (Gambar 4.5a).
Pada endositosis, dimediasi oleh reseptor terhadap molekul lipofilik yang
mengandung steroid, testosteron, dan hormon steroid lainnya yang berikatan
dengan molekul lipofilik seperti LDL akan berikatan dengan reseptornya.
Ikatan ligan dan reseptor ini akan diendositosis dan didegradasi di dalam
lisosom sehingga hormon dapat bebas dan menempel pada reseptornya
(Gambar 4.5b).
Para ahli umumnya berpendapat bahwa fraksi testosteron bebas dan
bioavailable yang aktif secara biologis. Namun, megalin, reseptor endositosis
LDL di jaringan reproduksi, dapat meningkatkan serapan seluler testosteron
yang terikat pada SHBG melalui proses endositosis (Hammes et al., 2005).
Setelah degradasi intraseluler, testosteron bebas di sitoplasma (Gambar 4.5c).
Pada pengambilan molekul yang dimediasi melewati membran beserta
protein pengikatnya menempel pada kanal steroid. Kemudian testosteron
akan masuk ke dalam sel (Gambar 4.5d).

METABOLISME TESTOSTERON
Testis menghasilkan Androgen seperti testosteron, 5α-dihydrotestosterone
(DHT), androsteron, androstenedion, 17-hidroksiprogesteron, progesteron, dan
pregnenolone. Peran androstenedion, progesteron, dan 17-hidroksiprogesteron
di dalam testis belum diketahui, tetapi reseptor progesteron telah ditemukan
di sel peritubular dan spermatozoa (Luetjens et al., 2006; Modi et al., 2007).
Sebagian testosteron mengalami metabolisme (biotransformasi) baik
menjadi metabolit aktif seperti DHT dan estradiol maupun metabolit yang
tidak aktif untuk diekskresikan. Proses transformasi ini antara lain melalui
aromatisasi, reduksi, dan glukoronidasi.

AROMATISASI TESTOSTERON
Aromatisasi testosteron menyebabkan terbentuknya estradiol. Estradiol
juga dapat diproduksi sebagai hasil dari aromatisasi androstendion menjadi

BAB 4 STEROIDOGENESIS 57
Copyright @ Airlangga University Press

estron yang selanjutnya direduksi menjadi estradiol pada jaringan tepi (lihat
Gambar 4.2).
Estrogen memengaruhi testosteron baik secara sinergis maupun
antagonis. Estrogen dibutuhkan untuk penutupan epifisis. Kadar bioavailable
estrogen dan testosteron berhubungan erat dengan turnover tulang yang
tinggi dan rendahnya risiko fraktur osteoporosis. Defisiensi aromatase pada
pria dihubungkan dengan kejadian resistansi insulin dan diabetes melitus
tipe 2. Gangguan rasio estrogen terhadap testosteron diduga bertanggung
jawab terhadap perkembangan gangguan toleransi glukosa dan resistansi
insulin pada pasien dengan defisiensi aromatase yang mendapatkan terapi
sulih testosteron. Ketidakseimbangan rasio estrogen terhadap testosteron juga
diduga sebagai penyebab ginekomastia.

REDUKSI TESTOSTERON
Reduksi testosteron menjadi DHT terjadi di retikulum endoplasma
melalui kerja enzim 5α-reduktase yang terletak di dalam mikrosom.
Testosteron dan DHT berikatan dengan reseptor androgen yang sama di
intraseluler untuk mengatur ekspresi gen pada jaringan target. Namun, kedua
hormon menghasilkan respons biologis yang berbeda. Mekanisme molekuler
yang membawa perbedaan aktivitas ini belum diketahui.
Terdapat tiga isoform 5α-reduktase yang telah diidentifikasi pada
manusia (Stiles et al., 2010). Enzim yang dikenal dengan nama lain 3-Oxo-5-
Alpha-Steroid 4-Dehydrogenase ini independen terhadap nikotinamida adenin
dinukleotida fosfat (NADPH), menyebabkan reduksi ikatan rangkap pada
posisi empat sampai lima pada steroid C19 serta steroid C21.
Gen untuk 5α-reduktase tipe 1 (SRD5A1) terletak pada kromosom 5p15,
mengkodekan protein dengan 259 asam amino. Gen untuk 5α-reduktase tipe 2
(SRD5A2) ada pada kromosom 2p23, mengkodekan protein yang sedikit lebih
pendek dengan 254 asam amino. Sedangkan gen untuk 5α-reduktase tipe 3
(SRD5A3) terletak pada kromosom 4q12, mengkodekan protein dengan 318
asam amino. 5α-reduktase tipe 3 hanya memiliki kemiripan 19% dengan tipe
1 dan 20% dengan tipe 2 (Azzouni et al., 2012).
Peran SRD5A3 pada sistem reproduksi belum jelas. Mutasi SRD5A3
dilaporkan menyebabkan sindroma multi sistem yang terdiri dari mal
formasi mata, hipoplasia vermis serebelar, dan keterlambatan perkembangan

58 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

psikomotor (Cantagrel et al., 2010 ). Untuk itu, pembahasan mengenai 5α-


reduktase lebih diarahkan ke tipe 1 dan 2.
Enzim 5α-reduktase tipe 1 dan 2 sangat mirip tetapi menunjukkan sifat
biokimia yang berbeda. Enzim tipe 1 bekerja optimal pada pH basa, sedangkan
pH optimal untuk tipe 2 bersifat asam. Selain itu, distribusi jaringan keduanya
berbeda. 5 α-reduktase tipe 1 terletak di kulit non-genital, hati, otak, prostat,
ovarium, dan testis. Sedangkan tipe 2 terutama aktif pada jaringan androgen-
dependent klasik, seperti epididimis, kulit genital, vesikula seminalis, testis dan
prostat, tetapi juga di hati, rahim, payudara, folikel rambut, dan plasenta.
Pada tingkat sel, DHT mempertahankan diferensiasi dan pertumbuhan
serta sangat penting untuk perkembangan seksual normal dan virilisasi
pada pria. DHT juga memengaruhi massa otot dan pendalaman suara. DHT
mentransaktifkan reseptor androgen, yang menyebabkan transkripsi gen dan
pertumbuhan prostat.

JALUR ALTERNATIF SINTESIS DHT


Reduksi testosteron bukan satu-satunya jalur biosintesis DHT. Di testis
tammar wallaby muda (sejenis kanguru), DHT dapat terbentuk dari reduksi
17 OH-Progesteron menjadi 5α pregnan-17α-ol-3,20-done (pdione) yang lebih
lanjut menjadi 5α pregnan-3α, 17α -diol-20-one (pdiol) melalui alternatif lain,
jalur “pintu belakang” (backdoor). Jalur pintu belakang ini telah diduga terjadi
pada manusia juga. Hal ini dibuktikan dengan identifikasi mutasi patologis
gen yang terlibat dalam jalur pintu belakang pada pasien laki-laki dengan
genital eksternal yang kurang mengalami maskulinisasi (Flück et al., 2011) dan
analisis profil steroid urine menunjukkan relevansi jalur ini terhadap virilisasi
abnormal pada perempuan dengan defisiensi 21-hidroksilase (Kamrath et
al., 2012). Dengan demikian, jalur pintu belakang bekerja pada testis janin
dalam kondisi fisiologis untuk menghasilkan jumlah DHT yang cukup untuk
perkembangan seks laki-laki dan kemungkinan diinduksi oleh adrenal janin
dan permanen dalam kondisi patologis defisiensi 21-hidroksilase (Fukami et
al., 2013).

BAB 4 STEROIDOGENESIS 59
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.6 Jalur umum dan jalur alternatif pembentukan DHT (Fukami, 2013)

METABOLISME UNTUK EKSKRESI ANDROGEN


DHT dieliminasi oleh enzim 3α-HSD (aldo-keto reduktase1C2), yang
mereduksi 5α-DHT menjadi 3α-androstanediol (3αdiol). Perubahan ini
bersifat reversibel sehingga 3αdiol dapat diubah kembali menjadi 5α-DHT
melalui aktivitas enzim ini. Pada kulit non genital, pembentukan DHT dari
3αdiol hampir setara dengan reduksi DHT menjadi 3αdiol. Namun, pada
kulit genital, kecepatan pembentukan DHT dari 3αdiol dua kali lebih tinggi
dibandingkan reduksi DHT (Morimoto et al., 1991).
Enzim lain yang terlibat dalam metabolisme DHT adalah 3βHSD,
yang mereduksi DHT menjadi 3β-androstanediol (3βdiol) dan microsomal
uridine diphospho-glucuronic transferase (UDPGT), yang mengkristalkan DHT
menjadi asam glukuronat. Reaksi ini dapat dibalik oleh enzim lain, yakni
β-glukoronidase (Pirog & Collins, 1999).

60 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.7 Metabolisme DHT (Pirog & Collins, 1999)

Pada jaringan manusia, terdapat lima isoform Aldo-Ketoreduktase (AKR)


dengan berbagai aktivitas reduktase pada posisi 3-, 17 dan 20-ketosteroid.
Isoform AKR1C2 mendominasi konversi 5α-DHT menjadi 3α-diol. Peran
kelima isoform dirangkum dalam Tabel 4.2

Tabel 4.2 Aldo-Keto Reduktase manusia yang terlibat dalam


metabolisme hormon
Gen Enzim Reaksi Lokasi
AKR1C1 20α(3β)-HSD Progesteron → 20α- 10p15-10p14
hidroksiprogesteron
5α-DHT → 3β-
androstanediol
AKR1C2 3α-HSD tipe 2 5α-DHT → 3α- 10p15--10p14
androstanediol
AKR1C3 17β-HSD tipe 5 Δ4-androstene-3,17-dion 10p15--10p14
Prostaglandin F → testosterone
sintase PGH2→ PGF2α
PGD2→ 11β-PGF2
AKR1C4 3α-HSD tipe 1 3-ketosteroid → 3α- 10p15--10p14
hidroksisteroid
AKR1D1 Steroid 5β-reduktase Δ4-3-ketosteroid → 5β- 7q32-7q33
dihydrosteroid
(Penning et al., 2009)

BAB 4 STEROIDOGENESIS 61
Copyright @ Airlangga University Press

Testosteron diekskresikan terutama sebagai konjugat glukuronid


(Dehennin & Matsumoto, 1993 ) setelah glukuronidasi oleh UGT sementara
sebagian kecil dalam bentuk bebas. Enzim ini memiliki peran kunci dalam
homeostasis sejumlah molekul endogen termasuk hormon steroid dan
memfasilitasi ekskresi testosteron dalam empedu dan urine (Belanger et al.,
2003). UGT2B17 merupakan salah satu anggota UGT2B yang sangat aktif
dalam glukoronidasi androgen. Sebuah penelitian menunjukkan perbedaan
profil ekskresi testosteron di urine pada ras yang berbeda akibat polimorfisme
UGBT2B17 (Jakobsson et al., 2006). Interpretasi hasil uji doping dapat rancu
karena polimorfisme ini.

Tabel 4.3 Kadar fraksi metabolit androgen glukuronidasi dan tak


terkonjugasi pada pria sehat dibagi berdasarkan etnis
Etnis
Korea (n = 74) Swedia (n = 122)
Rasio T/EpiT 0,15 (0,08–0,68) 1,8 (1,0–2,6)b
4-Androstenedion 0,13 (0,09–0,17) 0,32 (0,22–0,45)b
5-Androstene-3β,17α-diol 4,4 (3,2– 6,7) 6,7 (5,1–8,8)b
Testosteron 0,33 (0,25– 0,58) 5,4 (3,7–7,1)b
Epitestosteron 3,0 (1,9–4,1) 3,4 (2,0–5,0)
Dihidrotestosteron 0,50 (0,23– 0,80) 1,2 (0,64–1,8)b
5α-Androstanedione 0,60 (0,40–0,91) 0,96 (0,61–1,6)b
5α-Androstane,3α,17β-diol 4,9 (3,7– 6,3) 4,9 (3,6–6,4)
5β-Androstane,3α,17β-diol 3,74 (2,52–5,83) 10,1 (6,2–15,2)b
Androsteron 218 (171–264) 240 (196–309)a
Etiocholanolon 119 (88,3–182)a 99,2 (57,3–158)
11β-OH Androsteron 62,9 (48,1–94,8) 82,5 (61,5–114)b
11β-OH Etiocholanolon 4,3 (1,56 –12,5) 23,0 (6,9–40,7)b

Hasil ditampilkan dalam median (ng/μmol) dengan persetil 25 dan 75.


a P < 0,01; b P < 0,001

(Jakobsson et al., 2006)

62 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

MEKANISME KERJA ANDROGEN


Androgen dapat bekerja melalui reseptor androgen dengan cara
mengikat DNA yang untuk mengatur transkripsi gen target atau dengan
cara yang tidak terikat dengan DNA untuk memulai kejadian seluler yang
cepat seperti fosforilasi (Davey & Grossmann, 2016). Mekanisme pertama
dikenal sebagai efek genomik, sebuah mekanisme yang telah lama dikenal.
Sedangkan mekanisme kedua dikenal sebagai efek non-genomik.

RESEPTOR ANDROGEN
Langkah pertama dalam kerja androgen secara genomik adalah
berikatan dengan reseptor androgen (Androgen receptor/AR) yang juga
dikenal sebagai NR3C4 (nuclear receptor subfamily 3, group C, member 4). AR,
reseptor mineralokortikoid, glukokortikoid, hormon tiroid, retinol, metabolit
asam lemak, estrogen, dan progesteron termasuk dalam keluarga reseptor
nuklear. AR dan reseptor inti lainnya bertindak sebagai faktor transkripsional
melalui sebuah mekanisme umum di mana mereka berikatan dengan ligan
di sitoplasma, menginduksi perubahan konformasional, melepaskan diri dari
kompleks chaperon, dimerisasi, dan translokasi inti (Huang et al., 2010).
Kita mengenal 48 reseptor nuklir yang dikodekan dalam genom
manusia. Dalam banyak kasus, ligannya telah diidentifikasi, tetapi beberapa
“reseptor yatim piatu” tetap ada. Reseptor nuklear dibagi menjadi dua
subfamili. Subfamili pertama adalah reseptor yang pasangan ligan mereka
membentuk homodimer, seperti AR dan reseptor steroid lainnya; subfamili
lain membentuk heterodimer dengan hanya satu ligan, seperti reseptor
hormon tiroid.

BAB 4 STEROIDOGENESIS 63
Copyright @ Airlangga University Press

Tabel 4.4 Beberapa reseptor inti dan ligannya


Reseptor Singkatan Ligan
Reseptor androgen AR Testosteron/DHT
Reseptor estrogen ER Estrogen
Estrogen-related receptor ERR ?
Glucocorticoid receptor GR Kortisol
Mineralocorticoid receptor MR Aldosteron
Progesterone receptor PR Progesteron
Retinoic acid receptor RAR Retinoic acid
Retinoid orphan receptor ROR ?
Retinoic acid-related receptor RXR Rexinoid
Liver X receptor LXR Oxysterols
Peroxisome proliferator-activated receptor γ PPARγ Fatty acid
metabolites
Thyroid hormone receptor TR Thyroid hormone
Vitamin D3 receptor VDR Vitamin D3
(Sever & Glass, 2013)

AR terdiri dari tiga domain fungsional utama: domain pengaturan


transkripsi N-terminal, domain pengikat DNA (DNA binding domain /
DBD) dan domain pengikatan ligan (Ligand binding domain/LBD) (Gambar
8). Domain N-terminal AR adalah yang paling bervariasi, sementara DBD
adalah daerah yang paling memiliki kemiripan di antara keluarga reseptor
hormon steroid.
DBD dari semua reseptor nuklir hormon steroid terdiri dari dua jari seng
yang mengenali urutan DNA yang spesifik. Jari-jari zink ini memudahkan
pengikatan DNA oleh AR sehingga memungkinkan fungsi aktivasi dari
N-terminal dan domain pengikatan ligan untuk merangsang atau menekan
transkripsi gen-gen ini.
DBD terhubung ke domain pengikat ligan oleh daerah engsel (hinge). LDB
juga memiliki struktur serupa antara reseptor nuklir dan memediasi interaksi
antara AR, HSP dan chaperon, serta berinteraksi dengan N-terminal AR untuk
menstabilkan ikatan androgen (Davey & Grossmann, 2016 ).

64 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 4.8 Domain fungsional AR: domain N-terminal domain, DNA binding


domain (DBD), Ligand binding domain. (H – hinge region, AF-1 – transcriptional
activating function 1, AF-2 – transcriptional activating function 2, NLS – nuclear
localisation signal, NES – nuclear export signal) (Davey & Grossmann, 2016 )

GEN RESEPTOR ANDROGEN


Gen AR terletak di kromosom Xq11-12 yang terdiri dari delapan ekson.
Penjelasan mengenai masing-masing ekson dirangkum dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Gen AR dan domain yang dibentuk


Ekson Domain Fungsi
1 N-terminal Pengaturan transkripsi protein
2 Jari zink pertama Pengikatan spesifik reseptor
androgen dengan pasangan
nukleotida kedua dan kelima dari
elemen responsif androgen.
3 Jari zink kedua Menstabilkan ikatan reseptor DNA
melalui interaksi hidrofobik dengan
jari pertama, dan berkontribusi
terhadap spesifisitas ikatan DNA
reseptor, yang menyebabkan
dimerisasi dua molekul reseptor.
4–8 Domain pengikat ligand Mengikat steroid

Ditemukan tiga kodon pada domain N-terminal AR. CAG, mengkode


poliglutamin yang polimorf, sedangkan TGG mengkode poliprolin dan GGC
untuk poliglisin. Pada pria normal, ditemukan sekitar 17–29 ulangan CAG dan
13–17 ulangan GGC. Pada AR, alel CAG dan GGC yang panjang dikaitkan
dengan penurunan fungsi trans-aktivasi dan telah dikaitkan dengan kanker

BAB 4 STEROIDOGENESIS 65
Copyright @ Airlangga University Press

pada wanita. Jumlah ulangan glutamin pada reseptor androgen berkaitan


dengan azoospermia atau oligozoospermia, tetapi hubungan ini tidak jelas.
Pada AR, alel CAG ukuran kecil (< 19 ulangan) dan GGC (< 15 ulangan)
menghasilkan aktivitas reseptor yang lebih tinggi, dan telah dikaitkan dengan
usia onset kanker prostat yang lebih dini, tingkat yang lebih tinggi, serta
stadium yang lebih lanjut pada saat diagnosis.

MEKANISME KERJA GENOMIK ANDROGEN DI DALAM SEL


Androgen berikatan dengan AR pada LBD di sitoplasma. DHT berikatan
dengan afinitas yang lebih tinggi daripada testosteron, karena testosteron
lebih cepat terdisosiasi dari reseptor. Steroid lain seperti androstenedion,
estradiol, dan progesteron berikatan dengan reseptor androgen dengan
afinitas yang lebih rendah.
Ikatan antara ligan dan AR menyebabkan AR lepas dari chaperon seperti
heat shock protein 90 (HSP 90). Chaperon bertanggung jawab untuk menjaga AR
dalam keadaan inaktif. Tanpa ligannya, reseptor androgen dapat berikatan
dengan ligan homolog atau heterolog di sitoplasma dan mendesak efek
penghambatan pada proses kematian sel.
Transpor inti dimediasi oleh reseptor impor melalui sebuah jalur yang
mempekerjakan dua protein, yaitu importin-a dan importin-b. Kompleks
reseptor androgen importin-a dan importin-b kemudian bergerak melalui
kompleks pori-pori inti dan terdisosiasi, kemudian dimediasi oleh guanosine
triphosphatase (GTPase) sehingga melepaskan AR di dalam nukleus.
Di dalam nukleus, ligan dan reseptor berikatan terhadap urutan tertentu
dari DNA genomik dan menginduksi stimulasi sintesis RNA. Remodeling
kromatin seperti modifikasi histon berperan dalam transkripsi gen dan
banyak reseptor nuklear yang berinteraksi dengan koregulator melakukan
peran penting dalam transkripsi gen. Histon demetilase adalah pemain kunci
dalam regulasi transkripsi yang dimediasi oleh androgen.
Regulasi ekspresi reseptor androgen pada tingkat transkripsi dan
translasi sangat kompleks dan bergantung pada faktor-faktor seperti usia,
jenis sel, dan jaringan. Umumnya, androgen memiliki efek positif pada
stabilisasi protein reseptor sehingga pemberian androgen menyebabkan
penghambatan degradasi reseptor dan dengan demikian meningkatkan kadar
protein AR. Efek androgen pada mRNA AR adalah kebalikannya. Dalam

66 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

kasus ini, administrasi androgen menyebabkan down regulation mRNA AR


dengan memendekkan paruh-paruh mRNA.

Gambar 4.9 Mekanisme genomik dan non-genomik reseptor hormon steroid.


Jalur non-genomik dimulai setelah androgen mengikat reseptor yang memediasi
tindakan awal yang dipicu oleh steroid seks. Selain reseptor steroid membran
klasik, terdapat reseptor baru, yang dipasangkan ke protein G, mengaktifkan
kaskade protein kinase atau yang bertindak pada tingkat second messenger seperti
PI3K/AKT/mTOR atau PI3K/AKT/cAMP/Ca2+ atau jalur dimediasi ERK seperti PI3K/
AKT/MAPK-ERK/Elk1 (Contrò et al., 2015)

EFEK NONGENOMIK ANDROGEN


Beberapa respons steroid melibatkan mekanisme non-genomik. Ada
beberapa kriteria/kategori dasar untuk respons androgen dianggap bersifat
non-genomik, yaitu 1) kecepatan: efek harus terjadi dalam waktu yang
singkat (detik sampai menit), tidak cukup lama sehingga memungkinkan
terjadinya transkripsi/translasi gen. Biasanya, respons seluler yang memenuhi
persyaratan ini adalah perubahan kalsium intraseluler bebas dan pengaktifan
jalur utusan kedua (second messenger); 2) dimediasi membran: responsnya

BAB 4 STEROIDOGENESIS 67
Copyright @ Airlangga University Press

mungkin melibatkan reseptor atau protein pengikat yang tertanam di atau


terkait membran, dengan aksi yang dapat diinduksi bahkan ketika steroid
dikonjugasikan ke molekul yang mencegahnya masuk jauh ke dalam
sitoplasma atau translokasi ke inti bila terikat dengan reseptor. Contoh
yang paling umum adalah penggunaan testosteron yang terkonjugasi ke
molekul besar seperti albumin serum sapi (BSA); dan 3) tidak adanya aktivasi
transkripsi/translasi: respons steroid tertentu dapat muncul dalam sistem di
mana transkripsi gen atau sintesis protein tidak mungkin terjadi (Foradori
et al., 2008).
Mekanisme kerja androgen secara non-genomik dapat terjadi melalui
peran SHBG. Reseptor untuk SHBG telah diidentifikasi di banyak jaringan
termasuk prostat, testis, payudara, dan hati. SHBG selain bertindak sebagai
pengatur konsentrasi testosteron, ia juga memainkan peran penting agar
beberapa hormon steroid dapat bekerja tanpa memasuki sel (Rosner et al.,
1999).
Efek membran androgen telah diketahui pada respons fungsional
seperti sekresi PSA yang cepat oleh sel prostat (Papakonstanti et al., 2003) dan
sekresi GnRH oleh sel pituitari (Shakil et al., 2002). Manusia dapat mencium
sejumlah kecil androstenone (16 ene-5a-androsten-3-one) sebagai senyawa
volatil. Sangat mungkin bahwa bau ini dipicu oleh reseptor membran khusus
untuk androstenone di dalam neuron sensoris penciuman (Snyder et al., 1988).
Diketahui bahwa semua reseptor penciuman adalah reseptor G-protein-
coupled.
Ketergantungan spermatogenesis pada kadar testosteron tinggi tidak
dapat dijelaskan oleh sifat reseptor inti klasik dan karena kadar testosteron
yang dibutuhkan untuk mempertahankan spermatogenesis normal jauh lebih
tinggi daripada tingkat kejenuhan AR afinitas tinggi.
Testosteron dapat memodifikasi kerentanan sel T terhadap penyakit
menular. Efek testosteron pada mobilitas kalsium melalui membran sel T telah
dilaporkan (Benten et al., 1997). Karena sel T tidak memiliki reseptor androgen
klasik, respons biologis ini juga menunjukkan adanya keterlibatan reseptor
membran plasma non konvensional untuk ekspresi efek androgen ini.
Sejumlah contoh lebih lanjut yang terkait dengan aksi androgen non-
genomik dilaporkan baru-baru ini. Androgen akut (misalnya dalam kira-kira
30 menit) mengubah frekuensi aktivitas peristaltik dan menambah amplitudo
aktivitas kontraktil otot usus kecil (Gonzalez-Montelongo et al., 2011). Ada juga

68 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

bukti yang cukup bahwa efek non-genomik dari steroid dimediasi melalui
reseptor inti yang merangsang jalur pensinyalan di sitoplasma sel target
(Migliacco et al., 2011).

ANDROGEN INSENSITIVITY SYNDROME


Defek AR seperti delesi atau mutasi inaktif dapat mengubah fungsi
reseptor menimbulkan kondisi klinis yang dikenal sebagai androgen
insensitivity syndrome (AIS). AIS adalah kelainan yang terjadi karena mutasi
AR yang menyebabkan resistansi terhadap testosteron. Terdapat lebih dari 400
mutasi AR yang telah diketahui menyebabkan AIS (Mongan et al., 2015).
Pada individu 46,XY, fenotipe AIS sangat bervariasi, mulai dari
kurangnya virilisasi hingga feminisasi testis. Mutasi yang menyebabkan
resistansi ringan dikenal sebagai mild androgen insensitivity syndrome (MAIS).
Kondisi ini ditandai oleh kurangnya virilisasi dan/atau infertilitas. Resistansi
parsial AR yang lebih berat dikenal sebagai partial androgen insensitivity
syndrome (PAIS), menyebabkan genitalia ambigu. Mutasi yang menonaktifkan
gen reseptor androgen menghasilkan fenotipe wanita karena kurangnya
aktivitas androgen secara keseluruhan. Namun tidak ditemukan rahim dan
hanya sebagian vagina yang terbentuk dan selama pubertas rambut kemaluan
dan aksilaris jarang atau tidak ada. Kondisi ini dikenal sebagai sindrom
insensitivitas androgen lengkap (complete androgen insensitivity syndrome/CAIS)
atau dahulu disebut sebagai sindrom feminisasi testis (testicular feminization
syndrome) (Davey & Grossmann, 2016 ).

DAFTAR PUSTAKA
Azzouni, F., Godoy, A., Li, Y. & Mohler, J. 2012. The 5 Alpha-Reductase Isozyme
Family: A Review of Basic Biology and Their Role in Human Diseases.
Advances in Urology, 2012:1–18.
Belanger, A., Pelletier, G., Labrie, F., Barbier, O. & Chouinard, S. 2003.
Inactivation of androgens by UDP-glucuronosyltransferase enzymes
in humans. Trends Endocrinol Metab, 14:473–479.
Cantagrel, V., Bélanger, A ., Pelletier, G., Labrie, F., Barbier, O. & Chouinard, S.
2010 . SRD5A3 Is Required for Converting Polyprenol to Dolichol and Is
Mutated in a Congenital Glycosylation Disorder. Cell, 142:203–217.

BAB 4 STEROIDOGENESIS 69
Copyright @ Airlangga University Press

Contrò, V., Basile, J.R. & Proia, P. 2015. Sex steroid hormone receptors, their
ligands, and nuclear and non-nuclear pathways. AIMS Molecular Science,
2(3):294–310.
Cui, Y.R., Guo, Y.H., Qiao, S.D., Leng, L.F., Xie, Z.H., Chen, H. & Wang, X.L. 2017.
Correlation between SHBG gene polymorphism and male infertility in
Han population of Henan province of China: A STROBE-compliant
article. Medicine, August, 96(32):e7753.
Davey, R.A. & Grossmann, M. 2016. Androgen Receptor Structure, Function
and Biology: From Bench to Bedside. The Clinical Biochemist Reviews,
37(1):3–15.
De Ronde, W., Van Der Schouw, Y.T., Pols, H.A., Gooren., L.J., Muller, M.,
Grobbee, D.E. & De Jong, F.H. 2006. Calculation of bioavailable and free
testosterone in Men: A Comparison of published Algorithms. Clinical
Chemistry, 52(9):1777–1784.
Dehennin, L. & Matsumoto, A.M. 1993. Long-term administration of
testosterone enanthate to normal men: alterations of the urinary profile
of androgen metabolites potentially useful for detection of testosterone
misuse in sport. J Steroid Biochem Mol Biol, 44:179–189.
Flück, C. E., Meyer-Böni, M., Pandey, A.V., Kempná, P., Miller, W.L., Schoenle,
E.J. & Biason-Lauber, A. 2011. Why boys will be boys: two pathways
of fetal testicular androgen biosynthesis are needed for male sexual
differentiation. Am J Hum Genet, August, 89(2):201–218.
Foradori, C.D., Weiser, M.J. & Handa, R.J., 2008. Non-genomic Actions of
Androgens. Front Neuroendocrinol, May, 29 (2):169–181.
Fukami, M., Homma, K., Hasegawa, T. & Ogata, T. 2013. Backdoor pathway
for dihydrotestosterone biosynthesis: implications for normal and
abnormal human sex development. Developmental Dynamics, April,
242(4):320–329.
Hammes, A., Andreassen, T.K., Spoelgen, R., Raila, J., Hubner, N., Schulz,
H., Metzger, J., Schweigert, F.J., Luppa, P.B., Nykjaer, A. & Willnow,
T.E. 2005. Role of endocytosis in cellular uptake of sex steroids. Cell,
September, 122(5):751–762.
Henley, D.V., Lindzey, J. & Korach, K.S. 2005. Steroid Hormones. Dalam
Endocrinology Basic and Clinical Principles: 49-65. Disunting oleh S.
Melmed & P. M. Conn. Totowa (New Jersey): Humana Press.

70 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Huang, P., Chandra, V. & Rastinejad, F. 2010. Structural Overview of the Nuclear
Receptor Superfamily: Insights into Physiology and Therapeutics. Annu
Rev Physiol, 72:247–272.
Jakobsson, J., Ekström, L., Inotsume, N., Garle, M., Lorentzon, M., Ohlsson,
C., Roh, H.K., Carlström, K. & Rane, A. 2006. Large Differences in
Testosterone Excretion in Korean and Swedish Men Are Strongly
Associated with a UDP-Glucuronosyl Transferase 2B17 Polymorphism.
J Clin Endocrinol Metab, 91:687–693.
Kamrath, C., Hochberg, Z., Hartmann, M.F., Remer, T. & Wudy, S.A. 2012.
Increased activation of the alternative “Backdoor” pathway in patients
with 21-hydroxylase deficiency: evidence from urinary steroid hormone
analysis. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, March,
97(3):E367–E375.
Kasal, A. 2010. Structure and Nomenclature of Steroids. Dalam Steroid Analysis:
1-25. Disunting oleh H. L. J. Makin & D. B. Gower. Netherlands: Springer
Science.
Mongan, N.P., Tadokoro-Cuccaro, R., Bunch, T. & Hughes, I.A. 2015. Androgen
insensitivity syndrome. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab, 29:
569–580.
Morimoto, I., Eto, S., Inoue, S., Izumi, M., Nagataki, S., Saito, Y. & Hara, T. 1991.
DHT formation and degradation in cultured human skin fibroblasts:
DHT accumulation in genital skin. J Steroid Biochem Mol Biol, 38:
227–232.
Penning, M,T. & Byrns, M.C. 2009. Steroid Hormone Transforming Aldo-Keto
Reductases and Cancer. Ann N Y Acad Sci, 1155:33–42.
Pirog, E.C. & Collins, D.C. 1999. Metabolism of Dihydrotestosterone in Human
Liver: Importance of 3α- and 3β-Hydroxysteroid Dehydrogenase. J Clin
Endocrinol Metab, 84(9):3217–3221.
Rosner, W., Hryb, D.J. & Khan, M.S. 1999. Sex hormone-binding globulin
mediates steroid hormone signal transduction at the plasma membrane.
J Steroid Biochem Mol Biol, 69:481–485.
Safarinejad, M.R., Shafie, I.N. & Safarinejad, S. 2011. Association of the (TAAAA)
n repeat and Asp327Asn polymorphisms in the sex hormone-binding
globulin (SHBG) gene with idiopathic male infertility and relation to
serum SHBG concentrations. Biochem Mol Biol, 123(1-2):37–45.

BAB 4 STEROIDOGENESIS 71
Copyright @ Airlangga University Press

Sever, R. & Glass, C.K. 2013. Signaling by Nuclear Receptors. Cold Spring Harb
Perspect Biol, March, 5(3):a016709.
Simoni, M. & Nieschlag, E. 2010. Endocrine Laboratory Diagnosis. Dalam
Andrology Male Reproductive Health and Dysfunction: 109-118. Disunting
oleh E. Nieschlag, H. M. Behre & S. Nieschlag. Heidelberg Dordrecht
London New York: Springer.
Stiles, A.R., Russell D.W. 2010. SRD5A3: A Surprising Role in Glycosylation.
Cell, 142(2):196–198.
Yazawa, T., Imamichi, Y., Miyamoto, K., Uwada, J., Md Rafiqul, I.K. &
Taniguchi, T. 2015. Overviews of Stem Cells for Gonadal and Adrenal
Steroidogenic Cells. American Journal of Life Sciences, May, 3(3-2):58–64.

72 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 5 SPERMATOGENESIS

PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas fungsi utama testis yang kedua, yaitu
spermatogenesis. Namun, untuk memiliki kapasitas membuahi telur secara
alamiah, spermatozoa membutuhkan peran organ lain dari sistem reproduksi
pria. Pada saat diejakulasikan, spermatozoa akan bergabung dengan seminal
plasma yang dihasilkan oleh beberapa kelenjar tambahan. Spermatozoa hanya
menyusun 2–5% dari ejakulat ini, selebihnya merupakan seminal plasma
(Vitku et al., 2017). Berbagai perubahan pada spermatozoa selama berada di
saluran reproduksi wanita juga perlu terjadi.
Dengan demikian, lingkup bahasan bab ini tidak hanya tentang proses
yang terjadi pada testis, tetapi juga pada peran kelenjar tambahan serta
produk akhir dari spermatogenesis, yaitu spermatozoa, dan seminal plasma.
Proses perubahan spermatozoa selama di dalam saluran reproduksi wanita
akan dibahas pada bab fertilisasi alamiah.

SPERMATOGENESIS
Proses pembent uka n sper matozoa di kenal denga n ist ila h
spermatogenesis. Menurut Clermont, proses ini pada manusia berlangsung
dalam waktu 64 hari di dalam testis dengan tambahan waktu 10–14 hari
di dalam epididimis untuk maturasi spermatozoa. Dengan demikian,
keseluruhan proses membutuhkan waktu 70 + 4 hari (Clermont, 1972). Namun,
studi yang lebih baru menunjukkan bahwa keseluruhan proses dari produksi
hingga siap ejakulasi spermatozoa selesai dalam waktu yang lebih singkat,
rata-rata 64 ± 8 hari dan dengan rentang 42–76 hari (Missell et al., 2006).

73
Copyright @ Airlangga University Press

Spermatogenesis terjadi di dalam testis, tepatnya di dalam tubulus


seminiferus. Proses ini merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai
sel dan hormon. Spermatogenesis dimulai saat pubertas dan bersinambung
sepanjang kehidupan pria dewasa.

ANATOMI TESTIS
Kata testis memiliki padanan kata “testimony” atau “testify” yang berarti
saksi. Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu orang bersumpah sambil
memegang pangkal pahanya. Istilah lain yang digunakan untuk testis adalah
“orchis”. Testis berbentuk ovoid dengan ukuran panjang ± 4,5 cm, lebar; + 3,5
cm; tebal + 3 cm, serta berat 15–25 gram.
Testis dibungkus oleh tunika vaginalis dan tunika albuginea. Tunika
albuginea memasuki testis, membentuk sekat-sekat yang dikenal dengan
istilah septum testis. Ruangan yang terbentuk oleh septa testis disebut lobus
testis. Dalam sebuah testis terdapat 250–300 lobulus testis. Di dalam lobus
testis inilah terdapat dua kompartemen yang dapat dibedakan secara anatomis
maupun fisiologis, yaitu kompartemen tubular dan interstitial. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa kompartemen tubular berperan dalam
spermatogenesis sementara interstitial berperan pada steroidogenesis.
Meskipun secara anatomis terpisah, tetapi kedua kompartemen
berhubungan fisiologis secara erat. Untuk menghasilkan spermatozoa dalam
kuantitas dan kualitas yang normal, kedua kompartemen perlu bekerja
dengan baik. Fungsi kedua kompartemen ini dikontrol secara endokrin oleh
hipotalamus dan hipofisis serta mekanisme lokal (parakrin dan autokrin).

KOMPARTEMEN TUBULAR
Kompartemen tubular mengisi sekitar 60–80% volume total testis.
Kompartemen ini mengandung sel germinal, sel peritubular, dan sel Sertoli.
Panjang sebuah tubulus seminiferus bila direntangkan sekitar 30–80 cm.
Apabila dihitung secara kumulatif, panjang tubulus seminferus dalam sebuah
testis sekitar 360 m.

74 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

SEL PERITUBULAR
Tubulus seminiferus dibungkus oleh lamina propia yang terdiri dari
membran basal, lapisan kolagen, dan sel peritubular (myofibroblas). Sel ini
secara bertingkat mengelilingi tubulus dan membentuk lapisan konsentrikal.
Sel ini menghasilkan beberapa faktor yang terlibat dalam kontraktilitas selular,
yaitu panactin, desmin, gelsolin, myosin dan actin (Holstein et al., 1996). Sel
ini juga menyekresi matriks ekstraselular dan faktor-faktor lain yang khas
diekspresikan oleh sel jaringan ikat seperti kolagen, laminin, vimentin,
fibronectin, growth factors, protein fibroblast, dan molekul adhesi (Albrecht
et al., 2006; Schell et al., 2008). Kultur sel peritubular manusia juga terbukti
menghasilkan nerve growth factor dan molekul proinflamasi seperti Il-1b dan
cyclooxygenase-2 di bawah pengaruh TNF-α (Schell, et al., 2008). Baru-baru
ini ditemukan bahwa sel peritubular juga mensekresikan pigment epithelium-
derived factor (PEDF), yang mungkin bertanggung jawab atas avaskularitas
tubulus seminiferus (Windschüttl et al., 2015). Sperma matur ditranspor keluar
dari tubulus seminiferus oleh kontraksi sel ini. Kontraktilitas sel peritubular
diatur oleh endothelin dan peptida relaksan adrenomedullin yang diproduksi
oleh sel Sertoli (Romano et al., 2005).

SEL SERTOLI
Sel Sertoli adalah sel somatik di dalam tubulus yang setelah mencapai
usia dewasa tidak aktif membelah lagi. Nama ini berasal dari penemunya,
Enrico Sertoli (1842–1910), ilmuwan Italia yang pertama kali menjelaskannya.
Sel ini terletak di membran basal dan meluas hingga ke lumen tubulus
seminiferus. Sel ini dapat dianggap sebagai struktur penunjang sel benih.
Sepanjang badan sel, terdapat sel benih dengan berbagai tingkat diferensiasi,
dari spermatogonium hingga elongated spermatid.
Secara umum, sel Sertoli berfungsi untuk mengoordinasi spermatogenesis.
Hal ini dapat dilakukan melalui struktur ektoplasma khusus menjaga batas
dan orientasi sperma selama diferensiasi, sintesis dan sekresi beragam faktor
(protein, sitokin, growth factors, opioid, steroid, prostaglandin, modulator
pembelahan sel, dan lain-laim), fagositosis, dan memiliki mikrotubulus serta
filamen intermediet yang memberikan kemampuan untuk adaptasi bentuk
sel. Pada manusia, setiap sel Sertoli berkontak dengan sekitar 10 sel geminal

BAB 5 SPERMATOGENESIS 75
Copyright @ Airlangga University Press

atau 1,5 spermatozoa (Zhengwei et al., 1998). Sel Sertoli juga menciptakan
dan menjaga patensi lumen tubulus melalui sekresi cairan tubular. Lebih
dari 90% cairan sel Sertoli disekresikan ke dalam lumen tubulus. Elemen
struktural khusus pada sawar darah testis mencegah reabsorpsi cairan ini
untuk menghasilkan tekanan yang berfungsi menjaga patensi lumen. Sperma
ditranspor di dalam cairan tubular. Komposisi cairan ini pada manusia belum
diketahui dengan pasti. Penelitian yang ada baru mengetahui komposisi
cairan tubulus pada tikus (Setchell, 1999).
Sel Sertoli yang berdekatan akan membentuk Sertoli cells tight junction
yang termasuk blood-testis-barrier atau sawar darah testis. Penutupan sawar
darah testis ini terjadi saat meiosis sel benih telah terjadi dan proliferasi
sel Sertoli telah berhenti. Sawar darah testis membagi epitel seminiferus
menjadi dua bagian, yaitu regio basal tempat sel benih stadium awal dan
regio adluminal tempat sel benih stadium lanjut (Smith & Braun, 2012).
Selama perkembangannya, sel benih berpindah dari basal menuju
adluminal. Proses ini terjadi melalui disolusi dan perakitan kembali tight
junction di atas dan di bawah sel benih yang berpindah. Sawar darah testis
berfungsi sebagai isolasi fisik sel haploid (pembelahan meiosis menyebabkan
spermatosit primer dari keadaan diploid akan berubah menjadi haploid pada
tahap selanjutnya) untuk mencegah pengenalan sel haploid oleh sistem imun
dan persiapan lingkungan khusus untuk proses meiosis dan perkembangan
sperma (Smith & Braun, 2012).

SEL BENIH (SEL GERMINAL)


Beragam sel benih tersusun dalam hubungan selular yang tipikal di dalam
tubulus seminiferus. Sel ini terdiri dari sel punca pada bagian basal hingga
spermatozoa pada lumen. Spermatogonia terletak pada bagian basal epitel
seminiferus dan diklasifikasikan menjadi tipe A dan B. Tipe A dibedakan menjadi
spermatogonium Ad (dark) dan spermatogonium Ap (pale). Spermatogonium
Ad sangat jarang membelah dan tidak menunjukkan aktivitas proliferasi dalam
kondisi normal (Ehmcke & Schlatt, 2006). Spermatogonia ini dianggap sebagai
sel punca testikular (Ehmcke et al., 2006). Sel ini akan mengalami mitosis saat
jumlah spermatogonia berkurang secara drastis, contohnya karena radiasi (de
Rooij, 1998). Sedangkan spermatogonium Ap membelah, memperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi spermatogonium B.

76 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Dari spermatogonium B, spermatosit preleptopten dihasilkan sebelum


permulaan pembelahan meiosis. Kemudian sel ini memulai menggandakan
kromosomnya (2n /4C), terus mengalami berbagai fase hingga fase pachiten
yang ditandai oleh sintesis RNA yang intensif. Spermatid merupakan hasil
akhir pembelahan meiosis dan mengandung kromosom separuh dari sel
somatik (haploid).
Spermatid awalnya berbentuk bulat (round spermatid) dan tidak aktif
membelah. Sel ini mengalami serangkaian perubahan menjadi elongated
spermatid yang dikenal sebagai spermiogenesis dan dilepas dari sel Sertoli
menjadi spermatozoa melalui spermiasi. Spermatozoa merupakan bentuk
sel matur dari sel germinal yang terdapat dalam tubulus seminiferus.
Pembahasan mengenai morfologi spermatozoa lebih lanjut akan dibahas pada
sub pokok bahasan tersendiri.

REGULASI HORMONAL PADA SPERMATOGENESIS

Sistem Kisspeptin-GPR54
Spermatogenesis dipengaruhi oleh regulasi endokrin serta lokal yaitu
melalui poros Hipotalalmus-Hipofisis-Testis. Hipotalamus akan menyekresi
GnRH yang diatur oleh sistem kisspeptin-GPR54. Kisspeptin adalah produk
dari gen KISS, yang terletak di kromosom 1q32.1. KISS1 mulanya dijelaskan
sebagai sebuah gen supresor tumor pada manusia untuk kemampuannya
menghambat pertumbuhan melanoma dan metastasis kanker payudara.
Kemudian diketahui bahwa kisspeptin (juga dikenal sebagai metastin) adalah
ligan alami dari reseptor GPR54 (G protein coupled receptor) yang memiliki
peran dalam menginisiasi sekresi GnRH saat pubertas.
Neuron yang mengekspresikan Kisspeptin terletak di nukleus
anteroventral periventricular (AVPV), nucleus periventricular, nucleus anterodorsal
preoptic dan nucleus arcuatus (ARC). Gen KISS1 juga diekspresikan pada
plasenta, testis, pankreas, dan usus.
Bila diinjeksikan, kisspeptin menstimulasi sekresi LH, melalui interaksi
dengan reseptor, GPR54 yang terletak di permukaan neuron sekretor
GnRH. Gen GPR54 terletak pada kromosom 19p13.3. Pada tahun 2003
ditemukan bahwa mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi pada GPR54
pada manusia menyebabkan kegagalan pubertas dan hipogonadotropik

BAB 5 SPERMATOGENESIS 77
Copyright @ Airlangga University Press

hipogonadisme (De Roux, 2003; Seminara, 2003). Dengan demikian, sistem


kisspeptin-GPR54 penting untuk menginisiasi sekresi gonadotropin saat
pubertas dan mempertahankan androgenisasi pada saat masa dewasa.
Neuron kisspeptin yang terletak di ARC dan AVPV mengirim proyeksi ke
area medial preoptica, sebuah regio yang kaya dengan badan sel neuron GnRH
yang mengekspresikan GPR54.
GnRH yang akan memerintahkan hipofisis untuk menghasilkan hormon
gonadotropin (FSH dan LH). FSH mengaktifkan sel Sertoli, sementara LH
merangsang sel Leydig untuk menghasilkan testosteron. Sebagian testosteron
akan diikat oleh androgen binding protein (ABP) yang diproduksi oleh sel Sertoli,
sementara sebagian kecil akan masuk ke sirkulasi. Pengikatan testosteron oleh
ABP membantu pergerakan testosteron ke arah lumen tubulus seminiferus.
Sebagaimana di bagian lain, testosteron bekerja melalui reseptornya
(AR). Namun, pada tubulus seminiferus, tempat terjadinya spermatogenesis,
AR tidak ditemukan pada sel germinal. AR ditemukan pada sel sertoli dan
peritubular (Peritubular Myoid Cell = PTC). Spermatosit memiliki reseptor ABP,
protein yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Dengan demikian, peran testosteron
dalam spermatogenesis dimediasi oleh sel Sertoli dan PTC.
Peran testosteron terhadap spermatogenesis dibuktikan melalui
penelitian knock-out reseptor androgen seperti Sertoli Cell Androgen Receptor
Knock Out (SCARKO) dan Androgen Receptor Knock Out (ARKO) (O’Hara &
Smith, 2015).

Tabel 5.1 Manifestasi klinis knock out reseptor androgen pada


beberapa sel
Knock out Manifestasi Klinis
Sel Sertoli Infertil, tidak ditemukan sel germinal post meiotic
PTC Infertil, reduksi semua tahap sel germinal
Sel Leydig Fertil, sel Leydig immatur

Testosteron dan metabolitnya dalam darah yang berlebihan akan


memberikan umpan balik negatif kepada hipotalamus. Testosteron, Estradiol,
dan DHT mengurangi frekuensi pulsasi GnRH (Pitteloud et al., 2008b; Hayes
et al., 2000; Canovatchel et al., 1994). Steroid tidak dapat memengaruhi sekresi
GnRH secara langsung pada neuron GnRH, tetapi melalui neuron kisspeptin
pada ARC.

78 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Testosteron melalui estradiol dalam darah yang berlebihan akan


memberikan umpan balik negatif ke hipofisis (Pitteloud et al., 2008b). Namun,
metabolit testosteron lainnya, DHT di darah tidak memiliki peran penting
dalam proses ini (Bagatell et al., 1994). Pada level hipofisis, testosteron dan
estradiol menghambat kerja GnRH (Tilbrook & Clarke, 2001). Studi hewan
menunjukkan hambatan kerja GnRH ini disebabkan karena testosteron
mengubah respons Ca2+ terhadap induksi GnRH (GnRH induced calcium signal)
pada sel gonadotrop (Tobin, et al., 1997). Umpan balik ini menyebabkan sel
gonadotrop mengurangi produksi FSH maupun LH (Pitteloud et al., 2008a;
Pitteloud et al., 2008b).
Sel Sertoli, menyekresikan inhibin B untuk memberikan umpan balik
kepada hipofisis agar mengurangi sekresi FSH. Dalam spermatogenesis,
testosteron yang berperan adalah testosteron intratestikular yang berperan
secara parakrin, bukan yang beredar di dalam darah. Fenomena ini dapat
menjelaskan mengapa pemberian testosteron eksogen dapat menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah sperma dalam ejakulat.

E2
DHT T LH FSH Inhibin B

PTC

Gambar 5.1 Aksis hipotalamus hipofisis testis dan peranannya dalam


spermatogenesis garis putus-putus merah menandakan umpan balik negatif
(dimodifikasi dari https://brainandgender.files.wordpress.com/2011/04/kissfigure31.
jpg dan Gardner et al.)

BAB 5 SPERMATOGENESIS 79
Copyright @ Airlangga University Press

TAHAPAN SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus, dimulai
dari pembelahan sel punca yang bersifat diploid dan berakhir dengan
pembentukan spermatozoa matur yang haploid. Proses ini dapat dibagi
menjadi empat fase sebagai berikut.
1. Proliferasi mitosis dan diferensiasi spermatogonia (spermatogoniogenesis
dan spermatositogenesis).
2. Pembelahan meiosis, yaitu pembelahan spermatosit menjadi
spermatid
Pembelahan meiosis merupakan proses penting di mana terjadi
rekombinasi material genetik dan reduksi kromosom. Profase meiosis
pertama merupakan fase terpanjang dalam proses meiosis. Fase
ini berlangsung 1–3 minggu, sementara keseluruhan fase lainnya
diselesaikan dalam waktu 1–2 hari.
Dari spermatogonium B, spermatosit preleptopten dihasilkan sebelum
permulaan pembelahan meiosis. Sel ini memulai menggandakan
kromosomnya (2n /4C), kemudian terus mengalami berbagai fase hingga
fase pachiten yang ditandai oleh sintesis RNA yang intensif. Spermatosit
sekunder merupakan hasil dari pembelahan meiosis pertama yang
mengandung kromosom haploid dalam kondisi terduplikasi (n/2C).
Selama meiosis 2, spermatosit membelah menjadi spermatid yang
haploid (n/C).
Spermatid baik round maupun elongated mengandung kromosom haploid
sehingga sudah memiliki semua informasi yang dibutuhkan untuk
fertilisasi. Sejak era ICSI, meskipun lebih sulit dan memiliki angka
keberhasilan yang rendah, round spermatid dapat digunakan untuk
membuahi oosit (Tanaka et al., 2015).
3. Spermiogenesis, yaitu perubahan spermatid menjadi spermatozoa
Spermiogenesis merupakan proses diferensiasi sel yang berlangsung
kira-kira tiga minggu. Proses ini terdiri dari empat fase, yaitu Golgi, cap,
akrosom dan maturasi.
Pada tahap ini terjadi pembentukan akrosom, pemanjangan spermatid,
kondensasi inti, pembentukan mid piece dan ekor, serta reduksi volume
sitoplasma.

80 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

4. Spermiasi, pelepasan spermatozoa dari epitel germinal menuju lumen


tubulus.

Gambar 5.2 Skema tahapan spermatogenesis manusia (Weinbauer et al., 2010)

Di dalam tubulus seminiferus, seluruh komponen sel germinal mewakili


satu dari 6 tahapan spermatogenesis yang dijelaskan oleh Clermont (1963).
Tahapan ini didefinisikan sebagai sebuah hubungan karakteristik sel germinal
yang mewakili beberapa gelombang spermatogenesis yang terjadi secara
bersamaan di dalam epitel seminiferus. Epitel seminiferus manusia umumnya
menunjukkan susunan yang multi tahap.

BAB 5 SPERMATOGENESIS 81
Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 5.3 Enam tahapan spermatogenesis manusia menurut (Clermont dalam


Weinbauer et al., 2010)

PERAN EPIDIDIMIS
Epididimis merupakan saluran transportasi spermatozoa dari testis
menuju ke organ yang lebih distal serta berperan dalam penyimpanan
sementara hingga terjadi proses ejakulasi. Pada manusia waktu yang
dibutuhkan spermatozoa untuk melewati saluran ini antara 4 hingga 12 hari.
Pada kebanyakan mamalia, proses transit ini berlangsung antara 8 hingga
13 hari. Secara alami, spermatozoa memperoleh kapasitas fertilisasi setelah
melalui epididimis (Dacheux & Dacheux, 2014).

82 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

1. Maturasi sperma
Proses yang terjadi di epididimis, di mana spermatozoa meningkatkan
kemampuannya untuk membuahi telur disebut sebagai maturasi sperma.
Proses ini dihubungkan dengan berbagai perubahan fisiologis, biokimia, dan
morfologi pada spermatozoa (Cooper & Yeung, 2010).
Persentase spermatozoa dengan kepala normal meningkat di sepanjang
epididimis. Induksi gerak merupakan fenomena tergantung waktu. Kejadian
gerak spontan dapat disebabkan oleh pengaruh waktu baik selama di dalam
epididimis, maupun di bagian yang lebih proksimal akibat adanya obstruksi
epididimis ataupun duktus deferens (Jow et al., 1993). Meskipun potensi
gerak tidak mutlak ditentukan oleh epididimis, selama di dalam epididimis,
spermatozoa mengalami proses pembentukan pola gerak yang matur yang
ditandai oleh peningkatan nilai parameter kinematik seperti persentase gerak,
kecepatan gerak maju (straight-line velocity/VSL) dan kelurusannya.

2. Peran epididimis pada interaksi spermatozoa dan oosit


Maturasi kemampuan spermatozoa untuk berikatan dengan zona
pelusida terjadi di epididimis. Reseptor zona pada spermatozoa testikular
mengalami modifikasi baik dalam ukuran dan lokasinya selama transit di
epididimis. Epididymal secreted glycoprotein (P34H) yang disekresikan oleh
epididimis juga berperan dalam pengikatan zona (Boué & Sullivan, 1996) dan
ketiadaannya dapat menjadi prediktor kegagalan IVF konvensional (Sullivan
et al., 2006).

3. Pembentukan kemampuan mengalami dan menginduksi reaksi akrosom


Reaksi akrosom lebih banyak terjadi pada sperma matur. Saat
spermatozoa epididimis diinkubasi, reaksi akrosom spontan lebih sedikit
pada spermatozoa yang berasal dari bagian kaput bila dibandingkan dengan
bagian korpus dan kauda (Haidl et al., 1994).

4. Kemampuan fertilisasi sperma


Kemampuan fertilisasi sperma meningkat sesuai dengan lokasinya di
dalam epididimis. Semakin ke distal (kauda), maka kemampuan fertilisasi
semakin meningkat. Hal ini dibuktikan baik pada uji ikatan dengan membran

BAB 5 SPERMATOGENESIS 83
Copyright @ Airlangga University Press

vitelin hamster, parameter keberhasilan ICSI (angka fertilisasi, implantasi


dan keguguran) antara spermatozoa testikular dan epididimis, serta laporan
kehamilan spontan pada pasangan pasca anastomosis bedah akibat obstruksi
saluran transportasi sperma (Cooper, 2007).

5. Penyimpanan sperma dalam epididimis


Kapasitas penyimpanan sperma pada distal kauda epididimis tidaklah
besar, sementara transportasi spermatozoa melaluinya cepat. Setelah dua
minggu abstinensia, spermatozoa tampak di urine (Barratt & Cooke, 1988).
Peningkatan solubilitas oksigen pada temperatur yang rendah (Djakiew &
Cardullo, 1986) dapat membantu viabilitas spermatozoa. Spermatozoa dalam
epididimis manusia dapat mempertahankan kemampuan membuahi secara
in vitro setidaknya 30 jam setelah kematian (Shefi et al., 2006).

6. Perlindungan sperma
Beberapa protein yang disekresikan dalam cairan epididimis berperan
dalam pengurangan spesies oksigen reaktif dalam cairan luminal seperti
GPX5, thioredoxin, GSTM1-3, SOD1, dan PRDX2- 5. Beberapa protein dan
peptida seperti β-defensins, lipocalins, dan CRES dapat berperan dalam
melawan serangan bakteri (Dacheux & Dacheux, 2014).

SPERMATOZOA
Johan Ham mengatakan kepada Antoni van Leeuwenhoek bahwa
dia telah melihat “zaaddiertjes/animalcules/hewan kecil” dalam cairan
mani manusia. Ham menduga “hewan kecil” ini dihasilkan oleh proses
pembusukan. Leeuwenhoek berpikir sebaliknya, menganggap “hewan
kecil” sebagai komponen semen yang normal (Howards, 1997). Pada bulan
November 1677, dia menulis surat kepada William Brouncker, Presiden Royal
Society of London untuk menjelaskan penemuan ini. Dalam surat berikutnya
tertanggal 18 Maret 1678, dia menunjukkan gambar sel sperma manusia dan
anjing (Ombelet & Van Robays, 2010).
Pengamatan Leeuwenhoek membangkitkan konsep (aliran) “spermist”.
Dalam konsep ini, wanita hanya berfungsi sebagai “inkubator” untuk
hewan kecil dan seluruh karakteristik keturunan diwarisi dari benih pria

84 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

ini. Paham ini bertentangan dengan tesis Sir William Harvey tahun 1651
yang menganggap bahwa telur itu adalah satu-satunya sumber dari semua
kehidupan baru. Gagasan ini diadopsi secara luas oleh banyak “ovists”
(Hughes & Pierson, 2013). Namun, sekarang kita mengerti bahwa spermatozoa
dan oosit mengandung separuh perangkat kromosom (haploid) dan masing-
masing berkontribusi secara genetik terhadap keturunan mereka.

Gambar 5.4 Gambaran sperma oleh Antoni van Leeuwenhoek


(Ombelet & Van Robays, 2010)

STRUKTUR SPERMATOZOA
Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri dari kepala yang
mengandung inti dan ekor yang mengandung perangkat yang diperlukan
untuk motilitasnya. Bagian-bagian sperma dijelaskan secara detail sebagai
berikut.

BAB 5 SPERMATOGENESIS 85
Copyright @ Airlangga University Press

Kepala Sperma
Kepala sperma berbentuk oval, berukuran sekitar 4,5 x 3 μm, mengandung
inti dengan jumlah kromosom haploid dan kromatin yang padat. Kondensasi
kromatin terdiri dari kompleks DNA yang mengandung protamin. Bagian
ujung anterior dari kepala sperma diliputi oleh akrosom, sebuah kantong
dengan membran dua lapis yang mengandung akrosin, hyaluronidase dan
enzim hidrolitik lainnya yang terlibat dalam proses fertilisasi.

Gambar 5.5 Struktur spermatozoa matur (Sharma dan Agarwal, 2011)

Ekor Sperma
Ekor sperma terdiri dari leher, middle, principal, dan end piece.
1. Leher atau connecting piece yang berukuran sekitar 0,5 μm, membentuk
plat basal, sentriol. Plat basal berlanjut ke posterior dengan 9 serabut luar
padat/kasar yang berproyeksi ke seluruh ekor.
2. Middle Piece
Middle piece berukuran sekitar 3,5 μm. Pada bagian pusatnya bersama
dengan keseluruhan panjang ekor terdapat aksonema. Aksonema

86 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

sendiri tersusun dari 9 pasang mikrotubulus yang tersusun secara radial


mengelilingi dua filamen sentral. Aksonema dikelilingi 9 serat kasar/
padat luar. Aksonema dan serat padat pada middle piece diselubungi oleh
sejumlah mitokondria. Mitokondria menyediakan energi (ATP) yang
dibutuhkan untuk motilitas sperma.
3. Principal Piece
Principal piece merupakan kelanjutan posterior dari anulus dan menyebar
hingga mendekati bagian ujung ekor, tersusun dari aksonema sentral
dan serat kasar. Selaput fibrous memberikan stabilitas untuk elemen
kontraktil dari ekor.
4. End Piece/Terminal Piece
End piece berukuran sekitar 3 μm, merupakan kelanjutan posterior dari
bagian akhir selubung fibrous yang hanya mengandung aksonema
sentral yang diselubungi oleh membran plasma. Aksonema bertanggung
jawab untuk motilitas. Pasangan mikrotubulus luar dari pola 9 + 2
menghasilkan gelombang pada ekor melalui gerakan meluncur antara
pasangan yang berdekatan.

Gambar 5.6 Komponen dari aksonema secara skematis. Kompleks aksonema


terdiri atas 9 pasang mikrotubulus yang saling terkait oleh nexin dan dihubungkan
dengan selubung pusat dari pasangan sentral oleh radial spokes
(Cooper & Yeung, 2010).

BAB 5 SPERMATOGENESIS 87
Copyright @ Airlangga University Press

MORFOLOGI SPERMA
Dengan pewarnaan, kepala, leher, dan sebagian ekor terwarnai,
sementara end piece tidak terwarnai. Berbagai teknik pewarnaan telah
diterapkan pada pemeriksaan morfologi spermatozoa. Perbedaan teknik
ini dapat menyebabkan perubahan morfometrik pada kepala spermatozoa
(Maree et al., 2010; Aksoy et al., 2012).
Menurut kriteria ketat Krueger, spermatozoa yang dianggap normal
secara morfologi adalah sperma yang identik dengan spermatozoa yang
diperoleh dari traktus reproduksi wanita, terutama mukus endoservik
post koital (Fredricsson & Björk, 1977; Menkveld et al., 1990) dan juga dari
permukaan zona pelusida (Menkveld et al., 1991; Liu & Baker, 1992; Liu et
al., 2003). Dengan penerapan kriteria ketat ini, beberapa kriteria morfologi,
hubungan antara persentase bentuk normal dan berbagai titik akhir fertilitas
(time-to-pregnancy/TTP), angka kehamilan in vivo dan in vitro telah dibuktikan
(Jouannet et al., 1988; Eggert-Kruse et al., 1996; Van Waart et al., 2001; Li et al.,
2014). Hasil yang berbeda pada IVF konvensional dilaporkan oleh Ghirelli-
Filho (Ghirelli-Filho et al., 2012).

PERAN KELENJAR AKSESORIS REPRODUKSI PRIA


Kelenjar seks aksesori merupakan bagian dari sistem reproduksi laki-laki
yang memiliki peran penting dalam proses fertilisasi. Kelenjar seks aksesori
pria utama adalah vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar Cowper
(Wingerd, 2013). Produk kelenjar ini berfungsi untuk memberi nutrisi dan
mengaktifkan spermatozoa, membersihkan saluran uretra sebelum ejakulasi,
dan bertindak sebagai alat transportasi untuk sperma di saluran wanita.

Kelenjar Cowper
Kelenjar Cowper atau kelenjar bulbourethral ditemukan oleh seorang
ahli bedah Inggris, William Cowper pada abad ketujuh (Chughtai et al., 2005).
Kelenjar seks ini berasal dari sinus urogenital intermediate dan homolog
dengan kelenjar Bartholini pada wanita (Smith & Louisville, 1912; Chughtai
et al., 2005).
Kelenjar Cowper berpasangan dan terletak di bawah kelenjar prostat di
diafragma urogenital, posterior dan lateral ke uretra membranosa, berada di

88 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

antara otot bulbospongiosus dan tertanam di dalam otot perineum transversal.


Kedua kelenjar bergabung dengan uretra (Migliari et al., 1992; Chughtai et al.,
2005). Kelenjar ini berukuran sekitar 1 cm dan berwarna kuning (Saboorian
et al., 1997).
Kelenjar Cowper mengeluarkan glikoprotein ke dalam bulbus uretra
selama fase excitement and plateau (Zukerman et al., 2003). Sekresinya berupa
cairan lendir jernih, kental, alkali, dan disekresikan pra ejakulasi (Riva et al.,
1990). Umumnya sekresi Cowper mengandung kurang dari 1% komposisi
semen (Riva et al., 1990).
Cairan pra ejakulasi ini berfungsi sebagai pelumas untuk cairan ejakulat,
membantu menetralisir keasaman residu urine di uretra, dan keasaman vagina,
serta melumasi ujung penis selama hubungan seksual (Flint et al., 2016). Pada
semen, cairan ini tampak sebagai bahan mirip jeli (Flint et al., 2016).
Selain itu, kelenjar Cowper diduga berkontribusi pada imunitas saluran
urogenital dengan mengeluarkan glikoprotein, termasuk antigen spesifik
prostat (PSA) (Pedron et al., 1997) dan ditemukannya sel-sel imunokompeten
pada kelenjar ini (Migliari et al., 1992).
Studi hewan menunjukkan bahwa pembuangan kelenjar ini menyebabkan
penurunan bermakna volume rata-rata semen dan nilai pH dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Namun tidak ada perbedaan signifikan yang
diamati di antara parameter lainnya (Fadlallah et al., 2015).

Prostat
Prostat menyumbang sekitar 30% dari total volume mani (Flint et al.,
2016). Kelenjar prostat terletak di antara diafragma urogenital dan leher
kandung kemih. Prostat mengelilingi kedua duktus ejakulatorius dan juga
uretra (Lee et al., 2011).
Prostat adalah kelenjar multilobulasi heterogen yang terdiri dari empat
zona: zona transisi, pusat dan perifer, serta stroma fibro-otot anterior. Zona
sentral mengelilingi duktus ejakulatorius dan membentuk sekitar 25% kelenjar.
Zona perifer adalah penyumbang utama jaringan kelenjar, membentuk 70%
volume prostat. Zona transisi mengelilingi urethra prostat proksimal dan
menempati hanya 5–10% dari volume prostat. Di bagian anterior terdapat
stroma fibro-muskular yang terdiri dari serat otot polos, kolagen padat, dan
fibroblast. Zona sentral dan periferal secara kolektif disebut prostat luar atau

BAB 5 SPERMATOGENESIS 89
Copyright @ Airlangga University Press

kortikal. Prostat bagian dalam atau periurethral terdiri dari stroma fibro-otot
anterior dan zona transisi (Hammerich et al., 2009).
Prostat terdiri dari kelenjar tubuloalveolar yang terbuka ke uretra pars
prostatika. Prostat mengeluarkan cairan yang mengandung berbagai macam
enzim proteolitik dan elektrolit. Sekresi prostat dilepaskan setelah kelenjar
bulbourethral melepaskan sekresinya (Ndovi et al., 2006).

Gambar 5.7 Fraksi ejakulat yang mencerminkan urutan sekresi kelenjar aksesoris


seks pria (Ndovi et al., 2006)

Produk kelenjar prostat yang dapat diperiksa untuk menilai fungsinya


antara lain adalah citric acid, zinc, γ-glutamil transpeptidase dan fosfatase
asam (WHO, 2010). Prostate specific antigen (PSA) merupakan produk kelenjar
yang berperan pada likuifaksi semen dan keberadaannya di dalam darah
telah dimanfaatkan untuk diagnosis keganasan prostat (De Angelis et al.,
2007). Oksitosin dan reseptornya telah diidentifikasi pada prostat manusia.
Oksitosin memodulasi kontraktilitas jaringan prostat dan juga untuk
mengatur konsentrasi lokal dari androgen aktif secara biologis (Nicholson
& Whittington, 2007).

Vesikula Seminalis
Vesikula seminalis merupakan organ berpasangan, berbentuk seperti
kantung, terletak di antara permukaan posterior kandung kemih dan rektum.
Keduanya terletak di samping dan di luar vasa deferentia dan berdekatan
dengan ureter, kandung kemih, serta prostat. Vesikel seminalis pada ujung

90 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

inferiornya membentuk kanal sempit yang menyatu ke arah rekannya


untuk bergabung dengan vas deferens yang sesuai yang membentuk duktus
ejakulatorius (Aboul-azm, 1979).
Neuron adrenergik pendek yang berasal dari ganglia pelvis ditemukan
menginervasi dinding otot vesikula seminalis. Selama fase emisi ejakulasi
impuls simpatik menghasilkan kontraksi kontinu pada otot polos. Akibatnya,
sekresi vesikula seminalis dikirim ke uretra dalam persiapan ekspulsi dari
penis.
Vesikula seminalis merupakan kontributor utama dan terakhir terhadap
seminal plasma, memasok 60 hingga 85% dari total volume semen. Vesikula
seminalis mengeluarkan cairan yang bersifat basa. Sekresi utama dari kelenjar
ini adalah fruktosa, protein dan prostaglandin. Produk lainnya meliputi
gula N-asetilamin (Brown-woodman et al., 1980), prolaktin (Schoenfeld et al.,
1979), fibrinogen, asam askorbat (Lewis et al., 1997), insulin atau peptida mirip
insulin (Paz et al., 1977), Glikodelin S (Halttunen et al., 2000), fibronektin dan
laktoferin (Lilja et al., 1987).
Sekresi bersifat basa berfungsi sebagai buffer terhadap lingkungan asam
yang spermatozoa akan temui di saluran reproduksi wanita. Nilai normal
fruktosa adalah 13 μmol atau lebih per ejakulasi (WHO, 2010) dan sangat
penting bagi integritas fungsional spermatozoa karena ini adalah sumber
utama energi glikolitik untuk mempertahankan motilitas (Schoenfeld et al.,
1979). Terdapat hubungan terbalik antara kadar fruktosa dengan konsentrasi
dan motilitas spermatozoa dalam seminal plasma (Lewis-Jones, et al., 1996;
Buckett & Lewis-jones, 2002).
Protein utama dalam seminal plasma adalah semenogelin I dan II (SgI
dan SgII) (Lilja & Lundwall, 1992). Sebagian besar Sg disintesis dalam vesikula
seminalis dan sebagian kecil SgII disintesis oleh epididimis. Kadar protein
ini dalam seminal plasma adalah 50 g /L SgI dan 10 g /L SgII. Semenogelin
diperkirakan memengaruhi kapasitasi dan motilitas sperma (De Lamirande, et
al., 2001). Sg juga berperan dalam imunitas melalui aktivitas antibakterial peptida
yang berasal dari fragmentasi Sg dan tergantung Zn (Edström, et al., 2008).
Setelah ejakulasi, Sg dan agregat fibronektin membentuk koagulum
yang menjebak dan meimobilisasi spermatozoa (Edström et al., 2008).
Eppin (Epididymal protease inhibitor) turut mengikat kompleks Sg dan Fn
(De Lamirande et al., 2001). Koagulum kemudian cair dalam waktu 15–20
menit karena Sg dan Fn didegradasi oleh PSA sehingga spermatozoa dapat

BAB 5 SPERMATOGENESIS 91
Copyright @ Airlangga University Press

bergerak bebas dan berkapasitasi (Edström et al., 2008). Kompleks Eppin-Sg-


Fn melindungi spermatozoa sebelum kapasitasi dari protease yang secara
langsung dapat menyerang membran plasma sperma (Zhang et al., 2013).
Antibodi Anti-Eppin mengganggu kompleks Eppin-Sg dan menghambat
degradasi Sg oleh PSA (O’Rand et al., 2009).
Peran lain dari vesikula seminalis adalah menghasilkan lipid yang
dikenal sebagai prostaglandin. Prostaglandin pertama kali ditemukan dalam
ejakulat pada tahun 1935 oleh Ulf von Euler dari Swedia (Von Euler, 1935).
Awalnya, prostaglandin diduga diproduksi oleh prostat karena itu diberi
nama sedemikian rupa. Namun, sekarang diketahui bahwa prostaglandin
berasal dari vesikula seminalis (Brown-woodman et al., 1980; Gerozissis et
al., 1982; Bendvold et al., 1985 ). Senyawa pertama yang diidentifikasi adalah
PGE1, PGE2, PGE3, PGF1, dan PGF2α. Kemudian, 19-hidroksi-PGE1, 19-
hidroksi-PGE2, 19-hidroksi-PGF1α, dan 19-hidroksi-PGF2α telah diidentifikasi
(Bygdeman et al., 1985). Prostaglandin memiliki berbagai efek farmakologis,
termasuk stimulasi otot polos. Prostaglandin yang diproduksi oleh vesikula
seminalis mendukung transportasi sperma dengan cara merangsang otot
polos saluran reproduksi pria selama proses ejakulasi yang akan mendorong
pergerakan sperma. Dalam sistem reproduksi wanita, prostaglandin seminalis
menyebabkan rahim dan vagina berkontraksi setelah melakukan hubungan
seksual yang juga memfasilitasi pengangkutan sperma ke lokasi fertilisasi
(Flint et al., 2016).

REFERENSI
Aboul-azm, T.E. 1979. Anatomy of the human seminal vesicles and ejaculatory
ducts. Archives of Andrology, 3(4):287–292.
Aksoy, E., Aktan, T.M., Duman, S. & Cuce, G. 2012. Assessment of spermatozoa
morphology under light microscopy with different histologic stains
and comparison of morphometric measurements. Int. J. Morphol, 30(4):
1544–1550.
Albrecht, M., Ramsch, R., Kohn, F.M., Schwazer, J.U. & Mayerhofer,A. 2006.
Isolation and cultivation of human testicular peritubular cells: a new
model for the investigation of fibrotic processes in the human testis and
male infertility. J Clin Endocrinol Metab, May, 91(5):1956–1960.

92 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Bagatell, C.J., Dahl, K.D. & Bremner, W.J. 1994. The direct pituitary effect
of testosterone to inhibit gonadotropin secretion in men is partially
mediated by aromatization to estradiol. Journal of Andrology, January-
February, 15(1):15–21.
Barratt, C.L. & Cooke, I.D. 1988. Sperm loss in the urine of sexually rested men.
Int J Androl, June, 11(3):201–207.
Bendvold, E., Svanborg, K., Bygdeman, M. & Norén, S. 1985 . On the origin of
prostaglandins in human seminal fluid. Int J Androl., 8(1):37–43.
Boué, F. & Sullivan, R. 1996. Cases of human infertility are associated with
the absence of P34H an epididymal sperm antigen. Biol Reprod, May,
54(5):1018–1024.
Brown-woodman, P.C., Marley, P.B., Morris, S., Rodger, J.C. & White, I.G. 1980.
Origin of Glycerylphosphorylcholine, Inositol, N-Acetylaminosugar,
and Prostaglandins in Human Seminal Plasma and Their Effects on
Sperm Metabolism, Archives of Andrology. Archives of Andrology,
4(2):149–155.
Buckett, W.M. & Lewis-jones, D.I. 2002. Fructose concentrations in seminal
plasma from men with nonobstructive azoospermia. Arcbieves of
Andrology, 23–27:48.
Bygdeman, M., Bendvold, E., Svanborg, K. & Noren, S. 1985. Prostaglandins in
Human Seminal Fluid and Its Relation to Fertility. Dalam Prostaglandins,
Leukotrienes, and Lipoxins: 423–431. Disunting oleh J. M. Bailey. Boston,
MA: Springer.
Canovatchel, W.J., Volquez, D., Huang, S., Wood, E., Lesser, M.L., Gautier, T. &
Imperato-McGinley, J. 1994. Luteinizing hormone pulsatility in subjects
with 5-alpha-reductase deficiency and decreased dihydrotestosterone
production. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, April,
78(4):916–921.
Chughtai, B., Sawas, A., O’Malley, R. L., Naik, R. R., Ali, K. S. & Pentyala, S.
2005. A neglected gland: a review of Cowper’s gland. Int J Androl, April,
28(2):74–77.
Clermont, Y. 1972. Kinetics of spermatogenesis in mammals: seminiferous
epithelium cycle and spermatogonial renewal. Physiol Rev, 52(1):
198–236.
Cooper, T.G. 2007. Sperm maturation in the epididymis: a new look at an old
problem. Asian J Androl, July, 9(4):533–539.

BAB 5 SPERMATOGENESIS 93
Copyright @ Airlangga University Press

Cooper, T.G. & Yeung, C.-H. 2010. Physiology of Sperm Maturation and
Fertilization. Dalam penyunt. Andrology: Male Reproductive Health and
Dysfunction: 61–85. 3rd. Disunting oleh E. Nieschlag, H. M. Behre & S.
Nieschlag. Verlag Berlin Heidelberg: Springer.
Dacheux, J.L. & Dacheux, F. 2014. New insights into epididymal function in
relation to sperm maturation. Reproduction, 147:R27-R42.
De Angelis, G., Rittenhouse, H.G., Mikolajczyk,S.D., Blair, S.L. & Semjonow,
A. 2007. Twenty Years of PSA: From Prostate Antigen to Tumor Marker.
Review in Urology, 9(3):113–123.
De Lamirande, E., Yoshida, K., Yoshiike, T.M., Iwamoto, T. & Gagnon, C. 2001.
Semenogelin, the main protein of semen coagulum, inhibits human
sperm capacitation by interfering with the superoxide anion generated
during this process. J. Androl, 26:672–679.
de Rooij, D.G. 1998. Stem cells in the testis. Int J Exp Pathol, April, 79(2):67–80.
De Roux, N. 2003. Hypogonadotropic hypogonadism due to loss of function
of the KiSS1-derived peptide receptor GPR54. Proc. Natl. Acad. Sci. U.
S. A, 100:10972–10976.
Djakiew, D. & Cardullo, R. 1986. Lower temperature of the cauda epididymidis
facilitates the storage of sperm by enhancing oxygen availability.
Molecular Reproduction & Development, 15(3):237–245.
Edström, A.M.L., Malm, J., Frohm, B., Martellini, J.A., Giwercman, A.,
Morgelin, M.,Cole, A.M. & Sorensen, O.E. 2008. The Major Bactericidal
Activity of Human Seminal Plasma Is Zinc-Dependent and Derived
from Fragmentation of the Semenogelins. The Journal of Immunology,
181:3413–3421.
Eggert-Kruse, W., Schwarz, H., Rohr, G., Demirakca, T., Tilgen, W. &
Runnebaum, B. 1996. Sperm morphology assessment using strict criteria
and male fertility under in-vivo conditions of conception. Hum Reprod,
January, 11(1):139–146.
Ehmcke, J. & Schlatt, S. 2006. A revised model for spermatogonial expansion
in man: lessons from non-human primates. Reproduction, November,
132(5):673–680.
Ehmcke, J., Wistuba, J. & Schlatt, S. 2006. Spermatogonial stem cells: questions,
models and perspectives. Human Reproduction Update, 12(3):275–282.

94 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Fadlallah, M.A., Jobara, A.S., Almofti, Y.A. & El Ayis, A.A. 2015. Impact
of surgical removal of bulbourethral gland on spermatological
characteristics of buck semen. Journal of Applied and Industrial Sciences,
3(4):154–159.
Flint, M., McAlister, D.A., Agarwal, A. & du Plessis, S.S. 2016. Male Accessory
Sex Glands. Dalam Mammalian Endocrinology and Male Reproductive
Biology: 246-258. Disunting oleh S. K. Singh. Broken sound parkway:
CRC Press.
Fredricsson, B. & Björk, G. 1977. Morphology of postcoital spermatozoa in
the cervical secretion and its clinical significance. Fertility and Sterility,
28:841–845.
Gerozissis, K., Jouannet, P., Soufir, J.C. & Dray, F. 1982. Origin of prostaglandins
in human semen. Journals of Reproduction & Fertility Ltd, 65:401–404.
Ghirelli-Filho, M., Mizrahi, F.E., Pompeo, A.C.L. & Glina, S. 2012. Influence of
strict sperm morphology on the results of classic in vitro fertilization.
Int Braz J Urol, July–August, 38(4):519–528.
Haidl, G., Badura, B. & Schill, W.B. 1994. Function of human epididymal
spermatozoa. J Androl, 15:23S–27S.
Halttunen, M., Kamarainen, M. & Koistinen, H. 2000. Glycodelin: a
reproduction-related lipocalin. Biochim Biophys Acta, 1482(1-2):149–156.
Hammerich, K.H., Ayala, G.E. & Wheeler, A.T.M. 2009. Anatomy of the prostate
gland and surgical pathology of prostate cancer. Dalam Prostate Cancer:
1-10. Disunting oleh H. Hricak & P.T. Scardino. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hayes, F.J., Seminara, S.B., Decruz, S., Boepple, P.A. & Crowley, W. F. 2000.
Aromatase inhibition in the human male reveals a hypothalamic site of
estrogen feedback. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism,
September, 85(9):3027–3035.
Holstein, A.F., Maekawa, M., Nagano, T. & Davidoff, M.S. 1996. Myofibroblasts
in the lamina propria of human seminiferous tubules are dynamic
structures of heterogeneous phenotype. Arch. Histol. Cytol, 59(2):
109–125.
Howards, S.S. 1997. Antoine van Leeuwenhoek and the discovery of sperm.
Fertility & Sterility, January, 67(1):16–17.
Hughes, E. & Pierson, R. 2013. The Animalcules of Antoni Van Leeuwenhoek.
J Obstet Gynaecol Can , 35(10):960.

BAB 5 SPERMATOGENESIS 95
Copyright @ Airlangga University Press

Jouannet, P., Ducot, B., Feneux, D. & Spira, A. 1988. Male factors and
the likelihood of pregnancy in infertile couples. Study of sperm
characteristics. International Journal of Andrology, 11(5):379–394.
Jow, W.W., Steckel, J., Schlegel, P. N., Maqid, M.S. & Goldstein, M. 1993. Motile
sperm in human testis biopsy specimens. J Androl, 14:194–198.
Lee, C.H., Akin-Olugbade, O. & Kirschenbaum, A. 2011. Overview of Prostate
Anatomy, Histology, and Pathology. Endocrinology & Metabolism Clinics,
September, 40(3):565–575.
Lewis-Jones, D.I., Aird, I.A., Biljan, M.M. & Kingsland, C.R. 1996. Effects of
sperm activity on zinc and fructose concentrations in seminal plasma.
Human Reproduction, 11(11):2465–2467.
Lewis, S.E., Sterling, E.S., Young, I.S. & Thompson, W. 1997. Comparison of
individual antioxidants of sperm and seminal plasma in fertile and
infertile men. Fertil Steril, 67(1):142–147.
Li, B., Ma, Y., Huang, J., Xiao, X., Li, L., Liu, C., Shi, Y., Wang, D. & Wang, X.
2014. Probing the Effect of Human Normal Sperm Morphology Rate on
Cycle Outcomes and Assisted Reproductive Methods Selection. PLoS
ONE, November, 9(11):e113392.
Lilja, H. & Lundwall, A. 1992. Molecular-cloning of epididymal and seminal
vesicular transcripts encoding a semenogelin-related protein. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA, 89:4559–4563.
Lilja, H., Oldbring, J., Rannevik, G. & Laurell, C.B. 1987. Seminal vesicle-
secreted proteins and their reactions during gelation and liquefaction
of human semen. J Clin Invest., August, 80(2):281–285.
Liu, D.Y. & Baker, H.W.G. 1992. Morphology of spermatozoa bound to the zona
pellucida of human oocytes that failed to fertilize in vitro. Journal of
Reproduction and Fertility, 94:71–84.
Liu, D.Y., Garrett, C., Baker, H.W. 2003. Low proportions of sperm can bind
to the zona pellucida of human oocytes. Hum Reprod, November,
18(11):2382–2389.
Maree, L., Du Plessis, S.S., Menkveld, R. & Van Der, H.G. 2010. Morphometric
dimensions of the human sperm head depend on the staining method
used. Human Reproduction, 25:1369–1382.
Menkveld, R., Franken, D. R., Kruger, T.F., Oehninger, S. & Hodgen, G.D.
1991. Sperm selection capacity of the human zona pellucida. Molecular
Reproduction and Development, 30:346–352.

96 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Menkveld, R., Stander, F.S., Kotze, T.J., Kruger, T.F. & Vanzyl, J.A. 1990. The
evaluation of morphological characteristics of human spermatozoa
according to stricter criteria. Hum Reprod, July, 5(5):586–592.
Migliari, R., Riva, A., Lantini, M.S., Melis, M., Usai, E. 1992. Diffuse
lymphoid tissue associated with the human bulbourethral gland. An
immunohistologic characterization. J Androl , 13:(4):337–341.
Missell, L.M., Holochwost, D., Boban, D., Santi, N., Shefi, S., Hellerstein,
M.K. & Turck, P.J. 2006. A stable isotop-mass spectrometric method
for measuring human spermatogenesis kinetics in vivo. J Urol.,
1(175):242–6.
Ndovi, T.T., Parsons, T., Choi, L., Caffo, B., Rohde, C. Hendrix, C.W. 2006. A
new method to estimate quantitatively seminal vesicle and prostate
gland contributions to ejaculate. British Journal of Clinical Pharmacology,
63(4):404–420.
Nicholson, H.D. & Whittington, K. 2007. Oxytocin and the human prostate in
health and disease. International Review of Cytology, 263:253–286.
O’Hara, L. & Smith, L.B. 2015. Androgen receptor roles in spermatogenesis and
infertility. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism,
29:595–605.
Ombelet, W. & Van Robays, J. 2015. History of human artificial insemination.
Facts Views Vis Obgyn. 7(2):137–143.
O’Rand, M.G., Widgren, E.E., Beyler, S. & Richardson, R.T. 2009. Inhibition
of human sperm motility by contraceptive anti-eppin antibodies from
infertile male monkeys: effect on cyclic adenosine monophosphate.
BiolReprod, 80(2):279–285.
Paz, G., Homonnai, Z.T., Ayalon, D., Cordova, T. & Kracier, P.F. 1977.
Immunoreactive insulin in the serum and seminal plasma of diabetic
and non diabetic men and its regulation in spermatozoa activity. Fertil
Steril, 28(8):836–840.
Pedron, P., Traxer, O., Haab, F., Farres, M.T., Tliqui, M., Thibault, P. & Gattegno,
B. 1997. Cowper’s gland: anatomic, physiological and pathological
aspects. Prog Urol., September, 7(4):563–569.
Pitteloud, N., Dwyer, A.A., DeCruz, S., Lee, H., Boepple, P.A., Crowley, W.F.
& Hayes, F.J. 2008a. The Relative Role of Gonadal Sex Steroids and
Gonadotropin-Releasing Hormone Pulse Frequency in the Regulation

BAB 5 SPERMATOGENESIS 97
Copyright @ Airlangga University Press

of Follicle-Stimulating Hormone Secretion in Men. The Journal of Clinical


Endocrinology and Metabolism, July, 93(7):2686–2692.
Pitteloud, N., Dwyer, A.A., DeCruz, S., Lee, H., Boepple, P.A., Crowley, W.F.
& Hayes, F.J. 2008b. Inhibition of Luteinizing Hormone Secretion by
Testosterone in Men Requires Aromatization for Its Pituitary But Not
Its Hypothalamic Effects: Evidence from the Tandem Study of Normal
and Gonadotropin-Releasing Hormone-Deficient Men. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism, March, 93(3):784–791.
Riva, A., Usai, E., Cossu, M., Lantini, M.S., Scarpa, R. & Testa-Riva, F. 1990.
Ultrastructure of human bulbourethral glands and of their main
excretory ducts. Arch Androl, 24:177–184.
Romano, F., Tripiciano, A., Muciaccia, B., Cesaris, P.D., Ziparo, E., Palombi, F.
& Filippini, A. 2005. The contractile phenotype of peritubular smooth
muscle cells is locally controlled: possible implications in male fertility.
Contraception, October, 72(4):294–297.
Saboorian, M.H., Huffman, H., Ashfaq, R., Ayala, A.G. & Ro, J.Y. 1997.
Distinguishing Cowper’s glands from neoplastic and pseudoneoplastic
lesions of prostate: immunohistochemical and ultrastructural studies.
The American Journal of Surgical Pathology, September, 21(9):1069–1074.
Schell, C., Albrecht, M., Schwarzer, J.U., Frungieri, M.B. & Mayerhofer, A. 2008.
Exploring human testicular peritubular cells: identification of secretory
products and regulation by tumor necrosis factor-alpha. Endocrinology,
April, 149(4):1678–1686 .
Schoenfeld, C.Y., Amelar, R.D., Dubin, L. & Numeroff, M. 1979. Prolactin,
fructose and zinc levels found in human seminal plasma. Fertil Steril,
32(2):206–208.
Seminara, S.B. 2003. The GPR54 gene as a regulator of puberty. N. Engl. J. Med,
349:1614–1627.
Setchell, B. 1999. Blood-testis barrier. Dalam Encyclopedia of Reproduction: 375-
381. Disunting oleh E. Knobil & J. D. Neill. San Diego: Academic, San
Diego.
Shefi, S., Raviv, G., Weissenberg, R., Jalalian, L., Levron, J., Band, G., Turek,
P.J. & Madgar, L. 2006. Posthumous sperm retrieval: analysis of time
interval to harvest sperm. Hum Reprod, November, 21(11):2890–2893.
Smith, B.E. & Braun, R.E. 2012. Germ Cell Migration across Sertoli Cell Tight
Junctions. Science, 9 November, 338(6108):798–802.

98 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Smith, D.T. & Louisville, K.Y. 1912. An overlooked function of Bartholin’s and
Cowper’s glands. JAMA, 54(26):2303.
Sullivan, R., Legare, C., Villeneuve, M., Foliguet, B. & Bissonnette, F. 2006.
Levels of P34H, a sperm protein of epididymal origin, as a predictor
of conventional in vitro fertilization outcome. Fertil Steril, May, 85(5):
1557–1559.
Tanaka, A., Nagayoshi, M., Takemoto, Y., Tanaka, I., Kusonoki, H., Watanabe,
S., Kuroda, K., Takeda, S., Ito, M. & Yanagimachi, R. 2015. Fourteen
babies born after round spermatid injection into human oocytes. Proc
Natl Acad Sci U S A., 112(47):14629–14634.
Tilbrook, A.J. & Clarke, I.J., 2001. Negative feedback regulation of the secretion
and actions of gonadotropin-releasing hormone in males. Biology of
Reproduction, March, 64(3):735–742.
Tobin, V.A., Millar, R.P. & Canny, B.J. 1997. Testosterone acts directly at
the pituitary to regulate gonadotropin-releasing hormone-induced
calcium signals in male rat gonadotropes. Endocrinology, August, 138(8):
3314–3319.
Van Waart, J., Kruger, T.F., Lombard, C.J. & Ombelet, W. 2001. Predictive value
of normal sperm morphology in intrauterine insemination (IUI): a
structured literature review. Hum Reprod Update, September-October,
7(5):495–500.
Vitku, J., Kolatorova, L. & Hampl, R. 2017. Occurrence and reproductive roles
of hormones in seminal plasma. Basic and Clinical Andrology, 27(19).
Von Euler, U.S. 1935. Über die spezifische blutdrucksenkende Substanz des
menschlichen Prostata- und Samenblasensekrets. Wien Klin Wochenschr,
14(33):1182–1183.
Weinbauer, G.F., Luetjens, C.M., Simoni, M. & Nieschlag, E. 2010. Physiology
of Testicular Function. Dalam Andrology: Male Reproductive Health and
Dysfunction: 11–60. Disunting oleh E. Nieschlag, H. M. Behre & S.
Nieschlag. Berlin: Springer.
WHO. 2010. WHO laboratory manual for the Examination and processing of human
semen. 5th. Jenewa: WHO Press.
Windschüttl, S., Kampfer, C., Mayer, C., Flenkenthaler, F., Frohlich, T.,
Schwarzer, J.U., Kohn, F.M., Urbanski, H., Arnold, G.J. & Mayerhofer,
A. 2015. Human testicular peritubular cells secrete pigment epithelium-

BAB 5 SPERMATOGENESIS 99
Copyright @ Airlangga University Press

derived factor (PEDF), which may be responsible for the avascularity


of the seminiferous tubules. Scientific Reports, 5:12820.
Wingerd, B. 2013. The reproductive system. Dalam The Human Body: 438–460.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
Zhang, X., Fang, J., Xu, B., Zhang, S., Su, S., Song, Z., Deng, Y., Wang, H.,
Zhao, D., Niu, X. & Wang, Z. 2013. Correlation of Epididymal Protease
Inhibitor and Fibronectin in Human Semen. PLoS ONE, 8(12):e82600.
Zhengwei, Y., Wreford, N.G., Royce, P., Kretser, D.M. & McLachlan, R.I. 1998.
Stereological evaluation of human spermatogenesis after suppression
by testosterone treatment: heterogeneous pattern of spermatogenic
impairment. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism , 83(4):
1284–1291.
Zukerman, Z., Weiss, D.B. & Orvieto, R. 2003. Short communication: Does
preejaculatory penile secretion originating from Cowper’s gland
contain sperm? Journal of Assisted Reproduction and Genetics, April,
20(4):157–159.

100 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH

PENDAHULUAN
Reproduksi alamiah dapat terjadi dengan cara seksual atau aseksual,
tergantung jenis organismenya. Organisme uniseluler berkembang biak secara
aseksual atau vegetatif. Mereka bereproduksi secara mitosis, mirip dengan
sel-sel somatik pada tubuh organisme multiseluler. Beberapa organisme
multiseluler seperti kadal dapat berkembang biak secara aseksual di mana sel
telur dapat berkembang tanpa adanya spermatozoa yang membuahi. Proses
ini dikenal dengan istilah partenogenesis (Johnson, 2013).
Sebagian organisme lainnya berkembang biak secara seksual. Pada
sebagian hewan air dan amfibi, proses perkembangbiakan seksual ini terjadi di
luar tubuh melalui proses fertilisasi eksternal. Sementara mamalia, termasuk
manusia secara alamiah melakukan fertilisasi di dalam atau fertilisasi internal
(Johnson, 2013).
Bab ini membahas proses fertilisasi alamiah pada manusia.
Gametogenesis telah dibahas pada bahasan terpisah dan tidak menjadi
bahasan di dalam bab ini.

KOITUS
Pembuahan merupakan proses bersatunya spermatozoa dan sel telur
untuk membentuk individu yang baru. Pada manusia, proses ini dapat terjadi
secara alamiah maupun dengan bantuan. Untuk terjadinya proses fertilisasi
alamiah perlu didahului dengan koitus. Melalui koitus, spermatozoa dari
bagian distal kauda epididimis memasuki seminal plasma, ditransfer ke
saluran reproduksi wanita, dan berjalan di dalam saluran reproduksi wanita

101
Copyright @ Airlangga University Press

untuk membuahi sel telur yang baru diovulasikan. Proses koitus untuk
fertilisasi memerlukan fungsi ereksi dan ejakulasi yang baik.

EREKSI
Ereksi berasal dari bahasa latin erigere, merupakan keadaan kekerasan,
pembesaran, dan tegak yang terjadi pada penis atau klitoris, sering dipicu
oleh gairah seksual, tetapi juga terjadi selama tidur atau setelah stimulasi fisik.
Ereksi dihasilkan ketika tambahan darah memasuki organ dan tekanan darah
di dalam organ meningkat. Keadaan ini dipengaruhi oleh stimulasi psikis dan
fisik. Ereksi menyebabkan penis mampu untuk penetrasi ke dalam vagina
dan mengeluarkan ejakulat.

a. Anatomi ereksi
Struktur anatomi penis terpenting yang menentukan fungsi ereksi
adalah kedua korpora kavernosa. Bentukan silinder tersebut akan penuh
terisi oleh darah ketika mengalami ereksi hingga mengalami perbesaran
dan pemanjangan sampai dengan tiga perempat dari ukuran penis semula.
Masing-masing korpora kavernosa mendapatkan suplai aliran darah dari
arteri iliaka interna, yang merupakan cabang dari arteri iliaka komunis (Kirby
& Lue, 2005).

Gambar 6.1 Anatomi Potongan Melintang Penis (Brant et al., 2009)

102 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Penis diinervasi oleh sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis)


dan somatik (sensoris dan motoris). Neuron-neuron saraf tersebut bersumber
dari saraf tulang belakang dan ganglia perifer yang bergabung mengikuti
jalur simpatetik dan parasimpatetik membentuk saraf kavernosus. Serat saraf
otonom ini memasuki korpora kavernosa dan korpus spongiosum untuk
mengontrol aktivitas neurovaskular selama proses ereksi dan detumescence
(Yuh & Shindel, 2017).

Gambar 6.2 Anatomi Arteri, Vena, dan Saraf Penis (Brant et al., 2009)

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 103


Copyright @ Airlangga University Press

b. Fisiologi ereksi
i. Inisiasi ereksi
Berdasarkan pencetusnya, secara konsep, ereksi dapat dibedakan
menjadi ereksi refleksogenik, psikogenik, dan nokturnal. Ereksi
refleksogenik dan psikogenik hanya dapat dipisahkan pada laki-laki
dengan trauma medula spinalis, sedangkan pada keadaan fisiologis
saling tumpang tindih.
Ereksi refleksogenik ditimbulkan oleh rangsangan taktil pada
area genital dan ditransmisikan oleh saraf penis dorsal. Di dalam
medula spinalis, terjadi transfer impuls menuju serabut parasimpatis
eferen (nervi erigentes). Setelah transformasi pada pleksus pelvikus,
ereksi ditimbulkan oleh saraf kavernosa. Bagian somatik dari
saraf pudendus menginduksi kontraksi otot dasar panggul demi
tercapainya rigiditas.
Ereksi psikogenik terjadi ketika neurotransmiter, utamanya dopamin
dan nitrit oksida (NO) dilepaskan akibat adanya rangsangan erotik
di pusat seksual otak. Sinyal ditransmisikan ke korpora kavernosa
melalui aktivasi sistem saraf parasimpatis dan transfer sinyal di
dalam pusat erektil sakral, di mana NO dan vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) bertindak sebagai transmiter utama. Efek hambatan
utama berasal dari pusat ereksi torakolumbal, dengan serabut
parasimpatis bersama di dalam Nn. Kavernosi mencapai penis.
Secara fisiologis, korpora kavernosa lebih dipengaruhi oleh
faktor-faktor penghambat ereksi dibandingkan faktor-faktor yang
memfasilitasi. Hal ini menjelaskan mengapa penis lebih sering
berada dalam keadaan flaksid. Ereksi nokturnal merupakan hasil
dari siklus sirkadian. Tonus parasimpatis mendominasi selama
malam, menimbulkan ereksi otonomik yang intermiten. Pada pria,
terjadi 3 hingga 5 fase ereksi dengan durasi 20–30 menit selama
fase rapid eye movement saat sedang tidur. Ereksi nokturnal, karena
diasumsikan tidak dipengaruhi faktor-faktor kejiwaan, menjadi
salah satu metode untuk membedakan disfungsi ereksi organik
dengan nonorganik. Ereksi nokturnal dapat dinilai secara objektif
menggunakan Rigiscan® (Karadeniz et al., 1997).

104 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Ketiga pencetus ereksi akan menimbulkan suatu reaksi lokal pada


ujung saraf yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi terjadinya
ereksi. Penjelasan peristiwa ini dijelaskan dalam bahasan kendali
lokal ereksi.

ii. Kendali lokal ereksi


NO (nitrit oksida) merupakan mediator paling penting bagi terjadinya
relaksasi korpus kavernosum (Andersson & Wagner, 1995). NO
dikeluarkan oleh ujung saraf non adrenergic non cholinergic (NANC)
dari Nn. kavernosi, di samping itu, NO juga dikeluarkan oleh seluruh
endotel yang melapisi sinusoids dan pembuluh darah penis.
Bahan dasar NO adalah asam amino L-arginin dan oksigen yang
dikatalisasi oleh NO sintase (NOS). Terdapat tiga isoform NOS yang
dibedakan berdasarkan lokasi pertama kali enzim ini ditemukan.
Neuronal NOS (nNOS atau tipe 1) dan endothelial NOS (eNOS atau tipe
3) bersifat Ca2+/calmodulin-dependent, sementara inducible NOS (iNOS
atau tipe 2) bersifat Ca 2+/calmodulin-independent, diekspresikan di
makrofag dan jaringan lain setelah stimulus imunologis (Föstermann
et al., 1994).
Akibat cetusan ereksi, neuronal NO mula-mula dilepaskan. Pada
gilirannya, NO mengaktifkan guanilil siklase yang terikat di
membran, menyebabkan perubahan GTP menjadi 3’5’siklikguanosin
monofosfat (cGMP). cGMP merupakan second messenger penting untuk
aktivasi cGMP-dependent protein kinase G (PKG). Karena pengaruh
PKG, kalsium intraseluler bebas diambil oleh retikulum endoplasma,
menyebabkan penurunan fluks kalsium dan peningkatan fluks
kalium dari sel, yang menimbulkan depolarisasi yang diikuti dengan
relaksasi otot polos pembuluh darah dan perubahan hemodinamik
(Burnett, 2004). Didukung oleh perubahan mekanik dan peregangan
dari otot, aktivasi lanjutan dari NO endotel yang berperan dalam
mempertahankan relaksasi otot polos dan ereksi.
Pembentukan cAMP analog dengan cGMP ketika adenilil siklase
yang terikat membran diaktifkan oleh VIP. Kedua second messengers
merupakan subjek terhadap metabolisme fisiologis oleh beragam
enzim phosphate diesterase, di mana tipe 3 dan 5 adalah yang relevan
secara klinis. Aktivitas fosfodiesterase menyebabkan perubahan

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 105


Copyright @ Airlangga University Press

cGMP menjadi 5’GMP ataupun cAMP menjadi 5’AMP, yang bersifat


inaktif.
Persarafan simpatik mengikuti secara luas melalui reseptor adrenergik
1 dan 2, menyebabkan peningkatan kadar kalsium dan kontraksi sel
otot. Beragam substansi lokal disintesis di dalam jaringan erektil
penis memiliki pengaruh inhibisi, seperti prostanoids, endothelin,
dan angiotensin. Kontrol lokal ereksi lebih kuat dipengaruhi oleh
testosteron dibandingkan dengan yang diperkirakan dahulu. Dengan
demikian, defisiensi testosteron yang berkepanjangan menyebabkan
pengurangan serabut saraf yang mengandung NOS, downregulation
nNOS dan eNOS, dan jumlah sel otot polos terus berkurang karena
apoptosis

iii. Hemodinamik
Tiga faktor hemodinamik yang penting bagi terjadinya ereksi (van
Ahlen & Kliesch, 2010) adalah
a. penurunan resistensi intrakavernosa akibat relaksasi sel-sel otot
kavernosa
b. peningkatan aliran masuk arterial oleh dilatasi pembuluh nadi
c. restriksi aliran vena oleh kompresi intrakavernosa dan pleksus
vena subtunika.
Pengurangan tonus seluruh struktur otot korpus kavernosum yang
disertai dengan relaksasi sinusoid menghasilkan peningkatan aliran
arteri. Secara klinis peristiwa ini berhubungan dengan peningkatan
tumescence dan pemanjangan penis. Pada sistem vena, drainase yang
semula tidak dihalangi pada kondisi penis flaksid, akan dikurangi
oleh reduksi diameter vena. Dengan pembesaran maksimal sinusoid
kavernosa, venula di trabekula, dan vena emisaria yang melewati
tunika albuginea semakin tertekan. Perubahan ini akhirnya
menyebabkan ereksi penis yang lengkap.
Terdapat lima fase ereksi. Fase laten ditandai oleh penurunan
tekanan intrakavernosa setelah distimulasi oleh Nn. kavernosi.
Peristiwa ini diikuti oleh peningkatan perfusi arteri. Karena sifat
struktur elastik-fibromuskular dari korpora kavernosa, terjadi
pemanjangan penis tanpa perubahan pada tekanan intrakavernosa.
Selama fase tumesence, secara perlahan terjadi peningkatan tekanan

106 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

pada vena. Saat tekanan intrakavernosa sedikit kurang dari tekanan


darah sistolik, sebuah plateau terjadi, yang ditandai oleh keadaan
aliran arteri yang stabil dan aliran vena yang minimal (fase ereksi).
Rigiditas maksimal akan diperoleh dengan kontraksi dari otot dasar
panggul, yang meningkatkan tekanan intrakavernosa melebihi
tekanan sistolik (fase rigiditas). Saat impuls saraf dihentikan,
rigiditas, dan tumesence akan berkurang (fase detumescence).

Resistensi Tekanan
Fase Aliran darah Penis
kavernosa intrakavernosa
Latensi ↓ Stabil Arterial ↑, Memanjang
vena stabil
Tumesen Stabil ↑ stabil Membesar,
Menegang
Ereksi Stabil Stabil 10 – 20 Arteri ↓, Panjang
mmHg di bawah vena ↓ maksimal
sistol
Rigiditas Stabil > sistol Arteri minimal Besar dan
, tegang
vena oklusi Maksimal
Detumesen ↑ Arteri dan vena Flaksid
minimal (nilai
awal)

EJAKULASI
Ejakulasi didefinisikan sebagai ekspulsi cairan seminal melalui meatus
uretra. Ejakulasi terjadi saat klimaks seksual, biasanya dengan orgasme
(Kondoh, 2011). Ejakulasi terdiri atas dua fase: emisi carian seminalis ke
dalam uretra posterior yang dimediasi secara simpatis, diikuti dengan true
ejaculation dan ekspulsi dari ejakulat yang dimediasi secara somatis (Ralph
et al, 2005). Selama fase emisi, ejakulat dikeluarkan ke dalam uretra posterior
melalui sekresi epithelial dan kontraksi peristaltik dari otot polos dari traktus
seminalis. Ekspulsi terjadi jika cairan semen bergerak secara cepat melalui
uretra dan keluar di meatus penis; hal ini melibatkan kontraksi pulsatil dari
otot bulbokavernosum dan otot dasar panggul (Kondoh, 2011).

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 107


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 6.3 Mekanisme ejakulasi


(Ralph & Wylie, 2005)

Selanjutnya, sinkronisasi antara penutupan dari bladder neck diikuti


dengan relaksasi urinary sphincter merupakan proses krusial untuk mencegah
aliran balik cairan semen ke dalam kandung kemih dan mendapatkan
propulsi akurat dari semen (Kondoh, 2011). Emisi dan penutupan dari bladder
neck merupakan fenomena yang dikontrol oleh saraf simpatis dari segmen
thorakolumbal Th9-L3, sementara ekspulsi dari cairan semen ditransmisikan
oleh suatu refleks involunter (S2-4) dari nervus pudendus (van Ahlen &
Kliesch, 2010).

108 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

MIGRASI SPERMATOZOA DARI SEMINAL PLASMA MENUJU LENDIR


SERVIKS
Pasca ejakulasi, spermatozoa dideposit di dalam vagina pada seminal
plasmanya yang menetralisir keasaman vagina. Spermatozoa kemudian
bermigrasi dari seminal plasma menuju lendir serviks yang menyebar ke
vagina. Hanya spermatozoa yang mampu bergerak dan memiliki bentuk
normal yang mampu menembus lendir serviks, sementara sisanya akan keluar
bersama dengan mengalirnya seminal plasma dari vagina wanita. Lendir ini
pada masa sekitar ovulasi sesuai untuk dilewati oleh spermatozoa (Montimer,
1995). Namun, gangguan interaksi antara spermatozoa dan lendir serviks
dapat menjadi barier, ditandai oleh shaking phenomenon pada pemeriksaan
lendir serviks pasca koitus. Fenomena ini terjadi karena antibodi spermatozoa
menempel pada bagian ekor. Kondisi ini dapat menyebabkan infertilitas akibat
faktor serviks (Cooper & Yeung, 2010).
Spermatozoa yang menembus lendir serviks harus mampu bertahan
di dalam saluran reproduksi wanita, bergerak menuju tuba, tempat di mana
telur yang telah diovulasikan berada (Gambar 6.4).

Gambar 6.4 Perjalanan spermatozoa pasca koitus.


(Anonym, 2018)

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 109


Copyright @ Airlangga University Press

Mengapa spermatozoa dari uterus dapat menuju ke tuba yang terisi oleh
oosit? Hal ini terjadi karena adanya signal yang mengatur agar spermatozoa
bergerak menuju telur. Mekanisme spermatozoa bergerak menuju telur dapat
melalui empat mekanisme, yaitu kemotaksis, rheotaksis, termotaksis, dan
haptotaksis. Namun, pada mamalia mekanisme haptotaksis tidak terjadi
(Wachten et al., 2017). Pada manusia, progesteron diduga bertindak sebagai
kemoatraktan (Oren-Benaroya et al., 2008). Sperma menyelaraskan diri
terhadap arah aliran cairan dari saluran telur ke rahim. Mekanisme ini dikenal
sebagai rheotaksis, sebuah proses yang bersifat pasif, tanpa melibatkan influks
kalsium (Zhang et al., 2016).

KAPASITASI PADA SALURAN REPRODUKSI WANITA DAN PERJALANAN


SPERMATOZOA KE OVIDUCT
Spermatozoa kemudian bermigrasi ke dalam tuba dan akan menempel
pada epitel tuba. Selama masa ini, spermatozoa mengalami proses paralel
yang dikenal dengan dengan istilah kapasitasi. Kapasitasi adalah proses
pengondisian yang menyebabkan spermatozoa mampu untuk mencapai
dan membuahi sel telur. Spermatozoa dari ejakulat segar tidak mampu
segera membuahi sel telur saat berkontak dengan sel telur secara in vitro,
dan kemampuan ini timbul setelah periode kapasitasi ini telah berlalu.
Kapasitasi menghasilkan perubahan status spermatozoa, menimbulkan
gerakan hiperaktivasi dan kemampuan untuk menembus pelindung telur, dan
mengalami reaksi akrosom yang diinduksi pada permukaan zona pelusida.
Dipercaya bahwa spermatozoa in vivo menempel pada endosalpinx sebelum
waktu ovulasi dalam keadaan tidak terkapasitasi dalam rangka menjaga
viabilitasnya.

Mekanisme Kapasitasi
Selama kapasitasi, spermatozoa kehilangan beberapa protein
permukaannya yang dikenal dengan faktor dekapasitasi. Faktor ini berasal
dari epididimis dan saat ejakulasi dari vesikula seminalis. Kehilangan faktor
dekapasitasi ini diikuti oleh perubahan lipid membran plasma spermatozoa.
Pembelahan enzimatik kutub polar menuju sterol nonpolar mengubah
kekakuan membran dan pembuangan kolesterol oleh sterol-binding

110 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

protein mengubah kondisi membran lipid. Membran plasma merupakan


micro-domain yang kaya akan kolesterol, sphingomyelin, glycosphingolipids,
glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored protein, dan kompleks molekul
sinyal transduksi. Kehilangan kolesterol dari membran sperma menyebabkan
gangguan lipid membran untuk meningkatkan fluiditas membran dan
memfasilitasi fusi membran yang dibutuhkan untuk reaksi akrosom dan
fusi sperma-oosit. Perubahan-perubahan molekular pada kapasitasi sperma
dipelajari secara in vitro, peringatan perlu diberikan untuk ekstrapolasi ke
in vivo.

Konsekuensi Kapasitasi: Hiperaktivasi dan Migrasi menuju tempat fertilisasi


Dampak pertama dari kapasitasi adalah hiperaktivasi. Gerakan ini
dikenali secara mikroskopis sebagai gerakan ‘mencambuk’ yang kuat oleh
ekor spermatozoa, bergerak dengan amplitudo bengkokan yang besar,
dan menghasilkan sebuah gerakan yang kencang, nonprogresif. Pencetus
hiperaktivasi belum pasti, tetapi dasar molekular hiperaktivasi termasuk
influks kalsium melalui kanal ion CatSper (Qi et al. 2007).
Peristiwa ini menyebabkan lepasnya spermatozoa dari epitelium oviduk,
meningkatkan kemungkinan tumbukan spermatozoa dengan kumulus dan
menyediakan dorongan bagi spermatozoa untuk pindah melalui cairan
luminal yang kental, kumulus ooforus, dan zona pelusida yang mengelilingi
oosit.
Perpindahan spermatozoa menuju oosit di dalam ampula oviduct
mungkin diarahkan oleh thermotaxis, tergantung perbedaan suhu. Ampula
memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan isthmus. Hanya
spermatozoa yang terkapasitasi yang merespons pengaruh temperatur ini.

PENETRASI KUMULUS OOFORUS


Setelah mencapai tempat fertilisasi di ampula tuba falopi, spermatozoa
masih harus mengatasi dua hambatan yang berpotensi mencegah kontak
langsung dengan oolemma, yaitu kumulus ooforus, di mana telur tertanam;
dan zona pelusida mengelilingi oosit.
Kumulus oophorus terdiri dari sel-sel granulosa, termasuk “korona
radiata”, berbatasan langsung ke sel telur. Sel-sel ini tertanam dalam matriks

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 111


Copyright @ Airlangga University Press

yang terutama terdiri dari asam hialuronat. Meskipun enzim litik pada
permukaan sperma, seperti hialuronidase PH-20, mungkin terlibat dalam
memfasilitasi berjalannya spermatozoa melalui kumulus, kebutuhan untuk
kekuatan mekanik dari spermatozoa yang terhiperaktivasi tetap dibutuhkan.
Spermatozoon kemungkinan diarahkan ke telur secara kemotaksis, migrasi
spermatozoa menuju ke kemoatraktan dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Sel-sel granulosa, terutama korona radiata, bisa mengeluarkan senyawa yang
memediasi migrasi kemotaksis jarak pendek dalam kumulus.
Teori klasik mengatakan bahwa hanya spermatozoa dengan akrosom
utuh yang dapat menembus kumulus. Jika reaksi akrosom spontan terjadi di
luar kumulus, spermatozoa tidak dapat bermigrasi melalui lapisan ini, karena
spermatozoa yang telah mengalami reaksi akrosom melekat pada massa
kumulus. Reaksi akrosom baru diperlukan untuk penetrasi spermatozoa
pada permukaan zona pelusida. Sperma yang mengalami reaksi akrosom
dalam massa kumulus telah dianggap “salah” bereaksi-akrosom. Namun, uji
model hewan menemukan bahwa spermatozoa yang telah bereaksi akrosom
tetap mampu menembus kumulus dan zona untuk kedua kalinya. (Inoue et
al., 2011)

INTERAKSI SPERMATOZOA DENGAN ZONA PELUSIDA


Zona pelusida terdiri dari anyaman glikoprotein ZP1, ZP2, ZP3, dan
ZP4/ZPB. ZP3 dan mungkin ZPB terlibat dalam ikatan sperma-zona. ZP1
menyediakan integritas struktural untuk zona pelusida oleh filamen yang
saling menyilang yang dibentuk oleh protein zona lainnya.
Kontak awal antara gamet terjadi antara kelompok karbohidrat
terkait protein o zona pelusida ZP3 atau ZPB dengan “zona reseptor” pada
spermatozoa. Berbagai protein yang terkait dengan permukaan sperma telah
dianggap mampu memediasi ikatan sperma-zona. Fucose atau fucoidan dan
mannose, dilaporkan menghambat ikatan sperma-zona. Hal ini diduga terjadi
akibat persaingan dengan struktur serupa pada permukaan sperma dengan
zona pelusida.
Reseptor untuk ZP3 pada spermatozoa manusia termasuk protein integral
membran yang telah ada pada spermatozoa testis dan sekresi epididimis
yang melapisi permukaan sperma selama pematangan dalam epididimis,
misalnya, P34H. Adhesi zona-spermatozoa diduga tidak diperantarai oleh

112 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

satu reseptor. Pendekatan multimeric zona recognition complex (MZRC) telah


menyatakan bahwa sperma menggunakan seperangkat kompleks protein
multimolekuler untuk mengkoordinasikan adhesi mereka ke ligan yang
terdapat di zona pelusida (Reid et al., 2011; Redgrove et al., 2011).
Kekuatan sel sperma saja, tanpa enzim, mungkin cukup untuk penetrasi
zona, tetapi ada kemungkinan bahwa baik kekuatan mekanik dan enzimatik
adalah sarana bagi spermatozoon untuk masuk ke ruang perivitellina. SPAM1/
PH-20 (hialuronidase permukaan sperma) disekresikan oleh epididimis manusia
dan dapat berfungsi sebagai enzim dan reseptor zona (Evans et al., 2003).

Gambar 6.5 Proses interaksi spermatozoa dan oosit dari kontak dengan zona
pelusida hingga singami (Cooper & Yeung, 2010)

Ikatan protein ZP3 dengan reseptor zona di membran yang berada di


atas akrosom menimbulkan reaksi akrosom. Dampak dari pelepasan vesikel
ini adalah pelepasan protease akrosom (contohnya akrosin), dan pajanan

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 113


Copyright @ Airlangga University Press

protease dari ikatan membran akrosom luar-dalam (akrosin dan precursornya


proakrosin). Proakrosin juga bisa berfungsi sebagai protein pengikat zona
dan berperan dalam postulat lain. Ikatan sekunder terhadap zona oleh
spermatozoa yang bereaksi akrosom melibatkan ZP2, di saat membran plasma
hilang dan ikatan ZP3 tidak lagi fungsional.

Gambar 6.6 Reaksi akrosom (Cooper & Yeung, 2010)

114 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

FUSI SPERMATOZOA DENGAN MEMBRAN VITELINA


Selain melepaskan enzim hidrolisis untuk memfasilitasi penetrasi zona,
peran lain dari akrosom adalah menciptakan perubahan halus pada regio
ekuatorial akrosom dan regio post akrosom (Gambar 6.3) yang dibutuhkan
untuk fusi sperma-telur. Tidak seperti bagian proksimal regio akrosom, tidak
terdapat vesikulasi pada regio ekuatorial yang bersama dengan regio post
akrosom dianggap sebagai tempat awal kontak sperma-sel telur. Kedua regio
ini berikatan dengan membran oosit di regio yang kaya dengan mikrovili.
Protein kandidat lain untuk fusi sel telur yang diekspresikan oleh
spermatozoa adalah Izumo-1 dan SPSPE1. Izumo-1 adalah sebuah protein
yang terletak pada permukaan spermatozoa yang telah mengalami reaksi
akrosom, memiliki kemampuan untuk mengenali dan bersatu dengan
sel telur (Inoue et al., 2005). Reseptor izumo-1 pada telur adalah Cd9 dan
protein yang pada mulanya dikenal sebagai reseptor folat 4. Namun, karena
reseptor ini selanjutnya diketahui tidak mengikat folat, Bianchi menyarankan
Juno sebagai nama penggantinya (Bianchi et al., 2014). Segmen ekuatorial
merupakan tempat inisiasi fusi spermatozoa-telur pada mamalia. Dengan
demikian protein fusi harus terletak di segmen ini. Pada spermatozoa yang
telah bereaksi akrosom, Izumo-1 tidak hanya berlokasi di segmen ekuatorial
tetapi juga regio post akrosom. Karena itu peneliti mencari protein lain
yang hanya terletak di segmen ekuatorial sebagai inisiator kandidat fusi ini.
SPESP1 (sperm equatorial segment protein 1) dapat diduga sebagai protein fusi
sperma sel telur karena antibodi anti-SPESP1 menghambat fusi spermatozoa-
sel telur pada uji sel telur hamster bebas zona (Wolkowicz, et al., 2008) dan
fertilisasi in vitro tikus (Lv, et al., 2010). Tikus dengan jantan Spesp1+/– dan
Spesp1–/– memiliki spermatozoa yang berkemampuan fusi lebih rendah
dibandingkan dengan yang tipe liar. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
SPESP1 dibutuhkan untuk menghasilkan kompetensi fusi yang sempurna
(Fujihara et al., 2010).

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 115


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 6.7 Proses fusi spermatozoa dengaan mebran vitelina. Proses ini diikuti
dengan proses endositosis (Satouh et al., 2012)

PERISTIWA PASCA FUSI


Pada manusia, baik kepala maupun ekor spermatozoa memasuki
sitoplasma oosit, tetapi membran plasma tertinggal pada permukaan oosit.
Segera setelah spermatozoa memasuki oosit, terjadi respons oosit dalam tiga
bentuk berikut.

Melanjutkan Pembelahan Meiosis II


Meiosis belum terjadi secara lengkap saat oosit mengalami ovulasi;
oosit tertahan pada periode metafase II. Ketika spermatozoa masuk di waktu
fertilisasi, blokade pembelahan dihentikan sehingga oosit dapat menyelesaikan
meiosis. Fusi sperma-sel telur melepaskan ion kalsium dari simpanan

116 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

intraseluler yang diikuti oleh osilasi kalsium yang terjadi beberapa jam hingga
pembentukan pronukleus betina. Faktor yang berperan dalam aktivasi oosit
ini disebut sebagai sperm-associated oocyte activation factor (SOAF). Beberapa
kandidat SOAF adalah phospholipase C zeta (PLCζ) dan postacrosomal sheath
WW binding protein (PAWP). PLCζ saat masuk ke oosit menghidrolisis PIP
menghasilkan IP3; IP3 berikatan dengan IP3RS menyebabkan pelepasan
Ca2+ dari retikulum endoplasma. Kebutuhan akan PLCζ dibuktikan melalui
percobaan di mana spermatozoa dengan mutasi PLCζ menunjukkan aktivitas
enzim yang menyimpang dan gagal mengaktifkan oosit. Mikroinjeksi protein
rekombinan PLCζ manusia kemudian mampu merangsang osilasi Ca2+ dengan
karakteristik seperti saat fertilisasi yang dibutuhkan untuk aktivasi oosit dan
perkembangan menuju tahap blastokis (Nomikos et al., 2013).
Hampir separuh dekade setelah penemuan PLCζ, diajukan kandidat
lain SOAF, yaitu PAWP. Kandidat baru ini merupakan protein spesifik
spermatozoa yang diduga berikatan dengan yes associated protein (YAP) dan
berinteraksi dengan domain SH3 PLCγ oosit, menghasilkan aktivasi jalur
signal fosfoinositida (Wu et al., 2007). Sebuah penelitian juga menunjukkan
bahwa PAWP mampu menginduksi osilasi Ca 2+ dan aktivasi oosit saat
diinjeksikan ke dalam oosit manusia dan pengeluaran Ca2+ dapat dihambat
setelah mikroinjeksi spermatozoa bersamaan dengan inhibitor kompetitif
PAWP (Aarabi et al., 2014).
Bersamaan dengan selesainya meiosis, badan polar II akan terbentuk.
Meskipun pada ICSI fusi sperma-sel telur dapat dilewati, aktivasi oosit tetap
dapat terjadi. Namun terjadi keterlambatan yang disebabkan oleh pelepasan
SOAF yang lebih lambat karena dibutuhkan waktu untuk merusak perinuclear
theka, tempat di mana SOAF berada. Keterlambatan ini juga menyebabkan
keterlambatan dekondensasi kromatin pada proses ICSI dibandingkan dengan
fertilisasi melalui fusi sperma-telur (Williams, 2002).

Blokade terhadap Polispermi


Peristiwa awal dari aktivasi oosit yang dirangsang oleh sinyal kalsium
adalah eksositosis granul kortikal yang terletak di permukaan oosit (Gambar
2). Peristiwa ini menghambat poliploidi dengan mencegah spermatozoa lain
memasuki sel telur dengan kerja pada dua tingkatan: Vitellus dan zona. Fusi
granul vesikel dengan membran vitelina segera mengubah komposisi membran

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 117


Copyright @ Airlangga University Press

telur sehingga membran tidak memiliki afinitas terhadap spermatozoa.


Peristiwa ini dikenal dengan istilah “vitelline block to polyspermy” atau
“reaksi kortikal”. Granul dilepaskan ke ruang perivitellina, glikosidase
mengubah ZP3 menjadi ZP3f, yang minim dengan karbohidrat, utamanya
dikenali oleh reseptor zona yang ada pada spermatozoa, dan protease
mendegradasi ZP2 menjadi ZP2f, yang tidak mampu berikatan dengan
spermatozoa yang telah bereaksi akrosom (Wassarman, 1992). Mekanisme
ini dikenal dengan “zona block to polyspermy” atau “reaksi zona”.

Singami
Spermatozoa di dalam oosit akan bergerak mendekati pronukleus
betina dan akan membentuk pronukleus jantan, sementara ekornya akan
lepas dan berdegenerasi. Kedua pronukleus ini sulit dibedakan dan mereka
akan berkontak dan kehilangan selaput intinya. Selama pertumbuhan, kedua
pronukleus yang bersifat haploid ini perlu mereplikasi DNA sehingga tiap
sel dari zigot 2 sel yang akan terbentuk memiliki jumlah DNA yang normal.
Setelah sintesis DNA, kromosom tersusun pada spindle sebagai persiapan
pembelahan mitosis. Dua puluh tiga kromosom ganda maternal dan 23
kromosom ganda paternal membagi secara longitudinal pada sentromer
dan sister kromatid bergerak menuju kutub yang berlawanan, menyediakan
masing-masing zigot dengan kromosom diploid. Saat sister kromatid bergerak
ke kutub yang berlawanan, sebuah alur dalam nampak pada permukaan sel,
secara perlahan membelah sitoplasma menjadi dua bagian.
Untuk membentuk zigot 2-sel, zigot manusia harus memiliki dua
sentriol selama interfase dan empat sentriol selama mitosis pertama. Oosit
manusia tidak memiliki sentriol dan pronukleus perlu dikaitkan dengan aster
mikrotubulus. Sentriol embrio diwariskan secara paternal (Sathananthan et
al., 1996; Simerly, 1995). Dogma tua mengatakan sentriol sperma dan matriks
perisentriolar di sekitarnya berkurang selama spermiogenesis dan sentriol
distal juga terdisintegrasi. Oleh karena itu, zigot hanya memiliki satu sumber
sentriol, yakni sentriol proksimal dari sperma.
Fishman et al. menemukan bahwa komponen sisa sentriol distal
spermatozoa mampu merekrut protein matriks perisentriolar, γ-tubulin,
membentuk aster, membentuk sentriol baru, dan melokalisasi ke kutub
spindle, sambil mempertahankan kemelekatannya dengan aksonema (Fishman
et al., 2018).

118 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

PEMBELAHAN ZIGOT PASCA FERITILISASI


Setelah terbentuk zigot (stadium 2-sel), zigot akan mengalami serangkaian
pembelahan mitosis yang akan meningkatkan jumlah sel. Sel-sel ini menjadi
lebih kecil setiap kali membelah dan dikenal dengan nama blastomer.

Pembentukan Morula
Hingga tahap 8-sel, blastomer membentuk gumpalan yang tersusun
longgar. Setelah pembelahan ketiga, blastomer memaksimalkan kontaknya,
dan membentuk bola kompak yang diikat oleh tight junction. Proses kompaksi,
memisahkan sel dalam (inner cell) yang berkomunikasi secara ekstensif oleh
gap junction dari sel luar (outer cell). Kira-kira 3 hari setelah fertilisasi, sel-sel
dari embrio membelah lagi membentuk morula 16 sel (mulberry) yang terdiri
dari inner cell mass dan dikelilingi oleh sel outer cell mass. Inner cell mass
akan membentuk jaringan embrio sementara outer cell mass akan membentuk
trofoblas yang berkontribusi membentuk plasenta.

Gambar 6.8 Perkembangan pasca fertilisasi dari terbentuknya pronukleus (A),


zigot dari stadium 2 sel (B), stadium 4 sel (C), hingga morula (D dan E), serta
blastokista (F). Stadium 2 sel terjadi pada 30 jam pasca fertilisasi, stadium 4 sel
terjadi pada 40 jam pasca fertilisasi, stadium 12–16 sel terjadi pada tiga hari pasca
fertilisasi; dan fase akhir morula terjadi pada hari keempat pasca fertilisasi.
(Be Vos & Steirtegh, 2013)

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 119


Copyright @ Airlangga University Press

Pembentukan Blastosis
Saat morula memasuki rongga rahim, cairan mulai melakukan penetrasi
melalui zona pelusida menuju ruang antar inner cell mass. Perlahan, ruang
interselular saling bertemu, dan akhirnya membentuk rongga tunggal yang
disebut blastokel. Pada saat ini embryo disebut blastokis. Inner cell mass
disebut sebagai embrioblast, sementara outer cell mass disebut trofoblas,
memipih dan membentuk dinding epitel blastokis.
Blastokis lepas dari zona pelusida (hatching) sehingga implantasi
dapat dimulai. Pada manusia, sel trofoblas yang berada di atas kutub
embrioblast mulai berpenetrasi di antara endometrium pada hari keenam.
Studi baru menyimpulkan bahwa L-selectin pada sel trofoblas dan reseptor
karbohidratnya pada epitel uterus memediasi perlekatan awal blastokis ke
uterus. Mekanisme yang sama dengan cara leukosit berinteraksi dengan
endotel diduga terjadi untuk penangkapan blastokis dari rongga uterus oleh
endometrium. Setelah penangkapan oleh selektin, perlekatan lebih lanjut dan
invasi trofoblas melibatkan integrin yang diekspresikan oleh trofoblas dan
molekul matriks ekstraselular laminin dan fibronektin. Reseptor integrin
untuk laminin mendorong perlekatan, sementara fibronektin merangsang
migrasi. Dengan demikian, dengan berakhirnya perkembangan minggu
pertama, zigot manusia telah melalui fase morula dan blastokis, dan telah
mulai berimplantasi di dalam mukosa rahim.

REFERENSI
Aarabi, M., Balakier, H., Bashar, S., Moskovtsev, S.I., Sutovsky, P., Librach, C.L.
& Oko, R. 2014. Sperm-derived WW domain-binding protein, PAWP,
elicits calcium oscillations and oocyte activation in humans and mice.
FASEB, 28:4434–4440.
Andersson, K.E. & Wagner, G. 1995. Physiology of erection. Physiol Rev, 75:
191–236.
Anonym. 2018. Reproductive System Anatomy. Dikutip dari: anatomynote.com
Bianchi, E., Doe, B., Goulding, D. & Wright, G.J. 2014. Juno is the egg
Izumo receptor and is essential for mammalian fertilisation. Nature,
508(7497):483–487.

120 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Cooper, T.G. & Yeung, C.-H., 2010. Physiology of Sperm Maturation and
Fertilization. Dalam Andrology: Male Reproductive Health and Dysfunction:
61-85. 3rd. Disunting oleh E. Nieschlag, H. M. Behre & S. Nieschlag.
Verlag Berlin Heidelberg: Springer.
De Vos, A. & Van Steirtegh, A. 2013. Assisted Reproduction. Textbook of in Vitro
Fertilization and Assisted Reproduction. 3th Ed. Disunting oleh Peter R.
Brinsden. Oxfordshire: Taylor & Francis Group.
Fishman, E. L. et al., 2018. A novel atypical sperm centriole is functional during
human fertilization. Nat Commun, 9(1): 2210 .
Föstermann, U., Closs, E.I. & Pollack, J.S. 1994. Nitric oxide syntthase
isoenzymes: characterization, purification, molecullar cloning and
functions. Hypertension, 23:1112–1131.
Fujihara, Y., Murakami, M., Inoune, N., Satouh, Y., Kaseda, K., Ikawa, M.
& Okabe, M. 2010. Sperm equatorial segment protein 1, SPESP1, is
required for fully fertile sperm in mouse. Journal of Cell Science, 123(9):
1531–1536.
Inoue, N., Ikawa, M., Isotani, A. & Okabe, M. 2005. The immunoglobulin super
family protein Izumo is required for sperm to fuse with eggs. Nature,
434:234–238.
Inoue, N., Satouh, Y., Ikawa, M., Okabe, M., Yanagimachi, R. 2011. Acrosome-
reacted mouse spermatozoa recovered from the perivitelline space can
fertilize other eggs. Proc Natl Acad Sci, 108(50):20008–20011.
Johnson, M. H., 2013. What is reproduction?. Dalam Essential Reproduction: 4-35.
Disunting oleh M. H. Johnson. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Karadeniz, T., Topsakal, M., Aydogmus, A. & Beksan, M., 1997. Role of RigiScan
in the etiologic differential diagnosis of erectile dysfunction. Urol Int,
59(1):41–45.
Lv, Z.-M., Wang, M. & Xu, C. 2010. Antifertility characteristics of the N-terminal
region of mouse equatorial segment protein. The Anatomical Record,
293(1):171–181.
Nomikos, M., Yu, Y., Khalil, E., T., Theodoridou, M., Campbell, K.,
Vassilakopoulou, V., Zikos, C., Livaniou, E., Amso, N., Nounesis, G.,
Swann, K. & Anthony, L.F. 2013. Phospholipase Cz rescues failed oocyte
activation in a prototype of male factor infertility. Fertility and Sterility,
99(1):76–85.

BAB 6 FERTILISASI ALAMIAH 121


Copyright @ Airlangga University Press

Oren-Benaroya, R., Orvieto, R., Gakamsky, A., Pinchasov, M. & Eisenbach, M.


2008. The sperm chemoattractant secreted from human cumulus cells
is progesterone. Human Reproduction, 1 October, 23(10):2339–2345.
Ralph, D.J. & Wylie, K.R. 2005. Ejaculatory disorders and sexual function. BJU
International, 95(9):1181–1186.
Redgrove, K.A., Anderson, A.L., Dun, M.D., McLaughlin, E.A., O’Bryan,
M.K., Aitken, R.J. 2011. Involvement of multimeric protein complexes in
mediating the capacitation-dependent binding of human spermatozoa
to homologous zonae pellucidae. Dev Biol, 356(2):460–474.
Reid, A. T., Redgrove, K., Aitken, R. J. & Nixon, B., 2011. Cellular mechanisms
regulating sperm–zona pellucida interaction. Asian Journal of Andrology,
13(1):88–96.
Sathananthan, A. H., Ratnam, S.S., Ng, S.C., Tarin, J.J., Giabaroli, L., Trounson,
A. 1996. The sperm centriole : its inheritance , replication and
perpetuation in early human embryos. Hum Reprod, 11(2):345–356.
Simerly, C., 1995. The paternal inheritance of the centrosome, the cell’s
microtubule-organizing center, in humans, and the implications for
infertility. Nat Med., 1:47–52.
van Ahlen, H. & Kliesch, S., 2010. Disorders of Erection, Cohabitation, and
Ejaculation. Dalam Andrology: 279-332. Disunting oleh E. Nieschlag, H.
M. Behre & S. Nieschlag. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
Wachten, D., Jikeli, J.F. & Kaupp, U.B., 2017. Sperm Sensory Signaling. Cold
Spring Harb Perspect Biol, 9(7).
Wolkowicz, M.J., Digilio, L., Klotz, K., Shetty, J., Flickinger, C.J. & Herr, J.C. 2008.
Equatorial Segment Protein (ESP) Is a Human Alloantigen Involved in
Sperm-Egg Binding and Fusion. J Androl, 29(3):272–282.
Wu, A., Sutovsky, P., Manandhar, G., Xu, W., Katayama, M., Day, B.N., Park, K.,
Yi, Y., Xi, Y.W., Prather, R.S. & Oko, R. 2007. PAWP, a sperm-specific WW
domain-binding protein, promotes meiotic resumption and pronuclear
development during fertilization. J Biol Chem, 282:12164–12175.
Zhang, Z., Liu, J., Meriano,J., Ru, C., Xie, S., Luo, J. & Sun Y. 2016. Human
sperm rheotaxis: a passive physical process. Scientific Reports, March,
6:23553.

122 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

BAB 7 MASA TUA

PENDAHULUAN
Setelah melewati masa dewasa, pria memasuki masa tua. Pada masa
ini, pria mengalami proses penuaan. Perubahan yang membentuk dan
memengaruhi penuaan ini bersifat kompleks. Pada tingkat biologis, penuaan
dikaitkan dengan akumulasi bertahap berbagai kerusakan molekuler dan
seluler (Steves et al., 2012). Seiring waktu, kerusakan ini menyebabkan
penurunan bertahap pada kapasitas fisiologis dan peningkatan risiko berbagai
penyakit. Pada akhirnya, penuaan akan diakhiri dengan kematian.
Perubahan ini tidak linier dan inkonsisten, hubungan tersebut hanya
terkait secara longgar dengan usia (Steves et al., 2012). Beberapa orang berusia
70 tahun dapat menikmati fungsi fisik dan mental yang baik, sementara yang
lain mungkin lemah atau membutuhkan dukungan yang signifikan untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tingkat dan sejauh mana proses ini
terjadi bergantung pada genetika, adanya penyakit, dan akumulasi efek faktor
sosial ekonomi, gaya hidup, dan lingkungan (Araujo & Wittert, 2011). Dalam
bab ini, kita akan menitikberatkan pembahasan penuaan pada berbagai fungsi
reproduksi dan seksual.

FERTILITAS MASA TUA


Angka Kehamilan
Usia lanjut meningkatkan kejadian infertilitas. Pria usia lanjut di atas
40 tahun (Advanced Paternal Age/APA) menunjukkan penurunan angka
keberhasilan reproduksi yang ditunjukkan oleh memanjangnya waktu untuk
mencapai kehamilan dan juga tingkat pembuahan (Hassan & Killick, 2003;
Dunson et al., 2004).

123
Copyright @ Airlangga University Press

Terjadi peningkatan lima kali lipat waktu untuk mencapai kehamilan


saat usia pria > 45 tahun. Bila dibandingkan dengan pria berusia < 25 tahun,
pria APA (> 45 tahun) 4,6 kali lebih mungkin mengalami infertilitas (tidak
menginduksi kehamilan sampai setelah 1 tahun melakukan hubungan seks
tanpa kontrasepsi). Ketika orang-orang yang membutuhkan waktu lebih dari 2
tahun untuk menginduksi kehamilan dengan pasangan mereka diperiksa, pria
APA kemungkinan 12,5 kali lebih banyak ditemui (Hassan & Killick, 2003).
Penurunan fertilitas akibat usia telah nampak pada usia yang lebih
muda. Sebuah studi di Australia yang mengamati 585 pasangan menemukan
peningkatan risiko infertilitas pada pasangan laki-laki berusia 35 tahun
dibandingkan dengan usia yang lebih muda (Ford et al., 2000).
Penurunan potensi menghamili tidak hanya terjadi pada kondisi
kehamilan spontan, tetapi juga pada penerapan inseminasi intrauterin
(Mathieu et al., 1995; Belloc et al., 2008; Carballo et al., 2013). Dalam kasus
penggunaan inseminasi intrauterin dan usia wanita dikendalikan, usia pria
lebih dari 35 tahun dikaitkan dengan tingkat kehamilan 50% lebih rendah
dibandingkan dengan pria berusia di bawah 30 tahun (Mathieu et al., 1995).
Dari 2.276 siklus inseminasi, intrauterin pada wanita berusia kurang dari 35
tahun, angka kehamilan terendah terjadi pada kelompok pria berusia lebih
dari 50 tahun (Carballo et al., 2013). Penurunan potensi ini tidak terjadi pada
fertilisasi in vitro. Tidak ditemukan korelasi antara usia pria dan tingkat
fertilisasi, implantasi, kehamilan, keguguran, dan kelahiran hidup pada IVF,
tetapi ditemukan penurunan pembentukan blastokista yang signifikan (Dain
et al., 2011).
Lebih lanjut, dalam studi multisenter, De la Rochebrochard
mengidentifikasi peningkatan risiko keguguran yang jelas pada hasil
kehamilan untuk pria berusia di atas 40 tahun (De la Rochebrochard &
Thonneau, 2002). Penurunan kesuburan pria ini mungkin disebabkan oleh
berbagai faktor seperti kuantitas dan kualitas spermatozoa maupun frekuensi
hubungan seksual yang berkurang pada masa tua. Kuantitas dan kualitas
spermatozoa dipelajari lebih lanjut dengan menilai berbagai parameter
semen.

Kuantitas dan Kualitas Spermatozoa Masa Tua


Analisis semen merupakan cara yang umum digunakan untuk
memperkirakan potensi kesuburan pria. Beberapa pemeriksaan lain seperti

124 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

vitalitas dan indeks fragmentasi DNA juga mulai digunakan untuk tujuan
ini. Pengaruh usia terhadap hasil pemeriksaan semen telah dipelajari tetapi
mendapatkan hasil yang tidak terlalu bermakna secara statistik.
Winkle menganalisis parameter semen dan DFI pada 320 pasien acak dan
84 kontrol normozoospermia dan menemukan bahwa konsentrasi, motilitas,
morfologi, dan fragmentasi DNA tidak memburuk pada pria usia lanjut.
Meskipun terjadi penurunan motilitas, penurunan ini tidak bermakna secara
statistik (Winkle et al., 2009).
Pada studi lain menggunakan kelompok pria infertil, terdapat penurunan
vitalitas, motilitas total, dan persentase penurunan morfologi normal seiring
bertambahnya usia tetapi tidak berbeda secara signifikan. Pada kelompok ini
juga ditemukan kecenderungan untuk peningkatan tingkat fragmentasi DNA
dan diploid dengan usia yang tidak signifikan secara statistik. Hubungan
terbalik secara bermakna ditemukan antara usia pasien, volume semen (r =
-0,83; p = 0,032), dan vitalitas (r = -0,219; p = 0,01). Konsentrasi spermatozoa
secara signifikan dan positif berhubungan dengan usia (r = 0,1996; p = 0,021)
(Brahem et al., 2011).

Gambar 7.1 Hubungan volume semen, vitalitas, konsentrasi, dan persentase


diploid spermatozoa dengan usia (Brahem et al., 2011).

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, sebuah penelitian retrospektif


dengan 9.168 pasien menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan
pada volume semen, jumlah sperma, motilitas, viabilitas dan morfologi
normal, dan penurunan kadar alfa-glukosidase serta fruktosa dalam kaitannya
dengan usia (Molina et al., 2010).
Dari ketiga penelitian ini, dapat kita simpulkan bahwa terjadi penurunan
volume semen yang bermakna dengan bertambahnya usia. Sementara motilitas
dan morfologi mengalami penurunan yang tidak bermakna. Pada beberapa

BAB 7 MASA TUA 125


Copyright @ Airlangga University Press

penelitian, konsentrasi sperma meningkat karena adanya penurunan volume


semen sehingga peningkatan ini tidak boleh diartikan sebagai peningkatan
fungsi spermatogenesis testis pada masa tua. Fungsi spermatogenesis ini
dikonfirmasi dengan pemeriksaan testis.
Meskipun pada banyak jaringan telomer memendek setiap terjadi
pembelahan sel, panjang telomer meningkat dengan penuaan pada
spermatozoa (Kimura et al., 2008). Terdapat dua kemungkinan mekanisme
untuk menjelaskan panjang telomer yang lebih panjang pada spermatozoa
pria lanjut usia, yaitu ekspresi telomerase testis yang tinggi menyebabkan
pemanjangan telomer kromosom spermatozoa (Ozturk, 2015) dan sel induk
germinal dengan telomer panjang cenderung bereplikasi dibandingkan
dengan yang memiliki telomer pendek (Jørgensen et al., 2013; Gunes et al.,
2016).

TESTIS MASA TUA


Penuaan menyebabkan penurunan volume testis. Sebuah studi
menunjukkan bahwa pria tua memiliki volume testis yang lebih kecil secara
signifikan daripada pria yang lebih muda (Mahmoud et al., 2003). Well
menyelidiki pengaruh usia pada volume testis dan menunjukkan bahwa
puncak volume testis terjadi pada usia 25 tahun. Penurunan yang kecil tetapi
signifikan diamati pada usia 80 dan 90 tahun (Well et al., 2007). Sementara
penelitian lain menunjukkan bahwa antara usia 40 dan 60 tahun, volume
testis relatif konstan dengan hanya sedikit penurunan, tetapi setelah usia 60
tahun, volume testis menurun secara signifikan (Yang et al., 2011).
Studi histomorfometrik dari tiga puluh enam pria lanjut usia (61–102
tahun) dan 10 pria muda (29–40 tahun) menunjukkan jumlah sel germinal dan
sel Sertoli menurun seiring bertambahnya usia. Tingkat aneuploidi sel post
miotik adalah 1,1% untuk kelompok kontrol, 1,29% untuk subjek yang lebih
tua dengan spermatogenesis yang terjaga, dan 14,28% untuk subjek dengan
spermiogenesis arrested (Dakouane et al., 2005).

126 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Gambar 7.2 Jumlah sel benih (spermatogonia, spermatosit, dan spermatozoa) dan


sel Sertoli berdasarkan umur (Dakouane et al., 2005)

Analisis optikal fraktionator yang dioptimalkan pada testis jenazah


menunjukkan penurunan jumlah populasi sel Sertoli dengan penuaan
(Petersen et al., 2015) tetapi tidak ada penurunan terkait jumlah sel benih per
sel Sertoli.

PROFIL HORMON PRIA MASA TUA

FSH dan InhibinB


Studi longitudinal terhadap pria menunjukkan peningkatan kadar FSH
yang bermakna dengan bertambahnya usia sekitar 3,1 % per tahun (Morley et
al., 1997; Feldman et al., 2002). Namun, penelitian cross-sectional menunjukkan
bahwa kadar inhibin B hanya sedikit lebih rendah dari pada pria muda
(Bohring & Krause, 2003). Meskipun demikian, kadar inhibin B menunjukkan
korelasi terbalik yang kuat dengan FSH dan korelasi positif yang kuat dengan
volume testis pada pria yang lebih tua (Bohring & Krause, 2003). Peningkatan
kadar FSH merupakan mekanisme kompensasi untuk melestarikan fungsi sel
Sertoli yang mengalami pengurangan jumlah (Petersen et al., 2015).

BAB 7 MASA TUA 127


Copyright @ Airlangga University Press

LH
Terdapat kenaikan kadar LH pada pria tua (Morley et al., 1997; Feldman
et al., 2002) tetapi dengan sedikit toleransi (Araujo & Wittert, 2011). Hal ini
tampak pada penelitian terhadap pria muda yang menunjukkan bahwa
penurunan sintesis testosteron secara moderat tidak perlu dikompensasi
sepenuhnya oleh peningkatan sekresi LH (Woerdeman et al., 2010). Kenaikan
kontra-regulasi pada hormon LH sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan
FSH, sekitar 0,9% per tahun (Feldman et al., 2002). Setelah peningkatan ini,
terjadi penurunan yang tidak bermakna pada usia yang sangat lanjut (lebih
dari 95 tahun) (Vaninetti et al., 2000).

Gambar 7.3 Kadar gonadotropin pada pria sehat (Vaninetti et al., 2000)

128 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Steroid
Penuaan reproduksi pada pria juga ditandai dengan penurunan bertahap
kadar testosteron serum. Beberapa publikasi studi kohort longitudinal
tentang pria Amerika (Morley et al., 1997; Harman et al., 2001; Feldman et al.,
2002), Australia (Liu et al., 2007), pria Eropa (Lapauw et al., 2008), dan Brazil
(Nardozza et al., 2011) menunjukkan penurunan kadar testosteron total 0,8–2%
per tahun dari dekade keempat dan seterusnya. Sebaliknya, kadar SHBG
meningkat sebesar 1,3–2,5% per tahun dengan usia sehingga penurunan
kadar testosteron bebas lebih besar daripada total testosteron dan biasanya
di kisaran 2–3% per tahun.

Gambar 7.4 Model regresi kecenderungan umur dengan kadar testosteron dari


50 subjek yang dipilih secara acak pada Massachusetts Male Aging Study (a) cross
sectional data awal, (b) data longitudinal, (c) cross sectional data follow up
(Feldman et al., 2002)

Data tentang dampak penuaan pada dua metabolit utama testosteron,


DHT dan estradiol dalam populasi masih terbatas. Massachusetts Male Aging
Study (MMAS) menunjukkan peningkatan DHT 3,5% per tahun pada analisis
data longitudinal, tetapi tidak pada data cross sectional (Feldman et al., 2002).
Studi cross-sectional lain menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Terjadi
penurunan yang bermakna pada kadar DHT kelompok usia 80 sampai
89 tahun dibandingkan kelompok 30 sampai 39 tahun, tetapi tidak ada
perubahan bermakna pada kadar DHT antarkelompok usia lainnya (Nawata

BAB 7 MASA TUA 129


Copyright @ Airlangga University Press

et al., 1977). Sementara penelitian lainnya menunjukkan kadar DHT tetap


konstan (Bélanger et al., 1994; Barrett-Connor et al., 1999).
Tidak seperti testosteron, penelitian menunjukkan hasil yang berbeda
mengenai perubahan kadar estradiol akibat usia. Sebuah penelitian
menunjukkan tidak ada perubahan kadar estradiol dengan bertambahnya
usia (Lapauw et al., 2008), sementara penelitian lain menemukan penurunan
(Orwoll et al., 2006). Namun, peningkatan SHBG dapat menyebabkan
penurunan kadar bioavailable estradiol yang jauh lebih bermakna (Barrett-
Connor et al., 1999). Ditemukan bahwa usia berbanding terbalik dengan kadar
estradiol bebas. Konsentrasi estradiol ini lebih rendah pada pria dengan
indeks massa tubuh lebih rendah dan kadar SHBG yang lebih tinggi (Orwoll
et al., 2006). Hubungan antara konsentrasi estradiol dan indeks massa tubuh
mungkin disebabkan oleh aktivitas aromatase pada jaringan lemak, terutama
lemak subkutan abdomen (Vermeulen et al., 2002).

FUNGSI SEKSUAL MASA TUA


Penuaan membawa sejumlah perubahan fisik dan psikologis yang
bisa berdampak pada performa dan kesenangan seksual. Meskipun jumlah
aktivitas seksual umumnya menurun seiring bertambahnya usia, ketertarikan
seksual dan kemampuan aktivitas seksual tidak sepenuhnya hilang (Jarzabek-
bielecka & Pawlaczyk, 2012). Masalah (disfungsi seksual) yang terkait usia
pada pria adalah disfungsi ereksi (Rosen, 2000).

Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi yang cukup keras untuk menyelesaikan aktivitas
seksual. DE sangat terkait dengan penuaan dan lebih sering terjadi pada pria
tua (O’Donnell et al., 2004).
Penuaan pria menyebabkan remodeling jaringan korpora kavernosa. Hal
ini terjadi karena testosteron yang berperan dalam perkembangan korpora
kavernosa, homeostasis sel otot polos, ekspresi eNOS dan PDE-5 berkurang.
Persentase sel otot polos dan serat elastis dari jala matriks ekstraseluler
di korpora kavernosa menurun seiring bertambahnya usia dan memicu
perubahan ukuran penis dan mengurangi ekstensibilitas dan elastisitas

130 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

tunika albuginea (Sampson et al., 2007). Hal ini nampak dari ukuran penis
yang lebih besar saat flaksid secara bermakna tetapi lebih kecil saat ereksi
(Schneider et al., 2001).
Selain remodeling jaringan korpora kavernosa, DE umumnya disebabkan
oleh penyakit aterosklerotik arteri penis, yang menyebabkan penurunan
oksigen dan fibrosis akibat iskemi. DE mungkin juga timbul karena
berkurangnya produksi NO sebagai konsekuensi diabetes atau penuaan
karena aktivitas nNOS atau eNOS yang lebih rendah melalui degradasi
neuronal atau kerusakan endotel (Gonzalez-Cadavid & Rajfer, 2004).

REFERENSI
Araujo, A.B. & Wittert, G.A. 2011. Endocrinology of the aging male. Best Pract
Res Clin Endocrinol Metab, April, 25(2):303–319.
Barrett-Connor, E., Von Mühlen, D.G. & Kritz-Silverstein, D. 1999. Bioavailable
testosterone and depressed mood in older men: the Rancho Bernardo
Study. The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, Februari,
84(2):573–577.
Bélanger, A., Candas, B., Dupont, A., Cusan, L., Diamond, P., Gomez, J.L. &
Labrie, F. 1994. Changes in serum concentrations of conjugated and
unconjugated steroids in 40- to 80-year-old men. The Journal of Clinical
Endocrinology and Metabolism, Oktober, 79(4):1086–1090.
Belloc, S., Cohen-Bacrie, P,, Benkhalifa, M., Cohen-Bacrie, M., De Mouzon, J.,
Hazout, A. & Ménézo, Y. 2008. Effect of maternal and paternal age on
pregnancy and miscarriage rates after intrauterine insemination. Reprod
Biomed Online, September, 17(3):392–397.
Bohring, C. & Krause, W. 2003. Serum levels of inhibin B in men of different
age groups. Aging Male, Juni, 6(2):73–78.
Brahem, S., Mehdi, M., Elghezal, H. & Saad, A. 2011. The effects of male aging
on semen quality , sperm DNA fragmentation and chromosomal
abnormalities in an infertile population. Journal of Assisted Reproduction
and Genetics, 28:425–432.
Carballo, E., Roque, A., Durán-Monterrosas, L.A. & Kably Ambe, A. 2013.
The value of paternal age on the outcome of intrauterine insemination.
Ginecol Obstet Mex, Juni, 81(6):329–333.

BAB 7 MASA TUA 131


Copyright @ Airlangga University Press

Dain, L., Auslander, R. & Dirnfeld, M. 2011. The effect of paternal age on
assisted reproduction outcome. Fertility & Sterility, 95(1):1–8.
Dakouane, M., Bicchieray, L., Bergere, M., Albert, M., Vialard, F. & Selva, J.
2005. A histomorphometric and cytogenetic study of testis from men
29 – 102 years old. Fertility and Sterility, 83(4):923–928.
De la Rochebrochard, E. & Thonneau, P. 2002. Paternal age and maternal age
are risk factors for miscarriage; results of a multicentre European study.
Hum Reprod, 17(6):1649–1656.
Dunson, D.B., Baird, D.D. & Colombo, B. 2004. Increased infertility with age
in men and women. Obstet Gynecol, 103:51–56.
Feldman, H.A., Longcope, C., Derby, C.A., Johannes, C.B., Araujo, A.B.,
Coviello, A.D., Bremner, W.J. & McKinlay, J.B. 2002. Age trends in the
level of serum testosterone and other hormones in middle-aged men:
Longitudinal results from the Massachusetts Male Aging Study. The
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 87(2):589–598.
Ford, W.C., North, K., Taylor, H., Farrow, A., Hull, M.G. & Golding, J. 2000.
Increasing paternal age is associated with delayed conception in a large
population of fertile couples: evidence for declining fecundity in older
men. The ALSPAC Study Team (Avon Longitudinal Study of Pregnancy
and Childhood). Human Reproduction, 15(8):1703–1708.
Gonzalez-Cadavid, N.F. & Rajfer, J. 2004. Molecular pathophysiology and gene
therapy of aging-related erectile dysfunction. Experimental Gerontology,
November, 39(11-12):1705–1712.
Gunes, S., Neslihan, G., Hekim, T.A.M.A. & Asci, R. 2016. Effects of aging on
the male reproductive system. J Assist Reprod Genet, 33(4):441–454.
Harman, S.M., Metter, E.J., Tobin, J.D., Pearson, J. & Blackman, M.R. 2001.
Longitudinal effects of aging on serum total and free testosterone levels
in healthy men. J Clin Endocrinol Metab, 86:724–731.
Hassan, M.A. & Killick, S.R. 2003. Effect of male age on fertility: evidence for
the decline in male fertility with increasing age. Fertil Steril, 79 (Suppl
3):1520–1527.
Jarzabek-bielecka, G. & Pawlaczyk, M. 2012. Aging and sexuality after
menopause and andropause. Archives of Perinatal Medicine, 18(4):
206–209.

132 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Jørgensen, P.B., Fedder, J.A., Koelvraa, S. & Graakjaer, J. 2013. Age-dependence


of relative telomere length profiles during spermatogenesis in man.
Maturitas, Agustus, 75(4):380–385.
Kimura, M., Cherkas, L.F, Kato, B.S., Demissie, S., Hjelmborg, J.B., Brimacombe,
M., Cupples, A., Hunkin, J.L., Gardner, J.P., Lu, X., Cao, X., Sastrasinh,
M., Province, M.A, Hunt, S.C., Christensen, K., Levy, D., Spector, T.D.
& Aviv, A. 2008. Offspring’s Leukocyte Telomere Length, Paternal Age,
and Telomere Elongation in Sperm. PLoS Genetics, Februari, 4(2):e37.
Lapauw, B., Goemaere, S., Zmierczak, H., Van Pottelbergh, I., Mahmoud, A.,
Taes, Y., De Bacquer, D., Vansteelandt, S. & Kaufman, J.M. 2008. The
decline of serum testosterone levels in community-dwelling men over
70 years of age: descriptive data and predictors of longitudinal changes.
European Journal of Endocrinology, Oktober, 159:459–468.
Liu, P.Y., Beilin, J., Meier, C., Nguyen, T.V., Center, J.R., Leedman, P.J., Seibel,
M.J., Eisman, J.A. & Handelsman, D.J. 2007. Age-related changes in
serum testosterone and sex hormone binding globulin in Australian
men: longitudinal analyses of two geographically separate regional
cohorts. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, September,
92(9):3599–3603.
Mahmoud, A.M., Goemaere, S., El-Garem, Y., Van Pottelbergh, I., Comhaire,
F.H. & Kaufman, J.M. 2003. Testicular volume in relation to hormonal
indices of gonadal function in community-dwelling elderly men. The
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 88(1):179–84.
Mathieu, C., Ecochard, R., Bied, V., Lornage, J. & Czyba, J.C. 1995. Cumulative
conception rate following intrauterine artificial insemination with
husband’s spermatozoa: influence of husband’s age. Human Reproduction,
10(5):1090–1070.
Molina, R.I., Martini, A.C., Tissera, A., Olmedo, J., Senestratri, D., De Cuneo,
M.F. & Ruiz, R.D. 2010. Semen quality and aging: Analysis of 9.168
samples in Cordoba, Argentina. Arch. Esp. Urol., 63(3):214–221.
Morley, J.E., Kaiser, F.E., Perry, H.M., Patrick, P., Morley, P.M., Stauber, P.M.,
Vellas, B., Baumgartner, R.N. & Garry, P.J. 1997. Longitudinal changes
in testosterone, luteinizing hormone, and follicle-stimulating hormone
in healthy older men. Metabolism, 46(4):410–413.

BAB 7 MASA TUA 133


Copyright @ Airlangga University Press

Nardozza, J., Szelbracikowski, S.S., Nardi, A.C. & Almeida, J.C. 2011. Age-
related testosterone decline in a Brazilian cohort of healthy military
men. Int Braz J Urology, September-Oktober, 37(5):591–597.
Nawata, H., Kato, K. & Ibayashi, H. 1977. Age-dependent change of serum
5alpha-dihydrotestosterone and its relation to testosterone in man.
Endocrinol Jpn, Februari, 24(1):41–45.
O’Donnell, A.B., Araujo, A.B. & McKinlay, J.B. 2004. The health of normally
aging men: The Massachusetts Male Aging Study (1987-2004).
Experimental Gerontology, Juli, 39(7):975–84.
Orwoll, E., Lambert, L.C., Marshall, L.M., Phipps, K., Blank, J., Barrett-
Connor, E., Cauley, J., Ensrud, K. & Cummings, S. 2006. Testosterone
and Estradiol among Older Men. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism, 91(4):1336 –1344.
Ozturk, S. 2015. Telomerase Activity and Telomere Length in Male Germ Cells.
Biology of Reproduction, January, 92(2):1–11.
Petersen, P.M., Seierøe, K. & Pakkenberg, B. 2015. The total number of Leydig
and Sertoli cells in the testes of men across various age groups-a
stereological study. Journal of Anatom, 226:175–179.
Rosen, R.C. 2000. Prevalence and risk factors of sexual dysfunction in men
and women. Current Psychiatry Reports, Juni, 2(3):189–195.
Sampson, N., Untergasser, G., Plas, E. & Berger, P. 2007. The ageing male
reproductive tract. Journal of Pathology, Januari, 211(2):206–218.
Schneider, T., Sperling, H., Lümmen, G., Syllwasschy, J. & Rübben, H. 2001.
Does penile size in younger men cause problems in condom use? A
prospective measurement of penile dimensions in 111 young and 32
older men. Urology, Februari, 57(2):314–318.
Steves, C.J., Spector, T.D. & Jackson, S.H. 2012. Ageing, genes, environment
and epigenetics: what twin studies tell us now, and in the future. Age
Ageing, September, 41(5):581–586.
Vaninetti, S., Baccarelli, A., Romoli, R., Fanelli, M., Faglia, G. & Spada, A. 2000.
Effect of aging on serum gonadotropin levels in healthy subjects and
patients with nonfunctioning pituitary adenomas. European Journal of
Endocrinology, 142:144–149.
Vermeulen, A., Kaufman, J.M., Goemaere, S. & van Pottelberg, I. 2002. Estradiol
in elderly men. Aging Male, Juni, 5(2):98–102.

134 BIOLOGI REPRODUKSI PRIA


Copyright @ Airlangga University Press

Well, D., Yang, H., Houseni, M., Iruvuri, S., Alzeair, S., Sansovini, M.,
Wintering, N., Alavi, A. & Torigian, D.A. 2007. Age-related structural
and metabolic changes in the pelvic reproductive end organs. Seminars
in Nuclear Medicine, 37(3):173–184.
Winkle, T., Rosenbusch, B., Gagsteiger, F., Paiss, T. & Zoller, N. 2009. The
correlation between male age, sperm quality and sperm DNA
fragmentation in 320 men attending a fertility center. Journal of Assisted
Reproduction and Genetics, 26:41–46.
Woerdeman, J., Kaufman, J.M. & de Ronde, W. 2010. In young men, a moderate
inhibition of testosterone synthesis capacity is only partly compensated
by increased activity of the pituitary and the hypothalamus. Clinical
Endocrinology, Januari, 72(1):76–80.
Yang, H., Chryssikos, T., Houseni, M., Alzeair, S., Sansovini, M., Iruvuri, S.,
Torigian, D.A., Zhuang, H., Dadparvar, S., Basu, S. & Alavi, A. 2011.
The Effects of Aging on Testicular Volume and Glucose Metabolism: an
Investigation with Ultrasonography and FDG-PET. Molecular Imaging
and Biology, 13(2): 391–398.

BAB 7 MASA TUA 135


Copyright @ Airlangga University Press
Copyright @ Airlangga University Press

BIOGRAFI PENULIS

AGUSTINUS
Agustinus lahir di Palembang, 27 Agustus 1981.
Ia adalah dosen Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya. Ia menyelesaikan Studi S1
di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang tahun 2006. Kemudian melanjutkan
Program Pendidikan Spesialis I Andrologi
diselesaikan di Universitas Airlangga tahun 2015.
Andrologist muda ini memberi pelayanan di
RSUD. Dr. Soetomo dan di RSIA Ferina Surabaya.
Beberapa karya tulis disampaikan pada seminar internasional maupun
nasional.

RENY I’TISHOM
Reny I’tishom lahir di Banyuwangi 23 Oktober 1971
yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya. Ia menyelesaikan
Studi S1 di Universitas Brawijaya Malang tahun
1995. Lalu, menyelesaikan Program Magister
Biologi Reproduksi tahun 2002 dan melanjutkan
pendidikan S3 di Universitas Airlangga dalam
bidang Kedokteran tahun 2014. Ia juga pernah
magang di Toin University, Yokohama, Jepang
tahun 2012 dalam bidang biologi reproduksi molekuler. Beberapa karya tulis
disampaikan pada seminar nasional dan internasional. Penelitian yang ia
kerjakan dipublikasikan sebagai karya ilmiah yang ditulis dalam beberapa
jurnal.
Copyright @ Airlangga University Press

M.P.B DYAH PRAMESTI


Maria Paulina Budyandini Dyah Pramesti lahir
di Surabaya, 4 Oktober 1965. Ia dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Ia
menyelesaikan Studi S1 di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya tahun 1992
dan melanjutkan Program Magister Kesehatan
Reproduksi yang diselesaikan tahun 2003. Setelah
itu, ia menyelesaikan pendidikan Spesialis I
Andrologi di Universitas Airlangga tahun 2008.
Ia juga pernah magang di Gleneagles Hospital,
Singapura pada 2010 dalam bidang teknologi reproduksi berbantu. Andrologist
perempuan ini memberi pelayanan di RSUD. Dr. Soetomo dan di Morulla IVF,
Surabaya. Beberapa karya tulisnya disampaikan dalam seminar internasional
maupun nasional serta publikasi pada beberapa jurnal.

Anda mungkin juga menyukai