Anda di halaman 1dari 26

Tugas Makalah Patologi Klinik Forensik

PEMERIKSAAN SPERMA DI LABORATORIUM KLINIK


(SPERMATOLOGI)

Oleh:
LEDY ANA ZULFATUNNADIROH
091724653010

PROGRAM MAGISTER ILMU FORENSIK


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
FOTO PROFIL

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan perlindungan-

Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Pemeriksaan Sperma

di Laboratorium Klinik (Spermatologi)”

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.

Puspa Wardani, dr., Sp.PK(K) selaku dosen pengajar Patologi Klinik Forensik.

Dalam makalah ini mungkin penulis masih memiliki banyak kekurangan dan

kesalahan. Maka dari itu, penulis menyampaikan permohonan maaf serta meminta kritik dan

saran dari pembaca demi menghasilkan makalah yang lebih baik di waktu yang akan datang.

Surabaya, 29 Mei 2019

Penulis.

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
FOTO PROFIL ................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB 2 ISI........................................................................................................... 3
2.1 Anatomi Reproduksi Pria ....................................................................... 3
2.2 Spermatogenesis ..................................................................................... 5
2.3 Sel Spermatozoa ..................................................................................... 7
2.4 Uji Kualitas Semen ................................................................................. 12
2.5 Faktor-faktor yang Secara Langsung Mempengaruhi Spermatogenesis 18
BAB 3 RINGKASAN........................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi reproduksi pria ................................................................ 3


Gambar 2. Tahap spermatogenesis dan spermiogenesis ................................. 7
Gambar 3. Struktur spermatozoa ..................................................................... 10
Gambar 4. Sperma ........................................................................................... 10
Gambar 5. Eosin-nigrosin smear diamati dalam optik bidang yang cerah...... 17
Gambar 6. Representasi skematis dari perubahan morfologis spermatozoa
yang mengalami hypo-osmotic stress ............................................ 18

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spermatogenesis merupakan proses kompleks yang terjadi di tubulus seminiferous
dan berujung pada produksi sel gamet jantan dewasa. Prosesnya adalah proliferasi
spermatogonia, diferensiasi spermatogonial menjadi spermatosit, pembelahan meioss dari
spermatosit yang menghasilkan spermatid, maturase round spermatid, dan pelepasan
spermatozoa dewasa menuju lumen testicular tubule (Neto, Bach, Najari, Li, & Goldstein,
2016).
Seluruh proses spermatogenik diperkirakan membutuhkan sekitar 74 hari, tetapi studi
yang lebih baru pada pria normal memiliki waktu untuk memproduksi sperma siap ejakulasi
bervariasi antara 42 hingga 76 hari. Perkiraan produksi sperma harian tiap pria berkisar
antara 150 sampai 275 juta spermatozoa. Beberapa struktur dan sel testis memainkan peran
penting selama proses spermatogenesis, sementara beragam faktor dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitasnya (Neto et al., 2016).
Di Indonesia terdapat 40% pasangan usia subur dan 10% diantaranya mengalami
infertilitas. Penyebab infertilitas pada pasangan suami istri dapat diklasifikasikan menjadi 3
golongan dengan proporsi: faktor perempuan 45%, factor laki-laki 40%, dan faktor idiopatik
15% (Ferial, Soekendarsi, & Utami, 2009).
Faktor-faktor penyebab kasus infertil pada pria antara lain genetik, umur, infeksi,
autoantibodi, defisiensi testosteron, hipogonadisme, kanker, faktor lingkungan, efek
samping dari pengobatan, retrograde ejaculation, vasectomy, varicocele, dan kualitas
spermatozoa. Kasus infertilitas dapat diketahui dengan cara pemeriksaan sperma atau
analisis semen. Laboratorium klinik sangat berperan dalam diagnosis dan penatalaksanaan
pria infertil (Ferial et al., 2009).
Metode paling akurat untuk mendeteksi secara dini suspek infertilitas pada pria
adalah melalui tes laboratorium. Analisis sperma dapat dilakukan melalui analisis
makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma manusia. Pemeriksaan analisis sperma pada
semen pria merupakan suatu analisis lengkap yang penting untuk pasangan yang
berkonsultasi masalah infertilitas. Infertilitas yang diperkirakan 10% hingga 15% dari
seluruh jumlah pasangan yang ada, bila ditelusuri setengah dari kasus-kasusnya
penyebabnya dari pihak pria (Ferial et al., 2009).

1
2

Analisis sperma adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk menilai fungsi organ
reproduksi pria. Yang dianalisis secara rutin ialah kualitas dan kuantitas spermatozoa serta
fungsi sakretoris kalenjar asesoris seks (Ferial et al., 2009).

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui anatomi reproduksi pria.
1.2.2 Untuk mengetahui proses spermatogenesis.
1.2.3 Untuk mengetahui struktur sel spermatozoa.
1.2.4 Untuk mengetahui pemeriksaan kualitas semen.
1.2.5 Untuk megetahui faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi
spermatogenesis.
BAB 2
ISI

2.1 Anatomi Reproduksi Pria


Fungsi utama sistem reproduksi pria adalah produksi dan transportasi sperma.
Sistem reproduksi pria terdiri dari (Gambar 1) (Szmelskyj, Aquilina, & Szmelskyj, 2014).

Gambar 1. Anatomi reproduksi pria (Szmelskyj et al., 2014)

2.1.1 Testis
Testis adalah dua kelenjar oval berukuran panjang 5 cm (2 inci) dan diameter 2,5 cm
(1 inci). Testis terdapat di dalam skrotum dan menggantun di luar tubuh di depan paha dan
di belakang penis. Hal ini memastikan bahwa suhu di dalam testis adalah 2-3oC lebih rendah
dari suhu normal tubuh 37oC. Suhu yang lebih rendah ini diperlukan untuk produksi sperma
yang optimal (spermatogenesis). Anehnya, testis kiri sering ditangguhkan lebih rendah
daripada yang kanan. Jika suhu menjadi terlalu dingin, otot-otot di testis dapat berkontraksi,
dan testis akan naik ke dalam tubuh karena suhu yang sangat dingin juga tidak ideal untuk
spermatogenesis (Szmelskyj et al., 2014).
Fungsi utama testis adalah produksi sperma dan testosteron. Spermatozoa dan cairan
nutrisi diproduksi oleh germ cell, yang melapisi tubulus seminiferous di dalam testis, dan
testosteron di produksi oleh sel Leydig, yang terletak di antara tubulus seminiferous.
Terdapat ratusan tubulus seminiferus di dalam setiap testis, yang masing-masing panjangnya
berukuran 80 cm (31 inci) (Szmelskyj et al., 2014).

3
4

2.1.2 Epididimis
Tubulus seminiferus bergabung ke dalam epididymis, temapt spermatozoa matang
dan disimpan. Proses pematangan ini membutuhkan waktu 6 minggu. Di kepala epididymis,
terdapat 5-10 tubulus yang terpisah, yang bergabung menjadi satu tubulus. Tubulus ini
dipilin dan dipadatkan, 5 cm (2 inci) dalam bentuk kompresi, dan panjangnya sekitar 6 m
(19 kaki) jika diperpanjang (Szmelskyj et al., 2014).

2.1.3 Vas Deferens


Epididimis berlanjut ke vas deferens (juga disebut saluran sperma). Terdapat dua vas
deferens, satu di setiap sisi, masing-masing panjangnya berukuran 45 cm (17 inci). Vas
deferens naik ke perut di samping kandung kemih. Ketika seorang pria disterilkan, vas
deferens terputus dan masing-masing ujung kemudian disegel. Hal ini dapat menghentikan
sperma untuk ejakulasi (Szmelskyj et al., 2014).

2.1.4 Vesikulas Seminalis


Setiap vas deferens bertransisi ke saluran ejakulasi, dimana transisi terjadi, terdapat
dua vesikula seminalis untuk tiap sisinya. Vesikula seminalis merupakan struktur mirip
kantung yang menghasilkan 50% plasma semen. Cairan semen mengandung fruktosa, yang
menyediakan energi untuk sperma. Cairan semen juga sangat kental dan memiliki pH 7,2.
Vagina memiliki keasaman tinggi (pH 4,9-3,5) yang berbahaya bagi sperma. Keasaman yang
rendah dalam semen membantu menetralkan keasaman tinggi dari vagina (Szmelskyj et al.,
2014).

2.1.5 Saluran Ejakulasi, Kelenjar Prostat, dan Uretra Prostat


Saluran ejakulasi masing-masing panjangnya berukuran 2 cm. Saluran ini melewati
kelenjar prostat dan bergabung dengan uretra prostat. Kelenjar prostat mengelilingi saluran
ejakulasi di pangkal uretra. Kelenjar ini menghasilkan cairan pelumas, yang membentuk
bagian dari semen (Szmelskyj et al., 2014).

2.1.6 Uretra
Uretra memiliki panjang sekitar 19-20 cm (8 inci) dan memanjang dari kandung
kemih ke ujung penis. Fungsi utamanya adalah transportasi air seni dan air mani (Szmelskyj
et al., 2014)
5

2.1.7 Penis
Penis berisi uretra dan jaringan ereksi. Ketika dirangsang secara seksual, volume
darah yang besar akan mengisi dan penis akan menjadi ereksi. Selama ejakulasi, sperma
didorong oleh gerakan peristaltic vas deferens, vesikula seminalis, saluran ejakulasi, dan
kelenjar prostat ke dalam uretra dan kemudian keluar dari penis. Kadang-kadang sejumlah
kecil air mani keluar sebelum ejakulasi, dan kadang-kadang pria mengalami ejakulasi
nocturnal ketika tidur. Jika mereka tidak mengalami ejakulasi, spermatozoa dapat bertahan
selama beberapa bulan dan akhirnya diserap kembali oleh tubulus seminiferus (Szmelskyj et
al., 2014)

2.2 Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa (sperma), yang terjadi
hanya di Tubuli seminiferi yang terletak di testis. Testes 90% tersusun oeh tubuli seminiferi,
sedangkan yang 10% adalah sel intertitiel dan jaringan ikat. Spermatozoa yang dihasilkan
oleh tubuli seminiferi dikeluarkan ke saluran reproduksi jantan yang terdapat silia dan
muskulernya yang dapat menggerakkan spermatozoa dalam proses transportasi, saluran
reproduksi, saluran reproduksi jantan tersebut adalah retetestes, vas deferens epididymis, vas
efferens dan terakhir di uretra, gambar silia dan muskuler pada saluran reproduksi pria
(Susilawati, 2011).
Spermatogenesis dimulai pada masa pubertas, ketika sel-sel Leydig dalam testis
mulai memproduksi androgen dibawah pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan
LH (Luteinizing Hormone), yang pada gilirannya dikendalikan oleh GnRH (Gonadotrophin-
Releasing Hormone) yang diproduksi oleh hipotalamus. Dengan tidak adanya LH dan FSH,
kadar androgen akan turun dan spermatogenesis terhenti (Szmelskyj et al., 2014).
Spermatogenesis adalah proses kompleks yang dikontrol oleh endokrin dan
regulatory factors lainnya (Lucas et al. 2011). Spermatogenesis difasilitasi oleh keberadaan
hormon-hormon yang lain, tetapi hanya hormon testosteron yang berperan sangat penting
dalam memelihara dan menjaga spermatogenesis. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
hormon androgen sangat penting untuk keberlangsungan spermatogenesis secara normal
(Hasbi & Gustina, 2018).
Follicle stimulating hormone diketahui berperan dalam mengontrol proliferasi sel
Sertoli yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume testis, sedangkan testosteron
dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin terlibat dalam memodulasi
diferensiasi sel Sertoli (Kuiri-Hänninen et al. 2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa
6

testosteron bekerjasama dengan hormon tiroid dan asam retinoat terlibat dalam merangsang
diferensiasi sel Sertoli melalui efek pada regulator siklus sel (Hasbi & Gustina, 2018).
Sel somatik (sel Sertoli) memegang peran penting dalam mengontol perkembangan
germ cell. Lebih lanjut dijelaskan bahwa androgen merupakan faktor utama dalam
mendukung perkambangan germ cell pria dan sel Sertoli merupakan target utama untuk aksi
hormon androgen (Verhoeven et al. 2010). Beberapa laporan menunjukkan bahwa
testosteron dan FSH bertindak sebagai germ cell survival faktor selama inisiasi
spermatogenesis (Hasbi & Gustina, 2018).
Spermatogenesis dimulai dengan spermatogonia (sel sperma yang belum matang
diploid (2n) yang berasal dari germ cell embrionik) yang membelah dengan mitosis. Selama
fase meiosis yang berkepanjangan, spermatosit sensitive terhadap kerusakan. Beberapa
spermatogonia berkembang menjadi spermatosit primer (Szmelskyj et al., 2014).
Saat pubertas, terdapat peningkatan testosteron, yaitu dimulainya meiosis I. Selama
tahap ini, spermatosit primer menghasilkan dua spermatosit sekunder, yang kemudian
mengalami meiosis II. Dua spermatid haploid (sel haploid) dihasilkan oleh setiap spermatosit
sekunder, menghasilkan total empat spermatid. Spermiogenesis adalah tahap akhir dari
spermatogenesis, dan selama fase ini, spermatid matang menjadi spermatozoa (sel sperma)
(Gambar 2) (Szmelskyj et al., 2014).
7

Gambar 2. Tahap spermatogenesis dan spermiogenesis (Szmelskyj et al., 2014)

Fase spermiogenesis dilengkapi dengan pematangan spermatozoon.


Spermatogenesis memakan waktu 65-75 hari dan terjadi secara bersamaan pada waktu yang
berbeda di berbagai daerah testis untuk produksi yang merata dan ketersediaan sperma yang
matang (Szmelskyj et al., 2014).

2.3 Sel Spermatozoa


Spermatozoa dibentuk dalam tubuliseminiferi yang berada di dalam testes. Tubulus
ini berisi rangkaian sel yang kompleks, yaitu perkembangan atau pembelahan sel dari sel
germinal sampai dengan terbentuknya spermatozoa atau gamet jantan. Bentuk spermatozoa
yang sempurna adalah merupakan sel yang memanjang, yang terdiri dari kepala yang tumpul
yang di dalamnya terdapat nucleus atau inti, dan ekor yang mengandung apparatus untuk
pergerakan sel. Pada kepala terdapat akrosom yang memiliki struktur dinding yang rangkap
yang terletak diantara membran plasma bagian anterior nukleus, Leher menghubungkan
8

kepala dan ekornya (flagela) yang dibagi lagi menjadi bagian tengah, pokok dan akhir yang
bagian–bagian tersebut mempunyai struktur yang berbeda (Susilawati, 2011).

2.3.1 Morfologi Spermatozoa


Spermatozoa pada masing-masing spesies mempunyai ukuran yang berbeda-beda
akan tetapi bentuknya hampir sama. Pada kepala spermatozoa terdapat akrosom, sedangkan
pada ekor secara anatomis terdapat bagian midle piece dan bagian ekor yang terdapat central
axonemal yang terdapat 9+2 mikrotubulus, dan dibalut dengan outer fibril, lapisan
mitokondria yang membentuk kolom longitudinal pada dorsal dan ventral dan circumferial
ribs (Susilawati, 2011).
a. Kepala Spermatozoa
Bentuk utama dari kepala spermatozoa adalah oval, tumpul mengandung
nukleus dengan kromatin yang padat sekali. Kromatin terdiri dari DNA yang kompleks
dari protein dasar yang dikenal sabagai protamine sperma. Jumlah kromosom
spermatozoa adalah haploid atau setengah dari sel somatik. Sel spermatozoa yang
haploid ini dihasilkan dari pembelahan secara meiosis sel yang terjadi selama
pembentukan spermatozoa atau proses spermatogenesis (Susilawati, 2011).
b. Akrosom
Bagian anterior akhir dari inti spermatozoa dibungkus oleh akrosom tipis,
lapisan membrane yang menutup ini terbentuk pada saat proses pembentukan
spermatozoa. Pada akrosom berisi beberapa enzim hidrolitik antara lain proacrosin,
hyaluronidase, esterase dan asam hydrolase yang dibutuhkan pada proses fertilisasi.
Bagian equator akrosom ini merupakan bagian yang penting pada spermatozoa,
hal ini karena bagian anterior post akrosom ini yang mengawali penggabungan dengan
membrane oosit pada proses fertilisasi (Susilawati, 2011).
Akrosom terdiri dari apical (apical ridge), principal dan bagian equatorial.
Membran bagian luar pada bagian apical dan principal segments disebut dengan
akrosom luar. Juga terdapat hubungan dalam akrosom, yaitu membrane dalam dan
membran luar dengan inti dan plasma membrane (Susilawati, 2011).
c. Ekor Spermatozoa
Ekor spermatozoa dibagi menjadi leher, bagian tengah, pokok, dan akhir. Leher
menghubungkan potongan bagian basal plate bagian posterior dan bagian terbawah
dari nucleus. Bagian basal plate pada bagian leher berlanjut sampai akhir, dengan
sembilan serabut kasar yang mengeras pada seluruh bagian ekor (Susilawati, 2011).
9

Inti bagian tengah pada ekor bersama dengan seluruh bagian ekor membentuk
aksonema. Aksonema ini terdiri dari sembilan pasang mikrotubulus yang tersusun di
sekitar pusat filamen. Pada bagian tengah, susunan mikrotubulusnya adalah 9+2 yang
dikelilingi oleh sembilan serabut kasar padat yang berhubungan dengan sembilan
pasang aksonema. Aksonema dan fiber yang padat pada bagian tengah, sekelilingnya
dibungkus oleh mitokondria. Pembungkus mitokondria ini tersusun berupa pilinan
yang mengelilingi serabut longitudinal ekor. Mitokondria menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk pergerakan spermatozoa. Pemungkus mitokondria berakhir pada
annulus (Susilawati, 2011).
Bagian pokok yang merupakan lanjutan dari annulus dan memanjang
mendekati bagian akhir ekor, terdiri dari aksonema yang terpusat dan bergabung
dengan serabut kasar. Lapisan fibrous diperkirakan memberikan stabilitas untuk
gerakan ekor. Bagian akhir, merupakan batas posterior dari lapisan fibrous yang hanya
berisi aksonema yang dilapisi membran plasma (Susilawati, 2011).
Aksonema bertanggung jawab pada pergerakan spermatozoa. Sepasang
mikrotubulus tersusun dari 9+2, umumnya dinding ekor melipat seperti gelombang
dengan gerakan menggeser antara sepasang daerah yang berdekatan (Susilawati,
2011).
Droplet protoplasmic atau sitoplasmik biasanya tidak terdapat spermatozoa
yang diejakulasikan, tersusun dari residu sitoplasmik. Meskipun termasuk spermatozoa
abnormal yang diejakulasikan dari berbagai spesies, droplet yang terdapat di daerah
leher, yang diketahui sebagai “Droplet Proximal”, sedangkan yang dekat annulus,
disebut “Droplet Distal” (Susilawati, 2011).
10

Gambar 3. Struktur spermatozoa (Szmelskyj et al., 2014)

Gambar 4. Sperma (Szmelskyj et al., 2014)


11

2.3.2 Komposisi Kimia Spermatozoa


Komposisi kimia spermatozoa adalah asam nukleat, protein, dan lemak. Kurang lebih
sepertiga dan berat kering sel spermatozoa adalah intinya kromatin inti terdiri dari kira-kira
setengah DNA dan setengah protein. Akrosom mengandung berbagai protein enzim.
Beberapa struktur protein enzim dan lemak ditemukan di ekor (Susilawati, 2011).
a. Unsur Inorganik
Spermatozoa mengandung phosphor, nitrogen, dan sulfur yang banyak.
Sebagian phosphor berhubungan dengan DNA, sedangkan sulfur berasal dari
komponen protein inti dan keratinoid pada bagian ekor (Susilawati, 2011).

b. Komponen Biokimiawi
Inti spermatozoa terdiri dari kromatin yang DNA-nya distabilkan dengan
konjugasi menggunakan protein khusus yaitu sebagai “Spermatozoa Histone”. Inti
spermatozoa dengan berat molekul rendah, yang diketahui sebagai “Protamin”,
sedangkan spermatozoa pada spesies lain mengandung jumlah yang bervariasi pada
arginin yang kaya histone. Protein dasar inti penting untuk kondensasi dan stabilisasi
DNA dengan ikatan sulfhidril. Peningkatan ikatan sulfhydryl berperanan pada
perjalanan spermatozoa saat diepididimis selama perjalanan menuju ke fertilisasi
(Susilawati, 2011).
Saat spermatozoa mengalami reaksi akrosom yang sebagian besar bahan
dalam akrosom dikeluarkan yang disebabkan penggabungan plasma dan membran
akrosom bagian luar. Fungsi dari masing-masing enzim adalah sebagai berikut:
Hialuronidase menyebabkan menyebarnya sel kumulus yang mengelilingi ovum
yang baru diovulasikan menyebar. Proakrosin adalah precursor enzim proteolitik
akrosin, yang dapat membantu dalam mempersingkat penetrasi spermatozoa melalui
zona pellusida. Namun secara bioisika, penginduksian spermatozoa dapat secara
mekanik menetrasi zona pellusida dengan cara gerakannya (gerakan spermatozoa)
(Susilawati, 2011).
Lapisan mitokondria spermatozoa, yang kaya fosfolipid, dengan berbagai
ukuran mitrokondria pada beberapa spesies dan dalam cairan kimia yang dibuat.
Spermatozoa mengandung enzim cytochrome oksidase pada system pernafasan dan
tahap glikosis. Metabolisme enzim lain, khususnya laktat dehydrogenase yang
dikenal sebagai LDH-X, juga terdapat energi yang kaya nukleotida adenin dan
guanin adalah komponen penting dalam energi spermatozoa sebagai protein
12

aksonema, tubulin dan dynein. Dynein merupakan protein dasar dalam mikrotubulus
aksonema yang ditunjukkan oleh ikatan divalent ATP-ase yang diaktifkan
(Susilawati, 2011).

c. Kromosom Sex X dan Y pada Spermatozoa


Seorang pria menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Sebagai hasil
pembelahan reduksi selama spermatogenesis, spermatozoa hanya mengandung
setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dan terbentuklah dua macam
spermatozoa yaitu spermatozoa yang berkromosom X dan spermatozoa yang
berkromosom Y. Spermatozoa yang mengandung kromosom X (spermatozoa X) jika
terjadi fertilisasi akan menghasilkan embrio berjenis kelamin perempuan, sedangkan
spermatozoa yang mengandung kromosom Y (spermatozoa Y) akan menghasilkan
embrio berjenis kelamin laki-laki, karena pada kromosom Y terdapat sex determining
Region Y gen (SRY) yang menentukan terbentuknya testis pada laki-laki (Susilawati,
2011).

2.4 Uji Kualitas Semen


Semen dihasilkan dari suspense spermatozoa terkonsentrasi saat ejakulasi, dan
disimpan dalam sepasang epididymis, dan diencerkan oleh cairan-cairan dari organ seks
tambahan (WHO, 2010).
Analisis semen manusia memiliki beberapa tahapan proses dan parameter yang
dilakukan sebelum dikeluarkannya semen dan pada tahap proses analisis pemeriksaannya,
yaitu (Moeloek, 2009):
a. Pengeluaran dan penampungan semen
Sebelum melakukan analisis sperma perlu terlebih dahulu untuk memberikan
penerangan sejelas-jelasnya kepada pria yang akan diperiksa tersebut mengenai
maksud dan tujuan analisis sperma dan juga untuk menjelaskan cara pengeluaran dan
penampungan sperma tersebut. Penerangan mengenai cara pengeluaran,
penampungan dan pengiriman sperma ke laboraturium. Sebelum pemeriksaan
dilakukan sebaiknya pasien dianjurkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut
(Moeloek, 2009):
1) Melakukan abstinensia selam 3 – 5 hari, paling lama selama 7 hari.
13

2) Pengeluaran ejakulat sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan harus dikeluarkan
di laboratorium. Bila tidak mungkin, harus tiba di laboraturium paling lambat
2 jam dari saat dikeluarkan.
3) Ejakulat ditampung dalam wadah / botol gelas bemulut besar yang bersih dan
steril ( jangan sampai tumpah ), Kemudian botol ditutup rapat-rapat dan diberi
nama yang bersangkutan.
4) Pasien mencatat waktu pengeluaran mani, setelah itu langsung di serahkan pada
petugas laboraturium untuk pemeriksaan dan harus diperiksa sekurang-
kurangnya 2 kali dengan jarak antara waktu 1-2 minggu. Analisis sperma sekali
saja tidak cukup karena sering didapati variasi antara produksi sperma dalam
satu individu.
5) Sperma dikeluarkan dengan cara : rangsangan tangan (onani/masturbasi), bila
tidak mungkin dapat dengan cara rangsangan senggama terputus (koitus
interuptus) dan jangan ada yang tumpah.
6) Untuk menampung sperma tidak boleh menggunakan botol plastik atau
kondom.

b. Tempat Penampung Sperma


Sebenarnya semua alat boleh dipakai asalkan tempat tersebut tidak
mengandung spermatotoxic. Sperma sangat tidak dianjurkan ditampung pada
tempat-tempat yang terbuat dari (Moeloek, 2009):
1) Logam, sebab logam bisa mengganggu muatan listrik dan sperma, sehingga
pergerakannya tergaggu.
2) Plastik sebab plastik umumnya mengandung gugus fenol (C6H5OH) sehingga
sperma akan rusak. Pada umumnya tempat yang digunakan menampung
sperma terbuat dari gelas yang bersih tidak mengandung spermatotoksik.
Tetapi sperma dilarang ditempat yang terbuat dari :
a) Tempat penampung sperma dianjurkan ditampung pada tempat yang
terbuat dari bahan yang tidak bereaksi apa-apa.
b) Tempat penampung sperma harus bermulut lebar supaya muat pada
penis
c) Tempat diberi penutup agar tidak terkontaminasi
d) Ukuran tempat penampung sperma 50 ml – 100 ml.
14

2.4.1 Pemeriksaan Makroskopis Semen


Pemeriksaan makroskopis semen meliputi pemeriksaan : warna semen, volume
semen, pH semen, bau semen, Liquefection, dan viskositas (kekentalan) semen (Ferial et al.,
2009; Moeloek, 2009; WHO, 2010).
a. Warna semen. Sperma yang telah di tampung dalam tabung reaksi di amati dengan
menggunakan latar putih dan menggunakan penerangan yang cukup. Pada umumnya
berwarna putih keruh, ada yang berwarna jernih, dan ada juga yang berwarna
kemerahan.
b. Menurut standar WHO (1999, 2010) warna sperma dianggap normal jika dalam
rentang putih sampai putih kekuningan. Jika spermatozoid berwarna jernih/bening,
maka biasanya ditafsirkan sebagai mani encer. Apabila didapatkan sel-sel darah merah,
maka sperma berwarna merah kecoklatan, disebabkan adanya hemoglobin. Jika
seorang pria dengan penyakit kuning atau mengonsumsi vitamin atau obat tertentu,
akan berwarna kuning.
c. Volume semen, ditentukan dengan menggunakan gelas ukur 10 mL. Sperma
ditampung seluruhnya dalam botol penampung yang bermulut lebar untuk sekali
ejakulasi.
Vesikula seminalis dan kelenjar prostat berkontribusi pada volume ejakulasi, dengan
sejumlah kecil dari kelenjar bulbourethral dan epididymis. Pengukuran volume yang
tepat sangat penting dalam setiap evaluasi semen, karena untuk perhitungan jumlah sel
spermatozoa dan non-sperma.
d. Sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO,
1999, 2010) bahwa nilai acuan untuk analisis sperma/air mani yang normal untuk
volume total cairan semen manusia lebih dari 2 ml.
e. pH semen, penentuan dilakukan setelah likuifasi sempurna, yaitu dengan kertas pH.
Sperma yang normal menunjukkan sifat yang agak basa yaitu 7,2-7,8.
pH semen mencerminkan keseimbangan antara nilai pH sekresi kelenjar aksesori yang
berbeda, yaitu sekresi vesikula seminalis yang alkali dan sekresi prostat yang asam.
f. Nilai normal: > 7,2 (WHO 1999 : 7.2 – 8.0) dan (WHO 2010 : 7.2 – 7.8). pH lebih
tinggi dari 8,0 patut dicurigai adanya infeksi sedangkan lebih rendah dari 7,0 dengan
azoospermia, maka kemungkinan terjadi disgensi dari vas deferens, vesika seminalis,
atau epididimis.
g. Likuefaksi di periksa 20 menit setelah ejakulasi (setelah dikeluarkan). Dapat dilihat
dengan melihat koagulumnya. Bila 20 menit belum homogen kemungkinan ada
15

gangguan pada kelenjar prostat. Bila sperma yang baru diterima langsung encer
mungkin tidak mempunyai koagulum karena saluran pada kelenjar vesica seminalis
buntu atau memang tidak mempunyai vesical seminalis.
h. Viskositas semen, diukur setelah terjadi pencairan (likuefasi) yang sempurna.
Pemeriksaan viskositas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1) Cara subyektif
Dengan cara menyentuh permukaan sperma dengan pipet atau batang pengaduk,
kemudian di tarik maka akan terbentuk benang.
2) Cara pipet Elliason
Syaratnya sperma harus homogen dan pipet yang digunakan harus kering.
Mengukur viskositas dengan menggunakan pipet elliason. Prosedurnya cairan
sperma dipipet sampai angka 0,1 kemudian atas pipet ditutup dengan jari. Setelah
itu arahkan pipet tegak lurus dan stopwatch dijalankan, jika terjadi tetesan
pertama stopwatch dimatikan dan dihitung waktunya dengan detik.
Dikatakan normal apabila yang keluar dari pipet berupa tetesan, abnormal jika
berupa benang dengan panjang > 2 cm. Selain itu, dihitung pula waktu jatuhnya
tetesan pertama, waktu normal 2 detik.Hasil standarisasi semen standar WHO
(2010), viskositas cairan semen normal kurang dari 2 cm.
Pada semen yang mempunyai viskositas tinggi, kecepatan gerak spermatozoid
akan terhambat. Dengan demikian, akan mengurangi kesuburan pria tersebut.
Sebaliknya, semen yang terlalu encer biasanya mengandung jumlah
spermatozoid yang rendah sehingga kesuburan juga berkurang.
i. Bau sperma, bau yang khas atau spesifik. Untuk mengenal bau sperma, seseorang harus
telah mempunyai pengalaman untuk membaui sperma. Sekali seorang telah
mempunyai pengalaman, maka ia tidak akan lupa akan bau sperma yang khas tersebut.
Sperma yang baru keluar pada botol penampung, dicium baunya, lalu dlaporkan bau
khas yang tercium menurut standar WHO (1999, 2010).
Standar yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1999, 2010), bau
dari semen dinyatakan normal jika memenuhi standar seperti bau pohon akasia. Bau-
bau lain seperti amis dan busuk dapat dicurigai adanya lekosit (infeksi) atau sebab-
sebab lain (parasit).
16

2.4.2 Pemeriksaan Mikroskopis Semen


Pemeriksaan mikroskopis semen memerlukan ketelitian dan kecermatan yang tinggi,
karena kesimpulan hasil analisis semen banyak ditentukan dari pemeriksaan mikroskopis
semen. Pemeriksaan ini meliputi (Moeloek, 2009) :
a. Kecepatan gerak sperma (velocity); kecepatan gerakan sperma (dalam detik)
ditentukan secara objectif dengan stopwatch. Sperma yang gerakannya paling cepat
dan lurus saja yang dicatat, karena kecepatan gerakan sperma merupakan salah satu
faktor penting fertilitas.
b. Motilitas sperma; pemeriksaan motilitas dilakukan satu jam setelah ejakulasi. Dengan
menggunakan alat hitung ditentukan jenis motilitas progresif lurus cepat, lurus lambat,
gerak ditempat, tidak bergerak.
c. Konsentrasi sperma; diawali dengan menentukan kerapatan sperma pada
hemositometer Neubauer untuk menentukan factor pengencer dan kemudian dihitung
dengan rumus.
d. Jumlah sperma total; diperoleh dari mengalirkan sperma dengan volume ejakulat.
e. Viabilitas sperma; menentukan jumlah sperma yang masih hidup dengan pewarnaan
supravital dengan menggunakan larutan eosin Y.
f. Morfologi sperma; untuk mengetahui berapa presentase sperma yang memiliki
morfologi normal dan yang abnormal.
g. Aglutinasi sperma; terjadi karena sperma motil saling melekat satu dengan lainnya,
kepala dengan kepala, leher dengan leher, ekor dengan ekor, atau percampuran antara
leher dengan ekor. Ini merupakan bukti adanya faktor immunologi sebagai penyebab
infertilitas.
h. Uji HOS (Hipoosmotic swelling test); didasarkan pada sifat semipermeable membrane
ekor sperma.
i. Elemen seluler bukan sperma; antara lain sel leukosit, eritrosit, dll.

2.4.3 Vitalitas Sperma


Vitalitas sperma, seperti yang diperkirakan dengan menilai integritas membrane sel,
dapat ditentukan secara rutin pada semua sampel, tetapi sangat penting untuk sampel dengan
kurang dari 40% spermatozoa yang bergerak secara progresif. Tes ini dapat memberikan
pemeriksaan pada evaluasi motilitas, karena persentase sel yang mati tidak boleh melebihi
(dalam kesalahan pengambilan sampel) persentase dari spermatozoa yang tidak menentu.
Persentase sel yang hidup biasanya melebihi sel motil (WHO, 2010).
17

Persentase spermatozoa hidup dinilai dengan mengidentifikasi spermatozoa yang


memiliki membrane sel utuh, dari pewarnaan atau hypotonic swelling. Metode pewarnaan
didasarkan pada prnsip bahwa membrane plasma yang rusak, seperti yang ditemukan pada
sel-sel yang tidak vital (mati), memungkinkan masuknya stain yang menembus membran.
Tes hypo-osmotic swelling mengasumsikan bahwa hanya sel-sel dengan membrane utuh (sel
hidup) yang akan membengkak dalam larutan hipotonik (WHO, 2010).
a. Tes vitalitas menggunakan eosin-nigrosin
Teknik pewarnaan ini menggunakan nigrosine untuk meningkatkan kontras antara
latar belakang dan kepala sperma, yang membuatnya lebih mudah untuk dilihat.
Teknik ini juga memungkinkan slide disimpan untuk tujuan evaluasi ulang dan
control kualitas (WHO, 2010).

Gambar 5. Eosin-nigrosin smear diamati dalam optik bidang yang cerah (WHO, 2010)
Spermatozoa dengan kepala merah (D1) atau merah muda gelap (D2) dianggap mati
(membrane rusak), sedangkan spermatozoa dengan kepala putih (L) atau kepala merah
muda terang dianggap hidup (membrane utuh).

b. Tes vitalitas menggunakan eosin saja


Metode ini sederhana dan cepat, tetapi preparat basah tidak dapat disimpan untuk
tujuan control kualitas (WHO, 2010).

c. Tes vitalitas menggunakan hypo-osmotic swelling (HOS)


Tes ini dapat digunakan untuk menilai vitalitas, ketika pewarnaan spermatozoa harus
dihindari. Spermatozoa dengan membrane utuh membengkak dalam waktu 5 menit
18

dalam medium hipo-osmotik dan smeua bentuk flagella ditabilkan dalam 30 menit
(WHO, 2010).

Gambar 6. Representasi skematis dari perubahan morfologis spermatozoa yang mengalami hypo-
osmotic stress (WHO, 2010)
(a) Tidak ada perubahan. (b-g) Berbagai jenis perubahan ekor. Pembengkakan pada
ekor ditunjukkan oleh area abu-abu.

2.4.4 Pemeriksaan Tambahan


Pemeriksaan tambahan ini contohnya adalah fruktosa semen, dilakukan terutama
pada semen azoospermia. Seperti diketahui, fruktosa semen diproduksi oleh kelenjar vesika
seminalis. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui penyebab azoospermia apakah dari
proses spermatogenesis terhambat, ada obstruksi duktus ejakulatorius, atau disfungsi vesika
seminalis (Moeloek, 2009).

2.5 Faktor-faktor yang Secara Langsung Mempengaruhi Spermatogenesis


2.5.1 Obesitas
Obesitas telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling banyak dipelajari
dalam beberapa tahun terakhir dengan menggunakan body mass index (BMI) > 30 sebagai
definisi untuk obesitas. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan hubungan negative antara
konsentrasi sperma/jumlah total sperma dan peningkatan BMI. Dampak negatif pada
morfologi sperma, motilitas, dan fragmentasi DNA juga telah dilaporkan (Neto et al., 2016).

2.5.2 Diabetes
Diabetes ditandai dengan hiperglikemia karena kegagalan produksi dan aksi dari
insulin. Diabetes mellitus (DM) menginduksi kerusakan pada berbagai organ dan sistem,
termasuk testis. Fragmentasi DNA mungkin dapat disebabkan oleh stes oksidatif yang
19

berasal dari peningkatan kadar produk akhir glikasi, yaitu Nε-carboxymethyl-lysine (Neto et
al., 2016).
Sebuah penelitian baru-baru ini melaporkan penurunan produksi laktat oleh SCs
manusia selama kekurangan insulin dapat secara langsung memengaruhi spermatogenesis
karena laktat turunan SCs memiliki efek anti-apoptosis dan merupakan sumber energi utama
untuk spermatosit dan spermatid (Neto et al., 2016).

2.5.3 Bahan Kimia Lingkungan


Paparan bahan kimia lingkunagn dapat mempengaruhi spermatogenesis telah
dicurigai sejakan jaman kuno. Terdapat banyak cara dimana bahan kimia lingkungan dapat
mengganggu spermatogenesis, dan yang paling disoroti adalah gangguan endokrin.
Beberapa bahan kimia tersebut antara lain phthalates, Bisphenol A (BPA), BTB, cadmium,
tetrachlorodibenzo-p-dioxin, lead, ethylene dibromide (EDB), 1,2-Dibromo-3-
chloropropane (DBCP) (Neto et al., 2016).

2.5.4 Varicocele
Varicocele adalah pelebaran abnormal dari vena spermatik internal yang disebabkan
oleh katup vena yang tidak kompeten, yang menyebabkan refluks dan stasis dari darah vena.
Varicocele dapat ditemukan pada 15% dari semua pria dewasa, pada 35% pria infertile dan
70-80% pria dengan infertilitas sekunder (Neto et al., 2016).

2.5.5 Faktor Genetik


Gangguan genetik merupakan 15-30% dari kasus infertilitas pria dan mungkin
bertanggung jawab atas sebagian besar kasus ”idiopatik” (Neto et al., 2016).
BAB 3
RINGKASAN

 Fungsi utama sistem reproduksi pria adalah produksi dan transportasi sperma. Sistem
reproduksi pria terdiri dari testis, epididimis, vas deferens, vaseikula seminalis,
saluran ejakulasi, kelenjar prostat dan uretra prostat, uretra, serta penis.
 Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa (sperma).
Spermatogenesis dimulai dengan spermatogonia (sel sperma yang belum matang
diploid (2n) yang berasal dari germ cell embrionik) yang membelah dengan mitosis.
 Saat pubertas, terdapat peningkatan testosteron, yaitu dimulainya meiosis I. Selama
tahap ini, spermatosit primer menghasilkan dua spermatosit sekunder, yang
kemudian mengalami meiosis II. Dua spermatid haploid (sel haploid) dihasilkan oleh
setiap spermatosit sekunder, menghasilkan total empat spermatid. Spermiogenesis
adalah tahap akhir dari spermatogenesis, dan selama fase ini, spermatid matang
menjadi spermatozoa (sel sperma).
 Metode paling akurat untuk mendeteksi secara dini suspek infertilitas pada pria
adalah melalui tes laboratorium. Analisis sperma dapat dilakukan melalui analisis
makroskopis dan mikroskopis terhadap sperma manusia.
 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses spermatogenesis antara lain
obesitas, diabetes, bahan kimia lingkungan, varicocele, dan faktor genetik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ferial, E. W., Soekendarsi, E., & Utami, I. P. (2009). Deteksi Dini Suspek Infertilitas
Berdasarkan Analisis Makroskopik Spermatozoa Manusia Early Detection of
Suspected Infertility Based On Macroscopic Analysis of Human Spermatozoa.
Prosiding Seminar Nasional Biologi Dan Pembelajarannya, 437–442.
Hasbi, H., & Gustina, S. (2018). Regulasi Androgen dalam Spermatogenesis untuk
Meningkatkan Fertilitas Ternak Jantan ( Androgen Regulation in Spermatogenesis to
Increase Male Fertility ). Wartazoa, 28(1), 13–22.
https://doi.org/10.14334/wartazoa.v28i1.1643
Moeloek. (2009). Analisis Semen Manusia.
Neto, F. T. L., Bach, P. V., Najari, B. B., Li, P. S., & Goldstein, M. (2016). Spermatogenesis
in humans and its affecting factors. Seminars in Cell and Developmental Biology, 59,
10–26. https://doi.org/10.1016/j.semcdb.2016.04.009
Susilawati, T. (2011). Spermatologi. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Szmelskyj, I., Aquilina, L., & Szmelskyj, A. O. (2014). Anatomy and physiology of the
reproductive system. Acupuncture for IVF and Assisted Reproduction, 23–58.
https://doi.org/10.1016/b978-0-7020-5010-7.00002-3
WHO. (2010). Examination and processing of human semen. World Health Organization,
Edition, F(10), 286. https://doi.org/10.1038/aja.2008.57

21

Anda mungkin juga menyukai