Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MAKALAH PENGELOLAAN SPESIMEN 2

PEMERIKSAAN SPERMA DAN NANAH (PUS)

Di susun oleh :

Dosen Pembimbing :

POLTEKKES KEMENKES JAMBI

PRODI DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

TA.2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha esa yang hingga saat ini masih
berkenan menyatukan roh dan jasad kita dalam keadaan sehat waláfiat.sholawat serta salam tak
lupa kita sanjungkan kepada baginda kita nabi besar, nabi agung, nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju manusia manusia yang berfikir.
Dengan mengucap “BISMILLAHIRRAHMAANIRAHIIM” kami bermaksud menyusun
makalah ini untuk memenuhi tugas kuliah pada mata kuliah FLEBOTOMI DAN
PENGELOLAAN SPESIMEN 2 yang Dalam hal ini penyusun mencoba meramu dari berbagai
literature menjadi sebuah makalah.
Makalah yang membahas mengenai “PEMERIKSAAN SPERMATOZOA DAN
NANAH (PUS) “  ini bertujuan agar penyusun khususnya serta seluruh rekan mahasiswa atau
mahasisiwi dapat lebih memahami  tentang pengelolaan spesimen pada pemeriksaan
spermatozoa dan nanah (pus).
Penyusun telah berupaya maksimal agar makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
walaupun demikian tentu masih ada kekurangan. Untuk itu penyusun menerima dengan tangan
terbuka kritik dan saran dari berbagai pihak  demi penyempurnaan makalah ini, dan makalah-
makalah berikutnya.

Jambi, Agustus 2022

                                                                                                                        Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Spermarozoa
2.1 Anatomi Spermatozoa
2.2 Fisiologi
2.3 Tahap-tahap spermatogenesis
2.4 Pengumpulan spesimen
2.5 Pemeriksaansperma
Nanah (pus)
3.1 Nanah (pus)
3.1.1 Definisi Nanah ( PUS)
3.1.2 Pengumpulan Sampel
3.1.3 Isolasi dan identifikasi mikroorganisme pus
3.1.4. Uji Laboratorium Diagnostik
3.1.5.Pengamatan Morfologi kuman
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sistem reproduksi tidak berperan dalam homestatis dan tidak esensial bagi
kelangsungan individu, namun sistem ini tetap berperan penting dalam kehidupan seseorang.
Sistem reproduksi pada pria memiliki fungsi esensial yang menghasilkan sperma
(spermatogenesis) dan menyalurkan sperma ke wanita. Organ reproduksi primer pada pria terdiri
dari sepasang testis. Pada kedua jenis kelamin, gonad matur akan menghasilkan garnet
(gametogenesis) yaitu spermatozoa pada pria dan ovum pada wanita. Gonad juga akan
menghasilkan hormon testosteron pada pria, serta hormon estrogen dan progesteron pada wanita
(Sherwood L. 2016)
Sperma ialah ejakulat berasal dari seorang pria berupa cairan kental dan keruh, berisi
sekret dari kelenjar prostat, kelenjar lain dan spermatozoa. Diamping pemeriksan pemeriksaan
lain, pemeriksaan sperma penting dalam masalah fertilitas dan infertilitas.
Analisa sel spermatozoa adalah pemeriksaan yang di lakukan pada pria untuk menilai
adanya gangguan pada sperma. Data dari populasi berdasarkan studi menunjukkan bahwa 10-
15% pasangan di dunia mengalami infertilitas. Dimana diperkirakan kontribusi pria sekitar 25-
30% pada semua kasus infertilitas. Di Afrika, prevalensinya sangat tinggi, di sub-Sahara mulai
dari 20% sampai 60% dari pasangan. Namun di Asia khususnya di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti gambaran dari keadaan infertil tersebut. Dari tingginya angka infertilitas di
dunia, ini merupakan salah satu penyebab morbiditas psikologi seperti stres dan depresi pada
pasangan yang mengalaminya. Dengan analisa sperma nantinya akan di dapat gambaran dari
kondisi pria dan membuktikan keterlibatannya dalam kasus infertilitas (Putra CB, Manuaba IB.
2017)
Dalam menegakkan diagnosa pemeriksaan sperma dapat di lakukan dengan
pemeriksaan berupa motilitas, morfologi, dan konsentrasi sperma, selain itu juga telah umum di
lakukan pemeriksaan integritas DNA sperma yang dapat menentukan kualitas sperma, Namun
melalui pemeriksaan tersebut, tidak semua penyebab infertilitas pada pria dapat diketahui
sehingga masih terdapat 6-27% dari kasus infertilitas secara umum yang tergolong infertilitas
pria yang tidak dapat dijelaskan. Terkait hal tersebut, pemeriksaan kualitas kromatin sperma
dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tambahan dalam menentukan kualitas sperma
sehingga lebih mempertajam diagnosis etiologi dan penatalaksanaan infertilitas pada pria.
Infeksi adalah adanya suatu mikroorganisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik (Utama, 2006). Penyakit infeksi dapat
disebabkan oleh empat kelompok besar hama penyakit, yaitu : bakteri, jamur, virus dan parasit
(Jawetz et al., 2001). Salah satu respon tubuh terhadap infeksi yang ditandai dengan
terbentuknya pus, dimana pus merupakan cairan yang kaya protein dari hasil proses inflamasi
yang terbentuk dari sel (leukosit), cairan jaringan serta debris seluler. Adanya pus yang
berlangsung lama yang terdapat pada luka yang mengalami infeksi menandakan bahwa adanya
bakteri yang terus menerus berkembang di daerah tersebut. Sehingga perlu dilakukan pengujian
kultur dan uji resistensi untuk mengetahui jenis bakteri penginfeksi untuk diberikan terapi yang
sesuai dengan penyakit yang diderita (Nurmala,2015).
Sebagai upaya penanggulangan, penyakit infeksi dapat diatasi melalui pengobatan
menggunakan antibiotika (Naim, 2003). Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba
penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi
mungkin. Artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak
toksik terhadap hospes (Setiabudy dan Gan, 1995). Agen antibakteri yang optimal untuk
pengobatan suatu infeksi adalah antibakteri yang mempunyai spektrum aktivitas yang paling
sempit, dengan efek samping dan toksisitas minimal (Shulman dkk., 1994).
Pemberian antibiotika harus diberikan secara tepat sesuai diagnosis penyebab penyakit
infeksinya. Untuk menentukan penyebab penyakitnya, maka secara ideal diperlukan diagnosa
bakteriologik dan tes sensitivitas bakteri terhadap antibiotika (Tietjen, 2004 :11).

1.2.RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana cara pemeriksaan spermatozoa dan nanah (pus) ?


2. Apa saja pemeriksaan spemermatozoa dan nanah (pus) ?
1.2 .TUJUAN
 Untuk memenuhi tugas kuliah pada mata kuliah flebotomi dan pengelolaan
spesimen2
 Agar mahasiswa dapat memahami materi mengenai pemeriksaan spermatozoa dan
nanah (pus) dan mampu dalam melalukan pemeriksaan.
BAB II
PEMERIKSAAN SPERMA

2.1 Anatomi Spermatozoa


Spermatozoa memiliki tiga bagian, terdiri dari kepala yang ditudungi oleh akrosom,
bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi
genetik sperma. Akrosom merupakan vesikel terisi enzim yang menutupi ujung kepala,
digunakan sebagai “bor enzim” untuk menembus ovum. Akrosom merupakan modifikasi
lisosom yang dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh kompleks
golgiretikulum endoplasma sebelum organel ini disingkirkan. Enzim akrosomal tetap inaktif
hingga sperma berkontak dengan sel telur saat ketika enzim dilepaskan. Mobilitas spermatozoa
dihasilkan oleh suatu ekor panjang mirip cambuk yang gerakannya dijalankan oleh energi yang
dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma (Sherwood L. 2016)

Gambar 1.1 Anatomi Spermatozoa (Sherwood L. 2016)


2.2 Fisiologi
Reproduksi Pria 4 Pada mudigah, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak
di bagian belakang rongga abdomen. Setelah testis turun kedalam skrotum, lubang di dinding
abdomen tempat kanalis inguinalis lewat menutup erat disekitar duktus penyalur sperma dan
pembuluh darah yang melintas diantara masing-masing testis dan rongga abdomen. Meskipun
waktunya bervariasi, penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke tujuh gestasi. Karena itu,
penurunan sudah tuntas pada 98% bayi laki-laki aterm (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE.
2007)
Suhu rerata didalam skrotum beberapa derajat celsius dibawah suhu tubuh normal.
Penurunan testis kedalam lingkungan yang lebih dingin ini adalah hal esensial karena
spermatogenesis bersifat peka suhu, dan tidak dapat terjadi pada suhu tubuh. Posisi skrotum
dalam kaitannya dengan rongga abdomen dapat diubah-ubah oleh mekanisme refleks spinal yang
berperan penting dalam mengatur suhu tubuh (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007)
Testis memiliki fungsi ganda yaitu menghasilkan sperma dan mengeluakan
testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang berkelok-kelok dan
menjadi tempat berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel endokrin (sel leydig atau sel
interstisium) yang menghasilkan testoteron terletak di jaringan ikat antara tubulus seminiferous.
Karena itu, bagian testis yang menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron secara
structural dan fungsional terpisah (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007)

Gambar 1.2 Anatomi testis yang menggambarkan tempat spermatogenesis (Sherwood L. 2016)

Semen terdiri dari empat fraksi yang disumbangkan oleh testis, epididimis, vesikula
seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretra (Gambar 1.3). Setiap fraksi berbeda dalam
komposisinya, dan pencampuran keempat fraksi selama ejakulasi sangat penting untuk
menghasilkan spesimen semen yang normal (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA,
Hall JE. 2007).
Gambar 1.3 Potongan melintang dan tampak anterior organ genital pria (Sherwood L. 2016)

Testis merupakan sepasang kelenjar di dalam skrotum yang berisi tubulus seminiferus
untuk sekresi sperma. Lokasi eksterna pada skrotum berkontribusi terhadap suhu skrotum yang
lebih rendah yang optimal untuk perkembangan sperma. Sel-sel germinal untuk produksi
spermatozoa terletak di sel epitel tubulus seminiferus. Sel Sertoli secara spesifik memberikan
dukungan dan nutrisi untuk sel germinal saat sel tersebut menjalani mitosis dan meiosis
(spermatogenesis). Ketika spermatogenesis selesai, sperma imatur (nonmotil) memasuki
epididimis. Pada epididimis, sperma matur dan memiliki flagela. Seluruh proses memakan waktu
sekitar 90 hari. Sperma tetap disimpan dalam epididimis sampai ejakulasi, pada saat itu sperma
didorong melalui duktus deferens (vas deferens) ke duktus ejakulatorius (Strasinger KS, Lorenzo
SM. 2014, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Duktus ejakulatorius menerima sperma dari duktus deferens dan cairan dari vesikula
seminalis. Vesikula seminalis menghasilkan sebagian besar cairan yang ada dalam semen (60%
hingga 70%), dan cairan tersebut merupakan media transport untuk sperma. Cairan tersebut
mengandung konsentrasi fruktosa dan flavin yang tinggi. Spermatozoa memetabolisme fruktosa
untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan flagela untuk mendorong spermatozoa melewati
saluran reproduksi wanita. Dengan tidak adanya fruktosa, sperma tidak menunjukkan adanya
motilitas pada analisis semen. Flavin bertanggung jawab atas penampilan abu-abu dari semen.
Berbagai protein yang disekresikan oleh vesikula seminalis terlibat pada koagulasi ejakulasi
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Kelenjar prostat yang muskuler, terletak tepat di bawah vesika urinaria, mengelilingi
uretra atas dan membantu mendorong sperma untuk melewati uretra melalui kontraksi selama
ejakulasi. Sekitar 20% hingga 30% volum semen merupakan cairan asam yang diproduksi oleh
kelenjar prostat. Cairan dari prostat bersifat asam dan berwarna seperti susu yang mengandung
konsentrasi asam fosfatase, asam sitrat, zinc, dan enzim proteolitik yang tinggi yang bertanggung
jawab untuk koagulasi dan likuifaksi semen setelah ejakulasi (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
Guyton CA, Hall JE. 2007).
Kelenjar bulbouretra, yang terletak di bawah prostat, berkontribusi pada sekitar 5%
dari volum cairan dalam bentuk lendir alkalin tebal yang membantu menetralkan keasaman dari
sekresi prostat dan vagina. Penting bagi semen bersifat alkali untuk menetralkan keasaman
vagina yang terjadi sebagai akibat dari flora vagina bakteri yang normal. Tanpa netralisasi ini,
motilitas sperma akan berkurang (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA, Hall JE. 2007).
2.3 Tahap – Tahap Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks ketika sel germinativum primordial
yang relatif belum berdiferensiasi (primitive atau awal). Spermatogonia (masing-masing
mengandung komplemen diploid 46 kromosom) berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa
yang sangat khusus dan motil (sperma), masing-masing mengandung set haploid 23 kromosom
yang diterima secara acak (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
2.3.1 Proliferasi Mitotik
Spermatogonia yang terletak dilapisan terluar tubulus terus menerus bermitosis,
dengan semua sel baru yang mengandung komplemen lengkap 46 kromosom identik dengan
2.3.2 Meiosis Selama meiosis setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom
rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan jumlah haploid 23
kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat
spermatid (masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiosis kedua
(Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Setelah tahap spermatogenesis, tidak terjadi pembelahan lanjut. Setiap spermatid
mengalami remodeling menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogonium secara mitosis
menghasilakan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer secara meiosis akan
menghasilkan empat spermatid, rangkaian spermatogenik pada manusia secara teoritis
menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai proses ini. Namun sebagian
sel lenyap diberbagai tahap sehingga efisiensi produksi jarang setinggi ini (Sherwood L. 2016,
Guyton CA, Hall JE. 2007)
2.3.3 Pengemasan
Setelah meiosis, spermatid secara struktural masih mirip spermatogonia yang belum
berdiferensiasi, kecuali bahwa komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan
spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid memerlukan proses remodeling
atau pengemasan, ekstensif elemen-elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai
spermiogenesis. Sperma pada hakikatnya adalah sel yang sebagian besar sitosol dan semua
organel yang tidak dibutuhkan untuk menyampaikan informasi genetik sperma ke ovum telah
disingkirkan. Karena itu sperma dapat bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban untuk
melaksanakan pembuahan (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007)

Gambar 1.4 Tahap-tahap pembentukan spermatozoa (Sherwood L. 2016)


2.4 Pengumpulan Spesimen
Spesimen dikumpulkan setelah periode abstinensia seksual minimal 2 hari hingga
tidak lebih dari 7 hari. Spesimen yang dikumpulkan setelah abstinensia yang berkepanjangan
cenderung memiliki volum yang lebih tinggi dan penurunan motilitas. Ketika melakukan
pemeriksaan fertilitas, World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa dua atau
tiga sampel dikumpulkan secara terpisah dengan jarak waktu tidak kurang dari 7 hari atau lebih
dari 3 minggu, dengan adanya dua sampel abnormal dianggap signifikan. Laboratorium harus
menyediakan gelas steril atau wadah plastik yang hangat untuk pasien. Kapan pun
memungkinkan, spesimen dikumpulkan di ruangan yang disediakan oleh laboratorium. Namun,
jika hal tersebut tidak memungkinkan, spesimen harus disimpan pada suhu kamar dan
dikirimkan ke laboratorium dalam waktu 1 jam pengumpulan. Petugas laboratorium harus
mencatat nama pasien dan tanggal lahir, periode abstinensia seksual, kelengkapan sampel,
kesulitan pengumpulan, dan waktu pengambilan spesimen serta tanda penerimaan spesimen.
Spesimen yang tidak langsung dianalisis harus disimpan pada suhu 37°C. Spesimen harus
dikumpulkan dengan masturbasi. Jika hal ini tidak mungkin, hanya kondom non lubrikasi atau
kondom poliuretan yang harus digunakan. Kondom biasa tidak dapat diterima karena
mengandung spermisida (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Sarhar S. 2011).
Adanya variasi komposisi fraksi pada semen mendorong pengumpulan yang tepat dari
spesimen lengkap penting untuk evaluasi secara akurat pada fertilitas pria. Sebagian besar
sperma yang terkandung di bagian pertama ejakulasi penting untuk dikumpulkan secara lengkap
guna pemeriksaan spesimen fertilitas dan post vasektomi secara akurat. Ketika sperma dari
bagian pertama ejakulasi tidak ada, jumlah sperma akan menurun, pH meningkat secara palsu,
dan spesimen tidak akan cair. Ketika bagian terakhir dari ejakulasi tidak ada, volume semen akan
menurun, jumlah sperma meningkat secara palsu, pH menurun secara palsu, dan spesimen tidak
akan membeku. Pasien harus menerima instruksi secara terperinci untuk pengambilan spesimen
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014)
2.5 Pemeriksaan Sperma
Semua spesimen semen merupakan reservoir yang potensial untuk virus HIV dan
hepatitis, dan tindakan pencegahan standar harus diamati setiap saat selama analisis.
Spesimen dibuang sebagai limbah biohazard. Analisis semen untuk evaluasi fertilitas terdiri
dari pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis. Parameter yang dilaporkan meliputi
penampilan, volum, viskositas, pH, konsentrasi dan jumlah sperma, motilitas, dan morfologi
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
2.5.1 Analisa sperma Secara Makroskopis
Sperma yang baru keluar selalu menunjukan adanya gumpalan atau koagolum diantara
lendir putih yang cair. Pada sperma yang normal gumpalan ini akan segera mencair pada suhu
kamar dalam waktu 15 – 20 menit. Peristiwa ini dikatakan sperma mengalami pencairan
(Likuifaksi). Likuifaksi terjadi karena daya kerja dari enzim-enzim yang diproduksi oleh kelenjar
prostat, enzim ini disebut enzim seminim (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
2.5.1.1 Pengukuran Volume
Volum semen yang normal berkisar antara 2 dan 5 ml. Hal tersebut dapat diukur
dengan menuangkan spesimen ke dalam silinder bersih yang dikalibrasi dalam skala volume 0,1
ml. Peningkatan volum dapat dilihat setelah periode abstinensia yang lama. Penurunan volum
lebih sering berhubungan dengan terjadinya infertilitas dan mungkin menunjukkan fungsi yang
tidak baik dari salah satu organ penghasil semen, terutama vesikula seminalis. Pengambilan
spesimen yang tidak lengkap juga harus dipertimbangkan (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
WHO. 2010, Oka TG. 1998,
Gandosoebrata R. 2016).
Cara kerja:
- Sperma ditampung seluruhnya dalam botol penampung yang bermulut lebar
untuk sekali ejakulasi
- Volume diukur dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml.
- Baca hasil
2.5.1.2 .PH
pH semen menunjukkan keseimbangan antara nilai pH dari sekresi prostat yang asam
dan sekresi vesikula seminal yang bersifat alkali. pH harus diukur dalam 1 jam ejakulasi karena
dapat terjadi penurunan CO2. pH normal semen bersifat basa dengan rentang 7,2 hingga 8,0.
Peningkatan pH menunjukkan infeksi di dalam saluran reproduksi. Penurunan pH mungkin
berhubungan dengan peningkatan cairan prostat, obstruksi duktus ejakulataorius, atau vesikula
seminalis yang kurang berkembang. Pemeriksaan pH pada semen dapat diterapkan pada alas
strip reagen pH urinalisis dan warnanya dibandingkan dengan grafik dari pabrikan. Kertas
pemeriksaan pH yang khusus juga dapat digunakan (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO.
2010, Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
Cara kerja:
- Celupkan kertas pH dalam sperma yang homogen yang terdapat dalam botol
penampung
-baca hasil
2.5.1.3 Bau Sperma
Sperma yang baru keluar mempunyai bau yang khas atau spesifik, untuk mengenal bau
sperma, seseorang harus telah mempunyai pengalaman untuk membaui sperma. Baunya sperma
yang khas tersebut disebabkan oleh oksidasi spermin (suatu poliamin alifatik) yang dikeluarkan
oleh kelenjar prostat (Oka TG. 1998).
Cara kerja:
-Sperma yang baru keluar pada botol penampung dicium baunya.
- Dalam laporan bau dilaporkan: khas/tidak khas. Dalam keadaan infeksi,
sperma berbau busuk/amis. Secara biokimia sperma mempunyai bau seperti
klor/ kaporit.
2.5.1.4 Warna sperma
Semen yang normal memiliki warna putih kelabu, tampak translusen, dan memiliki
bau basi yang khas. Ketika konsentrasi sperma sangat rendah, spesimen mungkin tampak hampir
jernih. Peningkatan kekeruhan putih menunjukkan adanya sel darah putih (leukosit) dan infeksi
di dalam saluran reproduksi. Variasi jumlah warna merah berhubungan dengan adanya sel darah
merah dan bersifat abnormal. Warna kuning dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi urin,
pengumpulan spesimen setelah abstinensia yang berkepanjangan, dan obat-obatan. Urin bersifat
toksik terhadap sperma, sehingga mempengaruhi evaluasi motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014, WHO. 2010, Lopez, A, et al. 1987).
Cara kerja:
-Sperma yang ada dalam tabung reaksi diamati dengan menggunakan latar
belakang warna putih menggunakan penerangan yang cukup
2.5.1.5 Likuifaksi
Spesimen yang segar adalah semen yang ada penggumpalan dan harus mencair dalam
30 hingga 60 menit setelah penggumpulan. Oleh karena itu, pencatatan waktu penggumpulan
sangat penting untuk mengevaluasi pencairan semen. Kegagalan likuifaksi yang terjadi dalam
waktu 60 menit dapat disebabkan oleh adanya kekurangan enzim prostat dan harus dilaporkan.
Analisis spesimen tidak dapat dimulai sampai likuifaksi telah terjadi. Jika setelah 2 jam spesimen
tidak mengalami likuifaksi, volum yang sama dari saline buffer fosfat fisiologis Dulbecco atau
enzim proteolitik seperti alfa-kimotrypsin atau bromelain dapat ditambahkan untuk menginduksi
likuifaksi dan memungkinkan sisanya dari analisis yang akan dilakukan. Tindakan tersebut dapat
mempengaruhi pemeriksaan biokimia, motilitas sperma, dan morfologi sperma, sehingga
penggunaannya harus didokumentasikan. Pengenceran semen dengan bromelain harus
diperhitungkan ketika menghitung konsentrasi sperma. Granula berbentuk seperti jelly (badan
gelatin) dapat ditemukan dalam spesimen semen cair dan tidak memiliki signifikansi klinis.
Untaian mukus, jika ada, dapat mengganggu analisis semen (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
WHO. 2010).
2.5.1.6 Viskositas (Kekentalan)
Viskositas spesimen mengacu pada konsistensi cairan dan mungkin berhubungan
dengan likuifaksi spesimen. Spesimen yang mengalami likuifaksi secara tidak lengkap bersifat
menggumpal dan sangat kental. Spesimen semen yang normal harus mudah ditarik ke dalam
pipet dan membentuk tetesan kecil yang tidak tampak menggumpal atau berserabut ketika jatuh
dari pipet akibat gravitasi. Tetesan yang membentuk benang lebih panjang dari 2 cm dianggap
sangat kental dan dicatat sebagai abnormal. Derajat 0 (cair) hingga 4 (seperti gel) dapat
ditetapkan untuk laporan viskositas. Viskositas juga dapat dilaporkan sebagai rendah, normal,
atau tinggi. Peningkatan viskositas dan likuefaksi yang tidak sempurna dapat menghambat
pemeriksaan motilitas sperma, konsentrasi sperma, deteksi antibodi antisperma, dan pengukuran
marker biokimia (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010, Overstreet JW, Katz DF.
1987).
Pemeriksaan viskositas ini dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Cara subyektif
Dengan menyentuh permukaan sperma dengan pipet atau batang pengaduk,
kemudian ditarik maka akan terbentuk benang yang panjangnya 3 – 5 cm.
Makin panjang benang yang terjadi makin tinggi viskositasnya.
b. Cara Pipet Elliason
Syaratnya sperma harus homogen dan pipet yang digunakan harus kering.
Cara kerja:
- Pipet cairan sperma sampai angka 0,1
- Tutup bagian atas pipet dengan jari
- Arahkan pipet tegak lurus
- Jalankan stopwatch
- Jika terjadi tetesan pertama stopwath dimatikan dan hitung waktunya dengan
Detik
2.5.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik
Meskipun fertilisasi dapat dicapai oleh satu spermatozoa, jumlah sperma yang sebenarnya dalam
spesimen semen merupakan ukuran fertilitas yang valid. Berbagai faktor dapat memengaruhi
konsentrasi sperma, seperti jangka waktu abstinensia seksual sebelum pengumpulan spesimen,
infeksi, atau stres. Oleh karena itu, lebih dari satu spesimen semen harus dievaluasi untuk
pemeriksaan infertilitas. Nilai referensi untuk konsentrasi sperma biasanya dinyatakan sebagai
lebih besar dari 20 hingga 250 juta sperma per mililiter. Konsentrasi antara 10 dan 20 juta per
mililiter dianggap garis batas (borderline). Jumlah sperma total untuk ejakulasi dapat dihitung
dengan mengalikan konsentrasi sperma dengan volum spesimen. Jumlah sperma total lebih dari
40 juta per ejakulasi dianggap normal (20 juta per mililiter × 2 mL) (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014, WHO. 2010).
2.5.2.1 Jumlah sperma per lapang pandang/ perkiraan densitas sperma
Cara kerja:
- Diaduk sperma hingga homogen
- Diambil 1-3 tetes cairan sperma ditaruh diatas obyek glass lalu ditutup dengan
cover glass
- Lihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 40X
- Dihitung berapa banyak spermatozoa pada beberapa lapang pandang
Misalnya, dihitung berturut-turut lapang pandang:
I = 10 Spermatozoa
II = 5 Spermatozoa
III = 7 Spermatozoa
IV = 8 Spermatozoa
Dalam laporan dituliskan terdapat 5-10 spermatozoa perlapang pandang. Perkiraan konsentrasi
spermatozoa dikalikan dengan 106 berarti perkiraan konsentrasi spermatozoa adalah 5-10
juta/ml. Perkiraan konsentrasi spermatozoa dikalikan dengan 106 berarti perkiraan konsentrasi
spermatozoa adalah 200 juta/ml. Jika perlapang pandang didapatkan nol spermatozoa maka tidak
usah dilakukan pemeriksaan konsentrasi, dan disebut Azoospermia (Oka TG. 1998,
Gandosoebrata R. 2016).
Pada laboratorium klinis, konsentrasi sperma biasanya dianalisis menggunakan ruang
hitung Neubauer. Sperma dihitung dengan cara yang sama seperti perhitungan jumlah sel pada
cairan serebrospinal, yaitu dengan menipiskan spesimen dan menghitung sel-sel di ruang
Neubauer. Jumlah pengenceran dan jumlah kuadrat dihitung secara bervariasi di antara
laboratorium (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
Pengenceran yang paling umum digunakan adalah 1:20 yang disiapkan menggunakan
pipet mekanis (perpindahan positif). Pengenceran semen sangat penting karena dapat
mengimobilisasi sperma sebelum dilakukan perhitungan. Cairan pengencer tradisional
mengandung natrium bikarbonat dan formalin, yang dapat mengimobilisasi dan menjaga selsel
sperma; Namun, hasil yang baik juga dapat dicapai dengan menggunakan larutan salin dan air
suling (WHO. 2010).
Menggunakan hemositometer Neubauer, sperma biasanya dihitung di empat kotak
sudut dan kotak pusat, mirip dengan perhitungan sel darah merah secara manual (Gambar 1.4).
Kedua sisi hemositometer diisi dan dibiarkan menetap selama 3 hingga 5 menit, kemudian
dilakukan perhitungan, dan jumlah harus sesuai dalam 10%. Rata-rata dari dua hitungan
digunakan dalam perhitungan. Jika jumlah tidak sesuai, baik pengenceran dan penghitungan
dilakukan pengulangan. Hitungan dilakukan menggunakan mikroskopis fase atau lapangan
terang. Pewarna tambahan, seperti kristal violet, ditambahkan ke cairan pengencer untuk
visualisasi saat menggunakan mikroskop medan terang (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
WHO. 2010).

Gambar 1.5 Kamar hitung Neubauer (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
Hanya sperma yang berkembang secara utuh yang dihitung. Sperma imatur dan
leukosit, sering disebut sebagai sel "bulat", tidak boleh dimasukkan dalam perhitungan. Namun,
adanya sel-sel tersebut dapat berjumlah signifikan, dan sel-sel tersebut mungkin perlu
diidentifikasi dan dihitung secara terpisah. Pewarnaan meliputi cairan pengencer untuk
membedakan antara sel sperma imatur (spermatid) dan leukosit, dan sel-sel tersebut dapat
dihitung dengan cara yang sama seperti sperma matur. Perhitungan leukosit yang lebih besar dari
1 juta per mililiter berhubungan dengan terjadinya inflamasi atau infeksi pada organ reproduksi
yang dapat menyebabkan terjadinya infertilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010)
Adanya spermatid lebih dari 1 juta per mililiter menunjukkan adanya gangguan
spermatogenesis. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi virus, paparan bahan kimia
toksik, dan kelainan genetik (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).

2.5.2.2 Pergerakan Sperma


Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada suhu kamar (200 C - 250 C). Dalam
memeriksa pergerakan spermatozoa sebaiknya diperiksa setelah 20 menit karena dalam waktu 20
menit sperma tidak kental, sehingga spermatozoa mudah bergerak, akan tetapi jangan lebih dari
60 menit setelah ejakulasi sebab dengan bertambahnya waktu maka spermatozoa akan
memburuk pergerakannya, serta pH dan bau mungkin akan berubah. Gerak spermatozoa yang
baik adalah gerak kedepan dan arahnya lurus, gerak yang kurang baik adalah gerak zig-zag,
berputar-putar dan lain-lain (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
Dihitung dulu spermatozoa yang tidak bergerak kemudian dihitung yang bergerak kurang
baik, lalu yang bargerak baik, contoh:
- Yang tidak bergerak = 25%
- Yang bergerak kurang baik = 50%
- Yang bergerak baik = 100% - 25% - 50% = 25%
Presentase pergerakan cukup ditulis dengan angka bulat (umumnya kelipatan 5 misalnya: 10%,
15%, 20%). Jika sperma yang tidak bergerak > 50% maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut guna mengetahui viabilitas sperma (banyaknya sperma yang hidup) sebab sprermatozoa
yang tidak bergerakpun kemungkinan masih hidup (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
2.5.2.3 Morfologi
Morfologi sperma dievaluasi berdasarkan dengan adanya struktur kepala, leher
(neckpiece), badan (midpiece), dan ekor. Abnormalitas pada morfologi kepala berhubungan
dengan penetrasi ovum yang buruk, sedangkan abnormalitas pada leher, badan, dan ekor
mempengaruhi motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
Sperma yang normal memiliki kepala berbentuk oval dengan panjang sekitar 5 μm dan
lebar 3 μm dan memiliki satu ekor flagel dengan panjang 45 μm (Gambar. 1.5). Struktur penting
untuk penetrasi pada ovum adalah tudung akrosom yang mengandung enzim yang terletak di
ujung kepala sperma. Tudung akrosom harus mencakup kira-kira setengah dari kepala sperma
dan menutupi kira-kira dua pertiga dari nukleus sperma. Leher melekat pada ekor dan badan.
Badan memiliki panjang kira-kira 7,0 μm dan merupakan bagian paling tebal dari ekor karena
dikelilingi oleh selubung mitokondria yang menghasilkan energi yang dibutuhkan oleh ekor
untuk motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).

Gambar 1.6 Struktur normal spermatozoa (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).

Morfologi sperma dievaluasi dengan slide yang dicat tipis di bawah oil immersion.
Pengecatan dibuat dengan menempatkan sekitar 10 μL semen di dekat ujung buram slide
mikroskop yang bersih. Letakkan slide kedua dengan bersih, pada tepi halus di depan tetesan
semen pada sudut 45° dan tarik slide hingga tepi tetesan semen, hal tersebut memungkinkan
semen untuk menyebar hingga ujung slide. Ketika semen didistribusikan secara merata di
seluruh slide penyebar, tarik perlahan slide penyebar ke depan dengan gerakan kontinyu
melintasi slide pertama untuk menghasilkan pengecatan. Pengecatan dapat dilakukan
menggunakan pewarnaan Wright, Giemsa, Shorr, atau Papanicolaou sesuai ketersediaan
laboratorium. Slide yang dikeringkan dengan udara dapat stabil selama 24 jam. Setidaknya 200
sperma harus dievaluasi dan adanya persentase sperma yang abnormal dilaporkan. Abnormalitas
yang diidentifikasi secara rutin dalam struktur kepala meliputi kepala ganda, kepala besar dan
amorf, kepala berbentuk seperti jarum, kepala meruncing, dan kepala sempit. Ekor sperma
abnormal yang sering ditemui adalah ekor ganda, menggulung, atau menekuk (Gambar 1.6).
Leher panjang yang abnormal dapat menyebabkan kepala sperma menekuk ke belakang dan
mengganggu motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).

Gambar 1.7 Bentuk abnormal kepala dan ekor spermatozoa (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014).

2.5.2.4 Perhitungan Sel Bulat


Diferensiasi dan enumerasi sel bulat (sperma imatur dan leukosit) juga dapat dilakukan
selama pemeriksaan morfologi. Granulosit yang positif terhadap peroksidase merupakan bentuk
dominan leukosit dalam semen dan dibedakan dari sel spermatogenik dan limfosit menggunakan
pewarnaan peroksidase. Dengan menghitung jumlah spermatid atau leukosit yang terlihat dalam
hubungannya dengan 100 sperma matur, jumlah per mililiter dapat dihitung menggunakan rumus
berikut, di mana N merupakan jumlah spermatid atau neutrofil yang dihitung per 100 sperma
matur, dan S merupakan konsentrasi sperma dalam juta per mililiter:
N ×S
c=
100

Metode ini dapat digunakan jika perhitungan tidak dapat dilakukan pada perhitungan
hemositometer dan untuk memverifikasi jumlah yang dilakukan oleh hemositometer. Jumlah
leukosit lebih dari 1 juta per mililiter per ejakulasi menunjukkan kondisi inflamasi yang
berhubungan dengan infeksi dan kualitas sperma yang buruk dan dapat mengganggu motilitas
sperma serta integritas DNA (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO.2010).
2.5.3.pemeriksaan kimia

Karbohidrat yang ada dalam sperma ialah fruktosa dan kadar fruktosa itu mempunyai

korelasi positif dengan kadar testosteron dalam tubuh. Penetapankadar fruktosa memkai reaksi

selivanoff sebagai dasr, pada reaksi itu fruktosa bereaksi dengan resorcinol dengan nyusun warna

merah

Reagensia

1. Larutan Ba(OH)2 0,3n dibuat dengan melarutkan 47,5 g Ba(OH)2 8aq dalam 1000 ml aqua

dest.

2. Larutan ZnSO4 0,175 m dibuat dari 50 g ZnSO4. 7 aq larutan dalam 100 ml aqua dest

3. Larutan resorcinol 0,1 % dalam 100 ml alkohol 95%, larutan ini bertahan 2 bulan bila

disimpan dalam lemari es

4. HCL sekitar 10n dibuat dari volume aqua dest ditambah 6 volume HCL pekat.

5. a. standard fruktosa stock. 50 mg fruktosa larut dalam 100 ml larutan asam benzoat 0,2 %

b. Standard fruktosa,larutan kerja. 1 ml standard fruktosa stock di encerkn dengan aqua dest

sampai 100 ml. pada cara yabg dicantumkan dibawah, larutan kerja ini sesuai dengan 200 mg

fruktosa/dl sperma.

Prosedur kerja

1. Lakukan deprotenisasi sperma yang akan diperiksa dengan terlebih dulu mengencerkan0,1

ml sperma dengan 2,9 ml air. Kemudian tambah 0,5 ml lar. Ba (Ba)OH2, campur,tambah

0,55 ml lar. ZnSO4, campur lagi dan homogenkan.

2. Sediakan 3 tabung T (tes) , S (standard) dan B (blangko). Tabung T di isi 2 ml cairan atas

dari langkah 1, tabung S diisi 2ml standard fruktosa larutan kerja Dn tabung B diisi 2ml air.

3. Tabung T , S dan V masibg-masing dibutuhkan 2 ml resorcinol dan 6 ml HCL


4. Campur isi tabung masing-masing, panasilah dalam bejana air 90 c Selama 10 menit .

5. Bacalah absorbasi T dan S terhadap B pada 490 nm.

6. Hotung kadar fruktosa dengannrumus AT/AS x 200 = mg fruktosa/dl sperma

Catatan :

Kadar fruktosa dalam sperma normal berkisar antara 120-450 mg/dl dan fruktosa itu

berasal Dri vesiculae seminales.selain dipengaruhi oleh kadar testosteron dalam tubuh,

banyaknya fruktosa Dlam sperma juga mengalami perubahan oleh proses-proses dalam esiculae

seminales dan pada penyumbatan partial ductuli ejaculatorii yang total berakibat kadar fruktosa

dalam sperma menjadi nol.

2.5.4 Pemeriksaan Evaluasi Kromatin

Evaluasi Kromatin Sperma Pemeriksaan integritas DNA sperma telah umum dilakukan

sebagai pemeriksaan tambahan untuk menunjang pemeriksaan analisis semen dalam menegakkan

diagnosa etiologi dari infertilitas pria. Banyak teknik yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan integritas

DNA, namum semua pemeriksaan tersebut pada umumnya membutuhkan peralatan dan biaya yang cukup

mahal. Dari pemeriksaan integritas DNA, dapat diketahui tingkat fragmentasi pada DNA sperma yang

selanjutnya akan mempengaruhi kualitas sperma. Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa integritas DNA

pada sperma dilindungi oleh kromatin sperma, sehingga secara teori integritas DNA memiliki korelasi

dengan kualitas kromatin sperma. Pemeriksaan kualitas kromatin sperma terdiri atas pemeriksaan

kematangan kromatin dan kepadatan kromatin sperma. Pemeriksaan kematangan kromatin sperma yang

banyak digunakan dalam penelitian adalah pemeriksaan sperma dengan pewarnaan biru anilin, sedangkan

pemeriksaan kepadatan kromatin sperma yang banyak digunakan dalam penelitian adalah pemeriksaan

sperma dengan pewarnaan biru toluidin . Kedua teknik pemeriksaan ini banyak digunakan karena

memerlukan peralatan yang sederhana, praktis dalam pelaksanaannya, dan memerlukan biaya yang tidak

mahal (Lamirande E 2012).

 Pewarnaan Biru Anilin


Pewarnaan biru anilin merupakan suatu teknik pewarnaan yang telah banyak digunakan dalam bidang

biologi. Dalam aplikasinya, pewarnaan biru anilin telah digunakan untuk beberapa pewarnaan,

diantaranya adalah untuk pewarnanaan jaringan tulang rawan, mitokondria, telur kutu, dan sedimen urin.

Zat warna biru anilin merupakan zat warna dari kelas tripenilmetan yang larut dalam air dan etanol serta

memiliki bentuk fisik berupa bubuk berwarna biru tua. Zat warna ini memiliki rumus molekul dengan

berat molekul Zat warna ini juga digunakan untuk pewarnaan sperma dengan tujuan untuk

mengidentifikasi kematangan kromatin sperma. Prinsip pewarnaan biru anilin pada sperma adalah

membedakan nukleus sperma yang mengandung kromatin matang dengan yang tidak matang. Nukleus

sperma dengan kromatin yang tidak matang, mengandung banyak histon yang kaya akan residu lisin

sehingga akan memberikan reaksi positif dengan pewarnaan biru anilin, sedangkan nukleus sperma

dengan kromatin yang matang, lebih banyak, mengandung protamin yang kaya akan residu sistein

sehingga akan memberikan reaksi negatif pada pewarnaan biru anilin. ( Agarwal A, Erenpreiss J,2009 ).

Pada pewarnaan sperma dengan biru anilin, adapun bahan-bahan yang diperlukan antara lain larutan

glutaraldehid 3%, larutan phosphat buffer saline (PBS), serta zat warna biru anilin 5% (pH 3,5). Untuk

glutaraldehid 3% dibuat dengan cara melarutkan tiga ml larutan glutaraldehid dalam larutan PBS hingga

volume total larutannya menjadi 100 ml. Untuk pembuatan larutan pewarnaan biru anilin 5% (pH 3,5)

dibuat dengan cara menimbang satu gram biru anilin lalu dilarutkan dalam larutan PBS sampai volume

total larutannya menjadi 20 ml. Selanjutnya larutan dipanaskan sampai bubuk biru anilin larut lalu setelah

itu disaring dengan kertas saring. Selanjutnya larutan biru anilin ini diatur pH nya sampai 3,5 dengan

penambahan asam asetat glasial.( Erenpreiss Juris dkk 2001). Adapun cara kerja pewarnaan sperma

dengan biru anilin adalah dimulai dengan membiarkan semen yang baru diejakulasi selama 30-60 menit

untuk mencapai likuifaksi yang sempurna. Setelah mengalami likuifaksi sempurna, cairan semen dibuat

sediaan hapus pada slide mikroskop. Selanjutnya sediaan hapus difiksasi dengan larutan Glutaraldehyde

3% dalam PBS selama 30 menit. Setelah itu, sediaan hapus dicelupkan dua kali dalam larutan PBS

selama lima menit lalu dikeringkan di udara. Setelah kering, sediaan hapus diwarnai dengan larutan biru

anilin (pH 3,5) dan biarkan selama tujuh menit. Selanjutnya sediaan hapus yang telah diwarnai, dibilas
dengan larutan PBS dan dikeringkan di udara bebas. Setelah itu, preparat di pasang cover glass

menggunakan enthelan. Selanjutnya preparat siap untuk diperiksa. (Erenpreiss Juris dkk 2001)

Pemeriksaan preparat dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali.

Pengamatan dilakukan dengan mengamati warna kepala sel sperma secara random dari 200 sperma.

Kepala sperma yang kromatinnya matur akan berwarna jernih (tidak terwarnai) sedangkan kepala sperma

yang kromatinnya immatur akan berwarna biru Setelah dihitung lalu ditentukan persentasenya masing-

masing. Untuk mengurangi subjektifitas, pengamatan dilakukan oleh dua orang yang hasil persentasenya

kemudian dirata-ratakan. Untuk penilaian semen yang normal, kepala sperma yang mengandung kromatin

matang (tidak terwarnai) meliputi minimal 75% dari 200 sperma yang diamati sedangkan kepala sperma

yang mengandung kromatin tidak matang (berwarna biru) meliputi maksimal 25% dari 200 sperma yang

diamati. (Erenpreiss Juris dkk 2001)

 Pewarnaan Biru Toluidin

Pewarnaan biru toluidin merupakan suatu teknik pewarnaan yang juga telah banyak digunakan dalam

bidang biologi. Dalam aplikasinya, pewarnaan biru toluidin telah digunakan untuk beberapa pewarnaan,

diantaranya adalah untuk pewarnanaan ekspresi gen, sel saraf, lesi pada mulut, sel ginjal, dan sputum. Zat

warna biru anilin merupakan zat warna dari golongan fenotiazin yang larut dalam air dan etanol serta

memiliki bentuk fisik berupa bubuk berwarna hijau gelap. Zat warna ini memiliki rumus molekul dengan

berat molekul, Zat warna ini juga digunakan untuk pewarnaan sperma dengan, tujuan untuk

mengidentifikasi kepadatan kromatin sperma. Prinsip pewarnaan biru toluidin adalah zat warna biru

toluidin akan diikat oleh gugus phosphat dari untaian DNA sperma yang memiliki kepadatan kromatin

yang kurang baik. Sedangkan sperma yang memiliki kepadatan kromatin yang baik akan terwarnai

minimal atau tidak terwarnai oleh zat warna biru toluidin. Pada pewarnaan sperma dengan biru toluidin,

adapun bahan-bahan yang diperlukan antara lain; etanol 96%, larutan aceton, larutan HCl 0,1 N, larutan

biru toluidin 0,05% dimana buffer biru toluidin terdiri dari 50% phosphate sitrat (McIlvain buffer, pH

3,5), larutan t-butanol, dan Xylol. Larutan HCl 0,1 N dibuat dengan cara melarutkan 1,7 ml HCl pekat
dalam larutan akuades hingga volume totalnya menjadi 200 ml. Larutan biru toluidin dibuat dengan cara

menimbang 0,01 gram biru toluidin lalu dilarutkan dalam campuran larutan buffer hingga volume

totalnya menjadi 20 ml. Larutan buffer biru toluidin dibuat dengan cara mencampurkan larutan akuades

dan McIlvain buffer ( pH 3,5) dengan perbandingan 1:1. Adapun cara kerja pewarnaan sperma dengan

biru toluidin adalah dimulai dengan membiarkan semen yang baru diejakulasi selama 30-60 menit untuk

mencapai likuifaksi yang sempurna. Setelah mengalami likuifaksi sempurna, cairan semen dibuat sediaan

hapus pada slide mikroskop. Selanjutnya sediaan hapus difiksasi dengan larutan etanol 96% - aseton (1:1)

pada suhu 40C selama 30 menit. Setelah itu, sediaan hapus dihidrolisa dalam larutan 0,1 N HCl pada suhu

40C selama lima menit. Selanjutnya, sediaan hapus dibilas tiga kali menggunakan air suling masing-

masing selama dua menit dan dibiarkan mengering di udara. Setelah kering, sediaan hapus diwarnai

dengan larutan biru toluidin 0,05% dan biarkan selama 10 menit. Selanjutnya sediaan hapus yang telah

diwarnai, dibilas dengan air suling lalu didehidrasi menggunakan tbutanol sebanyak dua kali masing-

masing selama tiga menit pada suhu 370C untuk selanjutnya dicelupkan dalam larutan xylol sebanyak

dua kali selama tiga menit. Setelah kering, preparat kemudian ditutup dengan cover glass menggunakan

enthelan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan preparat dilakukan dengan

menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali. Pengamatan dilakukan dengan mengamati

warna kepala sel sperma secara random dari 200 sperma. Kepala sperma yang kepadatan kromatinnya

baik akan berwarna biru terang atau jernih sedangkan kepala sperma yang memiliki kepadatan kromatin

yang kurang baik akan berwarna ungu atau violet. Setelah dihitung lalu ditentukan persentasenya masing-

masing. Untuk mengurangi subjektifitas, pengamatan dilakukan oleh dua orang yang hasil persentasenya

kemudian dirata-ratakan. Untuk penilaian semen yang normal, kepala sperma yang mengandung

kepadatan kromatin yang baik (berwarna biru terang atau jernih) meliputi minimal 65% dari 200 sperma

yang diamati sedangkan kepala sperma yang mengandung kepadatan kromatin yang kurang baik

(berwarna birugelap atau ungu) meliputi kurang 35% dari 200 sperma yang diamati (Erenpreiss Juris dkk

2001).

2.5.5.Tes khusus sperma


1. Pengujian terhadap antibodi pelapis spermatozoa

Antibodi pelapis spermatozoa merupakan tanda khas dan patognomonik untuk infertilotas yang di

sebabkan faktor imunologi. Pengujian ini dilakukan pada sedian semen segar dan menggunakan

cara reaksi antiglobulin campuran yaaitu uji MAR ( mixed antiglobulin reaction) atau cara butir

imun (immunibead).

2. Uji MAR

Dilakukan dengan mencampurkan semen segar dengan butir lateks atau sel eritrosit biri-biri yang

dilapisi igG, kemudian pada campuran ini dibutuhkan antiserum igG manusia yang

monospesifik.Bila terbentuk gumpalan menunjukkan adanya antibodi igG pada spermatozoa.

Infertilitas didiangnosa bila 40% atau lebih spermatozoa motil mempunyai partikel yang melekat.

3. UJI BUTIR IMUN

Butir imun merupakan bola poliakrilamida dengan imunoglobulin manusia yanga teerikat secara

kovalen. Adanya aibodi igG dapat teliti sekaligus dengan uji ini. Spermatozoa dicuci terlebih

dahulu agar bebas dari cairan semen dengan cara sentrifugasi dan kemudian diresuspensi dalam

larutan dapar. Proporsi spermatozoa dengan antibodi permukaan kemudian ditentukan dan kelas

antibodinya diidentifikasikan dengan 2 jenis butir imun. Uji dianggap psiitif jika 10% atau lebih

spermatozoa motil dilekati butir.

1. Biakan Semen

Biakan semen dilakukan bila semen menunjukan tanda unfeksi kelenjar asesori atau semen

mengandung sel darah putih dalam jumlah lebih dari 1 juta/ml

2. Analisa Biokimia

Petanda biokimia untuk fungsi kelenjar asesori. Yaitu asam sittrat, gammaglutami transpeptidase,

untuk kelnjar prostat asam fosftase, untuk epididmis. L- karnitin bebas dann alfaglukosidase,

untuk seminalisis fruktosa kadar petanda yang rendah menujukkan fungsi sekresi kurang baik

Cara kerja tes fruktosa


Cara kerja kualitatif :

Reagens : ~50 mg resorsinol

~33 ml HCL pekat

~Aquadest 100 ml

Masukkan 0,5 ml semen dalam 5 ml reagen dan panaskan sampai mendidih. Bila semen

mengandung fruktosa maka akan tampak warna merah setelah dididihkan selama 60 detik dan

bila tidak terdapat fruktosa maka cairan tidak akan berwarna.

Cara kerja kuantitatif :

Reagens:

a. 1,8 % (b/v) ZnSO4.7H2O

b. 0,1 M NaoH

c. Reagen indol: masukkan 200mg asam benzoat ke dalam 100 ml aquadest, larutkan dengan

cara mengocok dalam bak air panas (kira-kira 60 derajat celsius ), setelah larut tambahkan 25

mg indol, disaring lalu disimpan dalam lemari es.

d. Larutan induk fruktosa (2,8mM) ; 50,4 mg fruktosa dilarutkan dalam 100 ml aquadest. Larutan

induk harus disimpan dalam keadaan beku dan ditempatkan dalam botol-botol kecil dengan

volume sekali pakai.

e. Larutan kerja fruktosa: bila akan dilakukan tes, satu botol larutan induk diencerkan untuk

membuat larutan kerja 0,28 mM dan 0,14 mM

Persiapan plasma semen

1. Encerkan plasma semen menjadi 1:50 dengan cara mencampur 0,1 ml semen dangan 4,9 ml

aquades

2. Masukkan 1 ml plasma semen yang telah diencerkan ke dalam tabung sentrifus.

3. Tambahkan 0,3 ml sulfat seng 1,8 % kedalam tabung lalu aduk.

4. Tambahkan 0,2 ml NaOH lalu aduk


5. Biarkan tabung selama 15 menit, kemudian sentrifus selama 20 menit pada 2000 g

Prosedur kerja

1. Masukkan 0,5 supernatan plasma semen ke dalam tabung-tabung kaca dengan tutup kaca,

tambahkan 0,5 ml larutan kerja (dua botol setiap konsentrasi larutan kerja standar fruktosa).

Buat larutan kosong dengan 0,5 ml aquadest.

2. Masukkan 0,5 reagen indol dan 5,0 ml HCL pekat.

3. Tutup tabung lalu inkubasi selama 20 menit pada suhu 50 derajat celsius

4. Dingin kan tabung dengan air es sampai mencapai suhu kamar, lalu baca intensitas warna pada

470 nm

Perhitungan :

(fruktosa)(mmol/L) = OD 470nm x F x 75

F = faktor standar fruktosa rata-rata :

0,14 0,28
+
S1 S2
F=
2

Keterangan :

~ S1 dan S2 : bacaan rata-rata OD larutan standar fruktosa 0,14mM dan 0,28 mM

~ 75 : faktor pengenceran plasma semen

Nilai rujukan : 14 mikromol atau lebih setiap ejakulat.

Beberapa test yang masih perlu dibuktikan antara lain, isozim spesifik dari asam laktat

dehidrogenase, akrosin, pemampatan DNA dalam spermatozoa dan ATP.

3. Uji oosit bebeas zona hamster

Dengan menggunkan medium BWW (Biggerss, Whitten & Witingham ) , spermatozoa dalam

hitungan 100 ml yang sudah sieram dengan biakan induk BMW, dibubuhi 30 oosit bebas zona

hamster, kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tes oosit kemudian dilakukan untuk
menentukan berapa persen mengandung spermatozoa dalam sitoplasma dan perhitunggan rata-

rata jumlah spermatozoa dalam tiap oosit.

4. Uji migrasi spermatozoa : pengumpulan spermatozoa motil dari semen.

5. Selklamin belum matang

Adanya sel klamin yang belum matang dalama semen biasanya merupakan tanda adanya

gangguan spermatozoatogenesis. Pengenalan ini dipermudah dengan penggunaan pulasan Bryan-

Leishman.

3.1 NANAH (PUS)

3.1.1 DEFENISI NANAH ( PUS)

Nanah (PUS) adalah massa setengah cairan yang kental, berwarna putih kekuningan atau putih

kehijauan dan berbau tidak sedap. Nanah terdapat pada bisul, kudis, luka yang terinfeksi bakteri, dan

sebagainya. Nanah keluar bersama-sama sel darah merah (eritrosit) yang mati dan membusuk dari luka

yang terinfeksi bakteri atau kuman. Proses terbentuknya nanah yaitu pada saat tubuh terjangkiti oleh

organisme penyakit seperti bakteri, maka pertahanan tubuh yaitu neutrofil atau sel darah putih berpindah

dalam jumlah yang besar dengan cara mengalir melewati pembuluh darah menuju daerah yang terjangkiti

bakteri tersebut. Sehingga pembuluh darah di sekitar daerah yang terjangkiti mulai membesar. Neutrofil

menerobos melalui dinding pembuluh darah yang membesar itu kemudian menyerang bakteri dan

menelannya. Neutrofil juga bertugas menyerap pecahanpecahan sel tubuh yang telah mati akibat serangan

bakteri. Banyak dari neutrofil mati karena racun kuman. Sebelum mati, neutrofil mengeluarkan enzim

pencerna, yang berperan menghancurkan sel yang mati di sekitarnya. Sebagai akibat aktivitas ini, daerah

yang terjangkit menjadi bengkak penuh dengan darah, cairan jaringan, sel yang telah mati, bakteri yang

hidup dan yang mati, serta neutrofil dan juga bermacam-macam jenis pecahan sel. Semua unsur ini

membentuk massa setengah cairan yang kental dan disebut nanah (Djide, 2010).

Nanah muncul sebagai reaksi alami tubuh ketika melawan infeksi, atau respons peradangan

pada tubuh terhadap infeksi bakteri dan kadang juga terhadap jamur. Infeksi akan menimbulkan nanah
ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terluka, terhirup saat batuk atau bersin, dan akibat

kebiasaan yang tidak higienis. Ketika terjadi infeksi di bagian tubuh tertentu, sel darah putih yang disebut

neutrofil akan berkumpul pada bagian tubuh tersebut dan berperang melawan bakteri penyebab infeksi.

Selama proses tersebut, banyak sel darah putih dan jaringan tubuh lain di sekitarnya yang mati. Nah,

akumulasi sel darah putih dan jaringan tubuh yang mati inilah yang kemudian disebut nanah.Banyak jenis

infeksi yang dapat menyebabkan munculnya nanah. Penyebab yang paling umum adalah infeksi oleh

bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes (Djide, 2010).

3.1.2 Pengumpulan Sampel

Pus (nanah) diambil dari pasien yang mengalami luka infeksi pada permukaan kulit dengan

cara di swab menggunakan swab steril, kemudian dimasukkan kedalam tabung yang berisi media Amies.

3.1.3 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKROORGANISME PUS

Sampel pus (nanah) diinokulasikan pada media Nutrient Agar secara 32 rganis dan diinkubasi

selama 24 jam pada suhu 370C. Diambil 1-2 koloni terpisah yang tumbuh pada media Nutrient Agar dan

diinokulasikan pada media diferential, seperti MacConkey Agar, Eosin Methylen Blue Agar, Blood Agar

Plate, Manitol Salt Agar, media Uji Biokimia Reaksi dan uji-uji pendukung, seperti uji katalase,dan

koagulase.

3.1.4. Uji Laboratorium Diagnostik

a) Spesimen

Usapan permukaan, pus, darah, aspirat trakea, cairan spinal untuk biakan, tergantung pada lokalisasi

proses.

b) Sediaan Apus

Staphylococcus yang khas melihat pada pewarnaan apusan pus atau sputum. Tidak mungkin membedakan

organime saprofitik (S epidermidis) dengan organism patogen (S aureus) berdasarkan sediaan apus.

c) Biakan

Spesimen yang ditanam di cawan agar darah membentuk koloni yang khas dalam 18 jam pada suhu 37ºC,

tetapi tidak menghasilkan pigmen dan hemolisis sampai beberapa hari kemudian dan dengan suhu
ruangan yang optimal. S aureus memfermentasikan manitol, tetapi Staphylococcus lainnya idak.

Spesimen yang terkontaminasi dengan flora campuran dapat dibiakkan di medium yang mengandung

NaCl 7,5% ; gram menghambat pertumbuhan sebagian besar flora normal tetapi tidak menghambat S

aureus. Agar gram monitol digunakan untuk memindai S aureus yang berasal dari dinding.

d) Uji katalase

Setetes larutan hidrogen peroksida diletakkan di gelas objek, dan sedikit pertumbuhan bakteri yang

diletakkan di dalam larutan tersebut.Terbentuknya gelembung (pelepasan oksigen) menandakan uji yang

positif.

e) Uji Koagulase

Plasma kelinci (manusia) yang mengandung sitrat dan diencerkan 1:5 dicampurkan dengan biakan kaldu

atau pertumbuhan koloni pada agar dengan volume yangsama dan inkubasi pada suhu 37ºC. Tabung

plasma yang dicampur dengan kaldu steril disertakan sebagai kontrol.Jika terbentuk bekuan Prosedur

Kerja

• Cara Kerja Identifikasi Staphylococcus aureus

Penanaman media BAP(Blood Agar Plate) :

1) Siapkan alat dan bahan

2) Panaskan ose bulat sampai membara dari ujung sampai pangkal, kemudian didiamkan ose bulat sampai

dingin di udara bebas.

3) Ambil kuman dan suspensi kuman menggunakan oce bulat

4) Goreskan kuman yang sudah ambil dengan cara zig-zag pada media BAP

5) Panaskan kembali ose bulat sampai membara

6) Inkubasi media BAP yang sudah ditanam kuman selama 24 jam pada suhu 37ºC

Interpretasi hasil:

• Warna koloni : Putih

• Bentuk koloni : Bulat kecil

• Permukaan koloni : Sedikit cembung


• Hemolisa : Alfa hemolisa (λ hemolisa) (Taufik, 2018)

Penanaman media MSA(Mannitol Salt Agar):

1) Siapkan alat dan bahan

2) Panaskan ose bulat sampai membara dari ujung sampai pangkal, kemudian didiamkan ose bulat sampai

dingin di udara bebas.

3) Ambil kuman dan suspensi kuman menggunakan oce bulat

4) Goreskan kuman yang sudah ambil dengan cara zig-zag pada media MSA

5) Panaskan kembali ose bulat sampai membara

6) Inkubasi media MSA yang sudah ditanam kuman selama 24 jam pada suhu 37ºC

Interpretasi hasil:

• Warna koloni : Kuning

• Fermentasi manitol : (+)

(Taufik, 2018)

a) Pewarnaan Gram:

1. Siapkan alat dan bahan

2. Teteskan 1 tetes NaCl pada gelas objek

3. Panaskan ose bulat sampai membara, biarkan dingin

4. Ambil suspensi kuman dan campur dengan NaCl buat sediaan

5. Panaskan kembali ose bulat sampai membara, biarkan dingin

6. Keringkan dan fiksasi

7. Warnai dengan gram I (genti violet) selama 1 menit, lalu bilas dengan air keran

8. Warnai dengan gram II (lugol) selama 1 menit, lzlu bilas dengan air kran

9. Lunturkan dengan gram (alkohol) 96% lalu bilas dengan air keran

10. Warnai denga gram IV (safranin) lalu bilas dengan air kran

11. Keringkan

12. Teteskan minyak imersi pada sediaan di gelas objek


13. Amati di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100x

Interpretasi hasil:

 Bentuk : Coccus

 Warna : Ungu

 Susunan : Menyebar

 Sifat : Gram Positif (+) (Taufik, 2018)

Tes Katalase

1) Siapkan alat dan bahan

2) Fiksasi gelas objek

3) Teteskan 1 tetes H2O2 pada slide

4) Ambil koloni pada media menggunakan aplikator Ambil koloni yang

memngkinkan Staphylococcus aureus dari media blood agar lalu letakkan

diatas larutan hidrogen peroksida.

5) Amati yang terjadi.

Interprestasi hasil:

Positif : Terbantuk gas

Negatif : Tidak terbantuk gas

Tes Koagulase:

1. Siapkan alat dan bahan

2. Panaskan ose bulat sampai membara dari ujung sampai pangkal, biarkan dingin.

3. Fiksasi gelas objek

4. Teteskan plasma sitrat

5. Ambil suspense kuman pada media, dicampur

6. Dilihat adanya benang fibrin yang terbentuk

dalam 1-4 jam, tes ini positif(Jawetz, 2008).


3.1.5.PENGAMATAN MORFOLOGI KUMAN

dibuat preparat dari koloni kuman yang tumbuh pada media diferensial dan dilakukan

pewarnaan Gram.

Bakteri penghasil pus (nanah) yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella spp.,

Pseudomonas spp., Escherichia coli, dan Streptococcus spp, dimana Staphylococcus aureus merupakan

bakteri tersering yang menghasilkan pus (nanah) pada luka (Kumar, 2013).
BAB III

KESIMPULAN

Analisa sel spermatozoa adalah pemeriksaan yang di lakukan pada pria untuk menilai

adanya gangguan pada sperma. Spermatozoa memiliki tiga bagian, terdiri dari kepala yang

ditudungi oleh akrosom, bagian tengan dan ekor. Proses pembentukan spermatozoa melalui 3

tahapan yaitu proses mitotik, meiosis dan pengemasan. Kelainan spermatozoa dilakukan

pemeriksaan melalui metode Analisa spermatozoa. Pemeriksaan ini di lakukan secara

makroskopik dan mikrospkopik. Pada pemeriksaan makroskopik di lakukan pemeriksaan

volume, pH, viskositas, liquefaksi, warna, bau, dan koagulum.adapun pemeriksaan kima dan

pemeriksaan khusu lainya, Pada pemeriksaan mikroskopis dilakukakn perhitungan jumlah

spermatozoa per lapangan pandang, pergerakan / motilitas dan morfologi. Hasil dari pemeriksaan

secara makroskopis dan mikroskopis di laporakan dalam ringkasan hasil pemeriksaan Analisa

spermatozoa Kelainan spermatozoa yaitu aspermia, azoospermia, hypospermia, hyperspermia,

oligozoospermia, asthenozoospermia, teratozoospermia, necrozoospermia, leucospermia,

haemospermia.

Nanah (PUS) merupakan massa setengah cairan yang kental, berwarna putih kekuningan atau putih

kehijauan dan berbau tidak sedap. Nanah terdapat pada bisul, kudis, luka yang terinfeksi bakteri, dan

sebagainya,Bakteri penghasil pus (nanah) yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella

spp., Pseudomonas spp, Escherichia coli, dan Streptococcus spp


DAFTAR PUSTAKA

Irianto,K. (2013). Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology). B andung: Alfabeta.2016 Jawetz

(2008). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Gandosoebrata R. 2016. Penuntun Laboratorium Klinik. 16th Edition. Jakarta: Dian Rakyat 171-

5P.

Guyton CA, Hall JE. 2007. Textbook of medical physiology. 11th Edition. Rachman LY et al.

Editor. Jakarta:ECG. 798-98p

Lopez, A, et al. 1987. Suitability of solid-phase chemistry for quantification of leukocytes. In:

Cerebrospinal, Seminal and Peritoneal Fluid. 33(8). Clin Chem. 1475–1476p.

Oka TG. 1998. Penuntun Praktikum Patologi Klinik. Bagian Patologi Klinik Fakultas

kedokteran universitas udayana.Denpasar

Overstreet JW, Katz DF. 1987. Semen analysis. 14(3). Urol Clin North Am. 441-9p.Putra

CB,Manuaba IB. 2017. Gambaran Analisa Sperma Di Klinik Bayi Tabung Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Tahun 2013. 6(5). E.Jurnal Medika. 1-5p.

Sarhar S. 2011. Andrology laboratory and fertility assessment. In: Henry JB. Editor. Clinical

Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22th Edition.

Philadelphia:Elsevier Saunders.

Sherwood L. 2016. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th. Edition. Ong OH, Mahode AA,

Rahmadani D. Editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 782-803p

Anda mungkin juga menyukai