Anda di halaman 1dari 17

ANTIBODI ANTISPERMA

Makalah

Oleh :

Wa Ode Siti Hajar Yustika (Pbd21.112)


Winartin (Pbd21.113)
Yesi Surya Ningsih (Pbd21.114)
Yulia Puspita Sari (Pbd21.115)

Pembimbing :
dr. Irma

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PELITA IBU

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG SI KEBIDANAN

2021

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim segala puji dan syukur penulis kepada Allah


subhanahu wa ta’ala karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “antibodi antisperma”
dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada pembimbing kami dr. Andi Nurmawanti atas segala bimbingan serta
arahannya dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa pada proses pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan berikutnya sangat penulis
harapkan. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas
bantuan dan perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.
Kendari, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan............................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi.......................................................................................... 3
B. Komponen Sperma ....................................................................... 3
C. Epidemiologi ................................................................................. 6
D. Etiologi ........................................................................................ 6
E. Tes Klinis Semen dan Sperma ...................................................... 7
F. Tatalaksana .................................................................................... 12
BAB III. METODE PENGUMPULAN DATA
A. Simpulan........................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ketika manusia dilahirkan, maka ia telah dibekali dengan suatu sistem
yang dapat melindungi dirinya terhadap serangan kuman penyakit, dan jasad
asing lainnya sistem ini terdiri atas berbagai macam sel dan molekul protein,
sanggup membedakan antara self antigen dan nonself antigen. Sistem ini
dikenal dengan sistem imunologis, dan secara garis besar dapat dibagi dalam
dua bagian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang laimya, yaitu
sistem imunitas selluler dan sistern imunitas humoral. Sistem imunitas
humoral mempunyai mekanisme eferan yang dibawakan oleh suatu molekul
anti bodi yang beredar secara pasif disirkulasi darah, dan dapat berdifiusi ke
berbagai cairan tubuh, seperti cairan traktus reproduksi (zulfitri, 2006).
Spermatozoa adalah sel yang memiliki sedikit sitoplasma dan organel. Untuk
dapat membuahi oosit, sperma harus berbentuk normal dan bergerak secara
progresif (Pujianto, 2018).
Spermatozoa mempunyai sifat seperti antigen karena adanya
autoantigen seperti Spermatozoa Coating Antigen (SCA), plasma membrane
antigen, akrosomal antigen, sitoplasma, dan mitokondria antigen serta inti sel
antigen. Spermatozoa mempunyai protein atau reseptor untuk ikatan dengan
zona pelusida yaitu galaktosiltrasferase, D manosidase, protein tyrosinkinase,
dan lektin. Antibodi terhadap sperma terbentuk karena adanya respons imun
setelah penyuntikan ekstrak testis dan dapat bereaksi dengan spermatozoa
dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda. Imunisasi
spermatozoa akan menginduksi produksi antibodi terhadap spermatozoa yang
akan menyelubungi antigen pada kepala dan ekor spermatozoa yang akan
mengganggu proses kapasitasi sehingga menghambat terjadinya reaksi
akrosom, akibatnya kemampuan fertilisasi berkurang (triana, 2007).

1
Antibodi terhadap spermatozoa memengaruhi sistem reproduksi yaitu
terhadap: spermatogenesis, transpor spermatozoa, daya tahan hidup
spermatozoa, interaksi garnet dan daya tahan hidup embrio (triana, 2007).
Antibodi antisperma (ASA) yang ada dalam serum darah, plasma mani, dan
saluran reproduksi wanita telah lama diduga mengganggu fungsi sperma
(Pujianto, 2018).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari antibodi antisperma
2. Apakah yang menyebabkan terjadinya antobodi antisperma
3. Bagaimana tatalaksana pada pasien yang mengalami antibodi antisperma
C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi dari antibodi antisperma
2. Mengetahui penyebab terjadinya antibodi antisperma
3. Mengetahui penatalaksanaan pasien antibodi antisperma

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
1. Antibodi adalah molekul imunoglobulin yang mempunyai suatu rantai
asam amino spesifik yang hanya berinteraksi dengan antigen yang
menginduksi sintesis molekul ini di dalam sel-sel limfoid (khususnya sel
plasma) atau dengan antigen yang sangat erat hubunganya dengan antigen
tersebut
2. Spermatozoa adalah sel benih jantan matang yang khusus dihasilkan oleh
testis. Sel ini merupakan unsur generatif semen yang bertugas membuahi
ovum dan mengandung informasi genetik untuk dihantarkan ke zigot oleh
yang jantan (Elseria, 2010)
3. Antibodi antisperma adalah antibodi yang menyerang sperma terjadi
ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menganggap sperma sebagai
musuh kemudian merusak dan membunuhya.
B. KOMPONEN SPERMA
Spermatozoa dibentuk dalam tubuliseminiferis yang berada didalam
testis. Tubulus ini berisi rangkaian yang kompleks, yaitu perkembangan atau
pembelahan sel dari sel germinal sampai dengan terbentuknya spermatozoa
atau gamet jantan. Bentuk spermatozoa yang sempurna merupakan sel yang
memanjang yang terdiri dari kepala yang tumbul didalamnya terdapat nukleus
atau inti dan ekor yang mengandung apparatus untuk pergerakan sel
(susilawati, 2011).
1. Kepala
Kepala spermatozoa bentuknya bulat telur dengan ukuran panjang 5
mikron, diameter 3 mikron dan tebal 2 mikron yang terutama dibentuk
oleh nukleus berisi  bahan-bahan sifat penurunan ayah. Kepala sperma
mengandung nukleus (Susilawati, 2011).

3
Bagian ujung kepala atau pada bagian anterior kepala spermatozoa
terdapat akrosom, suatu struktur yang berbentuk topi yang menutupi dua
per tiga bagian anterior kepala dan mengandung beberapa enzim hidrolitik
antara lain; hyaluronidase, proakrosin, akrosin, esterase, asam hidrolase
dan corona Penetrating enzim (CPE) yang semuanya penting untuk
penembusan ovum sel telur, pada proses fertilisasi. Jumlah kromosom
spermatozoa adalah haploid atau setengah dari sel somatik, sel
spermatozoa yang haploid ini dihasilkan dari pembelahan secara meiosis
sel yang terjadi selama pembentukan spermatozoa atau proses
spermatogenesis (susilawati, 2011).
Pada kepala spermatozoa terdapat akrosom tipis, lapisan membran
yang menutupi ini terbentuk pada saat proses pembentukan spermatozoa
pada akrosom berisi beberapa enzim hidrolitik antara lain proacrosin,
hyaluronidase, esterase dan hydrolase acid yang dibutuhkan pada proses
fertilisasi (susilawati, 2011).

Gambar 1. Potongan sagital kepala spermatozoa (susilawati, 2011).


2. Ekor
Ekornya berukuran panjang 40–50 μm (hampir sepuluh kali lipat
panjang kepala) dan memberikan motilitas untuk sel. Itu seluruh alat
motilitas sel sperma terkandung di dalam ekor, mendorong tubuh sperma
melalui gelombang yang dihasilkan di leher wilayah yang melewati distal
dengan cara whiplash (Durairajanayagam, 2015).

4
Ekor spermatozoa dibagi menjadi leher, bagian tengah, pokok dan
akhir. Leher menghubungkan bagian basal plate bagian posterior dan
bagian terbawah dari nukleus. Bagian basal plate pada bagian leher
berlanjut sampai akhir dengan sembilan serabut kasar yang mengeras pada
seluruh bagian ekor (susilawati, 2011).
Inti bagian tengah ekor bersama dengan seluruh bagian ekor
membentuk aksonema. Aksonema ini terdiri dari sembilan pasang
mikrotubulus yang tersusun disekitar pusat filamen. Pada bagian tengah,
susunan mikrotubulusnya adalah 9+2 yang dikelilingi oleh sembilan
serabut kasar padat yang berhubungan dengan sembilan padang aksonema.
Aksonema dan fiber yang padat pada bagian tengah, sekelilingnya
dibungkus oleh mitokondria. Pembungkus mitokondria ini tersusun berupa
pilinan yang mengelilingi serabut longitudinal ekor, mitokondria
menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pergerakan spermatozoa.
Pembungkus mitokondria ini berakhir di anulus (susilawati, 2011).
Bagian pokok yang merupakan lanjutan dari annulus dan memanjang
mendekati bagian akhir ekor, terdiri dari aksonema yang terpusat dan
bergabung dengan serabut kasar. Lapisan fibrous diperkirakan
memberikan stabilitas untuk gerakan ekor. Bagian akhir merupakan batas
posterior dari lapisan fibrous yang hanya berisi aksonema yang dilapisi
membran plasma (susilawati, 2011).

Gambar 2. Aksonema spermatozoa (susilawati, 2011).

5
Gambar 3. Mitokondria pada bagian leher spermatozoa diamati dengan transmisi
elektron mikroskop (TEM) (susilawati, 2011).
C. EPIDEMIOLOGI
Bisa jadi diasumsikan jika lebih dari 10% spermatozoa terikat antibodi.
Imunoglobulin ini dapat ditemukan pada pria dan wanita dan serum, air mani
dan lendir serviks. Insiden autoimunitas sperma pada pasangan infertil adalah
9- 36 persen, dibandingkan dengan 0,9-4 persen pada populasi subur. Insiden
autoimunitas sperma di subur pasangan adalah 9-36% berbeda dengan 0,9-4%
pada populasi subur. Insiden deteksi antibodi sperma pada pria subur 8-21%.
Penyebab imunologis dapat berkontribusi pada 5-15% faktor infertilitas pria
(ali, 2019).
Penelitian lain mengatakan Prevalensi pria subur dengan anti sperma
positif antibodi adalah 14,5%, serupa dengan yang dilaporkan di literatur
pasangan dengan antibodi anti-sperma positif dengan prevalensi mulai dari
8,1 hingga 30,3%, namun, Kehadiran mereka telah dilaporkan juga pada
pasangan subur 1,2 sampai 19% (cardena, 2019)
D. ETIOLOGI
Faktor risiko utama yang terkait dengan keberadaan antibodi anti-
sperma adalah varikokel dan testis yang dapat ditarik (retracable testis).
Kerusakan apa pun pada sawar darah-testis seharusnya diduga sebagai faktor
risiko pengembangan antibodi sperma, termasuk peningkatan suhu dan
infeksi skrotum, tingkat anti-sperma positif antibodi lebih tinggi pada pasien
dengan prostatitis kronis Pria yang menjalani vasectomy juga memiliki
kecenderungan timbul antibodi antisperma (cardena, 2019).

6
E. TES KLINIS SEMEN DAN SPERMA
1. Pemeriksaan antibodi antisperma
a. Immunobead Method
Antibodi yang terdapat diperumakaan sperma dapat dideteksi
dengan menggunakan metode ini. Immunbead method merupakan
polyacrilamide speheres yang berikatan kovalen dengan anti-human
immunoglobulin kelinci. Adanya antibodi Ig G, Ig A dan Ig M dapat
diperiksa secara silmultan dengan pemeriksaan ini (WHO, 2010).
Spermatozoa yang telah dicuci dan bebas dari cairan seminal
disentrifugasi dan diresuspensi dalam buffer. Suspensi sperma
kemudian dicampur dengan suspensi dari imunobead. Preparat
kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaar 400x. Saat
spermatozoa berenang melewati suspensi , imunobead adhere pada
spermatozoa motil yang memiliki ikatan antibodi dipermukaannya.
Proporsi spermatozoa tersebut serta kelas antibodinya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan imunobead yang lain tes dianggap positif apabila
20% dari total spermatozoa memiliki ikatan imunobead (WHO, 2010).
b. mixed antiglobulin reaction test (MAR TERT)
mixed antiglobulin reaction test (MAR) adalah tes skrining yang
murah, cepat dan sensitif, tetapi memberikan informasi yang lebih
sedikit daripada tes immunobead langsung. Dalam tes MAR, antibodi
"penghubung" (anti-IgG atau anti-IgA) digunakan untuk membuat
manik-manik berlapis antibodi bersentuhan dengan spermatozoa yang
tidak dicuci dalam IgG atau IgA permukaan bantalan semen. Uji IgG
dan IgA MAR langsung dilakukan dengan mencampurkan semen segar
yang tidak diolah secara terpisah dengan partikel lateks (manik-manik)
atau sel darah merah yang diberi perlakuan dilapisi dengan IgG atau
IgA manusia. Untuk suspensi ditambahkan monospecifi c anti-human-
IgG atau anti human-IgA. Pembentukan aglutinasi campuran antara
partikel dan spermatozoa motil menunjukkan adanya antibodi IgG atau

7
IgA pada spermatozoa. (Aglutinasi antara manik-manik berfungsi
sebagai kontrol positif untuk pengenalan antibodi-antigen.)
1) Prosedur
a) Campur sampel semen dengan baik.
b) Hapus replicate aliquots dari 3,5 mikroliter semen dan tempatkan
pada slide mikroskop terpisah.
c) Sertakan satu slide dengan 3,5 mikroliter semen ASA-positif dan
satu dengan 3,5 mikroliter dari semen negatif ASA sebagai
kontrol di setiap tes langsung. Air mani ini harus masing-masing
dari pria dengan dan tanpa antibodi anti-sperma, seperti yang
ditunjukkan pada tes MAR langsung sebelumnya. Sebagai
alternatif, spermatozoa positif dapat diproduksi dengan inkubasi
dalam serum yang diketahui mengandung antibodi.
d) Tambahkan 3,5 mikroliter partikel lateks berlapis IgG (manik-
manik) ke setiap tetesan semen uji dan kontrol, dan aduk dengan
diaduk menggunakan ujung pipet.
e) Tambahkan 3,5 mikroliter antiserum terhadap IgG manusia ke
setiap campuran manik-manik semen, dan aduk dengan diaduk
menggunakan ujung pipet.
f) Tutup suspensi dengan kaca penutup (22 mm × 22 mm) untuk
memberikan kedalaman kira-kira 20 mikrometer.
g) Simpan slide secara horizontal selama 3 menit pada suhu kamar
di ruang lembab (misalnya pada kertas filter jenuh air dalam
cawan Petri tertutup) untuk mencegah kekeringan.
h) Periksa sediaan basah dengan optik kontras fase pada pembesaran
× 200 atau × 400 setelah 3 menit dan sekali lagi setelah 10 menit
i) Ulangi prosedur menggunakan IgA- sebagai pengganti manik-
manik berlapis IgG dan anti-IgA sebagai pengganti antibodi anti-
IgG (WHO, 2010.
2) Skor

8
Jika spermatozoa memiliki antibodi di permukaannya, manik-
manik lateks akan menempel padanya. Spermatozoa motil awalnya
akan terlihat bergerak dengan beberapa atau bahkan sekelompok
partikel yang menempel. Akhirnya aglutinasi menjadi begitu masif
sehingga pergerakan spermatozoa sangat dibatasi. Sperma yang tidak
memiliki antibodi pelapis akan terlihat berenang bebas di antara
partikel-partikel tersebut. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk
menentukan persentase spermatozoa motil yang memiliki manik-
manik yang melekat padanya. Masalah umum terjadi dengan NP
spermatozoa yang dekat dengan manik-manik, tetapi tidak terpasang.
Apakah manik-manik terikat sering kali dapat diverifikasi dengan
mengetuk penutup kaca secara perlahan dengan ujung pipet kecil:
pergerakan manik-manik bersama dengan spermatozoa aktif
merupakan indikasi pengikatan positif (WHO,2010).
a) Skor hanya spermatozoa motil dan tentukan persentase
spermatozoa motil yang memiliki dua atau lebih partikel lateks
yang menempel. Abaikan pengikatan ujung ekor.
b) Evaluasi setidaknya 200 spermatozoa motil di setiap ulangan,
untuk mencapai kesalahan pengambilan sampel rendah yang
dapat diterima
c) Hitung persentase spermatozoa motil yang memiliki partikel yang
menempel.
d) Catat kelas (IgG atau IgA) dan tempat pengikatan partikel lateks
ke spermatozoa (kepala, bagian tengah, potongan utama).
Abaikan pengikatan ujung ekor. (WHO,2010)

Tabel 1. Penilaian/skor MAR (WHO, 2010)

9
2. Morfologi sperma yang ketat
Implikasi klinis dari morfologi yang buruk masih kontroversial.
Studi awal mengevaluasi kegunaan morfologi sperma yang ketat dalam
memprediksi tingkat pembuahan selama FIV menggunakan skor lebih
besar dari 14%. Namun, penelitian selanjutnya melaporkan tingkat
pembuahan yang terendah untuk pasien dengan skor morfologi kurang dari
4%. Tingkat kehamilan juga telah dilaporkan suboptimal dengan skor yang
lebih rendah, tetapi beberapa penelitian barubaru ini melaporkan tidak ada
hubungan antara morfologi dan hasil FIV (Amelia, 2019).
Hubungan antara skor morfologi dan tingkat kehamilan dengan
inseminasi intrauterin (IUI) dan hubungan seksual telah diperiksa. Namun,
tidak ada konsensus tentang implikasi skor morfologi yang buruk.
Selanjutnya, interpretasi morfologi sperma bervariasi dari laboratorium ke
laboratorium. Namun, kelainan morfologis tertentu yang langka, seperti
sperma tanpa akrosom, sangat prediktif terhadap kegagalan membuahi sel
telur. Namun, dalam banyak kasus, pembuahan dan kehamilan sangat
mungkin terjadi bahkan dengan skor morfologi yang sangat rendah
(Amelia, 2019).
3. Kuantisasi Leukosit dalam semen
Peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih) dalam semen telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi dan motilitas sperma. Di bawah
mikroskop, baik leukosit dan sel-sel imatur yang belum matang tampak
serupa dan secara tepat disebut “round cells.” Laboratorium harus
memastikan bahwa kedua jenis sel tersebut dievaluasi untuk membedakan
antara kemungkinan infeksi dan sperma yang belum matang. Berbagai tes
tersedia untuk membedakan leukosit dari sel spermas yang belum matang.
Pria dengan piospermia (lebih dari 1 juta leukosit per mililiter) harus
dievaluasi untuk infeksi atau peradangan saluran genital. Kultur semen
juga dapat bermanfaat untuk menentukan keberadaan adanya
mikroorganisme (Amelia, 2019).

10
4. Tes interaksi sperma-serviks lendir
Tes postcoital adalah pemeriksaan mikroskopis dari lendir serviks
yang dilakukan sebelum ovulasi yang diharapkan dan dalam beberapa jam
setelah hubungan seksual untuk mengidentifikasi adanya sperma motil
dalam lendir. Ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor serviks yang
berkontribusi terhadap infertilitas. Pemeriksaan dapat menunjukkan bukti
nyata terdapat peradangan serviks yang selanjutnya dapat ditatalaksana.
Meskipun nilainya telah dipertanyakan secara serius, beberapa dokter
masih menganggapnya sebagai tes diagnostik yang berguna karena dapat
membantu mengidentifikasi teknik koital yang tidak efektif atau masalah
serviks (Amelia, 2019).
5. Intergritas DNA
Uji "TUNEL" digunakan untuk menilai fragmentasi DNA. Pengujian
integritas DNA mengacu pada berbagai tes yang digunakan untuk
mengevaluasi tingkat fragmentasi DNA sperma. Penilaian integritas DNA
sperma telah dievaluasi dalam korelasi kemampuan untuk hamil dengan
hubungan seksual, IUI, FIV, dan FIV menggunakan ICSI. Studi
menunjukkan tingkat kehamilan yang lebih rendah secara statistik
signifikan pada pasien dengan gangguan integritas DNA sperma.
Meskipun demikian, banyak pasangan dengan integritas DNA sperma
terganggu hamil melalui hubungan seksual Satu penelitian besar
menunjukkan bahwa integritas DNA abnormal dalam sampel yang
digunakan untuk IUI adalah memprediksi tingkat kehamilan (Amelia,
2019).
Sebagian besar penelitian telah memeriksa nilai prediktif pengujian
integritas DNA sperma dalam FIV rutin dan FIV menggunakan ICSI.
Metaanalisis dari studi yang diterbitkan telah menemukan efek prediksi
kecil, signifikan secara statistik dari hasil integritas DNA pada tingkat
kehamilan untuk FIV dengan atau tanpa ICSI. Data menunjukkan bahwa
pengujian integritas DNA mungkin bermanfaat dalam mengidentifikasi
mereka yang berisiko mengalami keguguran berulang (Amelia, 2019).

11
F. TATALAKSANA
Terdapatnya antibodi sperma dapat dideteksi pada permukaan sperma
atau dalam cairan mani dengan tes imunobead atau reaksi campuran
antiglobulin. Glukokortikoid telah digunakan pada pasien tersebut. Prednison
dosis tinggi terus menerus atau intermiten hingga 6 bulan telah menunjukkan
dalam placebo-controltrials untuk meningkatkan kehamilan secara signifikan.
Namun, ada efek samping dari terapi kortikosteroid dosis tinggi termasuk
nekrosis aseptik caput femoralis. Akibatnya, sebagian besar pasangan
mencoba ART, seperti ICSI (Amelia, 2019).

12
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
1. Antibodi antisperma adalah antibodi yang menyerang sperma terjadi ketika
sistem kekebalan tubuh secara keliru menganggap sperma sebagai musuh
kemudian merusak dan membunuhya
2. Faktor risiko utama yang terkait dengan keberadaan antibodi anti-sperma
adalah varikokel dan testis yang dapat ditarik (retracable testis).
3. Prednison dosis tinggi terus menerus atau intermiten hingga 6 bulan telah
menunjukkan dalam placebo-controltrials untuk meningkatkan kehamilan
secara signifikan. Namun, ada efek samping dari terapi kortikosteroid
dosis tinggi termasuk nekrosis aseptik caput femoralis.

13
DAFTAR PUSTAKA
Amelia L, Rahmanisa S. 2019. Evaluasi dan Manajemen Infertilitas Pria. JIMKI
7(2): 105-114.
Cardena, dkk. 2019. Prevalence of Anti-Sperm Antibodies, Risk Factors
Associated and Their Impact on Spermatobioscopy in Infertile Men.
International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and
Gynecology 8(4): 1240-1245.
Durairajanayagam D, dkk. 2015. Sperm Biology from Production to Ejaculation.
LLC 5: 29-42
Elseria R N, dkk. 2012. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. EGC Medical
Publisher. Jakarta
Jewad A K M, Alkhafji E R, Ali N H. 2019. Correlation of Antisperm Antibodies
with Trace Elements in Seminal Fluid of Immunologic Infertile Men.
Annals of Tropical Medicine & Public Health 22(6): 1-10.
Pujianto D A, dkk. 2018. Antisperm Antibodies Disrupt Plasma Membrane
Integrity and Inhibit Tyrosine Phosphorylation in Human Spermatozoa.
Medical Journal of Indonesia 27(1): 3-11.
Susilawati T. 2011. Sel Spermatozoa. Spermatologi. Universitas Brawijaya Press.
Malang
Triana I N. 2007. Potensi Antibodi Spermatozoa terhadap Spermatogenesis dan
Fertilisasi pada Tikus Putih. Berk Penel 12: 187-189.
World Health Organization. 2010. World Health Organization Manual for the
Examination and Processing of Human Semen Fifth Edition. Ganeva
Switzerland.
Zulfitri. 2006. Metode Pendeteksian Ifnfertilitas Imunologik pada Pria. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala 6(2): 101-107

14

Anda mungkin juga menyukai