Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM PROYEK ANATOMI DAN FISIOLOGI

HEWAN (BI2103)

REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) DAN MANUSIA


(Homo sapiens)

Tanggal Praktikum: 25 September 2019


Tanggal Pengumpulan: 2 Oktober 2019

Disusun oleh:
Vergio Victorio Effendy
10618064
Kelompok 8

Asisten:
Titin Alfiani
(10617053)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reproduksi adalah suatu aktivitas ataupun proses untuk menghasilkan


keturunan dengan perbanyakan diri guna menyokong keberlangsungan eksistensi
suatu organisme (Reece et al., 2013). Proses reproduksi memiliki banyak cara,
baik itu secara aseksual maupun seksual. Reproduksi secara seksual dapat terjadi
melalui pertemuan kelamin jantan dengan betina dan di dalam organ reproduksi
betina, sel gamet jantan (sperma) bertemu dengan sel gamet betina (ovum) lalu
terjadi fertilisasi. Sel gamet sendiri dihasilkan oleh gonad. (Tortora & Grabowski,
1996).

Untuk dapat menghasilkan keturunan (offspring), baik organisme jantan


maupun betina harus fertil. Hal ini berarti, baik jantan ataupun betina harus
memiliki potensi dan kapabilitas untuk bereproduksi. Kualitas gamet yang
dihasilkan harus berada dalam kondisi prima untuk meningkatkan peluang
terjadinya fertilisasi. Fertilitas manusia sendiri pada umumnya bergantung pada
faktor ekonomi, gizi, hormon, gaya hidup, budaya dan kondisi psikologis. Jika
suatu organisme tidak mampu bereproduksi secara alamiah, misalnya manusia
tanpa alat kontrasepsi pun sulit, maka disebut infertil (Chowdury et al., 2017).

Karena fertilitas penting bagi keberlangsungan hidup suatu organisme,


untuk dapat mengujinya dapat digunakan metode analisis semen. Analisis ini
adalah suatu instrumen diagnostik evaluasi yang signifikansinya besar untuk
menentukan tingkat fertilitas. Informasi yang diperoleh dari analisis semen dapat
digunakan untuk kebutuhan medis dalam menentukan pengobatan dan perawatan
yang tepat untuk mengatasi permasalahan infertilitas (Keel, 1979).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Menentukan anatomi, lokasi, dan nama-nama organ penyusun sistem
reproduksi pada mencit jantan.
2. Menentukan kualitas sperma mencit (Mus musculus) berdasarkan
parameter makroskopis (pH) dan mikroskopis (morfologi, motilitas,
konsentrasi sperma).
3. Menentukan kualitas sperma manusia (Homo sapiens) berdasarkan
parameter makroskopis (pH, volume, warna, bau, aglutinasi) dan
mikroskopis (morfologi, motilitas, konsentrasi sperma).
i.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Reproduksi Mamalia Jantan

Pada mamalia jantan, organ reproduksi terbagi menjadi tiga berdasarkan


fungsinya. Gonad, yaitu testis memiliki fungsi utama untuk menghasilkan sperma
dan hormon reproduksi. Pada testis terdapat saluran tempat sperma dihasilkan,
yaitu seminiferous tubules. Testis terletak di scrotum yang menjaga suhu testis
selalu rendah dari tubuh. Kemudian terdapat beberapa organ aksesoris dan saluran
berfungsi untuk menghasilkan sekret yang akan melindungi gamet dan
memfasilitasi pergerakannya. Seminal vesicles, prostate, dan bulbourethral
(cowper) berfungsi memproduksi semen. Pada semen terkandung fruktosa,
mukus, enzim, dan berbagai protein. Penyaluran sel gamet jantan ke betina
dilakukan melalui struktur penyokong seperti penis pada jantan (Reece et al.,
2013; Tortora & Grabowski, 1996).

2.2 Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah sebuah proses pembentukan sel sperma terdiri


dari tiga tahap, yaitu mitosis, meiosis I, dan meiosis II. Perbedaannya yang
membedakan antara mitosis dan meiosis di spermatogenesis, pada mitosis adalah
duplikasi sel induk menjadi sel anakan dengan jumlah kromosom berpasangan
(diploid – 2n). Namun, pada meiosis pembelahan mengakibatkan reduksi pada
jumlah kromosom menjadi setengah (haploid – 1n). Jadi, prosesnya dalam
pembelahan mitosis, sel punca sperma (spermatogonial stem cell) membelah
menjadi spermatogonium (2n) atau tetap menjadi sel primordial. Kemudian
spermatogonium (2n) membelah menjadi spermatosit primer (2n). Lalu ketika
memasuki fase pembelahan meiosis I, spermatosit primer (2n) membelah menjadi
spermatosit sekunder (n). Setelah meiosis I berakhir dan masuk dalam meiosis II,
spermatosit sekunder (n) membelah menjadi spermatid (n) dan perkembangan
spermatid seterusnya menjadi sperma (n) (Sherwood, 2014).

2.3 Analisis Sperma dan Terminologinya

Dalam analisis sperma, terdapat beberapa istilah terkait dengan parameter


dan hasilnya. Misalnya dalam parameter, digunakan beberapa terminologi seperti
morfologi, motilitas, dan konsentrasi. Morfologi berhubungan dengan bentuk dan
ukuran sperma. Deskripsi morfologi dapat digunakan untuk menentukan kelainan
pada sperma. Motilitas berkaitan dengan pergerakan sel sperma baik secara
progresif, tidak progresif, maupun imotil (tidak bergerak sama sekali). Sedangkan
konsentrasi adalah hasil perhitungan yang akan mendeskripsikan jumlah sel
sperma dalam per mililiter semen (Vasan, 2011).

Kemudian terdapat beberapa terminologi terkait dengan hasil analisis


semen secara makroskopis dan sperma secara mikroskopis. Dalam analisis
makroskopis untuk volume semen, jika tidak terdapat semen sama sekali, kelainan
tersebut disebut aspermia., Kemudian jika terdapat volume semen kurang dari 0,5
mL, maka disebut hypospermia. Namun, jika yang terjadi adalah volume semen
lebih dari 6 mL, disebut sebagai hyperspermia (Vasan, 2011).

Apabila terkait dengan sel sperma baik secara motilitas, konsentrasi, dan
morfologinya, terdapat normozoospermia, azoospermia, asthenozoospermia,
teratozoopermia, oligozoospermia, haemospermia, leukospermia,
necrozoospermia dan variasi kombinasinya. Pada kelainan azoospermia, tidak
dijumpai sperma sama sekali dalam semen. Jika motilitas sperma tidak normal,
kelainannya disebut asthenozoospermia. Kelainan pada morfologi sperma seperti
cacat pada bagian head, midpiece, atau tail dapat digolongkan ke dalam
teratozoospermia (Neill et al., 2015; Krueger et al., 2004). Kemudian, jika
konsentrasi sperma di bawah batas referensi, disebut oligozoospermia. Pada
beberapa kasus, diagnosis haemospermia mendeskripsikan adanya eritrosit dalam
cairan ejakulat. Begitu juga dengan leukospermia ketika dideteksi keberadaan
leukosit dalam ejakulat dengan jumlah di atas ambang batas. Lalu
necrozoospermia menyatakan suatu kondisi ketika terdapat sedikit sperma dalam
keadaan hidup, banyak sperma dalam keadaan imotil. Berbeda dengan kelainan-
kelainan yang ada, normozoospermia adalah sebutan untuk keadaan sperma
dengan morfologi, motilitas, dan konsentrasi sama dengan atau lebih dari ambang
batas (WHO, 2010).

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Fertilitas Sperma

Kondisi sperma seseorang menentukan peluang kesuksesan fertilisasinya.


Namun, fertilitas sendiri dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, panas, zat
kimia, trauma fisik, dan kondisi psikologis (Kumar & Singh, 2015). Semakin tua,
potensi dihasilkannya sperma abnormal meningkat karena frekuensi fragmentasi
dan degenerasi DNA juga meningkat. Kemudian, sperma memang lingkungannya
bersuhu sekitar 2℃ lebih rendah daripada tubuh. Jika terdapat paparan panas
berlebih, sperma akan rusak dan kualitasnya menurun. Selain itu trauma fisik juga
berpotensi menyebabkan kerusakan pada jaringan testis, tempat produksi sperma.
Gangguan tersebut secara langsung memengaruhi fertilitas dari sperma yang akan
diproduksi. Lalu pada beberapa studi juga dijumpai bahwa stress dapat
berpengaruh pada kesehatan sistem reproduksi. Jadi, kondisi psikologis secara
tidak langsung memengaruhi fungsi fisiologis sistem reproduksi melalui sistem
endokrin.
BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

Pada modul ini digunakan beberapa alat dan bahan yang tersaji dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Alat dan bahan

Alat Bahan
Styrofoam Sperma manusia (Homo sapiens)
Set alat bedah Mencit jantan dewasa (Mus musculus)
Staining jar Larutan PBS
Kaca arloji Larutan Nigrosine
Mikroskop cahaya Larutan Eosin Y
Kaca objek Kertas pH
Counter Cover glass
Hemacytometer Minyak imersi
Botol film Kertas lensa
Pipet kaca Plastik limbah
Gloves
Masker
Tisu
Sabun cuci pusing

3.2 Cara Kerja

Berikut dijabarkan prosedur pengamatan sistem reproduksi mencit jantan,


pembuatan apusan sperma, dan analisis mikroskopis serta makroskopisnya.

3.2.1 Prosedur Pengamatan Sistem Reproduksi dan Isolasi Sperma Mencit

Pertama, mencit jantan didislokasi untuk dibedah. Kemudian, pembedahan


dimulai dari bagian ventral. Setelah bagian ventral mencit terbuka, diamati sistem
reproduksinya. Tahap selanjutnya adalah diisolasi vas deferens, epididymis, dan
testisnya serta dipindahkan ke kaca arloji berisi sembilan tetes larutan PBS. Organ
reproduksi yang telah diisolasi dicacah dan dilabeli sebagai campuran E1.

3.2.2 Prosedur Pembuatan Apusan Sperma Mencit

Campuran E1 yang berisi sperma mencit dan larutan PBS diteteskan di


salah satu ujung kaca objek. Kemudian, disiapkan kaca objek lain yang diberi
label. Pada kaca objek pertama yang di ujungnya terdapat tetesan sperma mencit,
di ujung lainnya diteteskan larutan Nigrosine-Eosine Y. Setelah itu apusan dibuat
dengan cara menggeserkan kaca objek lain dari sperma ke pewarna dan ke sperma
lagi hingga merata. Lalu kaca objek yang berisi apusan dikeringkan dan setelah
kering diamati di bawah mikroskop.

3.2.3 Prosedur Pembuatan Apusan Sperma Manusia

Sampel sperma manusia diteteskan satu tetes dan dicampur sembilan tetes
PBS pada kaca arloji. Selanjutnya disiapkan kaca objek yang diberi label.
Campuran sperma – PBS tadi diteteskan pada salah satu ujung kaca objek. Di
ujung lainnya diteteskan larutan Nigrosine – Eosine Y. Kemudian apusan dibuat
dengan cara menggeserkan kaca objek lain dari sperma ke pewarna dan sperma
lagi hingga merata. Setelah itu kaca objek dikeringkan dan diamati di bawah
mikroskop.

3.2.4 Prosedur Pengukuran Makroskopis Sperma Manusia

Sperma manusia diamati melalui parameter bau, warna, pH, dan ada atau
tidaknya aglutinasi. Untuk pengukuran pH dilakukan dengan cara diteteskan satu
tetes sperma ke kertas pH universal dan hasilnya dicocokkan dengan pH indikator.
Setelah itu hasil pengamatan berdasarkan parameter makroskopis dicatat.

3.2.5 Prosedur Pengamatan Morfologi Sperma

Preparat apusan sampel manusia yang telah dibuat sebelumnya diaati di


bawah mikroskop dengan perbesaran 1000X dengan bantuan minyak imersi.
Setelah sperma terlihat, dihitung jumlah morfologi normal dan abnormalnya.
Jumlah sperma minimal yang diamati adalah sebanyak 100 ekor. Setelah dihitung,
difoto hasil observasinya.

3.2.6 Prosedur Pengamatan Konsentrasi Sperma

Sperma akan diamati konsentrasinya dengan instrumen hemasitometer.


Pertama, hemasitometer ditutup dengan cover glass. Setelah itu dimasukkan
campuran sperma dengan akuades ke hemasitometer. Selanjutnya diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400X dan dihitung jumlahnya.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Pada bagian ini akan disajikan hasil pengamatan sistem reproduksi mencit jantan,
kenormalan dan abnormalitas sperma manusia dan mencit. Selain itu juga
diberikan perhitungan untuk analisis mikroskopis dan makroskopis sperma
manusia serta mencit.

4.1.1 Anatomi Organ Penyusun Sistem Reproduksi Mencit Jantan

Berikut ini disajikan tabel berisi gambar anatomi organ sistem reproduksi mencit
jantan (Mus musculus) dan perbandingannya dengan literatur.

Tabel 4.1 Sistem Reproduksi Mencit Jantan

Observasi Literatur
vas deferens seminal
vesicle
coagulum
gland
prostate
testis

Caput
epididymis
preputial
glands
cauda
penis
epididymis
Gambar 4.1 Anatomi Sistem Reproduksi Gambar 4.2 Anatomi Mus musculus Jantan
Literatur
Mus musculus Jantan
(Rowett, 1962)

4.1.2 Sperma Normal pada Manusia dan Mencit

Berikut ini di dalam Tabel X ditambilkan perbandingan antara sperma manusia


(Homo sapiens) dan mencit (Mus musculus). Parameter perbandingan adalah
morfologi sperma normal pada umumnya.
Tabel 4.2 Sperma Normal Manusia B1 dan Mencit

Manusia (B1) Mencit


tail midpiece
tail

midpiece
head

Gambar 4.3 Sperma Normal Manusia Gambar 4.4 Sperma Normal mencit
Perbesaran 1000X Perbesaran 1000X

4.1.3 Abnormalitas Sperma Manusia dan Mencit

Selain morfologi sperma normal, di bawah ini ditampilkan morfologi sperma pada
manusia atau mencit yang mengalami abnormalitas baik pada bagian head,
midpiece, atau tail.

Tabel 4.3 Sperma Abnormal Manusia (B1) dan Mencit

Manusia (B1) Mencit

head

Gambar 4.4 Abnormal giant head-defects Gambar 4.5 Abnormal missing head-defects
Perbesaran 400X Perbesaran 1000X

Gambar 4.6 Abnormal rounded head-defects Gambar 4.7 Abnormal bifurcated tail-defects
Perbesaran 400X Perbesaran 1000X
Gambar 4.8 Abnormal detached head-defects
Perbesaran 400X

Gambar 4.9 Abnormal bent midpiece-defects


Perbesaran 400 X

Gambar 4.10 Abnormal doubleheaded head-


defects
Perbesaran 400X

4.1.4 Indikator pH Sperma Manusia dan Mencit

Pada pengukuran makroskopis, di bawah ini disajikan hasil pengukuran pH


sampel sperma manusia dan mencit dengan menggunakan indikator pH universal.

Gambar 4.11 Indikator pH Sperma Manusia (B1)


Gambar 4.12 Indikator pH Sperma Mencit

4.1.5 Pengukuran Makroskopis Sperma Mencit dan Manusia

Berikut ini disajikan tabel hasil pengukuran makroskopis pada sampel sperma
manusia dan mencit berdasarkan parameter pH, bau, warna, aglutinasi, dan
volumenya.

Tabel 4.4 Pengukuran Makroskopis Sampel Sperma Manusia (B1) dan Mencit

Parameter Mencit Manusia (B1)


pH 6 7
Bau Basa, kaporit, amis
Warna Putih susu – putih abu
Aglutinasi Tidak ada
Volume >1.5mL

4.1.6 Pengukuran Mikroskopis Sperma Mencit

Disajikan Tabel 4.5 hasil analisis mikroskopis pada sperma mencit kelompok 8
yang meliputi persentase sperma dengan morfologi normal, motilitas, dan
konsentrasinya.

Tabel 4.5 Pengukuran Mikroskopis Sperma Mencit

Morfologi normal (%) Motilitas (%) Konsentrasi (jt/mL)

79 2,29 29

4.1.7 Data Analisis Sperma Manusia


Berikut ini disajikan tabel berisi hasil analisis mikroskopis sperma manusia
dengan jumlah tujuh sampel beserta diagnosisnya berdasarkan observasi yang
telah dilakukan.

Tabel 4.6 Kompilasi Analisis Mikroskopis Sperma Manusia

Sampel Morfologi Motilitas Konsentrasi Kesimpulan


normal (%) (%) (jt/mL)
A1 96,5 30,845 81,5 Asthenozoospermi
a
A2 50,5 49,6 85,75 Normozoospermia
B1 74 5,6 219 Asthenozoospermi
a
B2 68,215 19 19,3 Asthenozoospermi
a
C 77 29 36,25 Asthenozoospermi
a
D1 85 18 64 Asthenozoospermi
a
D2 85,105 22,2 96 Asthenozoospermi
a

4.1.8 Perhitungan

Untuk analisis mikoskopis sampel sperma, diperlukan kalkulasi untuk mencapai


konklusi. Pada perhitungan mikroskopis sperma manusia, disajikan dua kali
perhitungan karena kompilasi data satu meja. Berikut ini disajikan perhitungan
analisis sperma manusia dan mencit.

4.1.8.1 Sperma Manusia (B1)


Morfologi
Ditentukan persentase sperma dengan morfologi normal dan abnormal.
N1 = 100 ekor
87
Normal= × 100 %¿ 87 % ( 100−87 )
100 Abnormal= ×100 % 00
100
N2 = 314 ekor ¿ 13 %
217
Normal= ×100 %¿ 69 % 97
314 Abnormal= × 100 % 00¿ 31 %
100
Kemudian ditentukan rerata normal dan abnormalnya
(87+69) ´ (13+ 31)
´
Normal= ×100 %¿ 78 % Abnormal= × 100 %
2 2
¿ 22normal
Jadi, terdapat 78% sperma dengan morfologi % dan 22% sperma
dengan morfologi abnormal.

Konsentrasi
Konsentrasi ditentukan berdasarkan 5 kotak R pada hemasitometer.
5
N 1=∑ R i=124 ekor ∑sperma
i=1 Konsentrasi= × 106 d
faktor (mL)
Faktor pengenceran = 1 mL
juta sperma
¿ 124
mL
5
N 2=∑ R i=314 ekor ∑ sperma
i =1 Konsentrasi= × 106 d
faktor (mL)
Faktor pengenceran = 1 mL
juta sperma
¿ 314
mL
Kemudian, ditentukan reratanya
(124+314 ) juta sperma
´
Konsentrasi= ×106¿ 219
2 mL

Jadi, diperoleh konsentrasi sperma manusia (B1) adalah sebesar 219


juta sperma per mililiternya.

Motilitas
Ditentukan dengan cara diobservasi jumlah sperma yang aktif bergerak
dengan cepat, lambat, bergerak di tempat, dan sama sekali tidak
bergerak.
Dengan:
A = aktif bergerak, B = lambat, C = bergerak di tempat, dan D =
tidak bergerak sama sekali
A1 = 4 ekor, B1 = 4 ekor, C1 = 8 ekor, dan D1 = 184 ekor
A +B 4 +4
% Motilitas= × 100 %¿ ×100 %¿ 4,2 %
A+ B+C + D 4+ 4+ 8+184

Kemudian, dari percobaan kedua


A1 = 5 ekor, B1 = 2 ekor, C1 = 2 ekor, dan D1 = 89 ekor
A +B 5+2
% Motilitas = × 100 %¿ × 100 %¿ 7 %
A+ B+C + D 5+2+4 +89
Kemudian, ditentukan reratanya

´ ( 7+ 4,2 )
% Motilitas= × 100 %¿ 5,6 %
2
Jadi, motilitas sperma manusia (B1) adalah sekitar 5,6%.
4.1.8.2 Sperma Mencit
Morfologi
N1 = 58 ekor
45
Normal= × 100 %¿ 79 % ( 58−45 )
100 Abnormal= × 100 % 00¿ 21 %
100
Jadi, terdapat 78% sperma dengan morfologi normal dan 22% sperma
dengan morfologi abnormal.

Konsentrasi
Konsentrasi ditentukan berdasarkan 5 kotak R pada hemasitometer.
5
N 1=∑ R i=58 ekor ∑ sperma
i=1 Konsentrasi= × 106 d
faktor (mL)
Faktor pengenceran = 2 mL juta sperma
¿ 29
mL adalah sebesar 29 juta
Jadi, diperoleh konsentrasi sperma mencit
sperma per mililiternya.

Motilitas
Ditentukan dengan cara diobservasi jumlah sperma yang aktif bergerak
dengan cepat, lambat, bergerak di tempat, dan sama sekali tidak
bergerak.
Dengan:
A = aktif bergerak, B = lambat, C = bergerak di tempat, dan D = tidak
bergerak sama sekali
A = 0 ekor, B = 3 ekor, C = 1 ekor, dan D = 127 ekor
A +B 3
% Motilitas= × 100 %¿ ×100 % ¿ 2,29 %
A+ B+C + D 3+1+ 127
Jadi, motilitas sperma mencit adalah sebesar 2,29%.
4.1.9 Observasi Preparat Jaringan Organ Reproduksi

Berikut ini disajikan tabel berisi hasil pengamatan jaringan organ reproduksi
beserta perbandingannya dengan literatur.

Tabel 4.7 Observasi Jaringan Organ Reproduksi

Observasi Literatur
outer longitudinal
muscle adventitia

inner longitudinal
muscle middle
circular
muscle
lumen
stereocilia
mucosa pseudostratified
columnar
epithelium

blood vessels
Gambar 4.14 Jaringan Vas Deferens Homo
Gambar 4. 13 Jaringan Vas Deferens Rattus sapiens
Perbesaran 100X Perbesaran rendah
(Eroschenko, 2013)
basal cells

follicle

antrum
primordial
follicle
theca
interna
germinal
epithelium
theca
externa membrane
granulosa
cortex follicular
fluid
medulla

Gambar 4.15 Jaringan Ovarium Maccacus


Gambar 4.16 Jaringan Ovarium Homo
Perbesaran 40X
sapiens
Perbesaran rendah
(Eroschenko, 2013)
spermatozoa

lumen stereocilia

basal cells

smooth
epididymal muscle
duct
Gambar 4.18 Jaringan Epididymis Homo
Gambar 4.17 Jaringan Epididymis Rattus
Perbesaran 50X
Perbesaran 400X (Eroschenko, 2013)
(Resmila, 2019)
spermatids

lumen spermatogonia

leydig cell seminiferous Gambar 4.20 Jaringan Testis Primata


tubule
Gambar 4.19 Jaringan Testis Sus Perbesaran medium
Perbesaran 400X (Eroschenko, 2013)
(Resmila, 2019)
4.2 Pembahasan

Pada bagian ini akan dibahas beberapa hal sesuai dengan hasil pengamatan dan
perhitungan. Pembahasan akan meliputi pengukuran makroskopis dan
mikroskopis sperma manusia pada sampel B1 dan sperma mencit.

4.2.1 Makroskopis

Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dapat dilihat beberapa hal melalui


parameter pH, volume, bau, warna, dan aglutinasi. Parameter makroskopis ini
digunakan sebagai acuan kondisi fisiologis sistem reproduksi pada mencit atau
manusia jantan. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas sperma manusia (B1)
dan sperma mencit (Vasan, 2011).

Pertama, untuk rentang pH sperma normal adalah 7.2 – 8.2 (Haugen &
Grotmol, 1998). Sperma beserta cairan ejakulatnya, yaitu semen, pada umumnya
memang bersifat normal sampai basa. Kondisi basa ini ditentukan oleh sekresi
oleh kelenjar seminal vesicle dan prostate. Kandungan fosfat dan protein dalam
plasma seminal berperan sebagai buffering agent karena ketika dalam proses
kopulasi, sperma akan bertemu dengan kondisi asam yang dapat mengurangi
kapasitas dan performanya (Mann, 1964). Keadaan pH dengan rentang 7,2 – 8,2
ini akan menetralisasi keasaman tersebut. Pada peroleh data dalam sampel sperma
manusia B1 diperoleh bahwa pH-nya berada pada angka 7, tetapi tidak diketahui
secara akurat apakah mencapai batas bawah normal yang ditentukan oleh WHO
(Zhou, J et al., 2015). Jadi, kemungkinan masih dapat dinyatakan kondisi
spermanya relatif dalam kondisi yang normal. Namun, pada sperma mencit,
rentang pH sperma normal adalah 6,0 – 7,0 (Lisanti et al., 2016). Kemudian
didapati bahwa spermanya berada pada pH = 6. Jadi pada dua spesimen ini, secara
pengukuran pH, kondisi fisiologis seminal vesicle dan prostate-nya masih relatif
baik.

Kedua, pada pengukuran volume semen hanya manusia yang diobservasi.


WHO menetapkan bahwa batas bawah volume semen yang masih dianggap
normal adalah sebanyak 1,5 mL. Volume semen sangat memengaruhi konsentrasi
sel sperma di dalamnya (WHO, 2010). Seberapa banyak cairan ejakulat yang
dikeluarkan ditentukan oleh kondisi fisiologis dari kelenjar yang
memproduksinya, khususnya seminal vesicle. Pada sampel B1, volume semen
lebih dari 1,5 mL sehingga pendonor dapat dikatakan masih sehat. Selain itu
diperoleh informasi bahwa pendonor sampel B1 (dicantumkan di lampiran),
bahwa pendonor telah absen ejakulasi selama tujuh hari. Pada rentang waktu dari
seminggu lalu sampai hari pendonoran, terdapat cukup waktu untuk kelenjar
seperti seminal vesicles dan prostate untuk memproduksi sekret ejakulat (Ayad et
al., 2017).

Aspek selanjutnya yang diobservasi adalah bau semen. Hasil observasi ini
dipengaruhi oleh kondisi fisiologis sistem reproduksi pendonor dan juga dietnya
(tetapi diet bukan objektif dalam pembahasan ini). Diketahui bahwa kandungan
semen adalah 1% sperma dan 99%-nya adalah material lain seperti protein, enzim,
dan mineral. Sebagian besar material lain tersebut bersifat alkalin, seperti
magnesium (Mg), kalsium (Ca), sulfur (S), dan seng (Zn) (Owen & Katz, 2013).
Ketika komposisi ini dalam keadaan yang seimbang, bau semen akan seperti
amonia, pemutih, kaporit, atau zat lain yang bersifat basa (Jewell, 2018). Dalam
hasil observasi menurut parameter ini, didapati bahwa bau semen seperti kaporit
atau basa, sehingga dapat dinyatakan bahwa sistem reproduksi pendonor masih
dalam taraf baik.

Selanjutnya, dalam mengamati warna semen, pada umumnya semen yang


normal berwarna bening, putih, atau keabuan. Warna semen ditentukan oleh hasil
sekresi prostate yang mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium, natrium,
seng, kalium, fibrinolysin dan protein. Kelenjar seperti cowper dan seminal
vesicle juga memengaruhi warna dari semen (Jewell, 2018). Lalu dari hasil
pengamatan diperoleh bahwa semen pada sampel B1 berwarna putih keabuan
sehingga dapat dianggap normal.

Parameter selanjutnya adalah keberadaan atau tidaknya aglutinasi dalam


semen. Definisi dari aglutinasi sendiri adalah spermatozoa yang motil menempel
satu dengan yang lain sehingga motilitasnya terbatasi (WHO, 2010). Peluang
untuk terjadinya aglutinasi sebenarnya kecil, kecuali jika memang ada kondisi
medis tertentu. Pada umumnya penggumpalan terjadi karena respons antibodi
antisperma terhadap sperma. Sperma yang mengalami aglutinasi adalah sperma
yang motil. Setelah beberapa waktu, sperma yang mengalami aglutinasi akan
berhenti bergerak. Tentu saja kondisi ini dapat memengaruhi fertilitas seorang pria
(Wilson, 1956). Pada sampel semen yang diamati, tidak dijumpai aglutinasi,
sehingga pendonor B1 bisa dikatakan normal spermanya berdasarkan parameter
ini.

4.2.2 Mikroskopis

Selain analisis makroskopis yang fokus utamanya adalah semen, juga


dilakukan analisis mikroskopis yang objeknya adalah morfologi, konsentrasi, dan
motilitas. Pada observasi morfologi, diperhatikan bentuk sel spermatozoa dari
bentuk head, midpiece, dan tail-nya (Vasan, 2011; Krueger et al., 2004). Semua
variasi yang terlalu besar deviasinya dari bentuk normal dianggap sebagai
abnormalitas. Menurut Krueger et al., batas minimum untuk terjadinya fertilisasi
yang sukses adalah 14% sperma harus dengan morfologi normal (sesuai dengan
parameter mengenai bentuk dan ukuran sperma). Kemudian konsentrasi sperma
dalam semen juga diamati. Konsentrasi sperma setara dengan jumlah sel sperma
per mililiter semen. Apabila konsentrasinya di bawah ambang batas yang
ditetapkan yaitu 20 juta sperma manusia per mililiter, maka dianggap mengalami
kelainan oligozoospermia (WHO, 2010). Sedangkan mencit dianggap memiliki
fertilitas normal apabila konsentrasinya 2,5 juta sperma per mililiter. Konsentrasi
sperma linier dengan peluang terjadinya fertilisasi. Selanjutnya, motilitas sel
sperma juga diobservasi karena motilitas juga memengaruhi keberhasilan
fertilisasi. Motilitas sperma dikategorikan menjadi empat, yaitu kelas A, B, C, dan
D. Spermatozoa dengan kelas A digolongkan sebagai sel sperma dengan motilitas
tinggi, pergerakannya lebih dari 25 μm/s pada suhu 37℃ dan lebih dari 20 μm/s
pada suhu 20℃. Kelas B adalah sperma dengan pergerakannya yang lambat.
Kemudian kelas C adalah spermatozoa yang bergerak di tempat atau motilitas di
bawah 5 μm/s. Lalu kelas D adalah sperma yang imotil atau tidak bergerak sama
sekali. Normalnya, terdapat 50% sperma dengan motilitas kelas A dan B, jika
tidak, viabilitas sperma diragukan (Atiken et al., 1985). Sedangkan pada mencit
sperma dianggap motil apabila pergerakannya 69 μm/s (Anderson et al., 1983).
Motilitas sperma sebanding dengan kesuksesan fertilisasi.

4.2.2.1 Sperma Manusia

Dari tujuh sampel sperma manusia yang dianalisis, diperoleh bahwa


sebagian besar, yaitu enam dari tujuh sampel memiliki masalah motilitas. Enam
dari tujuh sampel mengalami asthenozoospermia. Suatu kondisi ketika sperma
dengan motilitas rendah kurang dari 50% batas yang ditetapkan oleh WHO
(WHO, 2010). Asthenozoospermia sendiri disebabkan karena adanya gangguan
terhadap mitokondria yang menggerakan sperma atau stressor oksidatif (Nowicka-
Bauer et al., 2018).

4.2.2.2 Sperma Mencit

Pada pengujian sperma mencit diperoleh bahwa terdapat 79% sperma


dengan morfologi normal, konsentrasinya 29 juta sperma per mililiter, dan
motilitasnya sebesar 2,29%. Jika dibandingkan dengan batas normalnya, secara
morfologi dan konsentrasi, spermatozoa pada mencit sangat sehat (Anderson et
al., 1983). Namun, secara motilitas sangat rendah. Untuk pejantan yang memiliki
sperma dengan motilitas di bawah 50%, ada kemungkinan besar untuk menderita
asthenozoospermia (Krueger et al., 2004).

4.2.3 Abnormalitas

Abnormalitas sperma dilihat dari morfologinya. Sperma dianggap tidak


normal secara morfologinya apabila memiliki perbedaan bentuk dan ukuran yang
terlalu jauh jika dibandingkan dengan sperma normal. Pada beberapa studi,
definisi morfologi sperma normal memiliki kriteria-kriteria tertentu yang sangat
ketat (Krueger et al., 2004; Menkveld et al., 1990). Menkveld membagi
abnormalitas menjadi dua, yaitu head abnormalities dan other abnormalities yang
di dalamnya termasuk precursor, tail, midpiece, loose heads dan cytoplasmic
abnomalities. Seluruh sperma dengan morfologi abnormal disebut sebagai
teratozoospermia yang berarti sperma dengan bentuk “monster”. Sebagian besar
sperma yang abnormal dapat menyebabkan infertilitas pada pria.

4.2.3.1 Sperma Manusia

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa setidaknya terdapat lima


abnormalitas, yaitu pada bagian head, midpiece, dan tail. Pertama, kepala yang
terlalu besar atau megalo-head atau giant head-defects. Sperma dianggap
memiliki kelainan ini apabila ukuran kepalanya melebihi ukuran yang normal
memiliki panjang 4 – 5 μm dan lebar 2,5 – 3,5 μm. Kelainan ini dapat disebabkan
oleh dua faktor, pertama adalah kelainan pada kromosom dan kedua adalah
pengobatan obat-obatan tertentu seperti sulphasalazine (Menkveld et al., 2015).
Kemudian jenis abnormalitas selanjutnya adalah sperma berkepala bola atau
globozoospermia atau rounded head-defects. Abnormalitas ini dapat
menyebabkan disomi pada gonosom dan dapat mengakibatkan embrio anueploid
jika sperma diinjeksi dengan IVF (Collodel et al., 2005). Namun, pada umumnya
karena tidak memiliki acrosome yang mengandung enzim untuk lisis membran
luar ovum, maka sperma dengan kecacatan ini tidak dapat membuahi ovum.
Kelainan ketiga adalah loose heads atau detached head-defects, yaitu kondisi
ketika hanya terdapat kepala sperma dan jelas tidak dapat membuahi ovum karena
imotil. Keempat, kelainan dengan bentuk midpiece sperma yang bengkok bisa
disebut sebagai bent midpiece-defects. Sperma dengan bentuk ini akan sulit
bergerak menuju ovum dan memfertilisasinya. Lalu kelainan terakhir yang
ditemukan adalah sperma dengan kepala ganda atau duplicated head atau
doubleheaded head-defects. Gangguan ini disebabkan oleh kelainan pada saat
meoisis pada proses spermatogenesis, cacat gen, atau trauma pada testis
(Zukerman et al., 2009).

4.2.3.2 Sperma Mencit

Sedangkan pada sperma mencit dijumpai keabnormalan seperti tampak


ekor ganda pada bagian tail dan ada yang tidak memiliki bagian kepala alias
missing head-defects (Takeda et al., 2016). Pada umumnya abnormalitas seperti
ini disebabkan oleh paparan terhadap logam berat seperti kadmium. Namun, bisa
saja, diakbatkan oleh gangguan saat meiosis. Keberadaan bentuk sperma seperti
ini sangat mungkin menyebabkan infertilitas pada mencit jika dalam jumlah di
atas ambang batas.

4.2.4 Faktor yang Memengaruhi Fertilitas Sperma

Fertilitas seorang pria atau pejantan dipengaruhi oleh kualitasnya. Adapun


terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi kualitas sperma. Misalnya
seperti usia, panas, zat kimia, trauma fisik, dan kondisi psikologis (Kumar &
Singh, 2015). Ada berbagai faktor, tetapi kelima tersebut adalah yang terutama
dalam menentukan fertilitas.

Seiring usia bertambah, terjadi degradasi pada DNA yang memungkinkan


terganggunya meiosis pada tahap spermatogenesis. Alhasil diperoleh sperma
dengan kecacatan yang dampaknya adalah pada motilitas sperma dan fertilitasnya
(Singh & Muller, 2003). Kemudian panas dapat memengaruhi kualitas sperma
karena sensitivitas sperma pada panas tinggi. Peningkatan suhu 2 – 3℃
meningkatkan peluang terjadinya fragmentasi DNA. Testis yang sering terkena
panas tinggi meningkatkan peluang produksi sperma dengan abnormalitas dan
menurunkan fertilitas (Wright et al., 2014). Selanjutnya trauma fisik yang
sebenarnya tidak mengubah kualitas sperma yang telah diproduksi, tetapi dapat
memengaruhi pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada jaringan di testis.
Sedangkan zat kimia misalnya kondisi hormon, pengobatan, diet, dan mutagen
akan memengaruhi produksi dan kualitas sperma (Mortimer et al., 2013). Selain
faktor-faktor tersebut, kondisi psikologis seperti adanya faktor stress dapat
memengaruhi kualitas, konsentrasi, morfologi, dan kapasitas untuk memfertilisasi
ovum (Janevic et al., 2014). Jadi, jika kita kaitkan dengan sampel sperma manusia
yang diperoleh dalam praktikum ini, kemungkinan besar fatktor yang
memengaruhi adalah psikologis dan diet.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan parameter analisis makroskopis dan mikroskopis dalam eksperimen


sistem reproduksi pada mencit dan manusia, dapat diperoleh kesimpulan:

5.1 Anatomi, lokasi, dan nama organ reproduksi mencit jantan

Organ reproduksi mencit jantan terdiri atas penis, testis, epididymis,


seminal vesicle, vas deferens, prostate, dan preputial glands. Lokasi organ sistem
reproduksi terdapat di bagian ventral dan posterior tubuh mencit. Penis terletak di
dalam rongga tubuh hingga menjulur keluar dari tubuh. Testis terletak di dalam
scrotum dan berada di posterior dan ventral dekat ekor. Epididymis terbagi
menjadi caput epididymis dan cauda epididymis. Caput epididymis terletak lebih
jauh daripada vas deferens sedangkan cauda epididymis terletak dan tersambung
ke vas deferens. Kemudian prostate terletak lebih dorsal daripada kandung kemih
dan organ reproduksi di sekitarnya. Lalu preputial glands terletak di dekat penis.

5.2 Kualitas sperma mencit berdasarkan makroskopis dan mikroskopis

Berdasarkan parameter analisis makroskopis, pH sperma normal (pH = 6).


Kemudian, secara mikroskopis, kualitas sperma mencit cukup baik secara
morfologi (79% normal) dan konsentrasi (29 juta sperma per mililiter), tetapi
tidak baik secara motilitas (2,29%). Jadi, mencit mengalami asthenozoospermia.

5.3 Kualitas sperma manusia berdasarkan makroskopis dan mikroskopis

Berdasarkan parameter analisis makroskopis, pH sperma normal (pH = 7).


Lalu secara mikroskopis, kualitas sperma manusia sampel B1 cukup baik secara
morfologi (78% normal) dan konsentrasi (219 juta sperma per mililiter), tetapi
tidak baik secara motilitas (5,6%). Jadi manusia B1 mungkin mengalami
asthenozoospermia.
DAFTAR PUSTAKA

Aitken, R.J., Sutton, M., Warner, P. & Richardson, D.W. 1985.


“Relationship between the movement characteristics of human
spermatozoa and their ability to penetrate cervical mucus and zona-
free hamster oocytes”. Journal of Reproduction and Fertility. 73(2):
441 – 449.
Allen, W.E. 2008. “diFiore’s Atlas of Histology with Functional
Correlations (11th Edition)”. Journal of Anatomy.
Anderson, R. A., Oswald, C., Willis, B. R. & Zaneveld, L. J. D. 1983.
“Relationship between semen characteristics and fertility in
electroejaculated mice”. Journal of Reproduction and Feritlity.
68(1): 1 – 7.
Auger, J., Jounnet, P. & Eustache, F. 2016. “Another look at human sperm
morphology”. Human reproduction. 31(1): 10 – 23.
Ayad, B.M., Van der Horst, G. & Du Plessis, S.S. 2018. “Revisiting the
relationship between the ejaculatory abstinence period and semen
characteristics”. International Journal of Fertility and Sterility.
International Journal Fertil Steril. 11(4): 238 – 246.
Chowdhury, S.H., Cozma, A.I. & Chowdhury, J.H. 2016. Essentials for
the Canadian Medical Licensing Exam. Philadelphia: Wolters
Kluwer.
Collodel, G. & Moretti, E. 2006. “Sperm morphology and aneuploidies:
Defects of supposed genetic origin”. Andrologia. 37(3 – 4): 297 –
303.
Eroschenko, V. P., & Di Fiore, M.S. 2013. DiFiore’s atlas of histology
with functional correlations. U.S: Lippincott Williams & Wilkins.
Hamamah, S. & Gutti, J. L. 1998. “Role of the ionic environment and
internal pH on sperm activity.” Environmental Health Perspectives.
77(1988): 37 – 44.
Haugen, T.B. & Grotmol, T. 1998. “pH of human semen”. International
Journal of Andrology. 21: 105 – 108.
Janevic, T., Kahn, L.G., Landsbergis, P., Cirillo, P.M., Cohn, B.A., Liu, X.
& Factor-Litvak, P. 2014. “Effects of work and life stress on semen
quality”. Fertility and
Sterility.DOI: 10.1016/j.fertnstert.2014.04.021.
Jewell, T. 2018. “Is It Normal for Semen to Smell?”.
https://www.healthline.com/health/mens-health/semen-smell.
Diakses 27 September 2019.
Jewell, T. 2018. “Yellow, Clear, Brown, and More: What Does Each
Semen Color Mean?”. https://www.healthline.com/health/mens-
health/semen-color-chart. Diakses 27 September 2019.
Keel, B.A. 1979. “The Semen Analysis: An Important Diagnostic
Evaluation”. Laboratory Medicine. 10(11): 686 – 688.
Krueger, T. F. & Coetze, K. 2004. Atlas of Human Sperm Morphology
Evaluation. U.K: Taylor & Francis Group.
Lisanti, E., Sajuthi, D., Agil, M., Arifiantini, I. & Winarto, A. 2016. “The
DNA and Spermatozoa Quality of Mice (Mus musculus) after
Administration Aqueous Leaves and Seeds Extract”. IOSR Journal
of Pharmacy. 6(10): 1 – 9.
Mann, T. 1964. The Biochemistry of Semen and of the Male Reproductive
Tract. London: Methuen.
Menkveld, R., Holleboom, C.A.G. & Rhemrev, J.P.T. 2011.
“Measurement and significance of sperm morphology”. Asian
Journal of Andrology. 13(1): 59 – 68.
Menkveld, R., Stander, F.S.H., Kotze, T.J. v., Kruger, T.F. & Zyl, J.A.
1990. “The evaluation of morphological characteristics of human
spermatozoa according to stricter criteria”. Human Reproduction.
5(5): 586 – 592.
Mortimer, D., Barratt, C.L.R., Björndahl, L., De jager, C., Jequier, A.M. &
Muller, C.H. 2013. “What should it take to describe a substance or
product as ‘sperm-safe’”. Human Reproduction Update. 19: 41 – 45.
Neill, J.D., Plant, T. M., Pfaff, D. W., Clallis, J. R. G., De Kretser, D. M.,
Richards, J. A. S. & Wasserman, P. M. 2015. Knobill and Neill’s
Physiology of Reproduction. U.S: Elsevier.
Nowicka-Bauer, K., Lepczynski, A., Ozgo, M., Kamieniczna, M., Fraczek,
M., Stanski, L., Olszewska, M., Malcher, A., Skrzypczak, W. and
Kurpisz, M.K. 2018. Sperm mitochondrial dysfunction and oxidative
stress as possible reasons for isolated asthenozoospermia. Journal of
Physiology and Pharmacology. 69(3).
Owen, D.H. & Katz, D.F. 2005. “A review of the physical and chemical
properties of human semen and the formulation of a semen
simulant”. Journal of Andrology.
https://doi.org/10.2164/jandrol.04104.
Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V.,
Jackson, R., & Campbell, N. A. 2013. Campbell Biology 10th
edition. 2013. Boston: Pearson. 1017.
Rowett, H. G. Q. 1962. Histology and Embryology Basic Anatomy and
Physiology the Rat as A Small Mammal Guide to Dissection.
London: John Murray Publishers Ltd. 10 – 11.
Sherwood, L. 2014. Introduction to Human Physiology 9th edition. United
State: Cengage Learning. 479 – 480.
Singh, N.P., Muller, C.H. & Berger, R.E. 2003. “Effects of age on DNA
double-strand breaks and apoptosis in human sperm”. Fertility and
Sterility. 80(6): 1420 – 1430.
Takeda, N., Yoshinaga, K., Furushima, K., Takamune, K., Li, Z., Abe,
S.I., Aizawa, S.I. & Yamamura, K.I. 2016. “Viable offspring
obtained from Prm1-deficient sperm in mice”. Scientific Reports.
DOI: 10.1038/srep27409.
Tortora, G. J. & Grabowski, S. R. 1996. Principles of Anatomy and
Physiology. New York: Harper Collins Colllege. 1041.
Wilson, L. 1956. “Sperm Agglutination Due to Autoantibodies”. Fertility
and Sterility. 7(3): 260 – 267.
Working, P. 1988. “Male Reproductive Toxicology: Comparison of the
Human to Animal Models”. Environmental Health Perspectives. 77:
37 – 44.
World Health Organization. 2010. WHO laboratory manual for the
examination and processing of human semen 5th ed. Geneva: WHO
Press.
Wright, C., Milne, S. & Leeson, H. 2014. “Sperm DNA damage caused by
oxidative stress: Modifiable clinical, lifestyle and nutritional factors
in male infertility”. Reproductive BioMedicine Online. 28(6): 684 –
703.
Zhou, J., Chen, L., Li, J., Li, H., Hong, Z., Xie, M., Chen, S., Yao, B. &
Drevet, J.R. 2015. “The semen pH affects sperm motility and
capacitation”. PLoS ONE. 10(7):e0132974.
Zukerman, Z., Sagiv, M., Ravid, A., Ben‐Bassat, M., Malik, Z., Shohat,
B., Tadir, Y., Ovadia, Y. & Singer, R. 1986. “A High Proportion of
Double‐Headed and Double‐Tailed Sperm in Semen of a Human
Male. A Case Report”. Andrologia. 18(5): 495 – 501.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Pendonor Sperma


VARIABEL KUALITAS DONOR SAMPEL SPERMA MANUSIA
Kode Sampel Index Massa Tubuh (IMT) Keterangan (IMT) Usia (Tahun) Merokok? minum Alkohol? Frekuensi Olahraga (bulan) Ejakulasi terakhir (Hari) Durasi tidur per hari (jam) Durasi tidur hari donor (jam)
A1 17,6 Underweight 19 Tidak tidak pernah 1 5 5 6,5
A2 18,7 Normal 19 Tidak tidak pernah 1 20 5 7
B1 28,4 Overweight 18 Tidak tidak pernah 0 7 6 6
B2 15,6 Underweight 19 Tidak tidak pernah 0 5 5 5
C 23,2 Normal 19 Ya tidak pernah 2 3 6 7
D1 23,5 Normal 19 Tidak tidak pernah 3 7 8 8
D2 23,3 Normal 19 Tidak Sebulan lalu 3,5 3 5 5

Lampiran 2. Tabel Data Sperma Angkatan (A1 – D2)


Rat Rat Rat
%Morf
Kelo Sam p Vol a- Moti a- Konse a-
ologi
mpok pel H ume Rat litas Rat ntrasi Rat
Normal
a a a
37,9
3 8 >1,5 100 104
6
96, 30, 81,
A1 8
5 23,7 845 5
4 , >1,5 93 59
3
5
11 9 >1,5 33 11 140,5
50, 49, 85,
A2 88,1
12 9 >1,5 68 5 6 31,25 875
9
7 7 >1,5 69 7 314
B1 74 5,6 219
8 7 >1,5 79 4,2 124
13 9 >1,5 71,43 68, 18 33 19,
B2 19
14 9 >1,5 65 215 20 5,6 3
34.6
1 7 >1,5 - 39.5
1 36.
C 77 29
23.5 25
2 7 >1,5 77 33
3
9 7 >1,5 100 12 102,75
7
D1 85 18 64
10 , >1,5 70 24 25,5
2
5 9 >1,5 79,1 85, 22,2 22, 77
D2 96
6 9 >1,5 91,11 105 - 2 115

Anda mungkin juga menyukai